LAPORAN HASIL TUTORIAL “Skenario Banjir” DISUSUN OLEH : Kelompok 2 Jetliani Nicepa Doran (C12116017) Fitrah Ardillah (C12116019) Nurfita Dewi (C12116020) Saznita Tadjuddin (C12116026) Harfiah Lutfah Ilham (C12116030) Amalia Andyka P.Ys (C12116310) Greysia Winona Sumbung (C12116315) Andi Taufiqurrahman (C12116327) Ismayani Safitri (C12116501) Novianti Irwan (C12116512) Shahnaz Fathirrizky (C12116516) Alim Nur Pattaah (C12116523) Amelia Hisage (C12116701) FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS HASANUDDIN 2018 Bencana banjir melanda Sulawesi Selatan pada hari selasa tanggal 22 januari 2019. Bencana ini terjadi di 14 daerah yakni Kota Makassar, Kabupaten Gowa, Kabupaten Takalar, Kabupaten Jeneponto, Kabupaten Bantaeng, Kabupaten Maros, Kabupaten Pangkep, Kabupaten Barru, Kabupaten Soppeng, Kabupaten Wajo, Kabupaten Sidrap, Kabupaten Selayar, Kabupaten Sinjai, dan Kabupaten Tana Toraja. Banjir ini terjadi disebabkan oleh tingginya curah hujan. Pemerintah menetapkan status tanggap darurat selama 2 minggu. Dampak yang ditimbulkan adalah jatuhnya korban jiwa sebanyak 78 orang meninggal, 3 orang dinyatakan hilang, rusaknya fasilitas umum seperti tempat ibadah sebanyak 12 unit, panjang jalan yang rusak 15.785 meter, sekolah sebanyak 70 unit, jembatan sebanyak 34 unit, serta kesulitan dalam mengakses air bersih. Selain itu rumah yang terendam sebanyak 22.156 unit, hanyut 33 unit serta rusaknya beberapa tambak dan sawah. Akses jalan menuju kota Makassar dari jeneponto dan juga barru terputus. Dikabarkan pengungsi akibat dari bencana ini mencapai 9.429 jiwa. Dampak lain yang ditimbulkan dari bencana ini adalah adanya trauma yang dialami oleh korban banjir. Skenario Banjir 1) Klarifikasi Kata-Kata Kunci a. Bencana : Kejadian atau keadaan yang mengancam jiwa dan juga dapat menyebabkan kerusakan fasilitas yang biasanya disebabkan oleh faktor alam maupun buatan. b. Status tanggap darurat : suatu himbauan kepada masyarakat untuk tetap waspada untuk terhadap bencana/ situasi yang mengancam. c. Banjir : kondisi dimana meningkatnya volume air/berlebihnya jumlah air yang memasuki/ menggenangi pemukiman maupun fasilitas d. Pengungsi : sekumpulan orang yang berpindah kesuatu wilayah yang lebih aman disebabkan kondisi yang mengancam/bencana e. Curah hujan : intensitas hujan dalam kurun waktu yang tertentu f. Trauma : suatu keadaan dimana terjadinya cedera fisik dan psikis g. Korban : sekumpulan orang/individu yang terkena dampak dari suatu keadaan yang merugikan 2) Peta Konsep Penyebab : PRA Bencana Pencegahan : - Curah hujan - Drainase yang kurang baik - Buang sampah sembarangan - Penebang pohon liar - Reklamasi - Pemanasan global - Reboisasi - Perbaikan drainase - Pembuatan TPA atau tingkat kesadaran buang sampah - Pemkes BANJIR PASCA Dampak : # Korban - K. jiwa (meninggal) Pengungsi K. Trauma : Psikis & Fisik K. hilang # Rusaknya fasilitas - Umum : Jembatan, sekolah, tempat ibadah, jalan Pribadi : Rumah,tambak,sawah # Kekurangan air bersih Pencegahan : Evakuasi korban Pembuatan posko - Kesehatan - Dapur - Bantuan - Pengungsian Air bersih & MCK Pembangunan fasilitas umum sementara - RS lapangan - Sekolah darurat Trauma healing # Masalah kesehatan : diare, DBD dll Intra bencana Pasca bencana 3) Pertanyaan-Pertanyaan Penting 1. Apa yang harus dilakukan pertama kali ketika terjadi banjir ? 2. Bagaimana penanggulangan agar tidak terjadi banjir ? 3. Peran instansi pemerintahan dalam pre & post bencana banjir ? 4. Masalah kesehatan yang timbul dari bencana banjir ? 5. Peran perawat dalam penanganan korban banjir ? 6. Jelaskan status kebencanaan dalam hal yang harus dilakukan ditiap levelnya ? 7. Jelaskan tingkatan kewaspadaan atau siklus bencana serta upaya yang dilakukan disetiap tingkatannya ? 8. Berapa lama jangka waktu pencarian bagi korban hilang ? 9. Penanganan terhadap tingginya jumlah pengungsi ? 10. Bagaimana cara menangani kebutuhan dipengungsian seperti air bersih, makanan, pakaian dan kesehatan ? 11. Bagaimana proses penyaluran bantuan pada daerah terisolasi ? 4) Jawaban Penting 1. - Membuka Pos Kesehatan - Membantu Evakuasi Korban - Memberikan Pertolongan Pada Korban - Memberikan pelayanan Kesehatan Gratis - Merujuk penderita jika diperlukan - Melakukan penilaian kesehatan secara cepat - Membuat pencatatan dan pelaporan 2. Dalam menangulangi banjir, kita perlu melakukan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu : - Pengelolaan dan konservasi lahan pertanian - Pembuatan dan pemeliharaan saluran air - Pembangunan terjunan air dan sebagainya - Pemeliharaan tebing sungai - Pengembangan infrastruktur yang sesuai (misalnya pembangunan sarana irigasi dan tinggi tanggul sungai ) 3. Menurut Carter (1991) penanggulangan bencana alam (disaster management) perlu diselenggarakan melalui tahap-tahap: Persiapan (preparation), Penghadangan/penanganan (Facing disaster), Perbaikan akibat kerusakan (reconstruction), Pengfungsian kembali prasarana dan sarana sosial yang rusak (Rehabilitation), dan Penjinak gerak alam yang menimbulkan bencana (Mitigation). Manajemen bencana banjir khusunya pada mitigasi diterapkan, guna untuk mencegah dampak dari bencana banjir. Mitigasi perlu untuk dilakukan untuk mengurangi resiko dari bencana banjir serta bisa untuk meningkatkan kemampuan masyarakat serta organisasi dalam penanganan bencana banjir. Menurut UU No 24 Tahun 2007 Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Mitigasi sangat berperan dalam pengurangan resiko bencana banjir, dengan mitigasi dampak bencana banjir dapat diminimalisir dengan baik. pengetahuan dan kemampuan masyarakat maupun stakeholder dapat menigkat dalam penanganan bencana banjir, sehingga korban jiwa, kehilangan harta benda serta dampak dari bencana banjir lainnya dapat ditangani Penyelenggaraan mitigasi bencana banjir seluruhnya dilaksanakan oleh pemerintah. Pemerintah bertanggung jawab penuh dalam penyelesaian masalah bencana, khususnya pada hal mitigasi bencana banjir. Peran dan tanggung jawab pemerintah telah diatur pada UU No. 24 Tahun 2007, bahwa penyelenggaraan tanggung penanggulangan bencana diserahkan pada pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), namun pada pasal 28, 29, dan 30 UU No. 24 Tahun 2007 merumuskan lembaga usaha dan organisasi international dalam penanggulangan bencana baik secara sendiri mapun bersamasama. Peran pemerintah pusat tersebar di berbagai Kementerian serta lembaga non kementerian, masing-masing mempunya fungsi dan peran dalam hal mitigasi bencana banjir. Peran serta semua lembaga pemerintah dalam mitigasi bencana banjir menyebar dihampir seluruh instansi/institusi, baik kementrian maupun lembaga non kementrian. Hal ini menunjukan masing-masng lembaga mempunyai andil yang berbeda-beda dalam mitagasi bencana banjir. Penyelenggaraan mitigasi bencana banjir, setiap lembaga saling berkoordinasi antara satu sama lain. Selain pemerintah pusat, pemerintah daerah mempunyai peran dalam hal mitigasi bencana banjir, namun tugas dan fungsi yang dilakukan searah dengan pemerintah pusat. Perbedaan penanganan mitigasi bencana banjir antara pemerintah pusat daerah ialah pada tata letak wilayah, pemerintah pusat melaksanakan mitigasi secara menyeluruh di wilayah Indonesia, sedangkan pemerintah daerah pada daerah otonomnya sendiri. Fungsi dan peran pemerintah daerah sangat jelas dalam mitigasi bencana banjir, pemerintah daerah meyusun rencana penanggulangan bencana meliputi, mitigasi, kegiatan pra bencana dan pasca benca. Kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah berkoordinasi pada semua instasi terkait yang mempunya fungsi dalam mitigasi bencana banjir. Pemerintah daerah juga melakukan koordinasi terhadap penyusunan rencana penanggulangan bencana banjir dengan BPBD, karena lembaga atau institusi BPBD mempunyai kewenangan lebih terhadap mitigasi bencana banjir. Pada dasarnya pemerintah daerah dan BPBD mempunyai kedudukan yang sama dalam penanganan mitigasi bencana banjir, BPBD sendiri merupakan bentukan dari BNPB yang dimana lembaga ini memiliki kewenangan yang besar terhadap penanggulangan bencana yang bertanggung jawab langsung pada Presiden. