Uploaded by aryrafsan11

PerempuanWanitaatauBetina

advertisement
See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/275034845
Perempuan, Wanita, atau Betina?
Research · April 2015
DOI: 10.13140/RG.2.1.4134.8647
CITATIONS
READS
0
3,257
1 author:
Dipa Nugraha Suyitno
Universitas Muhammadiyah Surakarta
13 PUBLICATIONS 1 CITATION
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
Indonesian Literature and Nationalism View project
All content following this page was uploaded by Dipa Nugraha Suyitno on 16 April 2015.
The user has requested enhancement of the downloaded file.
Perempuan, Wanita, atau Betina?
Dalam bahasa Indonesia masih terus ada belum lekang perdebatan mengenai tafsir nilai kata
perempuan, betina, dan wanita. Perdebatannya adalah seputar pada manakah dari ketiganya
yang mempunyai nilai kata lebih tinggi atau lebih mulia dibandingkan lainnya. Apakah hal ini
penting? Ya bagi para pejuang hak-hak perempuan/wanita/betina karena ada keyakinan bahwa
istilah yang tepat untuk menyebut diri mereka adalah langkah awal di dalam melakukan
perjuangan melawan peliyanan.
Telaah mengenai makna ketiga kata tersebut misalnya kita dapati dalam tulisan Sudarwati dan
Jupriono Betina, Wanita, Perempuan: Telaah Semantik Leksikal, Semantik Historis,
Pragmatik (1997). Sudarwati dan Jupriono mengerucut pada kesimpulan bahwa kata
perempuan lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan betina atau wanita. Kesimpulan itu kita
dapati lewat kalimat sebagai berikut:
Di sini jelas sekali bahwa jika yang kita maksudkan adalah sosok yang mengalah, rela menderita
demi pria pujaan, patuh berbakti, maka pilihlah kata wanita. Maka, yang tepat tetaplah "Darma
Wanita" memang dimaksudkan untuk berbakti. Tetapi, jika kita berbicara soal peranan dan
fungsinya, soal pemberdayaan kedudukan, soal pembelaan hak asasi, soal nasib dan
martabatnya, tidak ada jalan lain, gunakan kata perempuan, semisal "peranan perempuan
dalam perjuangan", "gerakan pembelaan hak-hak perempuan pekerja" (Sudarwati dan
Jupriono, 1997).
Menurut mereka kata perempuan berasal dari kata ”empu” yang

secara etimologis, berasal dari kata empu (tuan; orang yang mahir/berkuasa; kepala;
hulu; yang paling besar; maka kita kenal kata empu jari 'ibu jari', empu gending 'orang
yang mahir mencipta tembang'),

berhubungan
dengan
kata
ampu
(sokong;
memerintah;
penyangga;
penjaga
keselamatan; wali; mengampu artinya menahan agar tak jatuh atau menyokong agar
tidak runtuh; kata mengampukan berarti memerintah (negeri); ada lagi pengampu
penahan, penyangga, penyelamat sehingga ada kata pengampu susu 'kutang' alias 'BH'),

kemudian menjadi empuan --> puan
Pendapat tersebut juga dapat dibandingkan dengan apa yang dikatakan oleh Zoetmulder (dalam
Pudjiastuti, 2009: 5) bahwa kata perempuan berasal dari kata mpu, empu, ampu artinya orang
yang terhormat; tuan; atau yang mulia.
Sedangkan wanita dianggap lebih rendah nilai karena terbentuk dari proses metathesis dan
kontoid dari kata betina (Sudarwati dan Jupriono, 1997) dan pendapat hampir senada juga
dituturkan oleh Gustaaf Kusno (2011). Proses tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Simpulan yang diberikan oleh Sudarwati dan Jupriono (1997) menganggap bahwa kata
perempuan memiliki nilai yang lebih tinggi dari kata wanita. Mereka mendasarkan simpulan ini
sebab kata wanita berasal dari:

