ASMA 1.1 DIAGNOSIS Penegakan diagnosis asma pada anak mengikuti alur klasik diagnosis medis yaitu melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis memegang peranan sangat penting mengingat diagnosis asma pada anak sebagian besar ditegakkan secara kinis. A. Anamnesis Keluhan wheezing (dan atau batuk berulang merupakan manifestasi klinis yang diterima luas sebagai titik awal diagnosis asma. Gejala respiratori asma berupa kombinasi dari batuk, wheezing, sesak napas, rasa dada tertekan, dan produksi sputum. Chronic recurrent cough (batuk kronik berulang, BKB) dapat menjadi petunjuk awal untuk membantu diagnosis asma. Gejala dengan karakteristik yang khas diperlukan untuk menegakkan diagnosis asma. Karakteristik yang mengarah ke asma adalah: Gejala timbul secara episodik atau berulang. Timbul bila ada faktor pencetus : - Iritan: asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat nyamuk, suhu dingin, udara kering, makanan minuman dingin, penyedap rasa, pengawet makanan, pewarna makanan. - Alergen: debu, tungau debu rumah, rontokan hewan, serbuk sari. - Infeksi respiratori akut karena virus, selesma, common cold, rinofaringitis. - Aktivitas fisik: berlarian, berteriak, menangis, atau tertawa berlebihan. Adanya riwayat alergi pada pasien atau keluarganya. Variabilitas, yaitu intensitas gejala bervariasi dari waktu ke waktu, bahkan dalam 24 jam. Biasanya gejala lebih berat pada malam hari (nokturnal). Reversibilitas, yaitu gejala dapat membaik secara spontan atau dengan pemberian obat pereda asma. B. Pemeriksaan fisik Dalam keadaan stabil tanpa gejala, pada pemeriksaan fisik pasien biasanya tidak ditemukan kelainan. Dalam keadaan sedang bergejala batuk atau sesak, dapat terdengar wheezing, baik yang terdengar langsung (audible wheeze) atau yang terdengar dengan stetoskop. Selain itu, perlu dicari gejala alergi lain pada pasien seperti dermatitis atopi atau rinitis alergi, dan dapat pula dijumpai tanda alergi seperti allergic shiners atau geographic tongue. C. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan ini untuk menunjukkan variabilitas gangguan aliran napas akibat obstruksi, hiperreaktivitas, dan inflamasi saluran respiratori, atau adanya atopi pada pasien. Uji fungsi paru dengan spirometri sekaligus uji reversibilitas dan untuk menilai variabilitas. Pada fasilitas terbatas dapat dilakukan pemeriksaan dengan peakflowmeter. Uji cukit kulit (skin prick test), eosinofil total darah, pemeriksaan IgE spesifik. Uji inflamasi saluran respiratori: FeNO (fractionalexhalednitric oxide), eosinofil sputum. Uji provokasi bronkus dengan exercise, metakolin, atau larutan salin hipertonik. Jika terindikasi dan fasilitas tersedia, lakukan pemeriksaan untuk mencari kemungkinan diagnosis banding, misalnya uji tuberkulin, foto sinus paranasalis, foto toraks, uji refluks gastro-esofagus, uji keringat, uji gerakan silia, uji defisiensi imun, CT-scan toraks, endoskopirespiratori (rinoskopi, laringoskopi, bronkoskopi). Tabel 1. Kriteria diagnosis asma Gambar 1. Alur diagnosis asma pada anak Keterangan gambar : * Β-agonis sebaiknya diberikan dalam bentuk inhalasi ** Uji fungsi paru diulangi setelah 4 minggu dari uji fungsi paru sebelumnya Tahapan penegakan diagnosis asma : 1. Diagnosis kerja : Asma Dibuat sesuai alur diagnosis asma anak, kemudian diberi tata laksana umum yaitu penghindaran pencetus, pereda, dan tatalaksana penyakit penyulit. 2. Diagnosis klasifikasi kekerapan Dibuat dalam waktu 6 minggu, dapat kurang dari 6 minggu bila informasi klinis sudah kuat. 3. Diagnosis derajat kendali Dibuat setelah 6 minggu menjalani tata laksana jangka panjang awal sesuai klasifikasi kekerapan. Tabel 2. Labelisasi pasien asma 1.2 TATALAKSANA A. Tujuan tatalaksana Tujuan tata laksana asma anak secara umum adalah mencapai kendali asma sehingga menjamin tercapainya potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Secara lebih rinci, tujuan yang ingin dicapai adalah: 1. Aktivitas pasien berjalan normal, termasuk bermain dan berolahraga. 