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) mempunyai tugas dan fungsi yang langsung dalam kewenangan penanganan mitigasi bencana banjir. Secara khusus BNPB dan BPBD menjadi pusat koordinasi seluruh instansi/institusi yang terkait dalam mitigasi bencana banjir. Penanggulangan bencana baik tingkat daerah mapun pusat, terlebih dahulu berkoordinasi dengan BNPB dan BPBD. Selain Pemerintah Pusat, pemerintah daerah dan BNPB, penanggulangan bencana khusnya pada mitigasi bencana banjir, dilakukan oleh lembaga swasta dan international. Peran lembaga swasta dan international dalam mitigasi bencana banjir antara lain membantu pengumpulan bantuan untuk disalurkan kepada korban bencana banjir bandang; membantu proses rehabilitasi dan rekonstruksi daerah yang terkena bencana; dan membantu penyediaan data berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan secara independent oleh lembaga yang bersangkutan. Pada tahap pra bencana dilakukan (1) membuat peta rawan bencana oleh BASOKURTANAL, BPBD (2) membangun, meningkatkan, memperbaiki atau normalisasi, dan memelihara sungai, tampungan air, dan drainase beserta peralatan dan fasilitas penunjangnya; (3) menyusun peraturan dan menertibkan daerah bantaran sungai; (4) membuat peta daerah genangan banjir; (5) sosialisasi dan pelatihan prosedur tetap penanggulangan banjir; (6) menegakkan hukum terhadap pelanggaran pengelolaan daerah aliran sungai; (7) menyediakan cadangan pangan dan sandang serta peralatan darurat banjir lainnya; (8) membuat sumur resapan; (9) pemantapan Satkorlak PBP; (10) merevisi tata ruang propinsi maupun kota secara terkoordinasi dan terintegrasi; (11) mengendalikan perkembangan lingkungan dan pengembangan daerah (12) membuat penampungan air berteknologi tinggi; (13) menerapkan pengelolaan sungai terpadu berdasarkan satuan wilayah hulu; sungai (SWS) dan memberdayakan kelembagaan pengelolaan SWS; (14) membangun fasilitas pengolah limbah dan sampah; (15) mereboisasi kota dan daerah hulu; (16) mendirikan Posko banjir di wilayah RT/ RW Kebijakan dan program pada tahapan ketika terjadi bencana, berupa: (1) pemberitahuan dini kepada masyarakat tentang kondisi cuaca; (2) menempatkan petugas pada pos-pos pengamatan; (3) menyiapkan sarana penanggulangan, termasuk bahan banjiran; (4) mengevakuasi dan mengungsikan penduduk ke daerah aman, sesuai yang telah direncanakan dengan memanfaatkan seluruh komponen masyarakat, TNI, Polri, Satlak PBP, Satkorlak PBP, Badan SAR Nasional (Basarnas), dan Karang Taruna; (5) memberikan bantuan pangan, pakaian, dan peralatan kebutuhan lainnya, serta pelayanan kesehatan darurat kepada korban bencana; (6) mendata lokasi dan jumlah korban bencana. Pada tahap setelah banjir, kebijakan dan program yang telah dilakukan di daerah studi umumnya masih bersifat fisik, sedangkan yang bersifat non fisik masih belum ditemui. Program dan kegiatan fisik yang telah dilakukan adalah: (1) pendataan kerusakan bangunan dan fasilitas publik; (2) memperbaiki prasarana publik yang rusak; (3) pembersihan lingkungan; (4) mengajukan usulan pembiayaan program pembangunan fasilitas penanggulangan banjir Tingkat pusat (Mudjiharto, 2011) 1). Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) BNPB merupakan lembaga pemerintah non departemen setingkat menteri yang memiliki fungsi merumuskan dan menetapkan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi secara cepat, tepat, efektif dan efisien serta mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu dan menyeluruh. Adapun tugas dari BNPB adalah sebagai berikut: a. memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi secara adil dan setara; b. menetapkan standardisasi dan kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan bencana berdasarkan peraturan perundangundangan; c. menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat; d. melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada Presiden setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan pada setiap saat dalam kondisi darurat bencana; e. menggunakan dan mempertanggungjawabkan sumbangan/bantuan nasional dan internasional; f. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; g. melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan peraturan perundangundangan; dan h. menyusun pedoman pembentukan BPBD. 2) Kementerian Kesehatan Tugas dan kewenangan Kementerian Kesehatan adalah merumuskan kebijakan, memberikan standar dan arahan serta mengkoordinasikan penanganan krisis dan masalah kesehatan lain, baik dalam tahap sebelum, saat maupun setelah terjadinya. Dalam pelaksanaannya dapat melibatkan instansi terkait, baik pemerintah maupun non pemerintah, LSM, lembaga internasional, organisasi profesi maupun organisasi kemasyarakatan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Selain itu Kementerian Kesehatan secara aktif membantu mengoordinasikan bantuan kesehatan yang diperlukan oleh daerah yang mengalami situasi krisis dan masalah kesehatan lain. Struktur organisasi dalam Kementerian Kesehatan pada penanggulangan bencana a) Hubungan antara BNPB dan Kementerian Kesehatan Dalam Peraturan Presiden No 8 tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana dinyatakan bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya, BNPB dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan salah satu unsur pengarah BNPB adalah pejabat eselon 1 Kementerian Kesehatan. Hubungan antara BNPB dan Kementerian Kesehatan terlihat pada diagram dibawah b) Pusat Penanggulangan Krisis Regional Kementerian Kesehatan membentuk 9 (sembilan) Pusat Bantuan Regional Penanganan Krisis Kesehatan yang berperan untuk mempercepat dan mendekatkan fungsi bantuan kesehatan dan masing‐masing dilengkapi dengan SDM kesehatan terlatih dan sarana, bahan, obat serta perlengkapan kesehatan lainnya, Pusat Regional Penanganan Krisis Kesehatan berfungsi: - sebagai pusat komando dan pusat informasi (media centre) kesiapsiagaan dan penanggulangan kesehatan akibat bencana dan krisis kesehatan lainnya; - fasilitasi buffer stock logistik kesehatan (bahan, alat dan obatobatan); - menyiapkan dan menggerakkan Tim Reaksi Cepat dan bantuan SDM kesehatan yang siap digerakkan di daerah yang memerlukan bantuan akibat bencana dan krisis kesehatan lainnya; - sebagai pusat networking antara 3 komponen kesehatan dalam regional tersebut yaitu dinas kesehatan, fasilitas kesehatan dan perguruan tinggi. c). Unit Pelaksana Teknis Kementerian Kesehatan Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) dan Balai Teknis Kesehatan Lingkungan Pemberantasan Penyakit Menular (BTKL) serta Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) merupakan unit‐unit pelaksana teknis Kemenkes di daerah. KKP berperan dalam memfasilitasi penanganan keluar masuknya bantuan sumber daya kesehatan melalui pelabuhan laut/udara dan daerah perbatasan serta karantina kesehatan. BTKL berperan dalam perkuatan sistem kewaspadaan dini dan rujukan laboratorium. d). Hubungan antara Pemerintah dengan Komunitas Internasional Pendekatan klaster (cluster approach) adalah suatu model koordinasi dengan mengelompokkan para pelaku kemanusiaan berdasarkan gugus kerja untuk memberikan respon darurat yang lebih dapat diperkirakan dengan penetapan ‘pimpinan’ kelompok/ klaster. Pimpinan klaster bersama‐sama dengan sektor‐sektor pemerintah membangun koordinasi baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan. Pendekatan klaster bertujuan agar bantuan respon darurat dapat dilaksanakan secara lebih terkoordinasi antar pelaku baik dari pemerintah maupun non pemerintah. Pendekatan klaster dilaksanakan pada kejadian bencana berskala besar atau membutuhkan bantuan internasional dalam respon multi‐sektor dengan partisipasi luas dari para pelaku kemanusiaan internasional (Pedoman Peran Serta Lembaga Internasional Dan Lembaga Asing b. Tingkat daerah Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) adalah perangkat daerah yang dibentuk untuk melaksanakan tugas dan fungsi penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerah. Pada tingkat provinsi BPBD dipimpin oleh seorang pejabat setingkat di bawah gubernur atau setingkat eselon Ib dan pada tingkat kabupaten/kota dipimpin oleh seorang pejabat setingkat di bawah bupati/walikota atau setingkat eselon IIa. Kepala BPBD dijabat secara rangkap (ex‐officio) oleh Sekretaris Daerah yang bertanggungjawab langsung kepada kepala daerah. BPBD mempunyai fungsi : 1) perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat, efektif dan efisien; 2) pengoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu dan menyeluruh. BPBD mempunyai tugas : 1) menetapkan pedoman dan pengarahan sesuai dengan kebijakan pemerintah daerah dan BNPB terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan darurat, rehabilitasi, serta rekonstruksi secara adil dan setara; 2) menetapkan standardisasi serta kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan bencana berdasarkan Peraturan Perundangundangan; 3) menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta rawan bencana; 4) menyusun dan menetapkan prosedur tetap penanganan bencana; 5) melaksanakan penyelenggaraan penanggulangan bencana pada wilayahnya; 6) melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada kepala daerah setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan setiap saat dalam kondisi darurat bencana; 7) mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan barang; 8) mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; 9) melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan peraturan perundangundangan. Dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota Dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota sebagai salah satu anggota unsur pengarah penanggulangan bencana memiliki tanggung jawab dalam penanganan kesehatan akibat bencana dibantu oleh unit teknis kesehatan yang ada di lingkup provinsi dan kabupaten/kota. Pelaksanaan tugas penanganan kesehatan akibat bencana di lingkungan dinas kesehatan dikoordinasikan oleh unit yang ditunjuk oleh Kepala Dinas Kesehatan dengan surat keputusan. Tugas dan kewenangan dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota adalah melaksanakan dan menjabarkan kebijakan, memberikan standar dan arahan serta mengkoordinasikan kegiatan penanganan kesehatan akibat bencana di wilayah kerjanya. (Mudjiharto, 2011) 4. - Diare. Penyskit diare sagat erat kaitannya dengan kebersihan individu. Pada saat banjir, sumber-sumber air minum masyarakat, khususnya sumber air minum dari sumur dangkal, akan ikut tercemar. - Demam berdarah. Saat musim hujan, terjadi peningkatan tempat perindukan nyamuk aedes aegypti, karena banyak sampah seperti kaleng bekas, ban bekas, dan tempat-tempat tertentu terisi air sehingga meninmbulkan genangan, tempat berkembang biak nyamuk tersebut. - Penyakit leptospirosis. Leptospirasis (demam banjir) disebabkan bakteri leptospirosis menginfeksi manusia melalui kontak dengan air atau tanah masuk ke dalam tubuh melalui selaput lendir mata atau luka lecet. Bakteri ini bisa bertahan 28 hari. Penyakit ini termasuk penyakit zoonosis karena ditularkan melalui hewan. Di Indonesia, hewan penular yang utama adalah tikus, melalui kotoran dan air kencingnya yang bercampur dengan air banjir. - Infeksi Saluran Pernapasan Akut atau ISPA. Penyebab penyakit ini dapat berupa bakteri, virus, dan berbagai mikroba lainnya. Gejala utama yaitu dapat berupa batuk dan demam yang jika tidak segera ditangani dapat menyebabkan sesak napas dan nyeri dada. ISPA mudah menyebar kebanyak orang, seperti tempat pengungsian korban banjir. - Penyakit kulit. Penyakit kulit dapat berupa infeksi, alergi, dan lain-lain. Pada musim banjir maka masalah utamanya adalah kebersihan yang tidak terjaga baik. Seperti juga ISPA, maka faktor berkumpulnya banyak orang misalnya ditempat pengungsi korban banjir, berperan dalam penularan infeksi dll. - Penyakit saluran cerna, misalnya demam tifoid. Dalam hal ini, faktor kebersihan makanan sangat berpengaruh. - Memburuknya penyakit kronis. Hal ini terjadi karenan menurunannya system daya tahan tubuh akibat musim hujan berkepanjangan, apalagi bila banjir terjadi selama berhari-hari. 5. Menurut Ardia Putra,dkk(2017) Peran perawat dalam sebuah bencana terbagi dalam 7 aspek yaitu : . Pencarian dan Penyelamatan Melokalisasi korban. Memindahkan korban dari daerah berbahaya ke tempat pengumpulan/penampungan. Memeriksa status kesehatan korban (triase di tempat kejadian). Memberi pertolongan pertama jika diperlukan. Memindahkan korban ke pos medis lapangan jika diperlukan. Triage Identifikasi secara cepat korban yang membutuhkan stabilisasi segera (perawatan di lapangan). Identifikasi korban yang hanya dapat diselamatkan dengan pembedahan darurat (life saving surgery). Pasien harus diidentifikasi dan diletakkan secara cepat dan tepat, mengelompokkan korban sesuai dengan keparahan pada masingmasing warna tag yaitu kuning dan merah. Area tindakan harus ditentukan sebelumnya dan diberi tanda. Penemuan, isolasi dan tindakan pasien terkontaminasi/terinfeksi harus diutamakan. Pertolongan Pertama Mengobati luka ringan secara efektif dengan melakukan teknik pertolongan pertama, seperti kontrol perdarahan, mengobati shock dan menstabilkan patah tulang. Melakukan pertolongan bantuan hidup dasar seperti manajemen perdarahan eksternal, mengamankan pernafasan, dan melakukan teknik yang sesuai dalam penanganan cedera. Mempunyai keterampilan Pertolongan pertama seperti membersihkan jalan napas, melakukan resusitasi dari mulut-mulut, melakukan CPR/RJP, mengobati shock, dan mengendalikan perdarahan. Membuka saluran udara secepat mungkin dan memeriksa obstruksi saluran napas harus menjadi tindakan pertama, jika perlu saluran udara harus dibuka dengan metode Head-Tilt/Chin-Lift. Mengalokasikan pertolongan pertama pada korban dengan perdarahan, maka perawat harus mnghentikan perdarahan, karena perdarahan yang tidak terkontrol dapat menyebabkan kelemahan dan apabila akhirnya shock dapat menyebabkan korban meninggal. Proses Pemindahan Korban Pemeriksaan kondisi dan stabilitas pasien dengan memantau tanda-tanda vital; Pemeriksaan peralatan yang melekat pada tubuh pasien seperti infus, pipa ventilator/oksigen, peralatan immobilisasi dan lain-lain. Perawatan diRumah Sakit Mengukur kapasitas perawatan rumah sakit. Lokasi perawatan di rumah sakit Hubungan dengan perawatan di lapangan. Arus pasien ke RS harus langsung dan terbuka. Arus pasien harus cepat dan langsung menuju RS, harus ditentukan, tempat tidur harus tersedia di IGD, OK, ruangan dan ICU. Tapid Health Assesment Menilai kesehatan secara cepat melalui pengumpulan informasi cepat dengan analisis besaran masalah sebagai dasar mengambil keputusan akan kebutuhan untuk tindakan penanggulangan segera. Peran perawat dalam posko pengungsian atau posko bencana Memfasilitasi jadwal kunjungan konsultasi medis dan cek kesehatan sehari-hari. Tetap menyusun rencana prioritas asuhan keperawatan harian. Merencanakan dan memfasilitasi transfer pasien yang memerlukan penanganan kesehatan di RS. Mengevaluasi kebutuhan kesehatan harian. Memeriksa dan mengatur persediaan obat, makanan, makanan khusus bayi, peralatan kesehatan. Membantu penanganan dan penempatan pasien dengan penyakit menular maupun kondisi kejiwaan labil hingga membahayakan diri dan lingkungannya berkoordinasi dengan perawat jiwa. Mengidentifikasi reaksi psikologis yang muncul pada korban (ansietas, depresi yang ditunjukkan dengan seringnya menangis dan mengisolasi diri) maupun reaksi psikosomatik (hilang nafsu makan,insomnia, fatigue, mual muntah, dan kelemahan otot). Membantu terapi kejiwaan korban khususnya anak-anak, dapat dilakukan dengan memodifikasi lingkungan misal dengan terapi bermain. Memfasilitasi konseling dan terapi kejiwaan lainnya oleh para psikolog dan psikiater. Konsultasikan bersama supervisi setempat mengenai pemeriksaan kesehatan dan kebutuhan masyarakat yang tidak mengungsi. Peran Perawat dalam Postimpact Membantu masyarakat untuk kembali pada kehidupan normal melalui proses konsultasi atau edukasi. Membantu memulihkan kondisi fisik yang memerlukan penyembuhan jangka waktu yang lama untuk normal kembali bahkan terdapat keadaan dimana kecacatan terjadi. Salah satu penelitian yang dilakukan Arif Munandar dan Shanty (2018) menyebutkan bahwa dalam perawatan, perawat dituntut untuk tidak hanya berfokus pada masalah fisik korban saja tapi perawat juga harus fokus pada masalah psikologis pasien karena Kegagalan dalam mengatasi masalah psikologis pasien bisa berdampak pada semakin memburuknya keadaan pasien karena pasien mungkin akan mengalami kecemasan yang semakin berat dan menolak pengobatan. Ketika merawat pasien, perawat dituntut untuk secara seimbang memenuhi kebutuhan fisik dan emosional dirinya maupun pasien dan keluarganya. Untuk mencapai keseimbangan ini perawat harus mempunyai pengetahuan tentang bagaimana keperawatan yang dialami mempengaruhi kesehatan psikososial pasien, keluarga dan petugas kesehatan. Aspek psikologis jika diabaikan, akan mengakibatkan beberapa hal, diantaranya adalah korban bencana akan mengalami perasaan yang tidak berdaya dan tidak dapat mengontrol stres yang ditimbulkan akibat bencana, post trauma stres disorders (PTSD), kemudian akan terjadi gangguan emosional, kecemasan, depresi, gangguan tidur, keluhan somatis dan masalah perilaku . 6. Pada saat evakuasi hal yang perlu dilakukan adalah membuat perencanaan tempat evakuasi banjir (flood shelter) langkah awal yang dilakukan adalah identifikasi lokasi berupa eksisting lapangan yang saat banjir tidak terganggu. Menurut penelitian (Sri Harsini,2014) kriteria tempat evakuasi banjir memiliki beberapa karakteristik berupa lokasi tempat evakuasi harus berada di daerah bebas banjir, kedua jumlah fasilitas Mandi Cuci Kasus (MCK) harus memadai dengan jumlah pengungsi, kapasitas luas, memiliki akses yang bagus dan efisien. (Fernando, Sujatmoko, & Hendri, 2017) Saat evakuasi yang perlu dilakukan adalah melakukan triage yaitu mengutamakan penyelamatan kepada anak-anak, wanita hamil dan lansia. Selain itu rute evakuasi menuju posko dalam kondisi aman dan telah ditentukan sebelumnya. Pada kegiatan ini melibatkan SAR, Polosi, TNI, Hansip, PMI dan tenaga kesehatan terlatih serta masyarakat. setelah itu, korban yang di evakuasi kemudian diberi pertolongan dengan maksud mengurangi angka kesakitan dan kematian oleh tim medis seperti perawat dan dokter serta relawan yang ikut serta. (Dr. Sjafii Ahmad, 2007) Salah satu pihak yang terlibat dalam proses evakuasi adalah tim SAR (Search and Rescue). Berikut adalah tahap penyelenggaraan operasi SAR saat evakuasi : Tahap Kekhawatiran (Awareness Stage) Tahap kekhawatiran adalah kekhawatiran bahwa suatu keadaan darurat diduga akan muncul, termasuk didalamnya termasuk didalamnya penerimaan informasi dari seseorang atau organisasi. Dalam tahap ini menyadari bahwa suatu kejadian darurat telah terjadi dan perlunya mengambil suatu tindakan. Tahap Kesiagaan (Initial Action Stage) Tahap kesiagaan adalah tahap tindakan awal, tanggap bahwa suatu musibah telah terjadi serta berusaha mengumpulkan berbagai keterangan mengenai musibah. Aksi persiapan yang diambil antara lain menyiagakan fasilitas SAR dan mendapatkan informasi