Uploaded by User61569

CBD ASMA (dina)

advertisement
ASMA
1.1 DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis asma pada anak mengikuti alur klasik diagnosis
medis yaitu melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan
penunjang. Anamnesis memegang peranan sangat penting mengingat
diagnosis asma pada anak sebagian besar ditegakkan secara kinis.
A. Anamnesis
Keluhan wheezing (dan atau batuk berulang merupakan manifestasi
klinis yang diterima luas sebagai titik awal diagnosis asma. Gejala
respiratori asma berupa kombinasi dari batuk, wheezing, sesak napas, rasa
dada tertekan, dan produksi sputum. Chronic recurrent cough (batuk
kronik berulang, BKB) dapat menjadi petunjuk awal untuk membantu
diagnosis asma. Gejala dengan karakteristik yang khas diperlukan untuk
menegakkan diagnosis asma. Karakteristik yang mengarah ke asma
adalah:

Gejala timbul secara episodik atau berulang.

Timbul bila ada faktor pencetus :
- Iritan: asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat nyamuk, suhu
dingin, udara kering, makanan minuman dingin, penyedap rasa,
pengawet makanan, pewarna makanan.
- Alergen: debu, tungau debu rumah, rontokan hewan, serbuk sari.
- Infeksi respiratori akut karena virus, selesma, common cold,
rinofaringitis.
- Aktivitas fisik: berlarian, berteriak, menangis, atau tertawa
berlebihan.

Adanya riwayat alergi pada pasien atau keluarganya.

Variabilitas, yaitu intensitas gejala bervariasi dari waktu ke waktu,
bahkan dalam 24 jam. Biasanya gejala lebih berat pada malam hari
(nokturnal).

Reversibilitas, yaitu gejala dapat membaik secara spontan atau dengan
pemberian obat pereda asma.
B. Pemeriksaan fisik
Dalam keadaan stabil tanpa gejala, pada pemeriksaan fisik pasien
biasanya tidak ditemukan kelainan. Dalam keadaan sedang bergejala batuk
atau sesak, dapat terdengar wheezing, baik yang terdengar langsung
(audible wheeze) atau yang terdengar dengan stetoskop. Selain itu, perlu
dicari gejala alergi lain pada pasien seperti dermatitis atopi atau rinitis
alergi, dan dapat pula dijumpai tanda alergi seperti allergic shiners atau
geographic tongue.
C. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan ini untuk menunjukkan variabilitas gangguan aliran
napas akibat obstruksi, hiperreaktivitas, dan inflamasi saluran respiratori,
atau adanya atopi pada pasien.

Uji fungsi paru dengan spirometri sekaligus uji reversibilitas dan
untuk menilai variabilitas. Pada fasilitas terbatas dapat dilakukan
pemeriksaan dengan peakflowmeter.

Uji cukit kulit (skin prick test), eosinofil total darah, pemeriksaan IgE
spesifik.

Uji inflamasi saluran respiratori: FeNO (fractionalexhalednitric
oxide), eosinofil sputum.

