keuangan negara

advertisement
KEUANGAN NEGARA,
PERKEMBANGAN MONETER
DAN LEMBAGA-LEMBAGA KEUANGAN
BAB IV
KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN MONETER
DAN LEMBAGA-LEMBAGA KEUANGAN
A. PENDAHULUAN
Pelaksanaan kebijaksanaan keuangan negara dan moneter
dalam tahun keempat Repelita V merupakan kelanjutan dari
kebijaksanaan tahun-tahun sebelumnya. Sesuai Garis-garis Besar
Haluan Negara (GBHN) tahun 1988, kebijaksanaan keuangan negara
dan moneter diarahkan untuk mendorong pemerataan pembangunan,
peningkatan pertumbuhan ekonomi, dan pemantapan stabilitas
nasional.
Di bidang keuangan negara, kebijaksanaan anggaran belanja
berimbang dan dinamis terus dilanjutkan. Peningkatan penerimaan
dalam negeri, diupayakan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi
pajak dengan memperhatikan asas pemerataan dan keadilan.
Sementara itu, pengeluaran negara diupayakan makin terkendali,
terarah dan efisien. Pengeluaran rutin, diarahkan untuk kelancaran
kegiatan pemerintah yang sekaligus mendukung upaya peningkatan
IV/3
tabungan pemerintah. Sedangkan pengeluaran pembangunan
diarahkan untuk meningkatkan dan mengamankan kelangsungan
pembangunan serta untuk mendukung stabilitas ekonomi. Untuk
menjaga stabilitas ekonomi, maka dalam tahun 1990/91 dan tahun
1991/92 telah dibentuk Cadangan Anggaran Pembangunan (CAP)
masing-masing sebesar Rp 2,0 triliun dan Rp 1,5 triliun. Ringkasan
realisasi APBN dari tahun 1988/89 sampai dengan tahun 1992/93
dapat diikuti pada Tabel IV-1 dan Grafik IV-1.
Di bidang moneter, langkah-langkah pengendalian jumlah
uang beredar secara berhati-hati terus dilanjutkan untuk tetap
menjaga tingkat inflasi yang rendah. Keketatan likuiditas
perekonomian secara bertahap dilonggarkan melalui operasi pasar
terbuka, yang juga dimaksudkan untuk dapat menurunkan tingkat
sukubunga perbankan. Sementara itu, meskipun pertumbuhan
pemberian kredit perbankan secara keseluruhan melambat, namun
pemberian kredit kepada sektor produksi meningkat dalam tahun
1992/93. Beberapa undang-undang baru yang dikeluarkan pada awal
tahun 1992, yaitu Undang-Undang Perbankan, Undang-Undang
Usaha Perasuransian, dan Undang-Undang Dana Pensiun telah
mendorong lembaga keuangan melakukan konsolidasi selama tahun
1992/93.
B. KEUANGAN NEGARA
Dalam empat tahun pelaksanaan Repelita V kebijaksanaan
keuangan negara tetap didasarkan pada prinsip anggaran berimbang
dan dinamis. Dilihat dari sisi penerimaan maupun pengeluaran,
perkembangan di bidang keuangan negara telah mengalami berbagai
kemajuan. Realisasi penerimaan dalam negeri pada tahun 1992/93
telah meningkat menjadi Rp 47,5 triliun dari Rp 23,0 triliun pada
tahun terakhir Repelita IV. Peningkatan ini sejalan dengan berbagai
upaya yang terus-menerus dilakukan dengan disertai pengendalian
pengeluaran rutin. Upaya tersebut sekaligus meningkatkan tabungan
IV/4
TABEL IV - 1
RINGKASAN REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA
1989/89 – 1993/94
(miliar rupiah)
Akhir
Repelita IV
(1988189)
U r a i a n
Repelitn V
1989190
1990/91
1991/92
1)
1992/93
Penerimaan Dalam Negeri
23.004,3
28.739,8 39.546,4
41.584,8
47.452,5
Pengeluaran Rutin
20.739,0
24.331,1 29.997,7
30,227,6
34.031,2
Tabungan Pemerintah
2.265,3
4.408,7 9.548,7
11.357,2
13.421,3
Dana Bantuan Luar Negeri
9.990,7
9.429,3 9.904,6
10.409,1
10.715,7
Bantuan Program
Bantuan Proyek
(2.040,7)
(7.950,0)
(1.007,2) (1.396,8
(8.422,7) (8.507,8
)
)
(t.563,4)
(8.845,7)
(511,7)
(10.204,0)
Dana Pembanqunan
12.256,0
13.838,0 19.453,3
21.766,3
24.137,0
Pengeluaran Pembangunan
12.250,7
13.834,3 19.452,0
21.764,2
24.134,8
+ 2,1
+ 2,2
Surplus (+)/Defisit (-)
+ 5,3
+ 3,7
+ 1,3
1) Angka diperbaiki
GRAFIK IV - 1
RINGKASAN REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN
DAN BELANJA NEGARA,
1988/89 - 1992/93
IV/5
pemerintah. Peningkatan tabungan pemerintah tersebut merupakan
cermin semakin meningkatnya kemampuan dalam negeri untu k
membiayai pembangunan. Apabila dalam tahun terakhir pelaksanaan
Repelita IV realisasi tabungan pemerintah baru mencapai Rp 2,3
triliun, maka pada tahun 1992/93 telah meningkat menjadi Rp 13,4
triliun.
1 . Penerimaan Dalam Negeri
Kebijaksanaan penerimaan dalam negeri dalam Repelita V
dititik beratkan pada upaya menggali penerimaan di luar minyak dan
gas alam, khususnya penerimaan pajak, tanpa mengabaikan peluangpeluang yang terbuka untuk meningkatkan penerimaan dari minyak
dan gas alam. Selain itu, dilakukan pula berbagai upaya untuk
meningkatkan penerimaan bukan pajak antara lain melalui efisiensi
usaha dan penyempurnaan administrasi BUMN, penertiban dan
intensifikasi penerimaan rutin dari berbagai departemen/non departemen.
a . Penerimaan Minyak Bumi dan Gas Alam
Pada tahun 1992, situasi perekonomian dunia sudah mulai
menunjukkan tanda-tanda pemulihan kembali. Walaupun demikian,
sebagai akibat meningkatnya produksi minyak dunia, harga minyak
dunia bukan saja turun tetapi juga tidak stabil. Sehubungan dengan
itu, telah ditempuh berbagai upaya, baik antara sesama negara
anggota OPEC ataupun dengan pengekspor minyak bukan OPEC
untuk menjaga stabilitas harga minyak di pasaran internasional.
Dengan upaya-upaya tersebut, dalam tahun 1992/93 harga
ekspor minyak mencapai rata-rata US$ 18,76 per barel yang berarti
masih berada di atas harga rata-rata yang digunakan dalam APBN
1992/93 yaitu US$ 17,00 per barel. Adapun, realisasi penerimaan
migas mencapai Rp 15,3 triliun, terdiri dari penerimaan minyak
IV/6
bumi sebesar Rp 12,1 triliun dan penerimaan gas alam sebesar
Rp 3,2 triliun. Perkembangan penerimaan minyak bumi dan gas alam
dapat diikuti dalam Tabel IV-2 dan Grafik IV-2.
b. Penerimaan di luar Minyak Bumi dan Gas Alam
Peranan penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam
sebagai sumber penerimaan dalam negeri sejak Repelita IV semakin
penting. Dalam periode sebelumnya bagian terbesar dari penerimaan
dalam negeri didominasi oleh sektor minyak bumi dan gas alam.
Sejak tahun ketiga Repelita IV, peran penerimaan di luar minyak
bumi dan gas alam rata-rata sekitar 59, 8 % , sedangkan sebelumnya
masih berada di bawah 50,0%. Upaya peningkatan penerimaan di
luar minyak dan gas alam dewasa ini terus semakin ditingkatkan,
mengingat penerimaan minyak bumi dan gas alam semakin sulit
diperkirakan.
Upaya untuk mengoptimalkan penerimaan di luar minyak bumi
dan gas alam, dilakukan dengan melanjutkan penataan dan
penyempurnaan sistem perpajakan yang dimulai sejak dikeluarkannya
undang-undang perpajakan tahun 1983. Usaha-usaha tersebut menunjukkan hasil yang menggembirakan .seperti terlihat pada makin
meningkatnya realisasi penerimaan di luar migas. Kalau dalam tahun
terakhir Repelita IV penerimaan di luar migas baru mencapai
Rp 13,5 triliun, maka dalam tahun keempat pelaksanaan Repelita V
penerimaan tersebut telah meningkat menjadi sebesar Rp 32,1 triliun
atau rata-rata meningkat sebesar 24,2% per tahun.
Salah satu sumber penerimaan yang penting di luar minyak
bumi dan gas alam adalah pajak penghasilan. Realisasi pener imaan
pajak penghasilan pada tahun keempat Repelita V telah meningkat
menjadi Rp 11,9 triliun dari Rp 3,9 triliun pada tahun terakhir
Repelita IV atau naik rata-rata sebesar 32,2% per tahun. Peningkatan
ini merupakan hasil dari intensifikasi maupun ekstens ifikasi
pemungutan pajak dan dukungan mutu pelayanan aparat perpajakan
TABEL IV - 2
PENERIMAAN DALAM NEGERI
1989/89 – 1993/94
(miliar rupiah)
No
Akhir
Repelita IV
(1988/89)
Jenis Penerimaan
1. Penerimaan minyak bumi dan
gas alam
9.527,0
Minyak bumi
(8.326,3)
Gas alam
(1.200,7)
Repelita V
1989/90 1990/91
1991/92
1)
1992/93
15.039,t
15.330,4
(9.502,0) (14.577,5) (12.481,3
)
(1.750,1) (3.134,4) (2.557,8)
(12.095,0)
11.252,1
17.711,9
(3.235,4)
2. Penerimaan di luar
minyak bumi dan gas alam
13.477,3
17.487,7
21.834,5
26.545,7
32.122,1
Jumlah
23.004,3
28.739,8
39.546,4
41.584,8
47.452,5
1) Angka diperbaiki
GRAFIK IV - 2
PENERIMAAN DALAM NEGERI,
1988/89 - 1992/93
IV/8
yang semakin baik. Pelaksanaan Undang-Undang nomor 7 tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan juga tetap memperhatikan segi
keadilan dan pemerataan pemungutannya, antara lain melalui
penetapan berkala dari PTKP (pendapatan tidak kena pajak). PTKP
pada tahun 1990 ditetapkan sebesar Rp 4,32 juta untuk keluarga
yang terdiri dari suami, istri, dan 3 orang anak, yang sebelumnya
ditetapkan sebesar Rp 2,88 juta.
Sementara itu realisasi penerimaan pajak pertambahan nilai
(PPN) sejak akhir Repelita IV sampai tahun 1992/93 terus
mengalami peningkatan yang cukup berarti. Hal ini terutama
dimungkinkan oleh peningkatan kegiatan perekonomian dalam
negeri, antara lain sebagai hasil deregulasi dan debirokratisasi dalam
berbagai sektor perekonomian yang telah menyebabkan
meningkatnya volume produksi dan perdagangan barang dan
jasa jasa yang terkena PPN. Penerimaan pajak pertambahan nilai
meningkat dari Rp 4,5 triliun dalam tahun 1988/89 menjadi Rp 10,7
triliun dalam tahun 1992/93. Dengan demikian dalam kurun waktu
lima tahun penerimaan pajak penghasilan mengalami peningkatan
rata-rata sebesar 24,2% per tahun.
Dalam hal pajak bumi dan bangunan (PBB), realisasi
penerimaan pada empat tahun pertama pelaksanaan Repelita V
mengalami peningkatan cukup tajam. Apabila pada awal Repelita V
realisasinya baru mencapai Rp 0,6 triliun, maka dalam tahun
1992/93 realisasinya telah meningkat menjadi Rp 1,1 triliun atau
meningkat sekitar 22,4% per tahun. Kebijaksanaan yang ditempuh
dalam bidang pajak bumi dan bangunan (PBB), di samping bertujuan
untuk meningkatkan penerimaan negara, juga ditujukan untuk
meningkatkan pemanfaatan produktivitas tanah dan bangunan. Untuk
mempermudah wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban pajaknya,
telah dilakukan perbaikan prosedur pembayaran pajak, serta
peningkatan sarana dan prasarana pemungutan pajak, antara lain
dengan memberlakukan sistem tempat pembayaran (Sistep) yang
telah tersebar di 81 Dati II di seluruh Indonesia, dan penggunaan
jasa Pos dan Giro.
IV/9
Pemutakhiran data objek pajak dan penyempurnaan klasifikasi
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) terus dilakukan sehingga nilai jual
objek pajak sesuai dengan perkembangan harga tanah dan bangunan.
Untuk meningkatkan kepatuhan dan kesadaran masyarakat dalam
membayar PBB telah dilakukan bimbingan, pembinaan dan
penyuluhan pengenaan sanksi hukum terhadap penunggak pajak.
Walaupun demikian, dalam hal penerapan hukum tersebut,
pelaksanaannya disesuaikan dengan peraturan perundangan yang
berlaku dan juga dengan cara yang baik, tetapi tetap lugas, dan bagi
wajib pajak yang tidak mampu tetap diberikan keringanan.
Penerimaan bea masuk, selain berfungsi sebagai salah satu alat
pengatur transaksi perdagangan internasional (fungsi regulator), juga
mempunyai fungsi budgeter, yaitu sebagai salah satu komponen
penerimaan dalam negeri. Realisasi penerimaan bea masuk sangat
erat kaitannya dengan jumlah impor, khususnya barang impor yang
kena bea masuk (dutiable import). Walaupun demikian, naiknya nilai
impor tidak selalu diikuti oleh naiknya realisasi penerimaan bea
masuk seperti misalnya yang terjadi dalam tahun 1991/92.
Meningkatnya realisasi impor dalam tahun 1991/92 sebesar 12,1%
terhadap impor tahun 1990/91 justru diikuti oleh turunnya realisasi
penerimaan bea masuk sebesar 14,2%. Kondisi tersebut dapat terjadi
antara lain karena makin banyaknya impor barang yang memperoleh
pembebasan atau keringanan bea masuk yang diberikan dalam rangka
menunjang efisiensi industri dalam negeri untuk meningkatkan daya
saing komoditi ekspor non migas. Di samping itu, keadaan tersebut
juga dapat terjadi karena adanya pergeseran jenis barang yang
diimpor, yaitu dari jenis barang impor dengan tarif bea masuk tinggi
menjadi barang impor dengan tarif yang lebih rendah.
Realisasi penerimaan bea masuk pada tahun 1992/93 telah
meningkat menjadi Rp 2,7 triliun dari Rp 1,6 triliun pada tahun
1989/90 atau naik sekitar 68, 8 % dalam waktu empat tahun.