yang lebih jelas, termasuk didalamnya menyeleksi informasi yang diterima untuk segera dianalisa untuk dapat dilakukan tindakan selanjutnya. Tahap Perencaaan (Planning Stage) Tahap perencanaan adalah suatu pengembangan perencanaan yang efektif dari sistem SAR. Di dalamnya berupa perencanaan pencarian yang akan dilaksanakan. Kemudian perencanaan pertolongan dan pembebasan korban, berupa posisi yang paling mungkin dari korban, tipe pencarian, pencarian optimum, perencanaan pencarian yang akan dicapai, metode pertolongan terbaik, titik pembebasan yang aman, fasilitas kesehatan yang baik yang mengalami cedera. Tahap Operasional (Operation Stage) Detection Mode / Tracking Mode and Evacuation Mode yaitu dilakukan operasi pencarian dan pertolongan serta penyelamatan korban secara fisik. Tahap operasi meliputi fasilitas SAR bergerak ke lokasi kejadian : Melakukan pencarian dan mendeteksi tanda yang ditemui yang diperkirakan ditinggalkan survivor (Detection Mode) Mengikuti jejak atau tanda yang ditinggalkan survivor (Tracking Mode) Menolong atau menyelamatkan dan mengevakuasi korban (Evacuation Mode) dalam hal ini memeberikan perawatan gawat darurat pada korban yang membutuhkan dan membawa korban yang cedera kepada perawatan yang memuaskan (evakuasi). Mengadakan briefing kepada SRU Mengirim/ memberangkatakan fasilitas SAR Melaksanakan operasi SAR di lokasi kejadian Melakukan penggantian/ penjadwalan SRU di lokasi kejadian Tahap Akhir Misi (Mission Conclusion Stage) Tahap akhir misi merupakan tahap akhir operasi SAR, meliputi pembuatan laporan kegiatan secara menyeluruh, penarikan kembali SRU dari lapangan ke posko, penyiagaan kembali untuk musibah selanjutnya, penyerahan korban kepada yang berhak serta mengembalikan SRU pada instansi induk masing-masing dan pada kelompok masyarakat. 7. a) Pencegahan dan Mitigasi Upaya atau kegiatan dalam rangka pencegahan dan mitigasi yang dilakukan, bertujuan untuk menghindari terjadinya bencana serta mengurangi risiko yang ditimbulkan oleh bencana. Upaya yang harus dilakukan Tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi pasif antara lain adalah: 1) Penyusunan peraturan perundang-undangan 2) Pembuatan peta rawan bencana dan pemetaan masalah. 3) Pembuatan pedoman/standar/prosedur 4) Pembuatan brosur/leaflet/poster 5) Penelitian / pengkajian karakteristik bencana 6) Pengkajian / analisis risiko bencana 7) Internalisasi PB dalam muatan lokal pendidikan 8) Pembentukan organisasi atau satuan gugus tugas bencana 9) Perkuatan unit-unit sosial dalam masyarakat, seperti forum 10) Pengarus-utamaan PB dalam perencanaan pembangunan Sedangkan tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi aktif antara lain: 1) Pembuatan dan penempatan tanda-tanda peringatan, bahaya, larangan memasuki daerah rawan bencana dsb. 2) Pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai peraturan tentang penataan ruang, ijin mendirikan bangunan (IMB), dan peraturan lain yang berkaitan dengan pencegahan bencana. 3) Pelatihan dasar kebencanaan bagi aparat dan masyarakat. 4) Pemindahan penduduk dari daerah yang rawan bencana ke daerah yang lebih aman. 5) Penyuluhan dan peningkatan kewaspadaan masyarakat. 6) Perencanaan daerah penampungan sementara dan jalur-jalur evakuasi jika terjadi bencana 7) Pembuatan bangunan struktur yang berfungsi untuk mencegah, mengamankan dan mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana, seperti: tanggul, dam, penahan erosi pantai, bangunan tahan gempa dan sejenisnya. - Kesiapsiagaan Kesiapsiagaan dilaksanakan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana guna menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian harta benda dan berubahnya tata kehidupan masyarakat. Upaya yang dilakukan 1) Pengaktifan pos-pos siaga bencana dengan segenap unsur pendukungnya. 2) Pelatihan siaga / simulasi / gladi / teknis bagi setiap sektor Penanggulangan bencana (SAR, sosial, kesehatan, prasarana dan pekerjaan umum). 3) Inventarisasi sumber daya pendukung kedaruratan 4) Penyiapan dukungan dan mobilisasi sumberdaya/logistik. 5) Penyiapan sistem informasi dan komunikasi yang cepat dan terpadu guna mendukung tugas kebencanaan. 6) Penyiapan dan pemasangan instrumen sistem peringatan dini ( early warning ) 7) Penyusunan rencana kontinjensi ( contingency plan ) 8) Mobilisasi sumber daya (personil dan prasarana/sarana peralatan) - Tanggap darurat Fase tanggap darurat adalah fase dimana dilakukan berbagai aksi darurat yang nyata untuk menjaga diri sendiri atau harta kekayaan. Upaya yang dilakukan 1) pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, kerugian, dan sumber daya; 2) penentuan status keadaan darurat bencana; 3) penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana; 4) pemenuhan kebutuhan dasar; 5) perlindungan terhadap kelompok rentan; dan 6) pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital. - Pemulihan dan rekonstruksi masa peralihan dari kondisi darurat ke kondisi tenang atau Upaya yang dilakukan pada tahap rehabilitasi adalah untuk mengembalikan kondisi daerah yang terkena bencana yang ke kondisi normal yang lebih baik. Upaya yang dilakukan 1) perbaikan lingkungan daerah bencana; 2) perbaikan prasarana dan sarana umum; 3) pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat; 4) pemulihan sosial psikologis; 5) pelayanan kesehatan; 6) rekonsiliasi dan resolusi konflik; 7) pemulihan sosial, ekonomi, dan budaya; 8) pemulihan keamanan dan ketertiban; 9) pemulihan fungsi pemerintahan; dan 10) pemulihan fungsi pelayanan public 8. Pencarian dan pertolongan adalah segala usaha dan kegiatan mencari, menolong, menyelamatkan dan mengevakuasi manusia yang menghadapi keadaan darurat dan / atau bahaya dalam kecelakaan, bencana, atau kondisi membahayakan manusia. Pencarian dan pertolongan terhadap korban bencana dihentikan jika seluruh korban telah ditemukan, ditolong dan dievakuasi. Atau setelah jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak dimulainya pencarian, tidak ada tanda-tanda korban akan ditemukan. a. Penghentian pencarian dan pertolongan korban bencana, dapat dibuka kembali dengan pertimbangan adanya informasi baru mengenai indikasi keberadaan korban bencana. b. Penghentian pencarian dan pertolongan korban bencana, dapat dibuka kembali dengan pertimbangan adanya informasi baru mengenai indikasi keberadaan korban bencana. 9. Pengungsi adalah orang atau sekelompok orang yang terpaksa atau dipaksa keluardari tempat tinggalnya untuk jangka waktu yang belum pasti sebagai akibat dampak buruk bencana. Bencana banjir berpotensi memicu terjadinya KLB penyakit menular karena terganggunya layanan kesehatan masyarakat dasar dan memburuknya semua kondisi kehidupan, masalah tersebut muncul terutama jika banjir berkepanjangan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penanganan terhadap pengungsi yang terkena bencana, seperti: 1. Pendirian Kamp atau penampungan sementara Lokasi untuk kamp harus diperhatikan, misalnya tempat tersebut harus kering dan tidak rentan banjir, tanah longsor, air pasang, atau ombak laut serta berlokasi sedekat mungkin dengan jalan utama untuk memudahkan masalah persediaan. Adapun layanan kamp, yaitu: - Persediaan air, pemilihan lokasi kamp yang paling penting adalah dekat dengan sumber air. - Pembuangan ekskreta, sanitasi yang baik merupakan komponen penting untuk pencegahan diare, setidaknya harus ada persediaan jamban dan ditempatkan dilokasi yang mudah di akses dari berbagai bagian kamp untuk mendorong penggunaan fasilitas tersebut. 2. Memberikan pelayanan kesehatan di pengungsian Layanan kesehatan dapat diberikan dengan menugaskan tenaga kesehatan, relawan atau pemerintah ke kamp tersebut atau dengan memperluas kapasitas fasilitas kesehatan terdekat. Fokus layanan kesehatan harus diutamakan pada pencegahan penyakit menular tertentu. Sehingga diperlukan pelayanan kesehatan dasar, seperti: 1) Pelayanan pengobatan, apabila pengungsian dilakukan di tempat-tempat umum atau kamp maka perlu membuat pos pengobatan, sedangkan apabila fasilitas kesehatan seperti puskesmas masih berfungsi maka pelayanan pengobatan dapat dilakukan di puskesmas. 2) Pelayanan imunisasi, bagi pengungsi khusunya anak-anak harus menerima vaksinasi yang tepat. 3) Pelayanan kesehatan ibu dan anak 4) Pelayanan gizi 5) Pemberantasan penyakit menular dan pengendalian vektor, dipengungsian sangat mudah untuk terserang penyakit menular karena kepadatan pendudukmisalnya diare, campak, DBD, dan lainnya, sehingga dapat dilakukan pengendalian vector seperti pengelolaan lingkungan,pengendalian dengan insektisida, serta pengawasan makanan dan minuman. 6) Pelayanan kesehatan jiwa 3. Pemenuhan kebutuhan dasar 1) Sandang, seperti pakaian pribadi dan kebersihan pribadi. Dalam memenuhi kenbutuhan sandang harus berdasarkan jumlah pengungsi. 2) Pangan, seperti bahan makanan atau makanan yang disediakan oleh dapur umum. 3) Air bersih dan sanitasi. 4. Pemenuhan kebutuhan psikologis,fasilitas pelayanan konseling bagi pengungsi yang mengalami trauma. Apabila jumlah pengungsi banyak, maka tentunya diperlukan penambahan kamp atau penampungan dan juga kebutuhan-kebutahan lain pengungsi disesuaikan dengan jumlah pengungsi. 