Uploaded by Charming Shahnaz

LAPORAN HASIL TUTORIAL bencana

advertisement
LAPORAN HASIL TUTORIAL
“Skenario Banjir”
DISUSUN
OLEH :
Kelompok 2
Jetliani Nicepa Doran
(C12116017)
Fitrah Ardillah
(C12116019)
Nurfita Dewi
(C12116020)
Saznita Tadjuddin
(C12116026)
Harfiah Lutfah Ilham
(C12116030)
Amalia Andyka P.Ys
(C12116310)
Greysia Winona Sumbung
(C12116315)
Andi Taufiqurrahman
(C12116327)
Ismayani Safitri
(C12116501)
Novianti Irwan
(C12116512)
Shahnaz Fathirrizky
(C12116516)
Alim Nur Pattaah
(C12116523)
Amelia Hisage
(C12116701)
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2018
Bencana banjir melanda Sulawesi Selatan pada hari selasa tanggal 22 januari 2019.
Bencana ini terjadi di 14 daerah yakni Kota Makassar, Kabupaten Gowa, Kabupaten
Takalar, Kabupaten Jeneponto, Kabupaten Bantaeng, Kabupaten Maros, Kabupaten
Pangkep, Kabupaten Barru, Kabupaten Soppeng, Kabupaten Wajo, Kabupaten Sidrap,
Kabupaten Selayar, Kabupaten Sinjai, dan Kabupaten Tana Toraja. Banjir ini terjadi
disebabkan oleh tingginya curah hujan. Pemerintah menetapkan status tanggap darurat
selama 2 minggu. Dampak yang ditimbulkan adalah jatuhnya korban jiwa sebanyak 78
orang meninggal, 3 orang dinyatakan hilang, rusaknya fasilitas umum seperti tempat
ibadah sebanyak 12 unit, panjang jalan yang rusak 15.785 meter, sekolah sebanyak 70
unit, jembatan sebanyak 34 unit, serta kesulitan dalam mengakses air bersih. Selain itu
rumah yang terendam sebanyak 22.156 unit, hanyut 33 unit serta rusaknya beberapa
tambak dan sawah. Akses jalan menuju kota Makassar dari jeneponto dan juga barru
terputus. Dikabarkan pengungsi akibat dari bencana ini mencapai 9.429 jiwa. Dampak
lain yang ditimbulkan dari bencana ini adalah adanya trauma yang dialami oleh korban
banjir.
Skenario Banjir
1) Klarifikasi Kata-Kata Kunci
a. Bencana
: Kejadian atau keadaan yang mengancam jiwa dan juga
dapat menyebabkan kerusakan fasilitas yang biasanya disebabkan oleh faktor
alam maupun buatan.
b. Status tanggap darurat : suatu himbauan kepada masyarakat untuk tetap
waspada untuk terhadap bencana/ situasi yang mengancam.
c. Banjir
: kondisi dimana meningkatnya volume air/berlebihnya
jumlah air yang memasuki/ menggenangi pemukiman maupun fasilitas
d. Pengungsi
: sekumpulan orang yang berpindah kesuatu wilayah
yang lebih aman disebabkan kondisi yang mengancam/bencana
e. Curah hujan
: intensitas hujan dalam kurun waktu yang tertentu
f. Trauma
: suatu keadaan dimana terjadinya cedera fisik dan
psikis
g. Korban
: sekumpulan orang/individu yang terkena dampak dari
suatu keadaan yang merugikan
2) Peta Konsep
Penyebab :
PRA
Bencana
Pencegahan :
- Curah hujan
- Drainase yang kurang
baik
- Buang sampah
sembarangan
- Penebang pohon liar
- Reklamasi
- Pemanasan global
- Reboisasi
- Perbaikan drainase
- Pembuatan TPA atau
tingkat kesadaran buang
sampah
- Pemkes
BANJIR
PASCA
Dampak :
# Korban
-
K. jiwa (meninggal)
Pengungsi
K. Trauma : Psikis & Fisik
K. hilang
# Rusaknya fasilitas
-
Umum : Jembatan, sekolah, tempat
ibadah, jalan
Pribadi : Rumah,tambak,sawah
# Kekurangan air bersih
Pencegahan :





Evakuasi korban
Pembuatan posko
- Kesehatan
- Dapur
- Bantuan
- Pengungsian
Air bersih & MCK
Pembangunan fasilitas umum
sementara
- RS lapangan
- Sekolah darurat
Trauma healing
# Masalah kesehatan : diare, DBD dll
Intra bencana
Pasca bencana
3) Pertanyaan-Pertanyaan Penting
1. Apa yang harus dilakukan pertama kali ketika terjadi banjir ?
2. Bagaimana penanggulangan agar tidak terjadi banjir ?
3. Peran instansi pemerintahan dalam pre & post bencana banjir ?
4. Masalah kesehatan yang timbul dari bencana banjir ?
5. Peran perawat dalam penanganan korban banjir ?
6. Jelaskan status kebencanaan dalam hal yang harus dilakukan ditiap levelnya ?
7. Jelaskan tingkatan kewaspadaan atau siklus bencana serta upaya yang dilakukan
disetiap tingkatannya ?
8. Berapa lama jangka waktu pencarian bagi korban hilang ?
9. Penanganan terhadap tingginya jumlah pengungsi ?
10. Bagaimana cara menangani kebutuhan dipengungsian seperti air bersih, makanan,
pakaian dan kesehatan ?
11. Bagaimana proses penyaluran bantuan pada daerah terisolasi ?
4) Jawaban Penting
1.
-
Membuka Pos Kesehatan
-
Membantu Evakuasi Korban
-
Memberikan Pertolongan Pada Korban
-
Memberikan pelayanan Kesehatan Gratis
-
Merujuk penderita jika diperlukan
-
Melakukan penilaian kesehatan secara cepat
-
Membuat pencatatan dan pelaporan
2. Dalam menangulangi banjir, kita perlu melakukan pengelolaan Daerah Aliran
Sungai (DAS) yaitu :
-
Pengelolaan dan konservasi lahan pertanian
-
Pembuatan dan pemeliharaan saluran air
-
Pembangunan terjunan air dan sebagainya
-
Pemeliharaan tebing sungai
-
Pengembangan infrastruktur yang sesuai (misalnya pembangunan sarana irigasi
dan tinggi tanggul sungai )
3. Menurut Carter (1991) penanggulangan bencana alam (disaster management)
perlu
diselenggarakan
melalui
tahap-tahap:
Persiapan
(preparation),
Penghadangan/penanganan (Facing disaster), Perbaikan akibat kerusakan
(reconstruction), Pengfungsian kembali prasarana dan sarana sosial yang rusak
(Rehabilitation), dan Penjinak gerak alam yang menimbulkan bencana
(Mitigation).
Manajemen bencana banjir khusunya pada mitigasi diterapkan, guna untuk
mencegah dampak dari bencana banjir. Mitigasi perlu untuk dilakukan untuk
mengurangi resiko dari bencana banjir serta bisa untuk meningkatkan kemampuan
masyarakat serta organisasi dalam penanganan bencana banjir. Menurut UU No
24 Tahun 2007 Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko
bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Mitigasi sangat berperan dalam pengurangan resiko bencana banjir, dengan
mitigasi dampak bencana banjir dapat diminimalisir dengan baik. pengetahuan
dan kemampuan masyarakat maupun stakeholder dapat menigkat dalam
penanganan bencana banjir, sehingga korban jiwa, kehilangan harta benda serta
dampak dari bencana banjir lainnya dapat ditangani
Penyelenggaraan mitigasi bencana banjir seluruhnya dilaksanakan oleh
pemerintah. Pemerintah bertanggung jawab penuh dalam penyelesaian masalah
bencana, khususnya pada hal mitigasi bencana banjir. Peran dan tanggung jawab
pemerintah telah diatur pada UU No. 24 Tahun 2007, bahwa penyelenggaraan
tanggung penanggulangan bencana diserahkan pada pemerintah pusat, pemerintah
daerah, dan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), namun pada pasal
28, 29, dan 30 UU No. 24 Tahun 2007 merumuskan lembaga usaha dan organisasi
international dalam penanggulangan bencana baik secara sendiri mapun bersamasama. Peran pemerintah pusat tersebar di berbagai Kementerian serta lembaga
non kementerian, masing-masing mempunya fungsi dan peran dalam hal mitigasi
bencana banjir.
Peran serta semua lembaga pemerintah dalam mitigasi bencana banjir
menyebar dihampir seluruh instansi/institusi, baik kementrian maupun lembaga
non kementrian. Hal ini menunjukan masing-masng lembaga mempunyai andil
yang berbeda-beda dalam mitagasi bencana banjir. Penyelenggaraan mitigasi
bencana banjir, setiap lembaga saling berkoordinasi antara satu sama lain. Selain
pemerintah pusat, pemerintah daerah mempunyai peran dalam hal mitigasi
bencana banjir, namun tugas dan fungsi yang dilakukan searah dengan pemerintah
pusat. Perbedaan penanganan mitigasi bencana banjir antara pemerintah pusat
daerah ialah pada tata letak wilayah, pemerintah pusat melaksanakan mitigasi
secara menyeluruh di wilayah Indonesia, sedangkan pemerintah daerah pada
daerah otonomnya sendiri.
Fungsi dan peran pemerintah daerah sangat jelas dalam mitigasi bencana
banjir, pemerintah daerah meyusun rencana penanggulangan bencana meliputi,
mitigasi, kegiatan pra bencana dan pasca benca. Kegiatan yang dilakukan oleh
pemerintah daerah berkoordinasi pada semua instasi terkait yang mempunya
fungsi dalam mitigasi bencana banjir. Pemerintah daerah juga melakukan
koordinasi terhadap penyusunan rencana penanggulangan bencana banjir dengan
BPBD, karena lembaga atau institusi BPBD mempunyai kewenangan lebih
terhadap mitigasi bencana banjir. Pada dasarnya pemerintah daerah dan BPBD
mempunyai kedudukan yang sama dalam penanganan mitigasi bencana banjir,
BPBD sendiri merupakan bentukan dari BNPB yang dimana lembaga ini memiliki
kewenangan yang besar terhadap penanggulangan bencana yang bertanggung
jawab langsung pada Presiden.
Badan
Nasional
Penanggulangan
Bencana
(BNPB)
dan
Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) mempunyai tugas dan fungsi yang
langsung dalam kewenangan penanganan mitigasi bencana banjir. Secara khusus
BNPB dan BPBD menjadi pusat koordinasi seluruh instansi/institusi yang terkait
dalam mitigasi bencana banjir. Penanggulangan bencana baik tingkat daerah
mapun pusat, terlebih dahulu berkoordinasi dengan BNPB dan BPBD.
