Uploaded by User33110

Case Report COPD

advertisement
CASE REPORT
CHRONIC OBSTRUCTIVE PULMONARY DISEASE
Disusun Oleh:
dr. Kartika Hardianti Zainal
Pembimbing:
dr. Syafrizal Sp.P
dr. Andi Mulyawan
Disusun Dalam Rangka Mengikuti Kegiatan Internsip Dokter Indonesia
Periode 6 Maret 2018 - 5 Juli 2018
Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Rebo
Jakarta Timur
STATUS PASIEN
Identitas Pasien
Nama
: Tn. AW
Usia
: 52 tahun
Pekerjaan
: Wiraswasta
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Tanggal Lahir
: 29/06/2965
Alamat
: Kampung Tengah
No. RM
: 2016-683717
Ruang Rawat
: Melati
Tanggal pemeriksaan :
I.
ANAMNESA
Keluhan utama :
Sesak sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.
Keluhan tambahan :
Batuk, nyeri abdomen
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien laki-laki , 53 tahun, datang ke IGD RSUD Pasar Rebo dengan keluhan sesak nafas,
sejak seminggu terakhir memberat pada 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga
mengeluhkan, batuk berdahak berwarna putih. Pasien juga mengeluhkan nyeri abdomen setiap kali
batuk . Riwayat demam ada.Riwayat Nyeri dada tidak ada. Riwayat Mual dan muntah tidak ada.
Riwayat merokok lama >15 tahun. Riwayat Hipertensi ada. Riwayat pengobatan
TB (6bulan, tuntas). Riwayat di rawat di RS pada tahun 2016,2017 dengan penyakit yang
sama
.
Riwayat alergi terhadap udara ada. Riwayat Alergi obat disangkal. Riwayat darah
tinggi ada. Riwayat kecing manis disangkal
Riwayat keluarga atopi pada anggota keluarga ada (ibu kandung) riwayat anggota
keluarga darah tinggi dan kencing manis ada
Riwayat Penyakit Dahulu
1. Hipertensi
2. TB Paru
3. Penyakit Paru Lain
Riwayat Kebiasaan
1. Pola makan buruk (+)
2. Merokok (+) >1 5 tahun
3. Tidak rutin berolah raga
Riwayat Penyakit keluarga
1. Hipertensi
2. Diabetes Melitus
3. Asma
II.
STATUS GENERALIS
1. Keadaan Umum
: Sakit sedang
2. Kesadaran
: Compos mentis
3. Tekanan darah
: 140/90 mmHg
4. Nadi
: 72x/menit teraba kuat, frekuensi teratur
5. Suhu
: 37,7˚C
6. Pernapasan
: 28 x/menit teratur
7. Berat badan
: 72kg
PEMERIKSAAN FISIK
Kepala
1. Bentuk
: normochepal
2. Posisi
: simetris
Kulit
1.
Palmar eritema (-)
2.
Erupsi popular (-)
3.
Dermatisis seboroik (-)
4.
Cheilitis angularis (-)
Mata
1. Exophthalmus
: Tidak ada
2. Enopthalmus
: Tidak ada
3. Edema kelopak
: Tidak ada
4. Konjungtiva anemi
: -/-
5. Sklera ikterik
: -/-
6. Massa
: -/-
Telinga
1. Bentuk
: Normotia
2. Pendengaran
: Baik
3. Darah & sekret