Peningkatan ini memberi indikasi semakin efektifnya proses
pemungtitan bea masuk. Bahkan penerimaan bea masuk yang
IV/10
berhasil dipungut semakin meningkat dalam tahun 1992/93 dengan
mulai berlakunya deregulasi di sektor riil tanggal 6 Juli 1992.
Penerimaan cukai, yang terdiri dari penerimaan cukai hasil
tembakau, cukai gula, cukai bir, dan cukai alkohol sulingan, secara
umum mengalami peningkatan. Dalam tahun terakhir Repelita IV
realisasi penerimaan cukai baru mencapai Rp 1,4 triliun sedangkan
pada tahun keempat Repelita V penerimaan tersebut telah mencapai
Rp 2,4 triliun atau meningkat rata-rata sebesar 14,4 ! per tahun.
Dalam rangka peningkatan penerimaan cukai tersebut,
kebijaksanaan yang ditempuh adalah melalui penyesuaian harga yang
selaras dengan peningkatan kegiatan usaha maupun peningkatan
pendapatan para petani dan para pabrikan. Untuk jenis cukai gula,
penetapan cukainya diselaraskan dengan pembangunan pertanian
yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan dan meningkatkan
taraf hidup petani, serta memperluas kesempatan kerja dan berusaha.
Oleh karena itu, penetapan tarif cukai gula diupayakan agar selalu
dalam batas-batas yang tidak menyulitkan produsen gula dan petani
tebu, sedangkan penetapan harga ecerannya tidak memberatkan
masyarakat konsumen gula. Selain itu untuk jenis cukai bir,
peningkatan penerimaan disebabkan oleh meningkatnya produksi bir
yang berkaitan erat dengan meningkatnya arus wistawan manca
negara. Seperti halnya dengan cukai bir, peningkatan penerimaan
cukai alkohol sulingan juga terutama disebabkan oleh peningkatan
produksinya.
Sementara itu, komponen penerimaan di luar minyak bumi
dan gas alam lainnya yang berkaitan dengan transaksi
perdagangan luar negeri adalah dari pajak ekspor. Realisasi pajak
ekspor meningkat dari Rp 155,6 miliar pada tahun 1988/89
menjadi Rp 171,5 miliar pada tahun 1989/90 atau meningkat sebesar
10,2%. Dalam tahun 1989/90 hingga tahun keempat pelaksanaan
Repelita V, penerimaan pajak ekspor mengalami penurunan rata-rata
sebesar 63,3 % per tahun. Penurunan penerimaan ini berkaitan erat
dengan pemberian berbagai kemudahan di bidang ekspor seperti
IV/11
penyederhanaan prosedur ekspor, keringanan dan pembebasan pajak
untuk mendorong ekspor non migas. Dengan demikian penerimaan
pajak eskpor terutama adalah bersumber dari komoditi eskpor yang
dikenakan tarif pajak eskpor dan pajak ekspor tambahan yang tinggi,
seperti kayu gergajian dan kayu olahan, sebagaimana tertuang dalam surat
Keputusan Menteri Keuangan No. 1134 Tahun 1989
Kebijaksanaan tersebut ditujukan agar pengolahan kayu dapat
dilakukan di dalam negeri, sehingga selain dapat memberikan nilai
tambah yang lebih besar bagi ekonomi nasional juga dapat
memperluas kesempatan kerja.
Realisasi penerimaan pajak lainnya pada tahun 1988/89 adalah
sebesar Rp 292,1 tr.Mliar. Pada tahun pertama dan kedua Repelita V
realisasinya mengalami penurunan, masing-masing menjadi Rp 275,5
miliar dan Rp 243,5 miliar. Hal ini terjadi karena diturunkannya bea
materai atas cek dan bilyet giro menjadi Rp 500,- sebagaimana diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1989. Tetapi dalam
tahun ketiga dan keempat Repelita V realisasi penerimaan pajak
lainnya telah meningkat kembali masing-masing menjadi Rp 302,6
miliar dan Rp 359,9 miliar atau dalam empat tahun Repelita V,
rata-rata meningkat sebesar 5,4% per tahun.
Penerimaan bukan pajak berasal antara lain dari keikutsertaan
pemerintah dalam kegiatan dunia usaha. Realisasi penerimaan bukan
pajak telah meningkat dari Rp 1,6 triliun pada tahun 1988/89
menjadi Rp 3,0 triliun pada tahun 1992/93 atau meningkat rata-rata
17,0% per tahun. Peningkatan ini sejalan dengan langkah-langkah
peningkatan efisiensi dan efektivitas BUMN yang antara lain
ditempuh melalui.perubahan status hukum BUMN. Di samping itu,
juga dilakukan upaya penertiban pemungutan pada semua
Departemen/Lembaga negara sehubungan dengan pelayanan yang
diberikan kepada masyarakat. Hal ini dilaksanakan melalui
intensifikasi pemungutan, penertiban administrasi pengelolaan dan
prosedur penyetoran, serta peningkatan pengawasan terhadap
pelaksanaannya. Perkembangan penerimaan di luar migas dapat
diikuti dalam Tabel IV-3 dan Grafik IV-3.
IV/12
TABEL IV - 3
PENERIMAAN DI LUAR MINYAK BUMI DAN GAS ALAM
1989/89 – 1993/94
(miliar rupiah)
Repelita V
Akhir
Repelita IV
(1988189)
1989/90
1. Pajak Penghasilan
3.949,4
5.487,7
6.755,3
9.580,4 11.912,6
2. Pajak Pertumbuhan Nilai
4.505.3
5.836,7
7.462,7
8.926,1 10.714,4
3. Bea Masuk
1.192,0
1.587,0
2.485,7
2.133,1
2,652,2
4. Cukai
1.389,9
1.476,8
1.917,3
2.222,8
2.380,8
5. Pajak Ekspor
155,6
171,5
44,2
18,8
8,5
6. Pajak Lainnyn
292,1
275,5
243,5
302,6
359,9
7. Pajak Bumi dan Bangunan
424,2
590,4
811,0
874,6
1.100,6
2.062,1
2.114,8
2.487,3
2.993.1
No.
Jenis Penerimaan
8. Penerimaan Bukan Pajak
Jumlah
1.568.8
13.477,3
1990/91
17.487,7 21.834,5
1991/92
1)
1992/93
26.545,7 32.122,1
1) Angka diperbaiki
GRAFIKIV - 3
PENERIMAAN DI LUAR MINYAK BUMI DAN GAS ALAM
1989/89 – 1993/94
IV/13
2. Pengeluaran Rutin
Kebijaksanaan pengeluaran rutin senantiasa dilandasi prinsip
efisiensi dan efektivitas serta diselaraskan dengan kemampuan
penerimaan dalam negeri. Alokasi pengeluaran rutin terutama
digunakan untuk menambah kemampuan dan kualitas pelayanan
aparatur pemerintah terhadap masyarakat. Sementara itu, pengeluaran rutin juga digunakan untuk biaya operasional pemerintahan dan
pemeliharaan hasil-hasil pembangunan, belanja barang, kewajiban pemerintah bagi pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri
serta pengeluaran rutin lainnya.
Dalam empat tahun pelaksanaan Repelita V realisasi
pengeluaran rutin terus mengalami peningkatan sehingga dalam tahun
anggaran 1992/93 mencapai Rp 34,0 triliun atau 64,1 % lebih tinggi
bila dibandingkan dengan realisasi tahun terakhir Repelita IV, atau
rata-rata meningkat 13,2% per tahun. Sebagian besar dari
peningkatan pengeluaran rutin tersebut, selain karena meningkatnya
pembiayaan untuk belanja pegawai, baik pusat maupun daerah, juga
disebabkan oleh peningkatan kebutuhan biaya operasional dan
pemeliharaan untuk mendukung kegiatan pemerintahan dan
pengoperasian proyek-proyek pembangunan, serta meningkatnya
kewajiban pemerintah untuk membayar bunga dan cicilan hutang luar
negeri. Perkembangan pengeluaran rutin secara lebih rinci dapat
diikuti pada Tabel IV-4 dan Grafik IV-4.
Searah dengan berbagai perkembangan pembangunan yang
makin beragam, dituntut kualitas aparatur pemerintah yang makin
baik dalam melayani berbagai keperluan dan kepentingan
masyarakat. Peningkatan kualitas aparatur pemerintah, antara lain
diupayakan melalui pembinaan dan pendayagunaan aparatur
pemerintah, pendidikan dan pelatihan serta peningkatan
kesejahteraan pegawai guna memacu semangat dan produktivitas
kerja aparatur pemerintah. Mengacu kepada kebijaksanaan tersebut,
dalam tahun anggaran 1992/93 realisasi belanja pegawai meningkat
IV/14
TABEL IV - 4
PENGELUARAN RUTIN
1988/89 – 1993/94
(miliar rupiah)
1) Angka diperbaiki
IV/15
GRAFIK IV - 4
PENGELUARAN RUTIN,
1988/89 – 1992/93
IV/16
menjadi Rp 9,5 triliun atau 89,4% lebih tinggi dari realisasi tahun
1988/89.
Alokasi belanja pegawai tersebut mencakup pembiayaan untuk
gaji dan pensiun, tunjangan beras, biaya makan dan lauk pauk,
lain-lain belanja pegawai dalam negeri, dan belanja pegawai luar
negeri. Dari seluruh komponen belanja tersebut, pembayaran gaji
dan pensiun merupakan pos yang terbesar. Dalam tahun anggaran
1992/93 realisasi belanja gaji dan pensiun mencapai Rp 7,5 triliun
atau 96,5% lebih tinggi dari realisasi tahun terakhir Repelita IV, atau
rata-rata meningkat sebesar 18,4% per tahun selama empat tahun
pelaksanaan Repelita V. Peningkatan tersebut disediakan untuk
menaikkan gaji pokok, dan tambahan tunjangan-tunjangan pegawai.
Selama Repelita V, pemerintah telah dua kali menyesuaikan besarnya
gaji pokok melalui Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1992 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1993. Selain itu, Pemerintah
juga telah tiga kali menaikkan tunjangan perbaikan penghasilan,
masing-masing sebesar rata-rata 15,0% terhitung sejak bulan April
1989, sebesar rata-rata 10,0% terhitung sejak bulan Januari 1990,
dan sebesar rata-rata 15,0% dari penghasilan bersih sejak bulan Juli
1991.
Realisasi pengeluaran rutin untuk tunjangan beras telah
meningkat cukup besar. Apabila dalam tahun 1988/89 realisasi
tunjangan beras adalah Rp 518,3 miliar, maka pada tahun 1992/93
meningkat menjadi Rp 887,9 miliar atau naik sebesar 71,3 % dalam
empat tahun terakhir. Peningkatan ini selain karena penambahan
jumlah pegawai juga karena penyesuaian harga-harga beras dan
tunjangan uang makan/lauk pauk.
Sementara itu, pada tahun 1992/93 realisasi lain-lain belanja
pegawai berjumlah Rp 313,1 miliar atau meningkat sebesar 69,2%
dari tahun terakhir Repelita IV. Realisasi belanja pegawai luar negeri
untuk tahun 1992/93 berjumlah Rp 258,5 miliar atau 91,2% lebih
tinggi dibandingkan dengan realisasi tahun terakhir Repelita IV.
IV/17
Peningkatan tersebut erat kaitannya dengan penyesuaian besarnya
angka dasar tunjangan luar negeri (ADTLN), angka pokok tunjangan
luar negeri (APTLN), dan perkembangan nilai tukar mata uang
negara bersangkutan terhadap rupiah serta bertambahnya jumlah
pegawai yang ditempatkan di luar negeri. Perkembangan realisasi
belanja pegawai dapat diikuti pada Tabel IV-5.
Dalam pada itu, realisasi pengeluaran belanja barang
mengalami -peningkatan yang cukup besar. Pengeluaran belanja
barang ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan berbagai sarana
dan prasarana kerja bagi kegiatan operasional pemerintahan,
pelayanan terhadap masyarakat serta pemeliharaan kekayaan negara
yang semakin meningkat dan tersebar di seluruh wilayah tanah air.
Selanjutnya, subsidi daerah otonom terus meningkat dari
tahun ke tahun. Peningkatan ini sebagian besar disebabkan oleh
penyesuaian gaji pokok dan pensiun pegawai daerah, tambahan
pegawai baru, kenaikan gaji berkala, kenaikan pangkat/golongan dan
kenaikan tunjangan perbaikan penghasilan (TPP). Dalam perkembangannya, realisasi subsidi daerah otonom pada tahun 1992/93
meningkat menjadi Rp 5,3 triliun dari Rp 3,0 triliun pada tahun
1988/89 atau naik sebesar 76,7 % selama empat tahun.
Salah satu pos pengeluaran rutin yang sangat penting untuk
menjaga kredabilitas dalam kerja sama internasional adalah
pembayaran bunga dan cicilan hutang atas pinjaman yang telah kita
terima untuk membiayai proyek-proyek pembangunan. Realisasi
pembayaran bunga dan cicilan hutang dalam tahun keempat
pelaksanaan Repelita V telah mencapai Rp 15,2 triliun dari Rp 10,9
triliun pada tahun 1988/89 atau meningkat rata-rata sebesar 8,7 % per
tahun. Peningkatan ini terjadi karena meningkatnya jumlah hutang
luar negeri yang jatuh tempo, terjadinya apresiasi mata uang kuat
utama dunia terhadap dolar Amerika, dan karena penyesuaian nilai
tukar rupiah.
IV/18
TABEL IV - 5
BELANJA PEGAWAI,
1988189 - 19 92 /9 3
(milia r rupia h)
Akhir
No.
Jenis Pengeluaran
Repelita V
Repelita IV
(1988/89)
1989/90
1990/91
1991/92
1)
1992/93
518,3
588,4
639,8
922,4
887,9
3.832,7
4.826,0
5.570,5
6.299,3
7.532,8
1.
Tunjangan beras
2.
Gaji pegawai/pensiun
3.
Uang makan/lauk pauk
326,9
373,1
381,7
393,2
473,4
4.
Lain-lain belanja
pegawai dalam negeri
185,1
242,6
263,6
278,5
313,1
Belanja pegawai
luar negeri
135,2
171,4
197,9
209,1
258,5
4.998,2
6.201,5
7.053,5
8.102,5
9.465,7
5.
Jumlah
1) Angka diperbaiki
IV/19
Selain daripada itu, lain-lain pengeluaran rutin dialokasikan
untuk membiayai berbagai kegiatan yang sifatnya mendukung dan
menunjang berbagai program pemerintah. Lain-lain pengeluaran
rutin ini yang terbesar adalah subsidi bahan bakar minyak, biaya
Pemilu, dan berbagai bentuk bantuan. Dalam perkembangannya,
realisasi lain-lain pengeluaran rutin terus mengalami penurunan. Hal
ini karena dilakukannya pengurangan subsidi BBM melalui
penyesuaian harga BBM dalam negeri yaitti pada tahun 1990, 1991
dan terakhir tahun 1993. Sejalan dengan itu, telah pula diupayakan
pengembangan briket batu bara untuk mengurangi ketergantungan
rumah tangga akan kebutuhan minyak tanah.
