Review Jurnal Pendekatan Person Centered untuk Pengobatan Borderline Personality Disorder. Pendahuluan Selama 10 tahun terakhir, beberapa penelitian sudah menghasilkan pengobatan yang tepat untuk borderline personality disorder (BPD). Terdapat 4 pengobatan yang cukup terkenal yaitu, transference focused psychotherapy (TFP), mentalization based therapy (MBT), schema-focused therapy (SFT), dan dialectical behavior therapy (DBT). Keempat pendekatan terapi ini melihat BPD sebagai hasil dari biologis dan lingkungan. Semua terapi menekankan kombinasi penerimaan dan strategi perubahan. Namun, artikel jurnal ini mengkaji bukti penelitian yang mendukung person centered therapy (PCT) sebagai pendekatan yang layak untuk gangguan Axis II, khususnya untuk BPD. Pandangan Saat Ini Mengenai Borderline Personaly Disorder Sekitar 1% dari populasi umum, menderita BPD, yang diantaranya 10% dari psikiatri rawat jalan, dan mungkin 20% rawat inap psikiatris (Levy et al., 2006; Paris, 2003). Berdasarkan Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorders, edisi keempat, Text Revision (DSM IV-TR), BPD adalah pola pervasif ketidakstabilan hubungan antarpribadi, citra diri, dan afek, dan ditandai dengan impulsivitas yang dimulai pada masa dewasa awal dan hadir dalam berbagai konteks ”yang ditandai oleh sembilan indikator berikut: a. Usaha yang tidak beraturan untuk menghindari penolakan yang nyata atau imajiner. b. Sebuah pola hubungan interpersonal yang tidak stabil dan terus menerus yang ditandai dengan pertukaran antara idealisasi dan devaluasi yang ekstrem gangguan identitas: ketidakstabilan gambaran diri atau perasaan diri yang nyata dan terus menerus. c. Impulsivitas pada setidaknya dua area yang mempunyai efek potensial dalam perusakan diri (contoh: belanja, seks, penyalahgunaan zat, berkendaraan ceroboh, makan dan minum berlebihan). d. Afek yang tidak stabil yang ditandai mood yang reaktif (contoh: episode disforia yang sering, iritabel atau kecemasan yang berlangsung beberapa jam dan jarang lebih dari 2 hari). e. Perasaan kosong yang kronis. f. Marah yang tidak sesuai, sering atau kesulitan dalam mengendalikan amarah (contoh: sering menunjukkan perangai, marah yang konstan, sering berkelahi). g. Ide paranoid yang berhubungan dengan stress yang berlangsung sementara atau gejala disosiatif yang parah. Transference Focused Therapy Kernberg, Clarkin, dan Levy mengembangkan TFP berdasarkan pandangan relasi objek. TFP akan mengaktifkan kembali primitif dari relasi objek klien dengan terkontrol. Menurut Levy et al. (2006), secara garis besar mekanisme fasilitatif yang disediakan oleh terapis TFP adalah : (a) pendekatan perawatan terstruktur yang mencakup manual perawatan, kontrak perawatan, hierarki masalah yang ditangani, dan supervisi kelompok untuk terapis; (b) klarifikasi sebagai teknik membangkitkan keadaan internal klien dan untuk mendorong pemikiran reflektif; (c) konfrontasi sebagai sarana untuk menanyakan tentang kontradiksi dan menyoroti rintangan ke arah tujuan; dan (d) interpretasi tranferensi yang meningkatkan kemampuan klien untuk membedakan antara diri dan lainnya (mis. representasi diri dan representasi objek). Melalui TFP, individu diharapkan mampu untuk mengambil jalan tengah yang realistis dengan tidak mempertahankan representasi internal primitif yang belum tentu akurat, Clarkin et al. (2001) menemukan bahwa TFP adalah pengobatan yang berpotensi untuk mengurangi bunuh diri dan rawat inap. Mentalization