Laporan Studi Pustaka (KPM 403) DAMPAK KONVERSI HUTAN MANGROVE TERHADAP STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA NELAYAN AMALIA SETYA PRATIWI DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015 PERNYATAAN Dengan ini Saya menyatakan bahwa laporan studi pustaka yang berjudul “Dampak Konversi Hutan Mangrove terhadap Strategi Nafkah Rumahtangga Nelayan” benar-benar hasil karya saya sendiri yang belum pernah diajukan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari pustaka yang diterbitkan atau tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam naskah dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir laporan studi pustaka. Demikian pernyataan ini Saya buat dengan sesungguhnya dan Saya bersedia mempertanggungjawabkan pernyataan ini. Bogor, Mei 2015 Amalia Setya Pratiwi NIM. I34120145 ABSTRAK AMALIA SETYA PRATIWI. Dampak Konversi Hutan Mangrove terhadap Strategi Nafkah Rumahtangga Nelayan. Di bawah bimbingan ARIF SATRIA Hutan mangrove merupakan ekosistem wilayah pesisir yang memiliki sumberdaya alam hayati yang melimpah. Sebagian besar masyarakat pesisir memanfaatkan hutan mangrove sebagai sumber nafkah utama. Peningkatan jumlah penduduk,aktivitas, dan kebutuhan penduduk menyebabkan hutan mangrove mengalami degradasi setiap tahunnya. Hal ini disebabkan oleh terjadinya konversi hutan mangrove menjadi areal pertambakan, pertanian, perkebunan, industri, dan pemukiman. Kondisi ini kemudian berdampak pada menurunnya fungsi hutan mangrove secara ekologis dan ekonomi. Abrasi dan intrusi air laut di wilayah pantai semakin menggerus habis pantai dan menyebabkan banjir. Aktivitas nelayan dalam memanfaatkan mangrove semakin berkurang sehingga berdampak pada kondisi ekonomi rumahtangga nelayan. Oleh karena itu, rumahtangga nelayan menggunakan strategi untuk dapat meningkatkan kondisi ekonomi dan mempertahankan kesejahteraanya. Bentuk strategi yang dilakukan adalah strategi nafkah, baik strategi ekonomi maupun strategi sosial. Strategi ekonomi yang dilakukan berupa pola nafkah ganda, optimalisasi tenaga kerja rumahtangga, dan migrasi, sedangkan strategi sosial berupa pemanfaatan lembaga kesejahteraan lokal serta jejaring sosial. Kata kunci: masyarakat pesisir, konversi hutan mangrove, kondisi ekonomi, strategi nafkah ABSTRACT AMALIA SETYA PRATIWI. The Influence of Mangrove Forest Conversion on Livelihood Strategies of Fisherman Household. Supervised by ARIF SATRIA The mangrove forest is an ecosystem of coastal areas that have abundant natural resources. Most coastal communities utilize the mangrove forest as the main source of livelihood. Increases in population, activities, and needs of the population cause degraded mangrove forests anually. It is caused by the conversion of mangrove forests into aquaculture areas, agriculture, plantation, industrial, and residential. This condition then decrease the function of mangrove forests, both ecologically and economically. Abrasion and sea water intrusion in coastal areas increasingly eroded the depleted beaches and cause flooding. Fishing activities in exploiting mangrove is decreasing so the impact on household economic conditions of fishermen. Therefore, fishing households use strategies to improve economic conditions and maintaining economic security. Shape strategy undertaken is a living strategy, both economic and social strategy. Economic strategy undertaken in the form of a coping strategys, optimization of household labor, and migration, while social strategies such as the use of local welfare agencies and social networking. Keywords: coastal communities, mangrove forest conversion,economic conditions, livelihood strategies DAMPAK KONVERSI HUTAN MANGROVE TERHADAP STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA NELAYAN Oleh AMALIA SETYA PRATIWI I34120145 Laporan Studi Pustaka sebagai syarat kelulusan KPM 403 pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015 LEMBAR PENGESAHAN Dengan ini menyatakan bahwa laporan studi pustaka yang disusun oleh: Nama Mahasiswa : Amalia Setya Pratiwi NIM : I34120145 Judul : Dampak Konversi Hutan Mangrove terhadap Strategi Nafkah Rumahtangga Nelayan dapat diterima sebagai syarat kelulusan mata kuliah Studi Pustaka (KPM 403) pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Disetujui oleh Dr Arif Satria, SP MSi NIP. 19710917 199702 1 003 Diketahui oleh Dr Ir Siti Amanah, MSc NIP. 19670903 199212 2 001 Tanggal pengesahan: _______________________ PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan studi pustaka yang berjudul “Dampak Konversi Hutan Mangrove terhadap Strategi Nafkah Rumahtangga Nelayan” ini dengan baik. Laporan studi pustaka ini ditujukan untuk memenuhi syarat kelulusan Mata Kuliah Studi Pustaka (KPM 403) pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr Arif Satria, SP MSi sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, masukan dan waktu selama proses penulisan hingga penyelesaian laporan studi pustaka ini. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Ibu Dr Ir Ekawati S. Wahyuni, MS selaku dosen Koordinator Mata Kuliah Studi Pustaka (KPM 403) yang telah memberikan arahan serta bimbingan terkait teknik penulisan laporan studi pustaka. Tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada kedua orangtua tercinta, Ibu Siti Chomsah dan Bapak Supriyanto atas semangat dan doa yang tiada henti-hentinya mengalir untuk kelancaran penulisan laporan studi pustaka ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada teman-teman SKPM angkatan 49 yang telah berkenan menjadi rekan bertukar pikiran dalam menyelesaikan laporan studi pustaka ini.Semoga laporan studi pustaka ini bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, Mei 2015 Amalia Setya Pratiwi NIM. I34120145 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL............................................................................................................ ix DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................... ix PENDAHULUAN ............................................................................................................ 1 Latar Belakang ............................................................................................................ 1 Tujuan Penulisan......................................................................................................... 2 Metode Penulisan ........................................................................................................ 2 RINGKASAN DAN ANALISIS PUSTAKA ................................................................... 3 1. Judul Konversi Lahan Hutan Mangrove serta Upaya Penduduk Lokal dalam Merehabilitasi Ekosistem Mangrove (Rusdianti dan Sunito 2012)......................... 3 2. Judul Dampak Perubahan Lingkungan terhadap Perkembangan Aktivitas Ekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat Pesisir di Kawasan Segara Anakan (Ramadhan dan Hafsaridewi 2012) ......................................................................... 4 3. Judul Kondisi Ekonomi Pasca Konversi Hutan Mangrove menjadi Lahan Tambak di Kabupaten Pangkajene Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan (Mayudin 2012) 6 4. Judul Potensi dan Nilai Manfaat Jasa Lingkungan Hutan Mangrove di Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan (Saprudin dan Halidah 2012) ............................................ 7 5. Judul Persepsi Pesanggem Mengenai Hutan Mangrove dan Partisipasi Pesanggem dalam Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model Empang Parit (Elhaq dan Satria 2011) ........................................................................................... 8 6. Judul Nilai Ekonomi Total Hutan Mangrove Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur (Ariftia et al. 2014) ................................ 10 7. Judul Valuasi Total Ekonomi Hutan Mangrove di Kawasan Delta Mahakam Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur (Wahyuni et al. 2014) ............ 11 8. Judul Kondisi dan Manfaat Langsung Ekosistem Hutan Mangrove Desa Penunggul Kecamatan Nguling Kabupaten Pasuruan (Sofian et al. 2012) ........... 13 9. Judul Pemanfaatan Langsung Ekosistem Mangrove di Jawa Tengah dan Penggunaan Lahan di Sekitarnya; Kerusakan dan Upaya Restorasinya (Setyawan dan Winarno 2006) ................................................................................................ 14 10. Judul Strategi Nafkah Berkelanjutan bagi Rumah Tangga Miskin di Daerah Pesisir (Widodo 2011) ........................................................................................... 16 RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 18 Hutan Mangrove ....................................................................................................... 18 Fungsi Hutan Mangrove ........................................................................................... 19 Konversi Hutan Mangrove........................................................................................ 21 1. Faktor yang Memengaruhi Konversi Hutan Mangrove ...................................... 21 2. Dampak Konversi Hutan Mangrove ................................................................... 22 Karakteristik Masyarakat Pesisir .............................................................................. 23 Strategi Nafkah Rumahtangga .................................................................................. 25 Dampak Konversi Hutan Mangrove terhadap Strategi Nafkah Rumahtangga Nelayan .................................................................................................................. 27 SIMPULAN .................................................................................................................... 29 Hasil Rangkuman dan Pembahasan .......................................................................... 29 Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Skripsi ........................................... 30 Usulan Kerangka Analisis Baru ................................................................................ 30 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 31 RIWAYAT HIDUP ........................................................................................................ 33 ix DAFTAR TABEL Tabel 1 Matriks Fungsi Hutan Mangrove....................................................................... 20 Tabel 2 Dampak Konversi Hutan Mangrove.................................................................. 23 Tabel 3 Klasifikasi Strategi Nafkah Rumahtangga ....................................................... 26 DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Kerangka Analisis...........................................................................................29 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Saat ini konversi lahan merupakan isu utama, bukan hanya dalam bidang agraria tetapi juga pada bidang maritim di berbagai wilayah di Indonesia, terutama di wilayah pesisir. Lestari (2009) mendefinisikan konversi lahan atau biasa disebut alih fungsi lahan sebagai perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Kini semakin banyak investor yang menjadikan wilayah pesisir sebagai sasaran pembangunan, mengingat konversi lahan pertanian sudah semakin banyak dan lahan semakin sempit. Potensi yang dimiliki kawasan pesisir, seperti ekosistem hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan berbagai keanekaragaman hayati di dalamnya, tentu memberikan peluang besar untuk pemanfaatan kawasan. Usaha pertambakan, perindustrian, pemukiman, pariwisata, dan pertambangan menjadikan wilayah pesisir menjadi beralih fungsi, khususnya pada kawasan hutan mangrove. Aktivitas pemanfaatan dan pembangunan wilayah pesisir seharusnya mematuhi peraturan pemerintah dan perundang-undangan yang ada agar tercapai pembangunan wilayah pesisir yang lestari dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Harahab 2010). Faktanya, para investor, pemerintah, maupun masyarakat yang memanfaatkan sumberdaya pesisir seperti hutan mangrove, memandang bahwa hutan mangrove merupakan lahan marginal yang harus dikonversi menjadi penggunaan lainnya. Padahal hutan mangrove memiliki fungsi, baik fungsi ekologis maupun ekonomi, seperti yang terdapat pada Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/MENHUT/V/2004 dalam Harahab (2010). Peraturan tersebut menyebutkan bahwa, hutan mangrove merupakan jalur hijau daerah pantai yang mempunyai fungsi ekologis dan sosial ekonomi. Harahab (2010) pun menjelaskan fungsi hutan mangrove dari segi ekologis dan ekonominya. Dari segi ekologinya, hutan mangrove berfungsi sebagai kawasan penyangga atau penahan intrusi laut, sebagai kawasan berlindung dan berkembang biak bagi berbagai biota laut, sebagai penahan abrasi, dan sebagai daerah asuhan, mencari makan, serta daerah pemijahan berbagai macam biota perairan, seperti ikan, udang, kepiting, dan sebgainya. Dari segi ekonominya, hutan mangrove berfungsi sebagai penghasil kayu (kayu bakar, kayu konstruksi, dan arang), sebagai mata pencaharian penduduk sekitar (pencari udang, kepiting, dan tiram), serta tempat bersarangnya burung yang memproduksi telur hingga 64.680 butir/ tahun. Oleh karena itu, banyak masyarakat sekitar hutan yang memanfaatkan hutan mangrove tersebut sebagai sumber pendapatan utama. Akan tetapi, maraknya konversi hutan mangrove di wilayah pesisir membuat sumber pendapatan masyarakat menjadi menurun. Berdasarkan data tahun 1999, luas wilayah mangrove yang terdapat di Indonesia yakni total 8,6 juta hektare. Namun sejak