KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN MONETER DAN LEMBAGA-LEMBAGA KEUANGAN BAB IV KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN MONETER DAN LEMBAGA-LEMBAGA KEUANGAN A. PENDAHULUAN Pelaksanaan kebijaksanaan keuangan negara dan moneter dalam tahun keempat Repelita V merupakan kelanjutan dari kebijaksanaan tahun-tahun sebelumnya. Sesuai Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1988, kebijaksanaan keuangan negara dan moneter diarahkan untuk mendorong pemerataan pembangunan, peningkatan pertumbuhan ekonomi, dan pemantapan stabilitas nasional. Di bidang keuangan negara, kebijaksanaan anggaran belanja berimbang dan dinamis terus dilanjutkan. Peningkatan penerimaan dalam negeri, diupayakan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi pajak dengan memperhatikan asas pemerataan dan keadilan. Sementara itu, pengeluaran negara diupayakan makin terkendali, terarah dan efisien. Pengeluaran rutin, diarahkan untuk kelancaran kegiatan pemerintah yang sekaligus mendukung upaya peningkatan IV/3 tabungan pemerintah. Sedangkan pengeluaran pembangunan diarahkan untuk meningkatkan dan mengamankan kelangsungan pembangunan serta untuk mendukung stabilitas ekonomi. Untuk menjaga stabilitas ekonomi, maka dalam tahun 1990/91 dan tahun 1991/92 telah dibentuk Cadangan Anggaran Pembangunan (CAP) masing-masing sebesar Rp 2,0 triliun dan Rp 1,5 triliun. Ringkasan realisasi APBN dari tahun 1988/89 sampai dengan tahun 1992/93 dapat diikuti pada Tabel IV-1 dan Grafik IV-1. Di bidang moneter, langkah-langkah pengendalian jumlah uang beredar secara berhati-hati terus dilanjutkan untuk tetap menjaga tingkat inflasi yang rendah. Keketatan likuiditas perekonomian secara bertahap dilonggarkan melalui operasi pasar terbuka, yang juga dimaksudkan untuk dapat menurunkan tingkat sukubunga perbankan. Sementara itu, meskipun pertumbuhan pemberian kredit perbankan secara keseluruhan melambat, namun pemberian kredit kepada sektor produksi meningkat dalam tahun 1992/93. Beberapa undang-undang baru yang dikeluarkan pada awal tahun 1992, yaitu Undang-Undang Perbankan, Undang-Undang Usaha Perasuransian, dan Undang-Undang Dana Pensiun telah mendorong lembaga keuangan melakukan konsolidasi selama tahun 1992/93. B. KEUANGAN NEGARA Dalam empat tahun pelaksanaan Repelita V kebijaksanaan keuangan negara tetap didasarkan pada prinsip anggaran berimbang dan dinamis. Dilihat dari sisi penerimaan maupun pengeluaran, perkembangan di bidang keuangan negara telah mengalami berbagai kemajuan. Realisasi penerimaan dalam negeri pada tahun 1992/93 telah meningkat menjadi Rp 47,5 triliun dari Rp 23,0 triliun pada tahun terakhir Repelita IV. Peningkatan ini sejalan dengan berbagai upaya yang terus-menerus dilakukan dengan disertai pengendalian pengeluaran rutin. Upaya tersebut sekaligus meningkatkan tabungan IV/4 TABEL IV - 1 RINGKASAN REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA 1989/89 – 1993/94 (miliar rupiah) Akhir Repelita IV (1988189) U r a i a n Repelitn V 1989190 1990/91 1991/92 1) 1992/93 Penerimaan Dalam Negeri 23.004,3 28.739,8 39.546,4 41.584,8 47.452,5 Pengeluaran Rutin 20.739,0 24.331,1 29.997,7 30,227,6 34.031,2 Tabungan Pemerintah 2.265,3 4.408,7 9.548,7 11.357,2 13.421,3 Dana Bantuan Luar Negeri 9.990,7 9.429,3 9.904,6 10.409,1 10.715,7 Bantuan Program Bantuan Proyek (2.040,7) (7.950,0) (1.007,2) (1.396,8 (8.422,7) (8.507,8 ) ) (t.563,4) (8.845,7) (511,7) (10.204,0) Dana Pembanqunan 12.256,0 13.838,0 19.453,3 21.766,3 24.137,0 Pengeluaran Pembangunan 12.250,7 13.834,3 19.452,0 21.764,2 24.134,8 + 2,1 + 2,2 Surplus (+)/Defisit (-) + 5,3 + 3,7 + 1,3 1) Angka diperbaiki GRAFIK IV - 1 RINGKASAN REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA, 1988/89 - 1992/93 IV/5 pemerintah. Peningkatan tabungan pemerintah tersebut merupakan cermin semakin meningkatnya kemampuan dalam negeri untu k membiayai pembangunan. Apabila dalam tahun terakhir pelaksanaan Repelita IV realisasi tabungan pemerintah baru mencapai Rp 2,3 triliun, maka pada tahun 1992/93 telah meningkat menjadi Rp 13,4 triliun. 1 . Penerimaan Dalam Negeri Kebijaksanaan penerimaan dalam negeri dalam Repelita V dititik beratkan pada upaya menggali penerimaan di luar minyak dan gas alam, khususnya penerimaan pajak, tanpa mengabaikan peluangpeluang yang terbuka untuk meningkatkan penerimaan dari minyak dan gas alam. Selain itu, dilakukan pula berbagai upaya untuk meningkatkan penerimaan bukan pajak antara lain melalui efisiensi usaha dan penyempurnaan administrasi BUMN, penertiban dan intensifikasi penerimaan rutin dari berbagai departemen/non departemen. a . Penerimaan Minyak Bumi dan Gas Alam Pada tahun 1992, situasi perekonomian dunia sudah mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan kembali. Walaupun demikian, sebagai akibat meningkatnya produksi minyak dunia, harga minyak dunia bukan saja turun tetapi juga tidak stabil. Sehubungan dengan itu, telah ditempuh berbagai upaya, baik antara sesama negara anggota OPEC ataupun dengan pengekspor minyak bukan OPEC untuk menjaga stabilitas harga minyak di pasaran internasional. Dengan upaya-upaya tersebut, dalam tahun 1992/93 harga ekspor minyak mencapai rata-rata US$ 18,76 per barel yang berarti masih berada di atas harga rata-rata yang digunakan dalam APBN 1992/93 yaitu US$ 17,00 per barel. Adapun, realisasi penerimaan migas mencapai Rp 15,3 triliun, terdiri dari penerimaan minyak IV/6 bumi sebesar Rp 12,1 triliun dan penerimaan gas alam sebesar Rp 3,2 triliun. Perkembangan penerimaan minyak bumi dan gas alam dapat diikuti dalam Tabel IV-2 dan Grafik IV-2. b. Penerimaan di luar Minyak Bumi dan Gas Alam Peranan penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam sebagai sumber penerimaan dalam negeri sejak Repelita IV semakin penting. Dalam periode sebelumnya bagian terbesar dari penerimaan dalam negeri didominasi oleh sektor minyak bumi dan gas alam. Sejak tahun ketiga Repelita IV, peran penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam rata-rata sekitar 59, 8 % , sedangkan sebelumnya masih berada di bawah 50,0%. Upaya peningkatan penerimaan di luar minyak dan gas alam dewasa ini terus semakin ditingkatkan, mengingat penerimaan minyak bumi dan gas alam semakin sulit diperkirakan. Upaya untuk mengoptimalkan penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam, dilakukan dengan melanjutkan penataan dan penyempurnaan sistem perpajakan yang dimulai sejak dikeluarkannya undang-undang perpajakan tahun 1983. Usaha-usaha tersebut menunjukkan hasil yang menggembirakan .seperti terlihat pada makin meningkatnya realisasi penerimaan di luar migas. Kalau dalam tahun terakhir Repelita IV penerimaan di luar migas baru mencapai Rp 13,5 triliun, maka dalam tahun keempat pelaksanaan Repelita V penerimaan tersebut telah meningkat menjadi sebesar Rp 32,1 triliun atau rata-rata meningkat sebesar 24,2% per tahun. Salah satu sumber penerimaan yang penting di luar minyak bumi dan gas alam adalah pajak penghasilan. Realisasi pener imaan pajak penghasilan pada tahun keempat Repelita V telah meningkat menjadi Rp 11,9 triliun dari Rp 3,9 triliun pada tahun terakhir Repelita IV atau naik rata-rata sebesar 32,2% per tahun. Peningkatan ini merupakan hasil dari intensifikasi maupun ekstens ifikasi pemungutan pajak dan dukungan mutu pelayanan aparat perpajakan TABEL IV - 2 PENERIMAAN DALAM NEGERI 1989/89 – 1993/94 (miliar rupiah) No Akhir Repelita IV (1988/89) Jenis Penerimaan 1. Penerimaan minyak bumi dan gas alam 9.527,0 Minyak bumi (8.326,3) Gas alam (1.200,7) Repelita V 1989/90 1990/91 1991/92 1) 1992/93 15.039,t 15.330,4 (9.502,0) (14.577,5) (12.481,3 ) (1.750,1) (3.134,4) (2.557,8) (12.095,0) 11.252,1 17.711,9 (3.235,4) 2. Penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam 13.477,3 17.487,7 21.834,5 26.545,7 32.122,1 Jumlah 23.004,3 28.739,8 39.546,4 41.584,8 47.452,5 1) Angka diperbaiki GRAFIK IV - 2 PENERIMAAN DALAM NEGERI, 1988/89 - 1992/93 IV/8 yang semakin baik. Pelaksanaan Undang-Undang nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan juga tetap memperhatikan segi keadilan dan pemerataan pemungutannya, antara lain melalui penetapan berkala dari PTKP (pendapatan tidak kena pajak). PTKP pada tahun 1990 ditetapkan sebesar Rp 4,32 juta untuk keluarga yang terdiri dari suami, istri, dan 3 orang anak, yang sebelumnya ditetapkan sebesar Rp 2,88 juta. Sementara itu realisasi penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) sejak akhir Repelita IV sampai tahun 1992/93 terus mengalami peningkatan yang cukup berarti. Hal ini terutama dimungkinkan oleh peningkatan kegiatan perekonomian dalam negeri, antara lain sebagai hasil deregulasi dan debirokratisasi dalam berbagai sektor perekonomian yang telah menyebabkan meningkatnya volume produksi dan perdagangan barang dan jasa jasa yang terkena PPN. Penerimaan pajak pertambahan nilai meningkat dari Rp 4,5 triliun dalam tahun 1988/89 menjadi Rp 10,7 triliun dalam tahun 1992/93. Dengan demikian dalam kurun waktu lima tahun penerimaan pajak penghasilan mengalami peningkatan rata-rata sebesar 24,2% per tahun. Dalam hal pajak bumi dan bangunan (PBB), realisasi penerimaan pada empat tahun pertama pelaksanaan Repelita V mengalami peningkatan cukup tajam. Apabila pada awal Repelita V realisasinya baru mencapai Rp 0,6 triliun, maka dalam tahun 1992/93 realisasinya telah meningkat menjadi Rp 1,1 triliun atau meningkat sekitar 22,4% per tahun. Kebijaksanaan yang ditempuh dalam bidang pajak bumi dan bangunan (PBB), di samping bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara, juga ditujukan untuk meningkatkan pemanfaatan produktivitas tanah dan bangunan. Untuk mempermudah wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban pajaknya, telah dilakukan perbaikan prosedur pembayaran pajak, serta peningkatan sarana dan prasarana pemungutan pajak, antara lain dengan memberlakukan sistem tempat pembayaran (Sistep) yang telah tersebar di 81 Dati II di seluruh Indonesia, dan penggunaan jasa Pos dan Giro. IV/9 Pemutakhiran data objek pajak dan penyempurnaan klasifikasi Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) terus dilakukan sehingga nilai jual objek pajak sesuai dengan perkembangan harga tanah dan bangunan. Untuk meningkatkan kepatuhan dan kesadaran masyarakat dalam membayar PBB telah dilakukan bimbingan, pembinaan dan penyuluhan pengenaan sanksi hukum terhadap penunggak pajak. Walaupun demikian, dalam hal penerapan hukum tersebut, pelaksanaannya disesuaikan dengan peraturan perundangan yang berlaku dan juga dengan cara yang baik, tetapi tetap lugas, dan bagi wajib pajak yang tidak mampu tetap diberikan keringanan. Penerimaan bea masuk, selain berfungsi sebagai salah satu alat pengatur transaksi perdagangan internasional (fungsi regulator), juga mempunyai fungsi budgeter, yaitu sebagai salah satu komponen penerimaan dalam negeri. Realisasi penerimaan bea masuk sangat erat kaitannya dengan jumlah impor, khususnya barang impor yang kena bea masuk (dutiable import). Walaupun demikian, naiknya nilai impor tidak selalu diikuti oleh naiknya realisasi penerimaan bea masuk seperti misalnya yang terjadi dalam tahun 1991/92. Meningkatnya realisasi impor dalam tahun 1991/92 sebesar 12,1% terhadap impor tahun 1990/91 justru diikuti oleh turunnya realisasi penerimaan bea masuk sebesar 14,2%. Kondisi tersebut dapat terjadi antara lain karena makin banyaknya impor barang yang memperoleh pembebasan atau keringanan bea masuk yang diberikan dalam rangka menunjang efisiensi industri dalam negeri untuk meningkatkan daya saing komoditi ekspor non migas. Di samping itu, keadaan tersebut juga dapat terjadi karena adanya pergeseran jenis barang yang diimpor, yaitu dari jenis