: Tidak ditemukan
1. Trismus
: Tidak ada
2. Faring
: faring hiperemis (-)
3. Lidah
: lidah tidak kotor berwarna putih, deviasi (-)
4. Uvula
: Letak ditengah, tidak deviasi
5. Tonsil
: T1-T1 tenang, hiperemis (-)
1. Trakea
: Tidak deviasi
2. Kelenjar tiroid
: Tidak ada pembesaran
3. Kelenjar limfe
: Tidak ada pembesaran
4. JVP
: 5 + 2 cmHg, dilatasi vena (-)
Mulut
Leher
Paru-paru
1. Inspeksi
: Pergerakan dinding dada simetris dalam keadaan statis dan dinamis
kanan kiri. Retraksi (-)
2. Palpasi
: Tidak teraba kelainan dan masa pada seluruh lapang paru. Fremitus
taktil dan vokal statis kanan kiri sama.
3. Perkusi
: Terdengar sonor pada seluruh lapang paru.
4. Auskultasi : Suara dasar napas vesicular +/menurun, rhonki +/+ basah halus,
wheezing -/-
Jantung
1. Inspeksi
: Iktus cordis terlihat
2. Palpasi
: Iktus cordis teraba pada ICS VI linea lateral midclavicula sinistra
3. Perkusi
:
a. Batas jantung kanan pada ICS V linea sternalis dekstra
b. Batas jantung kiri pada ICS VI linea lateral midclavicula sinistra
c. Batas pinggang jantung pada ICS II linea parasternalis sinistra
4. Auskultasi : Bunyi jantung I-II normal regular, gallop (-) murmur (-)
Abdomen
1. Inspeksi
: datar simetris
2. Auskultasi : Bising usus (+) normal
3. Perkusi
: Timpani di seluruh kuadaran, shifting dullness (-)
4. Palpasi
: Supel, nyeri tekan ulu hati (+), hepar tidak teraba membesar, lien
tidak teraba membesar, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), undulasi (-), kandung
kemih tidak teraba penuh.
Ekstremitas
1. Akral hangat pada ekstremitas atas dan bawah kanan-kiri
2. Edema (-)
3. Capilarry refill time < 2 detik
III.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hematologi Lengkap
4/03/2018
Rujukan
Hemoglobin
13.0
13.2-17.3
Hematokrit
39
40-52
Leukosit
24.30
3.80 – 10.60 10^3µL
Trombosit
385
150.000 – 440.000 µL
Eritrosit
4.4
4.4-5.9 juta/µL
Kimia Darah
4/03.2018
Rujukan
SGOT (AST)
13
0-35 U/L
SGPT (ALT)
13
0-35 U/L
Ureum darah
22
20-40 mg/dL
Kreatinin darah
0.98
0.35-0.93 mg/dL
eGFR
85.4
mL/min/1.73 m2
Glukosa
Darah 279
< 200 mg/dL
Sewaktu
Elektrolit
4/03/2018
Rujukan
Natrium (Na)
135
135-147 mmol/L
Kalium (K)
3.4
3.5-5.0
Klorida (Cl)
99
98-108
Analisis
Gas 4/3/2018
Rujukan
Darah
pH
7.302
7.370-7.400
pCO2
35.1mmHg
33.00-44.0
pO2
41.5Mmol/L
71.0-104.0
HCO3
16.8Mmol/L
22.0-29.0
HCO3
17.3Mmol/L
standard
TCO2
18Mmol/L
19-24
BE ecf
-8.3
BE(B)
-8.30mmol/L -2-+3
Saturasi O2
71.90%
94.0-98.0
Interpretasi EKG (04/03/2018)

