Uploaded by Trii Wulandari

Obat Pada Sistem Respirasi

advertisement
Obat Pada Sistem Respirasi
klikdokter.com
Tujuan umum dari pengelolaan penyakit pada sistem respirasi adalah mengurangi obstruksi
dengan memperbaiki diameter saluran napas, menghilangkan sekresi yang tertahan,
memberantas infeksi dan mengoreksi ventilasi yang abnormal. Mengingat pentingnya fungsi
paru dan mengingat banyaknya macam obat yang dapat digunakan dalam klinik yang dapat
mempengaruhi fungsi paru, maka di sini akan dibahas terutama mengenai obat asma
bronkial, antitusif, ekspektoran dan mukolitik.
Penatalaksanaan asma dapat ditinjau dari berbagai pendekatan, berikut akan dijelaskan
masing
masing
metode
tersebut.
1. Mencegah alergen IgE


Mencegah/ menghindari kontak dengan alergen, yang hal ini tampaknya sederhana
namun susah dilakukan, karena faktor pemicu asma sangat bervariasi dan berbeda beda pada tiap pasien.
Hiposensitasi, yakni dilakukan dengan terapi menyuntikkan alergen sedikit demi
sedikit dengan tujuan agar tubuh membentuk IgG, sebagai blocking antibody yang
mencegah ikatan antara IgE dengan alergen yang bisa masuk ke tubuh kapan saja.
Namun efek terapi ini masih sangat diragukan.
2.
Mencegah
pelepasan
mediator
Premedikasi dengan natrium kromolin dapat mencegah spasme bronkus yang dicetuskan
oleh alergen, yakni bekerja dengan mencegah pengelepasan mediator mastosit. Obat ini
tidak akan mengatasi spasme bronkus yang telah terjadi, oleh karena itu hanya akan dipakai
sebagai obat terapi pemeliharaan. Natrium kromalin akan sangat efektif pada anak dengan
asma alergi. Disamping itu obat agonis β-2 maupun teofilin selain bersifat bronkodilator juga
dapat
mencegah
pelepasan
mediator.
3. Melebarkan saluran nafas dengan bronkodilator

Simpatomimetik: Agonis β -2, (salbutamol, terbutalin, fenoterol, prokaterol)
merupakan obat-obat yang seringkali dipilih mengatasi serangan asma akut. Dapat