proses metathesis dan kontoid dari kata betina, sebagaimana ilustrasi di atas,

bahasa Sanskerta/Jawa Kuno vanita yang artinya 'yang diinginkan'. Kata ini diserap
oleh bahasa Jawa Kuno (Kawi) menjadi wanita, ada perubahan labialisasi dari
labiodental ke labial: [v]-->[w]; dari bahasa Kawi, kata ini diserap oleh bahasa Jawa
Modern; lalu dari bahasa Jawa, kata ini diserap ke dalam bahasa Indonesia
(Slametmuljana, 1964: 59 – 62).
Lepas dari argumen Sudarwati dan Jupriono (1997) mengenai perempuan – betina – wanita,
berseberangan ada pendapat Umar Junus di dalam Dari Peristiwa ke Imajinasi: Wajah Sastra
dan Budaya Indonesia pada bab 5 yang berjudul Betina – Perempuan – Wanita. Junus
berpendapat bahwa jika hendak mengajukan argumen tentang ketiga istilah tersebut di dalam
domain gerakan feminisme, maka sebaiknya dipakailah kata wanita.
Junus (1983: 21) memulai argumennya dengan definisi ’betina’. Betina menurut istilah
dikaitkan dengan binatang. Lalu ia juga setuju bahwa dari ’betina’ yang ber-metathesis
muncullah kata ’wanita’ (1983: 26). Kata ’perempuan’ menurutnya (1983: 22) secara etimologi
berasal dari kata mpu dan demikian maka kata ’perempuan’ adalah bentuk domestikasi
(karena mpu berarti yang membuat, menghasilkan [anak] --> maka istilah 'perempuan' adalah
bentuk pengandangan) dibanding kata betina – wanita. Betina atau wanita berarti sesuatu yang
’binatang’ atau ’yang dekat dengan alam’ atau dengan kata lain ’belum terjinakkan’.
Perlu ditambahkan pula pendapat lain yang mendudukkan posisi kata betina yang dianggap
sebagai asal kata wanita sebagai lebih netral misalnya bahwa di dalam masyarakat Palembang
kata betino lazim dipakai tanpa ada muatan melecehkan (Gustaaf, 2011).
Jikalau menetapi bahwa kata perempuan adalah lebih tinggi nilainya maka bakal pula timbul
masalah lain. Masalah tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Sebagai simpulan dapatlah dikatakan bahwa kata:

betina tidaklah mutlak dikatakan bahwa sebagai bentuk yang melecehkan perempuan
JIKA diversuskan dengan jantan. Pejantan yang tangguh (Sheila on 7, 2004) dengan
betina yang hebat (Junus: 1983: 21) adalah bentuk oposisi biner. Jika bentuk ’pejantan
yang tangguh’ adalah sebuah pelecehan terhadap laki-laki maka bolehlah dikatakan
bahwa istilah ’betina’ juga merupakan pelecehan. Dan demikian juga menafikan bahwa
istilah betina dapat berkonotasi netral jika menilik penggunaannya pada masyarakat
Palembang. Pun jika kata ini dianggap sebagai asal dari kata wanita, maka konotasi
buruk
(peyoratif)
terhadap
kata
wanita
di
dalam
terminologi
pergerakan pembebasan wanita adalah menjadi absurd.

wanita tidaklah bisa mutlak dikatakan sebagai bentuk pelecehan juga jika merujuk pada
istilah Sanskrit vanita yang artinya: ’yang diinginkan’. Apa yang salah dengan istilah
yang diinginkan? Bukankah laki-laki juga suka menjadi yang diinginkan. Sebab
bagaimanapun juga dikotomi oposisi biner laki-laki – wanita[1] selalu mengalami tarik
ulur. Misal: Jika wanita bisa pretty mengapa laki-laki tidak pretty juga?[2] Jika wanita
adalah objek yang membuat berkeringat atau hot mengapa laki-laki tidak ada pantangan
kita sebut serupa? Hal ini sebenarnya senada dengan apa yang diungkapkan oleh Julia
Kristeva dan Elizabeth Grosz (dalam Dipa Nugraha, 2011) bahwa tarik ulur tentang ini
bakal terus terjadi.