rentang 1999 hingga 2005, hutan bakau itu sudah berkurang sebanyak 5,58 juta hektare atau sekitar 64 persennya. Saat ini hutan mangrove di Indonesia yang dalam keadaan baik tinggal 3,6 juta hektar, sisanya dalam keadaan rusak dan sedang1. Dampak hilangnya mangrove mulai dirasakan oleh masyarakat daerah pesisir. Rupanya hutan mangrove tak hanya memiliki fungsi ekologis, melainkan juga fungsi ekonomis. Hal ini menyebabkan masyarakat sekitar hutan mangrove, yang menjadikan hutan sebagai sumber pendapatan utama, mengalami kerugian karena berkurangnya sumberdaya hutan sebagai sumber nafkah. Pemanfaatan dan pembangunan di wilayah pesisir yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan 1 Sumber: http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/05/hutan-mangrove-indonesia-terus-berkurang 2 masyarakat, justru merugikan masyarakat dengan mengalihfungsikan hutan mangrove sebagai sumber penghasilan utama masyarakat. Sebagai gambaran konversi hutan mangrove menjadi pertambakan terjadi di Desa Karangsong, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Penelitian yang telah dilakukan di wilayah tersebut menunjukkan bahwa konversi hutan mangrove menjadi lahan tambak memberikan dampak positif dan negatif bagi masyarakat, terutama dalam aspek ekonomi. Dampak positif dari konversi hutan mangrove menjadi tambak ini yaitu dapat membantu menaikkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di Desa Karangsong sesuai dengan tujuan Pemerintah Desa. Di sisi lain, masyarakat pun merasa dirugikan dengan adanya konversi hutan mangrove berskala besar. Konversi mangrove dalam skala besar tanpa menyisakan tanaman mangrove disekitarnya memberikan pengaruh terhadap biaya produksi yang cenderung lebih tinggi dalam membudidayakan ikan bandeng. Mangrove yang sudah habis tidak mampu menyediakan pakan alami untuk ikan bandeng yang biayanya jauh lebih murah dibandingkan dengan membuat pakan buatan. Konversi mangrove dalam skala besar juga telah banyak memengaruhi kondisi tanah yang cocok untuk budidaya udang windu, sehingga banyak petani tambak yang tidak bisa membudidayakan udang windu di tambak mereka. Banyak sumber penghasilan utama dari hutan mangrove yang tidak dapat diperoleh kembali oleh masyarakat karena hutan mangrove sudah tidak tersisa. Masyarakat yang hanya memanfaatkan hutan mangrove sebagai sumber pendapatan pun harus mencari alternatif sumber nafkah yang lain agar tetap dapat melangsungkan kehidupannya dan keluarga. Menurut de Haan dalam Purnomo (2006), jika keberlanjutan nafkah terancam, rumahtangga akan melakukan strategi coping (coping strategy). Coping strategy merupakan strategi nafkah yang dilakukan dalam keadaan sulit. Coping strategy dilakukan dengan mengubah strategi nafkah semula dengan strategi nafkah yang baru. Artinya, rumahtangga seseorang tidak hanya mengandalkan hidup pada satu pekerjaan saja. Untuk menambah penghasilan rumahtangga, maka dalam beberapa penelitian menunjukkan adanya usaha memaksimalkan sumberdaya keluarga, yaitu istri dan anak. Tak jarang jaringan sosial pun turut menyumbang dalam pemenuhan kebutuhan mereka, seperti berhutang kepada tetangga atau saudara. Maka dari itu, penting untuk menganalisis bagaimana dampak konversi hutan mangrove terhadap kondisi ekonomi rumahtangga nelayan, serta bagaimana strategi nafkah yang dilakukan rumahtangga nelayan untuk mengatasi terjadinya konversi hutan mangrove. Tujuan Penulisan Penulisan studi pusataka ini bertujuan untuk menganalisis definisi tentang konversi hutan mangrove di wilayah pesisir dan dampaknya terhadap strategi nafkah masyarakat yang memanfaatkan hutan mangrove tersebut sebagai sumber pendapatan. Metode Penulisan Metode yang digunakan dalam penulisan studi pustaka ini yaitu mengumpulkan, meringkas, menganalisis, dan melakukan sintesis data sekunder berupa hasil penelitian, seperti jurnal penelitian, skripsi, tesis maupun disertasi yang berkaitan dengan topik studi pustaka ini yaitu konversi hutan mangrove. Hasil dari ringkasan tersebut akan digunakan sebagai landasan teori dan juga konsep mengenai konversi hutan mangrove dan hubungannya dengan strategi nafkah masyarakat yang memanfaatkan hutan mangrove sebagai sumber pendapatan utama. Penarikan hubungan antara kedua konsep tersebut dilakukan untuk memunculkan sebuah kerangka teoritis yang menjadi dasar perumusan masalah bagi penelitian yang akan dilakukan. 3 RINGKASAN DAN ANALISIS PUSTAKA 1. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Judul Buku Kota dan Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi) Alamat URL Tanggal diunduh : Konversi Lahan Hutan Mangrove serta Upaya Penduduk Lokal dalam Merehabilitasi Ekosistem Mangrove : 2012 : Jurnal : Elektronik : Konny Rusdianti dan Satyawan Sunito : : : Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, IPB, Bogor : Jurnal Sosiologi Pedesaan : Vol. 06, No. 01 (2012) : http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/12345678 9/54415/I12kru.pdf?sequence=3 : 13 Maret 2015, pukul 19.15 WIB Ringkasan Pustaka Ekosistem hutan mangrove memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi ekologis dan fungsi sosial ekonomi. Fungsi ekologis hutan mangrove yaitu sebagai pelindung pantai dari gejala alam, seperti abrasi, intrusi air laut, gelombang dan badai. Hutan mangrove juga berfungsi sebagai penyangga kehidupan sumberdaya ikan, sebab ekosistem mangrove merupakan daerah pemijahan, daerah asuhan, dan daerah mencari makan bagi ikan-ikan. Hutan mangrove juga mempunyai fungsi sosial ekonomi, yaitu sebagai sumber mata pencaharian berupa berbagai hasil hutan, sumber bahan bangunan dan kerajinan, objek penelitian, tempat pembuatan garam, serta sebagai tempat wisata alam. Berbagai kegiatan pengelolaan hutan mangrove terkait kedua fungsi tersebut dilakukan oleh masyarakat lokal Desa Karangsong, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu dengan memanfaatkan lahan mangrove untuk memenuhi kebutuhan hidup. Akan tetapi, pemanfaatan yang dilakukan masyarakat belum dilakukan secara benar. Terdapat aktor-aktor yang melakukan kesalahan dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove, seperti mengeksploitasinya menjadi lahan tambak. Aktivitas tersebut menyebabkan penurunan luas hutan mangrove dan berakibat pada penurunan fungsi dan manfaat mangrove bagi masyarakat dan lingkungannya. Kondisi hutan mangrove yang bersifat open access membuat masyarakat bebas memanfaatkan hutan secara terbuka, baik secara ekologis maupun ekonomis. Kurangnya pengetahuan masyarakat lokal tentang fungsi dan manfaat hutan mangrove menyebabkan kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya keberadaan hutan mangrove. Masyarakat tertarik dengan usaha lahan tambak yang didirikan oleh para pendatang dan menghasilkan keuntungan ekonomi yang besar, namun hanya untuk keuntungan jangka pendek. Masyarakat tidak memikirkan dampak ekologis konversi hutan mangrove untuk jangka panjang. Hasil penelitian yang telah dilakukan menjelaskan bahwa konversi hutan mangrove dalam skala besar memberikan dampak terhadap penduduk lokal di sekitarnya baik keuntungan maupun kerugian dalam jangka waktu yang langsung maupun tidak langsung. Keuntungan yang didapat adalah konversi mangrove dapat membantu menaikkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di Desa Karangsong sesuai dengan tujuan Pemerintah Desa. Kerugiannya, konversi mangrove dalam skala besar tanpa menyisakan tanaman mangrove disekitarnya memberikan pengaruh terhadap biaya produksi yang cenderung lebih tinggi dalam membudidayakan ikan 4 bandeng. Konversi mangrove dalam skala besar juga telah banyak memengaruhi kondisi tanah yang cocok untuk budidaya udang windu, sehingga banyak petani tambak yang tidak bisa membudidayakan udang windu di tambak mereka. Keadaan tambak yang gersang tanpa mangrove pun membuat tanggul-tanggul tambak terkena abrasi. Keberadaan biota laut, seperti kerang dan kepiting pun tidak mampu berkembang biak dalam kondisi mangrove yang rusak. Abrasi pantai juga terus menggerus pantai Desa Karangsong yang semakin habis dari tahun ke tahun. Namun berbagai kerugian yang dirasakan tersebut, masih belum memberikan kesadaran pada penduduk mengenai pentingnya keberadaan ekosistem mangrove. Hal tersebut terbukti dengan masih sedikitnya partisipasi penduduk dalam proses rehabilitasi hutan mangrove yang ada di Desa Karangsong tersebut. Tak jarang pula masyarakat yang turut berpartisipasi dalam tiga program yang diadakan dalam rangka merehabilitasi hutan mangrove, yaitu penghijauan, usaha, dan pemberdayaan. Persepsi penduduk Desa Karangsong menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Desa Karangsong memiliki persepsi kategori “sedang” terhadap kegiatan rehabilitasi yang dilakukan oleh Kelompok Pantai Lestari. Hal tersebut merupakan sikap pasif atau sikap kurang adanya inisiatif terhadap kegiatan rehabilitasi yang ada. Analisis Pustaka Hasil penelitian ini menambah pengetahuan mengenai dampak positif dan dampak negatif konversi hutan mangrove bagi masyarakat lokal dan lingkungannya. Selain itu, penelitian ini memberikan informasi baru bahwa kesadaran masyarakat lokal Desa Karangsong masih rendah dibuktikan dengan kurangnya partisipasi masyarakat dalam program rehabilitasi hutan mangrove. Penelitian ini sudah dilakukan sesuai dengan tujuan awal penelitian, yaitu untuk mengkaji dan menganalisis kronologis terjadinya konversi mangrove menjadi lahan tambak dan dampaknya terhadap kondisi ekonomi dan ekologis wilayah pesisir serta persepsi dan partisipasi penduduk lokal terhadap kegiatan rehabilitasi mangrove di Desa Karangsong, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu. Pendekatan penelitian, jumlah, karakteristik, dan penentuan responden maupun informan, serta teknik analisis data yang digunakan telah dijabarkan dengan sangat jelas oleh peneliti. 2. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Judul Buku Kota dan Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi) Alamat URL Tanggal diunduh : Dampak Perubahan Lingkungan terhadap Perkembangan Aktivitas Ekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat Pesisir di Kawasan Segara Anakan : 2012 : Jurnal : Elektronik : Andrian Ramadhan dan Rani Hafsaridewi : : : Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Jakarta : Jurnal Sosek KP : Vol. 7 No. 1 (2012) : http://bbpse.litbang.kkp.go.id/publikasi/jsosek/jurnal_ 2012_v7_no1_%283%29_full.pdf : 14 Maret 2015, pukul 23.20 WIB Ringkasan Pustaka Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perubahan lingkungan Segara Anakan terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat pesisir. Data yang 5 dikumpulkan pada masyarakat di Desa Ujung Alang dan Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap Provinsi Jawa Tengah dianalisis menggunakan analisis kesejahteraan rumah tangga berdasarkan indeks rumah tangga miskin menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dan analisis deskriptif. Segara Anakan merupakan laguna dengan wilayah perairan yang cukup luas pada masa lalu dimana pada tahun 1980 luasnya mencapai 3.852 ha. Namun seiring dengan berjalannya waktu, kawasan ini terus mengalami penyempitan yaitu hanya sekitar 600 ha pada tahun 2000. Berkurangnya wilayah perairan berganti dengan zonazona yang akhirnya ditumbuhi dengan semak belukar dan mangrove. Akan tetapi, zona mangrove tersebut justru mengalami penurunan yang signifikan akibat adanya penebangan secara ilegal. Kondisi ini memengaruhi aktivitas masyarakat khususnya dalam upaya mendapatkan penghasilan melalui pemanfaatan sumberdaya perairan. Sumberdaya perairan tersebut terus mengalami penurunan seiring dengan menyusutnya luas laguna dan mangrove diantaranya adalah udang, ikan dan kepiting. Dengan demikian, masyarakat perlu melakukan strategi adaptasi untuk mengatasi perubahan lingkungan yang terjadi di kawasan perairan. Sebagian besar masyarakat di Kecamatan Kampung Laut memiliki mata pencaharian sebagai nelayan. Sektor perikanan merupakan sektor utama dalam kegiatan ekonomi yang dilakukan masyarakat di Kawasan Segara Anakan. Pendidikan masyarakat yang rendah menyebabkan masyarakat bergantung pada sumberdaya. Bagi masyarakat yang sudah bertahun-tahun menjadi nelayan akan sulit beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang terjadi pada perairan di Kawasan Segara Anakan, sebab hanya kemampuan itulah yang dimiliki. Laut merupakan satu-satunya sumber penghidupan bagi masyarakat. Akan tetapi, ada pula masyarakat yang berusaha mencari sumber penghidupan lain dengan memanfaatkan lahan yang terbentuk akibat sedimentasi untuk pertanian atau pertambakkan, membudidayakan udang, ikan bandeng dan juga kepiting. Rendahnya pengetahuan yang dimiliki membuat masyarakat masih sangat tergantung pada alam dan tidak mendapatkan hasil yang optimal bahkan seringkali mengalami kegagalan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan lingkungan yang besar di Kawasan Segara Anakan berdampak besar bagi sumberdaya perikanan dan kelautan. Perubahan lingkungan yang terjadi memberi pengaruh pada aktivitas ekonomi masyarakat yang telah bertahun-tahun berfokus pada sektor perikanan. Masyarakat belum mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang terjadi akibat rendahnya pengetahuan yang dimiliki masyarakat. Tingkat kesejahteraan masyarakat secara umum masih kurang sejahtera meski tidak ditemukan rumah tangga yang miskin sebagaimana kriteria yang ditetapkan BPS. Secara lebih spesifik juga diketahui bahwa sumberdaya perikanan di Kawasan Segara Anakan masih memberi pengaruh penting terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat. Hal ini terbukti dari tingkat kesejahteraan masyarakat berdasarkan mata pencaharian dimana masyarakat nelayan memiliki tingkat kesejahteraan yang relatif lebih baik. Analisis Pustaka Penelitian ini tidak menjelaskan pendekatan penelitian yang digunakan, apakah penelitian kualitatif atau kuantitatif, walaupun telah menjelaskan secara rinci teknik pengambilan data yang digunakan. Jumlah dan karakteristik responden pun tidak dicantumkan oleh peneliti. Temuan penelitian ini telah sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai peneliti, yaitu untuk mengetahui pengaruh perubahan lingkungan Segara Anakan terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat pesisir. Hasil temuan dari penelitian ini memberikan pengetahuan baru bahwa di Kawasan Segara Anakan, masyarakat masih bergantung pada sektor perikanan walaupun telah terjadi perubahan 6 lingkungan. Masyarakat juga berusaha mencari sumber nafkah lainnya untuk dapat meningkatkan kesejahteraan. 3. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Judul Buku Kota dan Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi) Alamat URL Tanggal diunduh : Kondisi Ekonomi Pasca Konversi Hutan Mangrove menjadi Lahan Tambak di Kabupaten Pangkajene Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan : 2012 : Jurnal : Elektronik : Arif Mayudin : : : Politeknik Negeri Pontianak, Pontianak : Jurnal Eksos : Vol. 8, No. 2, Juni 2012 : http://repository.polnep.ac.id/xmlui/bitstream/handle/ 123456789/86/05-eksos%203%20%20arif.pdf? sequence=1 : 27 Februari 2015, pukul 20.22 WIB Ringkasan Pustaka Kawasan hutan mangrove di sepanjang Kabupaten Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan, banyak mengalami konversi menjadi lahan tambak. Hal ini menyebabkan degradasi hutan mangrove menjadi suatu isu yang paling serius. Keanekaragaman hayati dan sumberdaya lainnya akan terganggu dan berpengaruh pada fungsi ekonomi dan ekologis dari ekosistem hutan mangrove. Konversi hutan mangrove dengan melakukan penebangan dan mengalihfungsikan menjadi lahan tambak akan berdampak besar. Hal tersebut mampu memberikan hasil kepada pendapatan masyarakat dan kesempatan meningkatkan kerja. Di pihak lain, penyusutan hutan amngrove akan terjadi dan mengganggu ekosistem perairan di kawasan sekitarnya. Konversi hutan mangrove tersebut dapat memberikan dampak, baik terhadap ekonomi, sosial, dan budaya. Untuk menilai pemanfaatan hutan mangrove tersebut, baik sebelum dan sesudah konversi hutan mangrove, dilakukan dengan menggunakan analisis nilai manfaat ekonomi ekosistem mangrove dan nilai manfaat ekonomi tambak. Ekosistem mangrove di Kabupaten Pangkep telah banyak memberikan manfaat bagi masyarakat lokal yang secara turun-temurun berinteraksi dengan huan mangrove untuk sumber penghidupan. Nilai manfaat total ekosistem mangrove ini terdiri dari empat kategori, yaitu nilai manfaat langsung, nilai manfaat tidak langsung, nilai manfaat pilihan, dan nilai keberadaan. Nilai manfaat langsung ekosistem mangrove diidentifikasi dari kegiatan pemanfaatan hutan untuk memenuhi kebutuhan, terdiri dari manfaat hasil hutan dan manfaat hasil perikanan. Manfaat langsung hasil hutan meliputi kayu bangunan, kayu bakar, cerucuk, dan daun nipah, sedangkan manfaat langsung hasil perikanan meliputi berbagai sumberdaya ikan yang diperoleh dengan cara tradisional. Nilai manfaat tidak langsung terdiri dari pencegah intrusi air laut, penyedia unsur hara ekosistem mangrove, dan ekowisata. Nilai manfaat pilihan diperoleh dengan menggunakan nilai manfaat keanekaragaman hayati yang terdapat di kawasan hutan mangrove, sedangkan nilai manfaat keberadaan dihitung berdasarkan penilaian responden terhadap pentingnya kawasan hutan mangrove. Berdasarkan hasil penilaian yang diperoleh, ekosistem hutan mangrove memiliki peranan yang cukup besar, baik langsung maupun tidak langsung, oleh masyarakat sebagai sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan. Hutan mangrove pun berperan dalam menahan abrasi pantai, penahan intrusi laut maupun penjaga kestabilan siklus 7 makanan biota perairan. Nilai total manfaat ekonomi mangrove terbukti memiliki nilai yang jauh lebih tinggi dibandingkan nilai manfaat ekonomi tambak. Akan tetapi, nilai ekonomi tambak jika dibandingkan dengan manfaat langsung ekosistem mangrove, memiliki nilai yang lebih besar. Hal ini justru menjadi ancaman terhadap kelestarian ekosistem mangrove akibat konversi hutan mangrove menjadi tambak karena masyarakat menilai manfat ekonomi tambak yang jauh lebih menguntungkan. Penelitian ini memperoleh beberapa hasil penelitian, yaitu kondisi ekonomi masyarakat pesisir pasca konversi hutan mangrove menjadi lahan tambak di Kecamatan Mandalle, Segeri dan Labakkang Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan dikategorikan baik dan dapat diukur dari beberapa indikator. Nilai total manfaat ekonomi mangrove menunjukkan bahwa hutan mangrove dapat memberikan manfaat ekonomi yang besar bila dapat dikelola dengan baik. Kondisi ekonomi masyarakat pesisir pasca konversi hutan mangrove menjadi lahan tambak secara umum meningkat. Dengan pemanfaatan tersebut, maka pendapatan masyarakat meningkat hingga 50%. Analisis Pustaka Temuan dalam penelitian ini memberikan pengetahuan bahwa kondisi ekonomi pasca konversi hutan mangrove di Kabupaten Pangkep mengalami peningkatan akibat usaha di bidang pertambakkan. Penelitian ini sudah menyantumkan pendekatan penelitian yang digunakan serta teknik pemilihan responden. Penelitian ini kurang memberikan analisis deskriptif secara jelas dari hasil penilaian yang dilakukan pada nilai manfaat ekosistem mangrove dan tambak. Perhitungan nilai manfaat tersebut pun kurang mendetail sehingga sulit untuk mengetahui hasil penilaian manfaat tersbeut. Tujuan penelitian ini telah sesuai dengan hasil yang diperoleh dalam penelitian yaitu kondisi ekonomi masyarakat pasca konversi hutan mangrove. 4. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Judul Buku Kota dan Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi) Alamat URL Tanggal diunduh : Potensi dan Nilai Manfaat Jasa Lingkungan Hutan Mangrove di Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan : 2012 : Jurnal : Elektronik : Saprudin dan Halidah : : : Balai Penelitian Kehutanan Manado, Manado : Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam : Vol. 9 No. 3 : 213-219, 2012 : http://forda-mof.org/files/02_Saprudin_OK.pdf : 19 Maret 2015, pukul 18.45 WIB Ringkasan Pustaka Hutan mangrove merupakan ekosistem utama yang mendukung kehidupan wilayah pesisir dan lautan. Hutan mangrove mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis yang mampu memberi manfaat bagi masyarakat dan wilayah di sekitarnya. Fungsi ekologis hutan mangrove adalah sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi berbagai biota perairan, penahan abrasi dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi laut dan sebagainya. Fungsi ekonomis hutan mangrove ini adalah sebagai penyedia kayu, daun-daunan sebagai bahan makanan ternak dan obat-obatan, buah sebagai sumbr benih, dan sebagainya. Fungsi ekonomis ini merupakan sumber pendapatan bagi masyarakat lokal yang berada di kawasan hutan mangrove tersebut. 8 Di Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan terdapat areal rehabilitasi mangrove yang dimanfaatkan masyarakat sekitar sebagai sumber pendapatan. Nilai yang diperoleh untuk sumber ekonomi ini merupakan nilai yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh masyarakat. Analisis potensi hutan bakau dan analisis manfaat mangrove dapat digunakan untuk mengetahui potensi dan nilai manfaat yang dimiliki oleh ekosistem mangrove. Masyarakat di pesisir Sinjai telah melakukan pemanfaatan hutan mangrove secara langsung berupa tiga macam sumberdaya, yaitu berupa kayu, buah, dan daun bakau. Nilai manfaat yang terbesar adalah nilai pada kayu, kemudian buah, dan yang paling kecil adalah nilai manfaat daun bakau. Masyarakat memanfaatkan kayu mangrove untuk memproduksi kayu bakar dan kayu bahan bangunan dengan karakteristik tertentu yang telah ditentukan berdasarkan pengetahuan masyarakat. Buah bakau dimanfaatkan sebagai sumber benih dan daun bakau dimanfaatkan untuk penghasil pakan ternak. Berdasarkan hasil penilaian ekonomi dari pemanfaatan hutan mangrove, diketahui manfaat nilai guna langsung secara keseluruhan (kayu, buah, dan daun) sebesar Rp 11,61 juta/ ha/ tahun. Nilai ekonomi ini juga didapatkan dari hasil penelitian di beberapa kawasan hutan mangrove lainnya, seperti hutan mangrove di Teluk Bintuni, hutan mangrove di Malili Kabupaten Luwu Timur, di desa Tallise Kabupaten Minahasa Sulawesi Utara, dan Pulau Kangean Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur. Nilai manfaat ekonomi yang dihasilkan dari sumberdaya hutan mangrove tersebut menggambarkan bahwa masyarakat memiliki tingkat ketergantungan pada jasa hutan mangrove tersebut. Dengan demikian perlu adanya jaminan kelestarian manfaat dengan kegiatan rehabilitasi secara berkesinambungan. Analisis Pustaka Temuan penelitian ini mampu memberikan informasi yang sangat penting terkait manfaat ekonomis hutan mangrove. Masyarakat sekitar hutan mangrove sangat bergantung pada keberadaan hutan mangrove sebagai sumber pendapatan mereka, sehingga perlu dibuat kebijakan oleh pemerintah untuk tetap menjaga kelangsungan hidup kawasan mangrove demi manfaat ekonomis dan ekologis yang dapat diperoleh. Penelitian ini masih kurang jelas dalam menganalisis potensi hutan mangrove terkait tegakan hutan mangrove tersebut. Metode penelitian dan responden yang dipilih sudh cukup dijelaskan dalam penelitian ini. Tujuan penelitian ini pun sudah tercapai dengan hasil penelitian yang diperoleh yaitu untuk mengetahui potensi dan nilai manfaat yang diperoleh dari hutan mangrove di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. 5. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Judul Buku Kota dan Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi) Alamat URL : Persepsi Pesanggem Mengenai Hutan Mangrove dan Partisipasi Pesanggem dalam Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model Empang Parit : 2011 : Jurnal : Elektronik : Imam Habibi Elhaq dan Arif Satria : : : Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat,Fakultas Ekologi Manusia, IPB, Bogor : Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia : Vol. 5, No. 1 2011 : http://journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/view 9 Tanggal diunduh File/5829/4494 : 20 Maret 2015, pukul 16.23 WIB Ringkasan Pustaka Luas hutan mangrove sebagai sumberdaya pesisir terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Penurunan ini disebabkan oleh kegiatan konversi hutan mangrove menjadi lahan pertambakan. Pertumbuhan penduduk yang semakin pesat dan kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir yang relatif masih rendah juga memicu terjadinya konversi lahan untuk memperoleh penghasilan yang besar. Masyarakat, khususnya pesanggem (petani tambak) memiliki persepsi yang salah mengenai hutan mangrove karena menganggap hutan mangrove hanya sebagai lahan kosong yang tidak memiliki manfaat sehingga lebih baik dikonversi menjadi lahan tambak. Masyarakat tidak mengetahui secara jelas fungsi ekologi dan sosial ekonomi yang diperoleh dari hutan mangrove. Dengan demikian, pesanggem yang tergabung dalam LMDH Mina Wana Lestari bekerja sama dengan Perum Perhutani untuk menerapkan sistem pengelolaan tambak mangrove di Desa Sedari, Kecamatan Cibuaya, Kabupaten Karawang. Kendala yang ditemukan dalam sistem ini adalah kurangnya partisipasi pesanggem dalam pengelolaan tambak mangrove tersebut. Sebagian besar pesanggem memiliki perspektif positif mengenai ekosistem hutan mangrove. Para pesanggem telah mengenal baik kondisi fisik ekosistem hutan mengrove karena interaksi yang dilakukan setiap hari dengan hutan mangrove. Mayoritas pesanggem juga memiliki persepsi positif terhadap fungsi ekologi hutan mangrove, karena pesanggem merasakan manfaat ekologi yang diperoleh dari hutan mangrove seperti menciptakan iklim makro dan mencegah bencana alam. Berbeda dengan persepsi pesanggem terhadap fungsi sosial ekonomi hutan mangrove yang tergolong negatif. Hal ini disebabkan oleh pesanggem yang belum memahami dengan benar fungsi sosial ekonomi hutan mangrove atau tidak ditemukannya teknologi yang memadai untuk mendapatkan keuntungan sosial ekonomi yang optimal. Sebagian besar pesanggem memiliki partisipasi yang rendah pada tahap perencanaan pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan karena dalam tahap ini pesanggem memang tidak diberi kesempatan oleh Perum Perhutani untuk berpartisipasi. Pada tahap pelaksanaan pengelolaan tambak mangrove, sebagian besar pesanggem ikut berpartisipasi, sedangkan pada tahap monitoring partisipasi pesanggem cenderung rendah karena para pesanggem cenderung takut memberikan laporan mengenai masalah pengelolaan tambak kepada pihak Perum Perhutani. Pada tahap menikmati hasil pengelolaan tambak mangrove, pesanggem cenderung memiliki partisipasi tinggi karena adanya kesadaran bahwa pembagian andil tambak kepada pesanggem cukup adil, tergantung kemampuan membayar uang sharing. Secara umum, tidak terdapat hubungan antara persepsi pesanggem mengenai hutan mangrove dengan partisipasi pesanggem dalam pengelolaan tambak mangrove model empang parit. Hal ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang terdapat hubungan antara kedua variabel tersebut. Rendahnya partisipasi pesanggem dlam pengelolaan tambak mangrove di Desa Sedari berpengaruh pada pengelolaan tambak mangrove. Masalah yang ditimbulkan adalah banyak tanaman payau yang ditanam di tambak pesanggem tidak terawat dan mati. Hasil panen tambak yang diperoleh pesanggem pun semakin berkurang dari tahun ke tahun akibat pencemaran air yang tidak dapat diatasi akibat rusaknya hutan mangrove. Oleh karena itu, perlu adanya perbaikan dalam pengelolaan tambak mangrove secara partisipatif oleh pihak pesanggem untuk terwujudnya keberlanjutan ekologi dan sosial ekonomi masyarakat. 