Irama : sinus, interval R-R reguler

Heart rate: 125 x/menit

Axis: normal

Gelombang P:
Elektrokardiografi

Interval P-R: tidak memanjang

Gelombang QRS: kompleks QRS tidak melebar

Segmen ST: tidak ada ST elevasi

Gelombang T: normal

Kesan: irama sinus, takikardi, axis normal
Rontgen Thorax
Interpretasi Rontgen thorax (04/03/2018)

Cor
: kesan normal

Aorta dan mediastinum
: tidak melebar

Trakhea
: Di garis tengah

Pulmo : Hili normal. Bercak infiltrar di peihiller kedua paru

Sinus costofrenikus lancip dan diafragma baik

Jaringan lunak dan tulang-tulang dinding dada baik
IV.
RESUME
Pasien laki-laki , 53 tahun, datang ke IGD RSUD Pasar Rebo dengan keluhan
dyspnea, sejak seminggu terakhir memberat pada 1 hari sebelum masuk rumah sakit.
Pasien juga mengeluhkan, batuk berdahak berwarna putih. Pasein juga mengeluhkan nyeri
abdomen. Riwayat demam ada.Riwayat Nyeri dada tidak ada. Riwayat Mual dan muntah
tidak ada.
Riwayat merokok lama >15 tahun. Riwayat Hipertensi ada. Riwayat pengobatan
TB (6bulan, tuntas). Riwayat di rawat di RS pada tahun 2016,2017 dengan penyakt yang
sama
.
Riwayat alergi terhadap udara ada. Riwayat Alergi obat disangkal. Riwayat darah
tinggi ada. Riwayat kecing manis disangkal
Riwayat keluarga atopi pada anggota keluarga ada (ibu kandung) riwayat anggota
keluarga darah tinggi dan kencing manis ada
Pada Pemeriksaan Darah Lengkap Leukosit meningkat 24.300, Analisis Gas Darah
menunjukkan Asidosis Metabolik
Pada auskultasi paru didapatkan suara vesicular menurun pada paru kiri dan rhonki
basah halus terutama pada lapang paru kiri. Hasil EKG menunjukkan irama sinus,
takikardi, dan aksis normal. Pada rontgen thorax ditemukan infiltrate pada kedua lapang
paru.
V.
PENGKAJIAN MASALAH
Gejala dan Tanda
Diagnosis
Diagnosis Banding
PPOK eksaserbasi
Bronkopneumonia
1. Sesak
2. Riwayat demam dan
batuk sebelumnya
3. Rhonki (+)
4. Riwayat Merokok
6. Gambaran infiltrate
pada rontgen thorax
7.Riwayat penyakit yang
sama setahun lalu
VI.
DIAGNOSIS KERJA
PPOK
VII.
DIAGNOSIS BANDING
Bronkopneumonia
VIII.
TATALAKSANA
Farmakoterapi
19.59 WIB
Inhalasi Combivent:Flumycort 1:1
Inhalasi Combivent:Flumycort 1:1
21.20 WIB
Inhalasi combivent ke-3
Kalmethasone II amp (IV)
Paracetamol 1 Tab (Oral)
22.35 WIB
0ksigen 4 lpm
Asering 500cc+Aminofilin/8jam
Cek Darah Lengkap
Kimia Darah
Elektrolit
Analisis Gas Darah
Foto Thorax (AP)
IX.
PROGNOSIS
1. Ad vitam
: dubia ad bonam
2. Ad functionam
: dubia ad bonam
3. Ad sanationam
: dubia ad bonam
TINJAUAN PUSTAKA
1.
Pengertian PPOK
Menurut Pedoman Diagnosis dan Penalataksanaan PPOK di Indonesia yang
diterbitkan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia pada tahun 2003, PPOK
adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di
saluran napas yang bersifat progresif, nonreversibel atau reversibel parsial
dan disertai penyakit bronkitis kronik atau emfisema atau gabungan
keduanya. Dipetik dari Global. Strategy for the Diagnosis, Management and
Prevention of COPD terbitan GOLD (2015), hambatan aliran udara di
saluran napas penderita PPOK terjadi akibat respon inflamatori kronis
terhadap gas atau partikel berbahaya hingga bisa menyebabkan pengrusakan
jaringan parenkim dan mengganggu mekanisme perbaikan dan pertahanan
yang normal. Perubahan patologi ini menyebabkan udara dalam paru
