BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit periodontal merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri dan dapat mengakibatkan kerusakan jaringan periodontal. Plak gigi dinyatakan berperan penting dalam inisiasi periodontitis. Periodontitis umumnya disebabkan oleh plak. Plak adalah lapisan tipis biofilm yang mengandung bakteri, produk bakteri, dan sisa makanan. Lapisan ini melekat pada permukaan gigi dan berwarna putih atau putih kekuningan. Plak yang menyebabkan gingivitis dan periodontitis adalah plak yang berada tepat di atas garis gusi. Bakteri dan produknya dapat menyebar ke bawah gusi sehingga terjadi proses peradangan dan terjadilah periodontitis. (1) Periodontitis kronis biasanya disebut sebagai adult periodontitis atau crhonic adult periodontitis. Merupakan bentuk paling banyak dari periodontitis. Ini biasa dianggap sebagai perkembangan penyakit. Bagaimanapun, dengan adanya faktor sistemik ataupun faktor lingkungan yang mungkin bisa menentukan reaksi host terhadap akumulasi plak, seperti diabetes melitus, merokok, atau stres yang mungkin menyebabkan perkembangan penyakit ini makin agresif. Meskipun periodontitis kronis paling sering terdapat pada remaja, itu bisa terjadi juga pada anak-anak ataupun orang tua sebagai respon terhadap plak kronis dan akumulasi kalkulus. Penelitian ini mendasari perubahan nama dari adult periodontitis disarankan menjadi periodontitis kronis. Plak menyebabkan periodontitis terdapat 1 pada remaja. Menjadi pandangan yang lebih universal dari periodontitis kronis, yang dapat terjadi pada semua umur. Periodontitis kronis didefinisikan sebagai penyakit infeksi dikarenakan inflamasi pada jaringan lunak dari gigi, kehilangan jaringan ikat secara progresif dan kehilangan tulang, hilangnya jaringan ikat dan hilangnya tulang alveolar. Susunan poket periodontal biasanya diakibatkan oleh proses penyakit resesi gingiva sekaligus kehilangan jaringan ikat pada kasus kedalaman poket yang menyisakan kedangkalan. Meskipun pada keduanya mulai terjadi kehilangan jaringan ikat dan kehilangan tulang.(1,2) Adapun bakteri penyebab periodontitis kronis, yaitu Porphiromonas gingivalis (P.gingivais), Prevotella intermedia (P.intermedia), Capnocytophaga, A.actinomycetemcomitans (A.a), Eikenella corrodens, Campylobacter rectus (C.rectus). (1) Untuk mengetahui jenis bakteri pada pasien penderita penyakit periodontitis kronis harus dilakukan penelitian dengan menggunkan metode deteksi bakteri. Dari beberapa metode yang ada, yang paling sering digunakan adalah dengan menggunakan metode kultur bakteri biasa namun saat ini telah ditemukan metode deteksi bakteri yang lebih berkembang yang disebut metode polymerase chain reaction (PCR). Metode PCR adalah sebuah teknik ilmiah dalam biologi molekular untuk memperkuat satu atau beberapa salinan sepotong DNA di beberapa kali lipat, menghasilkan ribuan sampai jutaan salinan tertentu urutan DNA . metode ini dikembangkan pada tahun 1983 oleh Kary Mullis , PCR sekarang teknik umum dan sering sangat diperlukan digunakan di laboratorium penelitian medis dan biologi untuk berbagai aplikasi. Ini termasuk kloning DNA 2 untuk sekuensing DNA berbasis filogeni , atau fungsional analisis gen , diagnosis penyakit keturunan , identifikasi sidik jari genetik (digunakan dalam ilmu forensik dan pengujian paternitas ), dan deteksi dan diagnosis penyakit menular. (3,4) Metode ini bergantung pada siklus termal , terdiri dari siklus pemanasan dan pendinginan berulang dari reaksi untuk mencair DNA dan enzim replikasi DNA. Primer (fragmen DNA pendek) yang mengandung urutan komplementer ke wilayah target bersama dengan DNA polimerase merupakan komponen kunci untuk mengaktifkan amplifikasi selektif dan berulang. Sebagai PCR berlangsung, DNA yang dihasilkan itu sendiri digunakan sebagai template untuk replikasi, pengaturan dalam menggerakkan reaksi berantai di mana template DNA secara eksponensial diperkuat. PCR dapat dimodifikasi secara luas untuk melakukan berbagai macam manipulasi genetik .(5,6) Meskipun metode polymerase chain reaction ini adalah metode yang sangat baik digunakan untuk mendeteksi bakteri namun metode ini belum populer dan belum banyak digunakan dikalangan mahasiswa, maka dengan itu penulis mencoba untuk menjelaskan bagaimana metode ini digunakan untuk mendeteksi bakteri penyebab periodontitis kronis. 1.2 Tujuan Penulisan Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui pemeriksaan bakteri penyebab penyakit periodontal kronis dengan menggunakan metode polymerase chain reaction (PCR) 3 1.3 Metode Penulisan Pada penyusunan dan penulisan skripsi ini, penulis melakukan studi pustaka yaitu dengan mencari, menghinpun, serta mencatat data-data dari berbagai literatur, buku teks, jurnal, internet, dan bahan-bahan lainnya yang dapat digunakan dalam penyelesaian skripsi ini. 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Periodontitis Periodontitis adalah penyakit multifaktorial yang menyebabkan infeksi dan peradangan jaringan pendukung gigi, biasanya menyebabkan hilangnya tulang dan ligamen periodontal dan bisanya merupakan penyebab kehilangan gigi pada orang dewasa dan edentulousness.(1,4) Gambar 1. Peradangan pada periodontitis Sumber: http://www.smile-mag.com/art_files/Periodontitis.pdf Periodontitis merupakan suatu infeksi campuran dari mikroorganisme seperti Porphyromonas gingivalis, Prevotella intermedia, Bacteroides forsythus, Actinobacillus actinomytemcomitans, dan mikroorganisme Gram-positif, misalnya Peptostreptococcus micros dan Streptococcus intermedius.(1,2) 5 Peradangan pada periodontal memiliki banyak penyebab (misalnya, bakteri, trauma). Namun, kebanyakan periodontitis akibat dari akumulasi mikroorganisme pada gigi. Faktor risiko pada periodontitis kronis termasuk keberadaan bakteri subgingiva tertentu, penggunaan tembakau, diabetes, usia, dan jenis kelamin. Selain itu, ada bukti bahwa faktor lain dapat berkontribusi pada patogenesis penyakit periodontal: lingkungan, genetik, dan sistemik (misalnya, diabetes).