3. Dana Pembangunan dan Pengeluaran Pembangunan
Dengan makin meningkatnya dan beragamnya jenis kegiatan
pembangunan, diperlukan dana pembangunan yang semakin besar.
Salah satu sumber dana pembangunan diperoleh dari tabungan
pemerintah yang diupayakan terus-menerus meningkat, antara lain
melalui penghematan pengeluaran rutin,. Sementara itu, sumber dana
dari luar negeri dimanfaatkan untuk melengkapi kebutuhan dana
pembangunan. Dalam tahun 1992/93 realisasi dana pembangunan
telah mencapai Rp 24,1 triliun sedangkan dalam tahun terakhir
Repelita IV berjumlah Rp 12,3 triliun. Perkembangan dana
pembangunan, tabungan pemerintah dan bantuan luar negeri dapat
diikuti pada Tabel IV-6 dan Grafik IV-5.
Pengeluaran pembangunan dalam Repelita V diarahkan untuk
penyediaan sarana dan prasarana dasar yang menunjang kegiatan
ekonomi, penyediaan pelayanan dasar yang makin luas bagi rakyat,
pengembangan sumber daya manusia, penanggulangan kemiskinan
dan penyediaan dana operasi dan pemeliharaan yang memadai bagi
proyek-proyek yang sudah selesai dibangun. Apabila realisasi
pengeluaran pembangunan pada tahun terakhir Repelita IV baru
mencapai Rp 12,3 triliun, maka realisasi dalam tahun anggaran
1992/93 telah meningkat menjadi Rp 24,1 triliun atau meningkat
IV/20
TABEL IV - 6
PERKEMBANGAN DANA PEMBANGUNAN, TABUNGAN PEMERINTAH
DAN DANA BANTUAN LUAR NEGERI,
1988189-1992/93
(miliar rupiah)
Repelita V
Akhir
No.
Uraian
Repelita IV
(1988/89)
1989/90
1990/91
1991/92
2.265,3
4.408,7
9.548,7
11.357,1
13.421,3
18,5%
31,9%
49,1%
52,2%
55,6%
9.990,7
9.429,3
9.904,6
10.409,1
81,5%
68,1%
50,9%
47,8%
12.256,0
13.838,0
19.453,3
21.766,3
100,0%
100,0%
100,0%
100,0%
1. Tabungan Pemerintah
1)
1992/93
2)
Persontase
2. Dana Bantuan Luar Negeri
10.715,7
2)
Persentase
Jumlah Dana Pembangunan
44,4%
24.137,0
2)
Persentase
100,0%
1) Angka diperbaiki
2) Terhadap Jumlah Dana Pembangunan
IV/21
GRAFIK IV - 5
PERKEMBANGAN DANA PEMBANGUNAN, TABUNGAN PEMERINTAH
DAN DANA BANTUAN LUAR NEGERI,
1988189 -1992193
IV/22
hampir dua kali lipat. Alokasi anggaran belanja pembangunan yang
cukup besar diberikan kepada lima sektor utama, yaitu sektor
perhubungan dan pariwisata, sektor pertanian dan pengairan, sektor
pendidikan, generasi muda, kebudayaan nasional, dan Kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sektor pertambangan dan energi,
serta sektor pembangunan daerah, desa, dan kota. Rincian realisasi
pengeluaran pembangunan menurut sektor dan subsektor dapat diikuti
pada Tabel IV-7.
Dalam tahun anggaran 1992/93 realisasi pengeluaran pembangunan untuk sektor perhubungan dan pariwisata adalah Rp 4,5
triliun atau meningkat 15,4% dari tahun 1991/92 yang hanya sebesar
Rp 3,9 triliun. Pengeluaran tersebut antara lain untuk membiayai
pembangunan jalan dan jembatan baru, rehabilitasi jalan,
pemeliharaan rutin jalan dan jembatan, pengembangan fasilitas lalu
lintas, perluasan sarana dan prasarana kereta api, pembangunan
kereta rel listrik, pembangunan fasilitas pelabuhan, pembangunan
dermaga baru, pemasangan sarana bantu navigasi, peningkatan dan
pemeliharaan landasan udara, peningkatan dan pemeliharaan fasilitas
bangunan terminal penumpang dan barang. Di samping itu, anggaran
tersebut juga dimanfaatkan untuk perluasan fasilitas dan jangkauan
telekomunikasi, pengembangan dan perluasan daerah tujuan wisata,
pembinaan dan pemanfaatan kekayaan. dan keindahan alam, serta
penciptaan iklim dan lingkungan yang mendukung kegiatan usaha
kepariwisataan.
Realisasi pengeluaran pembangunan untuk sektor pertanian
dan pengairan untuk tahun 1992/93 adalah sebesar Rp 3,2 triliu n
atau naik sekitar 19,4% dari tahun 1991/92. Pengeluaran ini ter utama digunakan untuk meningkatkan produktivitas usaha tani dan
nilai tambah komoditas pertanian, serta untuk mendorong kemampu an dan peran serta masyarakat tani dalam kelembagaan ekonomi dan
IV/23
TABEL IV - 7
REALISASI PENGELUARAN PEMBANGUNAN MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR,
1999/89 - 1992/93
(miliar rupiah)
No.
Sektor / Sub Sektor
Akhir
Repalita IV
(1988/89)
1. SEKTOR PERTANIAN DAN PENGAIRAN
Sub Sektor Pertanian
Sub Sektor Pengairan
Repalita V
1)
1989/9D
1990/91
1991/92
1992/93
1.614,0
2.049,4
2.307,9
2.713,1
3.240,2
(1.087,5)
(526,5)
(1.544,9)
(504,5)
(I.534,6)
(773,3)
(1.757,3)
(955,8)
(2.144,0)
(1.096,2)
2. SEKTOR INDUSTRI
446,8
399,8
547,1
544,5
570,2
Sub Sektor Industri
(446,8)
(399,8)
(547,1)
(544,5)
(570,2)
2.073,4
1.417,3
1.874,3
2.463,3
3.332,9
(118,1)
(I.955,3)
(20,6)
(1.396,7)
(167,0)
(1.707,3)
(177,2)
(2.286,1)
(290,5)
(3.042,4)
2.010,5
3.006.0
3.743,3
3.910,4
4.537,2
(L046,9)
(247,5)
(243,3)
(353,7)
(93,1)
(26,0)
(1.359,5)
(561,9)
(295,4)
(557,3)
(223,B)
(8,l)
(2.316,4)
(587,L)
(276,1)
(434,9)
(114,7)
(14,1)
(2.494,8)
(397,0)
(381,0)
(444,8)
(171,3)
(21,5)
(2.816,3)
(467,9).
(435,9)
(539,5)
(221,0)
(56,6)
314,6
414,5
199,0
579,1
338,4
(192,5)
(122,1)
(291,2)
(123,3)
(42,1)
(156.9)
(413,1)
(166,0)
(105,4)
(233,0)
265,8
281,2
579,7
718,4
897,3
(52,8)
(213,0)
(75,5)
(205,7)
(67,1)
(512,6)
(86,2)
(632,2)
(134,7)
(762,6)
3. SEKTOR PERTAMBANGAN DAN ENERGI
Sub Sektor Partambangan
Sub Sektor Energi
4. SEKTOR PERHUBUNGAN DAN PARIWISATA
Sub Sektor Prasarana Jalan
Sub Sektor Perhubungan Darat
Sub Sektor Perhubungan Laut
Sub Sektor Perhubungan Udara
Sub Sektor Pos dan Telekomunikasi
Sub Sektor Pariwisata
5. SEKTOR PERDAGANGAN DAN KOPERASI
Sub Sektor Perdagangan
Sub Sektor Koperasi
6. SEKTOR TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
Sub Sektor Tenaga Kerja
Sub Sektor Transmigrasi
IV/24
(Lanjutan Tabel – 7)
IV/24a
IV/25
sosial pedesaan seperti Koperasi unit Desa (KUD) dan kelompok
tani.
Selain itu, realisasi anggaran pembangunan dalam tahun
1992/93 untuk sektor pendidikan, generasi-muda, kebudayaan
nasional, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah
sebesar Rp 3,1 triliun atau meningkat sebesar 30,2% dari tahun
1991/92. Anggaran tersebut terutama digunakan untuk'pembangunan
berbagai sarana dan fasilitas pendukung di semua tingkat/jenjang
pendidikan, penyediaan biaya operasional pendidikan, penataran
guru, pengadaan buku bacaan dan peralatan pendidikan, pengiriman
para dosen untuk mengikuti program pendidikan pascasarjana di
dalam dan luar negeri, serta pembinaan generasi muda.
Selanjutnya, realisasi pengeluaran pembangunan untuk sektor
pertambangan dan energi tahun 1992/93 telah mencapai Rp 3,3
triliun atau meningkat sekitar 35,3% dari tahun 1991/92. Sebagian
besar dari pengeluaran itu dipergunakan untuk program pemantapan
dan peningkatan hasil-hasil pertambangan dan melanjutkan pembangunan tenaga listrik guna mendorong kegiatan ekonomi khususnya sektor industri.
Dalam rangka pelaksanaan pembangunan antar daerah yang
lebih merata dan untuk meningkatkan taraf hidup kelompok
penduduk berpendapatan rendah, realisasi pengeluaran pembangunan
untuk sektor ini juga mengalami peningkatan yang cukup pesat.
Realisasi pengeluaran pembangunan di sektor pembangunan daerah,
desa, dan kota untuk tahun 1992/93 telah mencapai Rp 2,9 triliun
atau meningkat sebesar 17,8% dari tahun 1991/92. Anggaran ini
terutama untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang lebih
merata antar daerah, menanggulangi kemiskinan melalui penyediaan
kesempatan kerja, serta, lebih mendorong peranan wanita dalam
meningkatkan kesejahteraan keluarga terutama di pedesaan. Di
samping itu anggaran tersebut juga dimanfaatkan untuk penataan
ruang di kawasan-kawasan tertentu yang dianggap mendesak dan
strategis, serta menyelaraskan pembangunan sektoral dan daerah.
IV/26
Di samping alokasi menurut sektor/subsektor, pengeluaran
pembangunan juga dapat diklasifikasikan menurut jenis
pembiayaannya, yaitu pengeluaran pembangunan yang dibiayai
dengan dana rupiah dan bantuan proyek. Dalam tahun 1988/89
realisasi pengeluaran pembangunan dalam bentuk rupiah berjumlah
sebesar Rp 4,3 triliun, sedangkan dalam tahun 1992/93 berjumlah
Rp 13,9 triliun, atau mengalami peningkatan rata-rata 34,1 % per
tahun. Dana pembangunan dalam bentuk rupiah tersebut dialokasikan
untuk membiayai proyek -proyek Departemen/Lembaga,
proyek-proyek daerah, serta proyek-proyek lainnya yang penting dan
mempunyai nilai strategis. Perkembangan pengeluaran pembangunan
di luar bantuan proyek dapat diikuti pada Tabel IV-8.
Alokasi dana pembangunan dalam bentuk rupiah melalui
Departemen/Lembaga diarahkan untuk membiayai proyek-proyek
pembangunan sekt or al yang men j adi tanggung j awab
Departemen/Lembaga yang bersangkutan. Selaras dengan upaya
pemerintah untuk meningkatkan pembiayaan proyek-proyek,
pelaksanaan. pengeluaran. pembangunan melalui Departemen dan
lembaga non departemen diupayakan terus ditingkatkan. Pengeluaran
pembangunan melalui Departemen/Lembaga termasuk Hankam
dalam tahun, 1988/89 berjumlah Rp 1,9 triliun dan terus meningkat
sehingga dalam tahun 1992/93 realisasinya telah mencapai Rp 7,9
triliun.
Selain untuk membiayai proyek-proyek pembangunan sektoral
melalui Departemen/Lembaga, pengeluaran pembangunan rupiah
juga dialokasikan untuk bantuan. pembangunan bagi daerah sebagai
perwujudan dari asas pemerataan pembangunan antar wilayah. Hal
tersebut dilaksanakan sejalan dengan upaya untuk mendorong
pemerintah daerah agar lebih mampu melaksanakan pembangunan
daerahnya sendiri. Di samping itu, pemberian bantuan tersebut juga
dimaksudkan sebagai usaha untuk menyebarluaskan dan
memeratakan pembangunan di daerah; daerah dalam rangka
memperkecil kesenjangan laju pertumbuhan antar daerah, serta untuk
IV/27
TABEL IV - 8
REALISASIPENGELUARAN PEMBANGUNAN TIDAK TERMASUK BANTUAN PROYEK,
1988/89 - 1992/93
IV/28
mendorong prakarsa dan partisipasi masyarakat di daerah secara
lebih nyata dan bertanggung jawab dalam pembangunan.
Program bantuan pembangunan bagi daerah hingga saat ini
telah meliputi bantuan pembangunan desa, bantuan pembangunan
Dati I, bantuan pembangunan Dati II, bantuan pembangunan sekolah
dasar, bantuan pembangunan kesehatan, bantuan pembangunan
penghijauan dan reboisasi, bantuan pembangunan peningkatan jalan,
serta bantuan pembangunan untuk pemugaran pasar. Selain berbagai
bentuk bantuan pembangunan daerah tersebut, kepada daerah juga
diberikan dana yang berasal dari bagi hasil penerimaan pajak bumi
dan bangunan (PBB). Agar proyek-proyek pembangunan yang
dibiayai dengan dana bantuan pembangunan daerah tersebut sesuai
dengan kebutuhan dan kondisi masing-masing daerah maka dalam
proses perencanaannya senantiasa diikutsertakan Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah (Bappeda) dari tiap daerah yang bersangkutan.
Upaya untuk makin meningkatkan pemerataan pembangunan
dan laju pertumbuhan antar daerah melalui bantuan pembangunan
bagi daerah, dapat dilihat dari makin meningkatnya realisasi bantuan
pembangunan daerah termasuk dana bagi hasil PBB dari tahun ke
tahun. Apabila dalam tahun 1988/89 realisasi bantuan pembangunan
bagi daerah baru mencapai sebesar Rp 1,5 triliun, maka dalam tahun
1991/92 telah meningkat menjadi sebesar Rp 4,0 triliun. Selanjutnya,
realisasi dalam tahun 1992/93 telah mencapai sebesar Rp 5,0 triliun,
yang berarti meningkat sekitar 25,0% dari realisasi tahun 1991/92.
Peningkatan anggaran tersebut disebabkan oleh meningkatnya
realisasi di seluruh program pembangunan bagi daerah, baik yang
bersifat bantuan umum maupun yang bersifat bantuan khusus.