terperangkap dan aliran udara terhambat, akibatnya penderita mengalami
gejala seperti sesak napas atau dyspnea, batuk kronis dan produksi sputum
kronis. Keparahan PPOK tergantung pada terjadinya eksaserbasi dan
wujudnya komorbiditas pada pasien (GOLD, 2015a).
2.
Epidemiologi
WHO memperkirakan sekitar 65 juta orang menderita PPOK sedang hingga
berat dan pada tahun 2005, 3 juta orang meninggal karena PPOK dengan merujuk
5% dari seluruh kematian secara global (WHO, 2015b). Total kematian akibat
PPOK diproyeksikan akan meningkat lebih dari 30% pada 10 tahun mendatang
dan kemungkinan lebih ketara di negara-negara Asia dan Afrika karena
meningkatnya pemakaian tembakau (Ratih, 2013). Informasi
mengenai
prevalensi, mortalitas dan morbiditas PPOK kebanyakannya diperoleh dari negara
yang ekonominya mantap karena untuk mendapatkan data epidemiologi yang
akurat adalah sukar dan mahal (WHO, 2015b).
Analisis sistematik dan meta-analisis dari penelitian yang dijalankan di 28
negara dari tahun 1990 hingga 2004 serta suatu studi dari Jepang menyediakan
bukti yang prevalensi PPOK lebih tinggi dalam kalangan perokok dan bekas
perokok dibanding dengan bukan perokok, yang umurnya lebih dari 40 tahun dari
yang kurang dan lebih banyak lelaki dibanding wanita. Namun oleh karena
adanya faktor seperti peningkatan penggunaan tembakau dalam kalangan wanita
di negara berpendapatan tinggi dan wanita lebih berisiko terdedah kepada polusi
indoor seperti dari bahan biomassa untuk memasak, risiko untuk mengidap PPOK
antara lelaki dan wanita hampir sama (WHO, 2015b).
Data morbiditas meliputi pertemuan dengan dokter, rawatan di Unit Gawat
Darurat (UGD) dan rawat inap (GOLD, 2015a). Data morbiditas meningkat
seiring dengan keparahan penyakit dan lebih tinggi pada pasien dengan status
sosioekonomi rendah (Prescott dan Vestbo, 1999). Di Asia, rawat inap merupakan
item yang menyumbang kepada biaya medis paling tinggi bagi PPOK. Penyakit
yang sudah sedia parah dan kesulitan psikososial adalah antara faktor risiko
pasien harus mendapatkan rawatan di rawat inap karena terjadinya serangan akut
PPOK (Tan dan Ng, 2008).
Data badan kesehatan dunia (WHO) tahun 2002 menunjukkan PPOK
menempati urutan ketiga sebagai penyebab utama kematian di dunia setelah
penyakit kardiovaskuler dan kanker. Diperkirakan jumlah penderita PPOK di
China pada tahun 2006 mencapai 38,1 juta penderita, Jepang sebanyak 5 juta
penderita dan Vietnam sebesar 2 juta penderita. Di Indonesia diperkirakan
terdapat sekitar 4,8 juta penderita PPOK dan angka ini bisa meningkat dengan
semakin banyaknya jumlah perokok (Dodi dkk, 2012). The Global Burden of
Disease Study memproyeksikan PPOK yang merupakan penyebab keenam
tertinggi kematian pada 1990 akan naik ke tingkat ketiga di dunia pada tahun
2020 (GOLD, 2015a).
3.
Patogenesis dan Patofisiologi
Selain berperan dalam penukaran gas dan homeostasis asam-basa, sistem
pernapasan menyediakan pertahanan imunologik dan fisik terhadap zat asing.
Hubungan antara elastisitas dan tekanan di dalam dan di sekitar saluran napas
yang seimbang akan memelihara integritasnya. Kesetimbangan asam-basa
dipelihara dengan menahan atau mengeluarkan karbon dioksida melalui
pernapasan (Helms, 2006).
Bagian atas dan bawah saluran pernapasan berperan dalam sistem
pertahanan fisik dengan adanya kelenjar mukus dan cilia pada sel epitel yang