10 Analisis Pustaka Penelitian ini memberikan temuan baru yang berisi informasi bahwa penelitian yang dilakukan dengan variabel dan indikator yang sama dapat memberikan hasil yang berbeda. Penelitian ini memberikan hasil yang berbeda dengan penelitian sebelumnya karena perbedaan lokasi, metodologi, karakteristik sampel, aktor yang berperan, dan model pengelolaan sumberdaya yang bersifat top down dalam penelitian ini. Hal ini menyebabkan hipotesis penelitian ini tidak dapat dibuktikan. Peneliti telah menjelaskan metode penelitian yang digunakan dan karakteristik responden yang dipilih. Peneliti tidak menjelaskan alasan mengapa memilih lokasi tersebut untuk dilakukan penelitian. Tujuan penelitian ini telah dicapai oleh peneliti yaitu untuk mengetahui persepsi pesanggem mengenai hutan mangrove, partisipasi pesanggem dalam pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang parit, dan hubungan antara keduanya. 6. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Judul Buku Kota dan Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi) Alamat URL Tanggal diunduh : Nilai Ekonomi Total Hutan Mangrove Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur : 2014 : Jurnal : Elektronik : Ria Indrian Ariftia, Rommy Qurniati, dan Susni Herwanti : : : Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung, Bandar Lampung : Jurnal Sylva Lestari : Vol. 2 No. 3, September 2014 : http://jurnal.fp.unila.ac.id/index.php/JHT/article/view File/427/403 : 26 Maret 2015, pukul 21.13 WIB Ringkasan Pustaka Hutan mangrove di Desa Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur memiliki potensi baik secara fisik, ekonomi, dan ekologi. Potensi fisik yang dimiliki hutan mangrove adalah pencegah intrusi air laut, perluasan lahan ke arah laut, dan mencegah pencemaran air tambak. Potensi ekologi hutan mangrove adalah sebagai tempat pemijahan, daerah asuhan, dan daerah mencari makan bagi biota laut. Potensi ekonomi hutan mangrove berupa hasil hutan, baik kayu maupun bukan kayu yang dapat meningkatkan kondisi ekonomi masyarakat. Akan tetapi, masyarakat hanya menilai hutan mangrove dari segi ekonomi saja tanpa memperhitungkan nilai produk dan jasa lingkungan hutan mangrove, sehingga perlu menghitung nilai ekonomi total potensi hutan mangrove. Nilai ekonomi total dapat diperoleh dengan menjumlahkan nilai guna langsung, nilai guna tidak langsung, nilai pilihan, dan nilai keberadaan hutan mangrove yang kemudian dirupiahkan agar dapat dilihat dengan pasti nilai ekonominya. Berdasarkan hasil penelitian, bentuk pemanfaatan langsung hutan mangrove di Desa Margasari berupa pemanfaatan rajungan, udang, kepiting, daun jeruju, buah pidada, kayu bakar, dan ekowisata. Bentuk pemanfaatan tidak langsung dari hutan mangrove di desa ini adalah jasa lingkungan hutan yaitu sebagai daerah mencari makan bagi biota laut, penghalang intrusi laut, dan pembentukkan darat baru yang menjorok ke laut. Potensi yang dimiliki oleh hutan mangrove adalah pengembangan ekowisata, seperti fasilitas perahu, pengamatan flora dan fauna, serta pemandangan matahari terbit 11 dan terbenam. Ada pula pemanfaatan daun nipah sebagai sumber pendapatan tambahan bagi masyarakat sekitar. Hasil penelitian menunjukkan nilai guna langsung hutan mangrove bagi masyarakat Desa Margasari yaitu pemanfaatan rajungan, udang, kepiting, daun jeruju sebagai bahan dasar membuat kerupuk, buah pidada sebagai bahan dasar membuat sirup, daun nipah sebagai atap rumah (woka), kayu bakar, dan ekowisata. Nilai guna tidak langsung merupakan nilai yang tidak dapat langsung dirasakan manfaatnya. Nilai guna tidak langsung hutan mangrove dapat berupa penyedia pakan alami biota laut, sebagai penghalang intrusi air laut yang dapat dinilai dengan biaya yang dikeluarkan untuk membuat tanggul pantai, dan sebagai perluasan lahan ke arah laut diestimasi dengan menggunakan harga pasar terkini. Nilai pilihan adalah nilai potensial yang dapat dimanfaatkan untuk masa mendatang. Nilai pilihan hutan mangrove diperoleh dengan menggunakan nilai keanekaragaman hayati. Nilai keberadaan hutan mangrove merupakan nilai kepedulian seseorang akan keberadaan hutan mangrove. Perhitungan nilai ekonomi total hutan mangrove membuktikan bahwa hutan mangrove memiliki nilai jasa dan lingkungan yang sangat tinggi sehingga masyarakat tidak dapat mengabaikan nilai ekologis dan ekonomi hutan mangrove yang selama ini dianggap tidak memiliki nilai pasar. Analisis Pustaka Peneliti tidak menjelaskan alasan memilih lokasi penelitian tersebut. Peneliti telah menjelaskan metode penelitian yang digunakan dan pemilihan responden yang diwawancara. Hasil penelitian ini bermanfaat bagi banyak pihak karena dengan menghitung nilai ekonomi total hutan mangrove, masyarakat lebih mengetahui manfaat ekologis dan ekonomi mangrove secara lebih rinci. Mayarakat juga tidak dapat mengabaikan potensi yang dimiliki hutan mangrove karena setelah dibuat perhitungannya ke dalam nilai rupiah, hutan mangrove ini sangat potensial dan memiliki nilai pasar. Walaupun demikian, peneliti kurang menjelaskan perhitungan nilai keberadaan hutan mangrove sehingga penjelasan mengenai kepedulian seseorang terhadap sumberdaya hutan mangrove masih sangat kurang. 7. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Judul Buku Kota dan Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi) Alamat URL Tanggal diunduh : Valuasi Total Ekonomi Hutan Mangrove di Kawasan Delta Mahakam Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur : 2014 : Jurnal : Elektronik : Yuyun Wahyuni, Eka Intan Kumala Putri, dan Sahat MH Simanjuntak : : : Program Studi Pascasarjana Ekonomi Sumber Daya Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor : Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea : Vol. 3 No.1, April 2014 : http://jurnal.balithutmakassar.org/index.php/wallacea /article/viewFile/29/32 : 26 Maret 2015, pukul 20.00 WIB 12 Ringkasan Pustaka Hutan mangrove di kawasan Delta Mahakam, Kabupaten Kutai Kartanegara mengalami penurunan luasan dan mengalami kerusakan. Kerusakan dan penurunan luas hutan mangrove ini terjadi setiap tahunnya walaupun telah ditetapkan aturan untuk menjaga kelestarian hutan. Hal ini menyebabkan terganggunya fungsi hutan dan berdampak pada sumber mata pencaharian yang mengakibatkan penurunan pendapatan masyarakat sekitarnya. Pemanfaatan hutan mangrove sekarang ini masih belum optimal dan lestari. Usaha pemanfaatan hutan mangrove seharusnya menghitung manfaat dan biaya dari kegiatan usaha, termasuk menghitung nilai ekonomi sumberdaya hutan mangrove. Usaha pemanfaatan hutan mangrove ini menimbulkan permasalahan, diantaranya adalah luasan hutan mangrove yang semakin berkurang setiap tahunnya, terjadi kerusakan mangrove akibat eksploitasi secara berlebihan oleh masyarakat sekitar, dan terjadi konversi lahan hutan mangrove menjadi lahan tambak dan pemukiman. Melihat permasalahan yang terjadi, hutan mangrove ini perlu dipertahankan kelestariannya karena nilai ekonomi hutan mangrove yang sangat tinggi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kerusakan dan penurunan luas hutan mangrove mengakibatkan menurunnya fungsi hutan mangrove di kawasan Delta Mahakam. Penurunan fungsi tersebut meliputi fungsi hutan mangrove sebagai penahan abrasi, sehingga masyarakat sekitar harus lebih waspada terhadap ancaman abrasi yang dapat menghancurkan tempat tinggalnya. Penurunan fungsi lainnya adalah fungsi mangrove sebagai lapangan pekerjaan semakin menurun dan menyebabkan berkurangnya jumlah hasil tangkapan para nelayan dan menurunkan jumlah produksi ikan yang dihasilkan para petambak. Hewan bekantan sebagai hewan endemik yang menghuni hutan mangrove pun semakin terancam. Nilai ekonomi total hutan mangrove kawasan Delta Mahakam diperoleh dari penjumlahan nilai guna dan nilai non guna. Nilai guna terdiri dari nilai guna langsung yang dihitung dari nilai kayu, buah, ikan, udang, dan kepiting, nilai guna tak langsung yang dihitung dari nilai penahan abrasi, spawning, nursery dan feeding ground, serta nilai pilihan yang dihitung adalah nilai sewa rumah, sewa tambak, dan nilai rekreasi. Nilai non guna diperoleh dari perhitungan nilai keberadaan dan nilai warisan. Dengan demikian nilai ekonomi total yang telah dihitung tergolong sangat besar dibandingkan dengan hutan mangrove di Taman Nasional Kepulauan Seribu, Jakarta. Faktor-faktor yang memengaruhi manfaat ekonomi hutan mangrove agar tetap lestari adalah nilai rekreasi, nilai keberadaan hutan mangrove, dan nilai keberadaan bekantan sebagai hewan endemik penghuni hutan mangrove. Analisis Pustaka Temuan dalam penelitian ini mampu memberikan informasi baru mengenai manfaat ekonomi hutan mangrove agar tetap lestari, salah satunya adalah keberadaan spesies bekantan sebagai hewan endemik dan hutan mangrove sebagai tempat untuk berekreasi. Judul penelitian ini sudah relevan dengan temuan yang diperoleh yaitu valuasi total ekonomi hutan mangrove di kawasan Delta Mahakam yang diperoleh dengan melihat nilai guna dan nilai non guna. Pemilihan lokasi penelitian ini tidak disertai alasannya. Peneliti telah menjelaskan secara rinci metode penelitian yang digunakan, responden yang dipilih, teknik pemilihan responden, dan teknik analisis data. 13 8. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Judul Buku Kota dan Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi) Alamat URL Tanggal diunduh : Kondisi dan Manfaat Langsung Ekosistem Hutan Mangrove Desa Penunggul Kecamatan Nguling Kabupaten Pasuruan : 2012 : Jurnal : Elektronik : Achmad Sofian, Nuddin Harahab, dan Marsoedi : : : Pascasarjana Universitas Brawijaya, Malang : El-Hayah : Vol. 2, No.2, Maret 2012 : http://ejournal.uin-malang.ac.id/index.php/bio/article/ view/2208 : 16 April 2015, pukul 20.15 WIB Ringkasan Pustaka Hutan mangrove merupakan ekosistem khas di wilayah pesisir dan mempunyai fungsi strategis, baik fungsi ekologi, sosial, maupun ekonomi bagi kehidupan masyarakat di sekitarnya. Hutan mangrove juga memiliki banyak fungsi, baik fungsi langsung mupun tidak langsung. Fungsi langsung dari hutan mangrove dapat langsung dirasakan oleh masyarakat sebagai sumber penghidupan ekonomi, seperti pemanfaatan kayu, ikan, kepiting, dan sebagainya. Manfaat tidak langsung pun dapat dirasakan berupa penahan abrasi dan tempat ikan bertelur. Fungsi hutan mangrove ini semakin lama semakin mengalami penurunan akibat berkurangnya luas hutan mangrove akibat meningkatnya aktivitas manusia dan konversi hutan mangrove menjadi tambak. Menurut Fauzi (2005), hal ini menyebabkan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh dua faktor utama yaitu kebutuhan ekonomi dan kegagalan kebijakan. Wilayah pesisir Desa Penunggul, Kecamatan Nguling merupakan kawasan mangrove yang mengalami konversi menjadi areal pertambakan, jarang sekali ditumbuhi tanaman, bahkan terjadi abrasi setiap tahunnya. Namun, pesisir Kecamatan Nguling, terutama Desa Penunggul, sekarang telah dipenuhi oleh hutan mangrove yang rimbun akibat gerakan konservasi yang dilakukan oleh masyarakat sekitar. Kecamatan Nguling merupakan wilayah yang mengalami peningkatan luasan hutan mangrove di Kabupaten Pasuruan dari 3,5 Ha di tahun 1985 meningkat menjadi 84,6 Ha di tahun 2005. Keberhasilan konservasi hutan mangrove di Kecamatan Nguling telah membawa manfaat pada kembalinya fungsi ekologi maupun ekonomi hutan mangrove. Hutan mangrove Desa Penunggul terlindung dari ombak karena adanya tanah timbul yang semakin menjorok ke laut dan hutannya pun rimbun, mendapatkan masukan air tawar dari sungai Laweyan, serta sedimentasi yang tinggi saat banjir lumpur dan terjadi pasang surut air laut. Luasan hutan mangrove di Desa Penunggul setelah penanaman (reboisasi) dengan dukungan masyarakat, pemerintah, dan pihak swasta, dapat diamati dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sekitar hutan mangrove. Hasil penelitian di Desa Penunggul, Kecamatan Nguling menunjukkan adanya pemanfaatan langsung berupa bibit mangrove, kegiatan perikanan yang menjadi sumber mata pencaharian masyarakat sekitar, dari penangkapan kerang, kepiting, dan rajungan, serta pemanfaatan untuk pendidikan dan pariwisata. Bibit mangrove dapat digunakan untuk usaha penyemaian dan penanaman mangrove sehingga bernilai ekonomi tinggi. Kegiatan perikanan di hutan mangrove yang awalnya dilakukan oleh masyarakat Desa Penunggul pun mampu menyumbangkan manfaat ekonomis, seperti penangkapan kepiting, kerang, dan rajungan. Hutan mangrove pun dapat bermanfaat dalam hal pendidikan dan pariwisata, seperti beberapa perguruan tinggi maupun sekolah 14 yang belajar dan melakukan riset di hutan mangrove. Kegiatan wisata pun dapat dilakukan di hutan mangrove dengan pembangunan fasilitas dan akses jalan menuju kawasan hutan mangrove. Walaupun demikian, pengunjung hutan mangrove ini masih sebatas masyarakat sekitar hutan, terutama remaja. Analisis Pustaka Temuan penelitian ini memberikan pengetahuan baru mengenai kondisi hutan mangrove pasca upaya konservasi atau reboisasi yang didukung oleh berbagai pihak, seperti masyarakat, pemerintah, dan swasta. Setelah melakukan penanaman mangove di Desa Penunggul, luasan hutan menjadi semakin bertambah dan memberikan manfaat ekonomis yang tinggi bagi masyarakat sekitar hutan mangrove. Tujuan penelitian ini sudah relevan dengan judul penelitian dan temuan penelitian yaitu untuk mengetahui kondisi hutan mangrove dan manfaat langsung dari hutan mangrove di Desa Penunggul. Akan tetapi, informasi dalam penelitian ini hanya sebatas di permukaan dan tidak mendapatkan informasi secara detail dan mendalam, seperti manfaat langsung dari hutan mangrove yang tidak dijelaskan secara lengkap. Pendekatan penelitian sudah jelas yaitu menggunakan pendekatan kuantitatif dan mengumpulkan data melalui pengamatan langsung, wawancara dengan masyarakat dan pemerintah desa, serta dengan studi pustaka. Namun, pendekatan ini tidak dijelaskan dalam metode penelitian dan hanya dicantumkan pada abstrak saja. 9. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Judul Buku Kota dan Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi) Alamat URL Tanggal diunduh : Pemanfaatan Langsung Ekosistem Mangrove di Jawa Tengah dan Penggunaan Lahan di Sekitarnya; Kerusakan dan Upaya Restorasinya : 2006 : Jurnal : Elektronik : Ahmad Dwi Setyawan dan Kusumo Winarno : : : Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Biodiversitas, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM), Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta : Biodiversitas : Vol. 7, No. 3 : http://biodiversitas.mipa.uns.ac.id/D/D0703/D070318. pdf : 17 April 2015, pukul 22.10 WIB Ringkasan Pustaka Ekosistem mangrove memilik peranan dalam aspek ekologi, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya bagi kehidupan sekitar hutan. Peranan ekologi hutan mangrove yaitu sebagai tempat sekuestrasi karbon, remediasi bahan pencemar, menjaga stabilitas pantai dari abrasi, intrusi air laut dan gelombang badai, menjaga kealamian habitat, menjadi tempat bersarang, pemijahan, dan pembesaran berbagai jenis ikan, udang, kerang, burung, dan fauna lain, serta sebagai pembentuk daratan. Peranan sosial-ekonomi hutan mangrove meliputi pemanfaatan untuk kayu bangunan, kayu bakar, kayu lapis, bubur kertas, tiang telepon, tiang pancang, bagan penangkap ikan, dermaga, bantalan kereta api, kayu untuk mebel dan kerajinan tangan, atap huma, tannin, bahan obat, gula, alkohol, asam asetat, protein hewani, madu, karbohidrat, dan bahan pewarna. Peranan sosial-budaya hutan mangrove yaitu sebagai areal konservasi, pendidikan, ekoturisme, 15 dan identitas budaya. Ketiga peranan hutan mangrove tersebut mengalami ancaman penurunan fungsi akibat menurunnya kuantitas dan kualitas hutan mangrove akibat kegiatan manusia, seperti pembukaan lahan tambak, penebangan hutan, dan pencemaran lingkungan. Reklamasi dan sedimentasi, penambangan, dan faktor alam pun turut memengaruhi kelestarian hutan mangrove. Maka dari itu, restorasi hutan mangrove perlu dilakukan karena tingginya nilai ekonomis hutan mangrove. Ekosistem hutan mangrove di Jawa Tengah memiliki bentuk yang beragam. Terdapat perbedaan ekosistem mangrove di pantai utara dan pantai selatan Laut Jawa, sehingga vegetasi dan karakteristik mangrove pun berbeda-beda. Di pantai selatan Jawa, hutan mangrove tidak terlalu berperan penting karena luas ekosistem mangrove yang terbatas, berbeda dengan pantai utara Jawa yang memiliki ekosistem mangrove yang luas. Hasil penelitian hutan mangrove yang dilakukan di pantai utara dan selatan Pulau Jawa ini memberikan beberapa temuan, antara lain jenis-jenis pemanfaatan langsung ekosistem mangrove, jenis-jenis penggunaan lahan di sekitar ekosistem mangrove, serta kerusakan dan upaya restorasi ekosistem mangrove di pantai utara dan pantai selatan Jawa Tengah. Pemanfaatan langsung dalam ekosistem mangrove di Jawa Tengah yaitu mencakup perikanan, kayu, bahan pangan sebagai sumber protein hewani, bahan obat dari kandungan bioaktif tumbuhan mangrove (meliputi anti-helmintik, anti mikrobia, nati virus, anti jamur, kanker, tumor, diare, pendarahan, analgesik, inflamasi, disinfektas, serta anti oksidan dan astringen) , bahan pakan ternak, bahan baku industri (berasal dari hidupan liar setempat maupun bahan galian C), pariwisata dan pendidikan. Lahan di sekitar ekosistem mangrove pun dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar atau pihak-pihak lainnya. Penggunaan lahan di sekitar ekosistem mangrove dalam penelitian ini meliputi pertambakan (udang, ikan, garam), pertanian (sawah, tegalan, ladang penggembalaan/ pastoral), pemukiman (rural, urban), pelabuhan (besar, kecil atau dermaga ikan, dan tempat pelelangan ikan), jalan negara dan propinsi, serta kawasan industri. Lahan di sekitar ekosistem mangrove paling banyak digunakan untuk pertambakkan, baik di pantai utara maupun selatan. Penggunaan lahan tambak inilah yang menyumbang kerusakan paling besar pada ekosistem hutan mangrove. Beberapa aktivitas manusia terhadap kawasan hutan mangrove berpengaruh pada kehidupan mangrove secara luas, seperti aktivitas konversi mangrove menjadi tambak, penebangan pohon secara berlebihan, sedimnetasi, dan pencemaran lingkungan. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan mengenai nilai dan manfaat yang dapat diperoleh dari hutan mangrove. Penurunan fungsi hutan mangrove akibat aktivitas manusia ini menimbulkan kesadaran bagi masyarakat untuk melakukan upaya restorasi terhadap hutan mangrove. Upaya restorasi mangrove di pantai selatan Jawa lebih terbatas dibandingkan dengan di pantai utara akibat terbatasnya luas mangrove. Upaya restorasi dilakukan dengan menghadirkan (penanaman) bibit-bibit mangrove mayor, seperti Rhizopora, Sonneratia, dan Avicennia yang dilakukan oleh masyarakat setempat, pemerintah, LSM, perhutani, dan perguruan tinggi. Upaya restorasi ini cukup berhasil di beberapa wilayah, namun mengalami kegagalan di wilayah lainnya akibat kesalahan pemilihan bibit dan tidak adanya pemeliharaan yang baik. Analisis Pustaka Temuan dalam penelitian ini memberikan informasi baru yang sangat jelas dan terperinci karena peneliti memaparkan hasil penelitiannya berupa penjabaran manfaat langsung mangrove bagi kehidupan sekitarnya. Mangrove juga dapat digunakan sebagai bahan obat, bahan pangan, dan bahan baku industri. Tujuan penelitian ini pun sudah sesuai dengan hasil temuan dalam penelitian ini yaitu mengetahui jenis-jenis pemanfaatan langsung di dalam ekosistem hutan mangrove, jenis-jenis penggunaan lahan di sekitar ekosistem mangrove, serta kerusakan dan upaya restorasi ekosistem mangrove di pantai utara dan selatan Jawa Tengah. Temuan penelitian ini pun cukup 16 memberikan penjelasan mengenai kondisi mangrove di pantai utara maupun selatan Jawa, tetapi kurang terlihat perbandingan di antara keduanya. Penelitian ini tidak menjelaskan metode dan pendekatan penelitian yang digunakan , apakah kuantitatif atau kualitatif. 10. Judul : Strategi Nafkah Berkelanjutan bagi Rumah Tangga Miskin di Daerah Pesisir Tahun : 2011 Jenis Pustaka : Makara Bentuk Pustaka : Elektronik Nama Penulis : Slamet Widodo Nama Editor : Judul Buku : Kota dan Penerbit : Nama Jurnal : Sosial Humaniora Volume (edisi) : Vol. 15, No. 1 Alamat URL : http://journal.ui.ac.id/index.php/humanities/article/ viewFile/890/849 Tanggal diunduh : 30 April 2015, pukul 20.00 WIB Ringkasan Pustaka Kemiskinan merupakan permasalahan yang mengancam masyarakat Indonesia, begitu pula pada masyarakat di kawasan pesisir. Masyarakat pesisir banyak yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya laut dan pantai serta bergantung pada musim. Sebagian besar dari mereka bekerja sebagai nelayan kecil, buruh nelayan, pengolah ikan skala kecil, dan pedagang kecil. Para nelayan kecil hanya mampu memanfaatkan sumberdaya pesisir dengan hasil tangkapan yang terus menurun akibat persaingan dengan kapal besar dan penurunan kualitas sumberdaya pantai. Menurut Febrianto dan Rahardjo (2005), pola hubungan eksploitatif antara pemilik modal dengan buruh dan nelayan membuat masyarakat miskin di kawasan pesisir semakin sulit untuk keluar dari kondisi kemiskinan. Laut merupakan sumberdaya alam yang bersifat open access, artinya sumberdaya tersebut tidak jelas kepemilikannya dan dapat diakses oleh siapa pun. Sumberdaya yang terbuka ini menyebabkan adanya persaingan antar nelayan untuk memperoleh sumberdaya tersebut. Persaingan ini dapat menimbulkan konflik perebutan daerah penangkapan serta pendapatan rata-rata nelayan kecil semakin menurun akibat kesenjangan teknologi yang menyebabkan rendahnya penguasaan modal dan teknologi (Christy 1982). Maka dari itu, konsep mata pencaharian (livelihood) sangat diperlukan untuk memahami strategi nafkah. Strategi nafkah diperlukan mengingat banyaknya pilihan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Carner (1984) menjelaskan strategi nafkah yang dapat dilakukan rumahtangga pedesaan diantaranya: (1) melakukan beraneka ragam pekerjaan meskipun dengan upah yang rendah, (2) memanfaatkan ikatan kekerabatan serta pertukaran timbal balik dalam pemberian rasa aman dan perlindungan, dan (3) melakukan migrasi ke daerah lain. Hasil penelitian ini memberikan beberapa temuan yang terdapat di masyarakat nelayan Kwanyar Barat, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan. Nelayan Kwanyar Barat masih menggunakan cara tradisional untuk menangkap ikan. Hasil tangkapannya biasanya dijual langsung kepada pedagang lokal maupun dikonsumsi sendiri. Selain penangkapan ikan, usaha pengawetan ikan asin maupun pemindangan juga dilakukan oleh nelayan Kwanyar Barat. Faktor yang menyebabkan kemiskinan di masyarakat Kwanyar Barat adalah rendahnya pendapatan dan cenderung tidak menentu setiap saat. Hal ini menyebabkan sulitnya mengakses pendidikan dan kesehatan yang 17 layak. Akan tetapi, ikata kekerabatan yang terjalin pada masyarakat Kwanyar Barat sangatlah erat. Strategi nafkah yang diterapkan oleh rumahtangga nelayan miskin di Kwanyar Barat dibedakan menjadi dua macam, yaitu strategi ekonomi dan strategi sosial. Strategi ekonomi yang digunakan adalah dengan menerapkan pola nafkah ganda, optimalisasi tenaga kerja rumahtangga, dan migrasi. Pola nafkah ganda yang dilakukan adalah dengan melakukan jasa perbaikan perahu dan jaring serta menarik becak. Optimalisasi tenaga kerja rumahtangga dilakukan dengan mengerahkan seluruh anggota keluarga untuk memperoleh pendapatan. Kegiatan yang dilakukan adalah terlibatnya anggota keluarga yang merupakan laki-laki dewasa dalam penangkapan ikan, anak-anak membantu memilih ikan hasil tangkapan dan menarik perahu hingga memperbaiki jaring, sedangkan perempuan membantu menjual ikan hasil tangkapan. Sebagian besar masyarakat memilih strategi berupa migrasi ke kota-kota besar, biasanya dilakukan oleh pihak laki-laki. Berbeda dengan strategi ekonomi, strategi sosial yang dilakukan masyarakat Kwanyar Barat berupa pemanfaatan lembaga kesejahteraan lokal dan jejaring sosial, seperti kekerabatan, pertetanggaan, dan perkawanan. Upaya strategi nafkah berkelanjutan dilakukan oleh masyarakat Kwanyar Barat dengan dua cara, yaitu dengan adanya modal sosial dan peran perempuan. Strategi nafkah yang dilakukan masyarakat Kwanyar Barat erat kaitannya dengan pemanfaatan modal sosial. Kunci dalam modal sosial tersebut adalah adanya kepercayaan (trust). Kekuatan modal sosial dapat dimanfaatkan untuk memperoleh akses terhadap modal lainnya, seperti modal finansial, modal fisik, modal alam, dan modal manusia. Lembaga keuangan mikro perlu dibentuk untuk meningkatkan akses terhadap modal finansial. Lembaga ini akan berjalan dengan baik jika terdapat rasa saling percaya antar warga. Peran perempuan pun sangat penting dalam upaya strategi nafkah berkelanjutan. Pemanfaatan ikatan sosial antar penduduk perempuan perlu ditingkatkan sehingga berpeluang untuk akses terhadap modal finansial. Analisis Pustaka Temuan dalam penelitian ini dapat memberikan pengetahuan baru mengenai strategi nafkah yang dilakukan masyarakat miskin pesisir. Terdapat banyak alternatif pilihan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup, baik dengan melakukan strategi ekonomi maupun sosial. Judul penelitian ini tidak mencantumkan lokasi penelitian sehingga membuat pembacanya harus mencari terlebih dahulu pada bagian abstrak maupun metode penelitian. Metode penelitian sudah dicantumkan secara jelas, yaitu menggunakan metode kualitatif. Peneliti tidak menggunakan metode kuantitatif sehingga hasil dan pembahasan penelitian kurang mampu menjelaskan secara rinci strategi nafkah yang dilakukan dalam suatu variabel yang dapat diukur. 