10. a) Air bersih dan air minum Dalam Sarikusmayadi, Astri Aprilia. 2015. Teknologi Pengolahan Air untuk Kondisi Darurat menjelaskan bahwa menurut buku Introduction to International Disaster Management (2007), disebutkan bahwa ada beberapa alternatif dalam penyediaan air bersih dan air siap minum pada saat kondisi darurat yaitu penyediaan air melalui tangki truk, atau dari tangki yang di datangkan dari luar daerah banjir, atapun dengan melakukan proses pengolahan air banjir itu sendiri untuk menghasilkan air bersih sebagai contoh menggunakan filter . Solusi dalam hal masalah ini adalah pengolahan air minum yang berbasis mobile water treatment yang mana hasil dari pengolahan (effluent) memenuhi baku mutu air siap minum yang sesuai dengan PERMENKES.RI-No.492/MEN.KES/ PER/IV/2010. Pada keadaan darurat, teknologi membran banyak diterapkan dalam penyediaan air bersih dan air minum. Berikut adalah jenis jenis membran yang digunakan dalam pengolahan air. Yakni; Mikrofiltrasi (MF), proses yang mengurangi kadar polutan dari fluida ( liquid dan gas) dengan cara melewatkannya pada sebuah microporous membran. Membran mikrofiltrasi berukuran 0.1 sampai 1 mikron. Mikrofiltrasi tidak berbeda secara fundamental dengan reverse osmosis, ultra filtrasi ataupun nanofiltrasi,kecuali dalam hal ukuran partikel yang dihilangkannya. Ultra filtrasi (UF), variasi dari membran filtrasi dimana terjadi gaya dari liquid terhadap membran semi permeabel. Suspended solid dan cairan pekat dengan berat molekul yang besar, dapat tertahan, tetapi air dan cairan pekat dengan berat molekul pencemar yang kecil dapat melewati membran. Proses pemisahan menggunakan proses ultrafiltrasi biasanya digunakan di bidang industri dan penelitian untuk penjernihan air karena ukuran yang dapat diolah adalah air pekat yang mengandung makromolekul yang memiliki berat atom sekitar 103 – 106 Da (1 Da = 0,000714 gram). Pengolahan menggunakan Ultra filtrasi pada umumnya menggunakan membran berukuran 0.001 mikron – 0.01 mikron. Nano filtrasi, proses pemisahan jika ultrafiltrasi dan mikrofiltrasi tidak dapat mengolah air seperti yang diharapkan. Nanofiltrasi dapat menghasilkan proses pemisahan yang sangat terjangkau secara ekonomis. Tetapi Nano filtrasi belum dapat mengolah mineral terlarut, warna dan salinasi air, sehingga air hasil olahan (permeate) masih mungkin mengandung ion monovalen dan larutan dengan pencemar yang memiliki berat molekul rendah seperti alkohol. Pengolahan menggunakan Nano filtrasi pada umumnya menggunakan membran berukuran 0.0001 mikron – 0.001 mikron. Osmosis Balik / Reverse Osmosis, proses pengolahan yang membutuhkan tekanan relatif tinggi, walaupun pada beberapa kasus dapat digunakan dalam tekanan rendah, hemat energi , menghasilkan air olahan yang dapat menyaring zat dengan molekul terkecil sekalipun yang tidak dapat diolah oleh proses Mikro filtrasi, ultra filtrasi dan nanofiltrasi. Reverse omosis memiliki kemampuan untuk mengurangi seluruh pencemar dissolved dan Suspended solid. Reverse osmosis pada umumnya digunakan pada proses desalinasi air laut. Bantuan air bersih diberikan dalam bentuk air yang kualitasnya memadai untuk kebersihan pribadi maupun rumah tangga tanpa menyebabkan risiko yang berarti terhadap kesehatan. Bantuan air bersih diberikan dalam bentuk sumber air beserta peralatannya. Bantuan air bersih diberikan sejumlah 7 liter pada tiga hari pertama, selanjutnya 15 liter per orang per hari. Bantuan Air Minum diberikan dalam bentuk air yang dapat diminum langsung atau air yang memenuhi persyaratan kesehatan untuk dapat diminum. Bantuan air minum diberikan sejumlah 2.5 liter per orang per hari serta rasa air minum dapat diterima dan kualitasnya cukup memadai untuk diminum tanpa menyebabkan resiko kesehatan. b) Pangan (makanan) Bantuan pangan diberikan dalam bentuk bahan makanan, atau masakan yang disediakan oleh dapur umum. Bantuan pangan bagi kelompok rentan diberikan dalam bentuk khusus. Standar Minimal Bantuan : o Bahan makanan berupa beras 400 gram per orang per hari atau bahan makanan pokok lainnya dan bahan lauk pauk. o Makanan yang disediakan dapur umum berupa makanan siap saji sebanyak 2 kali makan dalam sehari. o Besarnya bantuan makanan (poin a dan b) setara dengan 2.100 kilo kalori (kcal). c) Sandang Terdiri dari: 1) Perlengkapan pribadi Merupakan kebutuhan manusia yang sangat penting untuk melindungi diri dari iklim, memelihara kesehatan serta mampu menjaga privasi dan martabat. Standar Minimal Bantuan : o Memiliki satu perangkat lengkap pakaian dengan ukuran yang tepat sesuai jenis kelamin masing-masing, serta peralatan tidur yang memadai sesuai standar kesehatan dan martabat manusia. o Perempuan dan anak-anak setidaknya memiliki dua perangkat lengkap pakaian dengan ukuran yang tepat sesuai budaya, iklim, dan musim. o Perempuan dan anak-anak gadis setidaknya memiliki dua perangkat lengkap pakaian dalam dengan ukuran yang tepat sesuai budaya, iklim, dan musim. o Anak sekolah setidaknya memiliki 2 stel seragam sekolah lengkap dengan ukuran yang tepat sesuai jenis kelamin dan jenjang sekolah yang diikuti. o Anak sekolah memiliki satu pasang sepatu/alas kaki yang digunakan untuk sekolah. o Setiap orang memiliki pakaian khusus untuk beribadah sesuai agama dan keyakinannya. o Setiap orang memiliki satu pasang alas kaki. o Bayi dan anak-anak dibawah usia 2 tahun harus memiliki selimut dengan ukuran 100 X 70 cm. o Setiap orang yang terkena bencana harus memiliki alas tidur yang memadai, dan terjaga kesehatannya. o Setiap kelompok rentan : bayi, anak usia dibawah lima tahun, anakanak, ibu hamil atau menyusui, penyandang cacat, orang sakit, dan orang lanjut usia, memiliki pakaian sesuai kebutuhan masing-masing. o Setiap kelompok rentan, memiliki alat bantu sesuai kebutuhan, misalnya : tongkat untuk lansia dan penyandang cacat. 2) Kebersihan Pribadi Tiap rumah tangga memperoleh kemudahan mendapatkan bantuan sabun mandi dan barang-barang lainnya untuk menjaga kebersihan, kesehatan, serta martabat manusia. Standar Minimal Bantuan : o Setiap orang memiliki 250 gram sabun mandi setiap bulan. o Setiap orang memiliki 200 gram sabun cuci setiap bulan. o Setiap perempuan dan anak gadis yang sudah menstruasi memiliki bahan pembalut. o Setiap bayi dan anak-anak di bawah usia dua tahun memiliki 12 popok cuci sesuai kebiasaan di tempat yang bersangkutan. o Setiap orang memiliki sikat gigi dan pasta gigi sesuai kebutuhan. d) Pelayanan kesehatan Dalam buku pedoman tekhnis penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana (Departemen Kesehatan, 2007) menuliskan bahwa tidak mencukupinya persediaan pangan akan mempengaruhi pemenuhan kebutuhan gizi seseorang dan memperberat proses terjadinya penurunan daya tahan tubuh, sehingga rentan terhadap berbagai penyakit. Dalam pemberian pelayanan kesehatan di pengungsian sering tidak memadai akibat dari tidak memadainya fasilitas kesehatan, jumlah dan jenis obat serta alat kesehatan maupun terbatasnya tenaga kesehatan. Penanggulangan masalah kesehatan di pengungsian merupakan kegiatan yang harus dilakukan secara menyeluruh dan terpadu serta terkoordinasi baik secara lintas program maupun lintas-sektor. Dalam penanganan masalah kesehatan di pengungsian diperlukan standar minimal yang sesuai dengan kondisi keadaan di lapangan sebagai pegangan untuk merencanakan, memberikan bantuan dan mengevaluasi apa yang telah dilakukan oleh instansi pemerintah maupun LSM dan swasta lainnya. Adapun Pelayanan kesehatan dasar yang diperlukan pengungsi meliputi: a. Pelayanan pengobatan Apabila pola pengungsian terkonsentrasi di barak-barak atau tempattempat umum, pelayanan pengobatan dilakukan di lokasi pengungsian dengan membuat pos pengobatan. Pelayanan pengobatan dilakukan di Puskesmas bila fasilitas kesehatan tersebut masih berfungsi dan pola pengungsianya tersebar berada di tenda-tenda kanan kiri rumah pengungsi. b. Pelayanan imunisasi Bagi pengungsi khususnya anak-anak, dilakukan vaksinasi campak tanpa memandang status imunisasi sebelumnya. Adapun kegiatan vaksinasi lainnya tetap dilakukan sesuai program untuk melindungi kelompok-kelompok rentan dalam pengungsian. c. Pelayanan kesehatan ibu dan anak Adapun kegiatan yang harus dilaksanakan adalah: ▪ Kesehatan Ibu dan Anak (pelayanan kehamilan, persalinan, nifas dan pasca-keguguran) ▪ Keluarga berencana (KB) ▪ Deteksi dini dan penanggulangan IMS dan HIV/AIDS ▪ Kesehatan reproduksi remaja d. Pelayanan gizi Tujuannya meningkatkan status gizi bagi ibu hamil dan balita melalui pemberian makanan optimal. Setelah dilakukan identifikasi terhadap kelompok bumil dan balita, petugas kesehatan menentukan strategi intervensi berdasarkan analisis status gizi.Pada bayi tidak diperkenan diberikan susu formula, kecuali bayi piatu, bayi terpisah dari ibunya, ibu bayi dalam keadaan sakit berat. e. Pemberantasan penyakit menular dan pengendalian vektor Beberapa jenis penyakit yang sering timbul di pengungsian dan memerlukan tindakan pencegahan karena berpotensi menjadi KLB antara lain: campak, diare, cacar, malaria, varicella, ISPA, tetanus. Pelaksanaan