barang impor dengan tarif bea masuk tinggi menjadi barang impor dengan tarif yang lebih rendah. Realisasi penerimaan bea masuk pada tahun 1992/93 telah meningkat menjadi Rp 2,7 triliun dari Rp 1,6 triliun pada tahun 1989/90 atau naik sekitar 68, 8 % dalam waktu empat tahun. Peningkatan ini memberi indikasi semakin efektifnya proses pemungtitan bea masuk. Bahkan penerimaan bea masuk yang IV/10 berhasil dipungut semakin meningkat dalam tahun 1992/93 dengan mulai berlakunya deregulasi di sektor riil tanggal 6 Juli 1992. Penerimaan cukai, yang terdiri dari penerimaan cukai hasil tembakau, cukai gula, cukai bir, dan cukai alkohol sulingan, secara umum mengalami peningkatan. Dalam tahun terakhir Repelita IV realisasi penerimaan cukai baru mencapai Rp 1,4 triliun sedangkan pada tahun keempat Repelita V penerimaan tersebut telah mencapai Rp 2,4 triliun atau meningkat rata-rata sebesar 14,4 ! per tahun. Dalam rangka peningkatan penerimaan cukai tersebut, kebijaksanaan yang ditempuh adalah melalui penyesuaian harga yang selaras dengan peningkatan kegiatan usaha maupun peningkatan pendapatan para petani dan para pabrikan. Untuk jenis cukai gula, penetapan cukainya diselaraskan dengan pembangunan pertanian yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan dan meningkatkan taraf hidup petani, serta memperluas kesempatan kerja dan berusaha. Oleh karena itu, penetapan tarif cukai gula diupayakan agar selalu dalam batas-batas yang tidak menyulitkan produsen gula dan petani tebu, sedangkan penetapan harga ecerannya tidak memberatkan masyarakat konsumen gula. Selain itu untuk jenis cukai bir, peningkatan penerimaan disebabkan oleh meningkatnya produksi bir yang berkaitan erat dengan meningkatnya arus wistawan manca negara. Seperti halnya dengan cukai bir, peningkatan penerimaan cukai alkohol sulingan juga terutama disebabkan oleh peningkatan produksinya. Sementara itu, komponen penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam lainnya yang berkaitan dengan transaksi perdagangan luar negeri adalah dari pajak ekspor. Realisasi pajak ekspor meningkat dari Rp 155,6 miliar pada tahun 1988/89 menjadi Rp 171,5 miliar pada tahun 1989/90 atau meningkat sebesar 10,2%. Dalam tahun 1989/90 hingga tahun keempat pelaksanaan Repelita V, penerimaan pajak ekspor mengalami penurunan rata-rata sebesar 63,3 % per tahun. Penurunan penerimaan ini berkaitan erat dengan pemberian berbagai kemudahan di bidang ekspor seperti IV/11 penyederhanaan prosedur ekspor, keringanan dan pembebasan pajak untuk mendorong ekspor non migas. Dengan demikian penerimaan pajak eskpor terutama adalah bersumber dari komoditi eskpor yang dikenakan tarif pajak eskpor dan pajak ekspor tambahan yang tinggi, seperti kayu gergajian dan kayu olahan, sebagaimana tertuang dalam surat Keputusan Menteri Keuangan No. 1134 Tahun 1989 Kebijaksanaan tersebut ditujukan agar pengolahan kayu dapat dilakukan di dalam negeri, sehingga selain dapat memberikan nilai tambah yang lebih besar bagi ekonomi nasional juga dapat memperluas kesempatan kerja. Realisasi penerimaan pajak lainnya pada tahun 1988/89 adalah sebesar Rp 292,1 tr.Mliar. Pada tahun pertama dan kedua Repelita V realisasinya mengalami penurunan, masing-masing menjadi Rp 275,5 miliar dan Rp 243,5 miliar. Hal ini terjadi karena diturunkannya bea materai atas cek dan bilyet giro menjadi Rp 500,- sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1989. Tetapi dalam tahun ketiga dan keempat Repelita V realisasi penerimaan pajak lainnya telah meningkat kembali masing-masing menjadi Rp 302,6 miliar dan Rp 359,9 miliar atau dalam empat tahun Repelita V, rata-rata meningkat sebesar 5,4% per tahun. Penerimaan bukan pajak berasal antara lain dari keikutsertaan pemerintah dalam kegiatan dunia usaha. Realisasi penerimaan bukan pajak telah meningkat dari Rp 1,6 triliun pada tahun 1988/89 menjadi Rp 3,0 triliun pada tahun 1992/93 atau meningkat rata-rata 17,0% per tahun. Peningkatan ini sejalan dengan langkah-langkah peningkatan efisiensi dan efektivitas BUMN yang antara lain ditempuh melalui.perubahan status hukum BUMN. Di samping itu, juga dilakukan upaya penertiban pemungutan pada semua Departemen/Lembaga negara sehubungan dengan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Hal ini dilaksanakan melalui intensifikasi pemungutan, penertiban administrasi pengelolaan dan prosedur penyetoran, serta peningkatan pengawasan terhadap pelaksanaannya. Perkembangan penerimaan di luar migas dapat diikuti dalam Tabel IV-3 dan Grafik IV-3. IV/12 TABEL IV - 3 PENERIMAAN DI LUAR MINYAK BUMI DAN GAS ALAM 1989/89 – 1993/94 (miliar rupiah) Repelita V Akhir Repelita IV (1988189) 1989/90 1. Pajak Penghasilan 3.949,4 5.487,7 6.755,3 9.580,4 11.912,6 2. Pajak Pertumbuhan Nilai 4.505.3 5.836,7 7.462,7 8.926,1 10.714,4 3. Bea Masuk 1.192,0 1.587,0 2.485,7 2.133,1 2,652,2 4. Cukai 1.389,9 1.476,8 1.917,3 2.222,8 2.380,8 5. Pajak Ekspor 155,6 171,5 44,2 18,8 8,5 6. Pajak Lainnyn 292,1 275,5 243,5 302,6 359,9 7. Pajak Bumi dan Bangunan 424,2 590,4 811,0 874,6 1.100,6 2.062,1 2.114,8 2.487,3 2.993.1 No. Jenis Penerimaan 8. Penerimaan Bukan Pajak Jumlah 1.568.8 13.477,3 1990/91 17.487,7 21.834,5 1991/92 1) 1992/93 26.545,7 32.122,1 1) Angka diperbaiki GRAFIKIV - 3 PENERIMAAN DI LUAR MINYAK BUMI DAN GAS ALAM 1989/89 – 1993/94 IV/13 2. Pengeluaran Rutin Kebijaksanaan pengeluaran rutin senantiasa dilandasi prinsip efisiensi dan efektivitas serta diselaraskan dengan kemampuan penerimaan dalam negeri. Alokasi pengeluaran rutin terutama digunakan untuk menambah kemampuan dan kualitas pelayanan aparatur pemerintah terhadap masyarakat. Sementara itu, pengeluaran rutin juga digunakan untuk biaya operasional pemerintahan dan pemeliharaan hasil-hasil pembangunan, belanja barang, kewajiban pemerintah bagi pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri serta pengeluaran rutin lainnya. Dalam empat tahun pelaksanaan Repelita V realisasi pengeluaran rutin terus mengalami peningkatan sehingga dalam tahun anggaran 1992/93 mencapai Rp 34,0 triliun atau 64,1 % lebih tinggi bila dibandingkan dengan realisasi tahun terakhir Repelita IV, atau rata-rata meningkat 13,2% per tahun. Sebagian besar dari peningkatan pengeluaran rutin tersebut, selain karena meningkatnya pembiayaan untuk belanja pegawai, baik pusat maupun daerah, juga disebabkan oleh peningkatan kebutuhan biaya operasional dan pemeliharaan untuk mendukung kegiatan pemerintahan dan pengoperasian proyek-proyek pembangunan, serta meningkatnya kewajiban pemerintah untuk membayar bunga dan cicilan hutang luar negeri. Perkembangan pengeluaran rutin secara lebih rinci dapat diikuti pada Tabel IV-4 dan Grafik IV-4. Searah dengan berbagai perkembangan pembangunan yang makin beragam, dituntut kualitas aparatur pemerintah yang makin baik dalam melayani berbagai keperluan dan kepentingan masyarakat. Peningkatan kualitas aparatur pemerintah, antara lain diupayakan melalui pembinaan dan pendayagunaan aparatur pemerintah, pendidikan dan pelatihan serta peningkatan kesejahteraan pegawai guna memacu semangat dan produktivitas kerja aparatur pemerintah. Mengacu kepada kebijaksanaan tersebut, dalam tahun anggaran 1992/93 realisasi belanja pegawai meningkat IV/14 TABEL IV - 4 PENGELUARAN RUTIN 1988/89 – 1993/94 (miliar rupiah) 1) Angka diperbaiki IV/15 GRAFIK IV - 4 PENGELUARAN RUTIN, 1988/89 – 1992/93 IV/16 menjadi Rp 9,5 triliun atau 89,4% lebih tinggi dari realisasi tahun 1988/89. Alokasi belanja pegawai tersebut mencakup pembiayaan untuk gaji dan pensiun, tunjangan beras, biaya makan dan lauk pauk, lain-lain belanja pegawai dalam negeri, dan belanja pegawai luar negeri. Dari seluruh komponen belanja tersebut, pembayaran gaji dan pensiun merupakan pos yang terbesar. Dalam tahun anggaran 1992/93 realisasi belanja gaji dan pensiun mencapai Rp 7,5 triliun atau 96,5% lebih tinggi dari realisasi tahun terakhir Repelita IV, atau rata-rata meningkat sebesar 18,4% per tahun selama empat tahun pelaksanaan Repelita V. Peningkatan tersebut disediakan untuk menaikkan gaji pokok, dan tambahan tunjangan-tunjangan pegawai. Selama Repelita V, pemerintah telah dua kali menyesuaikan besarnya gaji pokok melalui Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1993. Selain itu, Pemerintah juga telah tiga kali menaikkan tunjangan perbaikan penghasilan, masing-masing sebesar rata-rata 15,0% terhitung sejak bulan April 1989, sebesar rata-rata 10,0% terhitung sejak bulan Januari 1990, dan sebesar rata-rata 15,0% dari penghasilan bersih sejak bulan Juli 1991. Realisasi pengeluaran rutin untuk tunjangan beras telah meningkat cukup besar. Apabila dalam tahun 1988/89 realisasi tunjangan beras adalah Rp 518,3 miliar, maka pada tahun 1992/93 meningkat menjadi Rp 887,9 miliar atau naik sebesar 71,3 % dalam empat tahun terakhir. Peningkatan ini selain karena penambahan jumlah pegawai juga karena penyesuaian harga-harga beras dan tunjangan uang makan/lauk pauk. Sementara itu, pada tahun 1992/93 realisasi lain-lain belanja pegawai berjumlah Rp 313,1 miliar atau meningkat sebesar 69,2% dari tahun terakhir Repelita IV. Realisasi belanja pegawai luar negeri untuk tahun 1992/93 berjumlah Rp 258,5 miliar atau 91,2% lebih tinggi dibandingkan dengan realisasi tahun terakhir Repelita IV. IV/17 Peningkatan tersebut erat kaitannya dengan penyesuaian besarnya angka dasar tunjangan luar negeri (ADTLN), angka pokok tunjangan luar negeri (APTLN), dan perkembangan nilai tukar mata uang negara bersangkutan terhadap rupiah serta bertambahnya jumlah pegawai yang ditempatkan di luar negeri. Perkembangan realisasi belanja pegawai dapat diikuti pada Tabel IV-5. Dalam pada itu, realisasi pengeluaran belanja barang mengalami -peningkatan yang cukup besar. Pengeluaran belanja barang ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan berbagai sarana dan prasarana kerja bagi kegiatan operasional pemerintahan, pelayanan terhadap masyarakat serta pemeliharaan kekayaan negara yang semakin meningkat dan tersebar di seluruh wilayah tanah air. Selanjutnya, subsidi daerah otonom terus meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan ini sebagian besar disebabkan oleh penyesuaian gaji pokok dan pensiun pegawai daerah, tambahan pegawai baru, kenaikan gaji berkala, kenaikan pangkat/golongan dan kenaikan tunjangan perbaikan penghasilan (TPP). Dalam perkembangannya, realisasi subsidi daerah otonom pada tahun 1992/93 meningkat menjadi Rp 5,3 triliun dari Rp 3,0 triliun pada tahun 1988/89 atau naik sebesar 76,7 % selama empat tahun. Salah satu pos pengeluaran rutin yang sangat penting untuk menjaga kredabilitas dalam kerja sama internasional adalah pembayaran bunga dan cicilan hutang atas pinjaman yang telah kita terima untuk membiayai proyek-proyek pembangunan. Realisasi pembayaran bunga dan cicilan hutang dalam tahun keempat pelaksanaan Repelita V telah mencapai Rp 15,2 triliun dari Rp 10,9 triliun pada tahun 1988/89 atau meningkat rata-rata sebesar 8,7 % per tahun. Peningkatan ini terjadi karena meningkatnya jumlah hutang luar negeri yang jatuh tempo, terjadinya apresiasi mata uang kuat utama dunia terhadap dolar Amerika, dan karena penyesuaian nilai tukar rupiah. IV/18 TABEL IV - 5 BELANJA PEGAWAI, 1988189 - 19 92 /9 3 (milia r rupia h) Akhir No. Jenis Pengeluaran Repelita V Repelita IV (1988/89) 1989/90 1990/91 1991/92 1) 1992/93 518,3 588,4 639,8 922,4 887,9 3.832,7 4.826,0 5.570,5 6.299,3 7.532,8 1. Tunjangan beras 2. Gaji pegawai/pensiun 3. Uang makan/lauk pauk 326,9 373,1 381,7 393,2 473,4 4. Lain-lain belanja pegawai dalam negeri 185,1 242,6 263,6 278,5 313,1 Belanja pegawai luar negeri 135,2 171,4 197,9 209,1 258,5 4.998,2 6.201,5 7.053,5 8.102,5 9.465,7 5. Jumlah 1) Angka diperbaiki IV/19 Selain daripada itu, lain-lain pengeluaran rutin dialokasikan untuk membiayai berbagai kegiatan yang sifatnya mendukung dan menunjang berbagai program pemerintah. Lain-lain pengeluaran rutin ini yang terbesar adalah subsidi bahan bakar minyak, biaya Pemilu, dan berbagai bentuk bantuan. Dalam perkembangannya, realisasi lain-lain pengeluaran rutin terus mengalami penurunan. Hal ini karena dilakukannya pengurangan subsidi BBM melalui penyesuaian harga BBM dalam negeri yaitti pada tahun 1990, 1991 dan terakhir tahun 1993. Sejalan dengan itu, telah pula diupayakan pengembangan briket batu bara untuk mengurangi ketergantungan rumah tangga akan kebutuhan minyak tanah. 