MATERI KULIAH KOMUNIKASI MASSA PENGERTIAN KOMUNIKASI MASSA Yang dimaksud dengan komuniksi massa (Mass Communication) ialah komunikasi yang melalui media massa modern, yang meliputi surat kabar yang mempunyai sirkulasi yang luas, siaran radio dan televisi yang ditujukan kepada umum, dan film yang dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop. Hal tersebut perlu dijelaskan oleh karena ada sementara pakar di antaranya Everett M. Rogert, yang mengatakan bahwa selain media massa modern terdapat media massa tradisional yang meliputi teater rakyat, juru dongeng keliling, juru pantun dan lain-lain. Lazimnya media massa modern menunjukkan seluruh sistem dimana pesanpesan diproduksikan, dipilih, disiarkan diterima dan ditanggapi. Komunikasi massa menyiarkan informasi, gagasan dan sikap kepada komunikan yang beragam dalam jumlah yang banyak dengan menggunakan media. Melakukan kegiatan komunikasi massa jauh lebih sukar dari pada komunikasi antarpribadi. Seorang komunikator yang menyampaikan pesan kepada ribuan pribadi yang berbeda pada saat yang sama, tidak akan bisa menyesuaikan harapannya untuk memperoleh tanggapan mereka secara pribadi. Suatu pendekatan yang bisa merenggangkan kelompok lainnya. Seorang komunikator melalui media massa yang mahir adalah seorang yang berhasil menemukan metode yang tepat untuk menyiarkan pesannya guna membina empathy dengan jumlah terbanyak diantara komunikannya. Meskipun jumlah komunikan bisa mencapai jutaan, kontak yang fundamental adalah antara dua orang ; benak komunikator harus mengenai benak setiap komunikan. Komunikasi massa yang berhasil ialah kontak pribadi dengan pribadi yang di ulang ribuan kali secara serentak. Seorang politikus dapat mecapai jauh lebih banyak komunikan dengan sekali uraian melalui televisi dari pada dengan jalan perlawatan mendatangi mereka seorang demi seorang; akan tetapi penggunaan komunikasi massa bisa menjadi gagal, jika komunikator tidak bisa memproyeksikan perasaan yang sama melalui media, yakni perasaan yang ia nyatakan melalui keramah-tamahan dan senyum menyenangkan. Jadi ada dua tugas komunikator dalam komunikasi massa : mengetahui apa yang ia ingin komunikasikan, dan mengetahui bagaimana ia harus menyampaikan pesannya dalam rangka melancarkan penetrasi kepada benak komunikan. Sebuah pesan yang isinya lemah dan dengan lemah pula disampaikan kepada jutaan orang, bisa menimbulkan pengaruh yang kurang efektif sama sekali dibandingkan dengan pesan yang disampaikan dengan baik kepada komunikan yang jumlahnya kecil. Komunikasi massa biasanya menghendaki organisasi resmi dan rumit untuk melakukan operasinya. Produksi surat kabar atau siaran televisi meliputi sumber pembiayaan dan karenanya juga pengawasan keuangan; ini memerlukan pekerjaan yang benar-benar mempunyai keahlian; jdi memerlukan manajemen yang baik; memerlukan juga pengawasan yang normatif yang erat hubungannya dengan orang luar yang mempunyai wewenang dan erat hubungannya dengan masyarakat. Dengan demikian maka harus ada orang yang bergerak dalam struktur yang menjamin kontinuitas dan kerja sama. Syarat tersebut dipenuhi oleh organisasi yang resmi. Berhubung dengan itu, maka komunikasi massa harus di bedakan dengan komunikasi antarpribadi yang tidak resmi dan yang tidak berstruktur. 1. Karakteristik Komunikasi Massa Seseorang yang akan menggunakan media massa sebagai alat untuk melakukan kegiatan komunikasinya perlu memahami karakteristik komunikasi massa, yakni seperti di uraikan dibawah ini : a. Komunikasi Massa bersifat Umum Pesan komunikasi yang disampaikan melalui media massa adalah terbuka untuk semua orang. Benda-benda tercetak, film, radio dan televisi apabila dipergunakan untuk keperluan pribadi dalam lingkungan organisasi yang tertutup, tidak dapat dikatakan komunikasi massa. Meskipun pesan komunikasi massa bersifat umum dan terbuka, sama sekali terbuka juga jarang diperoleh, disebabkan faktor yang bersifat paksaan yang timbul karena struktur sosial. Pengawasan terhadap faktor tersebut dapat dilakukan secara resmi sejauh bersangkutan dengan larangan dalam bentuk hukum. Terutama yang berhubungan dengan penyiaran ke luar negeri. b. Komunikasi bersifat heterogen Perpaduan antara jumlah komunikan yang besar dalam komunikasi massa dengan keterbukaan dalam memperoleh pesan-pesan komunikasi erat sekali hubungannya dengan sifat heterogen komunikan. Massa dalam komunikasi massa terjadi dari orang-orang yang heterogen yang meliputi penduduk yang bertempat tinggal dalam kondisi yang sangat berbeda, dengan kebudayaan yang beragam, berasal dari berbagai lapisan masyarakat mempunyai pekerjaan yang berjenis-jenis maka oleh karena itu mereka berbeda pula dalam kepentingan, standar hidup dan derajat kehormatan, kekuasaan, dan pengaruh. c. Media massa menimbulkan keserempakan Yang dimaksud dengan keserempakan ialah keserempakan kontak dengan sejumlah besar penduduk dalam jarak yang jauh dari komunikator dan penduduk tersebut satu sama lainnya berada dalam keadaan terpisah. Radio dan televisi dalam hal ini melebihi media tercetak, karena yang terakhir dibaca dalam waktu yang berbeda yang lebih selektif. Ada dua segi penting mengenai kontak yang langsung itu; pertama kecepatan yang lebih tinggi dari penyebaran dan kelangsungan tanggapan; kedua : keserempakan adalah penting untuk keseragaman dalam seleksi dan interpretasi pesan-pesan. Tanpa komunikasi massa, hanya pesan-pesan yang sangat sederhana saja yang disiarkan tanpa perubahan dari orang yang satu ke orang yang lain. d. Hubungan Komunikator-komunikan bersifat non-pribadi Dalam komunikasi massa, hubungan antara komunikator dan komunikan bersifat non pribadi, karena komunikan yang anonym dicapai oleh orang-orang yang dikenal hanya dalam peranannya yang bersifat umum sebagai komunikator. Sifat non-pribadi ini timbul disebabkan teknologi dari penyebaran yang missal dan sebagian lagi dikarenakan syarat-syarat bagi peranan komunikator yang bersifat umum. Komunikasi dengan menggunakan media massa berlaku daam satu arah (One way Communication), dan ratio output input komunikan sangat besar. Tetapi dalam hubungan komunikator komunikan itu terdapat mekanisme resmi yang dapat mengurangi ketidakpastian, terutama penelitian terhadap komunikan, korespondensi, dan bukti keuntungan dari penjualan (Siaran Komersial). 2. Model Komunikasi Massa Komunikasi dengan menggunakan media massa dalam tahun terakhir ini banyak mendapat penelitian dari para ahli disebabkan semkin majunya teknologi di bidang media massa. Kemajuan teknlogi di bidang pers seperti kepastian percetakan yang mampu menghasilkan ratusan ribu bahkan jutaan eksemplar surat kabar dalam waktu yang relatif cepat; kemajuan teknologi dibidang film yang berhasil menyempurnakan segi audio dan visual; kemajuan teknologi dibidang radio yang mampu menjangkau jarak yang lebih jauh dengan suara yang lebih baik; kemajuan teknologi dibidang televisi yang dengan satelitnya mampu menghubungkan satu bangsa dengan bangsa lain secara visua auditif, hidup dan pada saat suatu peristiwa terjadi; itu semua berpengaruh besar pada kehidupan politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Penelitian para ahli tersebut menghasilkan teori komunikasi massa diantaranya : a. Model jarum hipodermik (hypodermic needle model) Secara harfiah “hypodermic” berarti “dibawah kulit”. Dalam hubungannya dengan komunikasi massa istilah hypodermic needle model mengandung anggapan dasar bahwa media massa menimbulkan efek yang kuat, terarah, segera dan langsung itu adalah sejalan dengan pengertian “perangsang tanggapan (stimulus-response)” yang mulai dikenal sejak penelitian ilmujiwa pada tahun 1930-an. Media massa dikabarkan sebagai jarum hipodermik raksasa yang mencotok massa komunikan yang pasif Elihu katz mengatakan, bahwa model tersebut terdiri dari ; 1. Media yang sangat ampuh yang mampu memasukkan idea pada benak yang tidak berdaya. 2. Massa komunikan yang terpecah-pecah, yang terhubungkan dengan media massa, tetapi sebaiknya komunikan tidak terhubungkan satu sama lain. b. Model Komunikasi satu tahap (One Step Flow Model) Model komunikasi satu tahap ini menyatakan bahwa saluran media massa berkomunikasi langsung dengan assa komunikan tanpa berlalunya suatu pesan melalui orang lain, tetapi pesan tersebut tidak mencapai semua komuikan dan tidak menimbulkan efek yang sama pada setiap komunikan. Model komunikasi satu tahap adalah model jarum hipodermik yang dimurnikan, model mana letak kita bicarakan dimuka. Tetapi model satu tahap mengakui bahwa : 1. Media tidak mempunyai kekuatan yang hebat. 2. Aspek pilihan dari penampilan, penerimaan, dan penahanan dalam ingatan yang selektif mempengaruhi suatu pesan. 