Uji provokasi bronkus dengan exercise, metakolin, atau larutan salin
hipertonik.
Jika terindikasi dan fasilitas tersedia, lakukan pemeriksaan untuk
mencari kemungkinan diagnosis banding, misalnya uji tuberkulin, foto
sinus paranasalis, foto toraks, uji refluks gastro-esofagus, uji keringat,
uji
gerakan
silia,
uji
defisiensi
imun,
CT-scan toraks,
endoskopirespiratori (rinoskopi, laringoskopi, bronkoskopi).
Tabel 1. Kriteria diagnosis asma
Gambar 1. Alur diagnosis asma pada anak
Keterangan gambar :
* Β-agonis sebaiknya diberikan dalam bentuk inhalasi
** Uji fungsi paru diulangi setelah 4 minggu dari uji fungsi paru
sebelumnya
Tahapan penegakan diagnosis asma :
1. Diagnosis kerja : Asma
Dibuat sesuai alur diagnosis asma anak, kemudian diberi tata laksana
umum yaitu penghindaran pencetus, pereda, dan tatalaksana penyakit
penyulit.
2. Diagnosis klasifikasi kekerapan
Dibuat dalam waktu 6 minggu, dapat kurang dari 6 minggu bila
informasi klinis sudah kuat.
3. Diagnosis derajat kendali
Dibuat setelah 6 minggu menjalani tata laksana jangka panjang awal
sesuai klasifikasi kekerapan.
Tabel 2. Labelisasi pasien asma
1.2 TATALAKSANA
A. Tujuan tatalaksana
Tujuan tata laksana asma anak secara umum adalah mencapai
kendali asma sehingga menjamin tercapainya potensi tumbuh kembang
anak secara optimal. Secara lebih rinci, tujuan yang ingin dicapai adalah:
1. Aktivitas pasien berjalan normal, termasuk bermain dan berolahraga.
2. Gejala tidak timbul pada siang maupun malam hari.
3. Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan.
4. Efek samping obat dapat dicegah untuk tidak atau sesedikit mungkin
terjadi, terutama yang memengaruhi tumbuh kembang anak.
Apabila tujuan ini belum tercapai maka tata laksananya perlu dievaluasi
kembali.
B. Garis besar tatalaksana
Tata laksana jangka panjang pada asma anak dibagi menjadi tata
laksana non medikamentosa dan tata laksana medikamentosa. Tata laksana
non medikamentosa berupa pengendalian lingkungan dan penghindaran
pencetus, sedangkan tata laksana medikamentosa akan dibahas lebih lanjut
di bawah ini.
C. Tatalaksana medikamentosa
Tujuan
tata
laksana
asma
adalah
untuk
mencapai
dan
mempertahankan kendali asma serta menjamin tercapainya tumbuh
kembang anak secara optimal. Obat asma dapat dibagi menjadi dua
kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali
(controller). Ada yang menyebut obat pereda sebagai obat pelega atau
obat serangan. Obat ini digunakan untuk meredakan serangan atau gejala
asma bila sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan gejala tidak ada
lagi, maka pemakaian obat ini dihentikan.
Kelompok kedua adalah obat pengendali, yang digunakan untuk
mencegah serangan asma. Obat ini untuk mengatasi masalah dasar asma
yaitu inflamasi respiratori kronik, sehingga tidak timbul serangan atau
gejala asma. Pemakaian obat ini secara terus-menerus dalam jangka waktu
yang relatif lama, bergantung pada kekerapan gejala asma dan responsnya
terhadap pengobatan/penanggulangan. Obat pengendali asma terdiri dari
steroid anti-inflamasi inhalasi atau sistemik, antileukotrien, kombinasi
steroid–agonis β2 kerja panjang, teofilin lepas lambat, dan antiimunoglobulin E.
1. Cara pemberian obat
Pada umumnya obat asma diberikan secara inhalasi. Ada
perbedaan teknik inhalasi sesuai dengan golongan umur dan
kemampuan anak, sehingga pemilihan alat inhalasi harus disesuaikan
dengan kondisi masing-masing anak. Pemilihan alat inhalasi sebaiknya
juga
mempertimbangkan
efikasi
obat,
keamanan,
kenyamanan
penggunaan, dan biaya. Inhalasi dosis terukur/Metered Dose Inhaler
(MDI) dengan spacer merupakan pilihan utama karena memberikan
kenyamanan kepada pasien, jumlah obat yang mencapai paru lebih
banyak, risiko dan efek samping minimal, serta biaya lebih murah.
Lebih dari 50% anak asma tidak dapat memakai alat hirupan tanpa
spacer (MDI). Perlu dilakukan pelatihan yang benar dan berulang kali.
Tabel 3 memperlihatkan anjuran pemakaian alat inhalasi sesuai usia,
namun pemilihannya sesuai dengan kemampuan.
Tabel 3. Jenis alat inhalasi sesuai usia
Umur
Alat inhalasi
< 5 tahun