3. Dana Pembangunan dan Pengeluaran Pembangunan Dengan makin meningkatnya dan beragamnya jenis kegiatan pembangunan, diperlukan dana pembangunan yang semakin besar. Salah satu sumber dana pembangunan diperoleh dari tabungan pemerintah yang diupayakan terus-menerus meningkat, antara lain melalui penghematan pengeluaran rutin,. Sementara itu, sumber dana dari luar negeri dimanfaatkan untuk melengkapi kebutuhan dana pembangunan. Dalam tahun 1992/93 realisasi dana pembangunan telah mencapai Rp 24,1 triliun sedangkan dalam tahun terakhir Repelita IV berjumlah Rp 12,3 triliun. Perkembangan dana pembangunan, tabungan pemerintah dan bantuan luar negeri dapat diikuti pada Tabel IV-6 dan Grafik IV-5. Pengeluaran pembangunan dalam Repelita V diarahkan untuk penyediaan sarana dan prasarana dasar yang menunjang kegiatan ekonomi, penyediaan pelayanan dasar yang makin luas bagi rakyat, pengembangan sumber daya manusia, penanggulangan kemiskinan dan penyediaan dana operasi dan pemeliharaan yang memadai bagi proyek-proyek yang sudah selesai dibangun. Apabila realisasi pengeluaran pembangunan pada tahun terakhir Repelita IV baru mencapai Rp 12,3 triliun, maka realisasi dalam tahun anggaran 1992/93 telah meningkat menjadi Rp 24,1 triliun atau meningkat IV/20 TABEL IV - 6 PERKEMBANGAN DANA PEMBANGUNAN, TABUNGAN PEMERINTAH DAN DANA BANTUAN LUAR NEGERI, 1988189-1992/93 (miliar rupiah) Repelita V Akhir No. Uraian Repelita IV (1988/89) 1989/90 1990/91 1991/92 2.265,3 4.408,7 9.548,7 11.357,1 13.421,3 18,5% 31,9% 49,1% 52,2% 55,6% 9.990,7 9.429,3 9.904,6 10.409,1 81,5% 68,1% 50,9% 47,8% 12.256,0 13.838,0 19.453,3 21.766,3 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 1. Tabungan Pemerintah 1) 1992/93 2) Persontase 2. Dana Bantuan Luar Negeri 10.715,7 2) Persentase Jumlah Dana Pembangunan 44,4% 24.137,0 2) Persentase 100,0% 1) Angka diperbaiki 2) Terhadap Jumlah Dana Pembangunan IV/21 GRAFIK IV - 5 PERKEMBANGAN DANA PEMBANGUNAN, TABUNGAN PEMERINTAH DAN DANA BANTUAN LUAR NEGERI, 1988189 -1992193 IV/22 hampir dua kali lipat. Alokasi anggaran belanja pembangunan yang cukup besar diberikan kepada lima sektor utama, yaitu sektor perhubungan dan pariwisata, sektor pertanian dan pengairan, sektor pendidikan, generasi muda, kebudayaan nasional, dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sektor pertambangan dan energi, serta sektor pembangunan daerah, desa, dan kota. Rincian realisasi pengeluaran pembangunan menurut sektor dan subsektor dapat diikuti pada Tabel IV-7. Dalam tahun anggaran 1992/93 realisasi pengeluaran pembangunan untuk sektor perhubungan dan pariwisata adalah Rp 4,5 triliun atau meningkat 15,4% dari tahun 1991/92 yang hanya sebesar Rp 3,9 triliun. Pengeluaran tersebut antara lain untuk membiayai pembangunan jalan dan jembatan baru, rehabilitasi jalan, pemeliharaan rutin jalan dan jembatan, pengembangan fasilitas lalu lintas, perluasan sarana dan prasarana kereta api, pembangunan kereta rel listrik, pembangunan fasilitas pelabuhan, pembangunan dermaga baru, pemasangan sarana bantu navigasi, peningkatan dan pemeliharaan landasan udara, peningkatan dan pemeliharaan fasilitas bangunan terminal penumpang dan barang. Di samping itu, anggaran tersebut juga dimanfaatkan untuk perluasan fasilitas dan jangkauan telekomunikasi, pengembangan dan perluasan daerah tujuan wisata, pembinaan dan pemanfaatan kekayaan. dan keindahan alam, serta penciptaan iklim dan lingkungan yang mendukung kegiatan usaha kepariwisataan. Realisasi pengeluaran pembangunan untuk sektor pertanian dan pengairan untuk tahun 1992/93 adalah sebesar Rp 3,2 triliu n atau naik sekitar 19,4% dari tahun 1991/92. Pengeluaran ini ter utama digunakan untuk meningkatkan produktivitas usaha tani dan nilai tambah komoditas pertanian, serta untuk mendorong kemampu an dan peran serta masyarakat tani dalam kelembagaan ekonomi dan IV/23 TABEL IV - 7 REALISASI PENGELUARAN PEMBANGUNAN MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR, 1999/89 - 1992/93 (miliar rupiah) No. Sektor / Sub Sektor Akhir Repalita IV (1988/89) 1. SEKTOR PERTANIAN DAN PENGAIRAN Sub Sektor Pertanian Sub Sektor Pengairan Repalita V 1) 1989/9D 1990/91 1991/92 1992/93 1.614,0 2.049,4 2.307,9 2.713,1 3.240,2 (1.087,5) (526,5) (1.544,9) (504,5) (I.534,6) (773,3) (1.757,3) (955,8) (2.144,0) (1.096,2) 2. SEKTOR INDUSTRI 446,8 399,8 547,1 544,5 570,2 Sub Sektor Industri (446,8) (399,8) (547,1) (544,5) (570,2) 2.073,4 1.417,3 1.874,3 2.463,3 3.332,9 (118,1) (I.955,3) (20,6) (1.396,7) (167,0) (1.707,3) (177,2) (2.286,1) (290,5) (3.042,4) 2.010,5 3.006.0 3.743,3 3.910,4 4.537,2 (L046,9) (247,5) (243,3) (353,7) (93,1) (26,0) (1.359,5) (561,9) (295,4) (557,3) (223,B) (8,l) (2.316,4) (587,L) (276,1) (434,9) (114,7) (14,1) (2.494,8) (397,0) (381,0) (444,8) (171,3) (21,5) (2.816,3) (467,9). (435,9) (539,5) (221,0) (56,6) 314,6 414,5 199,0 579,1 338,4 (192,5) (122,1) (291,2) (123,3) (42,1) (156.9) (413,1) (166,0) (105,4) (233,0) 265,8 281,2 579,7 718,4 897,3 (52,8) (213,0) (75,5) (205,7) (67,1) (512,6) (86,2) (632,2) (134,7) (762,6) 3. SEKTOR PERTAMBANGAN DAN ENERGI Sub Sektor Partambangan Sub Sektor Energi 4. SEKTOR PERHUBUNGAN DAN PARIWISATA Sub Sektor Prasarana Jalan Sub Sektor Perhubungan Darat Sub Sektor Perhubungan Laut Sub Sektor Perhubungan Udara Sub Sektor Pos dan Telekomunikasi Sub Sektor Pariwisata 5. SEKTOR PERDAGANGAN DAN KOPERASI Sub Sektor Perdagangan Sub Sektor Koperasi 6. SEKTOR TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI Sub Sektor Tenaga Kerja Sub Sektor Transmigrasi IV/24 (Lanjutan Tabel – 7) IV/24a IV/25 sosial pedesaan seperti Koperasi unit Desa (KUD) dan kelompok tani. Selain itu, realisasi anggaran pembangunan dalam tahun 1992/93 untuk sektor pendidikan, generasi-muda, kebudayaan nasional, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah sebesar Rp 3,1 triliun atau meningkat sebesar 30,2% dari tahun 1991/92. Anggaran tersebut terutama digunakan untuk'pembangunan berbagai sarana dan fasilitas pendukung di semua tingkat/jenjang pendidikan, penyediaan biaya operasional pendidikan, penataran guru, pengadaan buku bacaan dan peralatan pendidikan, pengiriman para dosen untuk mengikuti program pendidikan pascasarjana di dalam dan luar negeri, serta pembinaan generasi muda. Selanjutnya, realisasi pengeluaran pembangunan untuk sektor pertambangan dan energi tahun 1992/93 telah mencapai Rp 3,3 triliun atau meningkat sekitar 35,3% dari tahun 1991/92. Sebagian besar dari pengeluaran itu dipergunakan untuk program pemantapan dan peningkatan hasil-hasil pertambangan dan melanjutkan pembangunan tenaga listrik guna mendorong kegiatan ekonomi khususnya sektor industri. Dalam rangka pelaksanaan pembangunan antar daerah yang lebih merata dan untuk meningkatkan taraf hidup kelompok penduduk berpendapatan rendah, realisasi pengeluaran pembangunan untuk sektor ini juga mengalami peningkatan yang cukup pesat. Realisasi pengeluaran pembangunan di sektor pembangunan daerah, desa, dan kota untuk tahun 1992/93 telah mencapai Rp 2,9 triliun atau meningkat sebesar 17,8% dari tahun 1991/92. Anggaran ini terutama untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang lebih merata antar daerah, menanggulangi kemiskinan melalui penyediaan kesempatan kerja, serta, lebih mendorong peranan wanita dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga terutama di pedesaan. Di samping itu anggaran tersebut juga dimanfaatkan untuk penataan ruang di kawasan-kawasan tertentu yang dianggap mendesak dan strategis, serta menyelaraskan pembangunan sektoral dan daerah. IV/26 Di samping alokasi menurut sektor/subsektor, pengeluaran pembangunan juga dapat diklasifikasikan menurut jenis pembiayaannya, yaitu pengeluaran pembangunan yang dibiayai dengan dana rupiah dan bantuan proyek. Dalam tahun 1988/89 realisasi pengeluaran pembangunan dalam bentuk rupiah berjumlah sebesar Rp 4,3 triliun, sedangkan dalam tahun 1992/93 berjumlah Rp 13,9 triliun, atau mengalami peningkatan rata-rata 34,1 % per tahun. Dana pembangunan dalam bentuk rupiah tersebut dialokasikan untuk membiayai proyek -proyek Departemen/Lembaga, proyek-proyek daerah, serta proyek-proyek lainnya yang penting dan mempunyai nilai strategis. Perkembangan pengeluaran pembangunan di luar bantuan proyek dapat diikuti pada Tabel IV-8. Alokasi dana pembangunan dalam bentuk rupiah melalui Departemen/Lembaga diarahkan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan sekt or al yang men j adi tanggung j awab Departemen/Lembaga yang bersangkutan. Selaras dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan pembiayaan proyek-proyek, pelaksanaan. pengeluaran. pembangunan melalui Departemen dan lembaga non departemen diupayakan terus ditingkatkan. Pengeluaran pembangunan melalui Departemen/Lembaga termasuk Hankam dalam tahun, 1988/89 berjumlah Rp 1,9 triliun dan terus meningkat sehingga dalam tahun 1992/93 realisasinya telah mencapai Rp 7,9 triliun. Selain untuk membiayai proyek-proyek pembangunan sektoral melalui Departemen/Lembaga, pengeluaran pembangunan rupiah juga dialokasikan untuk bantuan. pembangunan bagi daerah sebagai perwujudan dari asas pemerataan pembangunan antar wilayah. Hal tersebut dilaksanakan sejalan dengan upaya untuk mendorong pemerintah daerah agar lebih mampu melaksanakan pembangunan daerahnya sendiri. Di samping itu, pemberian bantuan tersebut juga dimaksudkan sebagai usaha untuk menyebarluaskan dan memeratakan pembangunan di daerah; daerah dalam rangka memperkecil kesenjangan laju pertumbuhan antar daerah, serta untuk IV/27 TABEL IV - 8 REALISASIPENGELUARAN PEMBANGUNAN TIDAK TERMASUK BANTUAN PROYEK, 1988/89 - 1992/93 IV/28 mendorong prakarsa dan partisipasi masyarakat di daerah secara lebih nyata dan bertanggung jawab dalam pembangunan. Program bantuan pembangunan bagi daerah hingga saat ini telah meliputi bantuan pembangunan desa, bantuan pembangunan Dati I, bantuan pembangunan Dati II, bantuan pembangunan sekolah dasar, bantuan pembangunan kesehatan, bantuan pembangunan penghijauan dan reboisasi, bantuan pembangunan peningkatan jalan, serta bantuan pembangunan untuk pemugaran pasar. Selain berbagai bentuk bantuan pembangunan daerah tersebut, kepada daerah juga diberikan dana yang berasal dari bagi hasil penerimaan pajak bumi dan bangunan (PBB). Agar proyek-proyek pembangunan yang dibiayai dengan dana bantuan pembangunan daerah tersebut sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masing-masing daerah maka dalam proses perencanaannya senantiasa diikutsertakan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dari tiap daerah yang bersangkutan. Upaya untuk makin meningkatkan pemerataan pembangunan dan laju pertumbuhan antar daerah melalui bantuan pembangunan bagi daerah, dapat dilihat dari makin meningkatnya realisasi bantuan pembangunan daerah termasuk dana bagi hasil PBB dari tahun ke tahun. Apabila dalam tahun 1988/89 realisasi bantuan pembangunan bagi daerah baru mencapai sebesar Rp 1,5 triliun, maka dalam tahun 1991/92 telah meningkat menjadi sebesar Rp 4,0 triliun. Selanjutnya, realisasi