(2,3) 2.2 Periodontitis Kronis A. Pengertian Dahulu periodontitis kronis dikenal sebagai adult periodontitis atau slowly progressive periodontitis. Periodontitis kronis terjadi sebagai akibat dari perluasan inflamasi dari gingiva ke jaringan periodontal yang lebih dalam. (1) Gambar 2. Periodontitis kronis Sumber : Color Atlas of oral disease 6 Gambar 3. A, Abses periodontal kronis pada gigi kaninus kanan rahang atas. B, Setelah adminsitrasi anestesi lokal, probe periodontal dimasukkan untuk menentukan keparahan lesi. C, Menggunakan insisi vertikal mesial dan distal, dilakukan pembukaan flap full-thickness, yang menunjukkan dehisensi tulang parah, restorasi subgingiva, dan kalkulus akar. D, Permukaan akar telah dihaluskan dan bebas kalkulus serta restorasi dihaluskan. E, Flap full-thickness dikembalikan ke posisi awalnya dan dijahit menggunakan absorbable suture. F, Setelah 3 bulan, jaringan gingiva berwarna merah muda, padat, dan beradaptasi baik dengan gigi, dengan kedalaman probing periodntal minimal. Sumber: carranza, tahun 2008 edisi 10 B. Etiologi Awal periodontitis pada seorang individu diduga karena adanya gen polimorf yang menyebabkan perubahan pada aktivitas sitokin, substansi yang mengatur aktivitas sistem imun dalam mempertahankan suatu sel. Perubahan ini 7 menyebabkan destruksi pada tulang dan jaringan ikat, yang biasanya terjadi sangat lambat, dan sebagian besar asimptomatik, sehingga efeknya pada gigi berupa hilangnya perlekatan dengan tulang terjadi pada usia sekitar 30-50 tahun. Elemen genetik tersebut yang bisa menjelaskan mengapa periodontitis kronis seringkali mengenai anggota keluarga yang sama.(4) Adapun etiologi dari periodontitis kronis, yaitu : (6) Akumulasi plak dan kalsifikasi kalkulus (tartar) diatas (supra) dan/atau dibawah (subgingiva) pada batas gingiva. Organisme penyebab periodontitis kronis, antara lain : a. Porphiromonas gingivais (P.gingivais) b. Prevotella intermedia (P.intermedia) c. Capnocytophaga d. A.actinomycetem comitans (A.a) e. Eikenella corrodens f. Campylobacter rectus(C.rectus) Reaksi inflamasi yang diawali dengan adanya plak yang berhubungan dengan kehilangan yang progressif dari ligament periodontal dan tulang alveolar, dan pada akhirnya akan terjadi mobilitas dan tanggalnya gigi : a. Perlekatan gingiva dari gigi b. Membrane periodontal dan tulang alveolar mengalami kerusakan. c. Celah yang abnormal (poket) yang berkembang antara gigi dan gingiva. d. Debris dan poket yang dihasilkan oleh poet (pyorrhea) 8 Subjek cenderung rentan karena faktor genetic dan/atau lingkungan seperti : a. Merokok b. Polimorf gen interleukin-1 c. Depresi imun d. DiabeteS Telah diketahui bahwa kerusakan jaringan dimediasi oleh substansi bakteri yang melewati barier epitel dan menyebabkan injury secara langsung atau tidak langsung. Produk bakteri yang dapat menyebabkan injury langsung pada jaringan yaitu toxin seperti endotoksindan leukotoksi, dan enzim seperti hyaluronidase dan kolagenase. Beberapa mekanisme dari injury secara tidak langsung dari jaringan periodontal telah dipaparkan.(9) C. Bentuk Periodontitis Kronis Adapun bentuk dari periodontitis kronis adalah(6) Reccurent periodontitis - tanda dan gejala awal dari periodontitis yang destruktif kambuh setelah terapi periodontal diakibatkan karena penyakit tidak dirawat secara adekuat dan/atau pasien tidak melakukan perawatan oral hygiene yang adekuat. Refractory periodontitis- periodontitis destruktif yang terjadi pada pasien, dimana pada saat di lakukan pemeriksaan, terdapat kehilangan perlekatan pada satu atau lebih dari permukaan gigi, meskipun telah dilakukan terapi periodontal secara professional dan pasien yang telah melakukan 9 pemeliharaan oral hygiene serta telah mengikuti program yang dianjurkan dari kunjungan pemeliharaan periodontal. Berdasar pada sistem klasifikasi tahun 1989, refractory periodontitis telah dipisahkan secara tersendiri. Dipercaya bahwa refractory periodontitis bukan merupakan kesatuan dari suatu penyakit tunggal. Pada klasifikasi tahun 1999, refractory dapat digunakan untuk semuatipe penyakit periodontal yang tidak berespon terhadap perawatan. Kasus periodontitis kronis yang tidak berespon terhadap perawatan disebut refractory chronic periodontitis. D. Refractory chronic periodontitis Peningkatan kehilangan perlekatan tulang pada pasien meskipun telah melakukan hal-hal berikut :(10) a. Terapi periodontal yang akurat b. Pasien yang telah melakukan perawatan oral hygiene yang tepat. c. Program yang sesuai dengan kunjungan pemeliharaan periodontal. E. Gambaran Klinis Adapun gambaran klinis dari periodontitis kronis, yaitu (8) Onset penyakit biasanya dimulai pada usia 30-35 tahun. Penyakit biasanya generalized, meskipun ada beberapa area yang lebih parah keterlibatannya dibanding area yang lain. Tidak ada pola yang tetap dari distribusi lesi yang terlihat, kecuali yang biasa diisolasi untuk satu atau dua sisi. 10 Gambar 4. Periodontitis kronis pada pria usia 45 tahun Sumber : Essential of clinical periodontology and periodontics Permukaan inflamasi akut yang parah tidak terlihat, biasanya memperlihatkan gingiva yang bengkak dari mild periodontitis hingga moderate periodontitis serta perubahan warna dari merah pucat ke magenta. Hilangnya stippling, margin gingiva yang tajam dan bergulung atau papilla yang crater dapat terlihat. Perdarahan yang spontan dan inflamasi yang berhubungan dengan eksudat dari poket juga dapat ditemukan. Saat poket terbentuk, kemungkinan dapat terjadi abses. Kedalaman poket bervariasi dan poket supraboni dan infraboni dapat ditemukan. Kondisi yang dapat memperparah akumulasi plak seperti bagian interdental yang terbuka, tepi restorasi yang rusak, dan malposisi gigi seringkali dapat ditemukan. 11 Jumlah deposit mikroba konsisten dengan keparahan penyakit. Mobilitas gigi dapat dilihat pada kasus yang sudah lanjut. Tidak ditemukan abnormalitas serum neutrofil/monosit. F. Diagnosis Diagnosis periodontitis kronis didasarkan pada hal-hal berikut, yaitu :(10) Perdarahan pada saat probing, kedalaman probing, dan kehilangan perlekatan klinis. Pemeriksaan mobilitas gigi Mobilitas gigi diperiksa dengan menggunakan dua handle dari hand instrument yang ditempatkan dibagian bukal dan lingual. Gigi digerakkan buko-lingual dengan instrument dan derajat pergerakan gigi dicatat. Cara ini bersifat subjektif tetapi sudah sangat umum digunakan. Penelitian terakhir memperkenalkan adanya perkembangan alat elektronik untuk mengukur mobilitas gigi, Periotest , yang menggunakan sebuah akselerometer untuk mengukur resistensi gigi terhadap tekanan yang diaplikasikan 16 kali setiap 4 detik dengan silinder metal kecil. Metode ini memiliki 60 skala yang dimulai dengan -10 (gigi ankilosis atau oseointegrasi seperti implant) hingga +50 (mobilitas yang ekstrem) dan mempunyai keuntungan yaitu bisa dilakukan kembali dan dibandingkan dengan data sebelumnya. Peningkatan atau penurunan dari hasil pengukuran mobilitas gigi dapat membantu dalam memperoleh hasil pengukuran yang akurat. 12 Gambar 5. Periotest untuk mengukur mobilitas gigi dengan menggunakan akselerometer Sumber : Clinical textbook of dental hygiene and dental theraphy Pemeriksaan radiografi (vertical bitewing dan periapikal) Pola kerusakan tulang yang terlihat pada periodontitis kronis dapat berbentuk vertical atau horizontal. Saat kehilangan perlekatan dan tulang terjadi pada laju yang sama pada sebagian besar permukaan gigi disebut kerusakan tulang horizontal dan umumnya dihubungkan dengan poket supraboni.