Based Therapy Menurut Fonagy dan Bateman (2006), klien dengan borderline personality disorder defisit dalam kapasitas untuk melakukan mentalisasi. Melalui terapi ini, klien dapat belajar untuk mengingat kondisi mentalnya dan dapat mengendalikan diri untuk merespon. Berikut adalah 4 pedoman terapis : (a) mendiskusikan hubungan keterikatan saat ini; (b) mendiskusikan hubungan keterikatan masa lalu; (c)dalam menciptakan lingkungan yang memengaruhi regulasi, terapis mampu melakukannya mendorong dan mengatur ikatan keterikatan klien dengannya; dan (d) Melalu setting kelompok, terapis mencoba untuk mendorong kelekatan antara sesama anggota. Terapis mendorong klien untuk mengalami titrasi dari emosi negatif melalui perselisihan yang menyakitkan atau kenangan traumatik. Terapis juga mendorong pikiran reflektif dengan cara : (a) Fokus pada kondisi mental klien saat ini. (b) Terapis mencegah situasi dimana klien mendiskusikan kondisi mental yang subjektif dan tidak realistis. (c) Terapis membuat klien mampu memainkan pikiran dan emosinya dan, (d) Klien diminta untuk menginterpretasi pengalamannya, tapi bukan dengan menuruti keinginan bawah sadarnya. Menurut Bateman & Fonagy (1999, 2001, 2008), terapi MBT ditemukan secara signifikan mengurangi perilaku melukai diri sendiri, depresi, kecemasan, lamanya dirawat di rumah sakit, meningkatkan penyesuaian sosial. Schema Focused Therapy Jeffrey Young mengembangkan SFT yang mengintegrasikan kognitif, teknik perilaku, dan pengalaman berfokus pada konsep skema dan pengaruhnya terhadap fungsi dan pengalaman klien borderline. SFT dipandu oleh empat konstruksi utama yaitu, (a) hubungan disfungsional dengan tema pengasuh utama, (b) kategori dimana skema maladaptif jatuh (mis., pemutusan dan penolakan, gangguan otonomi, dll.), (c) proses dimana klien mempertahankan skema maladaptive secara utuh (penghindaran, kompensasi, dll.), dan (d) skema yang saat ini aktif, dimana klien melihat dunianya (McGinn & Young, 1996). Khususnya, lima kategori mode skema terdiri dari yang ditinggalkan / dilecehkan anak, anak yang marah / impulsif, pelindung yang terlepas, orangtua yang menghukum, dan orang dewasa yang sehat, mode tujuan terapi (Kellogg & Young, 2006). Terapis memberikan perawatan terbatas dengan memfasilitasi iklim terapi yang aman, stabil, dan menerima sebagai pendahulu, dan selanjutnya menggunakan teknik gestalt seperti guided imagery work, kursi kosong dan dan menulis surat dalam upaya untuk mengeksternalkan mode orangtua hukuman atau suara batin kritis. Teknik kognitif menyediakan pendidikan dan restrukturisasi kognitif untuk mengatasi kemarahan dan perilaku impulsif. Akhirnya, klien melakukan terapi dengan belajar ke dunia luar. Termasuk di dalamnya adalah teknik perilaku relaksasi, pelatihan, manajemen kemarahan, dan paparan situasi yang menakutkan untuk membuat klien mandiri dan menjadi orang dewasa yang sehat. SFT dengan TFP ditemukan mampu mengurangi gejala BPD selama 12 bulan dan perubahan dipertahankan selama 3 tahun. Dialectical Behavior Therapy DBT dipercaya keberhasilannya dalam mengurangi secara signifikan bunuh diri, upaya bunuh diri, parasuicide, dan frekuensi rawat inap, namun memiliki efek yang belum konsisten pada harapan, depresi, dan alasan klien untuk hidup (Linehan et al., 2006; Lynch, Chapman, Rosenthal, Kuo, & Linehan, 2006). Linehan dan rekan (Lynch et al., 2006) menguraikan empat strategi perawatan yang memfasilitasi tujuan terapi yaitu pengurangan kecenderungan