Selain Pemerintah Pusat, pemerintah daerah dan BNPB, penanggulangan
bencana khusnya pada mitigasi bencana banjir, dilakukan oleh lembaga swasta
dan international. Peran lembaga swasta dan international dalam mitigasi bencana
banjir antara lain membantu pengumpulan bantuan untuk disalurkan kepada
korban bencana banjir bandang; membantu proses rehabilitasi dan rekonstruksi
daerah yang terkena bencana; dan membantu penyediaan data berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan secara independent oleh lembaga yang bersangkutan.
Pada tahap pra bencana dilakukan
(1) membuat peta rawan bencana oleh BASOKURTANAL, BPBD
(2) membangun, meningkatkan, memperbaiki atau normalisasi, dan memelihara
sungai, tampungan air, dan drainase beserta peralatan dan fasilitas penunjangnya;
(3) menyusun peraturan dan menertibkan daerah bantaran sungai;
(4) membuat peta daerah genangan banjir;
(5) sosialisasi dan pelatihan prosedur tetap penanggulangan banjir;
(6) menegakkan hukum terhadap pelanggaran pengelolaan daerah aliran sungai;
(7) menyediakan cadangan pangan dan sandang serta peralatan darurat banjir
lainnya;
(8) membuat sumur resapan;
(9) pemantapan Satkorlak PBP;
(10)
merevisi tata ruang propinsi maupun kota secara terkoordinasi dan
terintegrasi;
(11)
mengendalikan perkembangan lingkungan dan pengembangan daerah
(12)
membuat penampungan air berteknologi tinggi;
(13)
menerapkan pengelolaan sungai terpadu berdasarkan satuan wilayah
hulu;
sungai (SWS) dan
memberdayakan kelembagaan pengelolaan SWS;
(14) membangun fasilitas pengolah limbah dan sampah;
(15) mereboisasi kota dan daerah hulu;
(16) mendirikan Posko banjir di wilayah RT/ RW
Kebijakan dan program pada tahapan ketika terjadi bencana, berupa:
(1) pemberitahuan dini kepada masyarakat tentang kondisi cuaca;
(2) menempatkan petugas pada pos-pos pengamatan;
(3) menyiapkan sarana penanggulangan, termasuk bahan banjiran;
(4) mengevakuasi dan mengungsikan penduduk ke daerah aman, sesuai yang telah
direncanakan dengan memanfaatkan seluruh komponen masyarakat, TNI, Polri,
Satlak PBP, Satkorlak PBP, Badan SAR Nasional (Basarnas), dan Karang Taruna;
(5) memberikan bantuan pangan, pakaian, dan peralatan kebutuhan lainnya, serta
pelayanan kesehatan darurat kepada korban bencana;
(6) mendata lokasi dan jumlah korban bencana.
Pada tahap setelah banjir, kebijakan dan program yang telah dilakukan di daerah studi
umumnya masih bersifat fisik, sedangkan yang bersifat non fisik masih belum ditemui.
Program dan kegiatan fisik yang telah dilakukan adalah:
(1) pendataan kerusakan bangunan dan fasilitas publik;
(2) memperbaiki prasarana publik yang rusak;
(3) pembersihan lingkungan;
(4) mengajukan usulan pembiayaan program pembangunan fasilitas penanggulangan
banjir
Tingkat pusat (Mudjiharto, 2011)
1). Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
BNPB merupakan lembaga pemerintah non departemen setingkat menteri yang
memiliki fungsi merumuskan dan menetapkan kebijakan penanggulangan bencana
dan penanganan pengungsi secara cepat, tepat, efektif dan efisien serta
mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara
terencana, terpadu dan menyeluruh. Adapun tugas dari BNPB adalah sebagai
berikut:
a. memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha penanggulangan bencana
yang mencakup pencegahan bencana, penanganan tanggap darurat, rehabilitasi,
dan rekonstruksi secara adil dan setara;
b. menetapkan standardisasi dan kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan
bencana berdasarkan peraturan perundangundangan;
c. menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat;
d. melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada Presiden setiap
sebulan sekali dalam kondisi normal dan pada setiap saat dalam kondisi darurat
bencana;
e. menggunakan dan mempertanggungjawabkan sumbangan/bantuan nasional dan
internasional;
f. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara;
g. melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan peraturan perundangundangan; dan
h. menyusun pedoman pembentukan BPBD.
2) Kementerian Kesehatan
Tugas dan kewenangan Kementerian Kesehatan adalah merumuskan kebijakan,
memberikan standar dan arahan serta mengkoordinasikan penanganan krisis dan
masalah kesehatan lain, baik dalam tahap sebelum, saat maupun setelah
terjadinya. Dalam pelaksanaannya dapat melibatkan instansi terkait, baik
pemerintah maupun non pemerintah, LSM, lembaga internasional, organisasi
profesi maupun organisasi kemasyarakatan sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku. Selain itu Kementerian Kesehatan secara
aktif membantu mengoordinasikan bantuan kesehatan yang diperlukan oleh
daerah yang mengalami situasi krisis dan masalah kesehatan lain.
Struktur organisasi dalam Kementerian Kesehatan pada penanggulangan bencana
a) Hubungan antara BNPB dan Kementerian Kesehatan
Dalam Peraturan Presiden No 8 tahun 2008 tentang Badan Nasional
Penanggulangan Bencana dinyatakan bahwa dalam menjalankan tugas dan
fungsinya, BNPB dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat dan salah satu unsur pengarah BNPB adalah pejabat eselon
1 Kementerian Kesehatan. Hubungan antara BNPB dan Kementerian Kesehatan
terlihat pada diagram dibawah
b) Pusat Penanggulangan Krisis Regional
Kementerian Kesehatan membentuk 9 (sembilan) Pusat Bantuan Regional
Penanganan
Krisis
Kesehatan
yang
berperan
untuk
mempercepat
dan
mendekatkan fungsi bantuan kesehatan dan masing‐masing dilengkapi dengan
SDM kesehatan terlatih dan sarana, bahan, obat serta perlengkapan kesehatan
lainnya,
Pusat Regional Penanganan Krisis Kesehatan berfungsi:
-
sebagai pusat komando dan pusat informasi (media centre) kesiapsiagaan dan
penanggulangan kesehatan akibat bencana dan krisis kesehatan lainnya;
-
fasilitasi buffer stock logistik kesehatan (bahan, alat dan obatobatan);
-
menyiapkan dan menggerakkan Tim Reaksi Cepat dan bantuan SDM kesehatan
yang siap digerakkan di daerah yang memerlukan bantuan akibat bencana dan
krisis kesehatan lainnya;
-
sebagai pusat networking antara 3 komponen kesehatan dalam regional tersebut
yaitu dinas kesehatan, fasilitas kesehatan dan perguruan tinggi.
c). Unit Pelaksana Teknis Kementerian Kesehatan
Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) dan Balai Teknis Kesehatan Lingkungan
Pemberantasan Penyakit Menular (BTKL) serta Laboratorium Kesehatan Daerah
(Labkesda) merupakan unit‐unit pelaksana teknis Kemenkes di daerah. KKP
berperan dalam memfasilitasi penanganan keluar masuknya bantuan sumber daya
kesehatan melalui pelabuhan laut/udara dan daerah perbatasan serta karantina
kesehatan. BTKL berperan dalam perkuatan sistem kewaspadaan dini dan rujukan
laboratorium.
d). Hubungan antara Pemerintah dengan Komunitas Internasional
Pendekatan klaster (cluster approach) adalah suatu model koordinasi dengan
mengelompokkan para pelaku kemanusiaan berdasarkan gugus kerja untuk
memberikan respon darurat yang lebih dapat diperkirakan dengan penetapan
‘pimpinan’
kelompok/
klaster.
Pimpinan
klaster
bersama‐sama
dengan
sektor‐sektor pemerintah membangun koordinasi baik dalam perencanaan maupun
pelaksanaan. Pendekatan klaster bertujuan agar bantuan respon darurat dapat
dilaksanakan secara lebih terkoordinasi antar pelaku baik dari pemerintah maupun
non pemerintah. Pendekatan klaster dilaksanakan pada kejadian bencana berskala
besar atau membutuhkan bantuan internasional dalam respon multi‐sektor dengan
partisipasi luas dari para pelaku kemanusiaan internasional (Pedoman Peran Serta
Lembaga Internasional Dan Lembaga Asing
b. Tingkat daerah
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) adalah perangkat daerah yang
dibentuk untuk melaksanakan tugas dan fungsi penyelenggaraan penanggulangan
bencana di daerah. Pada tingkat provinsi BPBD dipimpin oleh seorang pejabat
setingkat di bawah gubernur atau setingkat eselon Ib dan pada tingkat
kabupaten/kota dipimpin oleh seorang pejabat setingkat di bawah bupati/walikota
atau setingkat eselon IIa. Kepala BPBD dijabat secara rangkap (ex‐officio) oleh
Sekretaris Daerah yang bertanggungjawab langsung kepada kepala daerah.
BPBD mempunyai fungsi :
1) perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan
pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat, efektif dan efisien;
2) pengoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana,
terpadu dan menyeluruh.
BPBD mempunyai tugas :
1) menetapkan pedoman dan pengarahan sesuai dengan kebijakan pemerintah daerah
dan BNPB terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan
bencana, penanganan darurat, rehabilitasi, serta rekonstruksi secara adil dan
setara;
2) menetapkan standardisasi serta kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan
bencana berdasarkan Peraturan Perundangundangan;
3) menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta rawan bencana;
4) menyusun dan menetapkan prosedur tetap penanganan bencana;
5) melaksanakan penyelenggaraan penanggulangan bencana pada wilayahnya;
6) melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada kepala daerah setiap
sebulan sekali dalam kondisi normal dan setiap saat dalam kondisi darurat
bencana;
7) mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan barang;
8) mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah;
9) melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota
Dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota sebagai salah satu anggota unsur
pengarah penanggulangan bencana memiliki tanggung jawab dalam penanganan
kesehatan akibat bencana dibantu oleh unit teknis kesehatan yang ada di lingkup
provinsi dan kabupaten/kota.
Pelaksanaan tugas penanganan kesehatan akibat bencana di lingkungan dinas
kesehatan dikoordinasikan oleh unit yang ditunjuk oleh Kepala Dinas Kesehatan
dengan surat keputusan.
Tugas dan kewenangan dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota adalah
melaksanakan dan menjabarkan kebijakan, memberikan standar dan arahan serta
mengkoordinasikan kegiatan
penanganan kesehatan akibat bencana di wilayah kerjanya. (Mudjiharto, 2011)
4. - Diare. Penyskit diare sagat erat kaitannya dengan kebersihan individu. Pada saat
banjir, sumber-sumber air minum masyarakat, khususnya sumber air minum dari
sumur dangkal, akan ikut tercemar.