(8) G. Patogenesa Proses utama yang menyebabkan hilangnya perlekatan dan pembentukan poket : (11) Plak subgingiva yang meluas ke arah apical menyebabkan junctional epithelium terpisah dari permukaan gigi. Respon jaringan inflamasi epithelium poket berakibat pada destruksi dari jaringan ikat gingiva, mebran periodontal dan tulang alveolar. Proliferasi di apical dari junctional epithelium menyebabkan migrasi dari perlekatan epithelium. 13 Tingkat kerusakan jaringan tidak bersifat konstan, tetapi episodic, sejumlah tipe penyakit dapat terjadi, mulai dari kerusakan slowly progressive hingga aktivitas episodic yang berkembang cepat. Ada lima tahapan yang diketahui pada perkembangan penyakit periodontal, yaitu : (4) Pristine gingiva (hanya ditemukan pada hewan percobaan) yang memiliki lapisan epithelium yang intak dan melapisi gingiva crevice serta tidak terdapat sel inflamasi dalam jaringan ikat. Terdapat perpindahan yang kontinyu dari leukosit neutrofil ke bagian korona dari junctional epithelium dan gingiva crevice. Gingiva sehat yang normal memiliki sejumlah sel inflamasi dalam junctional epithelium dan jaringan ikat. Meskipun gingivitis pada tahap ini tidak dapat dideteksi secara klinis, perubahan inflamasi dapat dideteksi secara mikroskopik. Gambar 6. Gingiva yang normal Sumber : Carranza`s Clinical Periodontology 14 Early gingivitis nampak setelah 10-20 hari setelah akumulasi plak. Terdapat peningkatan sel inflamasi di dalam jaringan dan meningkatnya migrasi neutrofil ke dalam gingiva crevice. Epithelium gingiva menjadi lebih tebal. Jaringan ikat gingiva telah banyak mengandung sel inflamasi dan terjadi dilatasi pada pembuluh darah. Gambar 7. Early lesion gingivitis Sumber : Essential of microbiology for dental students Established gingivitis memiliki jaringan ikat yang lebih banyak didominasi oleh sel plasma (10-30%) Gambar 8. Established gingivitis Sumber : Essential of microbiology for dental students 15 Periodontitis ditandai dengan migrasi ke arah apical dari junctional epithelium – tahap pertama dari hilangnya perlekatan. Infiltrasi yang sama dari sel inflamasi dapat dilihat, namun lebih dominan (>50 %). Kehilangan tulang mulai terjadi disini. H. Prevalensi Periodontitis kronis meningkat prevalensi dan keparahannya sejalan dengan usia, umumnya mempengaruhi laki-laki dan perempuan dengan frekuensi yang sama. Periodontitis disebut age associated, bukan age-related. Dengan kata lain, bukan usia dari individu yang meningkatkan prevalensi penyakit tetapi durasi dari jaringan periodontal oleh akumulasi kronik dari plak.(1) I. Keparahan Penyakit Keparahan dari kerusakan periodonsium yang terjadi sebagai akibat dari periodontitis kronis umumnya berjalan seiring waktu.dengan peningkatan usia, kehilangan perlekatan dan tulang menjadi lebih sering dan parah karena akumulasi dari kerusakan yang terjadi keparahan penyakit dapat dibagi menjadi slight (mild), moderate, atau severe. Istilah tersebut digunakan untuk menjelaskan keparahan penyakit yang terjadi dalam keseluruhan rongga mulut atau hanya sebagian dari rongga mulut (seperti perkuadrant atau sextant) atau status penyakit dari gigi individual. (1,8) Slight (mild periodontitis) - Kerusakan periodontal biasanya dikaakan slight jika hilangnya perlekatan klinis tidak lebih dari 1-2 mm. 16 - Biasanya melibatkan banyak gigi. - Invasi minimal dari furkasi dengan sedikit atau tanpa adanya mobilitas gigi yang terlihat. - Kehilangan tulang (kurang 20 % dari perlekatan tulang ) Gambar 9. Periodontitis kronis tahap awal Sumber : Periodontal manifestasion of local and systemic disease Moderate periodontitis Dikatakan moderate jika : - Hilangnya perlekatan klinis sekitar 3-4 mm - Keterlibatan furkasi moderate awal dengan mobilitas gigi dari slight hingga moderate. - Kehilangan tulang yang lebih besar dari 40 % dari total perlekatan periodontal klinis 17 Gambar 10. Moderate periodontitis Sumber : Periodontal manifestasions of local and systemic disease Severe periodontitis - Saat hilangnya perlekatan lebih dari 7 mm atau lebih, disebut kondisi severe. - Keterlibatan furkasi tingkat III - Mobilitas gigi yang berlebih - Kehilangan tulang lebih besar dari 40 %, defek kerusakan tulang horizontal dan angular dapat di temukan. Gambar 11. Severe periodontitis Sumber : Color Atlas of dental hygiene 18 J. Faktor resiko penyakit Beberapa faktror resiko dari penyakit periodontitis kronis adalah:(1,4,8) Faktor lokal : meliputi plak dan faktor retentive plak. Plak yang melekat pada gigi dan permukaan gingiva pada dentogingiva junction diketahui sebagai penyebab primer dari periodontitis kronis. P.gingivais, B.forshytus dan Treponema denticola seringkali ditemukan pada periodontitis kronis. Faktor retentive plak membantu akumulasi plak atau mencegah terlepasnya plak dengan prosedur oral hygiene yang rutin. Faktor tersebut berperan penting dalam perkembangan periodontitis kronis karena dapat menyebabkan mikroorganisme plak menjadi lebih dekat dengan jaringan periodontal. Beberapa faktor tersebut adalah kalkulus, restorasi subgingiva dan/atau margin yang overhanging, lesi karies yang dalam yang meluas ke subgingiva, gigi crowded atau malposisi, dan kekasaran permukaan akar. Faktor sistemik : mekanisme dari faktor sistemik dalam penyakit periodontal dapat mempengaruhi respon host dan meningkatkan tingkat progresi penyakit periodontal. Laju perkembangan periodontitis kronis yang disebabkan oleh plak umumnya berjalan lambat. Namun, pada saat periodontitis kronis terjadi pada pasien yang memiliki penyakit sistemik yang mempengaruhi keefektifan dari respon host, laju kerusakan periodontal dapat meningkat secara signifikan. 19 Diabetes. Diabetes merupakan kondisi sistemik yang dapat meningkatkan keparahan dan perluasan dari penyakit periodontal pada pasien yang terkena. Diabetes tipe 2, atau Diabetes Mellitus Tidak Tergantung Insulin (DMTTI) merupakan bentuk yang paling sering terjadi, dan mencapai 90 % dari semua pasien diabetes. Selain itu, diabetes tipe 2, seringkali berkembang pada populasi dewasa pada saat yang bersamaan dengan periodontitis kronis. Efek yang sinergis dari akumulasi plak dan modulasi dari respon host yang efektif melalui efek dari diabetes yang dapat berubah menjadi severe dan terjadi kerusakan periodontal yang luas yang dapat mempersulit perawatan dengan tekhnik klinis standar mengontrol kondisi sistemik. Peningkatan diabetes tipe 2 pada usia belasan tahun dan usia remaja telah ditemukan dan biasanya dihubungkan dengan peningkatan obesitas pada anak-anak. Selain itu, diabetes tipe 1 atau Diabetes Mellitus yang Tergantung Insulin (DMTI) ditemukan pada anak-anak dan remaja yang dapat menyebabkan kerusakan periodontal yang meningkat ketika tidak terkontrol. Kemungkinan periodontitis kronis dapat diperparah oleh komplikasi diabetes tipe 1 dan 2, yang meningkat prevalensinya pada masa mendatang