Dalam tahun anggaran 1992/93 realisasi Inpres Desa meningkat
menjadi sebesar Rp 326,5 miliar, Inpres Dati II menjadi sebesar
Rp 825,1 miliar, Inpres Dati I menjadi sebesar Rp 701,2 miliar,
bantuan pembangunan sekolah dasar menjadi sebesar Rp 654,5
miliar, bantuan pembangunan sarana kesehatan menjadi sebesar
Rp 320,0 miliar, bantuan pembangunan sarana pasar menjadi sebesar
Rp 1,5 mi l i ar , bantuan pembangunan penghij auan
IV/29
dan reboisasi menjadi sebesar Rp 95,0 miliar, bantuan peningkatan
jalan Dati II dan Dati I menjadi sebesar Rp 1,2 triliun, serta bantuan
pembangunan dari bagi hasil pajak bumi dan bangunan (PBB)
menjadi sebesar Rp 891,5 miliar.
Anggaran belanja pembangunan mencakup pula pembiayaan
pembangunan lainnya, yang meliputi pembiayaan untuk subsidi
pupuk, penyertaan modal pemerintah (PMP), dan lain -lain
pengeluaran pembangunan (LLP). Pemberian subsidi pupuk
dimaksudkan untuk mempertahankan harga pupuk dan pestisida
yang stabil pada tingkat harga yang terjangkau oleh petani. Sedangkan
pemberian PMP kepada BUMN-BUMN dimaksudkan untuk
pembiayaan modal kerja, dan pembiayaan investasi yang berprioritas
tinggi. Demikian pula penyediaan dana LLP pada dasarnya
dimaksudkan untuk membiayai berbagai program pemerintah yang
tidak tercakup dalam pembiayaan Departemen/Lembaga dan
pembiayaan bagi daerah, seperti untuk program pengembangan
kawasan terpadu (PKT), penanggulangan kawasan kumuh,
pengembangan sarana pariwisata, perumahan rakyat, pengadaan air
bersih, pengadaan benih, pengembangan pabrik obat dan lain
sebagainya.
Dalam perkembangannya anggaran belanja pembangunan
lainnya secara bertahap diusahakan untuk terus diperkecil/dikurangi
untuk meningkatkan efisiensi penggunaan anggaran negara. Sebagai
gambaran, apabila realisasi pengeluaran pembangunan lainnya dalam
tahun anggaran 1991/92 adalah sebesar Rp 1,5 triliun maka realisasi
dalam tahun 1992/93 hanya mencapai Rp 1,0 triliun, yang berarti
Rp 0,5 triliun atau 33,3 % lebih rendah. Realisasi anggaran
pengeluaran pembangunan lainnya dalam tahun anggaran 1992/93
tersebut terdiri dari subsidi pupuk sebesar Rp 175,0 miliar, PMP
sebesar Rp 150,0 miliar, dan LLP sebesar Rp 707,5 miliar.
IV/30
Di samping dibiayai dengan dana rupiah, pengeluaran
pembangunan juga dibiayai dengan dana yang berasal dari bantuan
proyek. Sesuai dengan usaha ke arah kemandirian pembiayaan
pembangunan, peranan bantuan proyek terhadap jumlah keseluruhan
pengeluaran pembangunan secara bertahap diupayakan semakin menurun. Apabila dalam tahun 1988/89 peranan bantuan proyek
terhadap keseluruhan belanja pembangunan masih lebih dari 50%,
maka sejak tahun anggaran 1989/90 sampai dengan tahun 1992/93,
peranan bantuan proyek tersebut makin menurun. Namun demikian
realisasinya dalam tahun 1992/93 adalah sebesar Rp 10,2 triliun atau
15,4% lebih tinggi dari tahun 1991/92. Secara umum sasaran
pemanfaatan bantuan proyek tersebut antara lain digunakan untuk
penyediaan prasarana dan sarana ekonomi, peningkatan teknologi,
serta peningkatan kualitas sumber daya manusia yang sangat
diperlukan bagi pembangunan. Perkembangan pengeluaran
pembangunan di luar bantuan proyek menurut sektor dan subsektor
dapat dilihat pada Tabel IV - 9, dan Tabel IV - 10.
C. KEBIJAKSANAAN DAN PERKEMBANGAN MONETER
1. Kebijaksanaan Moneter
Selama kurun waktu 4 tahun pelaksanaan Repelita V, telah
diambil serangkaian kebijaksanaan di bidang keuangan, moneter dan
perbankan, yang meliputi pengembangan kelembagaan perbankan
dan pasar modal, pengembangan sistem perkreditan serta pembinaan
dan pengawasan bank. Kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut merupakan kelanjutan dan penyempurnaan dari paket 27 Oktober 1988.
Paket ini telah memberikan kemudahan pendirian bank dan kantor
cabang baru, sehingga jumlah bank dan jaringan kantor cabangnya
selama tiga tahun terakhir tumbuh dengan pesat. Di samping itu,
kewajiban bank-bank untuk memelihara cadangan minimum
diturunkan dari 15 % menjadi 2 % . Hal ini juga telah meningkatkan
kemamlSuan bank-bank untuk melakukan ekspansi kredit dalam
jumlah yang besar.
IV/31
TABEL IV - 9
REALISASI PENGELUARAN PEMBANGUNAN TIDAK TERMASUK BANTUAN PROYEK
MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR,
1988/89 - 1992/93
(miliar rupiah)
No.
Sektor/Sub Sektor
1. SEKTOR PERTANIAN DAN PENGAIRAN
Akhir
Repelita IV
(1988/89)
Repelita V
1989/90
1990/91
1991/92
1)
1992/93
526,8
704,8
795,0
950,1
Sub Sektor Pertanian
Sub Sektor Pengairan .
(404,3)
(122,5)
(536,3)
(168,5)
(537,9)
(257,1)
(617,3)
(332,8)
(580,2)
(491,1)
2. SEKTOR INDUSTRI
232,0
175,9
291,7
244,1
121,6
(232,0)
(175,9)
(291,7) .
(244,1)
(121,6)
177,4
132,7
406,4
479,5
671,7
(5,5)
(171,9)
(5,0)
(127,7)
(13,3)
(393,1)
(23,4)
(456,1)
(29,7)
(642,0)
586,4
832,5
1.767,5
2.403,7
3.149,4
(327,2)
(57,3)
(46,5)
(146,9)
(2,6)
(5,9)
(602,0)
(70,0)
(34,6)
(111,0)
(6,8)
(8,1)
(1.407,5
(107,1))
(94,1)
(128,5)
(16,2)
(14,1)
(1.941,1)
(144,0)
(131,0)
(144,8)
(21,3)
(21,5)
(2.543,1)
(186,8)
(155,8)
(205,7)
(28,1)
(29,9)
Sub Sektor Industri
3. SEKTOR PERTAMBANGAN DAN ENERGI
Sub Sektor Pertambangan
Sub Sektor Energi
4. SEKTOR PERHUBUNGAN DAN PARIWISATA
Sub Sektor Prasarana Jalan
Sub Sektor Perhubungan Darat
Sub Sektor Perhubungan Laut
Sub Sektor Perhubungan Udara
Sub Sektor Pos dan Telekomunikasi
Sub Sektor Pariwisata
5. SEKTOR PERDAGANGAN DAN KOPERASI
Sub Sektor Perdagangan
Sub Sektor Koperasi
6.
SEKTOR TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
1.071,3
178,9
281,1
50,8
431,0
89,2
(169,6)
(9,3)
(267,6)
(13,5)
(30,8)
(20,0)
(401,8)
(29,2)
(50,1)
(39,1)
167,9
198,7
489,2
635,3
845,6
Sub Sektor Tenaga Kerja
(22,8)
(29,3)
(48,2)
(80,2)
(103,7)
Sub Sektor Trenamigrasi
(145,1)
(169,4)
(441,0)
(555,1)
(741,9)
IV/32
(Lanjutan Tabel IV – 9)
IV/32 a
(Lanjutan Tabel IV – 9)
14. SEKTOR PENERANGAN, PERS DAN KOMU
NIKASI SOSIAL
Sub Sektor Penerangan, Pers dan
Komunikasi Sosial
15. SEKTOR ILMU PENGETAHUAN,TEKNOLOGI
DAN PENELITIAN
Sub Sektor Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Sub Sektor Penelitian
16. SEKTOR APARATUR PEMERINTAH
Sub Sektor Aparatur Pemerintah
17. SEKTOR PENGEMBANGAN DUNIA USAHA
Sub Sektor Pengembangan Dunia Usaha
18. SEKTOR SUMBER ALAM DAN LINGKUNGAN
HIDUP
Sub Sektor Sumber Alam dan LingKungan Hidup
CADANGAN ANGGARAN PEMBANGUNAN
Jumlah
1) Angka diperbaiki
IV/33
14,0
22,6
35,7
46,6
62,7
(14,0)
(22,6)
(35,7)
(46,6)
(62,7)
149,1
130,5
199,6
220,6
300,4
(75,5)
(73,6)
(75,6)
(54,9)
(53,8)
(145,8)
(74,1)
(146,5)
(91,0)
(209,4)
149,2
101,6
148,0
232,4
325,4
(149,2)
(101,6)
(148,0)
(232,4)
(325,4)
294,4
173,5
(294,4)
(173,5)
25,4
205,8
234,4
(25,4)
(205,8)
(234,4)
-
-
92,6
254,1
210,2
288,5
328,9
(92,6)
(254,1)
(210,2)
(288,5)
(328,9)
-
2.000,0
1.500,0
5.412,2
10.944,2
12.918,5
4.300,7
-
-
-
-
13.930,8
TABEL IV - 10
REALISASI BANTUAN PROYEK MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR,
1988/89 - 1992/93
(Miliar rupiah)
Sektor / Sub Sektor
Akhir
Repelita lV
(1988/89)
1. SEKTOR PERTANIAN DAN PEN GAIRAN
1990/91
1.314,6
1.512,9
1.763,0
2.168,9
(996,7)
(516,2)
(1.140,0)
(623,0)
(1.563,8)
(605,1)
255,4
300,4
448,6
(Z55,4)
(300,4)
(448,6)
(683,2)
Sub Sektor Pengairan
(404,0)
(1.008,6)
(336,0)
2. SE KTOR INDUSTRI
214,8
223,9
3. S E K T OR P E R TAM BAN GA N DAN E N E R G I
Sub Sektor Pertambangan
Sub Sektor Energi
4. S E K TOR P E RHUBUNGA N DAN PARIWISATA
(214,8)
(223,9)
1.896,0
1.284,6
(112,6)
(1.783,4)
(15,6)
(1.269,0)
1.424,1
2.173,5
1991/92
1)
1992/93
1989/90
Sub Sektor Pertanian
Sub Sektor Industri
1.467,9
1.983,8
2.661,2
(153,7)
(1.314,2)
(155,8)
(1.830,0)
(260,S)
(2.400,4)
1.975,8
1.506,7
1.3B7,8
(553,7)
(253,0)
(250,0)
(300,0)
(150,0)
(-)
(273,2)
(281,1)
(280,I)
(333,8)
(792,9)
(26.7)
Sub Sektor Prasarana Jalan
(719,7)
Sub Sektor Perhubungan Darat
Sub Sektor Perhubungan Laut
Sub Sektor Pehubungan Udara
Sub Sektor Pos dan Telekomunikasi
Sub Sektor Pariwisata
(190,2)
(196,S)
(106,8)
(90,5)
(20,1)
(757,5)
(491,9)
(260,B)
(446.3)
(2170)
b)
(908 19)
(480,0)
(182,0)
(366,4)
(98,5)
(-)
135,7
133,4
148,2
( 2 29 )
(112,B)
(23,6)
(109,S)
(11,3)
(136,9)
(11,3)
(I36,8)
(55,3)
(193,9)
97,9
82,5
90,5
83,1
51,7
(30,0)
(67,9)
( d k 2)
(36,3)
(18,9)
(71,6)
(6,0)
(77,1)
(31,0)
(20,7)
5. SEKTOR PERDAGANGAN DAN KOPERASI
Sub Sektor Peerdagangan
Sub Sektor Koperasi
'.
1.087,2
Repelita V
SEKTOR TENA GA KERJA DAN TRANSMIGRASI
S ub Sektor Tenaga K erja
Sub Sektor Transmigrasi
148,1
249,2
(Lanjutan Tabel IV – 10)
IV/34 a
IV/35
Peningkatan pemberian kredit perbankan yang pesat
merupakan salah satu faktor penting yang menyebabkan tingginya
laju pertumbuhan uang beredar selama dua tahun pertama Repelita V. Di samping itu, aliran dana masuk yang besar dari pinjaman
luar negeri (offshore borrowing) telah ikut pula menjadi faktor
penyebab pesatnya pertumbuhan uang beredar. Pinjaman luar negeri
meningkat pesat setelah pagu pinjaman luar negeri perbankan
dihapuskan pada bulan Maret 1989. Kedua faktor tersebut telah ikut
mendorong peningkatan investasi dalam negeri.
Jumlah uang beredar dan kredit tumbuh dengan cepat selama
tahun 1989/90, yaitu Ml sebesar 47,6%, M2 sebesar 45,7%, dan
kredit sebesar 53,8%. Pertumbuhan uang beredar dan kredit
tersebut, di satu sisi mendorong produksi, namun di sisi lain
meningkatkan pula tekanan inflasi setelah tahun 1989/90. Kondisi ini
telah menyebabkan suhu perekonomian Indonesia memanas
(overheated). Oleh karena itu, usaha penanggulangan laju inflasi
mendapat prioritas utama dalam periode tahun 1990/91 dan 1991/92.
Perbandingan antara tingkat kenaikan harga dengan tingkat
pertambahan jumlah uang beredar dapat dilihat pada Tabel IV-12.
Kebijaksanaan moneter yang berhati-hati dengan mengetatkan
pertambahan jumlah uang beredar untuk mengendalikan tingkat
inflasi dilaksanakan sejak pertengahan tahun 1990. Upaya pengetatan
dilakukan terutama melalui operasi pasar terbuka dengan
meningkatkan jumlah penjualan SBI. Di samping itu melalui Paket
Kebijaksanaan Januari 1990 kredit likuiditas Bank Indonesia semakin
dikurangi sehingga memperketat pula keadaan moneter di dalam
negeri.
Melalui Paket Kebijaksanaan Februari 1991 telah pula diambil
langkah penting untuk mendorong perkembangan perbankan nasional
ke arah yang lebih sehat, efisien, tangguh, dan mampu bersaing pada
tingkat internasional. Kebijaksanaan tersebut, khususnya yang
berkaitan dengan ketentuan kewajiban penyediaan modal minimum
(KPMM) dan nisbah pinjaman terhadap simpanan (NPTS),
IV/36
bersama-sama paket kebijaksanaan Januari 1990 telah mendorong
bank melakukan usaha konsolidasi guna memperbaiki struktur
keuangan, manajemen, strategi, dan pola operasionalnya sesuai
dengan prinsip kehati-hatian. Beberapa langkah tersebut di atas
melambatkan laju pertumbuhan kredit perbankan dan likuiditas
perekonomian selama tahun 1991 /92.