18 RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN Hutan Mangrove Ekosistem hutan mangrove merupakan suatu ekosistem perpaduan antara ekosistem lautan dan daratan dan berkembang terutama di daerah tropika dan sub tropika yaitu pada pantai-pantai yang landai, muara sungai, dan teluk yang terlindung dri hempasan gelombang air laut (Harahab 2010). Menurut Harahab (2010), hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, dan merupakan komunitas yang hidup di dalam kawasan yang lembap dan berlumpur serta dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove dapat disebut juga sebagai hutan pantai, hutan payau, atau hutan bakau. Lebih lanjut Harahab (2010) menjelaskan pengertian hutan mangrove sebagai hutan pantai adalah pohon-pohonan yang tumbuh di daerah pantai (pesisir), baik daerah yang dipengaruhi pasang surut air laut maupun wilayah daratan patai yang dipengaruhi oleh ekosistem pesisir. Berbeda dengan pengertian hutan mangrove sebagai hutan payau atau hutan bakau yaitu pohon-pohonan yang tumbuh di daerah payau pada tanah aluvial atau pertemuan air laut dan air tawar di sekitar muara sungai. Pada umumnya formasi tanaman didominasi oleh jenis-jenis tanaman bakau. Maka istilah bakau hanya digunakan untuk jenis-jenis tumbuhan dari genus Rhizophora, sedangkan istilah mangrove digunakan untuk segala tumbuhan yang hidup di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut. Soerianegara (1990) dalam Sara (2014) mendefinisikan hutan mangrove sebagai hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya terdapat di daerah teluk dan muara sungai yang dicirikan oleh: (1) tidak terpengaruh iklim; (2) dipengaruhi pasang surut; (3) tanah tergenang air laut; (4) tanah rendah pantai; (5) hutan tidak mempunyai struktur tajuk; (6)jenis-jenis pohonnya biasanya terdiri dari api-api (Avicenia sp.), pedada (Sonneratia sp.), bakau (Rhizophora sp.), lacang (Bruguiera sp.), nyirih (Xylocarpus sp.), dan Nipah (Nypa sp.). FAO (2003) dalam Kustanti (2011) juga menjelaskan mangrove sebagai vegetasi yang tumbuh di lingkungan estuaria pantai yang dapat ditemui di garis pantai tropika dan subtropika yang bisa memiliki fungsi-fungsi sosial ekonomi dan lingkungan. Studi estimasi luasan mangrove global terbaru yang dilakukan oleh FAO (2003) menunjukkan bahwa Indonesia memiliki luasan mangrove terbesar di dunia (22%), diikuti oleh Brazil, Nigeria, dan Australia yang masing-masing memiliki proporsi 6% dari luasan mangrove total global. Soerianegara (1990) dalam Sara (2014) mendefinisikan hutan mangrove sebagai hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya terdapat di daerah teluk dan muara sungai yang dicirikan oleh: (1) tidak terpengaruh iklim; (2) dipengaruhi pasang surut; (3) tanah tergenang air laut; (4) tanah rendah pantai; (5) hutan tidak mempunyai struktur tajuk; (6)jenis-jenis pohonnya biasanya terdiri dari api-api (Avicenia sp.), pedada (Sonneratia sp.), bakau (Rhizophora sp.), lacang (Bruguiera sp.), nyirih (Xylocarpus sp.), dan Nipah (Nypa sp.). Hutan mangrove mempunyai karakteristik yang unik dengan berbagai sistem perakaran maupun fungsi ekologi yang dikandungnya. Mangrove dapat tumbuh optimal di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur, sedangkan di wilayah pesisir yang tidak terdapat muara sungai, hutan mangrove pertumbuhannya tidak optimal. Mangrove tidak atau sulit tumbuh di wilayah pesisir yang terjal dan berombak besar dengan arus pasang surut kuat, karena kondisi ini tidak memungkinkan terjadi pengendapan lumpu, substrat yang diperlukan untuk pertumbuhan mangrove (Dahuri et al. 2001 dalam Harahab 2010). 19 Ekosistem mangrove di Jawa Tengah memiliki bentuk yang beragam. Pantai utara berbatasan dengan Laut Jawa yang hempasan gelombangnya relatif kecil. Sebaliknya pantai selatan berbatasan langsung dengan Laut Selatan (Samudera Hindia) yang kondisi gelombangnya sangat besar. Hal ini menyebabkan penampakan fisiografi dan fisiognomi vegetasi mangrove di kedua kawasan tersebut berbeda. Di pantai utara, sedimen dari sungai dan laut terendapkan pada lokasi-lokai tertentu yang terlindung dan membentuk tidal flat atau mud flat (dataran lumpur pasang surut). Di pantai selatan sedimen yang terbawa sungai dan laut mengendap di muara sungai membentuk tanggul dan gumuk pasir (sand dunes) yang menghambat masuknya air sungai ke laut, sehingga terbentuk laguna. Di pantai utara mangrove tidak hanya tumbuh di muara sungai, namun juga pada kawasan tidal flat, sedangkan di pantai selatan mangrove hanya tumbuh pada laguna di muara sungai, termasuk laguna Segara Anakan, Cilacap, kawasan mangrove terluas di Jawa (Steenis 1958; 1965 dalam Setyawan dan Winarno 2006). Bengen (2000) menjelaskan karakteristik hutan mangrove secara umum sebagai berikut: 1. Umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir. 2. Daerahnya tergenangi air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama . Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove. 3. Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat. 4. Terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Air bersalinitas payau (2-22 permil) hingga asin (mencapai 38 permil). Dalam struktur ekosistem mangrove terdis Fungsi Hutan Mangrove Sumberdaya yang terdapat di kawasan hutan mangrove, seperti vegetasi dan fauna, memiliki potensi yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial, dan ekologi. Hutan mangrove memiliki fungsi, baik langsung maupun tidak langsung, bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya, terutama dalam hal ekonomi, sosial, budaya, serta ekologi. Berbagai fungsi hutan mangrove dijelaskan oleh beberapa sumber, seperti dijelaskan pada Tabel 1 berikut. 20 Tabel 1 Matriks Fungsi Hutan Mangrove Aspek fungsi Fungsi ekologis/ biologis Fungsi ekonomi Fungsi sosial Penjelasan fungsi mangrove Penyedia makanan bagi organisme yang tinggal di sekitar mangrove, seperti udang, kepiting, ikan, burung, dan mamalia (Kustanti 2011; Harahab 2010) Sebagai daerah mencari makan (feeding ground) bago organisme yang ada di dalamnya (Kustanti 2011; Harahab 2010) Sebagai tempat berkumpul dan tempat persembunyian (nursery ground atau daerah asuhan), terutama bagi anak udang, anak ikan, dan biota laut lainnya (Kustanti 2011; Harahab 2010) Sebagai tempat bagi proses pemijahan (spawning ground) biota laut yang ada di dalamnya (Kustanti 2011; Harahab 2010) Sebagai proteksi dari abrasi/ erosi, gelombang, atau angin kencang (Harahab 2010) Pengendalian intrusi air laut (Harahab 2010) Habitat berbagai jenis fauna, seperti burung bangau dan burungburung lainnya menempati lahan basah, buaya, dan tikus (Harahab 2010; Sara 2014) Pembangunan lahan melalui proses sedimentasi (Harahab 2010) Memelihara kualitas air (mereduksi polutan, pencemar air) (Harahab 2010) Penyerap CO2 dan penghasil O2 yang relatif tinggi dibandingkan tipe hutan lain (Harahab 2010) Penyambung ekologi darat dan laut, serta gejala alam yang ditimbulkan oleh perairan, seperti abrasi, gelombang, dan badai (Departemen Kelautan dan Perikanan 2009 dalam Rusdianti dan Sunito 2012) Menjaga garis pantai agar tetap stabil, mengolah bahan limbah, penghasil detritus, dan mengurangi resiko bahaya tsunami (Ujung Kulon Conservation Society 2010 dalam Rusdianti dan Sunito 2012) Sebagai tempat tinggal hewan endemik bekantan (Wahyuni et al. 2014) Pembangunan lokasi ekowisata mangrove dan hutan pendidikan untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat (Kustanti 2011) Hasil hutan mangrove - Hasil kayu (kayu konstruksi, tiang/ pancang, kayu bakar, arang, serpihan kayu untuk bubur kayu, kerajinan, bahan baku kertas) (Kustanti 2011; Harahab 2010) - Hasil non kayu (tannin, madu, alkohol, makanan, obatobatan, bahan makanan hewan ternak, buah untuk dimakan) (Kustanti 2011; Harahab 2010; Supriharyono 2000 dalam Saprudin dan Halidah 2012) Sumber mata pencaharian masyarakat sekitar dari pemanfaatan bibit mangrove, kerang, rajungan, kepiting, ikan, udang, daun jeruju, dan buah pidada (Ariftia et al. 2014) Areal pertambakan ikan/ udang dan tambak garam (Setyawan dan Winarno 2006) Areal perkebunan, dan tempat pembuatan garam (Ujung Kulon Conservation Society 2010 dalam Rusdianti dan Sunito 2012) Sebagai pemukiman penduduk dan peruntukan kemaslahatan manusia lainnya (Rusdianti dan Sunito 2012) 21 Konversi Hutan Mangrove Lestari (2009) mendefinisikan konversi lahan atau biasa disebut alih fungsi lahan sebagai perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Konversi dan pemanfaaatan hutan mangrove dengan cara menebang hutan dan mengalihkan fungsinya ke penggunaan lain akan membawa dampak yang sangat luas. Pengambilan hasil hutan dan konversi hutan mangrove dapat memberikan hasil kepada pendapatan masyarakat dan kesempatan meningkatkan kerja. Di pihak lain, terjadi penyusutan hutan mangrove, dimana pada gilirannya dapat mengganggu ekosistem perairan kawasan sekitarnya (Mayudin 2012). Tingkat kerusakan ekosistem mangrove dunia, termasuk Indonesia, sangat cepat dan dramatis. Ancaman utama kelestarian ekosistem mangrove adalah kegiatan konversi hutan mangrove yang dilakukan manusia, seperti pembuatan tambak (ikan dan garam), penebangan hutan, dan pencemaran lingkungan. Di samping itu terdapat pula ancaman lain seperti reklamasi dan sedimentasi, pertambangan dan sebab-sebab alam seperti badai (Setyawan dan Winarno 2006). 1. Faktor yang Memengaruhi Konversi Hutan Mangrove Masalah utama yang memengaruhi keberadaan hutan mangrove adalah kegiatan manusia yang mengkonversi daerah mangrove untuk pemukiman, usaha komersial, industri, dan pertanian. Selain itu permintaan kayu bakau (mangrove) untuk industri juga terus meningkat sehingga merangsang masyarakat untuk terus melakukan penebangan kayu mangrove (Sara 2014). Sofian et al. (2012) juga menjelaskan bahwa seiring dengan meningkatnya aktivitas masyarakat di wilayah pesisir dan kebutuhan yang diinginkan sangat tinggi menyebabkan hutan mangrove mengalami tekanan yang dapat mengancam keberadaan dan fungsinya. Kondisi tersebut pada akhirnya merugikan manusia dan alam karena terkait dengan berkurangnya fungsi-fungsi baik ekologis maupun ekonomi dan fungsi lainnya. Lebih lanjut Fauzi (2005) dalam Sofian et al. (2012) menjelaskan kerusakan lingkungan yang terjadi baik pada ekosistem laut maupun ekosistem lainnya memang banyak dipicu oleh berbagai faktor. Secara umum dua pemicu yang cukup dominan adalah kebutuhan ekonomi (economic driven) dan kegagalan kebijakan (policy failure driven). Setiawan (2010) dalam Rusdianti dan Sunito (2012) menjelaskan pandangannya mengenai faktor utama yang menjadi permasalahan dan penyebab terjadinya konversi mangrove antara lain adalah tekanan penduduk untuk kebutuhan ekonomi yang tinggi sehingga permintaan konversi mangrove juga semakin tinggi. Penduduk disini lebih mementingkan kebutuhannya sendiri-sendiri dibandingkan kepentingan ekologis dan kepedulian akan dampak lingkungan hidup. Lebih lanjut Rusdianti dan Sunito (2012) menjelaskan bahwa tambak dalam skala kecil tidak terlalu banyak memengaruhi ekosistem mangrove, tapi lain halnya bila dalam skala besar. Kondisi sosial ekonomi penduduk yang bermukim di daerah pesisir secara umum akan memengaruhi ekosistem mangrove. Konversi hutan mangrove menjadi areal tambak merupakan salah satu penyebab kerusakan hutan mangrove. Nontji (1987) dalam Soraya et al. (2012) juga menjelaskan bahwa sering ditemukan ekosistem mangrove yang mengalami kerusakan yang memprihatinkan. Kerusakan ini diakibatkan oleh semakin tingginya tingkat eksploitasi, lemahnya koordinasi dan sinkronisasi program antar sektor, lemahnya penegakkan hukum, serta rendahnya kesadaran masyarakat terhadap fungsi ekosistem mangrove. Akibatnya 22 peranan fungsi kawasan mangrove sebagai habitat biota laut dan perlindungan wilayah pesisir terganggu. Peningkatan jumlah penduduk dan kebutuhan ekonomi tak menutup kemungkinan bagi pembukaan lahan mangrove atau konversi hutan mangrove yang lebih besar untuk tambak. Salah satu pemanfaatan lahan yang mengalami perkembangan yang begitu pesat adalah usaha tambak budidaya ikan seperti udang. Majunya usaha tersebut salah satunya didorong oleh harga udang yang tinggi, sehingga penduduk berlomba-lomba memanfaatkan peluang tersebut. Padahal jumlah pengguna lahan semakin bertambah. Hal ini menyebabkan terganggunya kelestarian lahan yang dikonversi (Sofian 2003). 2. Dampak Konversi Hutan Mangrove Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan meningkatnya aktivitas masyarakat di wilayah pesisir serta peningkatan kebutuhan, kini hutan mangrove mengalami degradasi akibat perubahan fungsi atau konversi sehingga megancam keberadaan hutan mangrove tersebut. Hutan mangrove sering dialihfungsikan menjadi lahan pertanian, pertambakan, perkebunan, pemukiman, pertambangan, dan industri. Hal ini berdampak pada menurunnya kualitas dan kuantitas hutan mangrove sehingga menyebabkan menurunnya fungsi hutan mangrove tersebut, baik dalam aspek ekologi maupun ekonomi. Adapun dampak konversi hutan mangrove dapat dijelaskan pada Tabel 2 berikut. 23 Tabel 2 Dampak Konversi Hutan Mangrove Aspek Dampak Dampak Ekologis (fisik dan biologis) Dampak SosialEkonomi Penjelasan Mengancam regenerasi stok-stok ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan hutan (rawa) mangrove sebagai nursery ground larva dan/ atau stadium muda ikan dan udang (Berwick 1983 dalam Dahuri et al. 2001) Pencemaran laut oleh bahan-bahan pencemar yang sebelum hutan mangrove dikonversi dapat diikat oleh substrat hutan mangrove (Berwick 1983 dalam Dahuri et al. 2001) Pendangkalan perairan pantai karena pengendapan sedimen yang sebelum hutan mangrove dikonversi mengendap di hutan mangrove (Berwick 1983 dalam Dahuri et al. 2001) Intrusi garam melalui sluran-saluran alam yang bertahan keberadaannya atau melalui saluran-saluran buatan manusia yang bermuara di laut (Berwick 1983 dalam Dahuri et al. 2001) Erosi dan abrasi garis pantai yang sebelumnya ada mangrove (Berwick 1983 dalam Dahuri et al. 2001; (Rusdianti dan Sunito 2012) Penurunan keragaman, stabilitas, dan produktivitas biologis (berkaitan dengan aspek amunitas dan ketersediaan sumber penghasilan dari keberadaan hutan mangrove) (Jakaria 2000 dalam Rusdianti dan Sunito 2012) Keuntungan dan kerugian dan bentuk nilai uang - Keuntungan Konversi mangrove menjadi tambak sebagai kegiatan ekonomi baru membuat keadaan perekonomian penduduk lokal secara keseluruhan lebih baik dari sebelumnya. Konversi mangrove dapat membantu menaikkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan pemerintah desa (Rusdianti dan Sunito 2012) - Kerugian Biaya produksi yang cenderung lebih tinggi dalam membudidayakan ikan bandeng (Rusdianti dan Sunito 2012) Para pencari kerang dan kepiting yang kehilangan pendapatan karena keadaan mangrove yang rusak dan memengaruhi keberadaan biota air (Rusdianti dan Sunito 2012) Nelayan kecil yang mencari ikan dengan perahu sulit mendapatkan ikan dalam jarak melaut yang dekat atau sekitar laut bagian dangkal (Rusdianti dan Sunito 2012) Pemilik tambak dekat dengan bibir pantai mengalami kerugian karena keadaan tambak yang gersang tanpa mangrove membuat tanggul-tanggul tambak menjadi mudah longsor dan terkena abrasi (Rusdianti dan Sunito 2012) Konversi mangrove memengaruhi kondisi tanah yang cocok untuk budidaya udang windu, sehingga banyak petani tambak yang tidak bisa membudidayakan udang windu di tambak mereka (Rusdianti dan Sunito 2012) Karakteristik Masyarakat Pesisir Satria (2009) mendefinisikan masyarakat pesisir sebagai sekumpulan masyarakat yang hidup bersama dan mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumberdaya pesisir. 