-
Demam berdarah. Saat musim hujan, terjadi peningkatan tempat perindukan
nyamuk aedes aegypti, karena banyak sampah seperti kaleng bekas, ban bekas,
dan tempat-tempat tertentu terisi air sehingga meninmbulkan genangan, tempat
berkembang biak nyamuk tersebut.
- Penyakit leptospirosis. Leptospirasis (demam banjir) disebabkan bakteri
leptospirosis menginfeksi manusia melalui kontak dengan air atau tanah masuk ke
dalam tubuh melalui selaput lendir mata atau luka lecet. Bakteri ini bisa bertahan
28 hari. Penyakit ini termasuk penyakit zoonosis karena ditularkan melalui hewan.
Di Indonesia, hewan penular yang utama adalah tikus, melalui kotoran dan air
kencingnya yang bercampur dengan air banjir.
- Infeksi Saluran Pernapasan Akut atau ISPA. Penyebab penyakit ini dapat berupa
bakteri, virus, dan berbagai mikroba lainnya. Gejala utama yaitu dapat berupa
batuk dan demam yang jika tidak segera ditangani dapat menyebabkan sesak
napas dan nyeri dada. ISPA mudah menyebar kebanyak orang, seperti tempat
pengungsian korban banjir.
- Penyakit kulit. Penyakit kulit dapat berupa infeksi, alergi, dan lain-lain. Pada musim
banjir maka masalah utamanya adalah kebersihan yang tidak terjaga baik. Seperti
juga ISPA, maka faktor berkumpulnya banyak orang misalnya ditempat pengungsi
korban banjir, berperan dalam penularan infeksi dll.
- Penyakit saluran cerna, misalnya demam tifoid. Dalam hal ini, faktor kebersihan
makanan sangat berpengaruh.
- Memburuknya penyakit kronis. Hal ini terjadi karenan menurunannya system daya
tahan tubuh akibat musim hujan berkepanjangan, apalagi bila banjir terjadi selama
berhari-hari.
5. Menurut Ardia Putra,dkk(2017) Peran perawat dalam sebuah bencana terbagi
dalam 7 aspek yaitu :
 . Pencarian dan Penyelamatan
 Melokalisasi korban.
 Memindahkan
korban
dari
daerah
berbahaya
ke
tempat
pengumpulan/penampungan.
 Memeriksa status kesehatan korban (triase di tempat kejadian).
 Memberi pertolongan pertama jika diperlukan.
 Memindahkan korban ke pos medis lapangan jika diperlukan.
 Triage
 Identifikasi secara cepat korban yang membutuhkan stabilisasi segera (perawatan
di lapangan).
 Identifikasi korban yang hanya dapat diselamatkan dengan
pembedahan darurat (life saving surgery).
 Pasien harus diidentifikasi dan diletakkan secara cepat dan tepat,
mengelompokkan korban sesuai dengan keparahan pada masingmasing warna tag yaitu kuning dan merah.
 Area tindakan harus ditentukan sebelumnya dan diberi tanda.
 Penemuan, isolasi dan tindakan pasien terkontaminasi/terinfeksi
harus diutamakan.
 Pertolongan Pertama
 Mengobati luka ringan secara efektif dengan melakukan teknik pertolongan
pertama, seperti kontrol perdarahan, mengobati shock dan menstabilkan patah
tulang.
 Melakukan pertolongan bantuan hidup dasar seperti manajemen perdarahan
eksternal, mengamankan pernafasan, dan melakukan teknik yang sesuai dalam
penanganan cedera.
 Mempunyai keterampilan Pertolongan pertama seperti membersihkan jalan napas,
melakukan resusitasi dari mulut-mulut, melakukan
 CPR/RJP, mengobati shock, dan mengendalikan perdarahan.
 Membuka saluran udara secepat mungkin dan memeriksa obstruksi saluran napas
harus menjadi tindakan pertama, jika perlu saluran udara harus dibuka dengan
metode Head-Tilt/Chin-Lift.
 Mengalokasikan pertolongan pertama pada korban dengan perdarahan, maka
perawat harus mnghentikan perdarahan, karena perdarahan yang tidak terkontrol
dapat menyebabkan kelemahan dan apabila akhirnya shock dapat menyebabkan
korban meninggal.
 Proses Pemindahan Korban
 Pemeriksaan kondisi dan stabilitas pasien dengan memantau tanda-tanda vital;
 Pemeriksaan peralatan yang melekat pada tubuh pasien seperti infus, pipa
ventilator/oksigen, peralatan immobilisasi dan lain-lain.
 Perawatan diRumah Sakit
 Mengukur kapasitas perawatan rumah sakit.
 Lokasi perawatan di rumah sakit
 Hubungan dengan perawatan di lapangan.
 Arus pasien ke RS harus langsung dan terbuka.
 Arus pasien harus cepat dan langsung menuju RS, harus ditentukan, tempat tidur
harus tersedia di IGD, OK, ruangan dan ICU.
 Tapid Health Assesment
 Menilai kesehatan secara cepat melalui pengumpulan informasi cepat dengan
analisis besaran masalah sebagai dasar mengambil keputusan akan kebutuhan
untuk tindakan penanggulangan segera.
 Peran perawat dalam posko pengungsian atau posko bencana
 Memfasilitasi jadwal kunjungan konsultasi medis dan cek kesehatan sehari-hari.
 Tetap menyusun rencana prioritas asuhan keperawatan harian.
 Merencanakan dan memfasilitasi transfer pasien yang memerlukan penanganan
kesehatan di RS.
 Mengevaluasi kebutuhan kesehatan harian.
 Memeriksa dan mengatur persediaan obat, makanan, makanan khusus bayi,
peralatan kesehatan.
 Membantu penanganan dan penempatan pasien dengan penyakit menular maupun
kondisi
kejiwaan labil
hingga membahayakan diri
dan lingkungannya
berkoordinasi dengan perawat jiwa.
 Mengidentifikasi reaksi psikologis yang muncul pada korban (ansietas, depresi
yang ditunjukkan dengan seringnya menangis dan mengisolasi diri) maupun
reaksi psikosomatik (hilang nafsu makan,insomnia, fatigue, mual muntah, dan
kelemahan otot).
 Membantu terapi kejiwaan korban khususnya anak-anak, dapat dilakukan dengan
memodifikasi lingkungan misal dengan terapi bermain.
 Memfasilitasi konseling dan terapi kejiwaan lainnya oleh para psikolog dan
psikiater.
 Konsultasikan bersama supervisi setempat mengenai pemeriksaan kesehatan dan
kebutuhan masyarakat yang tidak mengungsi.
 Peran Perawat dalam Postimpact
 Membantu masyarakat untuk kembali pada kehidupan normal melalui proses
konsultasi atau edukasi.
 Membantu memulihkan kondisi fisik yang memerlukan penyembuhan jangka
waktu yang lama untuk normal kembali bahkan terdapat keadaan dimana
kecacatan terjadi.
Salah satu penelitian yang dilakukan Arif Munandar dan Shanty (2018)
menyebutkan bahwa dalam perawatan, perawat dituntut untuk tidak hanya
berfokus pada masalah fisik korban saja tapi perawat juga harus fokus pada
masalah psikologis pasien karena Kegagalan dalam mengatasi masalah psikologis
pasien bisa berdampak pada semakin memburuknya keadaan pasien karena pasien
mungkin akan mengalami kecemasan yang semakin berat dan menolak
pengobatan. Ketika merawat pasien, perawat dituntut untuk secara seimbang
memenuhi kebutuhan fisik dan emosional dirinya maupun pasien dan
keluarganya. Untuk mencapai keseimbangan ini perawat harus mempunyai
pengetahuan tentang bagaimana keperawatan yang dialami mempengaruhi
kesehatan psikososial pasien, keluarga dan petugas kesehatan.
Aspek psikologis jika diabaikan, akan mengakibatkan beberapa hal,
diantaranya adalah korban bencana akan mengalami perasaan yang tidak berdaya
dan tidak dapat mengontrol stres yang ditimbulkan akibat bencana, post trauma
stres disorders (PTSD), kemudian akan terjadi gangguan emosional, kecemasan,
depresi, gangguan tidur, keluhan somatis dan masalah perilaku .
6. Pada saat evakuasi hal yang perlu dilakukan adalah membuat perencanaan tempat
evakuasi banjir (flood shelter) langkah awal yang dilakukan adalah identifikasi
lokasi berupa eksisting lapangan yang saat banjir tidak terganggu. Menurut
penelitian (Sri Harsini,2014) kriteria tempat evakuasi banjir memiliki beberapa
karakteristik berupa lokasi tempat evakuasi harus berada di daerah bebas banjir,
kedua jumlah fasilitas Mandi Cuci Kasus (MCK) harus memadai dengan jumlah
pengungsi, kapasitas luas, memiliki akses yang bagus dan efisien. (Fernando,
Sujatmoko, & Hendri, 2017)
Saat evakuasi yang perlu dilakukan adalah melakukan triage yaitu
mengutamakan penyelamatan kepada anak-anak, wanita hamil dan lansia. Selain itu
rute evakuasi menuju posko dalam kondisi aman dan telah ditentukan sebelumnya.
Pada kegiatan ini melibatkan SAR, Polosi, TNI, Hansip, PMI dan tenaga kesehatan
terlatih serta masyarakat. setelah itu, korban yang di evakuasi kemudian diberi
pertolongan dengan maksud mengurangi angka kesakitan dan kematian oleh tim
medis seperti perawat dan dokter serta relawan yang ikut serta. (Dr. Sjafii Ahmad,
2007)
Salah satu pihak yang terlibat dalam proses evakuasi adalah tim SAR (Search
and Rescue). Berikut adalah tahap penyelenggaraan operasi SAR saat evakuasi :
 Tahap Kekhawatiran (Awareness Stage)
Tahap kekhawatiran adalah kekhawatiran bahwa suatu keadaan darurat
diduga akan muncul, termasuk didalamnya termasuk didalamnya
penerimaan informasi dari seseorang atau organisasi. Dalam tahap ini
menyadari bahwa suatu kejadian darurat telah terjadi dan perlunya
mengambil suatu tindakan.
 Tahap Kesiagaan (Initial Action Stage)
Tahap kesiagaan adalah tahap tindakan awal, tanggap bahwa suatu
musibah telah terjadi serta berusaha mengumpulkan berbagai
keterangan mengenai musibah. Aksi persiapan yang diambil antara lain
menyiagakan fasilitas SAR dan mendapatkan informasi yang lebih
jelas, termasuk didalamnya menyeleksi informasi yang diterima untuk
segera dianalisa untuk dapat dilakukan tindakan selanjutnya.