3. untuk setiap komunikan terjadi efek yang berbeda. Selanjutnya model satu tahap memberi keleluasaan kepada saluran komunikasi massa untuk memancarkan efek komunikasi secara langsung. c. Model Komunikasi dua Tahap (two step flow model) Konsep komunikasi dua tahap ini berasal dari lazarsfeld, Berelson, dan Gaudet (1948) yang berdasarkan penelitiannya manyatakan bahwa idea-idea sering kali datang dari radio dan surat kabar yang ditangkap oleh pemuka pendapat (opinion leaders) dan dari mereka ini berlaku menuju penduduk yang kurang giat. Tahap pertama adalah dari sumbernya, yakni komunikator dari pemuka pendapat kepada pengikut-pengikutnya, yang juga menyangkut penyebaran pengaruh. Model dua tahap ini menyebabkan kita menaruh perhatian kepada peranan media massa dan komunikasi antarpribadi. Berlainan dengan model jarum hipodermik yang beranggapan, bahwa massa merupakan tubuh besar yang terdiri dari orang-orang yang tak berhubungan tetapi berkaitan kepada media, maka model dua tahap meliat massa sebagai perorangan yang berinteraksi. Ini menyebabkan penduduk terbawa kembali ke komunikasi massa. Penelitian terhadap model ini selain menimbulkan keuntungan, juga telah menjumpai kekurangan. Pada dasarnya model ini tidak memberikan penjelasan yang cukup. Apa yang diketahui tentang proses komunikasi massa ternyata terlalu mendetail untuk diterangkan dengan satu kalimat saja meskipu demikian, dari penelitian komunikasi timbul dua keuntungan dari hipotesis dua tahap tersebut, 1. Suatu pemusatan kegiatan terhadap kepemimpinan opini dalam komunikasi massa. 2. Beberapa perbaikan dari komunikasi dua tahap, seperti komunikasi dua tahap dan komunikasi tahap ganda. d. Model Komunikasi Tahap Ganda (Multi Step Flow Model) Model ini menggabungkan semua model yang telah dibicarakan terlebih dahulu. Model banyak tahap ini didasrkan pada fungsi penyebaran yang berurutan yang terjadi pada kebanyakan situasi komunikasi. Ini tidak mencakup jumlah tahap secara khusus, juga tidak khusus bahwa suatu pesan harus berlangsung dari komunikator melalui saluran media massa. Model ini menyatakan bahwa bagi lajunya komunikasi dari komunikaator kepada komunikan terdapat jumlah “relay” yang berganti-ganti. Beberapa komunikan menerima pesan langsung melalui saluran dari komuikator yang lainnya terpindahkan dari sumbernya beberapa kali. Jumlah tahap yang pasti dalam proses ini bergantung pada maksud tujuan komunikator, tersedianya media massa dengan kemampuannya untukk menyebarkannya, sifat dari pesan, dan nilai pentingnya pesan bagi komunikan. Strategi Komunikasi Massa Paparan pada bab-bab terdahulu menunjukkan implikasi betapa beratnya tetapi pentingnya peranan seorang komunikator media massa. Karena itu ia harus berpikir secara konsepsional dan bertindak secara sistemik dan sistematik. Ia harus menyadari bahwa komunikasi massa yang ia geluti bersifat paradigmatik. Paradigma adalah pola yang mencakupsejumlah komponen yang terkorelasikan secara fungsional untuk mencapai suatu tujuan. Pola beserta komponen-komponennya jelas dapat dapat diketahui dari formulaharold lasswell yang telah diketengahkan pada bab-bab terdahulu, bahkan pada bab ini juga. Dalam hubungan ini, Daniel lerner dalam karyanya “Communication system and social systems” dalam buku Wilbur Schramm “Mass Communications” menampilkan apa yang disebut paradigmatic question, yang berbunyi : “Who Says What How To Whom” (Siapa mengatakan Apa Bagaimana Kepada Siapa). Diantara Komponenkomponen komunikator, pesan dan komunikan itu, lerner menyelipkan kata “How” yang tidak ditampilkan oleh Lasswell. Dan dalam komunikasi “How” atau “Bagaimana” itulah yang menjadi permasalahan. Suatu paradigma mengandung tujuan. Dan tujuan pada paradigma komunikasi adalah jelas seperti telah diketengahkan pada bab terdahulu dan diakui oleh semua ahli komunikasi, yakni : “mengubah sikap, opini atau pandangan, dan perilaku” (to change the attitude, opini and behavior), sehingga timbul pada komunikan efek kognitif, efek efektif, dan efek konatif atau behavioral. Bagaimana caranya melakukan perubahan itu ? itulah justru yang problematik; karena itu diperlukn suatu strategi komunikasi. Seorang ahli komunikasi bernama Laurence Brennan mengetengahkan sebuahformul yang dinyatakan sebagai landasan bagi strategis komunikasi yakni sebagai berikut : “The COMMUNICATION with a PURPOSE and an OCCASION gives EXPRESSION to an IDEA which he CHANNELS to some RECEIVER from whom he gains a RESPONSE”. (KOMUNIKASI dengan suatu TUJUAN dan suatu PERISTIWA memberikan ekspresi kepada suatu IDE yang ia SALURKAN kepada sejumlah KOMUNIKAN dari siapa ia memperoleh TANGGAPAN). Brenan mengakui seperti ahli-ahli komunikasi lainnya bahwa formula komunikasi dapat disederhanakan menjadi communicator message receiver (komunikator-pesan-komunikan) tetapi demi efektifnya komunkasi perlu diperhatikan semua unsure yang terdapat dalam proses komunikasi-komunikator, tujuan peristiwa, ide, ekspresi, saluran/media, komunikan dan tanggapan. “Formula yang disederhanakan akan merupakan paradigma yang lemah, bila tanggapan ditiadakan”, kata brennan. Apabila formula lasswell, lerner, dan Brennan itu kita tuangkan ke dalam bentuk bagan, maka kira-kira akan tampak seperti pada gambar 10. 1. Proses Komunikasi Massa Dalam menyusun suatu strategi komunikasi untuk dioperasikan dengan taktik-taktik komunikasi sebagai penjabaran, pertama-taa ia harus menghayati proses komunikasi yang akan ia lancarkan, Sebagai mana telah disinggung pada bab terdahulu dalam prosesnya komunikasi harus berlangsung secara “berputar” (circular), tidak “melurus” (linear); ini berarti idenya sebagai ekspresi dari paduan dan peristiwa yang kemudian berbentuk pesan, setelah sampaikepada komunikan, harus diusahakan agar efek komunikasinya dalam bentuk tanggapan mengarus menjadi umpan balik. Dengan lain perkataan komunikator harus tahu efek atau akibat dari komunikasi yang dilancarkan itu; apakah positif sesuai dengan tujuan, apakah negatif. Jika setelah dievaluasi umpan balik komunikasinya itu positif, maka pola komunikasi yang sama dapat dipergunakan lagi untuk pesan lain yang harus dikomunikasikan; bila ternyata negatif, pada gilirannya harus diteliti factor-faktor penghambat yang menyebabkan kegagalan komunikasinya itu. Gambar proses komunikasi massa Kn E ide Pr Kt P Kn M Tujuan f e k Kn Keterangan : Pr = Peristiwa Kt = Komunikator P = Pesan M = Media Kn = Komunikan Tangg. Umpan Balik 2. Komunikator Komunikasi Massa Sebagai komunikator ia harus menyadari bahwa komunikator media massa bersifat melembaga (institutionalized communicator). Sebagai konsekuensinya ia harus menyesuaikan ucapan atau tulisannya kepada sifat dan kebijaksanaan lembaga dan menyelaraskannya kepada system pemerintahan dimana lembaga itu beroperasi. Kesalahan dalam ucapan yang dilakukan seorang penyiar radio atau televisi, atau kesalahan tulisan yang dilakukan seorang wartawan surat kabar atau majalah, bisa menyebabkan eksistensi lembaga yang diwakilinya menjadi terancam. Sebagai komunikator kolektif ia harus menyadari bahwa kemunculannya sebagai komunikator sebenarnya berkat dukungan orang-orang lain. Kemunculan seorang penyiar televisi dikarenakan dukungan pengaruh acara, juru kamera, juru suara, juru cahaya, dan teknisi lainnya. Kumandang suara seorang penyiar radio adaah sebagai akibat hasil kerja operator dan juru pemancar; penampilan tulisan wartawan adalah karena dukungan hasil karya redaktur meja, juru tata letak, dan staf redaksi lainnay. Oleh karena itulah kerja sama diantara mereka itulah menjadi mutlak. 3. Pesan Komunikasi Massa. Berikutnya focus perhatian ditujukan pada pesan yang akan dikomunikasikan. Pesan (Massage) terdiri dari dua aspek, yakni isi atau isi pesan (the content of massage) dan lambing (Simbol) untuk mengekspresikannya. Lambing utama pada media radio adalah bahasa lisan pada surat kabar bahasa tulisan; ada juga gambar; pada film dan televise lamabang utaanya adalah gambar. Pesan yang disiartkan media massa bersifat umum, karena memang demi kepentingan umum. Penataan pesan tergantung pada media sifat yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Disini dimensi seni tampak berperan. Pada bab-bab terdahulu pula ditampilkan devinisi komunikasi massa dari severin dan tankard yang menyatakan bahwa komunikasi massa adalah sebagai keterampilan (skill), sebagian seni (art) dan sebagian ilmu (science). Tanpa dimensi seni menata pesan, tak mungkinlah media surat kabar, majalah, radio, televise, film, dapat memikat perhatian dan memukau khalayak, yang pada gilirannya mengubah sikap, pandangan dan perilaku mereka. 