2. Gejala tidak timbul pada siang maupun malam hari. 3. Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan. 4. Efek samping obat dapat dicegah untuk tidak atau sesedikit mungkin terjadi, terutama yang memengaruhi tumbuh kembang anak. Apabila tujuan ini belum tercapai maka tata laksananya perlu dievaluasi kembali. B. Garis besar tatalaksana Tata laksana jangka panjang pada asma anak dibagi menjadi tata laksana non medikamentosa dan tata laksana medikamentosa. Tata laksana non medikamentosa berupa pengendalian lingkungan dan penghindaran pencetus, sedangkan tata laksana medikamentosa akan dibahas lebih lanjut di bawah ini. C. Tatalaksana medikamentosa Tujuan tata laksana asma adalah untuk mencapai dan mempertahankan kendali asma serta menjamin tercapainya tumbuh kembang anak secara optimal. Obat asma dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali (controller). Ada yang menyebut obat pereda sebagai obat pelega atau obat serangan. Obat ini digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma bila sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan gejala tidak ada lagi, maka pemakaian obat ini dihentikan. Kelompok kedua adalah obat pengendali, yang digunakan untuk mencegah serangan asma. Obat ini untuk mengatasi masalah dasar asma yaitu inflamasi respiratori kronik, sehingga tidak timbul serangan atau gejala asma. Pemakaian obat ini secara terus-menerus dalam jangka waktu yang relatif lama, bergantung pada kekerapan gejala asma dan responsnya terhadap pengobatan/penanggulangan. Obat pengendali asma terdiri dari steroid anti-inflamasi inhalasi atau sistemik, antileukotrien, kombinasi steroid–agonis β2 kerja panjang, teofilin lepas lambat, dan antiimunoglobulin E. 1. Cara pemberian obat Pada umumnya obat asma diberikan secara inhalasi. Ada perbedaan teknik inhalasi sesuai dengan golongan umur dan kemampuan anak, sehingga pemilihan alat inhalasi harus disesuaikan dengan kondisi masing-masing anak. Pemilihan alat inhalasi sebaiknya juga mempertimbangkan efikasi obat, keamanan, kenyamanan penggunaan, dan biaya. Inhalasi dosis terukur/Metered Dose Inhaler (MDI) dengan spacer merupakan pilihan utama karena memberikan kenyamanan kepada pasien, jumlah obat yang mencapai paru lebih banyak, risiko dan efek samping minimal, serta biaya lebih murah. Lebih dari 50% anak asma tidak dapat memakai alat hirupan tanpa spacer (MDI). Perlu dilakukan pelatihan yang benar dan berulang kali. Tabel 3 memperlihatkan anjuran pemakaian alat inhalasi sesuai usia, namun pemilihannya sesuai dengan kemampuan. Tabel 3. Jenis alat inhalasi sesuai usia Umur Alat inhalasi < 5 tahun 5-8 tahun > 8 tahun Nebulizer dengan masker Metered Dose Inhaler (MDI) dengan spacer : aerochamber, optichamber, babyhaler Nebulizer dengan mouth piece MDI dengan spacer Dry Powder Inhaler (DPI): diskhaler, easyhaler, swinghaler, turbuhaler Nebulizer dengan mouth piece MDI dengan atau tanpa spacer DPI: diskhaler, swinghaler, turbuhaler Pemakaian spacer mengurangi deposisi obat dalam mulut (orofaring). Hal ini menyebabkan jumlah obat yang akan tertelan berkurang sehingga mengurangi efek sistemik. Sebaliknya, deposisi obat dalam paru lebih baik sehingga didapatkan efek terapeutik yang baik. Selain itu pemakaian spacer akan mengatasi masalah kesulitan teknik pemakaian obat MDI. Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering / Dry Powder Inhaler (DPI) seperti diskhaler, swinghaler, turbuhaler, dan easyhaler memerlukan inspirasi yang kuat. Umumnya bentuk ini dianjurkan untuk anak usia sekolah. Jika spacer seperti volumatic, nebuhaler, aerochamber, babyhaler, autohaler tidak dapat atau sulit diperoleh, spacer dapat dibuat dari gelas plastik atau botol plastik dengan volume 500 mL yang menurut penelitian sama efektifnya dengan MDI yang disertai spacer konvensional. Spacer seperti ini terutama ditujukan untuk digunakan di negara berkembang karena dapat dibuat sendiri. 2. Obat pengendali asma a. Steroid inhalasi Steroid inhalasi dapat menekan inflamasi saluran respiratori dan berperan penting dalam tatalaksana asma jangka panjang. Steroid inhalasi merupakan obat pengendali asma yang paling efektif. Pemberian steroid inhalasi setara dosis budesonid 100-200 µg per hari dapat menurunkan angka kekambuhan asma dan memperbaiki fungsi paru pada pasien asma. Beberapa pasien asma memerlukan dosis steroid inhalasi 400 µg per hari untuk mengendalikan asma dan mencegah timbulnya serangan asma setelah berolahraga. Pada anak yang berusia diatas 5 tahun, steroid inhalasi dapat mengendalikan asma, menurunkan angka kekambuhan, mengurangi risiko masuk rumah sakit, memperbaiki kualitas hidup, memperbaiki fungsi paru, dan menurunkan serangan asma akibat berolahraga. Steroid inhalasi atau sistemik tidak digunakan untuk asma intermiten dan wheezing akibat infeksi virus. Steroid inhalasi sebagai obat pengendali asma tidak memengaruhi tinggi badan dan densitas tulang. Kandidiasis oral dan suara parau sebagai efek samping dapat dicegah dengan cara berkumur setiap selesai pemberian steroid inhalasi lalu membuang air bekas berkumur tersebut. Pada anak asma yang mendapatkansteroid inhalasi perlu dipantau pertumbuhan (persentil tinggi badan dan berat badan) setiap tahun. Tabel 4. Dosis berbagai preparat steroid inhalasi pada anak asma Steroid inhalasi umumnya diberikan dua kali dalam sehari, kecuali ciclesonide yang diberikan sekali sehari. Ciclesonide merupakan preparat steroid inhalasi yang baru, efek sistemik minimal dan deposisi obat di orofaring lebih sedikit dibanding preparat steroid inhalasi yang lain. Efikasi dan keamanannya dibanding preparat yang lain masih memerlukan penelitian lebih lanjut. b. Agonis β2 kerja panjang (Long acting ß2-agonist, LABA) Sebagai pengendali asma, agonis β2 kerja panjang tidak digunakan tunggal melainkan selalu bersama steroid inhalasi. Kombinasi agonis β2 kerja panjang dengan steroid terbukti memperbaiki fungsi paru dan menurunkan angka kekambuhan asma. Preparat kombinasi steroid agonis β2 kerja panjang pada anak asma yang berusia di atas 5 tahun, diberikan bila steroid inhalasi dosis rendah tidak menghasilkan perbaikan. Pemberian kombinasi steroid agonis β2 kerja panjang dalam satu kemasan memberikan hasil pengobatan yang lebih baik dibandingkan steroid inhalasi dan agonis β2 kerja panjang dalam sediaan terpisah. Penelitian penggunaan kombinasi steroid-agonis β2 kerja panjang pada anak balita masih terbatas. Kombinasi agonis β2 kerja panjang - steroid inhalasi juga dapat digunakan untuk mencegah spasme bronkus yang dipicu olahraga dan mampu memproteksi lebih lama dibandingkan agonis β2 inhalasi kerja pendek. Formoterol memiliki awitan kerja yang cepat sehingga walaupun formoterol merupakan agonis β2 kerja panjang, namun dapat berfungsi sebagai obat pereda. c. Antileukotrien Antileukotrien terdiri dari antagonis reseptor cysteinylleukotrien 1 (CysLT1) seperti montelukast, pranlukast, dan zafirlukast, serta inhibitor 5-lipoxygenase seperti zileuton. Studi klinik menunjukkan antileukotrien memiliki efek bronkodilatasi kecil dan bervariasi, mengurangi gejala termasuk batuk, memperbaiki fungsi paru, dan mengurangi inflamasi jalan napas dan mengurangi eksaserbasi. Antileukotrien dapat menurunkan gejala asma namun secara umum tidak lebih unggul dibanding steroid inhalasi. Jika digunakan sebagai obat