Usaha mengatasi tekanan inflasi juga dilakukan secara
bersama-sama dan saling menunjang dengan langkah kebijaksanaan
di sektor lain. Di sektor riil, upaya tersebut dilakukan dengan
memperlancar arus barang dan jasa melalui paket deregulasi di
bidang tata niaga barang-barang penting. Di bidang fiskal, sejak
bulan Oktober 1990 diberlakukan ketentuan pagu rekening Kantor
Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) pada bank-bank agar
segera mentransfer hasil pemungutan pajak ke Bank Indonesia.
Pengenaan pagu tersebut dilakukan secara bertahap sampai dengan
bulan Januari 1991. Di samping itu, kebijaksanaan fiskal yang
berhati-hati ditempuh pula melalui pembentukan cadangan anggaran
pembangunan (CAP) selama tahun 1990/91 dan 1991/92.
Selain itu pada bulan September 1991 dibentuk Tim PKLN
(Pinjaman Komersial Luar Negeri) yang ditugaskan untuk
mengkoordinasikan pinjaman komersial luar negeri khususnya yang
dilakukan oleh swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Pinjaman komersial luar negeri yang terus meningkat beberapa tahun
terakhir, dalam jangka pendek memperkuat cadangan.devisa, namun
dalam jangka menengah/panjang dapat memberatkan neraca
pembayaran yaitu pada waktu pengembaliannya. Oleh karena itu
diperlukan pengaturan yang terpadu agar kesimpangsiuran dalam
memasuki pasar modal internasional dapat dihindarkan. Selain itu,
beban pembayaran pinjaman luar negeri dapat dipertahankan dalam
batas kemampuan perekonomian Indonesia.
Hasil dari upaya-upaya pendinginan suhu ekonomi telah mulai
terlihat pada tahun 1991 dan semakin terasa lagi pada tahun 1992,
yaitu dengan membaiknya neraca pembayaran, dan menurunnya laju
IV/37
inflasi yaitu dari 10 % pada tahun 1991 menjadi sebesar 5 % pada
tahun 1992. Keberhasilan ini ternyata di pihak lain telah
menyebabkan lonjakan suku bunga di dalam negeri. Upaya
pendinginan suhu ekonomi melalui pengetatan jumlah uang beredar
telah mendorong perbankan berlomba meningkatkan suku bunga
simpanan, yang selanjutnya diikuti oleh naiknya suku bunga kredit.
Dengan tetap berpegang pada kebijaksanaan moneter yang
berhati-hati, sejak pertengahan tahun 1991 keketatan moneter
dilonggarkan. Hal tersebut dilakukan dengan meningkatkan
keluwesan dalam pengendalian likuiditas bank-bank serta secara
bertahap menurunkan tingkat diskonto alat-alat moneter. Keluwesan
dalam pengendalian likuiditas bank-bank dilakukan antara lain
melalui pembelian surat berharga pasar uang (SBPU) yang semula
terhenti, termasuk pembelian SBPU yang berjangka waktu sampai
dengan satu tahun. Pembelian SBPU diutamakan dari bank-bank
yang mengalami kesulitan likuiditas.
Usaha penurunan suku bunga dilakukan untuk mencapai
tingkat suku bunga yang wajar, yaitu yang dapat mendorong kegiatan
investasi melalui pemberian kredit tanpa mengurangi hasrat
masyarakat untuk menabung. Upaya ini dilakukan dengan tetap
mempertimbangkan berbagai faktor seperti perkembangan suku
bunga luar negeri, tingkat pajak atas bunga deposito, laju inflasi, dan
tingkat depresiasi rupiah. Dalam kaitan ini, penurunan suku bunga
diupayakan untuk tidak terlalu besar dan terlalu cepat agar tidak
mengakibatkan terjadinya pelarian modal ke luar negeri.
Selama tahun 1992/93, kebijaksanaan penurunan suku bunga
dijalankan melalui penurunan tingkat diskonto sertifikat Bank
Indonesia (SBI) dan surat berharga pasar uang (SBPU) yang
mencapai 5,5-8,0 angka persentase. Penurunan tingkat diskonto
instrumen moneter tersebut telah diikuti oleh penurunan suku bunga
deposito yang ditawarkan oleh bank-bank. Suku bunga rata-rata
untuk deposito berjangka waktu 3 bulan menurun dari 21,3%
menjadi 15,7%. Namun demikian, suku bunga kredit belum
IV/38
menunjukkan penurunan yang sebanding sehingga masih berada pada
tingkat yang relatif tinggi. Usaha penurunan suku bunga kredit lebih
lanjut dilakukan dengan menghimbau bank-bank untuk mempercepat
konsolidasi dan terus membuka kesempatan bagi bank-bank untuk
menggunakan fasilitas SBPU guna memenuhi kebutuhan
likuiditasnya.
Suku bunga
rata-rata tertimbang untuk kredit modal kerja
(berjangka pendek) hanya menurun dari 24,8% menjadi 21,7% dan
untuk kredit investasi menurun dari 19,2 % menjadi 18,3 % selama
tahun 1992/93. Pada awal Maret 1993, juga telah dilakukan
penurunan tingkat suku bunga sebesar 2 % bagi kredit program, yaitu
kredit yang disubsidi.
Jenis-jenis kredit
yang suku bunganya
diturunkan ialah Kredit Usaha Tani, kredit untuk KUD, kredit untuk
anggota koperasi, kredit untuk BULOG, dan kredit investasi.
Dari segi kelembagaan, usaha untuk meningkatkan keefektifan
kebijaksanaan moneter terus dilakukan terutama melalui
penyempurnaan mekanisme operasi pasar terbuka. Penyempurnaan
yang sedang dilakukan adalah mempersiapkan penerapan sistem
pelelangan yang bertumpu pada target kuantitas SBI yang akan
dijual, atau yang disebut dengan Stop-out Rate (SOR), sebagai
pengganti sistem pelelangan yang bertumpu pada target tingkat
diskonto SBI, atau yang disebut dengan Cut-off Rate (COR) yang
selama ini dipergunakan. Di samping itu, pengembangan pasar uang
dan pasar valuta asing (valas) di dalam negeri juga terus diusahakan,
antara lain dengan pemberian izin operasi bagi beberapa perusahaan
pialang. Dengan lebih banyak perusahaan pialang, maka pasar uang
dan pasar valas dapat semakin.efisien.
2.
Perkembangan Uang Beredar dan Faktor-faktor.
Mempengaruhinya
yang
Selama tahun pertama dan tahun kedua Repelita V, •laju
pertumbuhan likuiditas perekonomian (M2) mengalami kenaikan
yang cukup tinggi, yaitu 45,7% pada tahun 1989/90, dan 26,0%
IV/39
pada tahun 1990/91, dibanding 23,9% pada tahun 1988/89. Pertumbuhan M2 yang tinggi tersebut sebagai akibat meningkatnya
kegiatan perekonomian dan pelayanan jasa perbankan, terutama
perluasan jaringan kantor bank. Dilihat dari faktor yang
mempengaruhi perubahan jumlah uang beredar, sektor dalam negeri
memberikan pengaruh menambah yang cukup besar yaitu dari
kenaikan pemberian kredit perbankan sedangkan sektor keuangan
pemerintah memberikan pengaruh mengurang. Pengaruh mengurang
sektor keuangan, pemerintah terutama disebabkan oleh meningkatnya
penerimaan pajak yang berkaitan dengan usaha ekstensifikasi dan
intensifikasi di bidang perpajakan. Selama tahun 1990/91 sektor luar
negeri memberikan pengaruh menambah cukup besar yang berasal
dari meningkatnya penerimaan ekspor migas karena terjadi kenaikan
harga minyak di pasaran dunia. Kebijaksanaan uang ketat yang
dilakukan sejak pertengahan tahun 1990 tercermin dari laju
pertumbuhan uang beredar (M1) sebesar 6,4% selama tahun
1990/91, yang berarti, jauh lebih rendah dari 47,6% pada tahun
1989/90. Perkembangan jumlah uang beredar (M2 dan M1) ini dapat
dilihat pada Tabel.IV-11.
Kebijaksanaan uang ketat semakin terasa dalam tahun 1991/92
dengan pertumbuhan tahunan M2 yang sedikit melambat yaitu
24,2%. Penurunan laju pertumbuhan M2 yang lebih tajam akan
terlihat apabila diukur dari pertumbuhan tahunan sebelum dan
sesudah bulan Maret 1992. Pertumbuhan tahunan M2 sampai dengan
bulan Februari 1992 tercatat hanya sekitar 17,0%. Pertumbuhan M2
yang cukup tinggi pada periode Maret 1991 sampai dengan Maret
1992 berkaitan erat dengan terjadinya penurunan tajam posisi M2
pada bulan Maret 1991 yang disebabkan terjadinya pengalihan dana
deposito BUMN dalam jumlah besar ke SBI.
Sektor keuangan pemerintah selama tahun 1991/92
memberikan pengaruh mengurang sebesar Rp 2,4 triliun, yang
merupakan surplus anggaran. Surplus anggaran ini selanjutnya
disimpan dalam pos Cadangan Anggaran Pembangunan (CAP) untuk
menjamin tersedianya pembiayaan pembangunan pada tahun
IV/40
TABEL IV - 11
PERKEMBANGAN JUMLAH UANG BEREDAR,
1988/89 - 1992/93
(miliar rupiah)
1) Angka diperbaiki
2) Terhadap tahun sebelumnya
TABEL IV - 12
PERBANDINGAN ANTARA TINGKAT KENABCAN HARGA
DENOAN TINOKAT PERTAMBAHAN JUMLAH UANG BEREDA
1988/89 – 1992/93
1) Angka diperbaiki
2) Terhadap tahun sebelumnya
IV/41
selanjutnya. Sementara itu, aktiva dalam negeri lainnya (bersih)
memberikan pengaruh mengurang sebesar Rp 2,5 triliun yang
terutama berasal dari peningkatan modal bank-bank. Sektor luar negeri
memberikan pengaruh menambah yang semakin besar, yaitu sebesar
Rp 3,5 triliun dibandingkan dengan Rp 2,3 triliun pada tahun
sebelumnya. Pengaruh menambah tersebut terutama terjadi pada dua
triwulan terakhir yang berasal dari surplus neraca pembayaran
sebagai akibat peningkatan aliran masuk modal swasta bukan bank
yang sebagian besar berupa pinjaman luar negeri. Sebaliknya, aliran
modal dari luar negeri dalam bentuk pinjaman komersial yang
dilakukan oleh bank-bank mengalami penurunan yang sangat berarti.
Hal tersebut berkaitan dengan kebijaksanaan pengelolaan pinjaman
komersial luar negeri yang sedang dilaksanakan.
Kebijaksanaan untuk melonggarkan uang ketat dilaksanakan
secara berhati-hati, seperti tercermin dari pertumbuhan M1 sebesar
15,9% pada tahun 1991/92 dan 12,0% pada tahun 1992/93. Selain
itu laju pertumbuhan likuiditas perekonomian (M2) juga terus
menurun sehingga mencapai 22,2% selama tahun 1992/93.
Pertambahan likuiditas perekonomian lebih banyak berasal dari
sektor luar negeri dibanding dengan sektor dalam negeri. Pada aktiva
luar negeri bersih terjadi peningkatan sebesar Rp 9,7 triliun dalam
tahun 1992/93, jauh lebih besar dibandingkan dengan Rp 3,5 triliun
pada tahun sebelumnya. Pertambahan ini merupakan surplus neraca
pembayaran yang terutama berasal dari peningkatan arus modal
masuk bersih sektor swasta di samping membaiknya transaksi
berjalan. Sedangkan pertambahan aktiva dalam negeri turun.menjadi
Rp 12,6 tril•iun pada tahun 1992/93, karena tagihan kepada
perusahaan swasta dan perorangan, yang merupakan komponen
terbesar hanya memberi pengaruh menambah sebesar Rp 13,2
triliun, lebih rendah dibanding Rp 19,6 triliun pada tahun 1991/92.
Rincian lebih lanjut tentang sebab-sebab perubahan jumlah uang
beredar dapat dilihat pada Tabel IV-13.
Perkembangan komposisi uang beredar selama 4 tahun
pelaksanaan Repelita V menunjukkan peningkatan pangsa uang kuasi
IV/42
TABEL IV - 13
SEBAB-SEBAB PERUBAHAN JUMLAH UANG BEREDAR,
1988/89 - 1992/93
(miliar rupiab)
Repelita V
Akhir
N o.
Uraian
1)
Repelita IV
(1988/89)
1989/90
1990/91
1991/92
1.
SEK TOR AK TIV A LUAR N EG ERI
-179
-712
2.277
3.462
2.
SEK TOR PEMERINTAH
-120
-85
-4.818
-2.407
3.
SEK TOR K EGIA TAN P ERU SAHAA N
- Tagihan pada Lembaga/
11.931
29.667
Perusahaan Pemerintah
.29.747
21.159
1992/93
9.715
-62
13.260
(1.109)
(1.503)
(1.512)
(53)
(10.718)
(28.558)
(31.250)
(19.647)
(13.207)
(1 .213)
- Tagihan pada Perusahaan
Swasta dan Perorangan
4.
A K TI V A L AI NN YA ( B ER SIH )
-3.125
-8.671
-10.449
-2.542
5.
LIKUIDITAS PEREKONOMIAN (M2)
8.507
20.199
16.757
19.672
22.365
JUMLAH UANG BER EDA R (Ml)
(Uang Kartal)
2.383
(686)
7.146
(1.221)
1.415
(1.246)
3.748
(1.999)
3.274
(1.299)
(1.697)
(5.925)
(169)
(1.749)
(1.975)
15.924
19.091
(Uang Girol)
UANG KUASI
6.124
13.054
15.342
-548
1) Angka diperbaiki
IV/43
dan pangsa uang giral. Jika pada tahun 1988/89 perbandingan pangsa
M1 dan uang kuasi masing-masing 34% dan 66%, maka pada tahun
1992/93 me nj adi 25 % dan 75 % . Demikian juga dengan
perbandingan pangsa uang kartal dan uang giral dari 44 % dan 56%
menjadi 40 % dan 60 % dalam periode yang sama. Perkembangan ini
mencerminkan fungsi intermediasi dari lembaga keuangan yang
semakin meningkat.
3 . Perkembangan Dana Perbankan
Selama periode 1988/89-1992/93 dana perbankan yang terdiri
atas giro, deposito berjangka, dan tabungan baik dalam rupiah
maupun valuta asing, telah meningkat dari Rp 39,5 triliun pada
tahun 1988/89 menjadi Rp 117,6 triliun pada tahun 1992/93 atau
rata-rata tumbuh 31,4% per tahun. Perkembangan tabungan
menunjukkan pertumbuhan rata-rata per tahun yang terbesar, yaitu
83,8%, sedangkan deposito dan giro masing-masing meningkat
dengan rata-rata 24,8 % dan 24,2 %. Perkembangan volume tabungan
tersebut didorong oleh semakin banyak skim-skim tabungan yang
ditawarkan perbankan dengan tingkat suku bunga, yang relatif tinggi.