5-8 tahun



> 8 tahun



Nebulizer dengan masker
Metered Dose Inhaler (MDI) dengan spacer :
aerochamber, optichamber, babyhaler
Nebulizer dengan mouth piece
MDI dengan spacer
Dry Powder Inhaler (DPI): diskhaler, easyhaler,
swinghaler, turbuhaler
Nebulizer dengan mouth piece
MDI dengan atau tanpa spacer
DPI: diskhaler, swinghaler, turbuhaler
Pemakaian spacer mengurangi deposisi obat dalam mulut
(orofaring). Hal ini menyebabkan jumlah obat yang akan tertelan
berkurang sehingga mengurangi efek sistemik. Sebaliknya, deposisi
obat dalam paru lebih baik sehingga didapatkan efek terapeutik yang
baik. Selain itu pemakaian spacer akan mengatasi masalah kesulitan
teknik pemakaian obat MDI. Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering /
Dry Powder Inhaler (DPI) seperti diskhaler, swinghaler, turbuhaler, dan
easyhaler memerlukan inspirasi yang kuat. Umumnya bentuk ini
dianjurkan untuk anak usia sekolah.
Jika spacer seperti volumatic, nebuhaler, aerochamber, babyhaler,
autohaler tidak dapat atau sulit diperoleh, spacer dapat dibuat dari gelas
plastik atau botol plastik dengan volume 500 mL yang menurut
penelitian sama efektifnya dengan MDI yang disertai spacer
konvensional. Spacer seperti ini terutama ditujukan untuk digunakan di
negara berkembang karena dapat dibuat sendiri.
2. Obat pengendali asma
a. Steroid inhalasi
Steroid inhalasi dapat menekan inflamasi saluran respiratori
dan berperan penting dalam tatalaksana asma jangka panjang.
Steroid inhalasi merupakan obat pengendali asma yang paling
efektif. Pemberian steroid inhalasi setara dosis budesonid 100-200
µg per hari dapat menurunkan angka kekambuhan asma dan
memperbaiki fungsi paru pada pasien asma. Beberapa pasien asma
memerlukan dosis steroid inhalasi 400 µg per hari untuk
mengendalikan asma dan mencegah timbulnya serangan asma
setelah berolahraga. Pada anak yang berusia diatas 5 tahun, steroid
inhalasi
dapat
mengendalikan
asma,
menurunkan
angka
kekambuhan, mengurangi risiko masuk rumah sakit, memperbaiki
kualitas hidup, memperbaiki fungsi paru, dan menurunkan serangan
asma akibat berolahraga. Steroid inhalasi atau sistemik tidak
digunakan untuk asma intermiten dan wheezing akibat infeksi virus.
Steroid inhalasi sebagai
obat
pengendali asma tidak
memengaruhi tinggi badan dan densitas tulang. Kandidiasis oral dan
suara parau sebagai efek samping dapat dicegah dengan cara
berkumur setiap selesai pemberian steroid inhalasi lalu membuang
air
bekas
berkumur
tersebut.
Pada
anak
asma
yang
mendapatkansteroid inhalasi perlu dipantau pertumbuhan (persentil
tinggi badan dan berat badan) setiap tahun.
Tabel 4. Dosis berbagai preparat steroid inhalasi pada anak asma
Steroid inhalasi umumnya diberikan dua kali dalam sehari,
kecuali ciclesonide yang diberikan sekali sehari. Ciclesonide
merupakan preparat steroid inhalasi yang baru, efek sistemik
minimal dan deposisi obat di orofaring lebih sedikit dibanding
preparat steroid inhalasi yang lain. Efikasi dan keamanannya
dibanding preparat yang lain masih memerlukan penelitian lebih
lanjut.
b. Agonis β2 kerja panjang (Long acting ß2-agonist, LABA)
Sebagai pengendali asma, agonis β2 kerja panjang tidak
digunakan tunggal melainkan selalu bersama steroid inhalasi.
Kombinasi agonis β2 kerja panjang dengan steroid terbukti
memperbaiki fungsi paru dan menurunkan angka kekambuhan
asma. Preparat kombinasi steroid agonis β2 kerja panjang pada anak
asma yang berusia di atas 5 tahun, diberikan bila steroid inhalasi
dosis rendah tidak menghasilkan perbaikan. Pemberian kombinasi
steroid agonis β2 kerja panjang dalam satu kemasan memberikan