4. Media Komunikasi Massa Yang dibahas disini ialah media massa yang memiliki ciri khas, yakni berkemampuan memikat perhatian khalayak secara serempak (simultaneous) dan serentak (instantaneous), yakni pers, radio, televisi, dan film. Mengapa hanya dibatasi pada media tersebut? Jawaban terhadap pertanyaan itu, ialah karena media itulah yang paling sering menimbulkan masalah dalam semua bidang kehidupan dan semakin lama semakin canggih akibat perkembangan teknologi, sehingga senantiasa memerlukan pengkajian yang seksama. Dalam menyusun stategi komunikasi sifat dari media yang akan digunakan harus benar-benar mendapat perhatian, karena erat sekali kaitannya dengan khalayak yang akan diterpa. Pers memiliki cirri khas dibandingkan dengan media masa lainnya. Yang penting bukan hanya sifatnya yang merupakan media cetak, tetapi khalayak yang diterpanya bersifat aktif, tidak pasif seperti kalau mereka diterpa media radio, televisi, dan film. Pesan melalui media pers diungkapkan dengan huruf-huruf mati, yang baru menimbulkan makna apabila khalayak menggunakan tatanaa mentalnya (mental set) secara aktif. Karena itulah berita, tajuk rencana, artikel, dan lain-lain, pada media pers harus disusun sedemikian rupa, sehingga mudah dicerna oleh khalayak. Oleh karena itulah pers memrlukan susunan bahasa yang khas yang disebut bahasa pers. Kelebihan pers dari media massa lainnya, ialah bahwa media cetak itu dapat di dokuentasikan, diulangkaji, dihimpun untuk keperluan pengetahuan, dan dijadikan bukti otentik yang bernilai tinggi. Radio, dalam hal ini siaran radio, sebagai media massa yang sifatnya khas dibandingkan dengan media massa lainnya, untuk strategi komunikasi perlu mendapat perhatian kekhasan cirinya itu. Kekhsannya ialah sifatnya yang audial, untuk indera telinga. Karena itu, khalayak ketika menerima pesan-pesan dari pesawat radio dengan tatanan mental yang pasif, bergantung pada jelas tidaknya kata-kata yang diucapkan penyiar. Oleh sebab itu dalam dunia radio siaran dikenal istilah Easy Listening Formula atau disingkat ELF. Televisi yang muncul dimasyarakat diawal dekade 1960-an semakin lama semakin mendominasi komunikasi massa dikarenakan sifatnya yang memenuhi kebutuhan dan keinginan khalayak. Kelebihan televisi dari media massa lainnya, ialah sifatnya Audio Visual, dapat dilihat dan di dengar, “hidup” menggambarkan kenyataan, dan langsung enyajikan peristiwa yang tengah terjadi ketiap rumah para pemirsa. Film, yakni film teatrikal, film yang dipertunjukan digedung bioskop, mempunyai persaamaan dengan televisi dalam hal sifatnya yang audiovisual; bedanya mekanik atau non elektronik dalam proses komunikasinya dan reaktif-edukatif persuasive atau non informative dalam fungsinya. Demikianlah sifat-sifat media massa yang dalam strategi komunikasi perlu menjadi bahan pemikiran. Pada bab-bab terdahulu : media massa pers, radio, televisi dan film telah dibicarakan secara khusus. Mengapa hanya media itu saja yang diketengahkan ? alaannya telah disinggung dimuka, yakni karena semakin lama semakin canggih akibat perkembangan teknologi dan sebagai konsekuensinya acapkali menimbulkan dampak social yang memerlukan pengkajian secara seksama dari para ahli, bukan saja ahli komunikasi, tetapi juga ahli-ahli disiplin ilmu lainnya. 5. Komunikan Komunikasi Massa Dalam startegi komunikasi, komunikan merupakan komponen yang paling banyak meminta perhatian. Mengapa demikian, karena jumlahnya banyak dan sifatnya heterogen dan anonym, sedangkan mereka harus dapat dicapai seraya menerima setiap pean secara inderawi dan secara rohani yang dimaksudkan dengan inderawi disini ialah diterimanya suatu pesan jelas bagi indera mata dan terang untuk indera telinga. Yang dimaksud dengan rohani ialah sebagai terjemahan dari bahasa asing “accepted”, yaitu diterimanya suatu pesan yang sesuai dengan kerangka referendinya (frame of referencenya), paduan dari usia, agama, pendidikan, kebudayaan, dan nilai-nilai kehidupan lainnya. Kerangka referensi tertentu menimbulkan kepentingan dan minat (interest) tertentu. Berdasarkan hal-hal tersebut ada suatu pesan dari media massa yang diminati oleh seluruh khalayak, ada juga yang disenangi oleh kelompok tertentu, misalnya kelompok usia; anak-anak, remaja, dewasa; kelompok agama : Islam, Kristen, Budha, Hindu Bali, dan lain-lain. Kelompok etnis; Sunda Jawa, Aceh Menado, dan sebagainya. Dengan demikian dalam menyusun strategi komunikasi harus ditentukan, rubric atau acara mana untuk sasaran khalayak (target audience) dan yang mana untuk sasaran kelompok (target groups) penentuan ini menimbulkan konsekuensi lain yang berkaitan dengan aspek sosiologis atau psikologis, yang kesemuanya itu demi efektivitas komunikasi. Untuk strategi komunikasi massa, komponen komunikai yang massal dan kompleks itu memerlukan analisi yang seksama. Untuk membahas ini barangkali dapat dipergunakan teori Melvin L. DeFleur yang telah disinggung pada bab terdahulu. Dalam bukunya berjudul “Theories of Mass Communication”, ia mengemukakan empat teori yang masingmasing ia namakan Individual Differences Theory, Sosial Relationships Theory dan Cultural Norms Theory. Individual Differences Theory menyebutkan bahwa khalayak yang secara selektif memperhatikan suatu pesan komunikasi, khususnya jika berkaitan dengan kepentingannya, akan sesuai dengan sikapnya, kepercayaan dan nila-nilainya. Tanggapannya terhadap pesan komunikasi itu akan diubah oleh tatanan psikologisnya. Jika pandangan Individual Differences Theory mengenai proses komunikasi sesuai dengan penemuan-penemuan dalam psikologi umum, maka teori yang kedua yakni Sosial Categories Theory tampaknya bersumber pada teory sosiologi umum mengenai massa. Asumsi dasar dari teori Melvin L DeFleur yang kedua ini ialah bahwa meskipun masyarakat modern sifatnya heterogen, orang-orang yeng mempunyai sejumlah sifat yang sama akan memiliki pola hidup teradisional yang sama. Kesamaan orientasi dan perilaku ini akan mempunyai kaitan dengan gejala yang diakibatkan dengan media massa. Teori yang ketiga Sosial Relationships Theory berdasarka “two step flow of communication” yang telah diketengahkan oleh paul lazarsfeld dan rekan-rekannya yang terkenal itu. Menurut teory tersebut, sebuah pesan komunikasi mula-mula disiarkan melalui media massa kepada pemuka pandapat. Pada gilirannya oleh pemuka pendapat ini pesan komunikasi tersebut diteruskan secara komunikasi antar pribadi kepada orang-orang yang kurang keterbukaannya terhadap media massa. Cultural Norms Theory sebagai teori keempat yang diketangahkan oleh Melvin L. DeFleur pada hakikatnya merupakan anggapan yang mendasar bahwa melalui penyajian yang selektif dan penekanan pada tema tertentu; media massa menciptakan kesan-kesan pada khalayak bahwa normanorma budaya yang sama mengenai topic-topik tertentu dibentuk dengan cara-cara yang khusus. Telah kita singgung dimuka ada tiga cara dimana media massa secara potensial mempengaruhi norma-norma dan batasbatas situasi perorangan : Pertama : pesan komunikasi bias memperkuat pola-pola yang sudah ada (reinforce existing patterns) dan mengarahkan orang-orang untuk percaya bahwa suatu bentuk social dipelihara oleh masyarakat. Kedua : media massa bias “menciptakan keyakinan baru (create new shared convictions) mengenai topik, denga topik mana khalayak kurang berpengalaman sebelumnya. Ketiga media massa bias “ mengubah norma-norma yang sudah ada (change existing norms) dan karenanya mengubah orang-orang dari bentuk tingkah laku yang satu menjadi tingkah laku yang lain. 6. Efek Komunikasi Massa Efek dari pesan yang disebarkan oleh komunikator melalui media massa timbul pada komunikan sebagai sasaran komunikasi. Oleh karena itu efek melekat pada khalayak sebagai akibat dari perubahan psikologis. Mengenai efek komunikasi ini telah disinggung dimuka, yakni diklasifikasikan sebagai efek kognitif (cognitive effect) efek afektif (affective effect) atau efek konatif yang sering disebut efek behavioral (behavioral effect). Efek kognitif berhubungan dengan pikiran atau penalaran, sehingga khalayak yang semula tidak tahu, yang tadinya tidak mengerti, yang tadinya bingung merasa jelas. Contoh pesan komunikasi melalui media massa yang menimbulkan efek kognitif antara lain berita, tajuk rencana, artikel, acara penerangan, acara pendidikan, dan sebagainya. Efek afektif berkaitan dengan perasaan. Akibat dari pembaca surat kabar atau majalah, mendengarkan radio, menonton acara televisi atau film bioskop, timbul perasaan tertentu pada khalayak. Prasaan akibat terpaan mesia massa itu bias bermacam-macam, senang sehingga tertawa terbahak-bahak, sdih sehingga mencucurkan air mata, takut sampai merinding dan lain-lain perasaan yang hanya bergejolak dalam hati misalnya, perasaan marah, benci, sesal, ketawa, penasaran, sayang, gemas, sinis, kecut, dan sebagainya. Contoh rubric atau acara media massa yang dapat menimbulkan efek efektif, antara lain : pojok, sajak, foto, cerita bergambar, cerita bersambung, sandiwara radio, drama televisi, cerita film, dan lain-lain. Efek konatif brsangkutan dengan niat, tekad, upaya, usaha yang cenderung menjadi suatu kegiatan atau tindakan. Karena berbentuk perilaku, maka sebagimana disinggung diatas efek konatif sering disebut juga behavioral. Efek konatif tidak langsung timbul sebagai akibat terpaan media massa, melainkan didahului oleh efek kognitif dan/atau efek efektif. Dengan lain perkataan, timbulnya efek konatif setelah muncul kognitif dan atau efek efektif. Itulah beberapa contoh efek komunikasi massa yang perlu manjadi perhatian dala menyusun strategi komunikasi. Efek komunikasi menjadi indicator atau tolak ukur keberhasilan komunikasi. SISTEM KOMUNIKASI MASSA Di Negara-negara maju, efek komunikasi massa telah beralih dari ruang kuliah ke ruang pengadilan , dari polemic ilmaiah di antara para professor ke debat parlementer di antara anggota badan legislative. Di Negara berkembang efek komunikasi telah merebut perhatian berbagai kalangan,sejak politisi,tokoh agama,penyair, sampai petani.Walaupun hamper semua orang menyadari efek komunikasi massa,sedikit sekali orang yang memahamigejala komunikasi massa.Akibatnya komunikasi massa telah dipandang secara ambivalen. Psikologi telah lama menelaah efek komunikasi massa pad prilakupenerima pesannya.Annual Review of Psychologi hamper selalu menyajikan berbagai hasil penelitian psikologi tentang efek komunikasi massa. 