dalam tahun 1992/93 telah mencapai sebesar Rp 5,0 triliun, yang berarti meningkat sekitar 25,0% dari realisasi tahun 1991/92. Peningkatan anggaran tersebut disebabkan oleh meningkatnya realisasi di seluruh program pembangunan bagi daerah, baik yang bersifat bantuan umum maupun yang bersifat bantuan khusus. Dalam tahun anggaran 1992/93 realisasi Inpres Desa meningkat menjadi sebesar Rp 326,5 miliar, Inpres Dati II menjadi sebesar Rp 825,1 miliar, Inpres Dati I menjadi sebesar Rp 701,2 miliar, bantuan pembangunan sekolah dasar menjadi sebesar Rp 654,5 miliar, bantuan pembangunan sarana kesehatan menjadi sebesar Rp 320,0 miliar, bantuan pembangunan sarana pasar menjadi sebesar Rp 1,5 mi l i ar , bantuan pembangunan penghij auan IV/29 dan reboisasi menjadi sebesar Rp 95,0 miliar, bantuan peningkatan jalan Dati II dan Dati I menjadi sebesar Rp 1,2 triliun, serta bantuan pembangunan dari bagi hasil pajak bumi dan bangunan (PBB) menjadi sebesar Rp 891,5 miliar. Anggaran belanja pembangunan mencakup pula pembiayaan pembangunan lainnya, yang meliputi pembiayaan untuk subsidi pupuk, penyertaan modal pemerintah (PMP), dan lain -lain pengeluaran pembangunan (LLP). Pemberian subsidi pupuk dimaksudkan untuk mempertahankan harga pupuk dan pestisida yang stabil pada tingkat harga yang terjangkau oleh petani. Sedangkan pemberian PMP kepada BUMN-BUMN dimaksudkan untuk pembiayaan modal kerja, dan pembiayaan investasi yang berprioritas tinggi. Demikian pula penyediaan dana LLP pada dasarnya dimaksudkan untuk membiayai berbagai program pemerintah yang tidak tercakup dalam pembiayaan Departemen/Lembaga dan pembiayaan bagi daerah, seperti untuk program pengembangan kawasan terpadu (PKT), penanggulangan kawasan kumuh, pengembangan sarana pariwisata, perumahan rakyat, pengadaan air bersih, pengadaan benih, pengembangan pabrik obat dan lain sebagainya. Dalam perkembangannya anggaran belanja pembangunan lainnya secara bertahap diusahakan untuk terus diperkecil/dikurangi untuk meningkatkan efisiensi penggunaan anggaran negara. Sebagai gambaran, apabila realisasi pengeluaran pembangunan lainnya dalam tahun anggaran 1991/92 adalah sebesar Rp 1,5 triliun maka realisasi dalam tahun 1992/93 hanya mencapai Rp 1,0 triliun, yang berarti Rp 0,5 triliun atau 33,3 % lebih rendah. Realisasi anggaran pengeluaran pembangunan lainnya dalam tahun anggaran 1992/93 tersebut terdiri dari subsidi pupuk sebesar Rp 175,0 miliar, PMP sebesar Rp 150,0 miliar, dan LLP sebesar Rp 707,5 miliar. IV/30 Di samping dibiayai dengan dana rupiah, pengeluaran pembangunan juga dibiayai dengan dana yang berasal dari bantuan proyek. Sesuai dengan usaha ke arah kemandirian pembiayaan pembangunan, peranan bantuan proyek terhadap jumlah keseluruhan pengeluaran pembangunan secara bertahap diupayakan semakin menurun. Apabila dalam tahun 1988/89 peranan bantuan proyek terhadap keseluruhan belanja pembangunan masih lebih dari 50%, maka sejak tahun anggaran 1989/90 sampai dengan tahun 1992/93, peranan bantuan proyek tersebut makin menurun. Namun demikian realisasinya dalam tahun 1992/93 adalah sebesar Rp 10,2 triliun atau 15,4% lebih tinggi dari tahun 1991/92. Secara umum sasaran pemanfaatan bantuan proyek tersebut antara lain digunakan untuk penyediaan prasarana dan sarana ekonomi, peningkatan teknologi, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia yang sangat diperlukan bagi pembangunan. Perkembangan pengeluaran pembangunan di luar bantuan proyek menurut sektor dan subsektor dapat dilihat pada Tabel IV - 9, dan Tabel IV - 10. C. KEBIJAKSANAAN DAN PERKEMBANGAN MONETER 1. Kebijaksanaan Moneter Selama kurun waktu 4 tahun pelaksanaan Repelita V, telah diambil serangkaian kebijaksanaan di bidang keuangan, moneter dan perbankan, yang meliputi pengembangan kelembagaan perbankan dan pasar modal, pengembangan sistem perkreditan serta pembinaan dan pengawasan bank. Kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut merupakan kelanjutan dan penyempurnaan dari paket 27 Oktober 1988. Paket ini telah memberikan kemudahan pendirian bank dan kantor cabang baru, sehingga jumlah bank dan jaringan kantor cabangnya selama tiga tahun terakhir tumbuh dengan pesat. Di samping itu, kewajiban bank-bank untuk memelihara cadangan minimum diturunkan dari 15 % menjadi 2 % . Hal ini juga telah meningkatkan kemamlSuan bank-bank untuk melakukan ekspansi kredit dalam jumlah yang besar. IV/31 TABEL IV - 9 REALISASI PENGELUARAN PEMBANGUNAN TIDAK TERMASUK BANTUAN PROYEK MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR, 1988/89 - 1992/93 (miliar rupiah) No. Sektor/Sub Sektor 1. SEKTOR PERTANIAN DAN PENGAIRAN Akhir Repelita IV (1988/89) Repelita V 1989/90 1990/91 1991/92 1) 1992/93 526,8 704,8 795,0 950,1 Sub Sektor Pertanian Sub Sektor Pengairan . (404,3) (122,5) (536,3) (168,5) (537,9) (257,1) (617,3) (332,8) (580,2) (491,1) 2. SEKTOR INDUSTRI 232,0 175,9 291,7 244,1 121,6 (232,0) (175,9) (291,7) . (244,1) (121,6) 177,4 132,7 406,4 479,5 671,7 (5,5) (171,9) (5,0) (127,7) (13,3) (393,1) (23,4) (456,1) (29,7) (642,0) 586,4 832,5 1.767,5 2.403,7 3.149,4 (327,2) (57,3) (46,5) (146,9) (2,6) (5,9) (602,0) (70,0) (34,6) (111,0) (6,8) (8,1) (1.407,5 (107,1)) (94,1) (128,5) (16,2) (14,1) (1.941,1) (144,0) (131,0) (144,8) (21,3) (21,5) (2.543,1) (186,8) (155,8) (205,7) (28,1) (29,9) Sub Sektor Industri 3. SEKTOR PERTAMBANGAN DAN ENERGI Sub Sektor Pertambangan Sub Sektor Energi 4. SEKTOR PERHUBUNGAN DAN PARIWISATA Sub Sektor Prasarana Jalan Sub Sektor Perhubungan Darat Sub Sektor Perhubungan Laut Sub Sektor Perhubungan Udara Sub Sektor Pos dan Telekomunikasi Sub Sektor Pariwisata 5. SEKTOR PERDAGANGAN DAN KOPERASI Sub Sektor Perdagangan Sub Sektor Koperasi 6. SEKTOR TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI 1.071,3 178,9 281,1 50,8 431,0 89,2 (169,6) (9,3) (267,6) (13,5) (30,8) (20,0) (401,8) (29,2) (50,1) (39,1) 167,9 198,7 489,2 635,3 845,6 Sub Sektor Tenaga Kerja (22,8) (29,3) (48,2) (80,2) (103,7) Sub Sektor Trenamigrasi (145,1) (169,4) (441,0) (555,1) (741,9) IV/32 (Lanjutan Tabel IV – 9) IV/32 a (Lanjutan Tabel IV – 9) 14. SEKTOR PENERANGAN, PERS DAN KOMU NIKASI SOSIAL Sub Sektor Penerangan, Pers dan Komunikasi Sosial 15. SEKTOR ILMU PENGETAHUAN,TEKNOLOGI DAN PENELITIAN Sub Sektor Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Sub Sektor Penelitian 16. SEKTOR APARATUR PEMERINTAH Sub Sektor Aparatur Pemerintah 17. SEKTOR PENGEMBANGAN DUNIA USAHA Sub Sektor Pengembangan Dunia Usaha 18. SEKTOR SUMBER ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP Sub Sektor Sumber Alam dan LingKungan Hidup CADANGAN ANGGARAN PEMBANGUNAN Jumlah 1) Angka diperbaiki IV/33 14,0 22,6 35,7 46,6 62,7 (14,0) (22,6) (35,7) (46,6) (62,7) 149,1 130,5 199,6 220,6 300,4 (75,5) (73,6) (75,6) (54,9) (53,8) (145,8) (74,1) (146,5) (91,0) (209,4) 149,2 101,6 148,0 232,4 325,4 (149,2) (101,6) (148,0) (232,4) (325,4) 294,4 173,5 (294,4) (173,5) 25,4 205,8 234,4 (25,4) (205,8) (234,4) - - 92,6 254,1 210,2 288,5 328,9 (92,6) (254,1) (210,2) (288,5) (328,9) - 2.000,0 1.500,0 5.412,2 10.944,2 12.918,5 4.300,7 - - - - 13.930,8 TABEL IV - 10 REALISASI BANTUAN PROYEK MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR, 1988/89 - 1992/93 (Miliar rupiah) Sektor / Sub Sektor Akhir Repelita lV (1988/89) 1. SEKTOR PERTANIAN DAN PEN GAIRAN 1990/91 1.314,6 1.512,9 1.763,0 2.168,9 (996,7) (516,2) (1.140,0) (623,0) (1.563,8) (605,1) 255,4 300,4 448,6 (Z55,4) (300,4) (448,6) (683,2) Sub Sektor Pengairan (404,0) (1.008,6) (336,0) 2. SE KTOR INDUSTRI 214,8 223,9 3. S E K T OR P E R TAM BAN GA N DAN E N E R G I Sub Sektor Pertambangan Sub Sektor Energi 4. S E K TOR P E RHUBUNGA N DAN PARIWISATA (214,8) (223,9) 1.896,0 1.284,6 (112,6) (1.783,4) (15,6) (1.269,0) 1.424,1 2.173,5 1991/92 1) 1992/93 1989/90 Sub Sektor Pertanian Sub Sektor Industri 1.467,9 1.983,8 2.661,2 (153,7) (1.314,2) (155,8) (1.830,0) (260,S) (2.400,4) 1.975,8 1.506,7 1.3B7,8 (553,7) (253,0) (250,0) (300,0) (150,0) (-) (273,2) (281,1) (280,I) (333,8) (792,9) (26.7) Sub Sektor Prasarana Jalan (719,7) Sub Sektor Perhubungan Darat Sub Sektor Perhubungan Laut Sub Sektor Pehubungan Udara Sub Sektor Pos dan Telekomunikasi Sub Sektor Pariwisata (190,2) (196,S) (106,8) (90,5) (20,1) (757,5) (491,9) (260,B) (446.3) (2170) b) (908 19) (480,0) (182,0) (366,4) (98,5) (-) 135,7 133,4 148,2 ( 2 29 ) (112,B) (23,6) (109,S) (11,3) (136,9) (11,3) (I36,8) (55,3) (193,9) 97,9 82,5 90,5 83,1 51,7 (30,0) (67,9) ( d k 2) (36,3) (18,9) (71,6) (6,0) (77,1) (31,0) (20,7) 5. SEKTOR PERDAGANGAN DAN KOPERASI Sub Sektor Peerdagangan Sub Sektor Koperasi '. 1.087,2 Repelita V SEKTOR TENA GA KERJA DAN TRANSMIGRASI S ub Sektor Tenaga K erja Sub Sektor Transmigrasi 148,1 249,2 (Lanjutan Tabel IV – 10) IV/34 a IV/35 Peningkatan pemberian kredit perbankan yang pesat merupakan salah satu faktor penting yang menyebabkan tingginya laju pertumbuhan uang beredar selama dua tahun pertama Repelita V. Di samping itu, aliran dana masuk yang besar dari pinjaman luar negeri (offshore borrowing) telah ikut pula menjadi faktor penyebab pesatnya pertumbuhan uang beredar. Pinjaman luar negeri meningkat pesat setelah pagu pinjaman luar negeri perbankan dihapuskan pada bulan Maret 1989. Kedua faktor tersebut telah ikut mendorong peningkatan investasi dalam negeri. Jumlah uang beredar dan kredit tumbuh dengan cepat selama tahun 1989/90, yaitu Ml sebesar 47,6%, M2 sebesar 45,7%, dan kredit sebesar 53,8%. Pertumbuhan uang beredar dan kredit tersebut, di satu sisi mendorong produksi, namun di sisi lain meningkatkan pula tekanan inflasi setelah tahun 1989/90. Kondisi ini telah menyebabkan suhu perekonomian Indonesia memanas (overheated). Oleh karena itu, usaha penanggulangan laju inflasi mendapat prioritas utama dalam periode tahun 1990/91 dan 1991/92. Perbandingan antara tingkat kenaikan harga dengan tingkat pertambahan jumlah uang beredar dapat dilihat pada Tabel IV-12. Kebijaksanaan moneter yang berhati-hati dengan mengetatkan pertambahan jumlah uang beredar untuk mengendalikan tingkat inflasi dilaksanakan sejak pertengahan tahun 1990. Upaya pengetatan dilakukan terutama melalui operasi pasar terbuka dengan meningkatkan jumlah penjualan SBI. Di samping itu melalui Paket Kebijaksanaan Januari 1990 kredit likuiditas Bank Indonesia semakin dikurangi sehingga memperketat pula keadaan moneter di dalam negeri. Melalui Paket Kebijaksanaan Februari 1991 telah pula diambil langkah penting untuk mendorong perkembangan perbankan nasional ke arah yang lebih sehat, efisien, tangguh, dan mampu bersaing pada tingkat internasional. Kebijaksanaan tersebut, khususnya yang berkaitan dengan ketentuan kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) dan nisbah pinjaman terhadap simpanan (NPTS), IV/36 bersama-sama paket kebijaksanaan Januari 1990 telah mendorong bank melakukan usaha konsolidasi guna memperbaiki struktur keuangan, manajemen, strategi, dan pola operasionalnya sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Beberapa langkah tersebut di atas melambatkan laju pertumbuhan kredit perbankan dan likuiditas perekonomian selama tahun 1991 /92. Usaha mengatasi tekanan inflasi juga dilakukan secara bersama-sama dan saling menunjang dengan langkah kebijaksanaan di sektor lain. Di sektor riil, upaya tersebut dilakukan dengan memperlancar arus barang dan jasa melalui paket deregulasi di bidang tata niaga barang-barang penting. Di bidang fiskal, sejak bulan Oktober 1990 diberlakukan ketentuan pagu rekening Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) pada bank-bank agar segera mentransfer hasil pemungutan pajak ke Bank Indonesia. Pengenaan pagu tersebut dilakukan secara bertahap sampai dengan bulan Januari 1991. Di samping