diberikan secara inhalasi melalui MDI (Metered Dosed Inhaler) atau nebulizer.
Epinefrin diberikan subkutan sebagai pengganti agonis β -2 dalam serangan asma
berat, dianjurkan untuk anak dan dewasa muda.
Aminofilin dipakai waktu serangan asma akut, diberikan dosis awal dan dilanjutkan
dengan dosis pemeliharaan.
Kortikosteroid sistemik, merupakan bronkodilator, akan tetapi melebarkan saluran
napas secara tidak langsung, dipakai saat serangan asma akut dan controller pada
pemeliharaan asma berat.
Antikolinergik, terutama dipakai sebagai suplemen bronkodilator agonis β -2 pada
serangan.
4. Mengurangi respon dengan jalan meredam inflamasi saluran nafas
Secara histopatologis, ada infiltrasi sel-sel radang serta mediator inflamasi. Implikasi
terapinya dengan meredam inflamasi dengan natrium kromolin, yang lebih poten adalah
dengan kortikosteroid oral, parenteral, atau inhalasi seperti yang diberikan pada asma akut.
Sesuai dengan macam efek dan kegunaannya dalam klinik, obat anti-asma, dibagi menjadi
dua
1.
Bronkodilator
golongan
(reliever)
termasuk
utama
agonis,
xantin
dan
yaitu:
antikolinergik;
2. Anti inflamasi (controller) termasuk kortikosteroid dan stabilizer sel mastosit.
1. Bronkodilator (reliever)
Obat jenis ini merupakan penghilang gejala saat terjaadi serangan, jadi obat yang masuk
klasifikasi reliever haruslah yang dapat merelaksasi bronkus (bronkodilator) dan berbagai
gejala akut yang menyertainya. Yang termasuk golongan ini yakni agonis β-2 hirup kerja
pendek, kortikosteroid sistemik, antikolinergik sistemik, antikolinergik hirup, teofilin kerja
pendek, dan agonis β-2 oral kerja pendek. Yang termasuk agonis β-2 hirup, yang biasa
terkandung dalam MDI (meter-dossage inhaler), inhaler dan nebulizer adalah feneterol,
salbutamol, terbutalin, prokaterol, merupakan obat terpilih untuk gejala asma akut. Bisa
diberikan sebelum kegiatan jasmani yang dikhawatirkan akan memicu terjadinya asma.
Sedangkan dari golongan metil xantin yang paling sering digunakan adalah teofilin dan
aminofilin. Teofilin memilik sifat relaksasi otot polos dan diuretik (lemah), merupakan
bronkodilator potensi sedang. Teofilin memiliki efek bronkodilatasi dengan memblok
reseptor adenosin. Dari golongan anti kolinergik, dikenal adanya ipatropium bromida yang
dikenalkan sebagai MDI, efek anti kolinergiknya digunakan dalam pengobatan asma kronis.
Ipatropium terbukti lebih kuat daripada agonis β-2 pada pasien dengan penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK).
Siklik AMP dan Asma Bronkial
Siklik AMP (cAMP) mencegah kontraksi otot polos bronkial, meningkatkan relaksasi otot
polos bronkial dan menghambat pembebasan mediator reaksi alergi. Metabolisme cAMP
dapat digambarkan sebagai berikut:
Zat yang merangsang aktivitas adenilat siklase adalah agonis β-2 dan yang menghambat
aktivitas fosfodiesterase adalah aminofilin.
Peran kortikosteroid sistemik pada asma akut adalah untuk mencegah perburukan gejala.
Antikolinergik hirup atau ipatropium bromidaa, selain dipakai sebagai tambahan agonis β-2
hirup pada asma akut, juga dipakai sebagai obat alternatif ada pasien intolerir agonis β-2.
Nama Obat
Deksametason
Metil
Prednisolon
Prednison
Triamsinolon
Dosis dan Cara Penggunaan
Bentuk
Dosis
Sediaan
Tablet
0,75-9 mg dalam 2-4 dosis terbagi
(Dewasa)
0,024 - 0,34 mg/kg berat badan dalam
4 dosis terbagi (Anak-anak)
Tablet
2-60 mg dalam 2-4 dosis terbagi
(Dewasa)
0,117 - 1,60 mg/kg berat badan setiap
hari dalam 4 dosis terbagi (Anak-anak)
Tablet
5-60 mg dalam 2-4 dosis terbagi
(Dewasa)
0,14 - 2 mg/kg berat badan setiap hari
dalam 4 dosis terbagi (Anak-anak)
Aerosol
Oral
2 inhalasi (kira-kira 200 mcg),3-4 kali
sehari. Atau 4 inhalasi (400 mcg), 2
kali sehari. Dosis harian maksimu
adalah 16 inhalasi/ 1600 mcg
(Dewasa)
Dosis umum adalah 1-2 inhalasi (100200 mcg), 3-4 kali sehari. Atau 2-4
inhalasi (200-400 mcg) 2 kali sehari.