dan menjadikan perubahan perawatan yang dilakukan oleh klinisi. Perubahan hormon Perubahan ini dapat mempengaruhi respon jaringan gingiva terhadap plak dan terapi. Pubertas, kehamilan dan menopause, semuanya diketahui sebagai penyebab perubahan dari respon gingiva. Meningkatnya keparahan gingivitis 20 selama kehamilan memberikan pengaruh pada peningkatan sirkulasi dari progesterone yang menyebabkan meningkatnya permeabilitas pembuluh darah gingiva dan peningkatan perdarahan serta pembengkakan. Pembesaran papilla gingiva yang dikenal sebagai epulis pregnancy seringkali ditemukan selama kehamilan. Lesi tersebut kurang lebih berdiameter 2 cm; namun pengangkatannya sebaiknya dilakukan setelah melahirkan, meskipun dapat membesar dan menjadi suatu masalah. Lesi tersebut dapat sembuh kembali secara spontan di akhir kehamilan. Faktor lingkungan dan tingkah laku Merokok telah terbukti dapat meningkatkan keparahan dan perluasan penyakit periodontal. Ketika dikombinasi dengan periodontitis kronis yang disebabkan oleh plak, peningkatan laju kerusakan periodontal dapat ditremukan pada pasien yang merokok dan terdapat riwayat periodontitis kronis. Sebagai akibatnya, para perokok dengan periodontitis kronis memiliki kehilangan perlekatan dan tulang yang lebih banyak, keterlibatan furkasi lebih banyak, dan poket yang lebih dalam . Perokok biasanya memiliki masalah periodontal yang parah daripada yang bukan perokok, dan hasil perawatan lebih buruk pada perokok. Hal ini disebabkan karena : (4) - Reduksi dari sirkulasi darah gingiva (yang menyebabkan reduksi pada perdarahan saat menyikat gigi dan probing pada perokok) - Gangguan mobilitas dan fungsi dari sel darah putih 21 - Gangguan pada penyembuhan luka - Peningkatan produksi komponen inflamasi (sitokin) khususnya karena nikotin yang menyebabkan peningkatan produksi collagenase. A B Gambar 12. Generalized chronic periodontitis pada wanita usia 38 tahun dengan riwayat merokok selama 20 tahun paling sedikit satu bungkus per hari. (A) Gambaran klinis yang menunjukkan jumlah plak yang minimal dan inflamasi. Probing menghasilkan perdarahan yang tak berarti, yang umum terjadi pada perokok. Pasien mengeluhkan adanya ruang antara gigi insisivus kanan atas yang dihubungkan dengan kehilangan perlekatan dan tulang. (B) Gambaran radiografi yang menunjukkan keparahan, generalized, pola horizontal dari kehilangan tulang. Molar atas dan bawah telah hilang karena perkembangan penyakit dan keterlibatan furkasi. Sumber : Carranza`s clinical periodontology edisi 10 tahun2008 Selain itu, lebih banyak terbentuk kalkulus supragingiva daripada subgingiva dan memperlihatkan perdarahan yang sedikit pada saat probing daripada yang tidak merokok. Tanda awal yang dapat menjelaskan kondisi tersebut yaitu adanya perubahan mikroflora subgingiva dari perokok dibandingkan dengan yang bukan merokok, selain itu merokok juga berefek 22 terhadap respon host. Tanda klinis, mikrobiologi, dan efek imunologi dari perokok juga mempengaruhi respon terhadap terapi dan frekuensi dari penyakit rekuren.(1) Stress Emosional telah duhubungkan sebelumnya dengan penyakit necrotizing ulcerative, yang mungkin disebabkan karena efek dari stress yang terhadap fungsi pertahanan tubuh. Peningkatan emosi terbukti dapat mempengaruhi perluasan dan keparahan dari periodontitis kronis, yang mungkin terjadi melalui mekanisme yang sama.(1) Faktor Genetik Periontitis dikenal sebagai penyakit multifaktorial dimana keseimbangan yang normal antara plak mikroba dan respon host terganggu. Gangguan ini, seperti yang dijelaskan sebelumnya dapat terjadi melalui perubahan komposisi plak, perubahan respon host, atau perubahan lingkungan dan tingkah laku yang mempengaruhi respon palk dan host. Selain itu, kerusakan periodontal seringkali dilihat diantara anggota keluarga dan melintas ke generasi yang berbeda dalam garis keturunan, serta mendasari dasar genetic untuk kemungkina terjadinya penyakit periodontal. Studi terakhir telah menunjukkan agregasi familial dari localized dan generalized aggressive periodontitis.(1) K. Perawatan Fase awal dari periodontitis kronis (6) a. Perawatan awal terdiri dari : - Konsultasi dengan psikiater pasien mungkin diperlukan jika faktor resiko sistemik ditemukan. Faktor tersebut terdiri dari merokok, 23 diabetes yang tidak terkontrol atau kurang terkontrol, penyakit sistemik, stress, atau medikasi sistemik tertentu. - Instruksi individual, evaluasi kemampuan kontrol plak dari pasien. - Konseling untuk berhenti merokok sebaiknya diberikan pada pasien yang merokok. - Debridement permukaan akar - Agen antimikroba dapat digunakan sebagai tambahan fase awal. - Pengangkatan atau kontrol faktor local yang menyebabkan inflamasi. b. Pemeriksaan jaringan periodontal dan evaluasi ulang dari hasil perawatan fase awal sebaiknya dilakukan setelah terjadi proses penyembuhan inflamasi dan perbaikan jaringan. Tujuan perawatan. Tujuan perawatan pasien dengan periodontitis kronis yaitu :(4) - Mengontrol plak bakteri pada tingkatan yang kompatibel dengan kesehatan jaringan periodontal. - Mengubah atau menghilangkan beberapa faktor resiko yang menyebabkan periodontitis. - Menghentikan progress penyakit. - Mencegah kembalinya periodontitis. Penilaian Hasil Perawatan Hasil yang diinginkan dari terapi periodontal pada pasien periodontitis kronis :(4) - Pengurangan yang signifikan pada inflamasi gingiva 24 - Pengurangan plak gigi pada tingkatan yang kompatibel dengan kesehatan gingiva - Pengurangan kedalaman poket pada saat probing - Pencegahan kehilangan perlekatan yang lebih lanjut. Hasil jangka panjang dari terapi periodontal tergantung pada keterampilan pasien dalam melakukan perawatan oral hygiene dan pemeliharaan jaringan periodontal (panggilan untuk kunjungan ulang) pada interval yang sesuai.(4) Tidak semua pasien memiliki respon yang sama terhadap perawatan yang diberikan. Bagian gigi yang terkena serta tidak memberikan respon terhadap perawatan umumnya memiliki ciri-ciri berupa (5) - Inflamasi pada gingiva. - Peningkatan kehilangan perlekatan klinis - Jumlah plak yang tidak kompatibel dengan kesehatan gingiva. 2.3 Polymerase Chain Reaction (PCR) PCR adalah singkatan dari Polymerase Chain Reaction. Teknik ini merupakan teknik perbanyakan DNA secara in vitro. Teknik ini memungkinkan adanya amplifikasi antara dua region DNA yang diketahui, hanya di dalam tabung reaksi, tanpa perlu memasukkannya ke dalam sel (in vivo). Dalam sistem kerjanya, PCR dilandasi oleh struktur DNA.