itu, kebijaksanaan fiskal yang berhati-hati ditempuh pula melalui pembentukan cadangan anggaran pembangunan (CAP) selama tahun 1990/91 dan 1991/92. Selain itu pada bulan September 1991 dibentuk Tim PKLN (Pinjaman Komersial Luar Negeri) yang ditugaskan untuk mengkoordinasikan pinjaman komersial luar negeri khususnya yang dilakukan oleh swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pinjaman komersial luar negeri yang terus meningkat beberapa tahun terakhir, dalam jangka pendek memperkuat cadangan.devisa, namun dalam jangka menengah/panjang dapat memberatkan neraca pembayaran yaitu pada waktu pengembaliannya. Oleh karena itu diperlukan pengaturan yang terpadu agar kesimpangsiuran dalam memasuki pasar modal internasional dapat dihindarkan. Selain itu, beban pembayaran pinjaman luar negeri dapat dipertahankan dalam batas kemampuan perekonomian Indonesia. Hasil dari upaya-upaya pendinginan suhu ekonomi telah mulai terlihat pada tahun 1991 dan semakin terasa lagi pada tahun 1992, yaitu dengan membaiknya neraca pembayaran, dan menurunnya laju IV/37 inflasi yaitu dari 10 % pada tahun 1991 menjadi sebesar 5 % pada tahun 1992. Keberhasilan ini ternyata di pihak lain telah menyebabkan lonjakan suku bunga di dalam negeri. Upaya pendinginan suhu ekonomi melalui pengetatan jumlah uang beredar telah mendorong perbankan berlomba meningkatkan suku bunga simpanan, yang selanjutnya diikuti oleh naiknya suku bunga kredit. Dengan tetap berpegang pada kebijaksanaan moneter yang berhati-hati, sejak pertengahan tahun 1991 keketatan moneter dilonggarkan. Hal tersebut dilakukan dengan meningkatkan keluwesan dalam pengendalian likuiditas bank-bank serta secara bertahap menurunkan tingkat diskonto alat-alat moneter. Keluwesan dalam pengendalian likuiditas bank-bank dilakukan antara lain melalui pembelian surat berharga pasar uang (SBPU) yang semula terhenti, termasuk pembelian SBPU yang berjangka waktu sampai dengan satu tahun. Pembelian SBPU diutamakan dari bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas. Usaha penurunan suku bunga dilakukan untuk mencapai tingkat suku bunga yang wajar, yaitu yang dapat mendorong kegiatan investasi melalui pemberian kredit tanpa mengurangi hasrat masyarakat untuk menabung. Upaya ini dilakukan dengan tetap mempertimbangkan berbagai faktor seperti perkembangan suku bunga luar negeri, tingkat pajak atas bunga deposito, laju inflasi, dan tingkat depresiasi rupiah. Dalam kaitan ini, penurunan suku bunga diupayakan untuk tidak terlalu besar dan terlalu cepat agar tidak mengakibatkan terjadinya pelarian modal ke luar negeri. Selama tahun 1992/93, kebijaksanaan penurunan suku bunga dijalankan melalui penurunan tingkat diskonto sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan surat berharga pasar uang (SBPU) yang mencapai 5,5-8,0 angka persentase. Penurunan tingkat diskonto instrumen moneter tersebut telah diikuti oleh penurunan suku bunga deposito yang ditawarkan oleh bank-bank. Suku bunga rata-rata untuk deposito berjangka waktu 3 bulan menurun dari 21,3% menjadi 15,7%. Namun demikian, suku bunga kredit belum IV/38 menunjukkan penurunan yang sebanding sehingga masih berada pada tingkat yang relatif tinggi. Usaha penurunan suku bunga kredit lebih lanjut dilakukan dengan menghimbau bank-bank untuk mempercepat konsolidasi dan terus membuka kesempatan bagi bank-bank untuk menggunakan fasilitas SBPU guna memenuhi kebutuhan likuiditasnya. Suku bunga rata-rata tertimbang untuk kredit modal kerja (berjangka pendek) hanya menurun dari 24,8% menjadi 21,7% dan untuk kredit investasi menurun dari 19,2 % menjadi 18,3 % selama tahun 1992/93. Pada awal Maret 1993, juga telah dilakukan penurunan tingkat suku bunga sebesar 2 % bagi kredit program, yaitu kredit yang disubsidi. Jenis-jenis kredit yang suku bunganya diturunkan ialah Kredit Usaha Tani, kredit untuk KUD, kredit untuk anggota koperasi, kredit untuk BULOG, dan kredit investasi. Dari segi kelembagaan, usaha untuk meningkatkan keefektifan kebijaksanaan moneter terus dilakukan terutama melalui penyempurnaan mekanisme operasi pasar terbuka. Penyempurnaan yang sedang dilakukan adalah mempersiapkan penerapan sistem pelelangan yang bertumpu pada target kuantitas SBI yang akan dijual, atau yang disebut dengan Stop-out Rate (SOR), sebagai pengganti sistem pelelangan yang bertumpu pada target tingkat diskonto SBI, atau yang disebut dengan Cut-off Rate (COR) yang selama ini dipergunakan. Di samping itu, pengembangan pasar uang dan pasar valuta asing (valas) di dalam negeri juga terus diusahakan, antara lain dengan pemberian izin operasi bagi beberapa perusahaan pialang. Dengan lebih banyak perusahaan pialang, maka pasar uang dan pasar valas dapat semakin.efisien. 2. Perkembangan Uang Beredar dan Faktor-faktor. Mempengaruhinya yang Selama tahun pertama dan tahun kedua Repelita V, •laju pertumbuhan likuiditas perekonomian (M2) mengalami kenaikan yang cukup tinggi, yaitu 45,7% pada tahun 1989/90, dan 26,0% IV/39 pada tahun 1990/91, dibanding 23,9% pada tahun 1988/89. Pertumbuhan M2 yang tinggi tersebut sebagai akibat meningkatnya kegiatan perekonomian dan pelayanan jasa perbankan, terutama perluasan jaringan kantor bank. Dilihat dari faktor yang mempengaruhi perubahan jumlah uang beredar, sektor dalam negeri memberikan pengaruh menambah yang cukup besar yaitu dari kenaikan pemberian kredit perbankan sedangkan sektor keuangan pemerintah memberikan pengaruh mengurang. Pengaruh mengurang sektor keuangan, pemerintah terutama disebabkan oleh meningkatnya penerimaan pajak yang berkaitan dengan usaha ekstensifikasi dan intensifikasi di bidang perpajakan. Selama tahun 1990/91 sektor luar negeri memberikan pengaruh menambah cukup besar yang berasal dari meningkatnya penerimaan ekspor migas karena terjadi kenaikan harga minyak di pasaran dunia. Kebijaksanaan uang ketat yang dilakukan sejak pertengahan tahun 1990 tercermin dari laju pertumbuhan uang beredar (M1) sebesar 6,4% selama tahun 1990/91, yang berarti, jauh lebih rendah dari 47,6% pada tahun 1989/90. Perkembangan jumlah uang beredar (M2 dan M1) ini dapat dilihat pada Tabel.IV-11. Kebijaksanaan uang ketat semakin terasa dalam tahun 1991/92 dengan pertumbuhan tahunan M2 yang sedikit melambat yaitu 24,2%. Penurunan laju pertumbuhan M2 yang lebih tajam akan terlihat apabila diukur dari pertumbuhan tahunan sebelum dan sesudah bulan Maret 1992. Pertumbuhan tahunan M2 sampai dengan bulan Februari 1992 tercatat hanya sekitar 17,0%. Pertumbuhan M2 yang cukup tinggi pada periode Maret 1991 sampai dengan Maret 1992 berkaitan erat dengan terjadinya penurunan tajam posisi M2 pada bulan Maret 1991 yang disebabkan terjadinya pengalihan dana deposito BUMN dalam jumlah besar ke SBI. Sektor keuangan pemerintah selama tahun 1991/92 memberikan pengaruh mengurang sebesar Rp 2,4 triliun, yang merupakan surplus anggaran. Surplus anggaran ini selanjutnya disimpan dalam pos Cadangan Anggaran Pembangunan (CAP) untuk menjamin tersedianya pembiayaan pembangunan pada tahun IV/40 TABEL IV - 11 PERKEMBANGAN JUMLAH UANG BEREDAR, 1988/89 - 1992/93 (miliar rupiah) 1) Angka diperbaiki 2) Terhadap tahun sebelumnya TABEL IV - 12 PERBANDINGAN ANTARA TINGKAT KENABCAN HARGA DENOAN TINOKAT PERTAMBAHAN JUMLAH UANG BEREDA 1988/89 – 1992/93 1) Angka diperbaiki 2) Terhadap tahun sebelumnya IV/41 selanjutnya. Sementara itu, aktiva dalam negeri lainnya (bersih) memberikan pengaruh mengurang sebesar Rp 2,5 triliun yang terutama berasal dari peningkatan modal bank-bank. Sektor luar negeri memberikan pengaruh menambah yang semakin besar, yaitu sebesar Rp 3,5 triliun dibandingkan dengan Rp 2,3 triliun pada tahun sebelumnya. Pengaruh menambah tersebut terutama terjadi pada dua triwulan terakhir yang berasal dari surplus neraca pembayaran sebagai akibat peningkatan aliran masuk modal swasta bukan bank yang sebagian besar berupa pinjaman luar negeri. Sebaliknya, aliran modal dari luar negeri dalam bentuk pinjaman komersial yang dilakukan oleh bank-bank mengalami penurunan yang sangat berarti. Hal tersebut berkaitan dengan kebijaksanaan pengelolaan pinjaman komersial luar negeri yang sedang dilaksanakan. Kebijaksanaan untuk melonggarkan uang ketat dilaksanakan secara berhati-hati, seperti tercermin dari pertumbuhan M1 sebesar 15,9% pada tahun 1991/92 dan 12,0% pada tahun 1992/93. Selain itu laju pertumbuhan likuiditas perekonomian (M2) juga terus menurun sehingga mencapai 22,2% selama tahun 1992/93. Pertambahan likuiditas perekonomian lebih banyak berasal dari sektor luar negeri dibanding dengan sektor dalam negeri. Pada aktiva luar negeri bersih terjadi peningkatan sebesar Rp 9,7 triliun dalam tahun 1992/93, jauh lebih besar dibandingkan dengan Rp 3,5 triliun pada tahun sebelumnya. Pertambahan ini merupakan surplus neraca pembayaran yang terutama berasal dari peningkatan arus modal masuk bersih sektor swasta di samping membaiknya transaksi berjalan. Sedangkan pertambahan aktiva dalam negeri turun.menjadi Rp 12,6 tril•iun pada tahun 1992/93, karena tagihan kepada perusahaan swasta dan perorangan, yang merupakan komponen terbesar hanya memberi pengaruh menambah sebesar Rp 13,2 triliun, lebih rendah dibanding Rp 19,6 triliun pada tahun 1991/92. Rincian lebih lanjut tentang sebab-sebab perubahan jumlah uang beredar dapat dilihat pada Tabel IV-13. Perkembangan komposisi uang beredar selama 4 tahun pelaksanaan Repelita V menunjukkan peningkatan pangsa uang kuasi IV/42 TABEL IV - 13 SEBAB-SEBAB PERUBAHAN JUMLAH UANG BEREDAR, 1988/89 - 1992/93 (miliar rupiab) Repelita V Akhir N o. Uraian 1) Repelita IV (1988/89) 1989/90 1990/91 1991/92 1. SEK TOR AK TIV A LUAR N EG ERI -179 -712 2.277 3.462 2. SEK TOR PEMERINTAH -120 -85 -4.818 -2.407 3. SEK TOR K EGIA TAN P ERU SAHAA N - Tagihan pada Lembaga/ 11.931 29.667 Perusahaan Pemerintah .29.747 21.159 1992/93 9.715 -62 13.260 (1.109) (1.503) (1.512) (53) (10.718) (28.558) (31.250) (19.647) (13.207) (1 .213) - Tagihan pada Perusahaan Swasta dan Perorangan 4. A K TI V A L AI NN YA ( B ER SIH ) -3.125 -8.671 -10.449 -2.542 5. LIKUIDITAS PEREKONOMIAN (M2) 8.507 20.199 16.757 19.672 22.365 JUMLAH UANG BER EDA R (Ml) (Uang Kartal) 2.383 (686) 7.146 (1.221) 1.415 (1.246) 3.748 (1.999) 3.274 (1.299) (1.697) (5.925) (169) (1.749) (1.975) 15.924 19.091 (Uang Girol) UANG KUASI 6.124 13.054 15.342 -548 1) Angka diperbaiki IV/43 dan pangsa uang giral. Jika pada tahun 1988/89 perbandingan pangsa M1 dan uang kuasi masing-masing 34% dan 66%, maka pada tahun 1992/93 me nj adi 25 % dan 75 % . Demikian juga dengan perbandingan pangsa uang kartal dan uang giral dari 44 % dan 56% menjadi 40 % dan 60 % dalam periode yang sama. Perkembangan ini mencerminkan fungsi intermediasi dari lembaga keuangan yang semakin meningkat. 