 Tahap Perencaaan (Planning Stage)
Tahap perencanaan adalah suatu pengembangan perencanaan yang
efektif dari sistem SAR. Di dalamnya berupa perencanaan pencarian
yang akan dilaksanakan. Kemudian perencanaan pertolongan dan
pembebasan korban, berupa posisi yang paling mungkin dari korban,
tipe pencarian, pencarian optimum, perencanaan pencarian yang akan
dicapai, metode pertolongan terbaik, titik pembebasan yang aman,
fasilitas kesehatan yang baik yang mengalami cedera.
 Tahap Operasional (Operation Stage)
Detection Mode / Tracking Mode and Evacuation Mode yaitu
dilakukan operasi pencarian dan pertolongan serta penyelamatan
korban secara fisik. Tahap operasi meliputi fasilitas SAR bergerak ke
lokasi kejadian :

Melakukan pencarian dan mendeteksi tanda yang ditemui yang
diperkirakan ditinggalkan survivor (Detection Mode)

Mengikuti jejak atau tanda yang ditinggalkan survivor
(Tracking Mode)

Menolong atau menyelamatkan dan mengevakuasi korban
(Evacuation Mode) dalam hal ini memeberikan perawatan
gawat darurat pada korban yang membutuhkan dan membawa
korban yang cedera kepada perawatan yang memuaskan
(evakuasi).

Mengadakan briefing kepada SRU

Mengirim/ memberangkatakan fasilitas SAR

Melaksanakan operasi SAR di lokasi kejadian

Melakukan penggantian/ penjadwalan SRU di lokasi kejadian
 Tahap Akhir Misi (Mission Conclusion Stage)
Tahap akhir misi merupakan tahap akhir operasi SAR, meliputi
pembuatan laporan kegiatan secara menyeluruh, penarikan kembali
SRU dari lapangan ke posko, penyiagaan kembali untuk musibah
selanjutnya,
penyerahan
korban
kepada
yang
berhak
serta
mengembalikan SRU pada instansi induk masing-masing dan pada
kelompok masyarakat.
7. a) Pencegahan dan Mitigasi
Upaya atau kegiatan dalam rangka pencegahan dan mitigasi yang dilakukan,
bertujuan untuk menghindari terjadinya bencana serta mengurangi risiko yang
ditimbulkan oleh bencana. Upaya yang harus dilakukan
Tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi pasif antara lain adalah:
1) Penyusunan peraturan perundang-undangan
2) Pembuatan peta rawan bencana dan pemetaan masalah.
3) Pembuatan pedoman/standar/prosedur
4) Pembuatan brosur/leaflet/poster
5) Penelitian / pengkajian karakteristik bencana
6) Pengkajian / analisis risiko bencana
7) Internalisasi PB dalam muatan lokal pendidikan
8) Pembentukan organisasi atau satuan gugus tugas bencana
9) Perkuatan unit-unit sosial dalam masyarakat, seperti forum
10) Pengarus-utamaan PB dalam perencanaan pembangunan
Sedangkan tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi aktif antara lain:
1) Pembuatan dan penempatan tanda-tanda peringatan, bahaya, larangan memasuki
daerah rawan bencana dsb.
2) Pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai peraturan tentang penataan ruang, ijin
mendirikan bangunan (IMB), dan peraturan lain yang berkaitan dengan
pencegahan bencana.
3) Pelatihan dasar kebencanaan bagi aparat dan masyarakat.
4) Pemindahan penduduk dari daerah yang rawan bencana ke daerah yang lebih
aman.
5) Penyuluhan dan peningkatan kewaspadaan masyarakat.
6) Perencanaan daerah penampungan sementara dan jalur-jalur evakuasi jika terjadi
bencana
7) Pembuatan bangunan struktur yang berfungsi untuk mencegah, mengamankan dan
mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana, seperti: tanggul, dam,
penahan erosi pantai, bangunan tahan gempa dan sejenisnya.
-
Kesiapsiagaan
Kesiapsiagaan dilaksanakan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana
guna menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian harta benda dan berubahnya tata
kehidupan masyarakat. Upaya yang dilakukan
1) Pengaktifan pos-pos siaga bencana dengan segenap unsur pendukungnya.
2) Pelatihan siaga / simulasi / gladi / teknis bagi setiap sektor Penanggulangan
bencana (SAR, sosial, kesehatan, prasarana dan pekerjaan umum).
3) Inventarisasi sumber daya pendukung kedaruratan
4) Penyiapan dukungan dan mobilisasi sumberdaya/logistik.
5) Penyiapan sistem informasi dan komunikasi yang cepat dan terpadu guna
mendukung tugas kebencanaan.
6) Penyiapan dan pemasangan instrumen sistem peringatan dini ( early warning )
7) Penyusunan rencana kontinjensi ( contingency plan )
8) Mobilisasi sumber daya (personil dan prasarana/sarana peralatan)
-
Tanggap darurat
Fase tanggap darurat adalah fase dimana dilakukan berbagai aksi darurat yang nyata
untuk menjaga diri sendiri atau harta kekayaan. Upaya yang dilakukan
1) pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, kerugian, dan
sumber daya;
2) penentuan status keadaan darurat bencana;
3) penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;
4) pemenuhan kebutuhan dasar;
5) perlindungan terhadap kelompok rentan; dan
6) pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.
-
Pemulihan dan rekonstruksi
masa peralihan dari kondisi darurat ke kondisi tenang atau Upaya yang dilakukan
pada tahap rehabilitasi adalah untuk mengembalikan kondisi daerah yang terkena
bencana yang ke kondisi normal yang lebih baik. Upaya yang dilakukan
1) perbaikan lingkungan daerah bencana;
2) perbaikan prasarana dan sarana umum;
3) pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat;
4) pemulihan sosial psikologis;
5) pelayanan kesehatan;
6) rekonsiliasi dan resolusi konflik;
7) pemulihan sosial, ekonomi, dan budaya;
8) pemulihan keamanan dan ketertiban;
9) pemulihan fungsi pemerintahan; dan
10) pemulihan fungsi pelayanan public
8. Pencarian dan pertolongan adalah segala usaha dan kegiatan mencari, menolong,
menyelamatkan dan mengevakuasi manusia yang menghadapi keadaan darurat
dan / atau bahaya dalam kecelakaan, bencana, atau kondisi membahayakan
manusia.
Pencarian dan pertolongan terhadap korban bencana dihentikan jika seluruh
korban telah ditemukan, ditolong dan dievakuasi. Atau setelah jangka waktu 7
(tujuh) hari sejak dimulainya pencarian, tidak ada tanda-tanda korban akan
ditemukan.
a. Penghentian pencarian dan pertolongan korban bencana, dapat dibuka kembali
dengan pertimbangan adanya informasi baru mengenai indikasi keberadaan
korban bencana.
b. Penghentian pencarian dan pertolongan korban bencana, dapat dibuka kembali
dengan pertimbangan adanya informasi baru mengenai indikasi keberadaan
korban bencana.
9. Pengungsi adalah orang atau sekelompok orang yang terpaksa atau dipaksa
keluardari tempat tinggalnya untuk jangka waktu yang belum pasti sebagai akibat
dampak buruk bencana. Bencana banjir berpotensi memicu terjadinya KLB
penyakit menular karena terganggunya layanan kesehatan masyarakat dasar dan
memburuknya semua kondisi kehidupan, masalah tersebut muncul terutama jika
banjir berkepanjangan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penanganan terhadap
pengungsi yang terkena bencana, seperti:
1. Pendirian Kamp atau penampungan sementara
Lokasi untuk kamp harus diperhatikan, misalnya tempat tersebut harus kering
dan tidak rentan banjir, tanah longsor, air pasang, atau ombak laut serta berlokasi
sedekat mungkin dengan jalan utama untuk memudahkan masalah persediaan.
Adapun layanan kamp, yaitu:
-
Persediaan air, pemilihan lokasi kamp yang paling penting adalah dekat dengan
sumber air.
-
Pembuangan ekskreta, sanitasi yang baik merupakan komponen penting untuk
pencegahan diare, setidaknya harus ada persediaan jamban dan ditempatkan
dilokasi yang mudah di akses dari berbagai bagian kamp untuk mendorong
penggunaan fasilitas tersebut.
2. Memberikan pelayanan kesehatan di pengungsian
Layanan kesehatan dapat diberikan dengan menugaskan tenaga kesehatan,
relawan atau pemerintah ke kamp tersebut atau dengan memperluas kapasitas
fasilitas kesehatan terdekat. Fokus layanan kesehatan harus diutamakan pada
pencegahan penyakit menular tertentu. Sehingga diperlukan pelayanan kesehatan
dasar, seperti:
1) Pelayanan pengobatan, apabila pengungsian dilakukan di tempat-tempat umum
atau kamp maka perlu membuat pos pengobatan, sedangkan apabila fasilitas
kesehatan seperti puskesmas masih berfungsi maka pelayanan pengobatan dapat
dilakukan di puskesmas.
2) Pelayanan imunisasi, bagi pengungsi khusunya anak-anak harus menerima
vaksinasi yang tepat.
3) Pelayanan kesehatan ibu dan anak
4) Pelayanan gizi
5) Pemberantasan penyakit menular dan pengendalian vektor, dipengungsian sangat
mudah untuk terserang penyakit menular karena kepadatan pendudukmisalnya
diare, campak, DBD, dan lainnya, sehingga dapat dilakukan pengendalian vector
seperti
pengelolaan
lingkungan,pengendalian
dengan
insektisida,
serta
pengawasan makanan dan minuman.
6) Pelayanan kesehatan jiwa
3. Pemenuhan kebutuhan dasar
1) Sandang, seperti pakaian pribadi dan kebersihan pribadi. Dalam memenuhi
kenbutuhan sandang harus berdasarkan jumlah pengungsi.
2) Pangan, seperti bahan makanan atau makanan yang disediakan oleh dapur umum.
3) Air bersih dan sanitasi.
4. Pemenuhan kebutuhan psikologis,fasilitas pelayanan konseling bagi pengungsi yang
mengalami trauma.
Apabila jumlah pengungsi banyak, maka tentunya diperlukan penambahan
kamp atau penampungan dan juga kebutuhan-kebutahan lain pengungsi disesuaikan
dengan jumlah pengungsi.