berfungsi memerangkap partikel yang diinhalasi lalu mengeluarkannya dari
saluran pernapasan. Untuk aktivitas imunologik pula, immunoglobulin, enzim dan
lain-lain mediator berperan menghancurkan atau menginaktivasi bahan asing yang
diinhalasi. Gangguan pada kesetimbangan sistem enzim agresif dan protektif di
saluran pernapasan merupakan dasar kepada terjadinya PPOK (Helms, 2006).
Etiologi paling kerap PPOK adalah asap rokok namun inhalasi iritan lain
secara kronis juga dapat menyebabkan PPOK. Gambar 1 menunjukkan
mekanisme yang menyebabkan perubahan patofisiologi pada PPOK.
Gambar 1. Sel imun dan inflamatori yang terlibat dalam PPOK (Barnes, 2008)
Asap rokok dan iritan-iritan lain mengaktivasi sel epitel dan makrofag untuk
melepaskan beberapa chemotactic factors atau chemokines yang akan menarik sel
inflamatori ke paru, antaranya:
a.
CC-chemokine ligand 1 (CCL2) berikatan dengan CC-chemokine receptor 2
(CCR2) untuk menarik monosit.
b.
CXC-chemokine ligand 1 (CXCL1) dan CXCL8 mengikat CXC-chemokine
receptor 2 (CXCR2) untuk menarik neutrofil dan monosit (yang nantinya
terdifferensiasi menajadi makrofag di paru).
c.
CXCL9, CXCL10 dan CXCL10 mengikat CXCR3 untuk menarik sel T
helper 1 (TH1) dan sel sitotoksik tipe 1 (Tc1).
Nama CC dan CXC chemokine merujuk kepada strukturnya. Chemokine CC
mempunyai 2 asam amino sistein berdekatan N-terminalnya, sementara pada
chemokine CXC N-terminalnya dipisahkan oleh satu asam amino yang diwakili
dengan huruf X. Makrofag, sel epitel dan sel-sel inflamatori ini juga melepaskan
enzim protease antaranya:
a.
Matrix metalloproteinase 9 (MMP9) yang menyebabkan degradasi elastin
dan emfisema.
b.
Neutrofil elastase yang menyebabkan hipersekresi mukus di saluran napas.
Sel epitel dan makrofag juga melepaskan transforming growth factor-β yang
menstimulasi proliferasi fibrolast lalu menyebabkan fibrosis di saluran pernapasan
(Barnes, 2008).
Proses patofisiologi lain antaranya ketidakseimbangan sistem pertahanan
agresif dan protektif, yaitu pada keadaan normal protease yang berlebihan
aktifitasnya akan dihambat oleh antiprotease. Jumlah dan aktivitas protease
meningkat
sedangkan
produksi
dan
aktivitas
antiprotease
berkurang,
menyebabkan destruksi dinding alveoli (Helms dkk, 2006). Stress oksidatif juga
berperan dimana pada kondisi normal akan diredam oleh antioksidan, tetapi
peningkatan oksidan dari asap rokok akan bereaksi dengan pelbagai protein dan
lipid mengakibatkan kerusakan jaringan dan sel. Oksidan juga memicu inflamasi
secara langsung dan memperburuk ketidaksetimbangan proteaese-antiprotease
(Wells dkk, 2006).
Terjadinya peningkatan jumlah dan ukuran sel goblet dan kelenjar mukus di
saluran pernapasan menyebabkan produksi mukus turut meningkat. Fungsi cilia
bisa terganggu hingga pembersihan mukus dan partikel asing berkurang. Hal ini
menyebabkan saluran napas yang pada kondisi normalnya steril dapat dikolonisasi
bakteri hingga menyumbang pada inflamasi kronis yang terkait dengan PPOK
(Helms dkk, 2006). Antiprotease α1-antitypsin (AAT) melindungi jaringan dengan
menghambat beberapa enzim protease antaranya neutrofil elastase. Pada pasien
berpenyakit defisiensi AAT, elastase bebas menyerang elastin yang merupakan
komponen utama dinding alveoli hingga merusak jaringan parenkim paru (Wells