pengendalian vektor yang perlu mendapatkan perhatian di lokasi pengungsi adalah pengelolaan lingkungan, pengendalian dengan insektisida, serta pengawasan makanan dan minuman. Pada pelaksanaan kegiatan surveilans bila menemukan kasus penyakit menular, semua pihak termasuk LSM kemanusiaan di pengungsian harus melaporkan kepada Puskesmas/Pos Yankes di bawah koordinasi Dinas Kesehatan Kabupaten sebagai penanggung jawab pemantauan dan pengendalian. f. Pelayanan kesehatan jiwa Pelayanan kesehatan jiwa di pos kesehatan diperlukan bagi korban bencana, umumnya dimulai pada hari ke-2 setelah kejadian bencana. Bagi korban bencana yang memerlukan pertolongan pelayanan kesehatan jiwa dapat dilayani di pos kesehatan untuk kasus kejiwaan ringan. Sedangkan untuk kasus berat harus dirujuk ke Rumah Sakit terdekat yang melayani kesehatan jiwa. g. Pelayanan promosi kesehatan Kegiatan promosi kesehatan bagi para pengungsi diarahkan untuk membiasakan perilaku hidup bersih dan sehat. Kegiatan ini mencakup: ▪ Kebersihan diri ▪ Pengolahan makanan ▪ Pengolahan air minum bersih dan aman ▪ Perawatan kesehatan ibu hamil (pemeriksaan rutin, imunisasi) Kegiatan promosi kesehatan dilakukan melekat pada kegiatan kesehatan lainnya. h. Pelayanan Kesehatan jiwa Bentuk kegiatan berupa penyuluhan, bimbingan dan konseling yang dilakukan pada kelompok besar (>20 orang), kelompok kecil (5-20 orang) dan Konseling perorangan. Selain itu, dalam sumber lain yakni Peratutan Kepala BNPB No. 7 Tahun 2008 telah menetapkan standar dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi pengungsi, yakni: o Pelayanan kesehatan didasarkan pada prinsip-prinsip pelayanan kesehatan primer yang relevan. o Semua korban bencana memperoleh informasi tentang pelayanan kesehatan. o Pelayanan kesehatan diberikan dalam sistem kesehatan pada tingkat yang tepat : tingkat keluarga, tingkat puskesmas, Rumah Sakit, dan Rumah Sakit rujukan. o Pelayanan dan intervensi kesehatan menggunakan teknologi yang tepat dan diterima secara sosial budaya. o Jumlah, tingkat, dan lokasi pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan korban bencana. o Tiap klinik kesehatan memiliki staf dengan jumlah dan keahlian yang memadai untuk melayani kebutuhan korban bencana. Staf klinik maksimal melayani 50 pasien per hari. o Korban bencana memperoleh pelayanan obat-obatan sesuai dengan kebutuhan. o Korban bencana yang meninggal diperlakukan dan dikuburkan dengan cara yang bermartabat sesuai dengan keyakinan, budaya, dan praktek kesehatan. 11. Wilayah Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, histologis, serta demografis yang memungkingkan terjadinya bencana alam, berupa gempa bumi, letusan gunung berapi, tanah longsor, hingga tsunami yang disebabkan oleh ulah alam secera langsung maupun dengan adanya campur tangan manusia. Dampak dari bencana itu sendiri dapat memakan banyak korban jiwa, rusaknya fasilitas pribadi seperti hilangnya harta benda, hingga fasilitas publik seperti akses jalan. Saat terjadi bencana bantuan logistik sangat diperlukan pleh korban bencana dimana dalam hal ini penyaluran bantuan logistik yang dilakukan harus dilakukan dengan baik. Oleh karena itu, setiap pelaku harus terkoordinasi, ditetapkan pengelolaannya dan dilakukan pemantauan yang tepat untuk memastikan bahwa semua bantuan dijaga hingga bantuan tersebut didistribusikan kepada penerima di tingkat rumah tangga (kepala keluarga). Dukungan bantuan logistik harus tepat waktu, tepat lokasi, tepat sasaran, tepat kualitas, tepat kuantitas dan sesuai kebutuhan. Salah satu unsur penting yang harus diperhatikan adalah pengelolaan bantuan logistik harus dilakukan secara efektif dan efisien pada saat status keadaan darurat bencana. Berkaitan dengan hal tersebut maka proses pengelolaan penyaluran bantuan logistik dilakukan dalam berbagai tahap. 1. Persiapan A. Pemetaan Kapasitas Sumber Daya Pemetaan sumber daya dilakukan untuk mengetahui suber daya logistik, Gudang, juga sumber daya manusia yang dapat dikerahkan dalam status keadaan darurat bencana. Adapun kegiatan yang termasuk dalam pemetaan sumber daya sebagai berikut: 1) Identifikasi ketersediaan sumber daya logistik dari berbagai pihak seperti masyarakat, pemerintah, maupun dunia usaha yang dapat dipergunakan 2) Identifikasi sistem klaster logistik 3) Identifikasi akses-akses alternaif dalam penyaluran barang ke penerima 4) Membangun sistem informasi bantuan logistik yang dapat diakses oleh semua masyarakat, pemerintah dan dunia usaha. B. Membuat dan Mengembangkan Klaster Logistik Penanggulangan Bencana. Klaster logistik mempunyai tugas sebagai berikut: 1) Mengumpulkan, menganalisa dan menyebarluaskan informasi tentang logistik penanggulangan bencana; 2) Menyusun dan mengembangkan rencana operasi di bidang logistik penanggulangan bencana; 3) Memberikan saran dan bantuan teknis di bidang logistik penanggulangan bencana; 4) Memberikan fasilitas dan mobilisasi logistik penanggulangan bencana yang diperlukan; 5) Mengkoordinasikan masyarakat, pemerintah dan dunia usaha di bidang logistik penanggulangan bencana. C. Membentuk Unit Respon Logistik yang bertugas untuk melakukan kaji cepat di bidang logistik pada saat awal terjadinya bencana. 1) Menyiapkan struktur; 2) Menyiapkan personil; 3) Menyiapkan dukungan operasional D. Membuat perjanjian kerja sama dan melakukan pencatatan dengan dunia usaha untuk penyediaan dan penggunaan fasilitas logistik E. Koordinasi 2. Perencanaan Kegiatan perencanaan dilakukan dengan cara mengidentifikasi dan analisis kebutuhan sumber daya yang dibutuhkan. A. Identifikasi 1) Identifikasi Korban dan Pengungsi 2) Identifikasi Akses dan Kerusakan serta sarana dan prasarana B. Analisis Kebutuhan 1) Pemenuhan kebutuhan dasar a) Sandang b) Pangan c) Penampungan Sementara d) Air Bersih e) Kebutuhan Kelompok rentan 2) Pemenuhan kebutuhan lainnya, yaitu berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan psikososial. Seperti fasilitas (ruangan) untuk memberikan pelayanan konseling bagi korban atau pengungsi yang mengalami trauma. Selain itu, paket peralatan terapi bermain bagi korban atau pengungsi anak-anak berupa alat-alat permainan dan mainan anak-anak berdasarkan usia. Analisis kebutuhan dilakukan dengan menghitung jumlah korban, pengungsi, dan infrastruktur yang rusak dengan standar minimal logistik yang dibutuhkan. 3. Pelaksanaan Pelaksanaan pengelolaan bantuan logistik pada status keadaan darurat mencakup langkah-langkah aktivasi, penerimaan, penyimpanan, pengangkutan dan distribusi bantuan logistik. A. Aktivasi 1) Mengaktifkan Bidang Logistik dari Pos Komando pada status keadaan darurat sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya; 2) Mendukung penyelenggaraan Pos Komando Tanggap Darurat; 3) Mengkoordinasikan semua bantuan logistik dari instansi/lembaga/ organisasi yang terkait. B. Penerimaan 1) Mencatat jenis, jumlah dan mutu logistik yang diterima dari berbagai sumber; 2) Menyeleksi dan mencocokkan bantuan logistik sesuai skala prioritas kebutuhan; 3) Menyimpan logistik ditempat yang mudah diakses. C. Penyimpanan 1) Memilih gudang dengan memperhatikan tempat, tipe gudang, kapasitas, fasilitas, sistem pengamanan dan keselamatan, sesuai ketentuan yang berlaku. 2) Menyimpan bantuan logistik di gudang, dengan melakukan pencatatan, pemilahan dan penyusunan barang logistik disesuaikan dengan jenisnya serta pengecekan stok barang logistik secara periodik; 3) Menata kelola bantuan logistik sehingga memudahkan dalam penerapan system “First-In First-Out”, First Expired First Out; 4) Menjaga bantuan logistik dari kerusakan dan kehilangan maupun berkurangnya standar mutu D. Pengangkutan 1) Mengangkut dan atau memindahkan logistik dari gudang penyimpanan ke tujuan penerima; 2) Menjamin keamanan, keselamatan dan keutuhan logistik dari gudang ke tujuan; 3) Mempercepat penyampaian; 4) Jenis Pengangkutan terdiri dari angkutan darat, air dan udara, baik secara komersial maupun non komersial yang berdasarkan kepada ketentuan yang berlaku; 5) Pemilihan moda angkutan berdasarkan pertimbangan: a) Skala prioritas kebutuhan; b) Jenis dan jumlah bantuan logistik; c) Situasi dan kondisi keadaan darurat; d) Ketersediaan alat angkutan dan infrastruktur yang ada; e) Kondisi wilayah asal dan tujuan; f) Efektifitas dan efisiensi; g) Keamanan dan keselamatan. 6) Pengangkutan dilaksanakan berdasarkan kebutuhan bantuan logistik yang harus dilengkapi dengan data (jenis, jumlah, tujuan, pengirim, transporter termasuk pengawalan, dan penerima), dan berita acara serah terima barang. E. Distribusi Bantuan yang sampai di titik tujuan (titik distribusi), Selanjutnya barang yang telah sampai didistribusian kepada pihak korban yang membutuhkan sesuai dengan izin dari pihak yang berwenang. Data pendukung memuat calon penerima bantuan, bantuan prioritas bantuan yang dibutuhkan, waktu penyampaian, lokasi, cara penyampaian, alat transportasi yang digunakan, penanggung jawab atas bantuan tersebut. Setelah itu dibuat laporan pertanggungjawabannya. 5) Tujuan Pembelajaran Selanjutnya 1. Apa saja dampak masalah psikologis ketika telah terjadi bencana dan bagaimana respon psikologisnya ? 