1. Pengertian Komunikasi Massa Komunikasi massa adalah pesan ya ng di komunikasikan melalui media massa pada sejumlah orang.Ahli komunikasi lain mendefinisikan komunikasi dengan memperinci karakteristik komunikasi massa.Gerbner (1967)menulis.”Mass communication is the tecnologacally and institutuonally based production and distribution of the most broadly shared continuous flow of messages in industrial societies” (Komunikasi massa adalah produksi dan distribusiyang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang dalam masyrakat industri). 1.a. Sistem Komunikasi Massa versus Sistem komunikasi Interpersonal Secara sederhana,komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa,yakni surat kabar,majalah,radio,televise,dan film.Bila sistem komunikasi massa diperbandingka dengan sistem komunikasi interpersonal,secara teknis kita dapatmenunjukan emapat tanda pokok dari komunikasi massa.(menurut ElizabethNoelle Neumun,1917:92) (1) bersifat tadak langsung, artinya kita harus melewati media teknis; (2) bersifat satu arah,artinya tidak ada intraksi antara peserta – peserta komuniksi (para komunikasi); (3) bersifat terbuka, artinya ditujuka pada publikyang tidak terbatas dan anomin; (4) mempunyai public yang secara geografis terbesar. Pengendalian Arus Informasi Mengendalikan arus informasi berarti mrngatur jalannya pembicaraan yang disampaikan dan yang di terima.Tentu saja,dalam sistem komunikasi interpersonal – misalnya saya memberikan kuliah kepada anda tentang efek media massa- anda dapat mengarahkan prilaku komunikasi saya.Bila saya berbicara “ngawur”, anda dapat menegur saya dan mengembalikan saya pada “jalan yang lurus”. Kita bersama-sama dapat mengendalikan arus informasi seperti yang kita hendaki.Anda dapat menambah informasi yang saya berikan.Saya juga dapat mengubah informasi yang saya sampaikankarena reaksi yang saya terima dari anda. Umpanbalik Istilah umpanbalik sudah cukup popular di tengah-tengah masyrakat; Umpanbalik berasal dari teori sibernetika (cyber+netist) dalam mekanika teori meknistis tentang proses pengaturan dari secara otomatis.Orang yang di anggap penemu sibernetika adalah Norbet Wiener (1954) yang menulis buku Cybernetics and society. Dalam komunikasi, umpanbalik dapat diartikan sebagai respons, peneguhan, dan servomekanisme internal ( Fisher, 197 8: 286-299). Sebagai respons, umpanbalik adalah pesan yang dikirim kembali dari penerima ke sumber, memberi tahu sumber tentang reaksi penerima, dan memberikan landasan kepada sumber untuk menentukan perilaku selanjutnya. Dalam pengertian ini, umpanbalik bermacam-macam jumlah dan salurannya. Ada situasi ketika saluran mengangkut banyak umpanbalik atau t idak ada umpanbalik sama sekali (dari free feedback sampai kepada zero feedback). Umpanbalik clapat juga lewat satu saluran saja atau lewat berbagai saluran. Bila kita membalas surat, umpanbalik tidak dapat dating lewat saluran bunyi. Dengan kerangka umpanbalik yang diuraikan di atas, marilah kita lihat perbedaan sistem komunikasi interpersonal dan sistem komunikasi massa. Umpanbalik sebagai respons mempunyai volume yang tidak terbatas dan lewat berbagai saluran pada komunikasi interpersonal. Hal yang sama terjadi pada umpanbalik sebagai peneguhan. Redaktur suratkabar, majalah, atau penyiar radio dan televisi hanya memperclleh umpanbalik dalam keadaan terlambat (delayed feedback). Omzet yang terjual habis dalam waktu cepat, gejolak sosial yang timbul sesudahnya, dan lain-lain, mungkin mempengaruhi penerbitan suratkabar dan majalah pada waktu berikutnya. Tetapi, berbeda dengan komunikasi interpersonall pengaruh umpanbalik peneguhan ini tidak terjadi pada situasi komunikasi tertentu secara serentak. Obrolan saya dengan anda dapat berganti dengan cepat karena cibiran bibir anda. Tetapi isi majalah pada satu watu tidak segera berubah karena reaksi pembacanya waktu itu. Perubahan hanya terjadi mungkin pada penerbitan berikutnya. Perkembangan teknologi komunikasi massa mutakhir - seperti menyambungkan terminal komputer dengan sebuah Central Processing Unit atau cable television memang memungkinkan umpanbalik khalayak mengubah situasi komunikasi dengan segera. Tetapi barangkali di sini, kita tidak lagi membincangkan komunikasi massa. Di sini media massa perlu didefinisikan lagi. Toffler sendiri menyebut gejala ini sebagai demassifikasi media - proses menjadikan media massa tidak lagi media massa (lihat Toffler, l 981). Lalu, bagaimana peranan umpanbalik sebagai servomekanisme. Dalam sistem komunikasi interpersonal, sikap berfungsi sebagai servomekanisme. Bila pembicaraan orang yang pidato mengandung hal-hal yang mengancam kepentingan kita, kita akan segera menyaring pembicaraan secara selektif, menafsirkan secara sepihak, atau berusaha tidak mendengarkannya sama sekali. Dengan cara itu, keseimbangan psikologis kita akan tetap terpelihara. Dalam sistem komunikasi massa, dengan menggunakan model terpadu efek media dari De Fleur dan BallRockeach (1975), servomekanisme terjadi karena kendala ekonomi, nilai, teknologi, dan organisasi yang terdapat dalam sistem media. Bila berita diterima tidak sesuai dengan kebijaksanaan media yang bersangkutan, berita itu akan diinterpretasikan, didistorsi, atau tidak dimuat sama sekali. Di Indonesia, misalnya, tidak ada sensor sebelumnya (previous censorship),tetapi setiap surat kabar mengetahui apa yang boleh dan tidak boleh dimuat. Pengalaman pahit yang dialami suratkabar pada pencabutan Surat lzin Terbit merupakan "hantu" yang membayang-bal angi para kuli tinta (ada yang menyebut sebagai pedang Damocles). Ketika dikatakan "Pers lndonesia adalah pers yang bebas dan bertanggung jawab", surat kabar-surat kabar sudah mengerti apa yang dimaksud. Stimulasi Alat Indera Dalam komunikasi interpersonal, seperti telah kita uraikan pada umpanbalik, orang menerima stimuli lewat seluruh alat inderanya. Ia dapat mendengar, melihat, mencium, meraba, dan merasa (bila perlu). Dalam komunikasi massa, stimuli alat indera bergantung pada jenis media massa. Pada surat kabar dan majalah, pembaca hanya melihat. Pada radio dan rekaman auditit, khalayak hanya mendengar. Pada televisi dan film, kita mendengar dan melihat. Proporsi Unsur Isi dengan Hubungan Seperti dijelaskan pada Sistem Komunikasi Interpersonal, setiap komunikasi melibatkan unsur isi dan unsure hubungan sekaligus. Pada komunikasi interpersonal, unsur hubungan sangat penting. Sebaliknya, pada komunikasi massa, unsur isilah yang penting. Ketika anda berkomunikasi dengan suami anda, pesan yang anda sampaikan tidak berstruktur, tidak sistematis, dan sukar disimpan atau dilihat kembali (retrieval). Anda tidak pernah mengatakan, "Marilah kita bagi obrolan hari ini menjadi empat bab: bab keluarga, bab keuangan, bab tetangga, dan bab mertua." Apa yang sudah dibicarakan juga sukar didengar kembali (kecuali kalau Anda merekamnya). Dalam komunikasinterpersonal, yang menentukan efektivitas bukanlah struktur, tetapi aspek hubungan manusiawi: bukan "apanya" tetapi "bagaimana". Ssitem komunikasi massa justru menekankan “apanya”. Berita disusun berdasarkan sistem tertentu dan ditulis dengan menggunakan tanda-tanda baca dan pembagian paragraph yang tertib. 