10.
a) Air bersih dan air minum
Dalam Sarikusmayadi, Astri Aprilia. 2015. Teknologi Pengolahan Air untuk
Kondisi Darurat menjelaskan bahwa menurut buku Introduction to International
Disaster Management (2007), disebutkan bahwa ada beberapa alternatif dalam
penyediaan air bersih dan air siap minum pada saat kondisi darurat yaitu
penyediaan air melalui tangki truk, atau dari tangki yang di datangkan dari luar
daerah banjir, atapun dengan melakukan proses pengolahan air banjir itu sendiri
untuk menghasilkan air bersih sebagai contoh menggunakan filter . Solusi dalam
hal masalah ini adalah pengolahan air minum yang berbasis mobile water
treatment yang mana hasil dari pengolahan (effluent) memenuhi baku mutu air siap
minum yang sesuai dengan PERMENKES.RI-No.492/MEN.KES/ PER/IV/2010.
Pada keadaan darurat, teknologi membran banyak diterapkan dalam
penyediaan air bersih dan air minum. Berikut adalah jenis jenis membran yang
digunakan dalam pengolahan air. Yakni;

Mikrofiltrasi (MF), proses yang mengurangi kadar polutan dari fluida ( liquid dan
gas) dengan cara melewatkannya pada sebuah microporous membran. Membran
mikrofiltrasi berukuran 0.1 sampai 1 mikron. Mikrofiltrasi tidak berbeda secara
fundamental dengan reverse osmosis, ultra filtrasi ataupun nanofiltrasi,kecuali
dalam hal ukuran partikel yang dihilangkannya.

Ultra filtrasi (UF), variasi dari membran filtrasi dimana terjadi gaya dari liquid
terhadap membran semi permeabel. Suspended solid dan cairan pekat dengan
berat molekul yang besar, dapat tertahan, tetapi air dan cairan pekat dengan berat
molekul pencemar yang kecil dapat melewati membran. Proses pemisahan
menggunakan proses ultrafiltrasi biasanya digunakan di bidang industri dan
penelitian untuk penjernihan air karena ukuran yang dapat diolah adalah air pekat
yang mengandung makromolekul yang memiliki berat atom sekitar 103 – 106 Da
(1 Da = 0,000714 gram). Pengolahan menggunakan Ultra filtrasi pada umumnya
menggunakan membran berukuran 0.001 mikron – 0.01 mikron.

Nano filtrasi, proses pemisahan jika ultrafiltrasi dan mikrofiltrasi tidak dapat
mengolah air seperti yang diharapkan. Nanofiltrasi dapat menghasilkan proses
pemisahan yang sangat terjangkau secara ekonomis. Tetapi Nano filtrasi belum
dapat mengolah mineral terlarut, warna dan salinasi air, sehingga air hasil olahan
(permeate) masih mungkin mengandung ion monovalen dan larutan dengan
pencemar yang memiliki berat molekul rendah seperti alkohol. Pengolahan
menggunakan Nano filtrasi pada umumnya menggunakan membran berukuran
0.0001 mikron – 0.001 mikron.

Osmosis Balik / Reverse Osmosis, proses pengolahan yang membutuhkan tekanan
relatif tinggi, walaupun pada beberapa kasus dapat digunakan dalam tekanan
rendah, hemat energi , menghasilkan air olahan yang dapat menyaring zat dengan
molekul terkecil sekalipun yang tidak dapat diolah oleh proses Mikro filtrasi,
ultra filtrasi dan nanofiltrasi. Reverse omosis memiliki kemampuan untuk
mengurangi seluruh pencemar dissolved dan Suspended solid. Reverse osmosis
pada umumnya digunakan pada proses desalinasi air laut.
Bantuan air bersih diberikan dalam bentuk air yang kualitasnya memadai
untuk kebersihan pribadi maupun rumah tangga tanpa menyebabkan risiko yang
berarti terhadap kesehatan. Bantuan air bersih diberikan dalam bentuk sumber air
beserta peralatannya. Bantuan air bersih diberikan sejumlah 7 liter pada tiga hari
pertama, selanjutnya 15 liter per orang per hari.
Bantuan Air Minum diberikan dalam bentuk air yang dapat diminum langsung
atau air yang memenuhi persyaratan kesehatan untuk dapat diminum. Bantuan air
minum diberikan sejumlah 2.5 liter per orang per hari serta rasa air minum dapat
diterima dan kualitasnya cukup memadai untuk diminum tanpa menyebabkan resiko
kesehatan.
b) Pangan (makanan)
Bantuan pangan diberikan dalam bentuk bahan makanan, atau masakan yang
disediakan oleh dapur umum. Bantuan pangan bagi kelompok rentan diberikan dalam
bentuk khusus.
Standar Minimal Bantuan :
o Bahan makanan berupa beras 400 gram per orang per hari atau bahan makanan
pokok lainnya dan bahan lauk pauk.
o Makanan yang disediakan dapur umum berupa makanan siap saji sebanyak 2
kali makan dalam sehari.
o Besarnya bantuan makanan (poin a dan b) setara dengan 2.100 kilo kalori (kcal).
c) Sandang
Terdiri dari:
1) Perlengkapan pribadi
Merupakan kebutuhan manusia yang sangat penting untuk melindungi diri dari
iklim, memelihara kesehatan serta mampu menjaga privasi dan martabat.
Standar Minimal Bantuan :
o Memiliki satu perangkat lengkap pakaian dengan ukuran yang tepat
sesuai jenis kelamin masing-masing, serta peralatan tidur yang
memadai sesuai standar kesehatan dan martabat manusia.
o Perempuan dan anak-anak setidaknya memiliki dua perangkat lengkap
pakaian dengan ukuran yang tepat sesuai budaya, iklim, dan musim.
o Perempuan dan anak-anak gadis setidaknya memiliki dua perangkat
lengkap pakaian dalam dengan ukuran yang tepat sesuai budaya, iklim,
dan musim.
o Anak sekolah setidaknya memiliki 2 stel seragam sekolah lengkap
dengan ukuran yang tepat sesuai jenis kelamin dan jenjang sekolah
yang diikuti.
o Anak sekolah memiliki satu pasang sepatu/alas kaki yang digunakan
untuk sekolah.
o Setiap orang memiliki pakaian khusus untuk beribadah sesuai agama
dan keyakinannya.
o Setiap orang memiliki satu pasang alas kaki.
o Bayi dan anak-anak dibawah usia 2 tahun harus memiliki selimut
dengan ukuran 100 X 70 cm.
o Setiap orang yang terkena bencana harus memiliki alas tidur yang
memadai, dan terjaga kesehatannya.
o Setiap kelompok rentan : bayi, anak usia dibawah lima tahun, anakanak, ibu hamil atau menyusui, penyandang cacat, orang sakit, dan
orang lanjut usia, memiliki pakaian sesuai kebutuhan masing-masing.
o Setiap kelompok rentan, memiliki alat bantu sesuai kebutuhan,
misalnya : tongkat untuk lansia dan penyandang cacat.
2) Kebersihan Pribadi
Tiap rumah tangga memperoleh kemudahan mendapatkan bantuan
sabun mandi dan barang-barang lainnya untuk menjaga kebersihan, kesehatan,
serta martabat manusia.
Standar Minimal Bantuan :
o Setiap orang memiliki 250 gram sabun mandi setiap bulan.
o Setiap orang memiliki 200 gram sabun cuci setiap bulan.
o Setiap perempuan dan anak gadis yang sudah menstruasi memiliki
bahan pembalut.
o Setiap bayi dan anak-anak di bawah usia dua tahun memiliki 12 popok
cuci sesuai kebiasaan di tempat yang bersangkutan.
o Setiap orang memiliki sikat gigi dan pasta gigi sesuai kebutuhan.
d) Pelayanan kesehatan
Dalam buku pedoman tekhnis penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana
(Departemen Kesehatan, 2007) menuliskan bahwa tidak mencukupinya persediaan
pangan akan mempengaruhi pemenuhan kebutuhan gizi seseorang dan memperberat
proses terjadinya penurunan daya tahan tubuh, sehingga rentan terhadap berbagai
penyakit. Dalam pemberian pelayanan kesehatan di pengungsian sering tidak
memadai akibat dari tidak memadainya fasilitas kesehatan, jumlah dan jenis obat serta
alat kesehatan maupun terbatasnya tenaga kesehatan.
Penanggulangan masalah kesehatan di pengungsian merupakan kegiatan yang
harus dilakukan secara menyeluruh dan terpadu serta terkoordinasi baik secara lintas
program maupun lintas-sektor. Dalam penanganan masalah kesehatan di pengungsian
diperlukan standar minimal yang sesuai dengan kondisi keadaan di lapangan sebagai
pegangan untuk merencanakan, memberikan bantuan dan mengevaluasi apa yang
telah dilakukan oleh instansi pemerintah maupun LSM dan swasta lainnya.
Adapun Pelayanan kesehatan dasar yang diperlukan pengungsi meliputi:
a. Pelayanan pengobatan
Apabila pola pengungsian terkonsentrasi di barak-barak atau tempattempat umum, pelayanan pengobatan dilakukan di lokasi pengungsian dengan
membuat pos pengobatan. Pelayanan pengobatan dilakukan di Puskesmas bila
fasilitas kesehatan tersebut masih berfungsi dan pola pengungsianya tersebar
berada di tenda-tenda kanan kiri rumah pengungsi.
b. Pelayanan imunisasi
Bagi pengungsi khususnya anak-anak, dilakukan vaksinasi campak tanpa
memandang status imunisasi sebelumnya. Adapun kegiatan vaksinasi lainnya
tetap dilakukan sesuai program untuk melindungi kelompok-kelompok rentan
dalam pengungsian.
c. Pelayanan kesehatan ibu dan anak
Adapun kegiatan yang harus dilaksanakan adalah:
▪ Kesehatan Ibu dan Anak (pelayanan kehamilan, persalinan,
nifas dan pasca-keguguran)
▪ Keluarga berencana (KB)
▪ Deteksi dini dan penanggulangan IMS dan HIV/AIDS
▪ Kesehatan reproduksi remaja
d. Pelayanan gizi
Tujuannya meningkatkan status gizi bagi ibu hamil dan balita melalui
pemberian makanan optimal. Setelah dilakukan identifikasi terhadap kelompok
bumil dan balita, petugas kesehatan menentukan strategi intervensi berdasarkan
analisis status gizi.Pada bayi tidak diperkenan diberikan susu formula, kecuali bayi
piatu, bayi terpisah dari ibunya, ibu bayi dalam keadaan sakit berat.
e. Pemberantasan penyakit menular dan pengendalian vektor
Beberapa jenis penyakit yang sering timbul di pengungsian dan
memerlukan tindakan pencegahan karena berpotensi menjadi KLB antara lain:
campak, diare,
cacar,
malaria, varicella,
ISPA, tetanus.