pengendali tunggal, efeknya lebih rendah dibandingkan dengan steroid inhalasi. Kombinasi steroid inhalasi dan antileukotrien dapat menurunkan angka serangan asma dan menurunkan kebutuhan dosis steroid inhalasi. Antileukotrien dapat mencegah terjadinya serangan asma akibat berolahraga (exercise induced asthma, EIA) dan Obstructive Sleep Apnea (OSA). Antileukotrien juga dapat mencegah serangan asma akibat infeksi virus pada anak balita. Pemberian kombinasi steroid inhalasi dan antileukotrien pada asma persisten kurang efektif dibandingkan dengan steroid inhalasi dosis sedang. Pemberian antileukotrien tunggal dapat diberikan sebagai alternatif dari pemberian steroid inhalasi. d. Teofilin lepas lambat Sebagai obat pengendali asma teofilin lepas lambat dapat diberikan sebagai preparat tunggal atau diberikan sebagai kombinasi dengan steroid inhalasi pada anak usia di atas 5 tahun. Kombinasi steroid inhalasi dan teofilin lepas lambat akan memperbaiki kendali asma dan dapat menurunkan dosis steroid inhalasi pada anak dengan asma persisten. Preparat teofilin lepas lambat lebih dianjurkan untuk pengendalian asma karena kemampuan absorbsi dan bioavaibilitas yang lebih baik. Eliminasi teofilin lepas lambat bervariasi antar individu sehingga pada penggunaan jangka lama kadar teofilin dalam plasma perlu dimonitor. Efek samping teofilin lepas lambat bisa berupa mual, muntah, anoreksia, sakit kepala, palpitasi, takikardi, aritmia, nyeri perut, dan diare. Efek samping teofilin lepas lambat terutama timbul pada pemberian dosis tinggi, di atas 10 mg/kgBB/hari. e. Anti-imunoglobulin E (Anti-IgE) Anti-IgE (omalizumab) adalah antibodi monoklonal yang mampu mengurangi kadar IgE bebas dalam serum. Pada orang dewasa dan anak di atas usia 5 tahun, omalizumab dapat diberikan pada pasien asma yang telah mendapat steroid inhalasi dosis tinggi dan agonis β2 kerja panjang namun masih sering mengalami eksaserbasi dan terbukti asma karena alergi. Omalizumab diberikan secara injeksi subkutan setiap dua sampai empat minggu. Reaksi anafilaksis dapat terjadi dini ketika pemberian dosis pertama, tapi juga dapat terjadi setelah pemberian selama satu tahun. Karena adanya risiko anafilaksis, omalizumab seharusnya di bawah pengawasan dokter spesialis. Anti-IgE (omalizumab) terbukti memperbaiki gejala asma pada asma persisten sedang dan berat yang disebabkan oleh karena alergi. Pemberian omalizumab akan menurunkan kebutuhan steroid inhalasi dan menurunkan angka serangan asma. Pemberian anti-IgE membutuhkan beberapa kali dosis penyuntikan dan relatif mahal. Efek samping yang pernah dilaporkan antara lain urtikaria, kemerahan, gatal. Belum dilakukan penelitian jangka panjang (di atas satu tahun) untuk efikasi anti-IgE. D. Penentuan derajat kendali Setiap pasien asma harus ditentukan derajat kendali asma untuk memulai pengobatan jangka panjang. Sebelum memutuskan untuk turun jenjang atau naik jenjang dalam tata laksana jangka panjang asma, dokter harus menilai kepatuhan pasien terhadap pengobatan, teknik inhalasi, dosis obat inhalasi, dan mengendalikan faktor pencetus asma. Untuk menentukan derajat kendali asma dapat menggunakan penilaian seperti pada Tabel 5. Tabel 5. Derajat kendali penyakit asma A. Penilaian Klinis (Dalam 6-8 minggu) Terkendali dengan/tanpa obat pengendali (Bila semua kriteria terpenuhi) Manifestasi Klinis Gejala Siang Hari Aktivitas Terbatas Gejala Malam Hari Pemakaian Pereda Tidak pernah ( <2 kali/minggu ) Terkendali sebagian (Minimal satu kriteria terpenuhi) > 2 kali/minggu Tidak ada Ada Tidak ada Ada Tidak ada ( <2 kali/minggu ) Tidak terkendali Tiga atau lebih kriteria terkendali sebagian*† > 2 kali/minggu B. Penilaian resiko perjalanan asma (resiko eksaserbasi, ketidakstabilan penurunan fungsi paru, efek samping) Asma yang