Dosis harian maksimum adalah 12
inhalasi/ 1200 mcg (Anak-anak 6-12
tahun)
Beklometason
Pasien yang sebelumnya menjalani
terapi asma dengan bronkodilator
saja: 40-80 mcg sehari. Pasien yang
sebelumnya menjalani terapi asma
dengan kortikosteroid inhalasi: 40-160
mcg sehari (Dewasa & Anak-anak >=
Aerosol
12 tahun)
Oral
Pasien yang sebelumnya menjalani
terapi asma dengan bronkodilator
saja: 40 mcg sehari. Pasien yang
sebelumnya menjalani terapi asma
dengan kortikosteroid inhalasi: 40 mcg
sehari (Anak-anak 5-11 tahun)
Dosis dan Cara Penggunaan
Bentuk
Sediaan
Dosis
Aerosol
Oral
2 inhalasi (36 mcg) 4 kali sehari. Pasien boleh
menggunakan dosis tambahan tetapi tidak boleh
melebihi 12 inhalasi dalam sehari
Dosis yang umum 500 mcg (1 unit dosis dalam vial),
digunakan dalam 3-4 kali sehari dengan menggunakan
Larutan
nebulizer oral, dengan interval pemberian 6-8 jam.
Larutan dapat dicampurkan dalam nebulizer jika
digunakan dalam waktu 1 jam
2.
Controller
Merupakan obat yang dapat dipakai setiap hari, dengan tujuan agar gejala asma persisten
terkendali. Yang masuk dalam golongan controller adalah anti-inflamasi dan bronkodilator
long-action, khususnya kortikosteroid hirup sebagai obat paling efektif. Termasuk golongan
obat pencegahan adalah kortikosteroid hirup, kortikosteroid sistemik, natrium nedokromil,
teofilin lepas lambat (TLL), dan obat anti-alergi.
Antitusif
Merupakan cough suppressant, yakni oas zbat yang berfungsi secara khusus menekan batuk
langsung pada pusat batuk. Antitusif akan bekerja dengan menurunkan aktifitas pusat batuk
di sumbernya dan menekan respirasi. Contohnya adalah dekstromethorpan, dan folkodin
sebagai opioid sangat lemah. Sedangkan kodein, diamorfin dan metadon adalah golongan
opioid yang nantinya akan memiliki efek samping depresi cerebral dan pernafasan. Antitusif
ini dibedakan yang sentral dan perifer.
Perifer, hanya akan bekerja di permukaan saja. Contohnya lidokain, obat ini tidak menyerang
langsung ke pusat otak, sehingga sering dipakai saat pasien akan melakuan bronkoskopi,
yakni untuk menekan batuk dan sedikit memberi efek anastesi.
Sentral sendiri akan dibagi ke dalam dua kelompok, yakni opioid dan non-opioid. Opioid,
contohnya kodein. Bertindak secara sentral dengan meningkatkan nilai ambang batuk.
Kodein dilarang beredar dibeberapa negara karena dianggap sebagai narkotik, dan untuk
dokter yang akan meresepkan kodein harus memberi tanda tangan pada resep. Untuk
ukuran opioid, kodein adalah yang paling sering dipakai. Dosis bagi dewasa adalah 10-20 mg
dan diberikan antara 4-6 jam, dengan catatan konsumsi tidak lebih dari 120 mg/24 jam. Efek
samping yang akan timbul yang paling sering ditemui adalah mual, muntah, konstipasi,
palpitasi, proritus, efek sedatif dan agutasi.
Non-opioid,
contoh
obat
yang
paling
banyak
dipasaran
dan
dipakai
adalah
dekstromethorpan, yang tidak berefek analgetik ataupun bersifat aditif. Zat ini pada
prinsipnya akan meningkatkan nilai ambang rangsang reflek batuk dengan kekuatan kerja
yang kurang lebih sama dengan kodein, namun akan sangat jarang ditemukan keluhan
berupa kantuk dan gangguan pencernaan. Dalam dosis terapi biasanya tidak akan
menghambat kerja silia bronkus, dengan efek antiatusifnya akan bertahan 5-6 jam.
Toksisitas obat ini rendah sekali, namun penggunaan dalam dosis tinggi akan mungkin
menimbulkan depresi pernafasan. Sediaan yang ada berupa sirup dengan kadar 110-115
mg/5ml. Dosis untuk pengguna dewasa adalah 10-30 mg dan bisa diberikan 3-4 kali perhari.
Bisa dikombinasikan dengan dekongestan dan ekspektoran.
Mukolitik
Bekerja dengan mengencerkan sekret pada saluran nafas dengan jalan memecah benangbenang mukoprotein dan mukopolisakarida pada sputum. Efek perubahan akan timbul
melalui reaksi kimia yang akan merubah viskositas mukopolisakarida sputum. Agen
mukolitik ada 3 macam, yakni : bromheksin, ambroksol dan asetilsistein.