dkk, 2006).
Pelbagai faktor menyumbang pada obstruksi aliran udara antaranya
peningkatan mukus, fibrosis dinding saluran napas dan alveolus yang kolaps.
Keterbatasan aliran udara diperburuk dengan hilangnya rekoil elastik normal pada
paru selama penghembusan napas. Akibatnya pasien menggunakan otot
abdominal dan dada untuk memaksa udara keluar dari paru, menyebabkan
pelanjutan kolaps saluran udara dan air trapping hingga terjadi hiperinflasi
thorakik. Semakin buruk PPOK, pertukaran gas menjadi semakin jelek
menyebabkan hipoksemia signifikan yang mungkin memerlukan penambahan
oksigen kronik pada pasien (Helms dkk, 2006).
4.
Faktor Risiko
Menurut American Thoracic Society (ATS), faktor risiko terjadinya PPOK
terbagi kepada dua yaitu factor internal dan eksternal (2004). Faktor internal
meliputi genetik, jenis kelamin, perkembangan dan pertumbuhan paru serta
hiperaktivitas bronkial. Faktor eksternal pula meliputi merokok, status
sosioekonomi, riwayat pemejanan polusi indoor dan lingkungan dan riwayat
infeksi pernapasan berulang (GOLD, 2015a).
Merokok merupakan faktor risiko paling kerap ditemui bagi PPOK. Perokok
aktif memiliki prevalensi lebih tinggi untuk mengalami gejala respiratorik,
abnormalitas fungsi paru, dan mortalitas yang lebih tinggi dibanding orang yang
tidak merokok. Merokok selama masa kehamilan juga dapat mewariskan faktor
risiko kepada janin, mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan paru-paru
dan janin dalam kandungan, bahkan mungkin juga dapat mengganggu sistem
imun dari janin tersebut (GOLD, 2015a).
Polusi indoor dan lingkungan meliputi polusi di dalam ruangan (asap rokok,
asap kompor), polusi di luar ruangan (gas buang kendaraan bermotor, debu
jalanan), dan polusi di tempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun). Suatu
pernyataan dari American Thoracic Society menyebut polusi di tempat kerja
berpengaruh sebanyak 10-20% penyebab gejala dan melemahnya kapasitas
fungsional pada PPOK (GOLD, 2015a). Di negara dengan pendapatan rendah
yang sebagian besar masyarakat menggunakan cara masak tradisional dengan
minyak tanah dan kayu bakar, hal ini menyumbang kepada tingkat polusi indoor
yang tinggi terutama jika ventilasi dapurnya jelek (Ratih, 2003).
Infeksi saluran napas berulang terutamanya pada waktu anak-anak dikaitkan
dengan penurunan fungsi paru dan peningkatan gejala pernapasan di waktu
dewasa. Selain itu, terganggunya perkembangan paru-paru selama di dalam
kandungan dan ketika masih anak-anak juga berpotensi meningkatkan risiko
mengidap PPOK. Hiperaktivitas bronkial merupakan faktor kedua penyebab
utama PPOK setelah merokok, dan bisa terjadi walaupun tanpa diagnosis klinik
penyakit asma (GOLD, 2015a).
Terdapat bukti yang kuat menunjukkan status sosioekonomik berbanding
terbalik dengan risiko mendapat PPOK. Namun kaitannya dengan faktor risiko
seperti polusi indoor dan outdoor kurang jelas. Defisiensi α-1 antitrypsin, suatu
inhibitor serine proteases juga merupakan faktor risiko PPOK. Walaupun faktor
ini relevan dengan hanya sebagian kecil populasi dunia, ia menunjukkan interaksi
antara genetik dan lain-lain faktor lingkungan yang menyebabkan PPOK. Di masa
lalu kebanyakan penelitian menunjukkan prevalensi dan mortalitas PPOK lebih
banyak dari kalangan pria dibandingkan wanita. Namun kini data dari negara