perempuan juga tidak bisa mutlak dikatakan sebagai mempunyai nilai lebih baik
dibanding kata betina maupun wanita. Meskipun kadang dirujukkan dengan argumen
lain bahwa wanita adalah wani ditata[3] yang artinya rendah dibanding empu, namun
jika kita lihat argumen Junus bahwa kata wanita justru lebih dahsyat di dalam konteks
anti-domestikasi dan justru perempuan adalah bentuk kata yang menyiratkan
domestikasi maka pendapat yang merendahkan nilai kata wanita dan meninggikan kata
perempuan perlu dikaji ulang. Jika melihat pada munculnya kata Puan[4] yang ujungujungnya JUGA merupakan bentuk yang dipengaruhi adanya bentuk Tuan karena
phallogocentrism oposisi biner maka bukankah Puan kembali jadi subordinat?
Sebagai penutup tulisan ini, tidaklah salah jika merujuk pada pendapat Lao Tzu yang kemudian
diadaptasi oleh Kristeva (dalam Dipa Nugraha, 2011) bahwa bagaimanapun, oposisi biner di
dalam bahasa adalah hal yang tak terelakkan. Tarik ulur selalu terjadi dan bentuk penyamaran
oposisi biner atau penggugatannya justru malah akan menafikan pembedaan yang memang
diperlukan di dalam bahasa sebagai bagian dari pembentuk realitas; bukan di dalam konteks
hegemoni-subordinasi namun karena kebutuhan akan pembentukan realitas. Penggugatan
oposisi biner dapat diartikan justru akan mengaburkan dan menafikan pembedaan sebagai
unsur pembentuk realitas dan akibatnya malah bisa chaos yang muncul.
Jikalau isu yang diadaptasi dari Gramsci mengenai hegemoni hendak diaplikasikan ke dalam
ranah bahasa dalam bentuk adanya dugaan hirarki hegemonik patriarkal di dalam bahasa
hendak terus digaungkan maka itu merupakan sebuah proyek yang terlalu besar untuk
ditangani karena bakal menggoncangkan realitas. Jikalau perspektif-nya diubah sebagaimana
pemikiran Lao Tzu dan sudah disadari oleh Kristeva bahwa oposisi biner adalah niscaya, maka
bergerak lincah[5] di dalam konstruksi realitas yang bersumber dari oposisi biner justru
merupakan hal yang cerdas dan harmoni justru akan muncul ketika memaklumi dan berdamai
dengannya bahwa sejak awal bahasa memang dibentuk demikian.
Bukan dengan persangkaan bahwa man (laki-laki) memarjinalkan the other (liyan) dengan
oposisi biner tersebut namun karena kemendesakan ketiadaan nama (Lao Tzu dalam Tao Te
Ching, pasal 1). Memahami ini berarti justru memahami realitas sehingga tidak ada gugatan.
Dengan tidak adanya gugatan lagi karena menyadari bahwa man dan woman adalah koeksisten maka harmoni akan tercapai (dan itulah jalan Tao).
Dalam konteks perbincangan tulisan ini, biarlah ada jantan sebagai ko-eksisten dari betina,
biarlah pria menjadi pair dari wanita, dan biarkan pula laki-laki menjadi oposisi biner dari
perempuan. Jika hendak mengadakan tata ulang, maka kecermatan menelisik di dalam oposisi
biner yang merupakan stigmatisasi buruk atau stereotip-lah yang sebenarnya dimaksudkan di
dalam konsep awal Gramsci. Bedakan antara apa yang telah diperbincangkan di atas dengan
oposisi
biner
yang
bukan
ko-eksisten serupa white vs. negro sehingga
muncul
usaha
pemberontakan oposisi biner tersebut menjadi white vs. black, karena berdasar argumen bahwa
jika ada white, ada red, mengapa tidak ada black namun malah negro yang artinya slave?
Contoh serupa sebagaimana dilakukan oleh Sugihastuti (2005: 111-120). Di dalam
bukunya Rona Bahasa dan Sastra Indonesia, Sugihastuti mempermasalahkan istilah: pelacur
dan WTS[6]. Menurutnya pelacur tidak bersinonim dengan WTS. Sebab jika demikian
adalah sinonim maka akan menuding bahwa hanya wanita saja yang dapat melacur. Jika dalam
kenyataannya dapat kita temui bahwa tidak hanya wanita saja yang dapat melacur, maka akan
muncul pula istilah Pria Tuna Susila. Dengan kata lain, pelacur adalah hipernim bagi WTS dan
PTS. Dari sini pula muncul sebuah kemendesakan untuk menyeimbangkan wacana bahwa
wanita dan pria berpunya potensi yang sama untuk melacurkan diri.
Sekali lagi kudu diperjelas apakah oposisi biner yang ada adalah bentuk ko-eksistensi ataukah
bentuk stereotip? Jika dan hanya jika memang ada argumen yang jelas dan meyakinkan bahwa
oposisi biner tersebut bukan sebagai yang dan yin, positif dan negatif [7] yang ko-eksisten,
maka silakan digugat!
DAFTAR PUSTAKA
Dipa Nugraha. 2011. Sastra dan Jender. Diakses Sabtu 14 Mei 2011 pukul 6:13 WIB dari:
http://dipanugraha.blog.com/2011/04/02/sastra-dan-jender/