hasil pengobatan yang lebih baik dibandingkan steroid inhalasi dan
agonis β2 kerja panjang dalam sediaan terpisah. Penelitian
penggunaan kombinasi steroid-agonis β2 kerja panjang pada
anak balita masih terbatas.
Kombinasi agonis β2 kerja panjang - steroid inhalasi
juga dapat digunakan untuk mencegah spasme bronkus yang dipicu
olahraga dan mampu memproteksi lebih lama dibandingkan agonis
β2 inhalasi kerja pendek. Formoterol memiliki awitan kerja yang
cepat sehingga walaupun formoterol merupakan agonis β2 kerja
panjang, namun dapat berfungsi sebagai obat pereda.
c. Antileukotrien
Antileukotrien terdiri dari antagonis reseptor cysteinylleukotrien 1 (CysLT1) seperti montelukast, pranlukast, dan
zafirlukast, serta inhibitor 5-lipoxygenase seperti zileuton. Studi
klinik menunjukkan antileukotrien memiliki efek bronkodilatasi
kecil
dan
bervariasi,
mengurangi
gejala
termasuk
batuk,
memperbaiki fungsi paru, dan mengurangi inflamasi jalan napas dan
mengurangi eksaserbasi.
Antileukotrien dapat menurunkan gejala asma namun secara
umum tidak lebih unggul dibanding steroid inhalasi. Jika digunakan
sebagai
obat
pengendali
tunggal,
efeknya
lebih
rendah
dibandingkan dengan steroid inhalasi. Kombinasi steroid inhalasi
dan antileukotrien dapat menurunkan angka serangan asma dan
menurunkan kebutuhan dosis steroid inhalasi. Antileukotrien dapat
mencegah terjadinya serangan asma akibat berolahraga (exercise
induced asthma, EIA) dan Obstructive Sleep Apnea (OSA).
Antileukotrien juga dapat mencegah serangan asma akibat infeksi
virus pada anak balita. Pemberian kombinasi steroid inhalasi dan
antileukotrien pada asma persisten kurang efektif dibandingkan
dengan steroid inhalasi dosis sedang. Pemberian antileukotrien
tunggal dapat diberikan sebagai alternatif dari pemberian steroid
inhalasi.
d. Teofilin lepas lambat
Sebagai obat pengendali asma teofilin lepas lambat dapat
diberikan sebagai preparat tunggal atau diberikan sebagai kombinasi
dengan steroid inhalasi pada anak usia di atas 5 tahun. Kombinasi
steroid inhalasi dan teofilin lepas lambat akan memperbaiki kendali
asma dan dapat menurunkan dosis steroid inhalasi pada anak
dengan asma persisten. Preparat teofilin lepas lambat lebih
dianjurkan untuk pengendalian asma karena kemampuan absorbsi
dan bioavaibilitas yang lebih baik. Eliminasi teofilin lepas lambat
bervariasi antar individu sehingga pada penggunaan jangka lama
kadar teofilin dalam plasma perlu dimonitor. Efek samping teofilin
lepas lambat bisa berupa mual, muntah, anoreksia, sakit kepala,
palpitasi, takikardi, aritmia, nyeri perut, dan diare. Efek samping
teofilin lepas lambat terutama timbul pada pemberian dosis tinggi,
di atas 10 mg/kgBB/hari.
e. Anti-imunoglobulin E (Anti-IgE)
Anti-IgE
(omalizumab)
adalah
antibodi
monoklonal
yang mampu mengurangi kadar IgE bebas dalam serum. Pada orang
dewasa dan anak di atas usia 5 tahun, omalizumab dapat diberikan
pada pasien asma yang telah mendapat steroid inhalasi dosis tinggi
dan agonis β2 kerja panjang namun masih sering mengalami
eksaserbasi dan terbukti asma karena alergi. Omalizumab diberikan
secara injeksi subkutan setiap dua sampai empat minggu. Reaksi
anafilaksis dapat terjadi dini ketika pemberian dosis pertama, tapi
juga dapat terjadi setelah pemberian selama satu tahun. Karena
adanya risiko anafilaksis, omalizumab seharusnya di bawah
pengawasan dokter spesialis.
Anti-IgE
(omalizumab)
terbukti
memperbaiki
gejala
asma pada asma persisten sedang dan berat yang disebabkan oleh
karena alergi. Pemberian omalizumab akan menurunkan kebutuhan
steroid inhalasi dan menurunkan angka serangan asma. Pemberian