(14,15) 25 Gambar 13. Proses perbanyakan DNA secara in vitro. Metode ini melibatkan pemisahan rantai ganda DNA dengan pemanasan. Setelah pemutusan, rantai tunggal ini akan diikat dengan rantai tambahan. Sehingga terbentuk dua rantai baru. Melalui beberapa kali pengulangan metode ini akan didapatkan banyak untaian DNA baru. Sumber : http://www.ucl.ac.uk/~ucbhjow/b200/pcr.htm. 26 Gambar 14. Struktur Double helix DNA. Sumber : Brown, T. A. 2002. Genomes, Second Editions. John Wiley and Sons Inc.,New York. Dalam keadaan nativenya, DNA merupakan double helix, yang terdiri dari dua buah pita yang berpasangan antiparalel antara satu dengan yang lain dan berikatan dengan ikatan hidrogen. Ikatan hidrogen terbentuk antara basa-basa yang komplementer, yaitu antara basa Adenin (A) dengan Toymine (T), dan Guanine (G) dengan Cytosin (C). Basa-basa itu terikat dengan molekul gula, deoksiribosa, dan setiap satu molekul gula berikatan dengan molekul gula melalui ikatan fosfat. 27 10 A. Tahapan PCR Terdapat tiga tahap utama di dalam setiap siklusnya, yaitu (14) a. Denaturasi Selama proses denaturasi, double stranded DNA akan membuka menjadi single stranded DNA. Hal ini disebabkan karena suhu denaturasi yang tinggi menyebabkan putusnya ikatan hidrogen diantara basa-basa yang komplemen. Pada tahap ini, seluruh reaksi enzim tidak berjalan, misalnya reaksi polimerisasi pada siklus yang sebelumnya. b. Annealing Primer akan menuju daerah yang spesifik, dimana daerah tersebut memiliki komplemen dengan primernya. Pada proses annealing ini, ikatan hidrogen akan terbentuk. Selanjutnya, DNA polymerase akan berikatan sehingga ikatan hidrogen tersebut akan menjadi sangat kuat dan tidak akan putus kembali apabila dilakukan reaksi polimerisasi selanjutnya, misalnya pada 72oC. c. Reaksi polimerisasi (extension). Umumnya, reaksi polimerisasi atau perpanjangan rantai ini, terjadi pada suhu 72oC. Primer yang telah menempel tadi akan mengalami perpanjangan dengan dNTP yang komplemen pada sisi 3’nya. Jadi, seandainya ada 1 copy gene sebelum siklus berlangsung, setelah satu siklus, akan menjadi 2 copy, sesudah 2 siklus akan menjadi 4, sesudah 3 siklus akan menjadi 8 kopi dan seterusnya. Sehingga perubaoan ini akan berlangsung secara eksponensial. 28 B. Komponen PCR a. Enzim DNA Polymerase Dalam sejaraonya, PCR dilakukan dengan menggunakan Klenow fragment DNA polymerase I selama reaksi polimerisasinya. Enzyme ini ternyata tidak aktif secara termal selama proses denaturasi, sehingga peneliti harus menambahkan enzyme di setiap siklusnya. Selain itu, enzim ini hanya bisa dipakai untuk perpanjangan 200 bp. Selain itu, oleh karena suhu annealing yang rendah dan extension yang hanya bisa dilakukan pada 37 oC (suhu kerja Klenow fragment), hasilnya menjadi kurang spesifik. Untuk mengatasi kekurangan tersebut, dalam perkembangannya kemudian dipakai enzim Taq polymerase yang memiliki keaktifan dalam suhu tinggi. Oleh karenanya, penambahan enzim tidak perlu dilakukan di setiap siklusnya, dan proses PCR dapat dilakukan dalam satu mesin. Pemakaian Taq polymerase dalam konsentrasi yang terlalu besar akan mengakibatkan munculnya background produk non-spesifik. Sebaliknya, bila konsentrasi Taq polymerase terlalu rendah, maka proses amplifikasi berlangsung secara inefisien, dan produk amplifikasi yang diperoleh akan mempunyai konsentrasi yang relatif rendah.(14) b. Primer Apabila memungkinkan primer yang dipilih adalah yang mengandung G+C sekitar 50%. Apabila memungkinkan, dihindari adanya polipurin atau polipirimidin. Selain itu, juga dihindari adanya struktur sekunder dan adanya 29 komplementari antara primer-dimer. Primer yang digunakan sebaiknya mempunyai Tm>55oC. Nilai Tm suatu primer dapat diperkirakan = [(jumlah A+T) x 2oC] + [(jumlah C+G) x 4oC].(14) c. Reagen lainnya Selain enzim dan primer, terdapat juga komponen lain yang ikut menentukan keberhasilan reaksi PCR. Komponen tersebut adalah dNTP untuk reaksi polimerisasi, dan buffer yang mengandung MgCl2. Konsentrasi ion Mg2+ dalam campuran reaksi merupakan hal yang sangat kritis. Konsentrasi ion Mg2+ ini sangat mempengaruhi proses primer annealing, denaturasi, spesifisitas produk, aktivitas enzim dan fidelitas reaksi. Oleh sebab itu, penambahan berbagai pereaksi harus selalu diperhatikan, jangan sampai ada ion-ion lain maupun coelating agent yang dapat mengganggu konsentrasi ion Mg2+ dalam larutan. Secara umum, sebaiknya konsentrasi ion Mg2+ bebas yang terdapat dalam larutan adalah sekitar 2 mM.(14) 30 Gambar 15. Siklus PCR, yang terdiri dari denaturasi, penempelan primer (annealing) dan polimerisasinya Sumber: Shabarni Gaffar, M.Si. . Penggunaan Pcr (Polimerase Chain Reaction) Untuk Deteksi Retrovirus Htlv (Human T-Cell Lymphotropic Virus).Jurusan Kimia Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran,2007 Berbagai macam teknik biologi molekuler telah berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Salah satu dari teknik terbaru ini adalah analisa asam nukleat yang disebut polymerase chain reaction (PCR), pertama kali diperkenalkan pada tahun 1985. Metode ini menggunakan amplifikasi fragmen DNA eksponensial tertentu, menghasilkan jutaan salinan yang dapat berfungsi sebagai template untuk berbagai jenis analisis. (14) PCR dapat didahului oleh reaksi (RT) reverse transkripsi untuk menghasilkan DNA dari RNA (RT-PCR). RT-PCR memberikan kemungkinan untuk menilai transkripsi gen dalam sel atau jaringan.(14) 31 C. Reverse Transcription Pcr (RT-PCR) Amplifikasi RNA dengan PCR dapat dilakukan dengan menggunakan primer yang menempel ke templat RNA dan kemudian mensintesis copy DNA (cDNA) dengan menggunakan enzim reverse transcriptase (RT) dan diikuti dengan proses PCR. Beberapa DNA polimerase dapat digunakan pada tahap ini, seperti T. thermophilus (Tth) DNA polimerase, bila terdapat mangan (Mn) dapat melakukan transkripsi balik RNA. Karena Tth DNA polymerase dapat menggunakan DNA dan RNA sebagai templat, maka prosedur ini dapt dilakukan dalam satu tabung. Templat RNA virus (seperti retrovirus) atau RNA poli A akan di copy menggunakan heksamer acak atau primer spesifik. RNA (RT) PCR merupakan teknik yang sangat sensitif untuk mempelajari ekspresi gen pada tingkat RNA, dan pada kuantifikasi mRNA atau level RNA virus.(14) 32 Gambar 16. Mekanisme RT-PCR Sumber: Shabarni Gaffar, M.Si. . Penggunaan Pcr (Polimerase Chain Reaction) Untuk Deteksi Retrovirus Htlv (Human T-Cell Lymphotropic Virus).Jurusan Kimia Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran,2007 Reverse transcriptase biasanya digunakan untuk mensintesis rantai pertama cDNA dari RNA. Reverse transkriptase dapat dipurifikasi dari beberapa sumber, seperti: avian myeloblastosis virus (AMV) dan Molones murine leucemia virus (MMLV). AMV reverse transkriptase adalao RNA-dependent DNA plimerase yang menggunakan RNA rantai tunggal sebagai templat dan dapat mensintesis cDNA dengan arao 5’→3’ jika terdapat primer. Sama seperti aktivitas DNA polimerase, enzim ini juga mempunyai aktifitas ribonuklease H yang spesifik teroadap oibrida RNA : DNA.