Junus, Umar. 1983. Dari Peristiwa ke Imajinasi: Wajah Sastra dan Budaya Indonesia.
Jakarta: PT Gramedia.
Kusno, Gustaaf. 2 Januari 2011. Apa Pasal ’Wanita’ Sama dengan ’Betina’ diakses 16 Mei 2011
dari
laman: http://bahasa.kompasiana.com/2011/01/02/apa-pasal-wanita-sama-
dengan-betina/
Pudjiastuti, Titik. 2009. Sita Berperasaan Perempuan sebuah makalah dalam Workshop on
Old Javanese Ramayana: Texts, Culture, and History. ANRC, Gonda Foundation, EFEO,
KITLV Jakarta, 26 – 28 Mei 2009.
Sheila on 7. 2004. ”Pejantan yang Tangguh” di dalam album Pejantan yang Tangguh. Sony
BMG.
Slametmuljana. 1964. Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Sudarwati dan D. Jupriono. 1997. Betina, Wanita, Perempuan: Telaah Semantik Leksikal,
Semantik Historis, Pragmatik dalam FSU in the Limelight Vol. 5, No. 1 July 1997.
Sugihastuti. 2005. Rona Bahasa dan Sastra Indonesia: Tanggapan Penutur dan Pembacanya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[1] Dipakai istilah wanita. Meski demikian boleh diganti dengan perempuan atau betina.
[2] Bandingkan lagu “Pretty Woman” oleh Roy Orbison dengan “Pretty Boy” oleh M2M.
[3] Ada pendapat bahwa berdasarkan etimologi rakyat Jawa (folk etimology, jarwodoso atau
keratabasa, kata wanita dipersepsi secara kultural sebagai 'wani ditata'; terjemahan leksikalnya
'berani diatur' (dalam Sudarwati dan Jupriono, 1997). Namun perlu pula disanggah bahwa ini
adalah bentukan plesetan gaya Jawa bukan asal mula bagaimana kata 'wanita' dibentuk. Jadi
bukan wani ditata menjadi wanita namun dari adopsi dari Sanskrit vanita menjadi wanita lalu
diplesetkan oleh orang Jawa sebagai wani ditata. Kata yang menjadi plesetan orang Jawa
adalah misal: amandel aman tur ndedel yang artinya kurang lebih bahwa amandel itu tidak
mengapa namun bisa merepotkan. Meskipun demikian, bentuk 'wanita' yang diplesetkan
menjadi 'wani ditata' juga merupakan bentuk pen-subordinasi-an kepada 'wanita' oleh pria
Jawa (bukan pria Indonesia).
[4] Penggunaan kata ‘puan’ di dalam bahasa Indonesia misalnya dapat dilihat di dalam lagu
“Selamat Pagi” oleh Indy.
[5] Bergerak lincah di sini diartikan sebagai membuat bahasa sebagai sebuah media yang boleh
dimainkan siapa saja; bukan seperti Kredo-nya Sutardji, namun bagaimana memanfaatkan
bahasa dalam ranah semiotikanya. Misalnya apakah ada yang melarang jikalau mengatakan:
”Suamiku adalah betina kesayanganku.” atau ”Perempuan berseragam itu sungguh gagah dan
membikin gerah.”.
[6] Sebenarnya Sugihastuti di dalam simpulannya mengenai isu terkait juga membahas
mengenai pemakaian istilah Pekerja Seks (Komersial) atau PSK sebagai padan terjemah
istilah sex worker, namun penulis melihat argumen Sugihastuti kuranglah kuat. Pun jika
hendak dimasukkan ke dalam tulisan ini, pembahasan Sugihastuti tentang istilah PSK tidaklah
relevan.
[7] Meskipun oposisi biner yang demikian menjadi gugatan Helene Cixous bahwa atribut
seperti negatif, lemah, malam dilekatkan kepada perempuan, namun pada wacana yang jauh
sebelumnya telah dikembangkan oleh Lao Tzu di dalam kitabnya Tao Te Ching, pembedaan
tersebut justru mengkonstruk realitas dan posisi keduanya bukan hirarki vertical namun side
by side as one entity. Penghapusan salah satu akan menghapuskan lainnya, dan dalam gerak
post-feminism (maaf jika dipakai kata post karena penulis percaya dan melihat bahwa gerakan
feminisme memang sudah menuju ke arah post; ke arah sebagaimana secara pesimis
dinyatakan oleh Elizabeth Grosz (tentang ini silakan baca tulisan saya Sastra dan Jender))
makin tampak bahwa wacana Kristeva-lah (yang merupakan proposisi daur ulang (?) Lao Tzu)
yang paling masuk akal mengenai tata ulang bahasa dan realitas yang tidak lagi memencilkan
wanita (/perempuan/betina) sebab segala wacana tentang itu harus dikembalikan pada the
beginning there was word (meminjam istilah Perjanjian Baru; silakan dibaca di dalam tulisan
saya yang lain The Hypogramatic Reading of Tao Te Ching, Bible, and Koran) bahwa oposisi
biner adalah kemendesakan dan tak terelakkan di dalam pembangunan realitas dan ia adalah
ko-eksisten.
Kemudian jika Anda masih tertarik dengan wacana pemerkaya bahwa by nature memang
wanita dengan laki-laki adalah berbeda, silakan Anda baca buku dari Louann Brizendine; "The
Female Brain" dan "The Male Brain".
View publication stats
Download