anti-IgE membutuhkan beberapa kali dosis penyuntikan dan relatif
mahal. Efek samping yang pernah dilaporkan antara lain urtikaria,
kemerahan, gatal. Belum dilakukan penelitian jangka panjang (di
atas satu tahun) untuk efikasi anti-IgE.
D. Penentuan derajat kendali
Setiap pasien asma harus ditentukan derajat kendali asma untuk
memulai pengobatan jangka panjang. Sebelum memutuskan untuk turun
jenjang atau naik jenjang dalam tata laksana jangka panjang asma, dokter
harus menilai kepatuhan pasien terhadap pengobatan, teknik inhalasi, dosis
obat inhalasi, dan mengendalikan faktor pencetus asma. Untuk
menentukan derajat kendali asma dapat menggunakan penilaian seperti
pada Tabel 5.
Tabel 5. Derajat kendali penyakit asma
A. Penilaian Klinis (Dalam 6-8 minggu)
Terkendali
dengan/tanpa
obat pengendali
(Bila semua
kriteria
terpenuhi)
Manifestasi
Klinis
Gejala Siang
Hari
Aktivitas
Terbatas
Gejala Malam
Hari
Pemakaian
Pereda
Tidak pernah ( <2
kali/minggu )
Terkendali
sebagian
(Minimal
satu kriteria
terpenuhi)
> 2 kali/minggu
Tidak ada
Ada
Tidak ada
Ada
Tidak ada ( <2
kali/minggu )
Tidak
terkendali
Tiga atau
lebih kriteria
terkendali
sebagian*†
> 2 kali/minggu
B. Penilaian resiko perjalanan asma (resiko eksaserbasi, ketidakstabilan
penurunan fungsi paru, efek samping)
Asma yang tidak terkendali, sering eksaserbasi, pernah masuk ICU karena asma, FEV
yang rendah, paparan terhadap asap rokok, mendapat pengobatan dosis tinggi
E. Jenjang pengendalian asma
Pedoman Nasional Asma Anak tahun 2015 membagi derajat
penyakit asma anak berdasarkan kekerapan gejala dan derajat kendali.
Setelah dilakukan tata laksana umum berupa penghindaran pencetus,
klasifikasi kekerapan asma dapat ditentukan dalam waktu enam minggu.
Pada asma intermiten tidak dibutuhkan tata laksana asma jangka panjang
sesuai dengan jenjang 1, sedangkan pada asma persisten dilakukan tata
laksana jangka panjang sesuai dengan jenjang 2 sampai jenjang 4
kemudian dievaluasi secara berkala untuk menaikkan atau menurunkan
jenjang dalam pemakaian obat pengendali asma. Diagnosis derajat kendali
dibuat setelah 6 minggu menjalani tata laksana jangka panjang awal sesuai
klasifikasi kekerapan.
Pemberian steroid inhalasi sebagai tata laksana asma jangka
panjang harus dipertimbangkan pada pasien asma dengan salah satu dari
kriteria berikut: mengalami serangan asma pada 2 tahun terakhir,
penggunaan obat pereda asma 3 kali dalam satu minggu, terbangun karena
serangan asma 1 kali dalam satu minggu.
Gambar 2. Jenjang dalam tata laksana asma jangka panjang pada anak usia
> 5 tahun.
Keterangan :
1. Acuan awal penetapan jenjang tata laksana jangka panjang
menggunakan klasifikasi kekerapan.
2. Bila suatu jenjang dalam tata laksana sudah berlangsung selama 6-8
minggu dan asma belum terkendali, maka tata laksana naik jenjang ke
atasnya (step up).
3. Bila suatu jenjang dalam tata laksana sudah berlangsung selama 8-12
minggu dan asma terkendali penuh, maka tata laksana turun jenjang
kebawahnya (step down).
4. Perubahan jenjang tata laksana harus memperhatikan aspek- aspek
penghindaran, penyakit penyerta.
5. Pada jenjang 4, jika belum terkendali, tata laksana ditambahkan
omalizumab.
Pengendalian asma senantiasa dilakukan berdasarkan derajat kendali asma.
Apabila asma belum terkendali maka dilakukan pemberian obat sesuai
jenjang selanjutnya. Sebelumnya perlu dicermati apakah dosis, cara
pemberian obat yang diberikan sudah tepat, apakah penghindaran faktor
pencetus telah dilaksanakan dengan benar. Pada setiap jenjang
pengendalian, apabila terjadi serangan/eksaserbasi asma, pasien harus
mendapatkan obat pereda asma yaitu obat inhalasi agonis β2 kerja pendek.