Selama pelaksanaan Repelita V, peranan tabungan terhadap dana
yang berhasil dihimpun meningkat pesat dari 6,3 % pada tahun
1988/89 menjadi 24, 1 % pada tahun 1992/93. Sementara itu, peranan
deposito menurun dari 67,0% menjadi 54,6%. Penurunan ini antara
lain disebabkan meningkatnya minat masyarakat terhadap tabungan
dan berkembangnya alternatif investasi surat berharga, saham, dan
obligasi. Giro yang dihimpun oleh perbankan meningkat dari
Rp 10,5 triliun pada akhir tahun 1988/89 menjadi Rp 25,0 triliun
pada akhir tahun 1992/93. Posisi giro rupiah mencapai Rp 20,0
triliun sedangkan giro valuta asing sebesar Rp 5,0 triliun sampai
dengan akhir Maret 1993. Perkembangan dana perbankan tersebut
dapat dilihat pada Tabel IV-14.
Selama. periode 1989/90 sampai dengan 1992/93
perkembangan deposito berjangka rupiah dan valuta asing meningkat
dari Rp 26,5 triliun pada tahun 1988/89 menjadi Rp 64,2 triliun
IV/44
TABEL IV - 14
1)
P E RKE M BA N GA N DA N A P E R B A N KA N
DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING,
1988/89 - 1992/93
(miliar rupiah)
Akhir
No.
Uraian
Repelita V
Repelita IV
2)
(1988/89)
1989/90
1990/91
1991/92
1992/93
10.543
15.978
17.949
21.428
25.077
26.474
36.350
49.840
56.812
64.216
2.485
6.864
9.722
17.471
28.343
39.503
59.192
77.511
95.711
117.636
8.533
19.689
18.319
18.200
21.925
49,8
30,9
23,5
3)
1.
Giro
4)
2.
Deposito
5)
3.
Tabungan
Jumlah
6)
Kenaikan
(%)
27,6
22,9
1) Terdiri atas dana bank-bank umum, bank pembangunan dan bank-bank tabungan serta
termasuk dana milik Pemerintah Pusat dan bukan penduduk.
2) Angka diperbaiki
3) Termasuk giro valuta asing.
4) Terdiri atas deposito berjangka rupiah dan valuta asing, serta termasuk sertifikat
deposito.
5) Terdiri atas Tabanas/Taska dan tabungan lainnya seperti setoran Ongkos Naik Haji (ONH)
6) Terhadap tahun sebelumnya.
IV/45
pada tahun 1992/93. Deposito berjangka rupiah mencapai Rp 42,5
triliun dan deposito berjangka valuta asing sebesar Rp 21,7 triliun
pada tahun 1992/93. Dilihat dari jangka waktunya, pangsa deposito
berjangka waktu panjang mengalami penurunan. Pangsa deposito
berjangka rupiah 24 bulan terhadap total deposito berjangka rupiah
yang semula 7,8% pada akhir tahun 1989/90 menurun menjadi 1,2%
pada akhir tahun 1992/93. Demikian pula halnya pangsa deposito
berjangka rupiah 12 bulan dari 36,7% menurun menjadi 26,8%.
Sedangkan pangsa deposito berjangka rupiah 1 bulan dan 6 bulan
pada periode yang sama mengalami kenaikan yang cukup besar
masing-masing dari 16,3 % dan 19,2 % menjadi 20,4 % dan 25,2 %. Hal
tersebut menunjukkan bergesernya preferensi masyarakat terhadap
deposito berjangka dari berjangka.waktu panjang kepada berjangka
waktu pendek. Perubahan preferensi ini antara lain disebabkan oleh
penawaran suku bunga deposito jangka pendek lebih menarik. Sementara
itu, jumlah sertifikat deposito dalam peredaran menunjukkan penurunan
selama tahun 1992/93 menjadi Rp 848 miliar dari Rp 1,2 triliun pada
tahun 1991/92. Penurunan tersebut akibat makin bertambahnya skim
simpanan yang ditawarkan bank-bank dengan persyaratan yang lebih
menarik bagi pemilik dana. Perkembangan deposito berjangka dan
sertifikat deposito secara terinci dapat dilihat pada Tabel IV-15 dan Tabel
IV-17.
Tabungan yang diklasifikasikan menjadi tabungan yang dapat ditarik
sewaktu-waktu, tabungan berjangka dan tabungan lainnya dalam periode
1989/90-1992/93 menunjukkan peningkatan pesat. Dalam periode ini
nilai tabungan meningkat dari Rp 2,5 triliun pada tahun 1988/89 menjadi
Rp 28,3 triliun pada tahun 1992/93. Dalam periode yang sama, jumlah
buku penabung meningkat dari 22,7 juta buku menjadi 38,8 juta buku.
Perkembangan tabungan perbankan ini dapat dilihat pada Tabel IV-16.
IV/46
TABEL IV - 1 5
1)
PERKEMBANGAN DEPOSITO BERJ ANGKA RUPIAH PERBANKAN
MENURUT JANGKA WAKTU,
1988 /89 - 1992/93
(miliar rupiah)
Akhir
No.
Uraian
Repelita V
Repelita IV
(1988/89)
2)
1989/90
1990/91
1991/92
1992/93
3)
1.
1 Bulan
3.578
4.575
9.569
9.600
8.664
2.
3 Bulan
4.723
5.116
7.052
8.931
9.605
3.
6 Bulan
3.019
5.381
5.821
8.605
10.682
4.
12 Bulan
7.227
10.290
8.177
9.217
11.380
5.
24 Bulan
2.071
2.177
814
910
501
6.
Lainnya
365
490
2.317
1.627
1.622
20.984
28.029
33.750
38.890
42.453
4.328
7.045
5.721
5.140
3.563
26,0
33,6
20,4
15,2
9,2
Jumlah
4)
7.
Perubahnn Ju mlah
(%)
1) Termasuk dana milik Pemerintah Pusat dan bukan penduduk serta sertifikat deposito
2) Angka diperbaiki
3) Termasuk deposito yang sudah jatuh waktu.
4) Terhadap tahun sebelumnya.
IV/47
TABEL IV - 16
PERKEMBANGAN TABUNGAN MASYARAKAT DI PERBANKAN,
1988189 - 1992193
Akhir
Uraian
Satuan
JUMLAH TABUNGAN
Penabung
pertumbuhan
Posisi
pertumbuhan
Repelita V
Repelita IV
(1988/89)
1989/90
1990/91
1991/92
1)
1992/93
ribu
(%)
22.666
10,9
27.206
20,0
30.637
12,6
34.570
12,8
38.843
12,4
miliar Rp.
(%)
2.485
35,4
6.864
176,2
9.722
41,6
17.471
79,7
28.343
62,2
1) Angka diperbaiki
TABEL IV - 17
1)
PERKEMBANGAN SERTIFIKAT DEPOSITO BANK,
1988/89 - 1992/93
(miliar rupiah)
Akhir
No.
Uraian
Repelita V
Repelita IV 2)
(1988/89)
2)
2)
1989/90
1990/91
2)
1991
/92
1.
Penjualan
800
527
1.382
6.340
2.947
2.
Pelunasan
870
509
1.118
5.529
3.344
3.
Dalam Peredaran
152
170
434
1.245
848
1) Termasuk sertifikat deposito antar-bank
2) Angka diperbaiki
IV/48
2)
1992/93
4. Perkreditan
a. Kebijaksanaan Perkreditan
Penyempurnaan sistem perkreditan seperti yang diatur dalam
Paket Januari 1990 merupakan kebijaksanaan perkreditan terpenting
selama empat tahun pelaksanaan Repelita V. Dalam paket ini peranan
kredit likuiditas Bank Indonesia (KLBI) secara bertahap dikurangi dan
hanya disediakan untuk mendukung usaha pelestarian
swasembada pangan, pengembangan koperasi dan peningkatan
investasi. Dengan adanya penyederhanaan ini, skim kredit yang
ditunjang dengan KLBI yang semula berjumlah 23 jenis dikurangi
menjadi hanya 4 jenis.
Untuk menunjang upaya pelestarian swasembada pangan dan
sekaligus meningkatkan pendapatan petani, Kredit Usaha Tani
(KUT) diselenggarakan untuk membiayai intensifikasi padi/palawija.
Di samping itu, KUT yang sebelumnya hanya dapat diberikan oleh
Bank Rakyat Indonesia kini dapat pula diberikan oleh bank-bank
lain. Sementara itu, pemberian kredit kepada koperasi terus
disempurnakan dan 75 % dana diperoleh dari KLBI. Pengadaan
pangan dan gula oleh Badan Urusan Logistik juga tetap disediakan
kredit yang seluruh dananya berasal dari KLBI. Selain itu, KLBI
tetap disediakan untuk memenuhi sebagian kebutuhan dana guna
menunjang pemberian Kredit Investasi. Keempat kredit program
tersebut dikenakan suku bunga 16%, sesuai dengan suku bunga pasar
pada waktu paket kebijaksanaan ini diumumkan.
Dalam rangka menurunkan tingkat suku bunga kredit, maka
sejak 1 Maret 1993, suku bunga kredit program diturunkan antara
lain untuk KUT, kredit kepada KUD, dan kredit untuk anggota
koperasi diturunkan dari masing-masing 16%, 18%, dan 18%
menjadi masing-masing sebesar 14%, 16% dan 16%, sedangkan
suku bunga kredit untuk BULOG diturunkan dari 18% menjadi
16%. Selanjutnya untuk kredit investasi, bunganya ditetapkan oleh
masing-masing bank menurut kecenderungan pasar. Untuk KLBI
IV/49
yang mencapai 10 % -20 % dari nilai kredit investasi, suku bunga
KLBI ditetapkan sebesar 14 % , sedangkan suku bunga kredit
ditentukan oleh bank.
Dalam rangka pengembangan usaha kecil, pangsa Kredit
Usaha Kecil (KUK) ditentukan sekurang-kurangnya 20% dari kredit
yang diberikan oleh setiap bank. KUK diberikan untuk membiayai
usaha yang produktif dan KPR type 70 ke bawah, dengan maksimum
kredit kepada masing-masing debitur sebesar Rp 200 juta. Di
samping itu, KUK dapat diberikan kepada usaha yang memiliki total
asset maksimum sebesar Rp 600 juta, tidak termasuk nilai rumah dan
tanah yang ditempati.
b. Perkembangan Kredit Perbankan
Selama kurun waktu 4 tahun pelaksanaan Repelita V kredit
perbankan mengalami pertumbuhan rata-rata tahunan sebesar 20,4%
Pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 1989/90 yaitu sebesar
53,8% . Selanjutnya selama tahun 1990/91 kredit perbankan
mengalami pertumbuhan lebih lambat yaitu sebesar 40,3%
Melambatnya pertumbuhan kredit tersebut terutama pada pemberian
kredit dalam rupiah yaitu sebesar 33,9% dibandingkan dengan
47,5% pada tahun sebelumnya.. Sementara itu dalam periode yang
sama, pertumbuhan pemberian kredit dalam valuta asing juga
menurun dari 200,9% menjadi 114,4%.
Walaupun telah dilakukan upaya pengurangan keketatan
moneter sejak April 1991, pertambahan jumlah kredit perbankan
masih menunjukkan pertumbuhan yang melambat yaitu hanya
meningkat sebesar 16,1 % selama tahun 1991/92 dibandingkan
53,8% pada tahun 1989/90 dan 40,3% pada tahun 1990/91.
Melambatnya pertumbuhan kredit tersebut selain sebagai dampak
pengendalian moneter yang berhati-hati yang dilakukan sejak
pertengahan tahun 1990, juga berkaitan dengan usaha konsolidasi
bank-bank dalam rangka memenuhi ketentuan kehati-hatian di
IV/50
bidang perbankan seperti pemenuhan kewajiban penyediaan modal
minimum (KPMM) dan nisbah pinjaman terhadap simpanan (NPTS).
Sebagai hasil upaya pengurangan keketatan moneter selama
tahun 1992/93, suku bunga simpanan dan kredit telah menunjukkan
penurunan dengan tingkat bunga kredit turun lebih lambat.
Penurunan tingkat bunga kredit tersebut masih belum menggairahkan
ekspansi pemberian kredit, yang tercermin dari pertumbuhannya
hanya sebesar 7,2% sehingga mencapai posisi Rp 124,9 triliun pada
akhir tahun 1992/93. Pertumbuhan kredit dalam rupiah mengalami
penurunan dari 10,4% pada tahun 1991/92 menjadi 4,6% pada tahun
1992/93. Sementara itu pertumbuhan kredit dalam valuta asing
menurun dari 56,5 % menjadi 20,1 % dalam periode yang sama.
Penurunan pemberian total kredit tersebut juga tercermin dari
perkembangan kredit menurut sektor perbankan. Kredit yang
diberikan oleh Bank Pemerintah, sebagai pemberi kredit terbesar,
masih naik sebesar 11,8% walaupun sedikit lebih rendah daripada
tahun 1991 /92 yang sebesar 12,9%. Pemberian kredit oleh bank
swasta nasional menunjukkan penurunan tajam, yaitu hanya tumbuh
1,1% dibanding 17,8 % pada tahun sebelumnya. Pemberian kredit
likuiditas oleh Bank Indonesia juga menunjukkan penurunan dari
Rp 820 miliar pada tahun 1991/92 menjadi Rp 755 miliar pada tahun
1992/93. Perkembangan kredit menurut sektor perbankan secara
terinci disajikan pada Tabel IV-18.
Perkembangan kredit menurut sektor ekonomi selama 4 tahun
pelaksanaan Repelita V menunjukkan pemberian kredit kepada sektor
produksi (pertanian, pertambangan, dan industri), sektor
perdagangan, dan sektor jasa-jasa dan lain-lain masing-masing
tumbuh dengan rata-rata per tahun 27,8%, 22,0% dan 35,0%.
Namun pada tahun 1992/93 kredit kepada sektor produksi tumbuh
lebih tinggi dibandingkan kepada sektor perdagangan dan sektor
jasa-jasa, yaitu masing-masing 20,6%, 2,0% dan -3,9%.
Pertumbuhan pemberian kredit kepada sektor perdagangan dan sektor
jasa jasa selama tahun 1992/93 jauh lebih rendah dibanding tahun
IV/51
TABEL IV - 18
1)
PERKEMBANGAN KREDIT MENURUT SEKTOR PERBANKAN,
1 9 8 8 / 8 9 - 1992/93
( mi l i a r t v pi a h)
Repelita V
Akhir
No.
Repelita IV
Uraian
1.
Bank Indonesia
2)
1989/90
(1988/89)
1990/91
1991/92
1992/93
1.583
691
724
820
755
30.270
42.589
54.699
61.751
69.066
3)
2.
Bank Pemerintah
4)
3.
Bank Swasta Nasional
12.679
24.498
38.153
44.928
45.406
4.