tidak terkendali, sering eksaserbasi, pernah masuk ICU karena asma, FEV yang rendah, paparan terhadap asap rokok, mendapat pengobatan dosis tinggi E. Jenjang pengendalian asma Pedoman Nasional Asma Anak tahun 2015 membagi derajat penyakit asma anak berdasarkan kekerapan gejala dan derajat kendali. Setelah dilakukan tata laksana umum berupa penghindaran pencetus, klasifikasi kekerapan asma dapat ditentukan dalam waktu enam minggu. Pada asma intermiten tidak dibutuhkan tata laksana asma jangka panjang sesuai dengan jenjang 1, sedangkan pada asma persisten dilakukan tata laksana jangka panjang sesuai dengan jenjang 2 sampai jenjang 4 kemudian dievaluasi secara berkala untuk menaikkan atau menurunkan jenjang dalam pemakaian obat pengendali asma. Diagnosis derajat kendali dibuat setelah 6 minggu menjalani tata laksana jangka panjang awal sesuai klasifikasi kekerapan. Pemberian steroid inhalasi sebagai tata laksana asma jangka panjang harus dipertimbangkan pada pasien asma dengan salah satu dari kriteria berikut: mengalami serangan asma pada 2 tahun terakhir, penggunaan obat pereda asma 3 kali dalam satu minggu, terbangun karena serangan asma 1 kali dalam satu minggu. Gambar 2. Jenjang dalam tata laksana asma jangka panjang pada anak usia > 5 tahun. Keterangan : 1. Acuan awal penetapan jenjang tata laksana jangka panjang menggunakan klasifikasi kekerapan. 2. Bila suatu jenjang dalam tata laksana sudah berlangsung selama 6-8 minggu dan asma belum terkendali, maka tata laksana naik jenjang ke atasnya (step up). 3. Bila suatu jenjang dalam tata laksana sudah berlangsung selama 8-12 minggu dan asma terkendali penuh, maka tata laksana turun jenjang kebawahnya (step down). 4. Perubahan jenjang tata laksana harus memperhatikan aspek- aspek penghindaran, penyakit penyerta. 5. Pada jenjang 4, jika belum terkendali, tata laksana ditambahkan omalizumab. Pengendalian asma senantiasa dilakukan berdasarkan derajat kendali asma. Apabila asma belum terkendali maka dilakukan pemberian obat sesuai jenjang selanjutnya. Sebelumnya perlu dicermati apakah dosis, cara pemberian obat yang diberikan sudah tepat, apakah penghindaran faktor pencetus telah dilaksanakan dengan benar. Pada setiap jenjang pengendalian, apabila terjadi serangan/eksaserbasi asma, pasien harus mendapatkan obat pereda asma yaitu obat inhalasi agonis β2 kerja pendek. Jenjang 1 Pasien pada kondisi terkendali penuh dengan atau tanpa obat pengendali, hanya mengalami gejala ringan S2 kali/minggu dan di antara serangan pasien tidak mengalami gangguan tidur maupun aktivitas sehari hari. Pada saat ini pasien hanya mendapatkan obat pereda berupa inhalasi agonis β2 kerja pendek apabila mengalami serangan asma. Sebagai alternatif bisa diberikan obat inhalasi agonis β2 kerja pendek kombinasi dengan ipratropium bromida, agonis β2 kerja pendek oral, atau teofilin kerja pendek oral. Pengendalian asma dihubungkan dengan tingkat pemakaian obat pereda asma. Bila pemakaian obat pereda asma melebihi dua kanister setiap bulannya, menandakan anak memerlukan obat pengendali asma. Pada tata laksana jangka panjang jenjang 1, 2, 3, dan 4 pemilihan obat dinilai berdasarkan pengurangan gejala asma, perbaikan fungsi paru, dan penurunan frekuensi eksaserbasi asma. Pada pasien yang memiliki faktor risiko dapat dipertimbangkan pemberian steroid inhalasi dosis rendah. Jenjang 2 Pilihan utama obat pengendali pada jenjang ini adalah steroid inhalasi dosis rendah, sedangkan sebagai pilihan lain dapat diberikan antileukotrien yang diberikan pada pasien asma yang tidak memungkinkan menggunakan steroid inhalasi atau pada pasien yang menderita asma disertai rinitis alergi. Teofilin dan kromolin kurang disarankan karena efikasinya lebih rendah dan lebih sering menimbulkan efek samping. Jenjang 3 Pilihan