Jenjang 1
Pasien pada kondisi terkendali penuh dengan atau tanpa obat
pengendali, hanya mengalami gejala ringan S2 kali/minggu dan di antara
serangan pasien tidak mengalami gangguan tidur maupun aktivitas sehari
hari. Pada saat ini pasien hanya mendapatkan obat pereda berupa inhalasi
agonis β2 kerja pendek apabila mengalami serangan asma. Sebagai
alternatif bisa diberikan obat inhalasi agonis β2 kerja pendek kombinasi
dengan ipratropium bromida, agonis β2 kerja pendek oral, atau teofilin
kerja pendek oral. Pengendalian asma dihubungkan dengan tingkat
pemakaian obat pereda asma. Bila pemakaian obat pereda asma melebihi
dua kanister setiap bulannya, menandakan anak memerlukan obat
pengendali asma. Pada tata laksana jangka panjang jenjang 1, 2, 3, dan 4
pemilihan obat dinilai berdasarkan pengurangan gejala asma, perbaikan
fungsi paru, dan penurunan frekuensi eksaserbasi asma. Pada pasien yang
memiliki faktor risiko dapat dipertimbangkan pemberian steroid inhalasi
dosis rendah.

Jenjang 2
Pilihan utama obat pengendali pada jenjang ini adalah steroid
inhalasi dosis rendah, sedangkan sebagai pilihan lain dapat diberikan
antileukotrien yang diberikan pada pasien asma yang tidak memungkinkan
menggunakan steroid inhalasi atau pada pasien yang menderita asma
disertai rinitis alergi. Teofilin dan kromolin kurang disarankan karena
efikasinya lebih rendah dan lebih sering menimbulkan efek samping.

Jenjang 3
Pilihan utama pada jenjang 3 untuk anak berusia diatas 5 tahun ialah
kombinasi steroid dosis rendah-agonis β2 kerja panjang. Pilihan lainnya
ialah dengan menaikkan dosis steroid inhalasi pada dosis menengah.
Pemberian melalui inhalasi dosis terukur dengan spacer akan memperbaiki
deposisi obat di paru, mengurangi impaksi obat di orofaring dan
mengurangi efek sistemik. Selain itu dapat diberikan kombinasi steroid
inhalasi dosis rendah-antileukotrien atau kombinasi steroid inhalasi dosis
rendah-teofilin lepas lambat.