maju menunjukkan prevalensi PPOK hampir sama antara pria dan wanita,
mungkin disesabkan pola merokok yang telah berubah (GOLD, 2015a).
5.
Diagnosa dan Gejala
Diagnosa PPOK perlu dilakukan terhadap pasien yang mempunyai riwayat
sesak napas/dyspnea, batuk kronis dengan atau tanpa produksi sputum berlebihan
dan riwayat terpapar faktor risiko terutama kebiasaan merokok. Diagnosa PPOK
dilakukan dengan pemeriksaan spirometri yang merupakan standar uji fungsi paru
untuk menilai keterbatasan aliran udara pada saluran napas. Spirometri digunakan
untuk mengukur Forced Expired Volume in one second (FEV1) yaitu volume
udara yang dapat dihembuskan paksa pada satu detik pertama dan Forced Vital
Capacity
(FVC)
yaitu
volume
udara
maksimum
yang
dapat dihembuskan secara paksa. Pada orang dewasa sehat nilai rasio FEV 1/FVC
sekitar 75% - 80%. Nilai FEV1/FVC pasca-bronkodilator yang kurang dari 70%
mengkonfirmasi adanya limitasi saluran udara yang persisten. Tabel di bawah
mengklasifikasikan keparahan PPOK dari nilai FEV1 setelah diberikan
bronkodilator:
Tabel I. Klasifikasi PPOK dari keparahan limitasi saluran napas (GOLD, 2010)
Pasien dengan FEV1/FVC < 70%:
I: Ringan
FEV1 > 80%
II: Sedang
50% < FEV1 < 80%
III: Berat
30% < FEV1 < 50%
IV: Sangat berat
FEV1 < 30% atau FEV1<50% dan kegagalan respirasi kronis
Walaupun pasien mempunyai beberapa gejala berupa indikator penting
PPOK, masih diperlukan uji spirometri bagi menegakkan diagnosa. Tetapi adanya
indikator tersebut meningkatkan kemungkinan pasien didiagnosa mengidap
PPOK, antara indikatornya:
Dyspnea yang bersifat progresif yaitu memburuk dengan lamanya waktu,
memburuk waktu olahraga atau persisten.
a.
Batuk kronis yang bisa terjadi intermiten (tidak terus-menerus) dan tanpa
dahak.
b.
Produksi sputum yang kronis.
c.
Riwayat terpajan faktor risiko seperti asap rokok, asap dari bahan bakar
memasak atau pemanasan serta debu dan bahan kimia di tempat kerja
(GOLD, 2015a).
Dyspnea merupakan gejala utama penyebab keterbatasan pergerakan dan
ansietas pada PPOK, dan bertambah berat dengan adanya aktifitas. Gejala ini
didefinisikan pasien sebagai “butuh usaha lebih untuk bernapas”, “berat”, “sulit
bernapas”, “terengah-engah”. Batuk kronik merupakan gejala pertama yang
muncul pada PPOK dan dapat terjadi intermiten serta tidak produktif. Pasien
PPOK biasanya mengalami produksi sputum yang kronis setelah serangan batuk.
Produksi sputum sukar dievaluasi karena pasien mungkin menelannya dan tidak
mengeluarkannya. (GOLD, 2015a).
6.
Opsi Terapeutik
Terapi farmakologi yang sesuai dapat mengurangkan gejala PPOK,
mengurangkan frekuensi dan keparahan terjadinya eksaserbasi, memperbaiki
status kesehatan dan toleransi terhadap olahraga. Tujuan utama pengobatan PPOK
adalah untuk mengurangkan gejala dan/atau komplikasi. Karena PPOK bersifat
progresif, terapi yang direkomendasi mencerminkan prinsip-prinsip berikut:
a.
Pengobatan cenderung semakin banyak, lebih banyak obat harus diambil
apabila penyakit semakin memburuk
b.
Perawatan rutin harus dijaga pada tingkat yang sama untuk jangka waktu
yang lama, kecuali apabila adanya efek samping yang signifikan atau
penyakit semakin memburuk
c.
Respon terhadap terapi dan efek samping yang terjadi mungkin berbeda
untuk setiap pasien. Pemantauan secara hati-hati perlu dilakukan bagi