Pelaksanaan
pengendalian vektor yang perlu mendapatkan perhatian di lokasi pengungsi
adalah pengelolaan lingkungan, pengendalian dengan insektisida, serta
pengawasan makanan dan minuman. Pada pelaksanaan kegiatan surveilans bila
menemukan kasus penyakit menular, semua pihak termasuk LSM kemanusiaan
di pengungsian harus melaporkan kepada Puskesmas/Pos Yankes di bawah
koordinasi Dinas Kesehatan Kabupaten sebagai penanggung jawab pemantauan
dan pengendalian.
f. Pelayanan kesehatan jiwa
Pelayanan kesehatan jiwa di pos kesehatan diperlukan bagi korban
bencana, umumnya dimulai pada hari ke-2 setelah kejadian bencana. Bagi korban
bencana yang memerlukan pertolongan pelayanan kesehatan jiwa dapat dilayani
di pos kesehatan untuk kasus kejiwaan ringan. Sedangkan untuk kasus berat
harus dirujuk ke Rumah Sakit terdekat yang melayani kesehatan jiwa.
g. Pelayanan promosi kesehatan
Kegiatan promosi kesehatan bagi para pengungsi diarahkan untuk
membiasakan perilaku hidup bersih dan sehat. Kegiatan ini mencakup:
▪ Kebersihan diri
▪ Pengolahan makanan
▪ Pengolahan air minum bersih dan aman
▪ Perawatan kesehatan ibu hamil (pemeriksaan rutin, imunisasi)
Kegiatan promosi kesehatan dilakukan melekat pada kegiatan kesehatan lainnya.
h. Pelayanan Kesehatan jiwa
Bentuk kegiatan berupa penyuluhan, bimbingan dan konseling yang
dilakukan pada kelompok besar (>20 orang), kelompok kecil (5-20 orang) dan
Konseling perorangan.
Selain itu, dalam sumber lain yakni Peratutan Kepala BNPB No. 7 Tahun 2008 telah
menetapkan standar dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi pengungsi, yakni:
o Pelayanan
kesehatan
didasarkan
pada
prinsip-prinsip pelayanan
kesehatan primer yang relevan.
o Semua korban bencana memperoleh informasi tentang pelayanan kesehatan.
o Pelayanan kesehatan diberikan dalam sistem kesehatan pada tingkat yang tepat :
tingkat keluarga, tingkat puskesmas, Rumah Sakit, dan Rumah Sakit rujukan.
o Pelayanan dan intervensi kesehatan menggunakan teknologi yang tepat dan
diterima secara sosial budaya.
o Jumlah, tingkat, dan lokasi pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan korban
bencana.
o Tiap klinik kesehatan memiliki staf dengan jumlah dan keahlian yang memadai
untuk melayani kebutuhan korban bencana. Staf klinik maksimal melayani 50
pasien per hari.
o Korban bencana memperoleh pelayanan obat-obatan sesuai dengan kebutuhan.
o Korban bencana yang meninggal diperlakukan dan dikuburkan dengan cara
yang bermartabat sesuai dengan keyakinan, budaya, dan praktek kesehatan.
11. Wilayah Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, histologis, serta
demografis yang memungkingkan terjadinya bencana alam, berupa gempa bumi,
letusan gunung berapi, tanah longsor, hingga tsunami yang disebabkan oleh ulah
alam secera langsung maupun dengan adanya campur tangan manusia.
Dampak dari bencana itu sendiri dapat memakan banyak korban jiwa, rusaknya
fasilitas pribadi seperti hilangnya harta benda, hingga fasilitas publik seperti akses
jalan. Saat terjadi bencana bantuan logistik sangat diperlukan pleh korban bencana
dimana dalam hal ini penyaluran bantuan logistik yang dilakukan harus dilakukan
dengan baik. Oleh karena itu, setiap pelaku harus terkoordinasi, ditetapkan
pengelolaannya dan dilakukan pemantauan yang tepat untuk memastikan bahwa
semua bantuan dijaga hingga bantuan tersebut didistribusikan kepada penerima di
tingkat rumah tangga (kepala keluarga). Dukungan bantuan logistik harus tepat waktu,
tepat lokasi, tepat sasaran, tepat kualitas, tepat kuantitas dan sesuai kebutuhan. Salah
satu unsur penting yang harus diperhatikan adalah pengelolaan bantuan logistik harus
dilakukan secara efektif dan efisien pada saat status keadaan darurat bencana.
Berkaitan dengan hal tersebut maka proses pengelolaan penyaluran bantuan logistik
dilakukan dalam berbagai tahap.
1. Persiapan
A. Pemetaan Kapasitas Sumber Daya
Pemetaan sumber daya dilakukan untuk mengetahui suber daya logistik,
Gudang, juga sumber daya manusia yang dapat dikerahkan dalam status keadaan
darurat bencana. Adapun kegiatan yang termasuk dalam pemetaan sumber daya
sebagai berikut:
1) Identifikasi ketersediaan sumber daya logistik dari berbagai pihak seperti
masyarakat, pemerintah, maupun dunia usaha yang dapat dipergunakan
2) Identifikasi sistem klaster logistik
3) Identifikasi akses-akses alternaif dalam penyaluran barang ke penerima
4) Membangun sistem informasi bantuan logistik yang dapat diakses oleh semua
masyarakat, pemerintah dan dunia usaha.
B. Membuat dan Mengembangkan Klaster Logistik Penanggulangan Bencana.
Klaster logistik mempunyai tugas sebagai berikut:
1) Mengumpulkan, menganalisa dan menyebarluaskan informasi tentang
logistik penanggulangan bencana;
2) Menyusun dan mengembangkan rencana operasi di bidang logistik
penanggulangan bencana;
3) Memberikan saran dan bantuan teknis di bidang logistik penanggulangan
bencana;
4) Memberikan fasilitas dan mobilisasi logistik penanggulangan bencana
yang diperlukan;
5) Mengkoordinasikan masyarakat, pemerintah dan dunia usaha di bidang
logistik penanggulangan bencana.
C. Membentuk Unit Respon Logistik yang bertugas untuk melakukan kaji cepat di
bidang logistik pada saat awal terjadinya bencana.
1) Menyiapkan struktur;
2) Menyiapkan personil;
3) Menyiapkan dukungan operasional
D. Membuat perjanjian kerja sama dan melakukan pencatatan dengan dunia usaha
untuk penyediaan dan penggunaan fasilitas logistik
E. Koordinasi
2. Perencanaan
Kegiatan perencanaan dilakukan dengan cara mengidentifikasi dan analisis
kebutuhan sumber daya yang dibutuhkan.
A. Identifikasi
1) Identifikasi Korban dan Pengungsi
2) Identifikasi Akses dan Kerusakan serta sarana dan prasarana
B. Analisis Kebutuhan
1) Pemenuhan kebutuhan dasar
a) Sandang
b) Pangan
c) Penampungan Sementara
d) Air Bersih
e) Kebutuhan Kelompok rentan
2) Pemenuhan kebutuhan lainnya, yaitu berkaitan dengan pemenuhan
kebutuhan psikososial. Seperti fasilitas (ruangan) untuk memberikan
pelayanan konseling bagi korban atau pengungsi yang mengalami trauma.
Selain itu, paket peralatan terapi bermain bagi korban atau pengungsi
anak-anak berupa alat-alat permainan dan mainan anak-anak berdasarkan
usia.
Analisis kebutuhan dilakukan dengan menghitung jumlah korban,
pengungsi, dan infrastruktur yang rusak dengan standar minimal logistik yang
dibutuhkan.
3. Pelaksanaan
Pelaksanaan pengelolaan bantuan logistik pada status keadaan darurat
mencakup langkah-langkah aktivasi, penerimaan, penyimpanan, pengangkutan dan
distribusi bantuan logistik.
A. Aktivasi
1) Mengaktifkan Bidang Logistik dari Pos Komando pada status keadaan
darurat sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya;
2) Mendukung penyelenggaraan Pos Komando Tanggap Darurat;
3) Mengkoordinasikan semua bantuan logistik dari instansi/lembaga/
organisasi yang terkait.
B. Penerimaan
1) Mencatat jenis, jumlah dan mutu logistik yang diterima dari berbagai
sumber;
2) Menyeleksi dan mencocokkan bantuan logistik sesuai skala prioritas
kebutuhan;
3) Menyimpan logistik ditempat yang mudah diakses.
C. Penyimpanan
1) Memilih gudang dengan memperhatikan tempat, tipe gudang, kapasitas, fasilitas,
sistem pengamanan dan keselamatan, sesuai ketentuan yang berlaku.
2) Menyimpan bantuan logistik di gudang, dengan melakukan pencatatan, pemilahan
dan penyusunan barang logistik disesuaikan dengan jenisnya serta pengecekan stok
barang logistik secara periodik;
3) Menata kelola bantuan logistik sehingga memudahkan dalam penerapan system
“First-In First-Out”, First Expired First Out;
4) Menjaga bantuan logistik dari kerusakan dan kehilangan maupun berkurangnya
standar mutu
D. Pengangkutan
1) Mengangkut dan atau memindahkan logistik dari gudang penyimpanan ke
tujuan penerima;
2) Menjamin keamanan, keselamatan dan keutuhan logistik dari gudang ke
tujuan;
3) Mempercepat penyampaian;
4) Jenis Pengangkutan terdiri dari angkutan darat, air dan udara, baik secara
komersial maupun non komersial yang berdasarkan kepada ketentuan yang
berlaku;
5) Pemilihan moda angkutan berdasarkan pertimbangan:
a) Skala prioritas kebutuhan;
b) Jenis dan jumlah bantuan logistik;
c) Situasi dan kondisi keadaan darurat;
d) Ketersediaan alat angkutan dan infrastruktur yang ada;
e) Kondisi wilayah asal dan tujuan;
f) Efektifitas dan efisiensi;
g) Keamanan dan keselamatan.
6) Pengangkutan dilaksanakan berdasarkan kebutuhan bantuan logistik yang
harus dilengkapi dengan data (jenis, jumlah, tujuan, pengirim, transporter
termasuk pengawalan, dan penerima), dan berita acara serah terima
barang.
E. Distribusi
Bantuan yang sampai di titik tujuan (titik distribusi), Selanjutnya barang yang
telah sampai didistribusian kepada pihak korban yang membutuhkan sesuai
dengan izin dari pihak yang berwenang. Data pendukung memuat calon penerima
bantuan, bantuan prioritas bantuan yang dibutuhkan, waktu penyampaian, lokasi,
cara penyampaian, alat transportasi yang digunakan, penanggung jawab atas
bantuan tersebut. Setelah itu dibuat laporan pertanggungjawabannya.