24 Secara sosiologis, karakteristik masyarakat pesisir berbeda dengan karakteristik masyarakat agraris seiring dengan perbedaan karakteristik sumberdaya yang dihadapi. Masyarakat pesisir atau nelayan menghadapi sumberdaya yang hingga saat ini masih bersifat open access. Karakteristik sumberdaya ini menyebabkan nelayan harus berpindah-pindah untuk memperoleh hasil maksimal. Dengan demikian, elemen resikonya menjadi sangat tinggi. Meski demikian, tidak sedikit nelayan yang merangkap sebagai petani. Hal ini karena ditunjang kondisi ekosistem yang memang memungkinkan seperti tersedianya areal lahan persawahan di sekitar pantai. Ada musim tertentu bagi nelayan untuk turun ke sawah. Ada pula musim ternetu bagi mereka untuk kembali melaut. Pekerjaan rangkap seperti itu merupakan bagian dari pola adaptasi masyarakat pesisir terhadap kondisi ekosistem yang mereka hadapi (Satria 2002). Satria (2002) menguraikan secara singkat karakteristik masyarakat pesisir sebagai representasi komunitas desa-pantai dan desa terisolasi, dari beberapa aspek berikut: 1. Sistem Pengetahuan Pengetahuan tentang teknik penangkapan ikan umumnya diperoleh secara turun temurun berdasarkan pengalaman empirik. Kuatnya pengetahuan lokal ini menjadi salah satu faktor penyebab terjaminnya kelangsungan hidup sebagai nelayan. Pengetahuan lokal (indigenous knowledge) tersebut merupakan kekayaan intelektual yang hingga kini terus dipertahankan. 2. Sistem Kepercayaan Secara teologi, nelayan masih memiliki kepercayaan yang kuat bahwa laut memiliki kekuatan khusus dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan agar keselamatan dan hasil tangkapan semakin terjamin. Namun seiring berjalannya waktu, berbagai tradisi dilangsungkan hanya sebagai salah satu instrumen stabilitas sosial dalam komunitas nelayan. 3. Peran Wanita Umumnya selain banyak bergelut dalam urusan domestik rumah tangga, istri nelayan tetap menjalankan aktivitas ekonomi dalam kegiatan penangkapan di perairan dangkal, pengolahan ikan, maupun kegiatan jasa dan perdagangan. Istri nelayan juga dominan dalam mengatur pengeluaran rumah tangga sehari-hari sehingga sudah sepatutnya peranan istri-istri nelayan tersebut menjadi salah satu pertimbangan dalam setiap program pemberdayaan. 4. Struktur Sosial Struktur yang terbentuk dalam hubungan produksi (termasuk pasar) pada usaha perikanan, perikanan tangkap maupun perikanan budidaya, umumnya dicirikan dengan kuatnya ikatan patron-klien. Kuatnya ikatan ini merupakan konsekuensi dari sifat kegiatan penangkapan ikan yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian. Pada perikanan budidaya, patron meminjamkan modal kepada para nelayan lokal untuk pembudidayaan ikan. Dengan konsekuensi, hasilnya harus dijual kepada patron dengan harga yang lebih murah. Ciri yang kedua adalah stratifikasi sosial. Bentuk stratifikasi masyarakat pesisir Indonesia sangat beragam. Seiring moderninasi akan terjadi diferensiasi sosial yang dilihat dari semakin bertambahnya jumlah posisi sosial atau jenis pekerjaan sekaligus terjadi pula perubahan stratifikasi karena sejumlah posisi sosial tersebut tidaklah bersifat horisontal, melainkan vertikal dan berjenjang berdasarkan ukuran ekonomi, prestise atau kekuasaan. 5. Posisi Sosial Nelayan Di kebanyakan masyarakat, nelayan memiliki status yang relatif rendah. Rendahnya posisi sosial nelayan ini merupakan akibat dari keterasingan nelayan sehingga masyarakat bukan nelayan tidak mengetahui lebih jauh cara hidup nelayan. Hal ini terjadi akibat sedikitnya waktu dan kesempatan nelayan untuk 25 berinteraksi dengan masyarakat lain karena alokasi waktu yang besar untuk kegiatan penangkapan ikan dibanding untuk bersosialisasi dengan masyarakat bukan nelayan yang memang secara geografis relatif jauh dari pantai. Secara politis posisi nelayan kecil terus dalam posisi dependen dan marjinal akibat dari faktor kapital yang dimilikinya sangatlah terbatas. Strategi Nafkah Rumahtangga Nafkah merupakan konsep yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan rumahtangga yang diupayakan dengan melakukan pekerjaan atau mata pencarian. Konsep mata pencarian (livelihood) sangat penting dalam memahami coping strategis karena merupakan bagian dari atau bahkan kadang-kadang dianggap samadengan strategi mata pencarian (livelihood strategies). Suatu mata pencarian meliputi pendapatan (baik yang bersifat tunai maupun barang), lembaga-lembaga sosial, relasi gender, hak-hak kepemilikan yang diperlukan guna mendukung dan menjamin kehidupan (Ellis 2000 dalam Widodo 2011). Ellis (2000) dalam Purnomo (2006) menggambarkan bahwa strategi nafkah dapat dilakukan dalam konteks krisis. Strategi nafkah yang dilakukan dalam kondisi krisis berbeda dengan strategi nafkah yang dilakukan dalam keadaan biasa (normal). Menurut de Haan dalam Purnomo (2006), jika keberlanjutan nafkah terancam, rumahtangga akan melakukan strategi coping (coping strategy). Coping strategy merupakan strategi nafkah yang dilakukan dalam keadaan sulit. Coping strategy dilakukan dengan mengubah strategi nafkah yang biasa dilakukan dengan strategi nafkah yang baru. Strategi nafkah yang baru dilakukan dengan menggunakan sumbersumber nafkah rumahtangga. Strategi nafkah yang baru dapat bersifat sementara atau dilakukan seterusnya. Menurut Scoones (1998) dalam Iqbal (2004), terdapat empat sumber yang dibutuhkan dalam ekonomi rumah tangga, agar strategi nafkah bisa dioperasionalkan, yaitu: 1. Ketersediaan modal alam dalam bentuk sumber-sumber alam 2. Modal ekonomi atau keuangan 3. Ketersediaan sumberdaya manusia dalam bentuk pendidikan, keahlian dan pengetahuan 4. Ketersediaan modal sosial (dan politik) dalam bentuk hubungan dan jaringan kerja. Berbagai macam klasifikasi strategi nafkah disebutkan oleh beberapa sumber, seperti dijelaskan pada Tabel 3. 26 Tabel 3 Klasifikasi Strategi Nafkah Rumahtangga Sumber Carner (1984) dalam Widodo (2011) Widodo (2011) Dharmawan (2001) dalam Iqbal (2004) White (1990) Klasifikasi Strategi Penjelasan Nafkah Melakukan beraneka Rumahtangga melakukan lebih dari satu ragam pekerjaan pekerjaan walaupun dengan upah yang meskipun dengan rendah, sehingga pendapatan tidak upah yang rendah bergantung pada satu pekerjaan saja Memanfaatkan Rumahtangga memanfaatkan ikatan ikatan kekerabatan kekerabatan dan pertukaran timbal balik dalam pemberian rasa aman dan perlindungan Migrasi Anggota rumahtangga melakukan migrasi ke daerah lain biasanya migrasi desa-kota sebagai alternatif terakhir apabila sudah tidak terdapat lagi pilihan sumber nafkah di desanya. Strategi ekonomi Strategi ekonomi yang digunakan berupa pola nafkah ganda, optimalisasi tenaga kerja rumah tangga dan migrasi Strategi sosial Strategi sosial berupa pemanfaatan lembaga kesejahteraan lokal dan jejaring sosial Strategi nafkah Strategi dalam kategori tindakan positif normatif dengan basis kegiatan sosial-ekonomi, misalnya kegiatan produksi, migrasi, strategi substitusi dan sebagainya. Kategori ini juga disebut peaceful ways, karena sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Strategi nafkah Strategi dalam kategori negatif, dengan ilegal tindakan-tindakan yang melanggar hukum. Seperi merampok, mencuri, melacur, korupsi dan sebagainya. Kategori ini disebut non-peaceful ways, karena cara yang ditempuh umumnya dengan melakukan tekanan fisik dan tekanan. Strategi akumulasi Rumahtangga memperoleh surplus; hasil pertanian/ produksi/ penangkapannya mampu diinvestasikan kembali baik pada sektor pertanian maupun non pertanian, dengan imbalan penghasilan yang relatif tinggi pula Strategi konsolidasi Rumahtangga hanya mampu memenuhi kebutuhan subsisten; Mereka biasanya bekerja pada sektor non pertanian dalam upaya melindungi diri dari ancaman atau memberikan sumber pendapatan yang berkelanjutan mengingat usaha pertanian/ perikanan tangkap bersifat musiman Strategi bertahan Rumahtangga yang penghasilannya tidak hidup (survival dapat mencukupi kebutuhan dasar; strategy) Rumahtangga ini akan mengalokasikan sebagian dari tenaga kerja mereka-tanpa modal, dengan imbalan yang rendah ke dalam kegiatan non pertanian/ perikanan tangkap 27 Dampak Konversi Hutan Mangrove terhadap Strategi Nafkah Rumahtangga Nelayan Berbagai alternatif pengelolaan dapat dilakukan terhadap hutan mangrove yang ada. Masyarakat lokal misalnya, mereka mengkonversi dan memanfaatkan lahan mangrove sesuai dengan kebutuhan hidup, kemampuan mereka dan pandangan mereka atau persepsi tentang hutan mangrove. Dengan berbagai bentuk pemanfaatan yang ada, menyebabkan terjadinya perbedaan dalam perolehan pendapatan dari usaha mengelola hutan mangrove tersebut. Pola pemanfaatan yang dilakukan dalam usaha mencukupi kebutuhan hidup sesuai kemampuan yang masyarakat miliki belum tentu benar dengan apa yang seharusnya dilakukan. Hal tersebut dikarenakan masih terdapat aktor-aktor yang melakukan kesalahan-kesalahan dalam memanfaatkan ekosistem mangrove, seperti mengeksploitasi lahan hutan mangrove dan mengkonversinya menjadi tambak, pemukiman, lahan pertanian, lahan perkebunan, industri dan/atau lainnya dalam skala besar tanpa memikirkan keberlanjutan ekosistem pesisir itu serdiri. Berbagai aktivitas manusia tersebut menyebabkan penurunan luas hutan mangrove dan berakibat juga pada penurunan fungsi dan manfaat mangrove bagi penduduk dan lingkungan sekitarnya (Rusdianti dan Sunito 2012). Rusdianti dan Sunito (2012) juga menjelaskan dampak dari adanya konversi hutan mangrove sangat dirasakan oleh masyarakat lokal yang menggantungkan perekonomiannya pada hutan mangrove. Konversi mangrove dalam skala besar telah banyak mempengaruhi kondisi tanah yang cocok untuk budidaya udang windu. Selain itu, kerugian pun dialami oleh pemilik tambak dekat dengan bibir pantai, yaitu keadaan tambak yang gersang tanpa mangrove membuat tanggul-tanggul tambak menjadi mudah longsor dan terkena abrasi. Kerugian juga tidak hanya dirasakan oleh penduduk yang memiliki tambak, namun penduduk non petambak pun seperti pencari kerang dan nelayan kecil merasakan dampak yang diakibatkan konversi lahan dalam skala besar. Keberadaan biota air payau seperti kerang, kepiting dan lainnya tidak akan mampu bertahan dan berkembang biak dalam keadaan mangrove yang rusak. Kerugian yang dirasakan nelayan kecil yang mencari ikan dengan perahu adalah hasil tangkap dan jarak melaut. Sulitnya mendapatkan ikan dalam jarak melaut yang dekat atau sekitar laut bagian dangkal membuat mereka harus menempuh jarak melaut yang sedikit lebih jauh ke arah tengah laut untuk mendapatkan hasil tangkap yang lebih banyak. Hal ini tentu saja berpengaruh pada penghasilan penduduk yang memiliki tambak maupun tidak serta nelayan kecil. Oleh karena itu, penduduk lokal harus mampu beradaptasi dengan kondisi mangrove yang telah dikonversi dan terbentuknya lahan timbul. Perlu adanya upaya yang dilakukan oleh penduduk lokal yang menggantungkan hidupnya pada hutan mangrove. Penduduk lokal perlu melakukan rehabilitasi serta mencari alternatif mata pencaharian lain untuk memperoleh pendapatan sehingga kelangsungan hidup rumahtangganya dapat berjalan dengan baik. Setiap rumahtangga melakukan strategi yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, yaitu strategi nafkah. Sebagian besar masyarakat melakukan strategi nafkah ganda atau dengan melakukan lebih dari satu pekerjaan. Masyarakat yang semula hanya menjadi nelayan kecil atau petani tambak, menambah sumber nafkahnya dengan melakukan pekerjaan di bidang pertanian dan budidaya perikanan. Hal ini disebabkan masyarakat cenderung melihat peluang adanya tanah timbul. Hal tersebut kemudian menjadi dasar seseorang untuk mengelola lahan tersebut dengan kegiatan pertanian agar mendapatkan keuntungan yang optimal dari kepenguasaannya atas lahan tersebut. Situasi ini kemudian menjadi faktor pendorong berkembangnya aktivitas perekonomian dimasyarakat. Selain bekerja di sektor perikanan, saat ini masyarakat juga banyak terlibat pada sektor pertanian. Kegiatan ini 28 pada dasarnya memanfaatkan lahan-lahan timbul yang ditumbuhi oleh semak dan mangrove untuk ”dibuka” agar menjadi sumber-sumber pendapatan baru masyarakat. Meski awalnya masyarakat tidak memiliki wawasan dalam bidang ini, namun seiring dengan waktu mereka mampu belajar khususnya dari para pendatang yang mengadu nasib untuk dapat memiliki lahan pertanian secara cuma-cuma. Selain kegiatan pertanian, perubahan lingkungan juga mendorong berkembangnya kegiatan budidaya perikanan. Banyak masyarakat yang beruji coba untuk membudidayakan udang, ikan bandeng dan juga kepiting. Namun demikian, hasil dari kegiatan budidaya tampaknya masih kurang menjanjikan (Ramadhan dan Hafsaridewi 2012). Diantara masyarakat nelayan yang memiliki sumber pendapatan tambahan, sebanyak tiga per empatnya merupakan masyarakat yang merangkap sebagai petani dan memiliki lahan pertanian aktif. Kondisi ini menunjukkan bahwa kegiatan pertanian yang berasal dari pemanfaatan lahan timbul, memberikan hasil yang nyata bagi masyarakat nelayan. Namun sayangnya, tidak semua nelayan memiliki lahan pertanian untuk digarap. Bagi sebagian masyarakat nelayan, membuka lahan-lahan kosong menyita waktu dan tenaga yang cukup banyak. Selain itu mereka merasa tidak terbiasa dengan kegiatan pertanian, sehingga menurunkan minat dalam membuka lahan. Ada pula mereka yang memiliki lahan, akan tetapi lahannya terendam oleh air sehingga tidak lagi dapat digunakan untuk kegiatan pertanian. Sebagian lainnya sudah menjual lahan-lahan yang telah dibuka kepada para pendatang karena merasa tidak sabar dengan usaha pertanian yang membutuhkan waktu relatif lama. Penjualan lahan juga dilakukan seiring dengan desakan kebutuhan keluarga baik pada saat kebutuhan insidental seperti nikahan atau pada saat musim paceklik (Ramadhan dan Hafsaridewi 2012). Selain itu, ada pula rumahtangga yang mengoptimalkan tenaga kerja rumahtangga, yaitu semua anggota keluarga melakukan pekerjaan untuk memperoleh pendapatan. Sang istri dapat berjualan di pasar atau mengolah ikan dan anak-anaknya membantu ibunya berjualan. Migrasi juga sering menjadi pilihan yang dipilih oleh sebagian besar masyarakat, khususnya untuk laki-laki dewasa. Laki-laki yang dianggap sudah mampu pergi merantau akan mencari pekerjaan di perkotaan, baik menjadi pegawai, buruh, pedagang, dan sebagainya. Dengan demikian, masyarakat memiliki banyak alternatif pilihan untuk mempertahankan kondisi ekonomi dan kesejahteraannya. 