utama pada jenjang 3 untuk anak berusia diatas 5 tahun ialah kombinasi steroid dosis rendah-agonis β2 kerja panjang. Pilihan lainnya ialah dengan menaikkan dosis steroid inhalasi pada dosis menengah. Pemberian melalui inhalasi dosis terukur dengan spacer akan memperbaiki deposisi obat di paru, mengurangi impaksi obat di orofaring dan mengurangi efek sistemik. Selain itu dapat diberikan kombinasi steroid inhalasi dosis rendah-antileukotrien atau kombinasi steroid inhalasi dosis rendah-teofilin lepas lambat. Jenjang 4 Pasien asma yang tidak berhasil dikendalikan pada jenjang 3 sebaiknya dirujuk kepada dokter spesialis respirologi anak untuk pemeriksaan lebih lanjut. Pada saat ini pasien asma dikategorikan sebagai asma sulit (difficult–to-treat asthma). Pilihan pertama pada jenjang 4 ialah kombinasi steroid inhalasi dosis menengah agonis β2 kerja panjang. Menaikkan dosis steroid inhalasi dari dosis sedang ke dosis tinggi hanya memberikan sedikit perbaikan. Keputusan ini dapat dilaksanakan setelah pemberian steroid inhalasi dosis sedang agonis β2 kerja panjang diberikan selama 6H8 minggu. Pilihan lain pada jenjang 4 ialah kombinasi steroid inhalasi dosis tinggi-antileukotrin atau kombinasi steroid inhalasi dosis tinggi-teofilin lepas lambat. Pada jenjang ini dapat dipertimbangkan penambahan anti-imunoglobulin E (omalizumab) yang dapat memperbaiki pengendalian asma yang disebabkan karena alergi. Jenjang 5 Semua pasien yang mencapai jenjang ini harus dirujuk dokter spesialis respirologi anak untuk pemeriksaan dan tata laksana lebih lanjut, oleh karena itu tata laksana pada jenjang ini tidak dituliskan dalam gambar. Pada jenjang ini mulai dipertimbangkan pemberian steroid oral, oleh karena itu pasien harus dijelaskan tentang kemungkinan efek samping yang timbul akibat pemberian steroid oral jangka panjang dan berbagai alternatif pilihan pengobatan. Pengendalian asma harus dimonitor teratur tergantung kondisi pasien, derajat asma, dan penyakit lain yang menyertai asma. Pada umumnya pasien dimonitor setiap bulan dan pencapaian perbaikan setelah 3 bulan. Selain jenis obat, dosis obat, cara pemberian obat dan kepatuhan, pasien asma senantiasa perlu dipantau bagaimana upaya penghindaran faktor pencetus dan adanya penyakit penyerta asma. Penurunan dosis steroid dipertimbangkan setiap 8-12 minggu dengan penurunan dosis sebesar 25-50 %. 1.3 KOMPLIKASI 1. Pneumothoraks 2. Atelektasis 3. Gagal nafas 4. Aspergilus bronkopulmonar alergik 5. Pneumomediastinum dan emfisema subkutis 1.4 PROGNOSIS Prognosis jangka panjang asma anak pada umumnya baik. Sebagian besar asma anak hilang atau berkurang dengan bertambahnya umur. Sekitar 50% asma episodik jarang sudah menghilang pada umur 10-14 tahun dan hanya 15 % yang menjadi asma kronik pada umur 21 tahun. Dua puluh persen asma episodik sering sudah tidak timbul pada masa akil baliq. 60% tetap sebagai asma episodik sering dan sisanya sebagai asma episodik jarang. Hanya 5 % dari asma kronik / persisten yang dapat menghilang pada umur 21 tahun, 20% menjadi asma episodik sering, hampir 60% tetap sebagai asma kronik / persisten dan sisanya menjadi asma episodik jarang. REFERENSI : 1. Pedoman Nasional Asma Anak, Edisi Ke-2. 2016. UKK Respirologi. PP Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2. World Health Organization (WHO). 2009. Buku Saku Pelayaan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit. Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama Di Kabupaten/Kota. 3. Rosmayudi O, Supriyatno B. Pencegahan asma. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi pertama. Jakarta: BP IDAI; 2008. h. 158-61. 4. Rahajoe N. Tata laksana jangka panjang asma pada anak. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi pertama. Jakarta: BP IDAI; 2008. h. 134-47.