(14) 33 BAB III PEMBAHASAN Teknik molekul alternatif seperti polymerase chain reaction (PCR) mampu mendeteksi keseluruhan komunitas bakteri tanpa dilakukan kultur. Metode ini menggunakan daerah lokus rRNA 16S pada mikroba, yang dapat diperkuat dengan PCR dan sequencing dengan satu set primer bakteri universal. Diferensiasi spesies bakteri didasarkan migrasi diferensial mereka dalam gel sebagai fungsi dari persen dari guanin ditambah sitosin (G + C content) dan sifat mencair. Hasilnya adalah profil bar-code-seperti, dengan masing-masing band mungkin mewakili organisme mikro yang berbeda dalam komunitas mikroba.(14,15,16) Untuk saat ini, teknik ini telah menjadi alat penting untuk mempelajari komunitas bakteri yang kompleks dalam berbagai habitat, termasuk biofilm, proses fermentasi makanan, infeksi saluran pencernaan, dan poket periodontal.(14,16) Proses Reaksi Rantai Polimerase(PCR) PCR adalah proses enzimatik dimana suatu area spesifik dari DNA direplikasikan berulang-ulang untuk menghasilkan banyak salinan kode DNA dari sekuen tertentu. ( Saiki et al. 1988, Reynolds et al. 1991 ). Pengkopian molekuler ini meliputi proses pemanasan dan pendinginan sampel dalam suatu siklus panas tertentu yang melebihi dari 30 siklus ( gambar 3.1 ). Dalam setiap periode siklus, 34 sebuah salinan dari sekuen target DNA tersebut dihasilkan untuk setiap molekul yang mengandung sekuen target ( gambar 3.2 ). Keterbatasan dari produk ini ditegaskan dengan oligonukleotida primer yang melengkapi buntut 3’- dari sekuen tersebut.(14) Gambar 17. Siklus temperatur termal pada PCR Sumber: Shabarni Gaffar, M.Si. . Penggunaan Pcr (Polimerase Chain Reaction) Untuk Deteksi Retrovirus Htlv (Human T-Cell Lymphotropic Virus).Jurusan Kimia Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran,2007 Siklus temperatur termal pada PCR. Siklus termal dilakukan pada temperatur yang berbeda dan terus diulang sebanyak 25-35 kali. Pada suhu 95 derajat celcius, helaian DNA dipisahkan atau di denaturasi. Pada 60 derajat celcius, ikatan primer atau 'anneal' pada template DNA dan daerah target diamplifikasi. Pada 72 derajat celcius, DNA polimerase memperpanjang rantai 35 primer dengan cara menggandakan daerah target dengan menggunakan deoxynucliotide tripospate building blocks. Proses PCR memakan waktu sekitar 3 jam dimana setiap siklus memakan waktu sebanyak 5 menit pada siklus termal konvensional : 1 minute pada tiapa 94 derajat celcius C, 60 derajat celcius dan 72 derajat celcius dan sekitar 2 minutes jarak antara tiga temperatur.(14) Gambar 18. Proses amplifikasi DNA dengan polimerase chain reaction (PCR). Sumber: Shabarni Gaffar, M.Si. . Penggunaan Pcr (Polimerase Chain Reaction) Untuk Deteksi Retrovirus Htlv (Human T-Cell Lymphotropic Virus).Jurusan Kimia Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran,2007 PCR umumnya dilakukan dengan jumlah sampel sebanyak 5 – 100 µL. Dengan jumlah yang sangat rendah itu, penguapan dapat menjadi masalah dan akurasi dari pengambilan sampel dapat menjadi tantangan. Di sisi lain, volume 36 sampel yang lebih besar mengarahkan pada masalah keseimbangan panas bagi reaksi pencampuran karena dibutuhkan waktu yang lebih lama bagi perubahan suhu eksternal agar dapat ditransmisikan ke pusat sampel ( bagi sampel yang lebih banyak dibandingkan dengan sampel yang sedikit ). Maka, dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk setiap suhu, sehingga keseluruhan waktu siklus panas yang dibutuhkan juga memanjang. (14) Sebagian besar protokol biologi molekuler untuk sampel PCR adalah antara 20 - 50 µL. Sampel dipipetkan ke dalam berbagai tabung reaksi yang didesain untuk digunakan dalam siklus panas PCR. Tabung yang paling umum digunakan untuk sampel sebanyak 20 – 50 µL adalah tabung berukuran 0,2 mL dengan dinding tipis. (14) Akumulasi metabolisme bakteri pada permukaan jaringan keras mulut dianggap sebagai penyebab primer periodontitis. Lebih dari 400 spesies telah diisolasi dan ditandai dalam plak gigi. Akumulasi bakteri pada gigi merangsang respon inflamasi secara reversibel pada jaringan gingiva. Bagian yang mengalami inflamasi pada akhirnya dapat menyebabkan destruksi jaringan secara permanen pada daerah lokalisasi sejumlah organisme patogen yang potensial. Spesies subgingival tertentu kebanyakan terdiri dari bakteri Gram-negatif yang dihubungkan dengan etiologi penyakit periodontal destruktif seperti: Actinobacillus actinomycetemcomitans, Porphyromonas gingivalis (P. gingivalis), Provotella Intermedia dan beberapa spesies bakteroid lainnya.(15,16) Teknik PCR dan RT-PCR telah berperan dalam beberapa penelitian kedokteran gigi, dan menunjukkan potensi untuk dapat digunakan untuk 37 mendiagnosa serta dapat dimanfaatkan dalam bidang pengobatan dan pencegahan penyakit (karies gigi, penyakit periodontal, infeksi endodontik dan kanker mulut). Pendeteksian bakteri penyebab periodontitis kronis, seperti Porphiromonas gingivais (P.gingivais), Prevotella intermedia (P.intermedia), Capnocytophaga, A.actinomycetemcomitans rectus(C.rectus) dapat (A.a), Eikenella menggunakan teknik corrodens, Campylobacter Polimerase chain reaction (PCR).(14,15,16,17) a. Porphiromonas gingivalis (P.gingivalis)(16) Porphyromonas gingivalis adalah salah satu bakteri Gram-negatif anaerob yang berperan penting pada patogenesa periodontitis.Porphyromonas gingivalis dengan pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) terdeteksi sebesar 75% dari semua periopatogen dalam plak (Kasuga et al., 2000) dan dengan titer antibodi dan deteksi mikroba diperoleh 70% P. gingivalis. (Morinoshi et al., 2000) Gambar 19, bakteri porphiromonas gingivalis Sumber: http://www.pgingivalis.org/photo_gallery.htm 38 Gambar 20, bakteri porphiromonas dengan PCR Sumber: Jurnal Kedokteran Yarsi 17 (1) : 011-020 (2009) b. Prevotella intermedia (P.intermedia)(17) Prevotella intermedia (dahulu Bacteroides intermedius) merupakan bakteri patogen gram negatif yang berperan dalam infeksi periodontal, termasuk gingivitis dan periodontitis dan dapat pula ditemukan pada Acute necrotizing ulcerative gingivitis. Adanya hubungan antara periodontitis dan Porphyromonas gingivalis and Prevotella intermedia ditunjukkan pada penelitian yang melibatkan 1016 sampel yang diambil dari daerah subgingiva pasien. Hasil penelitian menunjukkan adanya P. gingivalis terdapat pada 297 sampel (29%) dan Pr. intermedia sebanyak 501 sampel (49%). Sebuah uji PCR dikembangkan yang secara khusus bisa memperkuat DNA dari patogen periodontal Prevotella intermedia. Sepasang primer dipilih dari daerah gen rRNA 16S P. intermedia yang baik berbeda dalam urutan pada ujung 3 mereka sehubungan dengan daerah yang sesuai dari rRNA gen 16S P. nigrescens, spesies yang paling erat terkait, dan digunakan dalam PCR. (18) 39 Uji PCR dioptimalkan digunakan untuk mengidentifikasi P. intermedia dalam sampel plak subgingiva pasien dengan periodontitis. Konfirmasi amplifikasi DNA P. intermedia dicapai oleh pencernaan produk PCR dengan endonuklease pembatasan RsaI, yang memberikan pola pembatasan yang berbeda untuk P. intermedia dan P. nigrescens. Dari 97 sampel yang dianalisis, 38 (39%) positif untuk P. intermedia. Hasil yang diperoleh mengkonfirmasi P. intermedia sebagai agen etiologi penyebab periodontitis.