Bromheksin
Merupakan derifat sintetik vasicine dalam bentuk sinetis. Biasa diberikan untuk
penderita bronkhitis atau kelainan saluran nafas yang lain. Di UGD diberikan pada
pasien dengan gangguan bronkus agar dahak keluar. Dosis dewasa yang disarankan
adalah 3 kali 4-8 mg/hari. Obat ini rasanya sangat pahit.Efek samping jika obat
diberikan per-oral adalah mual dan peningkatan transminase serum. Jadi obat ini
harus dipertimbangkan dengan hati-hati pada pasien tukak lambung.

Ambroxol
Merupakan metabolit bromheksin yang mekanisme kerjanya sama dengan
bromheksin. Namun masih diperlukan banyak penelitian lanjutan untuk mengetahui
efektifitas obat ini.

Asetilsistein
Akan banyak diberikan pada pasien dengan bronkopulmonari kronis, pneumonia,
fibrosiskistik dan pada penyakit dengan mukus yang amat kental sebagai faktor
penyakit.
Sediaannya akan diberikan melalui semprotan nebulizer ataupun tetes hidung. Kerja
utamanya adalah dengan memecah ikatan disulfida, yakni menurunkan viskositas sputum.
Namun tetap akan ada efek samping yang ditimbulkan, yakni spasme bronkus pada pasien
asma, mual, muntah, stomatitis, common-cold, dan sekret berlebih yang encer, sehingga
perlu dilakukan penyedotan.
Ekspektoran
Ekspektoran adalah golongan obat yang akan merangsang pengeluaran sekret ataupun
dahak dari saluran pernafasan. Mekanisme kerjanya diduga berhubungan dengan stimulasi
mukosa lambung yang selanjutnya akan timbul reflek yang merangsang sekresi kelenjar
saluran nafas melalui nervus vagus, sehingga nantinya akan menurunkan viskositas sputum
hingga dahak akan mudah keluar.

Amunium
klorida
Obat ini sangat jarang ditemukan sebagai obat tunggal, lebih sering dicampurkan
dengan ekspektoran lainnya ataupun dicampurkan dengan antitusif. Apabila dipakai
dalam dosis besar akan dapat menimbulkan asidosis metabolik. Jadi jelas harus hati
- hati dipakai pada pasien insufisiensi hati, ginjal maupun paru.Dosis dewasa 300mg
dalam tiap 5ml tiap 2-4jam.

Gliseril
guaikolat
Menurut penelitian belum ada bukti manfaat obat dengan dosis tertentu akan baik
bagi pasien, hanya persepsi saja. Ada efek samping jika obat dikonsumsi dalam dosis
besar, yakni efek sedatif, mual dan muntah. Sediaan yang beredar di pasaran adalah
dalam bentuk sirup 100 mg/5 ml, dengan dosis dewasa yang disarankan adalah 2-4
kali 200-400 mg per hari
dr. Desie Dwi W.
Referensi:
1. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III, bab pulmonologi, edisi V : 2009,
Interna Publishing
2. Farmakologi dan Terapi Edisi 5, Departemen Farmakologi dan Terapeutik
FKUI, cetakan 2011 dengan tambahan
3. Katzung B. G. 2006. Basic and Clinical Pharmacology, 10th Edition. San
Fransisco
Download