1.b. Sejarah Penelitian Efek Komunikasi Massa Pada malam tanggal 30 Oktober 1938, ribuan orang Amerika panik karena siaran radio yang menggambarkan serangan mahluk Mars yang mengancam seluruh peradaban manusia. barangkali tidak pernah terjadi sebelumnya, begitu banyak orang dari berbagai lapisan dan di bcrbagai tempat di Amerika secara begitu mendadak dan begitu tegang tergoncangkan oleh apa yang terjadi waktu itu,"begitu Hadley Cantril memulai. rsannya tentang The Invasion of Mors (Schramm, 1977:579). Sebuah pemancar radio menyiarkan sandiwara Orson-Welles. Sandiwara ini begitu hidup sehingga orang menduga bahwa yang terjadi adalah laporan pandangan mata. ketika - dalam cerita itu - dihadirkan tokoh fiktif seperti para profesor dari beberapa observatorium dan perguruan tinggi yang terkenal, dan Jenderal Montgommery Smith, panglima angkatan bersenjata, pendengar menganggapnya peristiwa 'benarnya. "sebelum siaran itu berakhir," begitu dilaporkan Cantril, 'di seluruh Amerika Serikat orang berdoa, menangis, melarikan diri secara panik untuk menghindarkan kematian karena mahluk Mars. Ada yang dari menyelamatkan kekasihnya; ada yang menelpon menyampaikan laporan perpisahan atau peringatan; ada yang segera memberitahu tetangga, mencari informasi dari surat kabar atau pemancar radio, memanggil ambulans dan mobil polisi. Sekurang-kurangnya enam juta orang mendengar siaran itu. Sekurang-kurangnya satu juta orang ketakutan atau ' tergoncangkan. Peristiwa itu menarik berberapa orang peneliti sosial - suatu peristiwa angka telah terjadi. Peristiwa ini juga menarik karena menggambarkan keperkasaan media massa dalam mempengaruhi khalayaknya. Sekarang orang memandang media massa dengan perasaan ngeri. Sementara itu, pada dasawarsa yang sama, jutaan pemilik radio juga dipukau dan digerakkan oleh propagandis agama Father Coughlin (Teknikteknik propaganda Coughlin dianalisa oleh Institute for Propaganda Analysis). Di Jerman, orang melihat bagaimana sebuah bangsa beradab diseret pada kegilaan massa yang mengerikan. Jerman Nazi menggunakan media massa secara maksimal. Media massa dikontrol dengan ketat oleh Kementerian Propaganda. Menulis atau berbicara yang bertentangan dengan penguasa Nazi dapat membawa orang pada kamp-kamp konsentrasi. Oposisi dibungkam.. Hanya informasi yang dirancang oleh penguasa yang boleh disebabkan. Radio diperbanyak untuk menambah efektivitas mesin propaganda. Di samping Hitler, Mussolini di ltalia juga memanfaatkan media massa untuk kepentingan fasisme. Sebelumnya, di Rusia Lenin berhasil merebut kekuasaan, tak kurang dengan menggunakan media massa pula. Menurut Noelle-Neumann, penelitian efek media massa selama empat puluh tahun mengungkapkan kenyataan bahwa efek media massa tidak perlu diperhatikan; efeknya tidak begitu berarti. Sampai tahun 1940, pada pasca Perang Dunia I, ketakutan terhadap propaganda telah mendramatisasikan efek media massa. Harold Laswell membuat disertasinya tentang teknik-teknik propaganda pada. Perang Dunia I. The Institute for Propaganda Analysis menganalisa teknik-teknik propaganda yang dipergunakan oleh pendeta radio Father Coughlin. Pada saat yang sama, behaviorisme dan psikolodi instink sedang populer di kalangan ilmuwan. Dalam hubungan dengan media massa, keduanya melahirkan apa yang disebut Melvin DeFleur (1975) sebagai "instinctive SR theory". Menurut teori ini, media menyajikan stimuli perkasa yang secara seragam diperhatikan oleh massa. Stimuli ini membangkitkan desakan, emosi, atau proses lain yang hampir tidak terkontrol oleh individu. Setiap anggota massa memberikan respons yang sama pada stimuli yang datang dari media massa (Defleur, 1975:159). Karena teori ini mengasumsikan massa yang tidak berdaya ditembaki oleh Stimuli media massa, teori ini disebut juga "teori peluru" (bullet theory) atau "model jarum hipodermis" (Rakhmat, 1984), yang menganalogikan pesan komunikasi seperti obat yang disuntikkan dengan jarum ke bawah kulit pasien. Elisabeth Noelle-Neumann (1973) menyebut teori ini "the concept of powerful mass media". Pada tahun 1940-an, Carl L Hovland melakukan beberapa penelitian eksperimental untuk menguji efek film terhadap tentara. Ia dan kawan-kawannya menemukan bahwa film hanya efektif dalam menyampaikan informasi, tetapi tidak dalam mengubah sikap. Cooper dan Jahooda meneliti pengaruh film "Mr. Bigott" yang ditujukan untuk menghilangkan prasangka rasial. Mereka menemukan bahwa persepsi selektif mengurangi efektivitas pesan. Serangan terbesar pada Model Peluru adalah penelitian Paul Lazarsfeld dan kawan-kawannya dari Columbia University pada pemilu 1940. Mereka ingin mengetahui pengaruh media massa dalam kampanye pemilu pada perilaku memilih. Daerah sampel yang dipilih adalah Erie County, di New York. Karena itu, penelitian mereka lazim dikenal dengan sebutan Erie County Study. Pada saat yang sama, Leon Festinger dari kubu psikologi kognitif datang dengan "theory of cognitive dissonance" (Teori Disonasi kognitif) ;. Teori ini menyatakan bahwa individu berusaha menghindari perasaan tidak senang dan ketakpastian dengan memilih informasi yang cenderung memperkokoh keyakinannya, sembari menolak informasi yang bertentangan dengan kepercayaan yang diyakininya. Ahli sosiologi menyimpulkan penelitian pada periode itu dengan ucapan yang sering dikutip karena ketepatan dan kelucuannya: Mc merangkum semua penemuan penelitian pada periode ini sebagai berikut : 1. Ada kesepakatan bahwa bila efek terjadi, efek itu sering kali berbentuk peneguhan dari sikap dan pendapat yang ada. 2. Sudah jelas bahwa efek berbeda-beda tergantung pada prestise atau penilaian terhadap sumber komunikasi. 3. Makin sempurna monopoli komunikasi massa, makin besar kemungkinan perubahan pendapat dapat ditimbulkan pada arah yang dihendaki. 4. Sejauh mana suatu persoalan dianggap penting oleh khalayak akan mempengaruhi kemungkinan pengaruh media massa - "komunikasi massa efektif dalam menimbulkan pergeseran yang berkenaan dengan persoalan yang tidak dikenal, tidak begitu dirasakan, atau tidak begitu penting" 5. Pemilihan dan penafsiran isi oleh khalayak dipengaruhi oleh pendapat dan kepentingan yang ada dan oleh norma-norma kelompok. 6. Sudah jelas juga bahwa struktur hubungan interpersonal pada khalayak mengantarai arus isi komunikasi, membatasi. dan menentukan efek yang terjadi. (McQuail, 1975:41- 48) Secara singkat kita telah melacak perkembangan penelitian efek komunikasi dari periode Perang Dunia I sampai sekarang - suatu pesiar dalam kapsul waktu yang berlangsung kira-kira hampir setengah abad. Setengah abad memang tidak berarti apa-apa dalam sejarah peradaban manusia. Namun pada 50 tahun terakhir, dalam dunia komunikasi terjadi kemajuan komunikasi yang jauh lebih cepat daripada apa yang terjadi selama puluhan ribu tahun sebelumnya. Mungkin orang memandang pesimistis pada kebebasan manusia pada abad techneitronic (teknologi elcktronis) yang akan datang. Tetapi sepcrti telah kita katakan pada bagian terdahulu - manusia bukanlah robot yang pasif yang dikontrol lingkungan. Setiap manusia mempunyai cara yang unik untuk mengalami lingkungan secara fenomenologis. Karena itu, scbelum kita mengulas efek media massa, kita akan membicarakan dulu fakto-faktor yang mempcngaruhi reaksi khalayak pada media massa. 2. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Reaksi Khayalan pada Komunikasi Massa Seperti diuraikan di atas, jarum hypodermis menunjukan kekuatan media massa yang perkasa untuk mcngarahkan dan membentuk perilaku khalayak. Dalam kerangka behaviorisme, media massa adalah faktor lingkungan yang mengubah perilaku khalayak melalui proses pelaziman klasik, pelaz.iman operan, atau proses inr itasi (belajar sosial). Khalayak sendiri dianggap sebagai kepala kosong yang siap untuk mcnampung seluruh pesan komunikasi yang dicurahkan kepadanya (Dervin, l98l : 74). Pesan komunikasi dianggap scbagai "benda" yang dilihat sama baik oleh kompnikator maupun komunikate. Bila saya memberikan buku pada Anda, Anda akan menerima buku itu persis seperti yang saya berikan; bentuk buku tidak bcrubah. seperti itu jugalah pesan komunikasi. "Model peluru mcngasumsikan semua orang memberikan reaksi yang sama terhadap pesan. Ini mirip dengan percobaan-pcrcobaan kaum behaviours Bila setiap saat sesudah Anda mendengar suara Ebiet, Anda menerima makanan yang enak; lama-kelamaan suara Ebiet akan menitikkan air liur Realitas tidaklah sesederhana dunia kaum behavioris. Efek lingkungan berlainan pada orang yang berbeda. Munculnya psikologi kognitif yang memandang manusia sebagai organisme yang aktif mengorganisasikan stimuli, perkembangan teori kepribadian, dan meluasnya penelitian sikap (konsep yang ditemukan oleh W.I. Thomas dan Florian Znaniecki) mengubah potret khalayak. W, Philips Davison menulis, "Khalayak bukanlah penerima yang pasif tidak dapat dianggap sebagai sebongkah tanah liat yang dapat dibentuk oleh jago propaganda. Khalayak terdiri dari individu-individu yang menuntut sesuatu dari komunikasi yang menerpa mereka. Dengan kata lain, mereka harus memperoleh sesuatu dari manipulator jika manipulator itu ingin memperoleh sesuatu dari mereka. Terjadilah tawar-menawar. Khalayak dapat membuat proses tawar-menawar yang berat. (Davison, 1959:360) 2.a. Teori Defleur dan Ball-Rokeach tentang Pertemuan dengan Media Defleur dan Sandra Ball-Rokeach tentang teori-teori komunikasi dan pendekatan motivasional dari model uses and grati.fication. DeFleur dan BallRokeach melihat pertemuan khalayak dengan media berdasarkan tiga kerangka teoretis: perspektif perbedaan individual, perpsektif kategori sosial dan perspektif hubungan sosial. Perspektif perbedaan individual memandang bahwa sikap dan organisasi personal psikologis individu akan menentukan bagaimana individu memilih stimulasi dari lingkungan, dan bagaimana ia memberi makna pada stimuli tersebut. Perspektif kategori