3 . Perkembangan Dana Perbankan Selama periode 1988/89-1992/93 dana perbankan yang terdiri atas giro, deposito berjangka, dan tabungan baik dalam rupiah maupun valuta asing, telah meningkat dari Rp 39,5 triliun pada tahun 1988/89 menjadi Rp 117,6 triliun pada tahun 1992/93 atau rata-rata tumbuh 31,4% per tahun. Perkembangan tabungan menunjukkan pertumbuhan rata-rata per tahun yang terbesar, yaitu 83,8%, sedangkan deposito dan giro masing-masing meningkat dengan rata-rata 24,8 % dan 24,2 %. Perkembangan volume tabungan tersebut didorong oleh semakin banyak skim-skim tabungan yang ditawarkan perbankan dengan tingkat suku bunga, yang relatif tinggi. Selama pelaksanaan Repelita V, peranan tabungan terhadap dana yang berhasil dihimpun meningkat pesat dari 6,3 % pada tahun 1988/89 menjadi 24, 1 % pada tahun 1992/93. Sementara itu, peranan deposito menurun dari 67,0% menjadi 54,6%. Penurunan ini antara lain disebabkan meningkatnya minat masyarakat terhadap tabungan dan berkembangnya alternatif investasi surat berharga, saham, dan obligasi. Giro yang dihimpun oleh perbankan meningkat dari Rp 10,5 triliun pada akhir tahun 1988/89 menjadi Rp 25,0 triliun pada akhir tahun 1992/93. Posisi giro rupiah mencapai Rp 20,0 triliun sedangkan giro valuta asing sebesar Rp 5,0 triliun sampai dengan akhir Maret 1993. Perkembangan dana perbankan tersebut dapat dilihat pada Tabel IV-14. Selama. periode 1989/90 sampai dengan 1992/93 perkembangan deposito berjangka rupiah dan valuta asing meningkat dari Rp 26,5 triliun pada tahun 1988/89 menjadi Rp 64,2 triliun IV/44 TABEL IV - 14 1) P E RKE M BA N GA N DA N A P E R B A N KA N DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING, 1988/89 - 1992/93 (miliar rupiah) Akhir No. Uraian Repelita V Repelita IV 2) (1988/89) 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 10.543 15.978 17.949 21.428 25.077 26.474 36.350 49.840 56.812 64.216 2.485 6.864 9.722 17.471 28.343 39.503 59.192 77.511 95.711 117.636 8.533 19.689 18.319 18.200 21.925 49,8 30,9 23,5 3) 1. Giro 4) 2. Deposito 5) 3. Tabungan Jumlah 6) Kenaikan (%) 27,6 22,9 1) Terdiri atas dana bank-bank umum, bank pembangunan dan bank-bank tabungan serta termasuk dana milik Pemerintah Pusat dan bukan penduduk. 2) Angka diperbaiki 3) Termasuk giro valuta asing. 4) Terdiri atas deposito berjangka rupiah dan valuta asing, serta termasuk sertifikat deposito. 5) Terdiri atas Tabanas/Taska dan tabungan lainnya seperti setoran Ongkos Naik Haji (ONH) 6) Terhadap tahun sebelumnya. IV/45 pada tahun 1992/93. Deposito berjangka rupiah mencapai Rp 42,5 triliun dan deposito berjangka valuta asing sebesar Rp 21,7 triliun pada tahun 1992/93. Dilihat dari jangka waktunya, pangsa deposito berjangka waktu panjang mengalami penurunan. Pangsa deposito berjangka rupiah 24 bulan terhadap total deposito berjangka rupiah yang semula 7,8% pada akhir tahun 1989/90 menurun menjadi 1,2% pada akhir tahun 1992/93. Demikian pula halnya pangsa deposito berjangka rupiah 12 bulan dari 36,7% menurun menjadi 26,8%. Sedangkan pangsa deposito berjangka rupiah 1 bulan dan 6 bulan pada periode yang sama mengalami kenaikan yang cukup besar masing-masing dari 16,3 % dan 19,2 % menjadi 20,4 % dan 25,2 %. Hal tersebut menunjukkan bergesernya preferensi masyarakat terhadap deposito berjangka dari berjangka.waktu panjang kepada berjangka waktu pendek. Perubahan preferensi ini antara lain disebabkan oleh penawaran suku bunga deposito jangka pendek lebih menarik. Sementara itu, jumlah sertifikat deposito dalam peredaran menunjukkan penurunan selama tahun 1992/93 menjadi Rp 848 miliar dari Rp 1,2 triliun pada tahun 1991/92. Penurunan tersebut akibat makin bertambahnya skim simpanan yang ditawarkan bank-bank dengan persyaratan yang lebih menarik bagi pemilik dana. Perkembangan deposito berjangka dan sertifikat deposito secara terinci dapat dilihat pada Tabel IV-15 dan Tabel IV-17. Tabungan yang diklasifikasikan menjadi tabungan yang dapat ditarik sewaktu-waktu, tabungan berjangka dan tabungan lainnya dalam periode 1989/90-1992/93 menunjukkan peningkatan pesat. Dalam periode ini nilai tabungan meningkat dari Rp 2,5 triliun pada tahun 1988/89 menjadi Rp 28,3 triliun pada tahun 1992/93. Dalam periode yang sama, jumlah buku penabung meningkat dari 22,7 juta buku menjadi 38,8 juta buku. Perkembangan tabungan perbankan ini dapat dilihat pada Tabel IV-16. IV/46 TABEL IV - 1 5 1) PERKEMBANGAN DEPOSITO BERJ ANGKA RUPIAH PERBANKAN MENURUT JANGKA WAKTU, 1988 /89 - 1992/93 (miliar rupiah) Akhir No. Uraian Repelita V Repelita IV (1988/89) 2) 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 3) 1. 1 Bulan 3.578 4.575 9.569 9.600 8.664 2. 3 Bulan 4.723 5.116 7.052 8.931 9.605 3. 6 Bulan 3.019 5.381 5.821 8.605 10.682 4. 12 Bulan 7.227 10.290 8.177 9.217 11.380 5. 24 Bulan 2.071 2.177 814 910 501 6. Lainnya 365 490 2.317 1.627 1.622 20.984 28.029 33.750 38.890 42.453 4.328 7.045 5.721 5.140 3.563 26,0 33,6 20,4 15,2 9,2 Jumlah 4) 7. Perubahnn Ju mlah (%) 1) Termasuk dana milik Pemerintah Pusat dan bukan penduduk serta sertifikat deposito 2) Angka diperbaiki 3) Termasuk deposito yang sudah jatuh waktu. 4) Terhadap tahun sebelumnya. IV/47 TABEL IV - 16 PERKEMBANGAN TABUNGAN MASYARAKAT DI PERBANKAN, 1988189 - 1992193 Akhir Uraian Satuan JUMLAH TABUNGAN Penabung pertumbuhan Posisi pertumbuhan Repelita V Repelita IV (1988/89) 1989/90 1990/91 1991/92 1) 1992/93 ribu (%) 22.666 10,9 27.206 20,0 30.637 12,6 34.570 12,8 38.843 12,4 miliar Rp. (%) 2.485 35,4 6.864 176,2 9.722 41,6 17.471 79,7 28.343 62,2 1) Angka diperbaiki TABEL IV - 17 1) PERKEMBANGAN SERTIFIKAT DEPOSITO BANK, 1988/89 - 1992/93 (miliar rupiah) Akhir No. Uraian Repelita V Repelita IV 2) (1988/89) 2) 2) 1989/90 1990/91 2) 1991 /92 1. Penjualan 800 527 1.382 6.340 2.947 2. Pelunasan 870 509 1.118 5.529 3.344 3. Dalam Peredaran 152 170 434 1.245 848 1) Termasuk sertifikat deposito antar-bank 2) Angka diperbaiki IV/48 2) 1992/93 4. Perkreditan a. Kebijaksanaan Perkreditan Penyempurnaan sistem perkreditan seperti yang diatur dalam Paket Januari 1990 merupakan kebijaksanaan perkreditan terpenting selama empat tahun pelaksanaan Repelita V. Dalam paket ini peranan kredit likuiditas Bank Indonesia (KLBI) secara bertahap dikurangi dan hanya disediakan untuk mendukung usaha pelestarian swasembada pangan, pengembangan koperasi dan peningkatan investasi. Dengan adanya penyederhanaan ini, skim kredit yang ditunjang dengan KLBI yang semula berjumlah 23 jenis dikurangi menjadi hanya 4 jenis. Untuk menunjang upaya pelestarian swasembada pangan dan sekaligus meningkatkan pendapatan petani, Kredit Usaha Tani (KUT) diselenggarakan untuk membiayai intensifikasi padi/palawija. Di samping itu, KUT yang sebelumnya hanya dapat diberikan oleh Bank Rakyat Indonesia kini dapat pula diberikan oleh bank-bank lain. Sementara itu, pemberian kredit kepada koperasi terus disempurnakan dan 75 % dana diperoleh dari KLBI. Pengadaan pangan dan gula oleh Badan Urusan Logistik juga tetap disediakan kredit yang seluruh dananya berasal dari KLBI. Selain itu, KLBI tetap disediakan untuk memenuhi sebagian kebutuhan dana guna menunjang pemberian Kredit Investasi. Keempat kredit program tersebut dikenakan suku bunga 16%, sesuai dengan suku bunga pasar pada waktu paket kebijaksanaan ini diumumkan. Dalam rangka menurunkan tingkat suku bunga kredit, maka sejak 1 Maret 1993, suku bunga kredit program diturunkan antara lain untuk KUT, kredit kepada KUD, dan kredit untuk anggota koperasi diturunkan dari masing-masing 16%, 18%, dan 18% menjadi masing-masing sebesar 14%, 16% dan 16%, sedangkan suku bunga kredit untuk BULOG diturunkan dari 18% menjadi 16%. Selanjutnya untuk kredit investasi, bunganya ditetapkan oleh masing-masing bank menurut kecenderungan pasar. Untuk KLBI IV/49 yang mencapai 10 % -20 % dari nilai kredit investasi, suku bunga KLBI ditetapkan sebesar 14 % , sedangkan suku bunga kredit ditentukan oleh bank. Dalam rangka pengembangan usaha kecil, pangsa Kredit Usaha Kecil (KUK) ditentukan sekurang-kurangnya 20% dari kredit yang diberikan oleh setiap bank. KUK diberikan untuk membiayai usaha yang produktif dan KPR type 70 ke bawah, dengan maksimum kredit kepada masing-masing debitur sebesar Rp 200 juta. Di samping itu, KUK dapat diberikan kepada usaha yang memiliki total asset maksimum sebesar Rp 600 juta, tidak termasuk nilai rumah dan tanah yang ditempati. b. Perkembangan Kredit Perbankan Selama kurun waktu 4 tahun pelaksanaan Repelita V kredit perbankan mengalami pertumbuhan rata-rata tahunan sebesar 20,4% Pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 1989/90 yaitu sebesar 53,8% . Selanjutnya selama tahun 1990/91 kredit perbankan mengalami pertumbuhan lebih lambat yaitu sebesar 40,3% Melambatnya pertumbuhan kredit tersebut terutama pada pemberian kredit dalam rupiah yaitu sebesar 33,9% dibandingkan dengan 47,5% pada tahun sebelumnya.. Sementara itu dalam periode yang sama, pertumbuhan pemberian kredit dalam valuta asing juga menurun dari 200,9% menjadi 114,4%. Walaupun telah dilakukan upaya pengurangan keketatan moneter sejak April 1991, pertambahan jumlah kredit perbankan masih menunjukkan pertumbuhan yang melambat yaitu hanya meningkat sebesar 16,1 % selama tahun 1991/92 dibandingkan 53,8% pada tahun 1989/90 dan 40,3% pada tahun 1990/91. Melambatnya pertumbuhan kredit tersebut selain sebagai dampak pengendalian moneter yang berhati-hati yang dilakukan sejak pertengahan tahun 1990, juga berkaitan dengan usaha konsolidasi bank-bank dalam rangka memenuhi ketentuan kehati-hatian di IV/50 bidang perbankan seperti pemenuhan kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) dan nisbah pinjaman terhadap simpanan (NPTS). Sebagai hasil upaya pengurangan keketatan moneter selama tahun 1992/93, suku bunga simpanan dan kredit telah menunjukkan penurunan dengan tingkat bunga kredit turun lebih lambat. Penurunan tingkat bunga kredit tersebut masih belum menggairahkan ekspansi pemberian kredit, yang tercermin dari pertumbuhannya hanya sebesar 7,2% sehingga mencapai posisi Rp 124,9 triliun pada akhir tahun 1992/93. Pertumbuhan kredit dalam rupiah mengalami penurunan dari 10,4% pada tahun 1991/92 menjadi 4,6% pada tahun 1992/93. Sementara itu pertumbuhan kredit dalam valuta asing menurun dari 56,5 % menjadi 20,1 % dalam periode yang sama. Penurunan pemberian total kredit tersebut juga tercermin dari perkembangan kredit menurut sektor perbankan. Kredit yang diberikan oleh Bank Pemerintah, sebagai pemberi kredit terbesar, masih naik sebesar 11,8% walaupun sedikit lebih rendah daripada tahun 1991 /92 yang sebesar 12,9%. Pemberian kredit oleh bank swasta nasional menunjukkan penurunan tajam, yaitu hanya tumbuh 1,1% dibanding 17,8 % pada tahun sebelumnya. Pemberian kredit likuiditas oleh Bank Indonesia juga menunjukkan penurunan dari Rp 820 miliar pada tahun 1991/92 menjadi Rp 755 miliar pada tahun 1992/93. Perkembangan kredit menurut sektor perbankan secara terinci disajikan pada Tabel IV-18. Perkembangan kredit menurut sektor ekonomi selama 4 tahun pelaksanaan Repelita V menunjukkan pemberian kredit kepada sektor produksi (pertanian, pertambangan, dan industri), sektor perdagangan, dan sektor jasa-jasa dan lain-lain masing-masing tumbuh dengan rata-rata per tahun 27,8%, 22,0% dan 35,0%. Namun pada tahun 1992/93 kredit kepada sektor produksi tumbuh lebih tinggi dibandingkan kepada sektor perdagangan dan sektor jasa-jasa, yaitu masing-masing 20,6%, 2,0% dan -3,9%. Pertumbuhan pemberian kredit kepada sektor perdagangan dan sektor jasa jasa selama tahun 1992/93 jauh lebih rendah dibanding tahun IV/51 TABEL IV - 18 1) PERKEMBANGAN KREDIT MENURUT SEKTOR PERBANKAN, 1 9 8 8 / 8 9 - 1992/93 ( mi l i a r t v pi a h) Repelita V Akhir No. Repelita IV Uraian 1. Bank Indonesia 2) 1989/90 (1988/89) 1990/91 1991/92 1992/93 1.583 691 724 820 755 30.270 42.589 54.699 61.751 69.066 3) 2. Bank Pemerintah 4) 3. Bank Swasta Nasional 12.679 24.498 38.153 44.928 45.406 4. Bank Asing Campuran 1.994 3.786 6.837 9.060 9.695 46.526 71.564 100.413 116.559 124.922 11.445 25.038 28.849 16.146 8.363 32,6 53,8 40,3 16,1 7,2 Jumlah 5) Perubahan Jumlah (%) 1) Kredit dalam rupiah maupun valuta asing, termasuk Kredit lnvestasi, KIK dan KMKP, tetapi tidak termasuk kredit antar-bank serta kredit kepada Pemerintah Pusat, bukan penduduk dan nilai lawan bantuan proyek. 2) Angka diperbaiki 3) Sejak Mei 1989 termasuk BTN. 4) Termasuk Bank Pembangunan Daerah. 