2. Bagaimana penanganan dampak masalah psikologis ? 3. Bagaimana alur pengelolaan data bencana ? 6) Informasi Tambahan 1. apa saja dampak masalah kesehatan psikologi ketika telah terjadi bencana dan bagaimana proses respon biologisnya? Dampak psikologis pasca bencana, dikategorikan menjadi : a. Distres Psikologis Ringan Individu dikatakan mengalami distress psikologis ringan bila setelah bencana merasa cemas, panik dan terlalu waspada. Pada situasi ini terjadi natural recovery (pemulihan alami) dalam hitungan hari/minggu. Orang orang dengan kondisi distress psikologis ringan tidak butuh intervensi spesifik. Hal ini akan tampak pada sebagian besar survivor/korban yang selamat. b. Distres Psikologis Sedang Bila individu merasa cemas menyeluruh, menarik diri dan mengalami gangguan emosi maka kita kategorikan mengalami distress psikologis sedang. Pada kondisi ini natural recovery membutuhkan waktu yang relatif lebih lama, bahkan dapat berkembang menjadi gangguan mental dan tingkah laku yang berat. Orang dengan kondisi distress psikologis sedang membutuhkan dukungan psikososial untuk natural recovery. c. Gangguan Tingkah Laku dan Mental yang Berat Situasi ini terjadi bila individu mengalami gangguan mental karena trauma atau stress seperti PTSD (Post Traumatic Sindrome Disorder), depresi, cemas menyeluruh, fobia, dan gangguan disosiasi. Gangguan tingkah laku dan mental yang berat ini jika tidak dilakukan intervensi sistemik akan mudah menyebar. Keadaan ini membutuhkan dukungan mental dan penanganan oleh mental health professional. Respon Psikologi bencana Respon psikologis individu dan masyarakat terkait bencana melewati fase-fase sebagai berikut : 1. Predisaster; saat ini situasi normal, belum terjadi bencana. Dengan atau tanpa peringatan dini, bisa ada persiapan menghadapi bencana yang akan terjadai. 2. Impact/inventory; saat ini dimulai ketika bencana terjadi. Ada bantuan dari orang lain untuk menolong dirinya sehingga individu merasa diperhatikan dan ada semangat menata kembali kehidupannya. Sementara itu, di sisi lain, mereka merasa tertekan atau bingung atas kejadian bencana ini. Tapi kemudian dengan cepat akan pulih dan berfokus pada perlindungan untuk dirinya dan orang-orang terdekatnya. Emosi yang muncul berupa ketakutan, tidak berdaya, kehilangan, dislokasi dan kemudian merasa bertanggung jawab untuk melakukan sesuatu yang lebih (fase inventory). Kemudian setelah bencana terjadi, muncul gambaran awal kondisi individu dan masyarakat. 3. Heroik; pada fase pertama dan berikutnya, orang merasa terpanggil untuk melakukan aksi heroik seperti menyelamatkan nyawa dan harta orang lain. Altruisme (perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan diri sendiri) menonjol. Bersedia membantu orang lain untuk bertahan dan pulih. 4. Honeymoon;biasanya 1 mingggu – 6 bulan setelah bencana. Untuk yang terkena langsung biasanya ada strong sense akan bahaya lain, situasi katastropik. Komunitas biasanya ada kohesi dan kerjasama untuk pulih. Bantuan biasanya sudah berjalan lancar, ada harapan yang tinggi untuk cepat pulih. Emosi yang muncul biasanya rasa syukur dan harapan-harapan. 5. Disillusionment; biasanya dialami selama 2 bulan – 2 tahun setelah bencana terjadi. Realita pemulihan sudah ditetapkan. Orang-orang akan merasa kecewa, frustasi, marah, benci dan kesal jika terjadi kemunduran dan janji bantuan tidak terpenuhi, terlalu sedikit atau terlambat. Lembaga bantuan dan relawan mulai hilang, kelompok masyarakat lokal mulai melemah. Mereka yang paling terkena dampaknya akan sadar bahwa banyak hal yang harus dilakukan sendiri dan kehidupan mereka tidak selalu sama. Perasaan kebersamaan akan mulai hilang karena mulai fokus pada membangun kembali kehidupannya sendiri dan mengatasi masalah individual. Emosi yang muncul berupa keraguan, kehilangan, kesedihan dan isolasi. 6. Reconstruction; biasanya berlangsung selama bertahun-tahun setelah bencana. Mereka yang bertahan mempunyai fokus perhatian pada membangun kembali rumahnya, bisnis, ladang dan kehidupannya. Muncul bangunan-bangunan baru, perkembangan program-program baru, dan rencana meningkatkan kepercayaan dan kebanggan masyarakat dan kemampuan individu untuk membangun kembali. Namun proses ini ada pasang surutnya, misal ada misal ada peristiwa-peristiwa lain yang memicu reaksi emosional atau kemajuan yang tertunda. Tyas, M. D. (2016). Keperawatan Kedaruratan & Manajemen Bencana. Jakarta Selatan: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia: Pusat Pendidikan Sumber Daya Manusia Kesehatan Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan. 2. Penanganan dampak masalah psikologis? Dibawah ini adalah uraian tentang prinsip dasar penanganan menghadapi respon psikologis pasca bencana. Menurut WHO, ada beberapa hal yang harus kita pahami dan kita persiapkan terlebih dahulu sebelum menangani masalah psikologis pasca bencana, yaitu: 1) Lakukan persiapan sebelum emergency, meliputi: penetapan sistem koordinasi, penyusunan rencana darurat dan pelatihan-pelatihan. 2) Lakukan Assessment: penilaian kualitatif dan kuantitatif terhadap kebutuhan psikososial dan kesehatan mental 3) Upayakan kolaboratif dengan tim kesehatan lain 4) Integrasikan dalam primary health care 5) Berikan akses pelayanan untuk semua 6) Siapkan pelatihan dan pengawasan (jika tidak terjaga akan menimbulkan masalah baru) 7) Rumuskan perspektif jangka panjang penanganan 8) Tetapkan indikator pantauan (monitoring indicator) 3. Bagaimana alur pengelolaan data bencana? Jawab : Informasi yang tepat dan akurat tergantung dari adanya data pendukung yang terstruktur dan mudah dipahami. Informasi dalam penanggulangan bencana dimulai sejak pengumpulan, analisis hingga diseminasi informasi yang dilakukan secara cepat, tepat dan benar sebagai bagian dalam penanggulangan bencana. Data dan informasi becana dikumpulkan dari berbagai sumber, antara lain dari pemerintahan, organisasi relawan/NGO/masyarakat dan berbagai sumber media. Data dikumpulkan baik secara langsung melalui wawancara ataupun secara tidak langsung seperti dari internet, televisi, media cetak dan sebagainya. Diagram dari alur manajemen data dan informasi tersebut dapat dilihat pada gambar berikut ini: Data bencana yang diperoleh dari berbagai sumber merupakan landasan dalam memberikan informasi ke pihak-pihak yang membutuhkan. Manajemen informasi yang dilakukan meliputi pengumpulan informasi (termasuk pengkajian), penyusunan dan penstrukturan informasi, evaluasi dan analisis informasi serta penyebaran informasi (desiminasi). Semua informasi dan data bencana harus disimpan secara rapi dan baik secara elektronik maupun dalam bentuk dokumen tertulis. Dalam melakukan analisis data diperlukan prinsip kehati-hatian, teliti dan obyektif agar menghasilkan informasi yang tepat, ringkas dan akurat. Sebagai acuan dalam analisis dilakukan dengan memperhatikan konsep 5W+H, yaitu apa, di mana, kapan, siapa, mengapa dan bagaimana. Apabila tidak memungkinkan dilakukan semua konsep, cukup dengan apa, dimana, kapan dan bagaimana. Dalam penyajian data dan informasi yang jelas, terkini dan mudah dipahami dapat menggunakan beberapa alat bantu seperti log book/buku pencatatan, peta informasi, papan pengumuman, papan untuk pesan, pertemuan koordinasi/informasi, informasi siapa, apa, dimana, salinan dan laporan situasi. Analisis data yang telah menghasilkan informasi harus disebarkan secara tepat waktu dan dengan cara yang terstruktur. Pelaporan merupakan salah satu dari fungsi penting yang harus dilakukan oleh BNPB dan BPBD. Laporan harus jelas, ringkas, akurat dan profesional. Kebijakan Penanganan Krisis Kesehatan Kejadian bencana dapat menimbulkan krisis kesehatan, maka penanganannya perlu diatur dalam bentuk kebijakan sebagai berikut: a. setiap korban akibat bencana mendapatkan pelayanan kesehatan sesegera mungkin secara maksimal dan manusiawi; b. prioritas selama masa tanggap darurat adalah penanganan gawat darurat medik terhadap korban luka dan identifikasi korban mati di sarana kesehatan; c. pelayanan kesehatan yang bersifat rutin di fasilitas‐fasilitas kesehatan pada masa tanggap darurat harus tetap terlaksana secara optimal; d. pelaksanaan penanganan krisis kesehatan dilakukan secara berjenjang mulai dari tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pusat dan dapat dibantu oleh masyarakat nasional dan internasional, lembaga donor, maupun bantuan negara sahabat; e. bantuan kesehatan dari dalam maupun luar negeri mengikuti ketentuan yang berlaku yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan dan Kementerian atau lembaga terkait; f. penyediaan informasi yang berkaitan dengan penanggulangan kesehatan pada bencana dilaksanakan oleh dinas kesehatan setempat selaku anggota BPBD; g. g. monitoring dan evaluasi berkala pelaksanaan penanggulangan krisis kesehatan dilakukan dan diikuti oleh semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan penanggulangan kesehatan. Mekanisme pengelolaan bantuan a. Sumber daya manusia Pada saat terjadi bencana perlu adanya mobilisasi SDM kesehatan yang tergabung dalam suatu Tim Penanggulangan Krisis yang meliputi: 1) Tim Reaksi Cepat/TRC; 2) Tim Penilaian Cepat/TPC (RHA team); 3) Tim Bantuan Kesehatan. Sebagai koordinator tim adalah Kepala Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota (sesuai Surat Kepmenkes Nomor 066 tahun 2006). 