tindakan yang tidak efektif terkait dengan emosi yang tidak teratur melalui mindfulness, tindakan berlawanan, penargetan perilaku dan analisis rantai, dan dialektika. Selanjutnya, mekanisme perubahan yang muncul dari strategi ini dihipotesiskan sebagai : (a) paparan, respons pencegahan (E / RP), dan kepunahan, (b) pembelajaran novel, respons yang tampil untuk rangsangan menggugah (pelatihan keterampilan regulasi emosi, pemecahan masalah), (c) meningkatkan kontrol atensi dan diskriminasi stimulus (memfokuskan kembali, mengganggu, dan mengenali), dan (d) menyeimbangkan dan mempertahankan perawatan yang efektif (penerimaan radikal melalui validasi terapis). Komponen utama dalam pengobatan DBT, dioperasionalkan ke dalam enam perilaku atau tingkatan: (a) mendengarkan aktif, (b) akurat refleksi perasaan, (c) mengartikulasikan pikiran atau perasaan yang tidak terverbalisasi, (d) menyatakan kepada klien bahwa perilaku disfungsional adalah logis dengan pandangan pengalaman masa lalu, (e) menormalkan perilaku disfungsional dalam konteks saat ini, dan (f) bertindak dengan cara yang asli (Lynch et al., 2006). Person Centered Therapy dan Penelitian Rogers dan rekannya (Rogers & Dymond, 1954; Rogers, Gendlin, Kiesler, & Truax, 1967) menemukan bahwa perubahan klien menjadi positif terjadi dan efektif, apabila terapis cenderung memiliki sikap tertentu terhadap klien itu. Melalui perilaku interpersonal terapis, menciptakan perubahan yang mempromosikan kondisi klien. Gerakan menuju suatu internal locus of control dan kepercayaan diri seseorang yang mampu untuk mengevaluasi secara akurat suatu pengalaman, dianggap sebagai unsur utama dalam perubahan perilaku. Elliott et al. (2004) mengemukakan, PCT menunjukkan efek yang kuat (mis.,> 0,8) secara konsisten dalam tindakan pra-pasca, dalam daftar tunggu dan kontrol tanpa perawatan, dibandingkan dengan pendekatan CBT dan psikodinamik. Penelitian Efektivitas PCT dengan Klien Borderline Sebuah studi oleh Turner (2000) membandingkan pengobatan yang berorientasi DBT dengan PCT di klinik kesehatan mental masyarakat. Kedua kondisi terapi disediakan oleh terapis yang sama dan PCT sebagai kondisi kontrol. Artinya, terapis bergantian antara menyediakan kondisi PCT untuk satu kelompok klien dan kondisi DBT untuk kelompok lain. Secara khusus, kondisi PCT menghasilkan keuntungan yang signifikan dalam 6 dan 12 bulan mengatasi parasuicide, bunuh diri, tindakan melukai diri sendiri, keberfungsian emosional (termasuk impulsif, kemarahan, depresi, dan tindakan kecemasan), dan fungsi kesehatan mental global. Jika dibandingkan dengan kondisi DBT, PCT equivalent pada pengukuran kecemasan pada 6 dan 12 bulan. Pada kondisi depresi dan impulsif, PCT setara dengan DBT di 6 bulan saja. DBT menunjukkan peningkatan yang lebih kuat pada parasuicide, bunuh diri, dan melukai diri sendiri pada 6 dan 12 bulan. DBT juga mengurangi jumlah rawat inap secara signifikan lebih banyak pada 6 dan 12 bulan. Dalam analisis post hoc perbedaan terapis, Turner (2000) menemukan bahwa satu dari empat terapis lebih efektif dalam memberikan PCT daripada dalam menyediakan kondisi DBT; tiga dari empat terapis lebih efektif dalam menyediakan kondisi DBT. Ini membuat penulis menyimpulkan bahwa “pemberian PCT dengan terapis yang tepat berhasil dengan baik pada beberapa klien BPD. Cottraux et al. (2009) meneliti efek diferensial terapi kognitif (CT) dengan "Rogerian Suportive Therapy" (RST) di dua lokasi di Prancis. Terapi kognitif