5) Tujuan Pembelajaran Selanjutnya
1. Apa saja dampak masalah psikologis ketika telah terjadi bencana dan bagaimana
respon psikologisnya ?
2. Bagaimana penanganan dampak masalah psikologis ?
3. Bagaimana alur pengelolaan data bencana ?
6) Informasi Tambahan
1. apa saja dampak masalah kesehatan psikologi ketika telah terjadi bencana dan
bagaimana proses respon biologisnya?
Dampak psikologis pasca bencana, dikategorikan menjadi :
a. Distres Psikologis Ringan
Individu dikatakan mengalami distress psikologis ringan bila setelah bencana
merasa cemas, panik dan terlalu waspada. Pada situasi ini terjadi natural recovery
(pemulihan alami) dalam hitungan hari/minggu. Orang orang dengan kondisi
distress psikologis ringan tidak butuh intervensi spesifik. Hal ini akan tampak
pada sebagian besar survivor/korban yang selamat.
b. Distres Psikologis Sedang
Bila individu merasa cemas menyeluruh, menarik diri dan mengalami gangguan
emosi maka kita kategorikan mengalami distress psikologis sedang. Pada kondisi
ini natural recovery membutuhkan waktu yang relatif lebih lama, bahkan dapat
berkembang menjadi gangguan mental dan tingkah laku yang berat. Orang dengan
kondisi distress psikologis sedang membutuhkan dukungan psikososial untuk
natural recovery.
c. Gangguan Tingkah Laku dan Mental yang Berat
Situasi ini terjadi bila individu mengalami gangguan mental karena trauma atau
stress seperti PTSD (Post Traumatic Sindrome Disorder), depresi, cemas
menyeluruh, fobia, dan gangguan disosiasi. Gangguan tingkah laku dan mental
yang berat ini jika tidak dilakukan intervensi sistemik akan mudah menyebar.
Keadaan ini membutuhkan dukungan mental dan penanganan oleh mental health
professional.
Respon Psikologi bencana
Respon psikologis individu dan masyarakat terkait bencana melewati fase-fase
sebagai berikut :
1. Predisaster; saat ini situasi normal, belum terjadi bencana. Dengan atau tanpa
peringatan dini, bisa ada persiapan menghadapi bencana yang akan terjadai.
2. Impact/inventory; saat ini dimulai ketika bencana terjadi. Ada bantuan dari orang
lain untuk menolong dirinya sehingga individu merasa diperhatikan dan ada
semangat menata kembali kehidupannya. Sementara itu, di sisi lain, mereka
merasa tertekan atau bingung atas kejadian bencana ini. Tapi kemudian dengan
cepat akan pulih dan berfokus pada perlindungan untuk dirinya dan orang-orang
terdekatnya. Emosi yang muncul berupa ketakutan, tidak berdaya, kehilangan,
dislokasi dan kemudian merasa bertanggung jawab untuk melakukan sesuatu yang
lebih (fase inventory). Kemudian setelah bencana terjadi, muncul gambaran awal
kondisi individu dan masyarakat.
3. Heroik; pada fase pertama dan berikutnya, orang merasa terpanggil untuk
melakukan aksi heroik seperti menyelamatkan nyawa dan harta orang lain.
Altruisme (perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan diri
sendiri) menonjol. Bersedia membantu orang lain untuk bertahan dan pulih.
4. Honeymoon;biasanya 1 mingggu – 6 bulan setelah bencana. Untuk yang terkena
langsung biasanya ada strong sense akan bahaya lain, situasi katastropik.
Komunitas biasanya ada kohesi dan kerjasama untuk pulih. Bantuan biasanya
sudah berjalan lancar, ada harapan yang tinggi untuk cepat pulih. Emosi yang
muncul biasanya rasa syukur dan harapan-harapan.
5. Disillusionment; biasanya dialami selama 2 bulan – 2 tahun setelah bencana
terjadi. Realita pemulihan sudah ditetapkan. Orang-orang akan merasa kecewa,
frustasi, marah, benci dan kesal jika terjadi kemunduran dan janji bantuan tidak
terpenuhi, terlalu sedikit atau terlambat. Lembaga bantuan dan relawan mulai
hilang, kelompok masyarakat lokal mulai melemah. Mereka yang paling terkena
dampaknya akan sadar bahwa banyak hal yang harus dilakukan sendiri dan
kehidupan mereka tidak selalu sama. Perasaan kebersamaan akan mulai hilang
karena mulai fokus pada membangun kembali kehidupannya sendiri dan
mengatasi masalah individual. Emosi yang muncul berupa keraguan, kehilangan,
kesedihan dan isolasi.
6. Reconstruction; biasanya berlangsung selama bertahun-tahun setelah bencana.
Mereka yang bertahan mempunyai fokus perhatian pada membangun kembali
rumahnya, bisnis, ladang dan kehidupannya. Muncul bangunan-bangunan baru,
perkembangan program-program baru, dan rencana meningkatkan kepercayaan
dan kebanggan masyarakat dan kemampuan individu untuk membangun kembali.
Namun proses ini ada pasang surutnya, misal ada misal ada peristiwa-peristiwa
lain yang memicu reaksi emosional atau kemajuan yang tertunda.
Tyas, M. D. (2016). Keperawatan Kedaruratan & Manajemen Bencana. Jakarta
Selatan: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia: Pusat Pendidikan Sumber
Daya Manusia Kesehatan Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya
Manusia Kesehatan.
2. Penanganan dampak masalah psikologis?
Dibawah ini adalah uraian tentang prinsip dasar penanganan menghadapi respon
psikologis pasca bencana. Menurut WHO, ada beberapa hal yang harus kita pahami
dan kita persiapkan terlebih dahulu sebelum menangani masalah psikologis pasca
bencana, yaitu:
1) Lakukan persiapan sebelum emergency, meliputi: penetapan sistem koordinasi,
penyusunan rencana darurat dan pelatihan-pelatihan.
2) Lakukan Assessment: penilaian kualitatif dan kuantitatif terhadap kebutuhan
psikososial dan kesehatan mental
3) Upayakan kolaboratif dengan tim kesehatan lain
4) Integrasikan dalam primary health care
5) Berikan akses pelayanan untuk semua
6) Siapkan pelatihan dan pengawasan (jika tidak terjaga akan menimbulkan masalah
baru)
7) Rumuskan perspektif jangka panjang penanganan
8) Tetapkan indikator pantauan (monitoring indicator)
3. Bagaimana alur pengelolaan data bencana?
Jawab :
Informasi yang tepat dan akurat tergantung dari adanya data pendukung yang
terstruktur dan mudah dipahami. Informasi dalam penanggulangan bencana
dimulai sejak pengumpulan, analisis hingga diseminasi informasi yang dilakukan
secara cepat, tepat dan benar sebagai bagian dalam penanggulangan bencana. Data
dan informasi becana dikumpulkan dari berbagai sumber, antara lain dari
pemerintahan, organisasi relawan/NGO/masyarakat dan berbagai sumber media.
Data dikumpulkan baik secara langsung melalui wawancara ataupun secara tidak
langsung seperti dari internet, televisi, media cetak dan sebagainya. Diagram dari
alur manajemen data dan informasi tersebut dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Data bencana yang diperoleh dari berbagai sumber merupakan landasan dalam
memberikan informasi ke pihak-pihak yang membutuhkan. Manajemen informasi
yang dilakukan meliputi pengumpulan informasi (termasuk pengkajian),
penyusunan dan penstrukturan informasi, evaluasi dan analisis informasi serta
penyebaran informasi (desiminasi). Semua informasi dan data bencana harus
disimpan secara rapi dan baik secara elektronik maupun dalam bentuk dokumen
tertulis. Dalam melakukan analisis data diperlukan prinsip kehati-hatian, teliti dan
obyektif agar menghasilkan informasi yang tepat, ringkas dan akurat. Sebagai
acuan dalam analisis dilakukan dengan memperhatikan konsep 5W+H, yaitu apa,
di mana, kapan, siapa, mengapa dan bagaimana. Apabila tidak memungkinkan
dilakukan semua konsep, cukup dengan apa, dimana, kapan dan bagaimana.
Dalam penyajian data dan informasi yang jelas, terkini dan mudah dipahami
dapat menggunakan beberapa alat bantu seperti log book/buku pencatatan, peta
informasi,
papan
pengumuman,
papan
untuk
pesan,
pertemuan
koordinasi/informasi, informasi siapa, apa, dimana, salinan dan laporan situasi.
Analisis data yang telah menghasilkan informasi harus disebarkan secara tepat
waktu dan dengan cara yang terstruktur. Pelaporan merupakan salah satu dari
fungsi penting yang harus dilakukan oleh BNPB dan BPBD. Laporan harus jelas,
ringkas, akurat dan profesional.
Kebijakan Penanganan Krisis Kesehatan
Kejadian bencana dapat menimbulkan krisis kesehatan, maka penanganannya
perlu diatur dalam bentuk kebijakan sebagai berikut:
a. setiap korban akibat bencana mendapatkan pelayanan kesehatan sesegera
mungkin secara maksimal dan manusiawi;
b. prioritas selama masa tanggap darurat adalah penanganan gawat darurat medik
terhadap korban luka dan identifikasi korban mati di sarana kesehatan;
c. pelayanan kesehatan yang bersifat rutin di fasilitas‐fasilitas kesehatan pada
masa tanggap darurat harus tetap terlaksana secara optimal;
d. pelaksanaan penanganan krisis kesehatan dilakukan secara berjenjang mulai
dari tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pusat dan dapat dibantu oleh
masyarakat nasional dan internasional, lembaga donor, maupun bantuan
negara sahabat;
e. bantuan kesehatan dari dalam maupun luar negeri mengikuti ketentuan yang
berlaku yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan dan Kementerian atau
lembaga terkait;
f. penyediaan informasi yang berkaitan dengan penanggulangan kesehatan pada
bencana dilaksanakan oleh dinas kesehatan setempat selaku anggota BPBD;
g. g. monitoring dan evaluasi berkala pelaksanaan penanggulangan krisis
kesehatan dilakukan dan diikuti oleh semua pihak yang terlibat dalam
pelaksanaan penanggulangan kesehatan.
Mekanisme pengelolaan bantuan
a. Sumber daya manusia
Pada saat terjadi bencana perlu adanya mobilisasi SDM kesehatan yang
tergabung dalam suatu Tim Penanggulangan Krisis yang meliputi:
1) Tim Reaksi Cepat/TRC;
2) Tim Penilaian Cepat/TPC (RHA team);
3) Tim Bantuan Kesehatan.
Sebagai
koordinator
tim
adalah
Kepala
Dinas
Kesehatan
Provinsi/Kabupaten/Kota (sesuai Surat Kepmenkes Nomor 066 tahun 2006).