memastikan tujuan terapi dapat dipenuhi (GOLD, 2010).
Bronkodilator adalah obat pilihan utama dalam penatalaksanaan PPOK,
dipakai saat diperlukan atau secara reguler, tergantung keparahan gejala yang
timbul. Pilihan antara β2-agonis, antikolinergik, metilksantin atau kombinasinya
tergantung pada ketersediaan obat dan respon pasien baik dari segi pengurangan
gejala maupun efek samping yang mungkin terjadi. Untuk pengobatan rutin,
penggunaan bronkodilator inhalasi aksi panjang lebih efektif dalam menangani
gejala dan nyaman untuk pasien daripada bronkodilator aksi pendek (GOLD,
2010).
Pengobatan reguler dengan kortikosteroid inhalasi dapat mengurangi
frekuensi eksaserbasi akut dan meningkatkan status kesehatan pasien dengan
FEV1 kurang dari 50% nilai prediksi. Kortikosteroid inhalasi dikombinasikan
dengan β2-agonis aksi panjang lebih efektif dalam mengurangi eksaserbasi
berbanding jika diberikan secara tunggal. Namun demikian, perlu diperhatikan
bahwa penghentian pemberian kortikosteroid inhalasi dapat memicu eksaserbasi
pada sebagian pasien. Pengobatan jangka panjang dengan kortikosteroid oral tidak
direkomendasikan karena dari kurangnya bukti klinis yang menunjukkan manfaat
terapi melebihi risiko efek samping (GOLD, 2010).
Inhibitor
fosfodiesterase-4
bekerja
sebagai
anti
inflamasi
dengan
menghambat enzim PDE-4 yang menguraikan siklik AMP (cAMP). Pada pasien
PPOK Tahap III: Berat Dan Tahap IV: Sangat Berat dengan riwayat eksaserbasi
dan bronkitis kronis, obat golongan ini yaitu roflumilast mengurangi eksaserbasi
pada pasien yang di terapi dengan kortikosteroid oral. Efek ini juga terlihat saat
roflumilast diberikan bersama bronkodilator aksi panjang (GOLD, 2010).
Penggunaan mukolitik seperti ambroksol dan karbosistein telah diteliti pada
sejumlah studi dan menunjukkan hasil yang kontroversial. Pasien yang
mempunyai sputum kental mungkin mendapat manfaat dari pengambilan
mukolitik,
tetapi
secara
keseluruhan
manfaatnya
sangat
kecil
maka
penggunaaannya tidak direkomendasi. Penggunaan antibiotik tidak direkomendasi
melainkan pada eksaserbasi akut disebabkan oleh infeksi dan lain-lain infeksi
bakteri (GOLD, 2010).
Termasuk dalam terapi non-farmakologi adalah rehabilitasi, terapi oksigen
dan pembedahan. Contoh manfaat dari kegiatan rehabilitasi antaranya lebih tahan
terhadap aktivitas fisik dan pengurangan sesak napas. Tujuan rehabilitasi adalah
untuk mengurangi gejala, meningkatkan kualitas hidup dan meningkatkan
partisipasi dalam kegiatan sehari-hari. Terapi oksigen merupakan terapi nonfarmakologi utama untuk pasien PPOK tahap sangat berat. Pemberian oksigen
dilakukan dalam 3 cara yaitu bila timbul sesak yang disebabkan pertambahan
aktivitas fisik, secara terus menerus untuk jangka panjang atau untuk melegakan
sesak napas akut. Pembedahan bullectomy dan transplantasi paru dapat
dipertimbangkan pada pasien PPOK tahap sangat berat yang harus dipilih dengan
teliti (GOLD, 2010).
Pasien yang mempunyai kebiasaan merokok, terapi penggantian nikotin
dapat membantu pasien menghindar diri dari merokok untuk jangka waktu yang
lama. Cara penggunaan yang tepat dapat mengoptimalkan keefektifan produk pengganti
nikotin yang terdapat bentuk sediaan seperti permen karet, inhaler, patch transdermal dan
lozenge (GOLD, 2010).
Download