1) Tim Reaksi Cepat Tim yang diharapkan dapat segera bergerak dalam waktu 0–24 jam setelah ada informasi kejadian bencana. Kompetensi TRC disesuaikan dengan jenis bencana spesifik di daerah dan dampak kesehatan yang mungkin timbul. Sebagai contoh untuk bencana gempa bumi dengan karakteristik korban luka dan fraktur, kompetensi TRC terdiri dari : a) pelayanan medik; 1. dokter umum 2. dokter spesialis bedah/orthopedi 3. dokter spesialis anestesi 4. perawat mahir (perawat bedah, gadar) 5. tenaga Disaster Victims Identification (DVI) 6. apoteker/tenaga teknis kefarmasian 7. sopir ambulans b) surveilans epidemiolog/sanitarian; c) petugas komunikasi; d) petugas logistik. 2) Tim Peniaian Cepat (RHA team) Tim yang bisa diberangkatkan dalam waktu 0‐24 jam atau bersamaan dengan TRC dan bertugas melakukan penilaian dampak bencana dan mengidentifikasi kebutuhan bidang kesehatan, minimal terdiri dari: a) dokter umum b) epidemiolog c) sanitarian 3) Tim Bantuan Kesehatan Tim yang diberangkatkan berdasarkan rekomendasi Tim RHA untuk memberikan pelayanan kesehatan dengan peralatan yang lebih memadai, minimal terdiri dari: a) dokter umum dan spesialis b) apoteker dan tenaga teknis kefarmasian c) perawat d) perawat Mahir e) bidan f) sanitarian g) ahli gizi h) tenaga surveilans i) entomolog Estimasi kebutuhan tenaga kesehatan di lokasi bencana: 1. Untuk jumlah penduduk/pengungsi antara 10.000 – 20.000 orang: Dokter umum : 4 org Perawat : 10 – 20 org Bidan : 8 – 16 org Apoteker : 2 org Tenaga teknis 3. n/Rumah sakit, dapat dilihat dalam rumus kebutuhan tenaga di fasilitas rujukan/rumah sakit Kebutuhan dokter umum = (Σ pasien/40) – Σ dr umum di tempat Kebutuhan dokter spesialis Bedah = [(Σ pasien dr bedah/5) / 5] ‐ Σ dr bedah di tempat Kebutuhan dokter spesialis anestesi = [(Σ pasien dr bedah/15) / 5] ‐ Σ dr anestesi di tempat1. Untuk jumlah penduduk/pengungsi antara 10.000 – 20.000 orang: Dokter umum : 4 org Perawat : 10 – 20 org Bidan : 8 – 16 org Apoteker : 2 org Tenaga teknis 3. n/Rumah sakit, dapat dilihat dalam rumus kebutuhan tenaga di fasilitas rujukan/rumah sakit Kebutuhan dokter umum = (Σ pasien/40) – Σ dr umum di tempat Kebutuhan dokter spesialis Bedah = [(Σ pasien dr bedah/5) / 5] ‐ Σ dr bedah di tempat Kebutuhan dokter spesialis anestesi = [(Σ pasien dr bedah/15) / 5] ‐ Σ dr anestesi di tempat Pendayagunaan tenaga mencakup: 1. distribusi; Penanggung jawab dalam pendistribusian SDM kesehatan untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota adalah dinas kesehatan. Pada saat bencana, bantuan kesehatan yang berasal dari dalam/luar negeri diterima oleh dinas kesehatan berkoordinasi dengan Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) dan didistribusikan oleh dinas kesehatan. 2. mobilisasi. Mobilisasi SDM kesehatan dilakukan dalam rangka pemenuhan kebutuhan SDM kesehatan pada saat dan pasca bencana bila masalah kesehatan yang timbul akibat bencana tidak dapat ditangani oleh daerah tersebut sehingga memerlukan bantuan dari regional, nasional dan internasional. b. Obat dan Perbekalan Kesehatan Masalah utama yang sering berkaitan dengan obat dan perbekalan kesehatan donasi sebagai berikut : 1) obat dan perbekalan kesehatan donasi sering tidak sesuai dengan situasi darurat yang terjadi, baik dari aspek pola penyakit maupun tingkat pelayanan kesehatan yang tersedia. Obat tersebut sering tidak dikenal oleh tenaga kesehatan setempat maupun pasien, bahkan kadang‐kadang tidak memenuhi standar pengobatan yang berlaku; 2) obat dan perbekalan kesehatan donasi sering tiba tanpa terlebih dahulu disortir dan diberi label dalam bahasa lokal/inggris, bahkan tanpa ada nama generiknya; 3) kualitas obat dan perbekalan kesehatan donasi kadangkala tidak sesuai dengan standar yang berlaku di negara donor; 4) pihak donor kadang tidak menghiraukan prosedur administrasi negara penerima; 5) pihak donor sering menyebutkan nilai obat lebih tinggi dari yang semestinya; 6) obat dan perbekalan kesehatan donasi dalam jumlah yang tidak sesuai kebutuhan, akibatnya beberapa obat berlebih harus dimusnahkan. Hal ini dapat menimbulkan masalah pada negara penerima; c. Pengelolaan bantuan SDM internasional Prinsip utama dalam pengelolaan sumber daya manusia internasional yang efektif adalah sebagai berikut : 1) dapat membedakan antara kebutuhan yang bersifat segera untuk menyelamatkan nyawa (pencarian, penyelamatan dan pelayanan medis darurat) dan tipe bantuan kesehatan yang dibutuhkan untuk rehabilitasi jangka panjang. setiap tipe membutuhkan kebijakan dan pendekatan strategis yang berbeda; 2) memastikan bahwa tim medis dari luar dapat segera beroperasi pada 24 jam pertama (golden hours), tepat waktu untuk menyelamatkan nyawa. keterlambatan untuk membantu korban bencana sering sekali disebabkan oleh hambatan logistik (akses, transportasi, cuaca) daripada kurangnya personel medis. dalam hal ini tim bantuan medis dari luar hanya akan menambah masalah; 3)pada saat kekurangan sumber daya manusia menjadi masalah, permintaan ditargetkan terutama pada negara tetangga atau negara lain dalam sub‐regional yang sama; 4) menerima sukarelawan atau tim medis dari luar dengan kriteria sebagai berikut: a) disponsori oleh organisasi yang dikenal dengan baik dan dapat menjamin kualifikasi sukarelawan atau tim medis yang dikirimkan; b) mengetahui atau familier dengan bahasa, kebudayaan dan level teknologi yang sesuai untuk situasi bencana di daerah tersebut; c) dapat bekerja tanpa dukungan yang berlebihan dari orang lain; d) mau dan dapat tinggal selama periode waktu yang sesuai dan layak; e) informasikan kepada media, misi diplomatik, konsulat, dan agensi lain mengenai kriteria, kebijakan dan menjelaskan prosedur registrasi, kewajiban, cakupan kerja dan supervisi sebelum menerima atau mengirimkan tim medis. 7) Referensi Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2008). Peraturan Kepala BNPB No. 13 Tahun 2010 tentang pedoman pencarian, pertolongan dan evakuasi BNPB. (2008). Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana (pp. 16-18). Jakarta: Badan Nasional Penanggulangan Bencana . Badan Nasional Penanggulangan Bencana (Bnpb) Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Standardisasi Data Kebencanaan Hal. 8-9. DepKes RI. 2007. Pedoman teknis penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana. Jakarta. DepKes RI. 2011. Pedoman teknis penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana. Ed. revsi. Jakarta. Deputi Bidang Sarana dan Prasarana, Direktorat Pengairan dan Irigasi. (2008). Kebijakan Penanggulangan Banjir di Indonesia. Retrieved from Bappenas.go.id. Dr. Sjafii Ahmad, M. (2007). Banjir. Jakarta: Pusat Penanggulangan Krisis Departemen Kesehatan RI. Fernando, R., Sujatmoko, B., & Hendri, A. (2017). Perencanaan Tempat Evakuasi Bencana Banjir Berbasi Teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG). Jom FTEKNIK, 3-4. https://berkas.dpr.go.id/files/info_singkat ( Diakses pada tanggal 11 Februari 2019 ) Mudjiharto, dkk. (2011). Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana (mengacu pada standar Internasional). In WHO. Jakarta. Retrieved from www.searo.who.int/indonesia/documents/ermpubtechnicalguidelines.pdf Munandar, A., & Wardaningsih, S. 2018. Nursing Provions in Psychological Aspect Management of Natural Disasters:Literature Review. Jurnal Keperawatan. Vol 9 No.2. Organization, P. A. (2006). Bencana Alam:Perlindungan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC. Pakaya, R, dkk. (2007). Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana. Jakarta. http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/penanganan krisis/buku_pedoman_teknis_pkk_ab.pdf ( Diakses pada tanggal 11 Februari 2019 ) Pemerintahan Indonesia. 2014. Undang-undang Republik Indonesia No. 29 Tahun 2014 tentang pencarian dan pertolongan. Lembaran Negara RI Tahun 2014 No. 29 Jakarta : Sekretariat Negara Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Nomor 10 Tahun 2012 https://bnpb.go.id/uploads/migration/pubs/561.pdf (Diakses pada tanggal 11 Februari 2019) Peratutan Kepala BNPB No. 7 Tahun 2008 tentng Pedoman Tata Cara Pemberian Bantuan Pemenuhan Kebutuhan Dasar Putra Ardia,dkk.2017.Nurses’ Role and Leadership in Disaster Management at the Emergency Response . Idea Nursing Journal.Vol 6(1):25-31. Sarikusmayadi, Astri Aprilia. 2015. Teknologi Pengolahan Air untuk Kondisi Darurat. Bandung. https://researchgate.net/publication/287632497 (Diakses pada tanggal 11 Februari 2019) Tyas, M. D. (2016). Keperawatan Kedaruratan & Manajemen Bencana. Jakarta Selatan: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia: Pusat Pendidikan Sumber Daya Manusia Kesehatan Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan. Widyastuti,P. 2006. Bencana Alam Perlindungan Kesehatan Masyarakat. Jakarta : EGC www.depkes.go.id/download/buku_banjir (Diakses pada tanggal 11 Februari 2019)