sosial berasumsi bahwa dalam masyarakat terdapat kelompok-kelompok sosial, yang reaksinuya pada stimuli tertentu cenderung sama. Golongan sosial berdasarkan usia, jenis kelamin, tingkat pendapatan, pendidikan, tempat tinggal dan keyaninan beragama menampilkan kategori respons. Anggotaanggota kategori tertentu akan cenderung memilih isi komunikasi yang sama dan akan memberi respon kepadanya dengan cara yang hampir sama pula. Perspektif hubungan sosial menekankan pentingnya peranan hubungan sosial yang informal dalam mempengaruhi reaksi orang terhadap media massa. Lazarfeld menyebutnya “pengaruh personal”. Seperti dijelaskan di muka, perspektif ini tampak pada model “two step flow of communication”. Dalam model ini, informasi bergerak melewati dua tahap. Pertama, informasi bergerak pada sekelompok individu yang rekatif lebih tahu dan sering memperhatikan media massa. Kedua, informasi bergerak dari orang-orang itu disebur “pemuka pendapat” dan kemudian melalui saluransaluran interpersonal disampaikan kepada individu yang bergantung kepada mereka dalam hal informasi. Secara singkat, berbagai faktor akan mempengaruhi reaksi orang terhadap media massa. Faktor-faktor ini meriputi organisasi personal psikologis individu seperti potensi biologis, sikap, nilai, kepercayaan, serta bidang pengalaman; kelompok-kelomfok sosial di mana individu menjadi anggota; dan hubunganhubungan interpersonal pada proses penerimaan, pengelolaan, dan penyampaian informasi. untuk memperjelas kesimpulan ini, ambillah contoh penggunaan media. Diduga orang yang berpendidikan rendah jarang membaca surat kabar, tetapi sering menonton televisi. Eksekutif dan kaum bisnis menyenangi rubrik niaga dalam surat kabar atau majalah. Telah diteliti bahwa kelompok menengah (middle class) cenderung menyukai acara pendidikan, berita, dan informasi. contoh-contoh ini membawa kita pada moder uses and grotification. 2.b. Pendekatan Motaivasional dan Uses and Grafitication Menurut para pendirinya, Elihu Katz, Jay G. Blumler, dan Michael Grrrevitch, uses and grotifications meneliti asal mula kebutuhan secara psikologis dan sosial, yang menimbulkan harapan tertentu dari media massa atau sumber-sumber lain, yang membawa pada pola terpaan media yang berlainan (atau keterlibatan pada kegiatan lain), dan menimbulkan pemenuhan kebutuhan dan akibat-akibat lain, barangkali termasuk juga yang tidak kita inginkan (Katz, Blumler, Gurevitch, 1974:20). Mereka juga merumuskan asumsi-asumsi dasar dari teori ini : l) Khalayak dianggap aktif; artinya, sebagian penting dari penggunaan media massa diasumsikan mempunyai tujuan. 2) Dalam proses komunikasi massa banyak inisiatif untuk mengaitkan pemuasan kebutuhan dengan pemilihan media terietak pada anggota khalayak. 3) Media massa harus bersaing dengan sumber-sumber lain untuk memuaskan kebutuhannya. Kebutuhan yang dipenuhi media hanyalah bagian dari rentangan kebutuhan manusia yang lebih luas. Bagaimana kebutuhan ini terpenuhi melalui konsumsi media amat bergantung kepada perilaku khalayak yang bersangkutan. 4) Banyak tujuan pemilih media massa disimpulkan dari data yang diberikan anggota khalayak; artinya, orang dianggap cukup mengerti untuk melaporkan kepentingan dan motif pada situasi-situasi tertentu. 5) Penilaian tentang arti kultural dari media massa harus ditangguhkan, sebelum diteliti lebih dahulu orientasi khalayak. (lllumler dan Katz,1914:22) Sebelum menceritakan berbagai motif yang mendorong orang menggunakan media, menurut McGuire, kita harus menjawab dulu pertanyaan: Betulkah konsumsi komunikasi massa merupakan perilaku yang didorong oleh motif ? Sebagian orang menyatakan-bahwa terpaan media lebih merupakan kegiatan yang kebetulan dan amat dipengaruhi faktor eksternal. Untuk keberatan kelompok pertama. kita harus mengakui bahwa lingkungan eksternal amat memainkan peranan yang amat penting dalam menentukan terpaan media. Kesempatan membaca surat kabar hanya ada bila ada agen surat kabar. Kita dapat menonton televisi bila siaran dapat diterima pada pesawat televisi kita walaupun demikian. ini tidak berarti bahwa faktor-faktor personal tidak mempengaruhi penggunaan media. Kita cenderung untuk menyukai media tertentu atau acara tertentu dari berbagai komunikhsi massa yang ada. Misalnya, saya selalu memutar radio BBC setiap pagi, walaupun pada jam yang sama saya dapat menangkap siaran ABC, VOA, RRI, bahkan radio-radio amatir. Agak sukar untuk menjelaskan bahwa kesukaahya ini hanya berdasarkan kebetulan saja. Ahli komunikasi lainnya menyebutkan dua fuungsi media massa ("aliran" bifungsional). Media massa memenuhi kebutuhan akan fantasi dan informasi menurut Weiss; atau hiburan dan informasi menurut Wilbur Sehramm. Yang lain lagi menyebutkan empat fungsi media massa dalam memenuhi kebutuhan: Surveilance (pengawasan lingkungan), correlation (hubungan sosial), hiburan dan transmisi kulturul sepcrti dirumuskan oleh Harold Lasswell dan Charles Wright. Motif Kognitif dan Gratifikasi Media Pada kelompok motif kognitif yang berorientasi pada pemeliharaan keseimbangan, McGuire menyebutkan empat teori : teori konsistensi yang menekankan kebutuhan individu untuk memelihara orientasi eksternal pada lingkungan. Teori kategorisasi yang menjelaskan upaya manusia untuk memberikan makna tentang dunia berdasarkan kategori internal dalam diri kita ; dan teori objektifikasi yang menerangkan upaya manusia untuk memberikan makna tentang dunia berdasarkan hal-hal eksternal. Teori konsistensi yang mendominasi penelitian psikoogi sosial pada tahun 1960-an memandang manusia sebagai mahluk yang dihadapkan pada berbagai konflik. Teori atribusi (lihat halaman 93) yang berkembang pada tahun 1960-an dan 1970-an memandang individu sebagai psikolog amatir yang mencoba memahami sebab-sebab yang terjadi pada berbagai peristiwa yang dihadapinya. Ia mencoba menemukan apa menyebabkan apa, atau apa yang mendorong siapa melakukan apa. Respons yang kita berikan pada suatu peristiwa bergantung pada interpretasi kita tentang peristiwa itu.'Kita tidak begitu gembira dipuji oleh orang yang menurut persepsi kita - menyampaikan pujian kepada kita karena ingin meminjam uang. Kita sering dipuji oleh orang asing yang - menurut persepsi kita memberikan pujian yang objektif. Teori kotegorisasi memandang manusia sebagai mahluk yang selalu mengelompokkan pengalamannya dalam kategorisasi yang sudah dipersiapkannya. Untuk setiap peristiwa sudah disediakan tempat dalam prakonsepsi yang dimilikinya. Dengan cara itu individu menyederhanakan pengalaman, tetapi juga membantu mengkoding pengalaman dengan cepat Menurut teori ini orang memperoleh kepuasan apabila sanggup memasukkan pengalaman dalam kategori-kategori yang sudah dimilikinya, dan menjadi kecewa bila pengalaman itu tidak cocok dengan prakonsepsinya. Pandangan ini menunjukkan bahwa isi komunikasi massa, yang disusun berdasarkan alur-alur cerita yang tertentu, dengan mudah diasimilasikan pada kategori yang ada. Bermacam-macam upacara, pokok dan tokoh, dan kejadiankejadian biasanya ditampilkan sesuai dengan kategori yang sudah diterima. Ilmuwan yang berhasil karena kesungguhannya, pengusaha yang sukses karena bekerja keras, dan proyek-proyek pembangunan yang menyejahterakan rakyat adalah contohcontoh peristiwa yang memperkokoh prakonsepsi bahwa kerja keras, kesungguhan, dan usaha melahirkan manfaat. Teori objektifikasi memandang manusia sebagai mahluk yang pasi, yang tidak beipikir, yang selalu mengandalkan petunjuk-petunjuk eksternal untuk merumuskan konsep-konsep tertentu. Teori ini menyatakan bahwa kita mengambil kesimpulan tentang diri kita dari perilaku yang tampak. Kita menyimpulkan bahwa kita menyenangi satu acara radio karena kita selalu mendengarkannya. Penelitian Schachter, misalnya, membuktikan bahwa rangsangan emosional yang sama dapat ditafsirkan bermacam-macam bergantung pada faktur situasi. Teori objektifikasi menunjukkan bahwa terpaan isi media dapat memberikan petunjuk kepada individu untuk menafsirkan atau mengidentifikasi kondisi perasaan yang tidak jelas, untuk mengatribusikan perasaan-perasaan negative pada taktor-faktor eksternal, atau memberikan kriteria pembanding yang ekstrem untuk perilakunya yang kurang baik. Untuk contoh yang terakhir kita dapat menyebutkan seorang pegawai yang merasa tidak begitu bersalah ketika ia menyelewengkan uang kantor setelah mengetahui peristiwa korupsi besar-besaran yang dilakukan orang lain. Keempat teori di atas (konsistensi, atribusi, kategorisasi, dan objektifikasi) menekankan aspek kognitif dari kebutuhan manusia, yang bertitik tolak dari individu sebagai mahluk yang memelihara stabilitas psikologisnya. Empat teori kognitif berikutnya otonomi, stimulasi, teori teleologis, dan utilitarian melukiskan individu sebagai mahluk yang berusaha mengembangkan kondisi kognitif yang dimilikinya. Teori otonomi, yang dikembangkan oleh psikolog-psikolog mazhab humanistik, melihat manusia sebagai mahluk yang berusaha