Bank Asing Campuran
1.994
3.786
6.837
9.060
9.695
46.526
71.564
100.413
116.559
124.922
11.445
25.038
28.849
16.146
8.363
32,6
53,8
40,3
16,1
7,2
Jumlah
5)
Perubahan Jumlah
(%)
1) Kredit dalam rupiah maupun valuta asing, termasuk Kredit lnvestasi, KIK dan KMKP, tetapi
tidak termasuk kredit antar-bank serta kredit kepada Pemerintah Pusat, bukan penduduk dan
nilai lawan bantuan proyek.
2) Angka diperbaiki
3) Sejak Mei 1989 termasuk BTN.
4) Termasuk Bank Pembangunan Daerah.
5) Terhadap tahun sebelumnya.
IV/52
1991 /92. Perkembangan kredit menurut sektor ekonomi dirinci lebih
lanjut dalam Tabel IV-19.
Berbeda dengan pertumbuhan kredit keseluruhan, realisasi
kredit investasi selama tahun 1992/93 menunjukkan kenaikan yang
lebih tinggi, yaitu 32,7% dibanding 26,6% pada tahun sebelumnya.
Sektor perdagangan dan sektor perindustrian mencatat pertumbuhan
yang relatif tinggi, yaitu 43,8% dan 39,9%. Perkembangan realisasi
kredit investasi tersebut dapat dilihat pada Tabel IV-20.
5. Suku Bunga
Suku bunga dalam negeri telah menunjukkan gejala meningkat
sejak pertengahan tahun 1990. Suku bunga menjadi semakin
meningkat, terutama setelah bulan Februari 1991 karena adanya
pengalihan sebagian dana deposito sejumlah BUMN di bank
pemerintah ke dalam SBI. Suku bunga pasar uang antar bank
rata-rata tertimbang meningkat dari 10,8% pada bulan Maret 1990
menjadi 21,5% pada bulan Desember 1990 dan melonjak menjadi
27,0% pada bulan Maret 1991. Dalam periode yang sama, suku
bunga rata-rata tertimbang deposito berjan4a rupiah 6 bulan juga
meningkat, dari 16,9% menjadi 19,8% dan 23,5% pada akhir Maret
1991.
Untuk menghindari semakin menurunnya gairah investasi
dunia usaha akibat suku bunga kredit yang tinggi,. sejak bulan April
1991 dilakukan upaya pengurangan keketatan moneter. Tingkat
diskonto SBI diturunkan secara bertahap tetapi cukup tajam,
sehingga SBI 1 bulan turun dari 23,6% pada bulan Maret 1991
menjadi 18,0% pada bulan Maret 1992. Demikian pula dalam
periode yang sama, suku bunga SBPU 1 bulan diturunkan, dari
24,8% menjadi 18,5 % .
Penurunan tingkat diskonto alat-alat moneter yang disertai
keluwesan dalam pengendalian uang primer telah dapat membantu
terciptanya kestabilan di pasar uang antarbank sehingga dapat
IV/53
TABEL IV - 1 9
1)
P ERKEMBANGAN KREDI T M ENURUT SEKTOR EKONOMI ,
1988/89 - 1992/93
(miliar rupiah)
Akhir
No.
Uraian
Repelita V
Repelita IV
2)
(1988/89)
1989/90
1990/91
1991/92
1992/93
20.382
28.950
39.587
45.040
54.324
14.687
22.814
29.590
31.907
32.534
11.457
19.800
31.236
39.612
38.064
46.526
71.564
100.413
116.559
124.922
11.445
25.038
28.849
16.146
8.363
32,6
53,8
40,3
16,1
7,2
3)
1.
Produksi
2.
Perdagangan
4)
3.
Lain-lain
Jumlah
5)
4.
Perubahan Jumlah
(%)
1) Kredit dalam rupiah maupun valuta asing, termasuk Kredit Investasi, KIK dan KMKP,
tidak termasuk kredit antar-bank serta kredit kepada Pemerintah Pusat, bukan penduduk
dan nilai lawan bantuan proyek
2) Angka diperbaiki
3) Termasuk sektor pertanian, pertambangan, dan perindustrian.
4) Termasuk sektor jasa dan lain-lain.
5) Terhadap tahun sebelumnya.
IV/54
TABEL IV – 20
1)
P E R K E M B A N G A N R E A L I S A S I K R E D I T I N VE S T A S I
MENURUT SEKTOR EKONOMI,
1988/89 – 1992/93
(dalam miliar rupiah)
No.
Akhir
Repelita IV
Uraian
(1988/89)
Repelita V
2)
1989/9
0
1990/91
1991/92
1992/93
1.
Pertanian
2.610
3.629
4.726
5.864
7.169
2.
Perindustrian
4.791
6.639
9.208
11.784
16.489
3.
Pertambangan
313
321
4.
Perdagangan
536
1.117
2.193
5.
Jasa jasa
2.489
3.767
5.267
6.
Lain-lain
1.071
200
11.810
15.673
2.600
3.863
Jumlah
391
443
2.911
6.197
436
4.185
7.946
1.011
1.213
22.288
28.210
37.438
6.615
5.922
9.228
42,2
26,6
503
3)
7.
Perubahan Jumlah
(%)
28,2
32,7
32,7
1) Tidak termasuk KIK, KI kepada Pemerintah Pusat dan nilai lawan valuta asing
pinjaman investasi dalam rangka bantuan proyek.
2) Angka diperbaiki
3) Terhadap tahun sebelumnya.
IV/55
menurunkan suku bunga dana dan kredit perbankan. Suku bunga
deposito berjangka waktu 6 bulan yang pada akhir Maret 1991
mencapai 23,5% secara bertahap turun menjadi 22,0% pada akhir
Maret 1992 dan 16,3 % pada akhir Maret 1993. Penurunan suku
bunga kredit memerlukan tenggang waktu yang lebih lama karena
biaya yang harus ditanggung perbankan meningkat akibat bunga
deposito berjangka yang tinggi dan meningkatnya volume kredit
macet. Perkembangan suku bunga rata-rata tertimbang Kredit Modal
Kerja (KMK) dan Kredit Investasi (KI) yang pada bulan Maret 1991
mencapai sekitar 26,7 % untuk KMK dan 23,2 % untuk KI, secara
perlahan-lahan telah menurun menjadi 24,6% dan 19,1 % pada akhir
Maret 1992.
Untuk mendorong penurunan suku bunga ke tingkat yang
wajar, dalam tahun 1992/93 Bank Indonesia melanjutkan penurunan
tingkat diskonto SBI dan SBPU serta memberikan peluang bagi
bank-bank untuk mendiskontokan SBPU ke Bank Indonesia. Tingkat
diskonto SBI jangka waktu satu bulan diturunkan sebanyak 5,5%
secara bertahap sehingga menjadi 12,5%. Walaupun demikian
tingkat diskonto SBI masih cukup menarik sebagai alternatif
penyimpanan kelebihan likuiditas perbankan seperti terlihat pada
volume hasil lelang SBI (termasuk SBI khusus) dari Rp 2,4 triliun
pada akhir tahun 1991/92 menjadi Rp 16,3 triliun pada akhir tahun
1992/93. Sementara itu dalam periode yang sama tingkat diskonto
SBPU juga diturunkan, misalnya SBPU 1 bulan dari 19,5% menjadi
13,5% . Pembelian SBPU menunjukkan peningkatan dari Rp 2,6
triliun menjadi Rp 3,9 triliun. Sejalan dengan penurunan tingkat
diskonto SBI dan SBPU,, suku bunga simpanan dan kredit juga
mengalami penurunan tetapi dengan tingkat penurunan yang berbeda,
yaitu suku bunga simpanan mengalami penurunan lebih cepat
daripada suku bunga kredit. Dalam tahun 1992/93 suku bunga
deposito jangka waktu 3 bulan turun dari 21,3% menjadi 15,7%,
sementara suku bunga kredit modal kerja menurun dari 24,8%
menjadi 21,7% dan suku bunga kredit investasi menurun dari 19,2%
menjadi 18,3% . Perkembangan suku bunga perbankan dan tingkat
diskonto alat-alat moneter tersebut dapat dilihat pada Tabel IV-21.
IV/56
TABEL IV – 21
1)
PERKEMBANGAN SUKU BUNGA,
1988/89 – 1992/93
No.
Akhir
Repelita IV
(1988/89)
Uraian
Repelita V
1989/90
1990/91
1991/92
1992/93
2)
1.
2.
3.
4.
Suku bunga Deposito Berjangka (%)
3 bulan
6 bulan
12 bulan
24 bulan
3)
Suku bunga Kredit (%)
Kredit Modal Kerja
Kredit Investasi
18,0
19,2
18,8
16,9
16,2
16,9
17,8
18,6
24,2
23,5
20,0
20,4
21,3
22,0
22,5
20,7
15,7
16,3
17,7
19,3
22,3
19,6
20,2
18,8
26,7
23,2
24,8
19,2
21,7
18,3
Tingknt Diskonto SBI (%)
7 hari
1 bulau
3 bulan
13,8
17,1
10,2
13,1
13,9
20,2
23,6
24,7
17,0
18,0
19,0
11,5
12,5
12,8
Tingkat Diskonto SBPU (%)
7 hari
1 bulan
3 bulan
15,8
17,6
12,7
14,0
14,8
24,8
18,5
19,5
20,5
12,5
13,5
14,0
l) Suku bunga/tingkat diskonto pada akhir periode
2) Rata-rata tertimbang
3) Rata-rata tertimbang untuk kredit non-prioritas
IV/57
D.
PERBANKAN, LEMBAGA KEUANGAN LAIN, DAN
PASAR MODAL
1. Perbankan
Pada tanggal 27 Oktober 1988 telah ditempuh kebijaksanaan
deregulasi di bidang perbankan, yang antara lain memberikan
kemudahan dalam pemberian izin pendirian bank swasta nasional,
bank campuran, dan bank perkreditan rakyat (BPR), serta
kantor-kantor cabangnya. Selain itu, untuk meningkatkan daya tahan
dan kesehatan bank, telah dikeluarkan ketentuan mengenai batas
maksimum pemberian kredit kepada debitur dan debitur grup,
pengurus, serta pemegang saham bank. Ketentuan tersebut
dimaksudkan agar bank-bank dapat memberikan pinjaman berdasarkan asas perkreditan yang sehat sehingga dapat mengurangi
kemungkinan timbulnya risiko.
Pengaruh paket Kebijaksanaan Oktober 1988 yang besar
terhadap industri perbankan tercermin dari melonjaknya pertambahan
jumlah bank, perluasan jaringan kantor bank, peningkatan volume
usaha, dan semakin beragamnya jenis produk yang ditawarkan dalam
kegiatan pasar rupiah dan valuta asing. Jumlah bank dan kantor
cabangnya meningkat pesat dari 7.817 dan 9.570 pada tahun 1988/89
menjadi 8.234 dan 11.768 pada tahun 1990/91.
Guna meningkatkan kesehatan perbankan melalui Paket
Kebijaksanaan Februari 1991 telah ditetapkan kebijaksanaan yang
bertalian dengan penyempurnaan pengawasan dan pembinaan
bank-bank. Kebijaksanaan tersebut memuat 5 aspek pokok, yaitu
aspek perizinan, kepemilikan, dan kepengurusan; aspek pedoman
operasional atas dasar prinsip kehati-hatian; aspek sistem pelaporan;
aspek tata cara penilaian tingkat kesehatan bank dan sanksi
pelanggarannya; serta aspek faktor penunjang yang diperlukan bagi
pengembangan usaha bank. Di bidang permodalan, bank diwajibkan
mempunyai modal minimum sebesar 8 % dari aktiva tertimbang
menurut risiko sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh Bank for
IV/58
International Settlements (BIS). Pemenuhan modal tersebut dilakukan
secara bertahap, yaitu 5 % sejak akhir Maret 1992, 7 % sejak akhir
Maret 1993, dan 8 % mulai akhir Desember 1993 nanti. Di samping itu,
juga dilakukan penyesuaian ketentuan tentang pembentukan
cadangan bagi aktiva yang diklasifikasikan guna menutup risiko
kemungkinan kerugian dari penanaman aktiva. Pedoman operasional
bank atas dasar prinsip kehati-hatian dimaksudkan untuk
menghindari risiko yang dapat timbul akibat meningkatnya kegiatan
usaha bank. Sebagai penjabaran prinsip tersebut telah disempurnakan
sistem penilaian tingkat kesehatan bank yang mencakup faktor-faktor
permodalan, kualitas aktiva produktif, manajemen, rentabilitas, dan
likuiditas. Dalam rangka peningkatan efisiensi dan kelancaran usaha
bank, dilakukan pula upaya penyempurnaan berbagai faktor
penunjang, seperti kewajiban penyediaan dana bagi pengembangan
sumber daya manusia, pendirian perusahaan pialang pasar uang
rupiah dan valuta asing, serta tata cara penggunaan Diskonto I.
Untuk memperkuat kerangka pengaturan perbankan
sebagaimana telah diatur dalam beberapa paket tersebut di atas,
diperlukan suatu landasan hukum yang mampu menampung tuntutan
perkembangan jasa perbankan sekarang dan masa yang" akan
datang. Sehubtingan dengan hal tersebut, telah disahkan
Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan pada bulan
Februari 1992. Dalam undang-undang tersebut, lembaga perbankan
disederhanakan menjadi dua jenis, yaitu bank umum dan bank
perkreditan rakyat (BPR). Dengan Undang-undang tersebut,
kerangka peraturan perbankan nasional yang semula mengarah ke
spesialisasi berubah ke arah kegiatan perbankan yang lebih luas.
Bank umum dapat secara leluasa mengkhususkan diri pada kegiatan
tertentu sesuai dengan keahlian dan bidang usaha yang ingin
dikembangkan, seperti melaksanakan kegiatan pembiayaan jangka
panjang, pengembangan koperasi, pengembangan golongan ekonomi
lemah/pengusaha kecil, pengembangan ekspor non migas, dan
pengembangan pembangunan perumahan. Selain itu, bank umum
dapat melakukan emisi saham melalui Bursa Efek Indonesia dan
khusus bagi bank umum milik negara emisi saham hanya dapat
dilakukan tanpa mengakibatkan perubahan atas mayoritas kepe-
milikan saham oleh negara. Kegiatan usaha lain yang dapat dilakukan
adalah menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip
bagi hasil. Sementara itu, BPR diarahkan untuk mendukung
pembangunan wilayah pedesaan serta pelayanan golongan ekonomi
lemah/pengusaha kecil.
Perkembangan jumlah bank hingga akhir tahun 1992 mencapai
8.728 buah, yang terdiri dari 208 bank umum, 1.239 BPR bukan
pedesaan, dan 7.281 BPR pedesaan. Sedangkan jumlah kantor
cabang bank mencapai 12.927 buah, yang terdiri dari 4.407 kantor
cabang bank umum dan 8.520 kantor BPR.
2. Lembaga Keuangan Lain
Lembaga keuangan lain, yang terdiri dari Lembaga Keuangan
Bukan Bank (LKBB), lembaga pembiayaan, asuransi, dana pensiun,
dan pegadaian merupakan salah satu sumber pembiayaan investasi
yang mempunyai peranan cukup penting di samping perbankan.