dibandingkan dengan kondisi PCT menunjukkan perbedaan signifikan yang sangat sedikit selama perawatan dan saat tindak lanjut. PCT ditemukan setara dengan CT pada depresi, kecemasan, dan tindakan bunuh diri / melukai diri sendiri melintasi garis waktu 6, 12, dan 24 bulan. CT secara signifikan lebih efektif sehubungan dengan keputusasaan pada 6 bulan, tetapi tidak ada perbedaan muncul di akhir perawatan dan tindak lanjut. CT memang menunjukkan perubahan signifikan dibandingkan dengan kondisi PCT pada skala peningkatan global 7 poin di 2 tahun tindak lanjut. Penulis menyatakan dalam kesimpulannya, administrasi CT dan RST yang dilakukan oleh terapis berorientasi CT menjadi bias. Studi yang dilakukan oleh Teusch et al. (2001),membandingkan efek PCT plus obat dengan kondisi hanya PCT untuk pengobatan empat subkelompok gangguan kepribadian (paranoid / skizoid, ketidakstabilan emosional / borderline, histrionik /narsistik, dan obsesifkompulsif / dependen). Secara keseluruhan, kondisi hanya PCT ditemukan sebagai efektif untuk peningkatan mood, harga diri, dan pemahaman sosial di semua sub kelompok gangguan kepribadian. Namun, efeknya signifikan terjadi dalam pengurangan depresi pada sub kelompok kepribadian borderline dengan efek sebesar (> 0,8). Sebagai tambahan, hanya PCT serta PCT dengan pengobatan ditemukan memiliki signifikan efek positif di empat sub kelompok gangguan kepribadian pada sosial persepsi dan perilaku sosial. Selanjutnyam klien yang menerima hanya PCT, cenderung dilanjutkan dengan psikoterapi saja, sedangkan klien yang menerima PCT plus obat cenderung menerima layanan tindak lanjut dari terapi dan pengobatan. Aktualisasi Diri Melalui PCT maka klien diajak untuk mencapai aktualisasi diri melalui mekanisme proses primer yang dihipotesiskan sebagai berikut. (a) peningkatan kesadaran pengalaman yang akurat, baik internal maupun eksternal. (b) peningkatan locus of control internal dan penurunan locus of control eksternal. (c) kemampuan untuk mengasimilasi pengalaman yang sebelumnya mengancam ke dalam konsep diri; (d) penurunan defensif dan reaktivitas, serta peningkatan penerimaan diri, (e) peningkatan penerimaan orang lain; dan (f) meningkatnya ketergantungan pada locus of control internal melalui evaluasi pengalaman. Mekanisme Perubahan Fasilitatif Terapis yang cukup terintegrasi dalam dirinya dan sadar akan pengalaman sendiri, dapat menjadi terapis yang akurat. Dia memahami dan menerima reaksi, otentik dan kongruen dalam menerima dan menanggapi komunikasi verbal dan fisik klien. Berikut ini adalah mekanisme perubahan fasilitatif yang dihasilkan dengan PCT : (a) Unconditional positive regard (UCPR) Terapis mengerti tanpa alasan selain hanya untuk mengerti. Jika terapis termotivasi untuk memahami dan ingin menjadi agen perubahan bagi klien, maka kecenderungan penerimaan tanpa syarat tidak akan muncul secara efektif. Ketika terapis menyajikan agenda perubahan yang sudah tidak semestinya dan kondisi yang sangat dibutuhkan telah ditempatkan pada hubungan maka perubahan alami klien telah dibuang. (b) Empathy Empati merupakan pemahaman terhadap klien bukan dengan menafsirkan, menjelaskan, atau meyakinkan. Empati dapat meringankan hambatan dari countertransference terapis dan meningkatkan identifikasi proyektif, ketika terapis dapat mengalami perasaan penerimaan yang radikal terhadap klien. (c) Meringankan countertransference Mirip dengan pendekatan lain, terapis tidak menganggap perilaku klien ini sebagai hambatan