mengaktualisasikan dirinya sehingga mencapai identitas kepribadian yang otonom. Dalam kerangka teori ini, kepribadian manusia berkembang melewati beberapa tahap sampai ia memiliki makna hidup yang terpadu. Teori stimulcsi memandang manusia sebagai mahluk yang "lapar stimuli", yang senantiasa mencari pengalaman-pengalaman baru, yang selalu berusaha memperoleh hal-hal yang memperkaya pemikirannya. Teori teleologis memandang manusia sebagai mahluk yang berusaha mencocokkan persepsinya tentang situasi sekarang dengan representasi internal dari kondisi yang dihendaki. Teori ini mcnggunakan komputer sebagai analogi otak. Dalam kerangka teori ini media massa merupakan sumber penluasan kebutuhan yang subur. Teori utilitarian memandang individu scbagai orang yang memperlakukan setiap situasi sebagai peluang untuk memperoleh informasi yang berguna atau keterampilan baru yang diperlukan dalam menghadapi tantangan hidup. Motif Afektif dan Gratifikasi Media Teori reduksi tegangan memandang manusia sebagai sistem tegangan yang memperoleh kepuasan pada pengurangan ketegangan. Teori ekspresy menyatakan bahwa orang memperoleh kepuasan dalam mcngungkapkan eksistcnsi dirinya menampakkan perasaan dan keyakinannya. Teori ego-defens,beranggapan bahwa dalam hidup ini kita mengembangkan citra diri yang tertentu dan kita berusaha untuk mempertahankan citra diri ini serta berusaha hidup sesuai dengan diri dan dunia kita. Teori peneguhan memandang bahwa orang dalarn situasi tcrtentu akan bertingkah laku dengan suatu cara yang membawanya kepada ganjaran seperti yang telah dialaminya pada waktu lalu. Teori penonjolan (assertion) mcmandang manusia sebagai mahluk yang selalu mengembangkan seluruh potensinya untuk memperoleh penghargaan dari dirinya dan dari orang lain . Teori afiliasi (affiliation) memandang manusia sebagai makhluk yang mencari kasih sayang dan penerimaan orang lain . Ia ingin memelihara hubungan baik dalam hubungan interpersonal dengan saling membantu dan saling mencintai. Teori identifikasi melihat manusia sebagai pemain peranan yang berusaha memuaskan egonya dengan menambahkan peranan yang memuaskan pada konsep dirinya. Teori Mcluhan, disebut teori perpanjangon alat indra (sense extension theory), menyatakan bahwa media adalah perluasan dari alat indra manusia; telepon adalah perpanjangan telinga dan televisi adalah perpanjangan mata. Seperti Gatutkaca, yang mampu melihat dan mendengar dari jarak jauh, begitu pula manusia yang menggunakan media massa. Mcluhan menulis, "Secara operasional dan praktis, medium adalah pesan. Ini berarti bahwa akibat-akibat personal dan sosial dari media yakni karena perpanjangan diri kita timbul karena skala baru yang dimasukkan pada kehidupan kita oleh perluasan diri kita atau oleh teknologi baru media adalah pesan karena media membentuk dan mengendalikan skala serta bentuk hubungan dan tindakan manusia" (Mcluhan, 1964:23-24) Efek ekonomis tidaklah menarik perhatian para psikolog (memang itu bukan bidangnya). Kita mengakui bahwa kehadiran media massa menggerakkan berbagai usaha produksi, distribusi, dan konsumsi "jasa" media massa. Kehadiran surat kabar berarti menghidupkan pabrik yang mensuplai kertas koran, menyuburkan pengusaha percetakan dan grafika, memberi pekerjaan pada wartawan, ahli rancang grafis, pengedar, pengecer, pencari iklan, dan sebagainya. Kehadiran televise. di samping menyedot energi listrik - dapat memberi nafkah para juru kamera, juru rias, pengarah acara, dan belasan profesi lainnya. Dalam literatur ilmu komunikasi, hampir tidak pernah efek ekonomi ini diteliti atau diulas. Efek sosial berkenaan dengan perubahan pada struktur atau interaksi sosial akibat kehadiran media massa. Sudah diketahui bahwa kehadirantelevisi meningkatkan status status sosial pemiliknya. Di pedesaan, televisi telah membentuk jaringan-jaringan interaksi sosial yang baru. Pemilik televisi sekarang menjadi pusat jaringan sosial, yang menghimpun di sekitarnya tetangga dan penduduk desa seideologi. Televisi telah menjadi sarana untuk enciptakan hubungan "patron-client" yang baru (Suparlan, 1979) efek sosial tampaknya lebih relevan dibicarakan oleh ahli sosiologi ketimbang ahli psikologi. Steven H. Chaffee menyebut dua efek lagi akibat kehadiran media massa sebagai obyek fisik: hilangnya perasaan tidak enak dan tumbuhnya perasaan tertentu terhadap media massa. Waktu nrembicarakan Uses and Gratifications, kita telah melihat bagaimana orang menggunakan media untuk memuaskan kebutuhan psikologis. Sering terjadi orang juga menggunakan media untuk menghilangkan perasaan tidak enak misalnya kesepian, marah, kecewa, dan sebagainya. Media dipergunakan tanpa mempersoalkan isi pesan yang disampaikannya. Gadis yang kesepian memutar radio tanpa mempersoalkan programa yang disiarkan; pemuda yang kecewa menonton televisi, kadang-kadang tanpa menaruh perhatian pada acara yang disajikan; orang marah masuk ke gedung bioskop, hanya sekadar untuk menenangkan kembali .perasaannya-. Kehadiran media massa bukan saja menghilangkan perasaan, ia pun menumbuhkan perasaan tertentu. Kita memiliki perasaan positif atau negative pada media tertentu. Di Amerika orang melihat kecintaan anak-anak pada televisi, yang ternyata lebih sering menyertai mereka dari pada orang tua mereka. Televisi juga terbukti lebih dipercaya daripada keduanya. Itu di Amerika. Di Indonesia, penelitian penulis pada tokoh-tokoh politik membuktikan buku sebagai media terpercaya, disusul radio, dan surat kabar; dan yang paling tidak dapat dipercaya adalah televisi Tumbuhnya perasaan senang atau percaya pada media massa tertentu mungkin erat kaitannya dengan pengalaman individu bersama media massa tersebut; boleh jadi faktor dari pesan mula-mula amat berpengaruh,. tetapi kemudian jenis media itu yang diperhatikan, apa pun yang disiarkannya. 2.c. Efek Kognitif Komunikasi Massa Wilbur Schramm (1977:13) mendefinisikan informasi sebagai segala sesuatu yang mengurangi ketidakpastian atau mengurangi ketidakpastian atau mengurangi jumlah kemungkinan alternative dalam situasi misalkan, seseorang insinyur genetic datang memberitahukan bahwa mahluk itu adalah "chimera", hasil perkawinan gen manusia dengan gen monyet. Ketidakpastian Anda berkurang, dan alternatif tindakan yang harus Anda lakukan juga berkurang. Bila setelah Anda tanyakan mahluk itu ternyata jinak dan cerdas, maka makin sedikit alternatif tindakan Anda. Sekarang realitas didepan Anda bukan lagi realitas tak berstruktur. Informasi yang anda peroleh telah menstruktur atau mengorganisasikan realitas. Realitas itu sekarang tampak sebagai gambaran yang mempunyai makna. Gambaran tersebut lazim disebut Citra (image), yang menurut Roberts (1977) representing the totality of all information about the world any individual has processed, organized, and stored" (menunjukkan keseluruhan informasi tentang dunia ini yang telah diolah, diorganisasikan, dan disimpan individu) . Citra adalah peta Anda tentang dunia. Tanpa citra Anda akan selalu berada dalam suasana yang tidak pasti. Citra adalah gambaran tentang realitas dan tidak harus selalu sesuai dengan realitas, Citra adalah dunia rnenurut persepsi kita. Walter Lippman (1965) menyebutnya "pictures in our head". Lippman bercerita tentang suatu koloni yang dihuni orang Prancis dan Jerman. Mereka hidup rukun. sampai satu saat mengetahui bahwa di Eropa kedua bangsa itu sudah berperang selama lebih dari enam minggu. Sekarang, citra Jerman berubah bagi orang Prancis; mereka musuh orang Prancis. Tetapi enam minggu mereka telah bersahabat 2.d. Efek Afektif Komunikasi Massa Pembentukan dan perubahan Sikap Pada tahun 1960, Joseph Klapper melaporkan hasil penelitian yang komprehensif tentang efek media massa. Dalam hubungannya dengan pembentukan dan perubahan sikap, pengaruh media massa dapat disimpulkan pada lima prinsip umum : 1. Pengaruh komunikasi massa diantarai oleh faktor-faktor seperti predisposisi personal, proses selektif, keanggotaan kelompok (atau hal-hal yang dalam buku ini disebut faktor personal). 2. Karena faktor-faktor ini, komunikasi massa biasanya berfungsi memperkokoh sikap dan pendapat yang ada, walaupun kadang-kadang berfungsi sebagai media pengubah (agent of change). 3. Bila komunikasi massa menimbulkan perubahan sikap, perubahan kecil pada intensitas sikap lebih umum terjadi daripada "konversi" (perubahan seluruh sikap) dari satu sisi masalah ke sisi yang lain. 4. Komunikasi massa cukup efektif dalam mengubah sikap pada bidang-bidang di mana pendapat orang lemah, misalnya pada iklan komersial. 