Selama kurun waktu 4 tahun pelaksanaan Repelita V, dalam upaya
mengembangkan kegiatan lembaga keuangan di luar perbankan telah
dikeluarkan berbagai ketentuan antara lain menyangkut perubahan
status LKBB untuk menjadi bank atau perusahaan sekuritas yang
dituangkan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992. Selama
periode 1989/90-1991/92 jumlah LKBB tidak mengalami perubahan
yaitu 13 LKBB yang t er dir i da r i 3 jenis pembiayaan
pembangunan, 9 jenis pembiayaan investasi dan 1 jenis pembiayaan
perumahan dengan jumlah kantor sebanyak 21. Dari 13 LKBB
tersebut berhasil dihimpun dana. masyarakat melalui penerbitan surat
berharga sebesar Rp 3,8 triliun pada tahun 1989/90 dan meningkat
menjadi Rp 4,2 triliun dalam tahun 1991/92 sedangkan jumlah aktiva
meningkat dari Rp 4,1 triliun menjadi Rp 5 triliun dalam periode
yang sama. Dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 7 tahun
1992 tentang Perbankan, 12 dari 13 LKBB yang ada telah
menyesuaikan usahanya menjadi bank dalam tahun 1992/93.
Sementara itu, satu LKBB telah menyesuaikan usahanya menjadi
perusahaan pembiayaan (modal ventura).
IV/60
Perusahaan pembiayaan yang terdiri dari sewa guna usaha
(leasing), pembiayaan konsumen, anjak piutang, modal ventura,
usaha kartu kredit dan perdagangan surat berharga dalam tahun 1992
telah meningkat menjadi 146 perusahaan dibandingkan dengan 102
perusahaan pada tahun 1990. Perusahaan pembiayaan tersebut
meliputi 101 perusahaan swasta nasional, 44 perusahaan patungan dan 1
perusahaan milik negara.
Dalam rangka memberikan landasan hukum yang pasti dan
u n t u k me n i n gka t ka n p e mb i n a a n da n p en ga w a s a n us a ha
perasuransian, sejak 11 Februari 1992 telah diberlakukan
Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian
yang peraturan pelaksanaannya ditetapkan melalui PP No. 73 Tahun
1992 tanggal 30 Oktober 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha
Perasuransian. Undang-undang ini pada dasarnya menganut asas
spesialisasi jenis jenis usaha di bidang perasuransian. Selain itu, juga
ditegaskan adanya kebebasan dan perlindungan atas hak peserta
asuransi. Jenis usaha perasuransian dibedakan atas usaha asuransi
dan usaha penunjang usaha asuransi. Usaha asuransi meliputi usaha
asuransi kerugian, asuransi jiwa, dan reasuransi sedangkan usaha
penunjang asuransi terdiri atas usaha pialang asuransi, pialang reasuransi, penilai kerugian asuransi, konsultan aktuaria, dan agen
asuransi. Dilihat dari bentuk hukum, usaha perasuransian dapat
berbentuk perusahaan perseroan (persero), koperasi, perseroan
terbatas, dan usaha bersama (mutual). Usaha konsultan aktuaria dan
usaha agen asuransi dapat dilakukan oleh perusahaan perorangan.
Sementara itu, untuk mencegah adanya pemaksaan dalam penutupan
asuransi, setiap tertanggung memiliki kebebasan untuk memilih
perusahaan asuransi penanggungnya.
Aktivitas industri asuransi sampai dengan tahun keempat
pelaksanaan Repelita V menunjukkan perkembangan yang pesat. Hal
tersebut tercermin dari besarnya total aktiva, premi bruto, dan dana
investasi yang dihimpun oleh usaha asuransi. Sampai akhir tahun
1992 dibanding tahun 1991, jumlah perusahaan perasuransian
bertambah 8 buah menjadi 145 perusahaan, yang terdiri atas 46
IV/61
perusahaan asuransi jiwa, 90 perusahaan asuransi kerugian, 4
perusahaan reasuransi, dan 5 perusahaan asuransi sosial. Jumlah total
aktiva industri asuransi pada tahun 1992 meningkat sebesar 26,3,%
dibanding tahun 1991 sehingga mencapai Rp 7,9 triliun. Sementara itu,
dalam periode yang sama jumlah premi bruto yang dihimpun
oleh perusahaan asuransi mencapai Rp 2,7 triliun atau meningkat
17,8% , sedangkan dana investasi yang ditanamkan oleh
perusahaan-perusahan asuransi mengalami peningkatan sebesar
25,6% sehingga mencapai Rp 6,3 triliun.
Untuk memantapkan perkembangan usaha dana pensiun, pada
tanggal 20 April 1992 dikeluarkan Undang-Undang No. 11 tentang
Dana Pensiun. Dalam undang-undang tersebut dimungkinkan dua
jenis badan hukum yang mengelola dan menjalankan dana pensiun,
yaitu dana pensiun pemberi kerja dan dana pensiun lembaga
keuangan. Dana pensiun pemberi kerja merupakan dana pensiun
yang didirikan oleh orang atau badan yang memperkerjakan
karyawan, yang menyelenggarakan program pensiun manfaat pasti
atau program pensiun iuran pasti. bagi kepentingan sebagian atau
seluruh karyawannya. Sementara itu, dana pensiun lembaga
keuangan ialah dana pensiun yang dibentuk oleh bank atau
perusahaan asuransi jiwa untuk menyelenggarakan program pensiun
iuran pasti, baik karyawan maupun pekerja mandiri, yang terpisah
dari dana pensiun pemberi kerja dari karyawan bank atau perusahaan
asuransi jiwa yang bersangkutan.
Lembaga dana pensiun, baik yang didirikan oleh BUMN
maupun oleh perusahaan swasta, yang telah mendapat persetujuan
Menteri Keuangan sampai dengan September 1992 mencapai 194
lembaga. Sementara itu, dalam rangka pengembangan sistem
pembayaran pensiun, tugas dan. kewajiban penyelenggaraan
pembayaran pensiun bagi pegawai negeri sipil (PNS) di seluruh
Indonesia telah dilimpahkan kepada PT (Persero) Taspen. Posisi
iuran dana pensiun PNS yang dihimpun melalui PT Taspen sampai
dengan November 1992 mencapai Rp 4,8 triliun. Investasi yang
disalurkan seluruh lembaga dana pensiun pada tahun 1992
diperkirakan mencapai hampir Rp 5 triliun, dan sebagian besar
dialokasikan pada deposito.
Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian yang bertujuan untuk
memberikan pinjaman kepada masyarakat berpenghasilan rendah,
dalam tahun 1992/93 telah melakukan penyesuaian ketentuan dengan
menaikkan batas maksimum pagu pinjaman yang diberikan kepada
peminjam (pegadai) dari Rp 500 ribu menjadi Rp 1,5 juta. Untuk
pinjaman sebesar Rp 2.500 sampai dengan Rp 40 ribu bunga
pinjamannya ditetapkan sebesar 3 % per bulan dengan jangka waktu
pelunasan 6 bulan; untuk pinjaman di atas Rp 40 ribu sampai dengan
Rp 1,5 juta bunga pinjamannya adalah 4% per bulan dengan waktu
pelunasannya 3 bulan. Jumlah kantor pegadaian di seluruh Indonesia
bertambah 14 sehingga menjadi 530 kantor pada tahun 1992.
Kegiatan usaha pegadaian masih menunjukkan peningkatan
sebagaimana terlihat pada kenaikan pemberian pinjaman dan jumlah
yang dibayar kembali (penebusan). Selama tahun 1992, pemberian
pinjaman dan penebusan masing-masing meningkat Rp 84 miliar
(13,6%) dan Rp 142 miliar (25,8%) dibandingkan dengan tahun
sebelumnya. Dengan kenaikan tersebut, jumlah sisa pinjaman
bertambah Rp 8 miliar (2,6 %) sehingga menjadi Rp 530 miliar.
3. Pasar Modal
Dalam kurun waktu 4 tahun pelaksanaan Repelita V telah
dikeluarkan berbagai kebijaksanaan pengembangan pasar modal,
antara lain pemberian izin bagi investor asing untuk memiliki saham
perusahaan yang go public, kesempatan bagi pihak swasta untuk
mengelola bursa paralel, serta pengenaan pajak penghasilan atas
bunga deposito dan tabungan yang diberlakukan sejak tahun 1990.
Sementara itu dalam bulan Oktober 1991 Bapepam sebagai pengawas
pasar modal mengeluarkan ketentuan yang menyangkut pedoman
perdagangan efek yang meliputi perizinan perusahaan efek, modal
kerja perusahaan efek, nilai pasar yang wajar, keamanan dana
nasabah, kewajiban menyelenggarakan pembukuan bagi perantara
pedagang efek, larangan bagi wakil perantara pedagang efek, dan
persyaratan keterbukaan orang dalam dan pemegang saham tertentu.
IV/63
Selanjutnya, dalam bulan Desember 1991 Bapepam mengeluarkan
ketentuan mengenai reksa dana yang menyangkut perizinan, tata cara
pengoperasian, pelaporan, pemeriksaan, dan pedoman prospektus
reksa dana.
Sejak disahkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, investor asing diizinkan untuk membeli saham bank
umum swasta yang tercatat di bursa saham maksimum sebesar 49%.
Bagi bank umum milik negara, berdasarkan undang-undang tersebut
ditetapkan lebih lanjut bahwa batas maksimum emisi di bursa adalah
49% dari kepemilikan saham oleh negara dan maksimum 49% di
antaranya boleh dibeli investor asing.
Dengan beralihnya fungsi Bapepam sebagai pengawas pasar
modal maka perlu dibentuk lembaga penyelenggara bursa yang
berdasarkan Keputusan Presiden No. 53 Tahun 1990 dikelola oleh
perusahaan swasta. Sebagai pelaksanaan dari Keputusan Presiden
tersebut, pada bulan Maret 1992 Pemerintah telah memberikan izin
usaha kepada PT Bursa Efek Jakarta sebagai penyelenggara bursa
efek di Jakarta.
Selanjutnya PT Bursa Efek Jakarta (PT BEJ) telah
mengupayakan peningkatan efisiensi bursa dan penambahan jenis
perdagangan non reguler, antara lain perdagangan tutup sendiri
(crossing), lewat batas porsi asing, dan hak penawaran terbatas (right
issue), yang telah mulai dilaksanakan sejak 20 Juli 1992. Sementara
itu, untuk menggairahkan aktivitas perdagangan saham, sejak tanggal
1 September 1992 PT BEJ juga telah mulai melaksanakan
perdagangan pasar tunai di lantai bursa.
Di samping itu, dalam tahun 1992/93 telah ditetapkan
ketentuan mengenai Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu yang
mengatur pelaksanaan transaksi yang terjadi di antara pihak-pihak
terafiliasi dalam suatu perusahaan publik. Ketentuan tersebut
ditujukan agar tidak terdapat pihak-pihak yang dirugikan. Setiap
transaksi yang di dalamnya terdapat benturan kepentingan di antara
IV/64
anggota dewan komisaris, direksi, atau pemegang saham harus
mendapat persetujuan mayoritas pemegang saham yang tidak
mempunyai benturan kepentingan dengan transaksi tersebut. Dalam
hal transaksi penyertaan suatu perusahaan terhadap perusahaan lain
mempunyai benturan kepentingan, maka perusahaan tersebut harus
memenuhi asas keterbukaan dan dinilai oleh pihak yang tidak
terkait.
Dengan latar belakang kebijaksanaan tersebut di atas
perkembangan pasar modal selama periode 1989/90 sampai dengan
1992/93 telah mengalami pasang-surut. Dalam tahun 1989/90
keadaan pasar modal cukup bergairah seperti tercermin pada meningkatnya jumlah perusahaan yang go public yang pada akhir Maret
1990 mencapai 66 perusahaan dengan nilai emisi sebesar Rp 2.739,2
miliar atau lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan 25
perusahaan pada akhir tahun 1988/89. Setelah mengalami
perkembangan pesat, yang mencapai puncaknya pada awal triwulan I
1990/91, kegiatan pasar modal mulai menunjukkan kelesuan sampai
akhir tahun 1990/91, dan masih terus berlanjut hingga akhir tahun
1991/92. Selama tahun 1991/92, jumlah perusahaan yang go public
hanya bertambah 15 perusahaan dengan nilai emisi Rp 1,3 triliun
dibandingkan dengan peningkatan sejumlah 60 perusahaan dengan.
nilai emisi Rp 5,5 triliun pada tahun sebelumnya.
Keadaan pasar modal selama tahun 1992/93 menunjukkan
perkembangan yang membaik sebagaimana tercermin pada
peningkatan jumlah perusahaan yang go public dan perkembangan
indeks harga saham gabungan (IHSG) yang relatif baik, serta peningkatan jumlah dan nilai saham yang diperdagangkan. Perkembangan
tersebut berkaitan dengan likuiditas perekonomian yang mulai
dilonggarkan. Sampai dengan tahun 1992/93 jumlah perusahaan yang
go public telah berkembang menjadi 194 perusahaan dengan dana
yang dihimpun sebesar Rp 15,4 triliun terdiri atas 164 perusahaan
yang memasarkan saham dengan nilai emisi Rp 11,5 triliun dan 30
perusahaan yang memasarkan obligasi dengan nilai emisi Rp 3,9
triliun. Di bursa paralel tercatat 7 perusahaan yang terdiri atas
IV/65
4 perusahaan yang memasarkan saham, 2 perusahaan yang mema sarkan obligasi, dan 1 perusahaan yang memasarkan sekuritas kredit
dengan nilai masing-masing sebesar Rp 125,4 miliar, Rp 25,0 miliar,
dan Rp 3,0 miliar.
Sementara itu, IHSG di Bursa Efek Jakarta menunjukkan
perkembangan yang semakin baik dalam tahun 1992/93. IHSG
meningkat dari 278,7 pada bulan Maret 1992 menjadi 317,2 pada
akhir Juli 1992 dan menurun menjadi 310,8 pada akhir Maret 1993.
Jumlah saham •yang diperdagangkan dalam tahun 1992/93 meningkat
cukup pesat, yaitu 2,0 miliar lembar, dengan nilai transaksi sebesar
Rp 10,1 triliun.
Selain saham, obligasi ternyata semakin mempunyai peluang
menjadi alternatif investasi yang cukup aman dan menguntungkan.
Setelah mengalami kemandegan selama tahun 1991/92, perdagangan
obligasi mulai menunjukkan perkembangan yang membaik. Jumlah
emiten mencapai 30 perusahaan dengan jumlah kumulatif emisi
sebesar 655,1 ribu lembar dan nilai kumulatif emisi sebesar Rp 3,9
triliun sampai dengan akhir Maret 1993, yang berarti terjadi
peningkatan dibandingkan dengan 383,8 ribu lembar dan Rp 2,3
triliun pada akhir Maret 1992.
IV/66
Download