1) Tim Reaksi Cepat
Tim yang diharapkan dapat segera bergerak dalam waktu 0–24 jam setelah ada
informasi kejadian bencana. Kompetensi TRC disesuaikan dengan jenis
bencana spesifik di daerah dan dampak kesehatan yang mungkin timbul.
Sebagai contoh untuk bencana gempa bumi dengan karakteristik korban luka
dan fraktur, kompetensi TRC terdiri dari :
a) pelayanan medik;
1. dokter umum
2. dokter spesialis bedah/orthopedi
3. dokter spesialis anestesi
4. perawat mahir (perawat bedah, gadar)
5. tenaga Disaster Victims Identification (DVI)
6. apoteker/tenaga teknis kefarmasian
7. sopir ambulans
b) surveilans epidemiolog/sanitarian;
c) petugas komunikasi;
d) petugas logistik.
2) Tim Peniaian Cepat (RHA team)
Tim yang bisa diberangkatkan dalam waktu 0‐24 jam atau bersamaan dengan
TRC dan bertugas melakukan penilaian dampak bencana dan mengidentifikasi
kebutuhan bidang kesehatan, minimal terdiri dari:
a) dokter umum
b) epidemiolog
c) sanitarian
3) Tim Bantuan Kesehatan
Tim
yang diberangkatkan berdasarkan rekomendasi Tim RHA untuk
memberikan pelayanan kesehatan dengan peralatan yang lebih memadai,
minimal terdiri dari:
a) dokter umum dan spesialis
b) apoteker dan tenaga teknis kefarmasian
c) perawat
d) perawat Mahir
e) bidan
f) sanitarian
g) ahli gizi
h) tenaga surveilans
i) entomolog
Estimasi kebutuhan tenaga kesehatan di lokasi bencana:
1. Untuk jumlah penduduk/pengungsi antara 10.000 – 20.000 orang:
Dokter umum : 4 org
Perawat : 10 – 20 org
Bidan : 8 – 16 org
Apoteker : 2 org
Tenaga teknis
3. n/Rumah sakit, dapat dilihat dalam rumus kebutuhan tenaga di fasilitas
rujukan/rumah sakit
Kebutuhan dokter umum = (Σ pasien/40) – Σ dr umum di tempat
Kebutuhan dokter spesialis Bedah = [(Σ pasien dr bedah/5) / 5] ‐ Σ dr bedah di
tempat
Kebutuhan dokter spesialis anestesi = [(Σ pasien dr bedah/15) / 5] ‐ Σ dr
anestesi di tempat1. Untuk jumlah penduduk/pengungsi antara 10.000 –
20.000 orang:
Dokter umum : 4 org
Perawat : 10 – 20 org
Bidan : 8 – 16 org
Apoteker : 2 org
Tenaga teknis
3. n/Rumah sakit, dapat dilihat dalam rumus kebutuhan tenaga di fasilitas
rujukan/rumah sakit
Kebutuhan dokter umum = (Σ pasien/40) – Σ dr umum di tempat
Kebutuhan dokter spesialis Bedah = [(Σ pasien dr bedah/5) / 5] ‐ Σ dr bedah di
tempat
Kebutuhan dokter spesialis anestesi = [(Σ pasien dr bedah/15) / 5] ‐ Σ dr
anestesi di tempat
Pendayagunaan tenaga mencakup:
1. distribusi;
Penanggung jawab dalam pendistribusian SDM kesehatan untuk tingkat provinsi
dan kabupaten/kota adalah dinas kesehatan. Pada saat bencana, bantuan
kesehatan yang berasal dari dalam/luar negeri diterima oleh dinas kesehatan
berkoordinasi dengan Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) dan didistribusikan
oleh dinas kesehatan.
2. mobilisasi.
Mobilisasi SDM kesehatan dilakukan dalam rangka pemenuhan kebutuhan SDM
kesehatan pada saat dan pasca bencana bila masalah kesehatan yang timbul
akibat bencana tidak dapat ditangani oleh daerah tersebut sehingga
memerlukan bantuan dari regional, nasional dan internasional.
b. Obat dan Perbekalan Kesehatan
Masalah utama yang sering berkaitan dengan obat dan perbekalan kesehatan
donasi sebagai berikut :
1) obat dan perbekalan kesehatan donasi sering tidak sesuai dengan situasi
darurat yang terjadi, baik dari aspek pola penyakit maupun tingkat pelayanan
kesehatan yang tersedia. Obat tersebut sering tidak dikenal oleh tenaga
kesehatan setempat maupun pasien, bahkan kadang‐kadang tidak memenuhi
standar pengobatan yang berlaku;
2) obat dan perbekalan kesehatan donasi sering tiba tanpa terlebih dahulu disortir
dan diberi label dalam bahasa lokal/inggris, bahkan tanpa ada nama
generiknya;
3) kualitas obat dan perbekalan kesehatan donasi kadangkala tidak sesuai dengan
standar yang berlaku di negara donor;
4) pihak donor kadang tidak menghiraukan prosedur administrasi negara
penerima;
5) pihak donor sering menyebutkan nilai obat lebih tinggi dari yang semestinya;
6) obat dan perbekalan kesehatan donasi dalam jumlah yang tidak sesuai
kebutuhan, akibatnya beberapa obat berlebih harus dimusnahkan. Hal ini dapat
menimbulkan masalah pada negara penerima;
c. Pengelolaan bantuan SDM internasional
Prinsip utama dalam pengelolaan sumber daya manusia internasional yang efektif
adalah sebagai berikut :
1) dapat
membedakan antara kebutuhan
yang bersifat
segera
untuk
menyelamatkan nyawa (pencarian, penyelamatan dan pelayanan medis
darurat) dan tipe bantuan kesehatan yang dibutuhkan untuk rehabilitasi jangka
panjang. setiap tipe membutuhkan kebijakan dan pendekatan strategis yang
berbeda;
2) memastikan bahwa tim medis dari luar dapat segera beroperasi pada 24 jam
pertama (golden hours), tepat waktu untuk menyelamatkan nyawa.
keterlambatan untuk membantu korban bencana sering sekali disebabkan oleh
hambatan logistik (akses, transportasi, cuaca)
daripada kurangnya personel medis. dalam hal ini tim bantuan medis dari luar
hanya akan menambah masalah;
3)pada saat kekurangan sumber daya manusia menjadi masalah, permintaan
ditargetkan terutama pada negara tetangga atau negara lain dalam sub‐regional
yang sama;
4) menerima sukarelawan atau tim medis dari luar dengan kriteria sebagai
berikut:
a) disponsori oleh organisasi yang dikenal dengan baik dan dapat menjamin
kualifikasi sukarelawan atau tim medis yang dikirimkan;
b) mengetahui atau familier dengan bahasa, kebudayaan dan level teknologi yang
sesuai untuk situasi bencana di daerah tersebut;
c) dapat bekerja tanpa dukungan yang berlebihan dari orang lain;
d) mau dan dapat tinggal selama periode waktu yang sesuai dan layak;
e) informasikan kepada media, misi diplomatik, konsulat, dan agensi lain
mengenai kriteria, kebijakan dan menjelaskan prosedur registrasi, kewajiban,
cakupan kerja dan supervisi sebelum menerima atau mengirimkan tim medis.
7) Referensi
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2008). Peraturan Kepala BNPB No. 13
Tahun 2010 tentang pedoman pencarian, pertolongan dan evakuasi
BNPB. (2008). Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 4
Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana
(pp. 16-18). Jakarta: Badan Nasional Penanggulangan Bencana .
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (Bnpb) Peraturan Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Bencana Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Standardisasi Data
Kebencanaan Hal. 8-9.
DepKes RI. 2007. Pedoman teknis penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana.
Jakarta.
DepKes RI. 2011. Pedoman teknis penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana.
Ed. revsi. Jakarta.
Deputi Bidang Sarana dan Prasarana, Direktorat Pengairan dan Irigasi. (2008).
Kebijakan Penanggulangan Banjir di Indonesia. Retrieved from
Bappenas.go.id.
Dr. Sjafii Ahmad, M. (2007). Banjir. Jakarta: Pusat Penanggulangan Krisis
Departemen Kesehatan RI.
Fernando, R., Sujatmoko, B., & Hendri, A. (2017). Perencanaan Tempat Evakuasi
Bencana Banjir Berbasi Teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG). Jom
FTEKNIK, 3-4.
https://berkas.dpr.go.id/files/info_singkat ( Diakses pada tanggal 11 Februari 2019 )
Mudjiharto, dkk. (2011). Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat
Bencana (mengacu pada standar Internasional). In WHO. Jakarta. Retrieved
from
www.searo.who.int/indonesia/documents/ermpubtechnicalguidelines.pdf
Munandar, A., & Wardaningsih, S. 2018. Nursing Provions in Psychological Aspect
Management of Natural Disasters:Literature Review. Jurnal Keperawatan. Vol
9 No.2.
Organization, P. A. (2006). Bencana Alam:Perlindungan Kesehatan Masyarakat.
Jakarta: EGC.
Pakaya, R, dkk. (2007). Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat
Bencana.
Jakarta.
http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/penanganan
krisis/buku_pedoman_teknis_pkk_ab.pdf ( Diakses pada tanggal 11 Februari
2019 )
Pemerintahan Indonesia. 2014. Undang-undang Republik Indonesia No. 29 Tahun
2014 tentang pencarian dan pertolongan. Lembaran Negara RI Tahun 2014
No. 29 Jakarta : Sekretariat Negara
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Nomor 10 Tahun 2012
https://bnpb.go.id/uploads/migration/pubs/561.pdf (Diakses pada tanggal 11
Februari 2019)
Peratutan Kepala BNPB No. 7 Tahun 2008 tentng Pedoman Tata Cara Pemberian
Bantuan Pemenuhan Kebutuhan Dasar
Putra Ardia,dkk.2017.Nurses’ Role and Leadership in Disaster Management at the
Emergency Response . Idea Nursing Journal.Vol 6(1):25-31.
Sarikusmayadi, Astri Aprilia. 2015. Teknologi Pengolahan Air untuk Kondisi
Darurat. Bandung. https://researchgate.net/publication/287632497 (Diakses
pada tanggal 11 Februari 2019)
Tyas, M. D. (2016). Keperawatan Kedaruratan & Manajemen Bencana. Jakarta
Selatan: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia: Pusat Pendidikan Sumber
Daya Manusia Kesehatan Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber
Daya Manusia Kesehatan.
Widyastuti,P. 2006. Bencana Alam Perlindungan Kesehatan Masyarakat. Jakarta :
EGC
www.depkes.go.id/download/buku_banjir (Diakses pada tanggal 11 Februari 2019)
Download