5. Komunikasi massa cukup afektif dalam menciptakan pendapat tentang masalahmasalah baru bila tidak ada predisposisi yang harus diperteguh (Oskamp, 1971:149). Menurut Asch, semua sikap bersumber pada organisasi kognitif pada informasi dan pengetahuan yang kitamiliki. Sikap selalu diarahkan pada objek, kelompok, atau orang. Rangsangon Emosional Suasana emosional yang mendahului terpaan stimuli mewarnai respons kita pada stimuli itu. Faktor kedua, yang mempengaruhi intensitas emosional ialah skema kognitif. Ini adalah semacam "naskah" pada pikiran kita yang menjelaskan "alur" peristiwa. Faktor ketiga yang mempengaruhi efek emosional media massa ialah suasana terpaan (settiis of exposure). Faktor predisposisi individual mengacu pada karakteristik khas individu. Orang yang melankolis cenderung menanggapi tragedi lebih terharu daripada orang periang. Sebaliknya orang periang akan lebih terhibur oleh adegan lucu dari pada orang melankolis. Faktor identifikasi menunjukkan sejauh mana orang merasa terlibat dengan tokoh yang ditampilkan dalam media massa.dengan identifikasi penonton, pembaca atau pendengar menempatkan dirinya dalam posisi tokoh. Ia ikut merasakan apa yang dirasakan tokoh, karena itu, ketika tokoh identifikasi (disebut identifikan) itu kalah. Ia juga kecewa ketika identifikan berhasil, ia ikut gembira. Mungkin juga kita menganggap seorang tokoh dalam televisi atau film sebagai lawan kita. Yang terjadi sekarang ialah disidentifikasi. Dalam posisi seperti ini, kita gembira bila diidentifikan celaka, dan jengkel bila ia berhasil. Semuanya ini menunjukan bahwa makin tinggi identifikasi kita dengan tokoh yang disajikan, maka besar intensitas emosional pada diri kita akibat terpaan pesan media massa. Rangsangan Seksual The Commission on Obscenity ond Pornography di Amerika Serikat mencoba menjawab pertanyaan di atas dengan penelitian yang cukup luas. Tahun 1971, laporannya direrbirkan dengan judul The Report oJ. the Commision on Obscenity and Pornography. Di antara kesimpulankesimpulan penelitian itu dinyatakan bahwa terpaan erotika walaupun singkat membangkitkan gairah seksual pada kebanyakan pria dan wanita; di samping itu ia juga menimbulkan reaksi-reaksi emosional lainnya seperti "resah", "impulsif", "agresif", dan "gelisah". Penelitian di atas merupakan proyek besar dan nasional. Hasilnya membenarkan anggapan kebanyakan orang bahwa materi erotika bukan hanya hiburan yang netral. Pornografi terbukti membangkitkan rangsangan seksual. Yang belum terjawab dalam penelitian itu sebenarnya bahkan yang paling menarik perhatian kita ialah: mengapa orang bisa merangsang secara seksual oleh media erotika, padahal rangsangan seksual adalah hal yang biologis; pesan media massa yang bagaimana yang sangat merangsang; dan yang mengherankan kita - mengapa sepanjang zaman.manusia selalu menyukai stimuli erotis. 2.d. Efek Behvioral Komunikasi Massa Efek Prososial Behavioral Salah satu perilaku prososial ialah memiliki keterampilan yang bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang lain. Keterampilan seperti ini biasanya diperoleh dari saluran-saluran interpersonal: orang tua, atasan, pelatih, atau guru. Pada dunia modern, sebagian dari tugas mendidik telah juga dilakukan media massa. Buku, majalah, dan surat kabar sudah kita ketahui mengajarkan kepada pembacanya berbagai keterampilan. Buku teks menyajikan petunjuk penguasaan keterampilan secara sistematis dan terarah. Majalah profesi memberikan resep-resep praktis dalam mengatasi persoalan. Surat kabar membuka berbagai ruang keterampilan seperti fotografi, petunjuk penggunaan komputer mini, resep makanan, dan sebagainya. Yang sering diragukan orang adalah pengaruh prososial behavioral media elektronis seperti radio, televisi, atau film. Agresi sebagai ef'ek Komunikasi Massa. Menurut teori belajar sosial dari Bandura, orang cenderung meniru perilaku yang diamatinya; stimuli menjadi teladan untuk perilakunya. Orang belajar bahasa Indonesia yang baik setelah mengamatinya di televisi. wanita juga meniru potongan rambut Lady Di yang disiar dalam media massa. Secara singkat, hasil penelitian tentang efek adegan kekerasan dalam film atau televisi dapat disimpulkan pada tiga tahap: (1) mula-mula penonton mempelajari metode agresi setelah melihat contoh (observational learning); (2) selanjutnya, kemampuan penonton untuk mengendalikan dirinya berkurang (disinhibition) dan (3) akhirnya, mereka tidak lagi tersentuh oleh orang yang menjadi korban agresi (desensitization). Jadi, film kekerasan mengajarkan agresi, mengurahgi kendali moral penontonnya dan menumpulkan perasaan mereka. Teori-Teori Efek Sosial Komunikasi Masso Menurut Innis (1951), media mempengaruhi bentuk-bentuk organisasi sosial. Setiap media memiliki kecenderungan memihak ruang atau waktu communication bias. Perekam pesan pada zaman dahulu seperti batu, tanah liat, kulit kayu - sukar diangkut ke tempat-tempat jauh, tetapi tahan lama. Ini berarti bias pada waktu. Kertas cetak, sebaliknya, mudah diangkut ke mana pun, tetapi tidak begitu tahan lama. media cetak bias pada ruang. Bila komunikasi yang dilakukan bias pada ruang artinya, pesan dapat disampaikan ke tempat-tempat yang jauh orang cenderung bergerak ke tempat-tempat yang jauh, sehingga terjadi ekspansi teritorial, mobilisasi penduduk secara horizontal, dan kekaisaran. Sebaliknya, bila komunikasi bias pada waktu, orang tinggal pada suatu ruang yang terbatas, pada kelompok yang terikat erat karena sejarah, tradisi, agama, dan keluarga. Bias waktu membawa ke masa lalu, bias ruang membawa ke masa depan. Dengan demikian, setiap media komunikasi membentuk jenis kebudayaan tertentu. Media lisan mengandung bias waktu, karena sukar didengar dari jarak jauh. Ini melahirkan masyarakat tradisional dan kekuasaan kelompok agama serta orang-orang tua. Media tulisan memiliki bias ruang. Ini melahirkan masyarakat yang menolak tradisi, meninggalkan mitos dan agama, serta berorientasi pada masa depan. Penelitian Phillips menarik. Apalagi setelah ia juga menganalisa hubungan antara publikasi peristiwa bunuh diri dengan kecelakaan pesawat terbang di Amerika Serikat. Tampaknya, banyak pilot yang membunuh diri dengan mencelakakan pesawat yang dikendalikannya, berikut penumpang-penumpangnya, karena "terilhami" oleh peristiwa bunuh diri yang dilihatnya pada media massa. Yang lebih menarik lagi sebetulnya penjelasan Phillips tentang teorinya. Ia menyebut proses imitasi ini sebagai penularan kultural (cultural contagion) yang ia analogikan dengan penularan penyakit (biological contagion). Ia menyebutkan enam karakteristik penulaian kultural: 1) Periode Inkubasi. Dalam penularan penyakit, gejala penyakit baru muncul beberapb saat setelah orang dikenai mikroorganisme. Phillips, membuktikan bahwa peristiwa bunuh diri berikutnya terjadi rata-rata tiga atau empat hari sesudah pemberitaan bunuh diri. 2) Imunisasi. Penyakit menular dapat dihindari dengan imunisasi. Kita, dapat mengimunisasi orang terhadap penyakit cacar dengan menginjeksikan dalam dosis kecil mikroorganisme lain yang sejenis (misalnya, cowpox). Begitu pula, orang tidak akan terpengaruh oleh peristiwa bunuh diri, bila kepadanya telah diberikan berita-berita bunuh diri yang kecil-kecil. 3) Penularan Khusus atas (umum. Dalam penularan biologis, mikroorganisme tertentu hanya menyebabkan penyakit tertentu. Bakteri diphteria hanya menyebabkan diphteria. Menurut Phillips, kisah bunuh diri ternyata dapat menular khusus dan juga umum. Peristiwa seseorang yang bunuh diri menyebabkan kecelakaan kendaraan yang ditumpangi oleh pengemudinya saja; tetapi juga dapat mendorong peristiwa bunuh diri dan kecelakaan mobil. 4) Kerentanan untuk Dilulari. Orang-orang yang terganggu kesehatan biologisnya mudah ditulari penyakit. Demikian pula mereka yang psikologis sakit (misalnya rendah diri, sering gagal, kehilangan pegangan hidup) cenderung mudah meniru peristiwa bunuh diri 5) Media Infeksi. Beberapa penyakit ditularkan lebih efektif lewat media tertentu. Kolera lebih mudah menyebar melalui air daripada udara Pneumonia sebaliknya. Dalam penelitian Phillips, peristiwa bunuh diri lebih cepat menular bila diberitakan oleh surat kabar daripada televisi. 6) Karantina. Penyebaran penyakit dapat dihentikan dengan mengkarantinakan individu yang menderita penyakit itu. Penderita TBC dikirim ke sanatorium. Phillips menemukan bahwa peniruan bunuh diri dapat dikurangi dengan mengurangi publisitas peristiwa bunuh diri, Ia juga menemukan bahwa berita bunuh diri yang dimuat pada halaman dalam (halaman 3 atau 4) surat kabar tidak menimbulkan efek pada kematian berikutnya. Menurut Phillips, analogi ini tidak seluruhnya benar. Masih diperlukan penelitian lebih lanjut. la juga menambahkan bahwa penelitian yang dilakukannya berkenaan dengan perilaku patologis (penyakit). Belum banyak dilakukan penelitian perilaku nonpatologis seperti mode rambut, cara berbahasa, gaya bertingkah, dan sebagainya. Betapapun belum sempurnanya teori Phillips, bersama dengan teoretisiteoretisi lainnya, ia telah memberikan kepada kita gambaran tentang efek-efek media massa. Bab ini memang cukup panjang, karena bagi kita yang hidup di alam modern media massa telah banyak mcngubah perilaku kita lebih dari pada apa yang kita sadari tidak berlebih-lebihan bila Gerbner, berkata bahwa media massa telah menjadi agama resmi masyarakat industri.