(18) Gambar 21, Prevotella Intermedia Sumber: http://www.google.co.id/imgres?q=prevotella+intermedia Gambar 22, Analisis PCR terhadap bakteri Prevotella Intermedia. Sumber : Georg Conrads, dkk. Simultaneous Detection of Bacteroides forsythus and Prevotella intermedia by 16S rRNA Gene-Directed Multiplex PCR. J of Clin M,May 1999. [37] 5. p 1623 40 c. Capnocytophaga(19,20) Capnocytophaga spp. telah terlibat sebagai patogen periodontal diduga terkait dengan berbagai penyakit periodontal. Meskipun genus diketahui mengandung lima isolat mulut manusia, identifikasi akurat untuk tingkat spesies organisme ini pulih dari plak subgingiva telah terhambat oleh kurangnya metode yang dapat diandalkan. Oleh karena itu, kebanyakan studi sampai saat ini telah melaporkan isolat sebagai Capnocytophaga spp. Usahausaha sebelumnya di identifikasi didasarkan pada tes biokimia, namun, hasilnya meyakinkan. Mengingat fitur virulensi isolat berbeda dari masingmasing, sangat penting untuk mengidentifikasi isolat ke tingkat spesies. Sifat universal dan konservatif gen rRNA 16S telah menyediakan metode yang akurat untuk identifikasi bakteri. Tujuan dari penelitian yang dilakukan oleh marilou, dkk pada tahun 2005 ini adalah untuk mengidentifikasi Capnocytophaga spp. melalui analisis enzim restriksi gen ini (16S rRNA PCR-fragmen restriksi polimorfisme panjang). Hasil (didukung oleh 16S rRNA gen sequencing) menunjukkan bahwa metode ini terpercaya mengidentifikasi semua nama Capnocytophaga spp. ke tingkat spesies. Identifikasi Capnocytophaga spp. dari isolat klinis sangat penting dalam mengetahui epidemiologis dan diagnosis klinis. Genus terdiri dari sekelompok capnophilic, fakultatif anaerob, gram negatif, batang fusiform ramping, yang melakukan metabolisme fermentasi dan motilitas menunjukkan meluncur ketika tumbuh pada media kultur padat (20). Ini berisi lima spesies mulut manusia, Capnocytophaga gingivalis, C. ochracea, 41 C. sputigena, C. granulosa, dan C. haemolytica (5, 20), dan dua spesies (C canimorsus dan C. cynodegmi) yang membentuk bagian dari anjing dan oral flora kucing (3). Signifikansi klinis dari dua spesies terakhir adalah bahwa C. canimorsus dapat menyebabkan infeksi sistemik manusia (21), sedangkan C. cynodegmi dapat menyebabkan infeksi lokal (3); kedua jenis infeksi timbul melalui goresan anjing atau kucing atau gigitan. Penyelidikan asosiasi mungkin spesies dalam genus ini dengan berbagai kondisi patologis telah terhambat oleh kurangnya skema yang dapat diandalkan untuk identifikasi spesies. Studi sebelumnya telah berusaha untuk membedakan antara spesies dengan uji biokimia (19, 29), profil protein (16, 35), multilocus elektroforesis enzim dan serotipe imunoglobulin A1 protease (11), DNA probe (7), 16S rRNA PCR-RFLP (36), dan 16S rRNA urutan analisis (6, 35). Sebagian besar metode ini (selain dari 16S rRNA PCR-RFLP) yang padat karya, mahal, dan memakan waktu dan karena itu tidak cocok untuk laboratorium mikrobiologi yang paling, terutama ketika beberapa ratus isolat klinis harus diidentifikasi. Gambar 23, bakteri Capnocytophaga Sumber: http://www.google.co.id/imgres?q=capnocytophaga 42 Gambar 24. 16S rRNA PCR-RFLP analisis strain ATCC jenis spesies Capnocytophaga dengan pembatasan endonuklease CfoI. MM, penanda berat molekul; Cg, C. gingivalis; Co, C. ochracea; Cs, C. sputigena; PMG, C. granulosa, Ch, C. haemolytica; KKN, C. canimorsus; CCY, C. cynodegmi. Sumber: Veruska De João Malheiros; Mario Julio Avila-Campos. Detection Of Pathogens From Periodontal Lesions. Rev. Saúde Pública Vol.38 No.5 São Paulo Oct. 2004 d. A.actinomycetemcomitans (A.a)(19,20) A. Actinomycetemcomitans merupakan periodontopathogen penting yang terlibat dalam etiologi dari berbagai bentuk penyakit periodontal, terutama di periodontitis remaja dan dewasa lokal, dan juga di beberapa ekstra-oral infeksi seperti endokarditis, perikarditis, pneumonia, septicemias, dan abses. 43 Studnuclei telah mendeteksi A. actinomycetemcomitans menggunakan metode PCR tetapi pada tingkat yang berbeda pada populasi dengan (19%) dan tanpa (70%) penyakit periodontal. Penelitian-penelitian juga telah menunjukkan sensitivitas PCR dan kekhususan dibandingkan dengan kultur bakteri tradisional. Gambar 25, bakteri Actinobacillus actinomycetemcomitans Sumber: http://microbewiki.kenyon.edu/index.php e. F.Nucleatum(19) Infeksi purulen oral adalah polimikroba, dan disebabkan oleh bakteri endogen. Topoll dkk, Newman dan Sims melaporkan bahwa sekitar 60 % di jumpai bakteri anaerob. Bakteri ini tidak terlihat spesifik, tetapi diketahui patogen terhadap periodontal seperti Porphyromonas gingivalis, Provotella intermedia dan Fusobakterium nucleatum merupakan spesies bakteri paling banyak. Bakteri ini diketahui bersama dengan Aa banyak dalam kultur abses periodontal. Dalam Menurut hasil penelitian Jaramillo A dkk terhadap sejumlah subjek dilaporkanbahwa pada subingival abses periodontal dijumpai 44 Fusobacterium spp. (75%), P.intermedia/nigrescens (60%), P. gingivalis (51%) dan A.actinomycetemcomitans (30%). Gambar 26. Bakteri F.nucleatum. Sumber : http://www.googleimages.com f. Eikenella corrodens(21) Eikenella corrodens adalah gram negatif fakultatif anaerob ditemukan terutama pada rongga mulut dan saluran pernafasan atas . Organisme ini terlibat sebagai periodontopathogen manusia dan juga dapat menyebabkan infeksi ekstraoral. E. corrodens menampilkan spektrum yang luas dari 45 keanekaragaman genetik, fenotipik, dan antigenik. Variasi reaktivitas biokimia, kolonial morfologi, pola elektroforesis protein membran luar dan lipopolisakarida, dan serologi telah diamati. Pembatasan endonuklease analisis E. corrodens nyarankan-gests keberadaan sejumlah besar klon pada manusia dan bahwa isolat dari subjek yang berbeda biasanya genetik. Kolonisasi corrodens E. genetika berbeda dalam subjek yang sama juga telah didokumentasikan dalam penelitian yang melibatkan empat subjek. Gambar 27, bakteri Eikenella corrodens Sumber: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC267085/ 46 Gambar 28. AP-PCR analisis klonal E. corrodens dari pasien periodontitis dewasa D11, dengan OPA-2 (panel atas) atau OPA-4 (panel bawah) sebagai primer acak. Jalur 1 dan 11 masing-masing berisi gel penanda DNA ukuran. Jalur 2, E. corrodens jenis galur ATCC 23834; jalur 3, saring 514; jalur 4, saring 517; jalur 5, saring 508; jalur 6, saring 522; jalur 7, saring 524; jalur 8, saring 509; jalur 9, Strain 