29 SIMPULAN Hasil Rangkuman dan Pembahasan Berdasarkan pemaparan pada bagian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa konversi hutan mangrove memiliki dampak, baik positif maupun negatif, terhadap kondisi ekologis, ekonomi, maupun sosial rumahtangga nelayan. Hutan mangrove didefinisikan sebagai komunitas vegetasi pantai tropis dan merupakn komunitas yang hidup di dalam kawasan yang lembap dan berlumpur serta dipengaruhi oleh pasang surut air laut yang bisa memiliki fungsi-fungsi sosial, ekonomi, dan lingkungan. Hutan mangrove memiliki banyak fungsi dari aspek ekologis/ biologis, ekonomi, dan sosial. Fungsi ekologis hutan mangrove yaitu sebagai daerah mencari makan (feeding ground),tempat berkumpul dan tempat persembunyian (nursery ground), serta tempat bagi proses pemijahan (spawning ground) biota laut di dalamnya. Hutan mangrove juga mampu menahan abrasi , gelombang, dan intrusi air laut. Fungsi ekonomi hutan mangrove yaitu sebagai sumber mata pencaharian masyarakat sekitar karena keanekaragaman hayati di dalamnya yang dapat dimanfaatkan, sedangkan fungsi sosialnya yaitu sebagai pemukiman penduduk. Seiring dengan peningkatan kebutuhan dan aktivitas manusia, hutan mangrove mengalami degradasi akibat konversi lahan. Hutan mangrove dikonversi atau dialihfungsikan menjadi lahan pertambakan, pemukiman, industri, lahan pertanian, perkebunan, pembangunan infrastruktur, dan sebagainya. Faktor yang memengaruhi terjadinya konversi hutan mangrove antara lain karena peningkatan jumlah penduduk, peningkatan aktivitas dan kebutuhan manusia terutama kebutuhan ekonomi, serta kegagalan kebijakan. Konversi hutan mangrove yang dilakukan secara besar-besaran dapat memberikan dampak bagi kondisi ekonomi maupun ekologis. Dampak ekonomi konversi hutan mangrove bagi masyarakat sekitar hutan mangrove adalah terjadinya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat shingga kondisi perekonomian masyarakat sekitar menjadi lebih baik. Hal ini disebabkan pemanfaatan lahan mangrove menjadi lahan pertambakan mempunyai nilai ekonomi yang lebih tingg dan menguntungkan. Di sisi lain, nelayan atau masyarakat pesisir yang tidak memiliki tambak cenderung mengalami kerugian dan kehilangan pendapatan karena keadaan mangrove yang rusak dan semakin berkurang sehingga biota laut seperti kepiting, udang, dan kerang sebagai hasil perikanan tangkap menjadi berkurang atau bahkan hilang. Konversi hutan mangrove skala besar juga memberikan pengaruh terhadap biaya produksi yang leih tinggi dalam membudidayakan ikan. Dampak ekologis konversi hutan mangrove yaitu mengancam regenerasi biota laut yang hidup di hutan (rawa) mangrove, pencemaran laut, pendangkalan perairan pantai, intrusi air laut, dan abrasi yang terus menggerus pantai dan dapat menyebabkan banjir. Kondisi hutan mangrove yang semakin terdegradasi secara langsung memengaruhi kondisi ekonomi nelayan. Nelayan menghadapi sumberdaya yang bersifat open access sehingga nelayan harus berpindah-pindah untuk memperoleh hasil maksimal. Nelayan juga seringkali melakukan pekerjaan rangkap untuk dapat memperoleh pendapatan maksimal. Begitu pula dengan nelayan yang memanfaatkan sumberdaya di kawasan hutan mangrove sebagai sumber nafkah. Strategi nafkah dapat dilakukan dalam kondisi krisis. Jika keberlanjutan nafkah terancam, rumahtangga akan melakukan strategi coping (coping strategy) untuk dapat mempertahankan kondisi ekonomi serta kesejahteraan rumahtangganya. Strategi yang dapat dilakukan oleh rumahtangga pedesaan, antara lain melakukan beraneka ragam pekerjaan meskipun dengan upah yang rendah, memanfaatkan ikatan kekerabatan serta pertukaran timbal balik dalam pemberian rasaaman dan perlindungan, serta melakukan migrasi ke daerah 30 lain. Strategi ekonomi yang digunakan berupa pola nafkah ganda, optimalisasi tenaga kerja rumah tangga dan migrasi, sedangkan strategi sosial berupa pemanfaatan lembaga kesejahteraan lokal dan jejaring sosial seperti kekerabatan, pertetanggaan dan perkawanan. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Skripsi Berdasarkan analisis, sintesis serta kesimpulan yang telah dibuat, maka dapat disusun beberapa pertanyaan spesifik yang dapat diangkat untuk topik penelitian selanjutnya. Rumusan pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana dampak konversi hutan mangrove terhadap kondisi ekonomi dan ekologis rumahtangga nelayan? 2. Bagaimana pengaruh kondisi ekonomi dan ekologis rumahtangga nelayan terhadap strategi nafkah yang dilakukan rumahtangga nelayan? Usulan Kerangka Analisis Baru Tingkat konversi hutan mangrove Dampak konversi hutan mangrove - Dampak ekonomi - Dampak ekologis Faktor penyebab - Kebijakan - Aktivitas masyarakat - Karakteristik masyarakat (pengetahuan, usia, pekerjaan, tingkat ekonomi, tingkat kemiskinan) Gambar 1 Kerangka Analisis Keterangan: = Hubungan memengaruhi = Memengaruhi secara tidak langsung = Variabel yang diteliti Strategi Nafkah Rumahtangga Nelayan - Strategi ekonomi - Strategi sosial 31 DAFTAR PUSTAKA Ariftia RI, Qurniati R, Herwanti S. 2014. Nilai konomi total hutan mangrove Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur. Jurnal Sylva Lestari [Internet]. [Diunduh pada 26 Maret 2015]; 2 (3). Tersedia pada : http://jurnal.fp.unila.ac.id/index.php/JHT/article/viewFile/427/403 Bengen DG. 2000. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove, Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Bogor [ID]: IPB Dahuri R, Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta [ID]: Pradnya Paramita Elhaq IH, Satria A. 2011. Persepsi pesanggem mengenai hutan mangrove dan partisipasi pesanggem dalam pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang parit. Sodalityc [Internet]. [Diunduh pada 20 Maret 2015]; 5 (1). Tersedia pada : http://journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/viewFile/ 5829/4494 Harahab N. 2010. Penilaian Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove dan Aplikasinya dalam Perencanaan Wilayah Pesisir. Yogyakarta [ID]: Graha Ilmu Iqbal M. 2004. Strategi Nafkah Rumahtangga Nelayan (Studi Kasus di Dua Desa Nelayan Tangkap Kabupaten Lamongan, Jawa Timur). [Tesis]. Bogor [ID]: IPB Kustanti A. 2011. Manajemen Hutan Mangrove. Bogor [ID]: IPB Pr. Lestari A. 2009. Dampak Sosio-Ekonomis dan Sosio-Ekologis Konversi Lahan Pertanian. [Skripsi]. [Internet]. Bogor [ID]: IPB. [Diunduh pada 20 September 2014]. Tersedia pada: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/47310 Mayudin A. 2012. Kondisi ekonomi pasca konversi hutan mangrove menjadi lahan tambak di Kabupaten Pangkajene Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Eksos [Internet]. [Diunduh pada 27 Februari 2015]; 8 (2). Tersedia pada : http://repository.polnep.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/86/05eksos%203%20%20arif.pdf?sequence=1 Purnomo AM. 2006. Strategi Nafkah Rumahtangga Desa Sekitar Hutan (Studi Kasus Desa Peserta PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) di Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat)). [Skripsi]. [Internet]. Bogor [ID]: IPB. [Diunduh pada 2 April 2015]. Tersedia pada: http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/8466/2006amp.pdf?se quence=2 Ramadhan A, Hafsaridewi R. 2012. Dampak perubahan lingkungan terhadap perkembangan aktivitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat pesisir di kawasan Segara Anakan. Jurnal Sosek KP [Internet]. [Diunduh pada 14 Maret 2015]; 7 (1). Tersedia pada : http://bbpse.litbang.kkp.go.id/publikasi/jsosek/jurnal _2012_v7_no1_%283%29_full.pdf Rusdianti K, Sunito S. 2012. Konversi lahan hutan mangrove serta upaya penduduk lokal dalam merehabilitasi ekosistem mangrove. Sodalityc [Internet]. [Diunduh pada 13 Maret 2015]; 6 (1). Tersedia pada : http://repository.ipb.ac.id/ bitstream/handle/123456789/54415/I12kru.pdf?sequence=3 Samantha G. 2012. Hutan Mangrove Indonesia Terus Berkurang. [Internet]. [Diunduh pada 10 Maret 2015]. Tersedia pada: http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/05/hutan-mangrove-indonesiaterus-berkurang Saprudin, Halidah. 2012. Potensi dan nilai manfaat jasa lingkungan hutan mangrove di Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam [Internet]. [Diunduh pada 19 Maret 2015]; 9 (3). Tersedia pada : http://fordamof.org/files/02_Saprudin_OK.pdf Sara L. 2014. Pengelolan Wilayah Pesisir. Bandung [ID]: Alfabeta 32 Satria A. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta [ID]: Cidesindo ________. 2009. Pesisir dan Laut untuk Rakyat. Bogor [ID]: IPB Pr. Setyawan AD, Winarno K. 2006. Pemanfaatan langsung ekosistem mangrove di Jawa Tengah dan penggunaan lahan di sekitarnya; kerusakan dan upaya restorasinya. Biodiversitas [Internet]. [Diunduh pada 17 April 2015]; 7 (3). Tersedia pada : http://biodiversitas.mipa.uns.ac.id/D/D0703/D070318.pdf Sofian A. 2003. Valuasi Ekonomi Pemanfaatan Hutan Mangrove di Kawasan Blanakan Kabupaten Subang, Jawa Barat. [Skripsi]. [Internet]. Bogor [ID]: IPB. [Diunduh pada 23 April 2014]. Tersedia pada: http://repository.ipb.ac.id/handle/ 123456789/20719 Sofian A, Harahab N, Marsoedi. 2012. Kondisi dan manfaat langsung ekosistem hutan mangrove Desa Penunggul Kecamatan Nguling Kabupaten Pasuruan. El-Hayah [Internet]. [Diunduh pada 16 April 2015]; 7 (1). Tersedia pada : http://jurnal.balithutmakassar.org/index.php/wallacea/article/viewFile/29/32 Soraya D, Suhara O, Taofiqurohman A. 2012. Perubahan garis pantai akibat kerusakan hutan mangrove di Kecamatan Blanakan dan Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang. Jurnal Perikanan dan Kelautan [Internet]. [Diunduh pada 30 April 2015]; 3 (4). Tersedia pada : http://jurnal.unpad.ac.id/jpk/article/view/2580 Wahyuni Y, Putri EIK, Simanjuntak SMH. 2014. Valuasi total ekonomi hutan mangrove di kawasan Delta Mahakam Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea [Internet]. [Diunduh pada 26 Maret 2015]; 3 (1). Tersedia pada : http://jurnal.balithutmakassar.org/ index.php/wallacea/article/viewFile/29/32 White BNF. 1990. Agroindustri, Industrialisasi Pedesaan, dan Transformasi Pedesaan. Sajogyo, Tambunan M, editor. Jakarta [ID]: PT Sekindo Eka Jaya Widodo S. 2011. Strategi nafkah berkelanjutan bagi rumah tangga miskin di daerah pesisir. Sosial Humaniora [Internet]. [Diunduh pada 30 April 2015]; 15 (1). Tersedia pada : http://journal.ui.ac.id/index.php/humanities/article/viewFile/ 890/849 33 RIWAYAT HIDUP Amalia Setya Pratiwi dilahirkan di Bogor tanggal 04 Juli 1994. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara yang terlahir dari pasangan Supriyanto dan Siti Chomsah. Penulis memulai pendidikannya di RA/ TKA Tarbiyyatun Nisaa Bogor pada tahun 1998-2000. Kemudian melanjutkan ke Sekolah Dasar Negeri Semplak 2 Bogor tahun 2000-2006, Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Kota Bogor tahun 20062009, dan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Kota Bogor tahun 2009-2012. Pada tahun 2012, penulis melanjutkan studinya ke Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Ujian Tulis Mandiri (UTM) di Fakultas Ekologi Manusia, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (SKPM). Selama penulis menimba ilmu di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di berbagai organisasi dan kepanitiaan. Pada tahun 2013-2014, penulis aktif menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) sebagai anggota divisi Advertising and Multimedia. Penulis juga aktif menjadi anggota divisi Design/ Layouter Majalah Komunitas tahun 2015. Penulis juga aktif mengikuti kepanitiaan beberapa acara yang diselenggarakan oleh IPB, diantaranya Olimpiade Mahasiswa IPB (OMI) tahun 2014, KPM Gabung Antar Angkatan tahun 2014, Gebyar Nusantara (Genus) tahun 2015, dan Connection tahun 2015. Selain itu penulis juga menjadi asisten praktikum Mata Kuliah Komunikasi Massa selama satu periode. Penulis memiliki keahlian di bidang desain, komunikasi, dan pengembangan masyarakat. 34