5) Terhadap tahun sebelumnya. IV/52 1991 /92. Perkembangan kredit menurut sektor ekonomi dirinci lebih lanjut dalam Tabel IV-19. Berbeda dengan pertumbuhan kredit keseluruhan, realisasi kredit investasi selama tahun 1992/93 menunjukkan kenaikan yang lebih tinggi, yaitu 32,7% dibanding 26,6% pada tahun sebelumnya. Sektor perdagangan dan sektor perindustrian mencatat pertumbuhan yang relatif tinggi, yaitu 43,8% dan 39,9%. Perkembangan realisasi kredit investasi tersebut dapat dilihat pada Tabel IV-20. 5. Suku Bunga Suku bunga dalam negeri telah menunjukkan gejala meningkat sejak pertengahan tahun 1990. Suku bunga menjadi semakin meningkat, terutama setelah bulan Februari 1991 karena adanya pengalihan sebagian dana deposito sejumlah BUMN di bank pemerintah ke dalam SBI. Suku bunga pasar uang antar bank rata-rata tertimbang meningkat dari 10,8% pada bulan Maret 1990 menjadi 21,5% pada bulan Desember 1990 dan melonjak menjadi 27,0% pada bulan Maret 1991. Dalam periode yang sama, suku bunga rata-rata tertimbang deposito berjan4a rupiah 6 bulan juga meningkat, dari 16,9% menjadi 19,8% dan 23,5% pada akhir Maret 1991. Untuk menghindari semakin menurunnya gairah investasi dunia usaha akibat suku bunga kredit yang tinggi,. sejak bulan April 1991 dilakukan upaya pengurangan keketatan moneter. Tingkat diskonto SBI diturunkan secara bertahap tetapi cukup tajam, sehingga SBI 1 bulan turun dari 23,6% pada bulan Maret 1991 menjadi 18,0% pada bulan Maret 1992. Demikian pula dalam periode yang sama, suku bunga SBPU 1 bulan diturunkan, dari 24,8% menjadi 18,5 % . Penurunan tingkat diskonto alat-alat moneter yang disertai keluwesan dalam pengendalian uang primer telah dapat membantu terciptanya kestabilan di pasar uang antarbank sehingga dapat IV/53 TABEL IV - 1 9 1) P ERKEMBANGAN KREDI T M ENURUT SEKTOR EKONOMI , 1988/89 - 1992/93 (miliar rupiah) Akhir No. Uraian Repelita V Repelita IV 2) (1988/89) 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 20.382 28.950 39.587 45.040 54.324 14.687 22.814 29.590 31.907 32.534 11.457 19.800 31.236 39.612 38.064 46.526 71.564 100.413 116.559 124.922 11.445 25.038 28.849 16.146 8.363 32,6 53,8 40,3 16,1 7,2 3) 1. Produksi 2. Perdagangan 4) 3. Lain-lain Jumlah 5) 4. Perubahan Jumlah (%) 1) Kredit dalam rupiah maupun valuta asing, termasuk Kredit Investasi, KIK dan KMKP, tidak termasuk kredit antar-bank serta kredit kepada Pemerintah Pusat, bukan penduduk dan nilai lawan bantuan proyek 2) Angka diperbaiki 3) Termasuk sektor pertanian, pertambangan, dan perindustrian. 4) Termasuk sektor jasa dan lain-lain. 5) Terhadap tahun sebelumnya. IV/54 TABEL IV – 20 1) P E R K E M B A N G A N R E A L I S A S I K R E D I T I N VE S T A S I MENURUT SEKTOR EKONOMI, 1988/89 – 1992/93 (dalam miliar rupiah) No. Akhir Repelita IV Uraian (1988/89) Repelita V 2) 1989/9 0 1990/91 1991/92 1992/93 1. Pertanian 2.610 3.629 4.726 5.864 7.169 2. Perindustrian 4.791 6.639 9.208 11.784 16.489 3. Pertambangan 313 321 4. Perdagangan 536 1.117 2.193 5. Jasa jasa 2.489 3.767 5.267 6. Lain-lain 1.071 200 11.810 15.673 2.600 3.863 Jumlah 391 443 2.911 6.197 436 4.185 7.946 1.011 1.213 22.288 28.210 37.438 6.615 5.922 9.228 42,2 26,6 503 3) 7. Perubahan Jumlah (%) 28,2 32,7 32,7 1) Tidak termasuk KIK, KI kepada Pemerintah Pusat dan nilai lawan valuta asing pinjaman investasi dalam rangka bantuan proyek. 2) Angka diperbaiki 3) Terhadap tahun sebelumnya. IV/55 menurunkan suku bunga dana dan kredit perbankan. Suku bunga deposito berjangka waktu 6 bulan yang pada akhir Maret 1991 mencapai 23,5% secara bertahap turun menjadi 22,0% pada akhir Maret 1992 dan 16,3 % pada akhir Maret 1993. Penurunan suku bunga kredit memerlukan tenggang waktu yang lebih lama karena biaya yang harus ditanggung perbankan meningkat akibat bunga deposito berjangka yang tinggi dan meningkatnya volume kredit macet. Perkembangan suku bunga rata-rata tertimbang Kredit Modal Kerja (KMK) dan Kredit Investasi (KI) yang pada bulan Maret 1991 mencapai sekitar 26,7 % untuk KMK dan 23,2 % untuk KI, secara perlahan-lahan telah menurun menjadi 24,6% dan 19,1 % pada akhir Maret 1992. Untuk mendorong penurunan suku bunga ke tingkat yang wajar, dalam tahun 1992/93 Bank Indonesia melanjutkan penurunan tingkat diskonto SBI dan SBPU serta memberikan peluang bagi bank-bank untuk mendiskontokan SBPU ke Bank Indonesia. Tingkat diskonto SBI jangka waktu satu bulan diturunkan sebanyak 5,5% secara bertahap sehingga menjadi 12,5%. Walaupun demikian tingkat diskonto SBI masih cukup menarik sebagai alternatif penyimpanan kelebihan likuiditas perbankan seperti terlihat pada volume hasil lelang SBI (termasuk SBI khusus) dari Rp 2,4 triliun pada akhir tahun 1991/92 menjadi Rp 16,3 triliun pada akhir tahun 1992/93. Sementara itu dalam periode yang sama tingkat diskonto SBPU juga diturunkan, misalnya SBPU 1 bulan dari 19,5% menjadi 13,5% . Pembelian SBPU menunjukkan peningkatan dari Rp 2,6 triliun menjadi Rp 3,9 triliun. Sejalan dengan penurunan tingkat diskonto SBI dan SBPU,, suku bunga simpanan dan kredit juga mengalami penurunan tetapi dengan tingkat penurunan yang berbeda, yaitu suku bunga simpanan mengalami penurunan lebih cepat daripada suku bunga kredit. Dalam tahun 1992/93 suku bunga deposito jangka waktu 3 bulan turun dari 21,3% menjadi 15,7%, sementara suku bunga kredit modal kerja menurun dari 24,8% menjadi 21,7% dan suku bunga kredit investasi menurun dari 19,2% menjadi 18,3% . Perkembangan suku bunga perbankan dan tingkat diskonto alat-alat moneter tersebut dapat dilihat pada Tabel IV-21. IV/56 TABEL IV – 21 1) PERKEMBANGAN SUKU BUNGA, 1988/89 – 1992/93 No. Akhir Repelita IV (1988/89) Uraian Repelita V 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 2) 1. 2. 3. 4. Suku bunga Deposito Berjangka (%) 3 bulan 6 bulan 12 bulan 24 bulan 3) Suku bunga Kredit (%) Kredit Modal Kerja Kredit Investasi 18,0 19,2 18,8 16,9 16,2 16,9 17,8 18,6 24,2 23,5 20,0 20,4 21,3 22,0 22,5 20,7 15,7 16,3 17,7 19,3 22,3 19,6 20,2 18,8 26,7 23,2 24,8 19,2 21,7 18,3 Tingknt Diskonto SBI (%) 7 hari 1 bulau 3 bulan 13,8 17,1 10,2 13,1 13,9 20,2 23,6 24,7 17,0 18,0 19,0 11,5 12,5 12,8 Tingkat Diskonto SBPU (%) 7 hari 1 bulan 3 bulan 15,8 17,6 12,7 14,0 14,8 24,8 18,5 19,5 20,5 12,5 13,5 14,0 l) Suku bunga/tingkat diskonto pada akhir periode 2) Rata-rata tertimbang 3) Rata-rata tertimbang untuk kredit non-prioritas IV/57 D. PERBANKAN, LEMBAGA KEUANGAN LAIN, DAN PASAR MODAL 1. Perbankan Pada tanggal 27 Oktober 1988 telah ditempuh kebijaksanaan deregulasi di bidang perbankan, yang antara lain memberikan kemudahan dalam pemberian izin pendirian bank swasta nasional, bank campuran, dan bank perkreditan rakyat (BPR), serta kantor-kantor cabangnya. Selain itu, untuk meningkatkan daya tahan dan kesehatan bank, telah dikeluarkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit kepada debitur dan debitur grup, pengurus, serta pemegang saham bank. Ketentuan tersebut dimaksudkan agar bank-bank dapat memberikan pinjaman berdasarkan asas perkreditan yang sehat sehingga dapat mengurangi kemungkinan timbulnya risiko. Pengaruh paket Kebijaksanaan Oktober 1988 yang besar terhadap industri perbankan tercermin dari melonjaknya pertambahan jumlah bank, perluasan jaringan kantor bank, peningkatan volume usaha, dan semakin beragamnya jenis produk yang ditawarkan dalam kegiatan pasar rupiah dan valuta asing. Jumlah bank dan kantor cabangnya meningkat pesat dari 7.817 dan 9.570 pada tahun 1988/89 menjadi 8.234 dan 11.768 pada tahun 1990/91. Guna meningkatkan kesehatan perbankan melalui Paket Kebijaksanaan Februari 1991 telah ditetapkan kebijaksanaan yang bertalian dengan penyempurnaan pengawasan dan pembinaan bank-bank. Kebijaksanaan tersebut memuat 5 aspek pokok, yaitu aspek perizinan, kepemilikan, dan kepengurusan; aspek pedoman operasional atas dasar prinsip kehati-hatian; aspek sistem pelaporan; aspek tata cara penilaian tingkat kesehatan bank dan sanksi pelanggarannya; serta aspek faktor penunjang yang diperlukan bagi pengembangan usaha bank. Di bidang permodalan, bank diwajibkan mempunyai modal minimum sebesar 8 % dari aktiva tertimbang menurut risiko sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh Bank for IV/58 International Settlements (BIS). Pemenuhan modal tersebut dilakukan secara bertahap, yaitu 5 % sejak akhir Maret 1992, 7 % sejak akhir Maret 1993, dan 8 % mulai akhir Desember 1993 nanti. Di samping itu, juga dilakukan penyesuaian ketentuan tentang pembentukan cadangan bagi aktiva yang diklasifikasikan guna menutup risiko kemungkinan kerugian dari penanaman aktiva. Pedoman operasional bank atas dasar prinsip kehati-hatian dimaksudkan untuk menghindari risiko yang dapat timbul akibat meningkatnya kegiatan usaha bank. Sebagai penjabaran prinsip tersebut telah disempurnakan sistem penilaian tingkat kesehatan bank yang mencakup faktor-faktor permodalan, kualitas aktiva produktif, manajemen, rentabilitas, dan likuiditas. Dalam rangka peningkatan efisiensi dan kelancaran usaha bank, dilakukan pula upaya penyempurnaan berbagai faktor penunjang, seperti kewajiban penyediaan dana bagi pengembangan sumber daya manusia, pendirian perusahaan pialang pasar uang rupiah dan valuta asing, serta tata cara penggunaan Diskonto I. Untuk memperkuat kerangka pengaturan perbankan sebagaimana telah diatur dalam beberapa paket tersebut di atas, diperlukan suatu landasan hukum yang mampu menampung tuntutan perkembangan jasa perbankan sekarang dan masa yang" akan datang. Sehubtingan dengan hal tersebut, telah disahkan Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan pada bulan Februari 1992. Dalam undang-undang tersebut, lembaga perbankan disederhanakan menjadi dua jenis, yaitu bank umum dan bank perkreditan rakyat (BPR). Dengan Undang-undang tersebut, kerangka peraturan perbankan nasional yang semula mengarah ke spesialisasi berubah ke arah kegiatan perbankan yang lebih luas. Bank umum dapat secara leluasa mengkhususkan diri pada kegiatan tertentu sesuai dengan keahlian dan bidang usaha yang ingin dikembangkan, seperti melaksanakan kegiatan pembiayaan jangka panjang, pengembangan koperasi, pengembangan golongan ekonomi lemah/pengusaha kecil, pengembangan ekspor non migas, dan pengembangan pembangunan perumahan. Selain itu, bank umum dapat melakukan emisi saham melalui Bursa Efek Indonesia dan khusus bagi bank umum milik negara emisi saham hanya dapat dilakukan tanpa mengakibatkan perubahan atas mayoritas kepe- milikan saham oleh negara. Kegiatan usaha lain yang dapat dilakukan adalah menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil. Sementara itu, BPR diarahkan untuk mendukung pembangunan wilayah pedesaan serta pelayanan golongan ekonomi lemah/pengusaha kecil. Perkembangan jumlah bank hingga akhir tahun 1992 mencapai 8.728 buah, yang terdiri dari 208 bank umum, 1.239 BPR bukan pedesaan, dan 7.281 BPR pedesaan. Sedangkan jumlah kantor cabang bank mencapai 12.927 buah, yang terdiri dari 4.407 kantor cabang bank umum dan 8.520 kantor BPR. 2. Lembaga Keuangan Lain Lembaga keuangan lain, yang terdiri dari Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB), lembaga pembiayaan, asuransi, dana pensiun, dan pegadaian merupakan salah satu sumber pembiayaan investasi yang mempunyai peranan cukup penting di samping perbankan. Selama kurun waktu 4 tahun pelaksanaan Repelita V, dalam upaya mengembangkan kegiatan lembaga keuangan di luar perbankan telah dikeluarkan berbagai ketentuan antara lain menyangkut perubahan status LKBB untuk menjadi bank atau perusahaan sekuritas yang dituangkan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992. Selama periode 1989/90-1991/92 jumlah LKBB tidak mengalami perubahan yaitu 13 LKBB yang t er dir i da r i 3 jenis pembiayaan pembangunan, 9 jenis pembiayaan investasi dan 1 jenis pembiayaan perumahan dengan jumlah kantor sebanyak 21. Dari 13 LKBB tersebut berhasil dihimpun dana. masyarakat melalui penerbitan surat berharga sebesar Rp 3,8 triliun pada