513, jalur 10, saring 519. Strain di jalur 5 sampai 7 dan jalur 8 sampai 10 dipamerkan identik AP-PCR profil. g. Campylobacter rectus (C.rectus)(22) Campylobacter rektus, bakteri gram negatif, mikroaerofilik, dan motil, telah diusulkan untuk memainkan peran patogenik dalam periodontitis manusia. Permukaan komponen, seperti flagel, lapisan permukaan (S-layer), dan cytotoxin, telah dilaporkan sebagai faktor virulensi mungkin mikroorganisme. Dalam penelitian ini, antibodi monoklonal terhadap komponen permukaan 47 bakteri ini dibuat untuk mendeteksi dan menyelidiki potensi patogenik dari rektus C dalam periodontitis. Dua antibodi monoklonal, yang ditunjuk CRT-1 dan CRT-2, mengakui 150 aneh kDa S-lapisan protein dengan analisis imunoblot. Antibodi CRT-2 bereaksi untuk semua strain C. rektus diuji, kecuali untuk strain S-lapisan negatif dari spesies [C. ATCC 33238 rektus Slapisan (-) regangan]. CRT-3 antibodi bereaksi dengan protein 60-kDa di rektus C dan juga cross-bereaksi dengan Campylobacter showae ATCC 51164 dan 11641 CCUG strain. Menggunakan metode dot blot-, kami mampu mendeteksi rektus C. menggunakan antibodi CRT-2 saat sesedikit 103 organisme hadir dalam sampel plak gigi subgingiva. Deteksi rektus C dalam sampel plak berkorelasi secara signifikan dengan temuan klinis seperti kedalaman probing (P <0,001), perdarahan saat probing (P <0,001), dan indeks gingiva (p <0,001). Temuan ini menunjukkan bahwa infeksi oleh C. rektus mungkin merupakan indikator penting dari status penyakit periodontal. Gambar 29. bakteri Campylobacter rectus (C.rectus) Sumber: http://www.google.co.id/search?q=Campylobacter+rectus 48 Dengan adanya gambaran diatas, diketahui bahwa dengan pemanfaatan metode PCR akan memudahkan para praktisi klinis maupun peneliti dalam mengidentifikasi mikroorganisme yang menginvasi jaringan periodontal. Namun, secara realitas metode ini masih sangat kurang dimanfaatkan karena kurangnya informasi tentang metode pemeriksaan secara PCR bagi para dokter gigi. Oleh karena itu, diharapkan dengan adanya pembahasan yang dijelaskan mampu memberikan tambahan informasi secara mendetail tentang penggunaan PCR dalam identifikasi mikroorganisme patogen pada jaringan periodontal. 49 BAB IV KESIMPULAN 1. Teknik molekul alternatif seperti polymerase chain reaction (PCR) mampu mendeteksi keseluruhan komunitas bakteri tanpa kultur bakteri yang hasilnya adalah profil bar-code-seperti, dengan masing-masing band mungkin mewakili organisme mikro yang berbeda dalam komunitas mikroba. 2. Keuntungan metode polymerase chain reaction: Lebih cepat dibanding menggunakan vektor Metode pemeriksaan dengan PCR lebih akurat dibanding pemeriksaan lainnya disebabkan kurangnya kontaminasi dari mikroorganisme lain karena metode ini memanfaatkan langsung perbanyakan DNA dari satu mikroorganisme saja. Jumlah DNA target yang diperlukan sangat kecil Metode ini mudah untuk dilakukan karena tidak memasukkan ke dalam sel (in vivo). 3. Kekurangan metode polymerase chain reaction: Untuk mensintesis DNA primer, kita harus mengetahui segmen DNA yang memiliki kode spesifik yang diteliti Pengaplikasian hanya untuk fragmen DNA yang pendek, umumnya kurang dari 5kb. 50 DAFTAR PUSTAKA 1. Carranza et al. Glickman’s Clinical Periodontology. 10th ed. Philadelphia : WB. Saunders co. 2008.p. 495-9 2. Gafan et al. Prevalence of Periodontal Pathogens in Dental Plaque of Children. J Clin Microbiol 42. 2004. P. 4141-6. 3. Hapsari, D. Prevalensi Actinobacillus Actynomicetemcomitans pada Pasien Periodontitis Kronis dan Orang Dewasa yang memilki Periodontal Sehat di Cina. [Internet]. Available from : URL: http ://www.dhinierha.blogspot.com/2009/07/prevalensi-actinobacillus.html. 2009. Diakses 2 Oktober 2010. 4. Ireland, R. Clinical textbook of dental hygiene and therapy. Singapura : Blackwell Munksgaard. 2006.p. 57-8 5. Laskaris, Scully. Periodontal manifestasions of local and systemic disease. Berlin, Heidelberg : Springer; 2003. P.27-31 6. Nield, Wilmann. Foundation of Periodontics for Dental Hygienist 2nd ed. USA : Lippincott Williams & Walkins;2008. P. 184-5 7. Parija, Chandra. Textbook of Microbiology and Immunology. India : Elsevier. 2009.p.135-7 8. Reddy, S. Essential of clinical periodontology and periodontics. 2nd ed. USA : Jaypee Brothers Medical Publisher Ltd.2008.p. 24-7 9. Ryan, Ray. Sherris Medical Microbiology : An Introduction to Infectious disease. 5th ed. Champoux, Drew, Neidhardt, Plorde : Mc Graw-Hill Companies.2010.p. 145-6 51 10. Spicer, J. Clinical Bacteriology, Micology and Parasitology. An Illustrated Colour Text. London : Churchill Livingstone. 2000.p. 56-8 11. Winn dkk. Koneman`s Color Atlast and Textbook of Diagnostic Microbiology 6thed. USA: Lippincott Williams and Wilkins;2006.p 87-8 12. Wolf, Hassel. Clinical Atlast of Dental Hygiene. Jerman : Thieme;2006.p. 56-7 13. Vivien Thiemy Sakai,Maria Aparecida De Andrade Moreira Machad. Transkripsi Dan Reverse Polymerase Chain Reaction: Prinsip Dan Aplikasi Di Gigi; 2006.p. 23-5 14. Shabarni Gaffar, M.Si. . Penggunaan Pcr (Polimerase Chain Reaction) Untuk Deteksi Retrovirus Htlv (Human T-Cell Lymphotropic Virus).Jurusan Kimia Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam. Bandung: Universitas Padjadjaran;2007.p. 26-8 15. Nao Suzuki, Nao Suzuki, Akihiro Yoshida. Quantitative Analysis of Multi-Species Oral Biofilms by TaqMan Real-Time PCR Analisis Kuantitatif Multi-Spesies Biofilm oral oleh TaqMan Real-Time PCR. Clin Med Res Agustus 2005; 3 (3): p.176-85 16. Rieuwpassa I, Hatta M. Deteksi Mutasi Gen Gyrase A Porphyromonas Gingivalis Resisten Terhadap Ciprofloxacin Berdasarkan Teknik Polymerase Chain Reaction. Journal Kedokteran Yarsi 17 (1) 2009:p.11-20 17. H. Torkko, S. Asikainen. Occurrence Of Porphyromonas Gingivalis With Prevotella Intermedia In Periodontal Samples. Fems Immunology And Medical Microbiology vol 6[2] 3: 1993 ;p.195-8 52 23. 18. Riggio Mp, Lennon A, Roy Km. Detection Of Prevotella Intermedia In Subgingival Plaque Of Adult Periodontitis Patients By Polymerase Chain Reaction. J Periodontal Res. Aug;33(6):1998;p.369-76. 19. Marilou Ciantar, Hubert N. Newman, Michael Wilson, And David A. Spratt. Molecular Identification Of Capnocytophaga Spp. Via 16s Rrna Pcr-Restriction Fragment Length Polymorphism Analysis. J Clin Microbiol. 2005 April; 43(4):p. 1894–901 20. Veruska De João Malheiros; Mario Julio Avila-Campos. Detection Of Pathogens From Periodontal Lesions. Rev. Saúde Pública Vol.38 [5].2004; p. 436-7 21. Casey Chen, Atsushi Ashimoto. Clonal Diversity Of Oral Eikenella Corrodens Within Individual Subjects By Arbitrarily Primed Pcr. Journal Of Clinical Microbiology;1996: P. 1837-9 22. Ihara H et al. Detection of Campylobacter Rectus In Periodontitis Sites By Monoclonal Antibodies. J Periodontal Res.38[1]: 2003:p.64-72. 53