untuk perawatan yang sebenarnya, tetapi sebagai perawatan itu sendiri. Namun, terapis kadang-kadang harus mengekspresikan perasaan negatif terhadap klien. Dengan kata lain, terapis harus mengambil risiko berbicara dengan klien bagaikan "gajah di dalam ruangan," sebagai cara untuk memeriksa pemahaman, untuk menguji akurasi perasaan, dan untuk menyampaikan keaslian kepada klien. (d) Roh dari PCT, menjadi ada. Terapis tidak melakukan terapi sebagai sarana untuk secara sengaja mengubah klien. Melalui terapis yang merespons dengan cara yang tidak memaksakan hambatan, maka akan meningkatkan persepsi klien tentang cara hidup yang sejati. Proses Mekanisme Perubahan Mekanisme proses perubahan dimulai ketika klien merasakan minimnya syarat-syarat dari terapis sikap kondisi yang berharga. Berikut adalah mekanisme proses perubahan dari PCT terhadap klien BPD. (a) Meningkatkan kesadaran yang akurat. Awalnya, lingkungan yang aman bagi klien digunakan untuk memeriksa perbatasan pengalaman internal dan eksternal, sehingga klien dapat memilih perspektif yang semakin akurat dari pengalamannya. (b) Internal locus of control Penguasaan pengalaman ini dapat digambarkan sebagai gerakan dari eksternal ke internal locus of control. Klien belajar bahwa pengalaman dapat diperiksa, dipahami, dimiliki, dan kemudian diterima. Internal locus of control ini adalah mekanisme perubahan kedua dan muncul perlahan seiring waktu. (c) Asimilasi pengalaman mengancam sebelumnya. Klien yang lebih akurat dalam kesadaran, maka pengalaman yang mempromosikan aktualisasi diri akan berasimilasi. Kesadaran keberadaan yang akurat dan internal locus of control positif yang dirasakan dapat berasimilasi ke dalam diri (mis., "Saya orang yang menyenangkan"). (d) Defensif ke penerimaan. Klien sekarang telah memasuki wilayah pada kontinum perpindahan dari pertahanan diri kepada penerimaan diri akan semakin menjadi aturan dan semakin sedikit pengecualian. Selama transisi dari defensif ke penerimaan diri, terapis mungkin mengalami peningkatan upaya klien untuk membantah sikap kongruennya. Selama periode ini, klien dapat menunjukkan peningkatan bunuh diri dan perilaku melukai diri sendiri yang dapat menguji keterampilan klinis terapis serta kekuatannya dalam menghadapi kemungkinan rawat inap klien. Penerimaan diri muncul dari penyerapan hal positif eksternal dari pengalaman positif berulang dengan terapis. (e) Peningkatan penerimaan dari orang lain Secara hipotesis, kecenderungan aktualisasi menuju pada kesesuaian antara diri dan pengalaman. Hal ini akan mempengaruhi klien ke arah memvalidasi dan menghargai lingkungan lebih sering dan membuang hubungan tidak sehat. (f) Ketergantungan pada evaluasi diri Proses pengembangan ketergantungan yang meningkat pada lokus internal evaluasi pengalaman, membuat klien mengembangkan alat untuk melanjutkan kehidupan yang menunjukkan pengambilan keputusan yang dapat diadaptasi. melangkah ke dalam proses menjadi seseorang yang baik. Hal ini membuat klien dapat Kesimpulan Artikel ini menguraikan bukti bahwa pendekatan yang menekankan hubungan terapi dan sumber daya klien menyediakan cara terapeutik yang unik, sehingga memungkinkan klien untuk menjadi individu yang berharga, konsisten dalam hubungan, dan bergerak menuju kesehatan, kebahagiaan, dan stabilitas. Ketika proses terapi berlangsung, klien borderline secara bertahap turun dari "perbatasan" kehidupan dan, mendapatkan rasa percaya diri yang baru dan harga diri yang positif.