tahun 1989/90 dan meningkat menjadi Rp 4,2 triliun dalam tahun 1991/92 sedangkan jumlah aktiva meningkat dari Rp 4,1 triliun menjadi Rp 5 triliun dalam periode yang sama. Dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, 12 dari 13 LKBB yang ada telah menyesuaikan usahanya menjadi bank dalam tahun 1992/93. Sementara itu, satu LKBB telah menyesuaikan usahanya menjadi perusahaan pembiayaan (modal ventura). IV/60 Perusahaan pembiayaan yang terdiri dari sewa guna usaha (leasing), pembiayaan konsumen, anjak piutang, modal ventura, usaha kartu kredit dan perdagangan surat berharga dalam tahun 1992 telah meningkat menjadi 146 perusahaan dibandingkan dengan 102 perusahaan pada tahun 1990. Perusahaan pembiayaan tersebut meliputi 101 perusahaan swasta nasional, 44 perusahaan patungan dan 1 perusahaan milik negara. Dalam rangka memberikan landasan hukum yang pasti dan u n t u k me n i n gka t ka n p e mb i n a a n da n p en ga w a s a n us a ha perasuransian, sejak 11 Februari 1992 telah diberlakukan Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang peraturan pelaksanaannya ditetapkan melalui PP No. 73 Tahun 1992 tanggal 30 Oktober 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. Undang-undang ini pada dasarnya menganut asas spesialisasi jenis jenis usaha di bidang perasuransian. Selain itu, juga ditegaskan adanya kebebasan dan perlindungan atas hak peserta asuransi. Jenis usaha perasuransian dibedakan atas usaha asuransi dan usaha penunjang usaha asuransi. Usaha asuransi meliputi usaha asuransi kerugian, asuransi jiwa, dan reasuransi sedangkan usaha penunjang asuransi terdiri atas usaha pialang asuransi, pialang reasuransi, penilai kerugian asuransi, konsultan aktuaria, dan agen asuransi. Dilihat dari bentuk hukum, usaha perasuransian dapat berbentuk perusahaan perseroan (persero), koperasi, perseroan terbatas, dan usaha bersama (mutual). Usaha konsultan aktuaria dan usaha agen asuransi dapat dilakukan oleh perusahaan perorangan. Sementara itu, untuk mencegah adanya pemaksaan dalam penutupan asuransi, setiap tertanggung memiliki kebebasan untuk memilih perusahaan asuransi penanggungnya. Aktivitas industri asuransi sampai dengan tahun keempat pelaksanaan Repelita V menunjukkan perkembangan yang pesat. Hal tersebut tercermin dari besarnya total aktiva, premi bruto, dan dana investasi yang dihimpun oleh usaha asuransi. Sampai akhir tahun 1992 dibanding tahun 1991, jumlah perusahaan perasuransian bertambah 8 buah menjadi 145 perusahaan, yang terdiri atas 46 IV/61 perusahaan asuransi jiwa, 90 perusahaan asuransi kerugian, 4 perusahaan reasuransi, dan 5 perusahaan asuransi sosial. Jumlah total aktiva industri asuransi pada tahun 1992 meningkat sebesar 26,3,% dibanding tahun 1991 sehingga mencapai Rp 7,9 triliun. Sementara itu, dalam periode yang sama jumlah premi bruto yang dihimpun oleh perusahaan asuransi mencapai Rp 2,7 triliun atau meningkat 17,8% , sedangkan dana investasi yang ditanamkan oleh perusahaan-perusahan asuransi mengalami peningkatan sebesar 25,6% sehingga mencapai Rp 6,3 triliun. Untuk memantapkan perkembangan usaha dana pensiun, pada tanggal 20 April 1992 dikeluarkan Undang-Undang No. 11 tentang Dana Pensiun. Dalam undang-undang tersebut dimungkinkan dua jenis badan hukum yang mengelola dan menjalankan dana pensiun, yaitu dana pensiun pemberi kerja dan dana pensiun lembaga keuangan. Dana pensiun pemberi kerja merupakan dana pensiun yang didirikan oleh orang atau badan yang memperkerjakan karyawan, yang menyelenggarakan program pensiun manfaat pasti atau program pensiun iuran pasti. bagi kepentingan sebagian atau seluruh karyawannya. Sementara itu, dana pensiun lembaga keuangan ialah dana pensiun yang dibentuk oleh bank atau perusahaan asuransi jiwa untuk menyelenggarakan program pensiun iuran pasti, baik karyawan maupun pekerja mandiri, yang terpisah dari dana pensiun pemberi kerja dari karyawan bank atau perusahaan asuransi jiwa yang bersangkutan. Lembaga dana pensiun, baik yang didirikan oleh BUMN maupun oleh perusahaan swasta, yang telah mendapat persetujuan Menteri Keuangan sampai dengan September 1992 mencapai 194 lembaga. Sementara itu, dalam rangka pengembangan sistem pembayaran pensiun, tugas dan. kewajiban penyelenggaraan pembayaran pensiun bagi pegawai negeri sipil (PNS) di seluruh Indonesia telah dilimpahkan kepada PT (Persero) Taspen. Posisi iuran dana pensiun PNS yang dihimpun melalui PT Taspen sampai dengan November 1992 mencapai Rp 4,8 triliun. Investasi yang disalurkan seluruh lembaga dana pensiun pada tahun 1992 diperkirakan mencapai hampir Rp 5 triliun, dan sebagian besar dialokasikan pada deposito. Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian yang bertujuan untuk memberikan pinjaman kepada masyarakat berpenghasilan rendah, dalam tahun 1992/93 telah melakukan penyesuaian ketentuan dengan menaikkan batas maksimum pagu pinjaman yang diberikan kepada peminjam (pegadai) dari Rp 500 ribu menjadi Rp 1,5 juta. Untuk pinjaman sebesar Rp 2.500 sampai dengan Rp 40 ribu bunga pinjamannya ditetapkan sebesar 3 % per bulan dengan jangka waktu pelunasan 6 bulan; untuk pinjaman di atas Rp 40 ribu sampai dengan Rp 1,5 juta bunga pinjamannya adalah 4% per bulan dengan waktu pelunasannya 3 bulan. Jumlah kantor pegadaian di seluruh Indonesia bertambah 14 sehingga menjadi 530 kantor pada tahun 1992. Kegiatan usaha pegadaian masih menunjukkan peningkatan sebagaimana terlihat pada kenaikan pemberian pinjaman dan jumlah yang dibayar kembali (penebusan). Selama tahun 1992, pemberian pinjaman dan penebusan masing-masing meningkat Rp 84 miliar (13,6%) dan Rp 142 miliar (25,8%) dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dengan kenaikan tersebut, jumlah sisa pinjaman bertambah Rp 8 miliar (2,6 %) sehingga menjadi Rp 530 miliar. 3. Pasar Modal Dalam kurun waktu 4 tahun pelaksanaan Repelita V telah dikeluarkan berbagai kebijaksanaan pengembangan pasar modal, antara lain pemberian izin bagi investor asing untuk memiliki saham perusahaan yang go public, kesempatan bagi pihak swasta untuk mengelola bursa paralel, serta pengenaan pajak penghasilan atas bunga deposito dan tabungan yang diberlakukan sejak tahun 1990. Sementara itu dalam bulan Oktober 1991 Bapepam sebagai pengawas pasar modal mengeluarkan ketentuan yang menyangkut pedoman perdagangan efek yang meliputi perizinan perusahaan efek, modal kerja perusahaan efek, nilai pasar yang wajar, keamanan dana nasabah, kewajiban menyelenggarakan pembukuan bagi perantara pedagang efek, larangan bagi wakil perantara pedagang efek, dan persyaratan keterbukaan orang dalam dan pemegang saham tertentu. IV/63 Selanjutnya, dalam bulan Desember 1991 Bapepam mengeluarkan ketentuan mengenai reksa dana yang menyangkut perizinan, tata cara pengoperasian, pelaporan, pemeriksaan, dan pedoman prospektus reksa dana. Sejak disahkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, investor asing diizinkan untuk membeli saham bank umum swasta yang tercatat di bursa saham maksimum sebesar 49%. Bagi bank umum milik negara, berdasarkan undang-undang tersebut ditetapkan lebih lanjut bahwa batas maksimum emisi di bursa adalah 49% dari kepemilikan saham oleh negara dan maksimum 49% di antaranya boleh dibeli investor asing. Dengan beralihnya fungsi Bapepam sebagai pengawas pasar modal maka perlu dibentuk lembaga penyelenggara bursa yang berdasarkan Keputusan Presiden No. 53 Tahun 1990 dikelola oleh perusahaan swasta. Sebagai pelaksanaan dari Keputusan Presiden tersebut, pada bulan Maret 1992 Pemerintah telah memberikan izin usaha kepada PT Bursa Efek Jakarta sebagai penyelenggara bursa efek di Jakarta. Selanjutnya PT Bursa Efek Jakarta (PT BEJ) telah mengupayakan peningkatan efisiensi bursa dan penambahan jenis perdagangan non reguler, antara lain perdagangan tutup sendiri (crossing), lewat batas porsi asing, dan hak penawaran terbatas (right issue), yang telah mulai dilaksanakan sejak 20 Juli 1992. Sementara itu, untuk menggairahkan aktivitas perdagangan saham, sejak tanggal 1 September 1992 PT BEJ juga telah mulai melaksanakan perdagangan pasar tunai di lantai bursa. Di samping itu, dalam tahun 1992/93 telah ditetapkan ketentuan mengenai Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu yang mengatur pelaksanaan transaksi yang terjadi di antara pihak-pihak terafiliasi dalam suatu perusahaan publik. Ketentuan tersebut ditujukan agar tidak terdapat pihak-pihak yang dirugikan. Setiap transaksi yang di dalamnya terdapat benturan kepentingan di antara IV/64 anggota dewan komisaris, direksi, atau pemegang saham harus mendapat persetujuan mayoritas pemegang saham yang tidak mempunyai benturan kepentingan dengan transaksi tersebut. Dalam hal transaksi penyertaan suatu perusahaan terhadap perusahaan lain mempunyai benturan kepentingan, maka perusahaan tersebut harus memenuhi asas keterbukaan dan dinilai oleh pihak yang tidak terkait. Dengan latar belakang kebijaksanaan tersebut di atas perkembangan pasar modal selama periode 1989/90 sampai dengan 1992/93 telah mengalami pasang-surut. Dalam tahun 1989/90 keadaan pasar modal cukup bergairah seperti tercermin pada meningkatnya jumlah perusahaan yang go public yang pada akhir Maret 1990 mencapai 66 perusahaan dengan nilai emisi sebesar Rp 2.739,2 miliar atau lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan 25 perusahaan pada akhir tahun 1988/89. Setelah mengalami perkembangan pesat, yang mencapai puncaknya pada awal triwulan I 1990/91, kegiatan pasar modal mulai menunjukkan kelesuan sampai akhir tahun 1990/91, dan masih terus berlanjut hingga akhir tahun 1991/92. Selama tahun 1991/92, jumlah perusahaan yang go public hanya bertambah 15 perusahaan dengan nilai emisi Rp 1,3 triliun dibandingkan dengan peningkatan sejumlah 60 perusahaan dengan. nilai emisi Rp 5,5 triliun pada tahun sebelumnya. Keadaan pasar modal selama tahun 1992/93 menunjukkan perkembangan yang membaik sebagaimana tercermin pada peningkatan jumlah perusahaan yang go public dan perkembangan indeks harga saham gabungan (IHSG) yang relatif baik, serta peningkatan jumlah dan nilai saham yang diperdagangkan. Perkembangan tersebut berkaitan dengan likuiditas perekonomian yang mulai dilonggarkan. Sampai dengan tahun 1992/93 jumlah perusahaan yang go public telah berkembang menjadi 194 perusahaan dengan dana yang dihimpun sebesar Rp 15,4 triliun terdiri atas 164 perusahaan yang memasarkan saham dengan nilai emisi Rp 11,5 triliun dan 30 perusahaan yang memasarkan obligasi dengan nilai emisi Rp 3,9 triliun. Di bursa paralel tercatat 7 perusahaan yang terdiri atas IV/65 4 perusahaan yang memasarkan saham, 2 perusahaan yang mema sarkan obligasi, dan 1 perusahaan yang memasarkan sekuritas kredit dengan nilai masing-masing sebesar Rp 125,4 miliar, Rp 25,0 miliar, dan Rp 3,0 miliar. Sementara itu, IHSG di Bursa Efek Jakarta menunjukkan perkembangan yang semakin baik dalam tahun 1992/93. IHSG meningkat dari 278,7 pada bulan Maret 1992 menjadi 317,2 pada akhir Juli 1992 dan menurun menjadi 310,8 pada akhir Maret 1993. Jumlah saham •yang diperdagangkan dalam tahun 1992/93 meningkat cukup pesat, yaitu 2,0 miliar lembar, dengan nilai transaksi sebesar Rp 10,1 triliun. Selain saham, obligasi ternyata semakin mempunyai peluang menjadi alternatif investasi yang cukup aman dan menguntungkan. Setelah mengalami kemandegan selama tahun 1991/92, perdagangan obligasi mulai menunjukkan perkembangan yang membaik. Jumlah emiten mencapai 30 perusahaan dengan jumlah kumulatif emisi sebesar 655,1 ribu lembar dan nilai kumulatif emisi sebesar Rp 3,9 triliun sampai dengan akhir Maret 1993, yang berarti terjadi peningkatan dibandingkan dengan 383,8 ribu lembar dan Rp 2,3 triliun pada akhir Maret 1992. IV/66