Jenjang 4
Pasien asma yang tidak berhasil dikendalikan pada jenjang 3
sebaiknya dirujuk kepada dokter spesialis respirologi anak untuk
pemeriksaan lebih lanjut. Pada saat ini pasien asma dikategorikan sebagai
asma sulit (difficult–to-treat asthma). Pilihan pertama pada jenjang 4 ialah
kombinasi steroid inhalasi dosis menengah agonis β2 kerja panjang.
Menaikkan dosis steroid inhalasi dari dosis sedang ke dosis tinggi hanya
memberikan sedikit perbaikan. Keputusan ini dapat dilaksanakan setelah
pemberian steroid inhalasi dosis sedang agonis β2
kerja
panjang
diberikan selama 6H8 minggu. Pilihan lain pada jenjang 4 ialah
kombinasi steroid inhalasi dosis tinggi-antileukotrin atau kombinasi
steroid inhalasi dosis tinggi-teofilin lepas lambat. Pada
jenjang
ini
dapat dipertimbangkan penambahan anti-imunoglobulin E (omalizumab)
yang dapat memperbaiki pengendalian asma yang disebabkan karena
alergi.

Jenjang 5
Semua pasien yang mencapai jenjang ini harus dirujuk dokter
spesialis respirologi anak untuk pemeriksaan dan tata laksana lebih lanjut,
oleh karena itu tata laksana pada jenjang ini tidak dituliskan dalam
gambar. Pada jenjang ini mulai dipertimbangkan pemberian steroid oral,
oleh karena itu pasien harus dijelaskan tentang kemungkinan efek samping
yang timbul akibat pemberian steroid oral jangka panjang dan berbagai
alternatif pilihan pengobatan.
Pengendalian asma harus dimonitor teratur tergantung kondisi
pasien, derajat asma, dan penyakit lain yang menyertai asma. Pada
umumnya pasien dimonitor setiap bulan dan pencapaian perbaikan setelah
3 bulan. Selain jenis obat, dosis obat, cara pemberian obat dan kepatuhan,
pasien asma senantiasa perlu dipantau bagaimana upaya penghindaran
faktor pencetus dan adanya penyakit penyerta asma. Penurunan dosis
steroid dipertimbangkan setiap 8-12 minggu dengan penurunan dosis
sebesar 25-50 %.
1.3 KOMPLIKASI
1. Pneumothoraks
2. Atelektasis
3. Gagal nafas
4. Aspergilus bronkopulmonar alergik
5. Pneumomediastinum dan emfisema subkutis
1.4 PROGNOSIS
Prognosis jangka panjang asma anak pada umumnya baik. Sebagian
besar asma anak hilang atau berkurang dengan bertambahnya umur. Sekitar
50% asma episodik jarang sudah menghilang pada umur 10-14 tahun dan
hanya 15 % yang menjadi asma kronik pada umur 21 tahun. Dua puluh persen
asma episodik sering sudah tidak timbul pada masa akil baliq. 60% tetap
sebagai asma episodik sering dan sisanya sebagai asma episodik jarang.
Hanya 5 % dari asma kronik / persisten yang dapat menghilang pada umur 21
tahun, 20% menjadi asma episodik sering, hampir 60% tetap sebagai asma
kronik / persisten dan sisanya menjadi asma episodik jarang.
REFERENSI :
1. Pedoman Nasional Asma Anak, Edisi Ke-2. 2016. UKK Respirologi. PP
Ikatan Dokter Anak Indonesia.
2. World Health Organization (WHO). 2009. Buku Saku Pelayaan Kesehatan
Anak Di Rumah Sakit. Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat
Pertama Di Kabupaten/Kota.
3. Rosmayudi O, Supriyatno B. Pencegahan asma. Dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.
Edisi pertama. Jakarta: BP IDAI; 2008. h. 158-61.
4. Rahajoe N. Tata laksana jangka panjang asma pada anak. Dalam: Rahajoe
NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi
Anak. Edisi pertama. Jakarta: BP IDAI; 2008. h. 134-47.
Download