i I. PENDAHULUAN Suatu perkawinan dimana terdapat seorang suami yang memiliki lebih dari seorang isteri (dalam Hukum Islam maksimal 4 orang) dalam waktu yang besamaan disebut poligami. Perkawinan poligami dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 4 Ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan: “Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 Ayat (2) Undang-undang ini, maka ia akan wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.” Dalam perkawinan poligami, tentunya mempunyai akibat hukum tersendiri, yaitu terhadap harta yang diperoleh selama perkawinan terjadi. Dalam hal putusnya perkawinan karena meninggal dunia bagi suami yang berpoligami akibat hukumnya pembagian harta warisan yang terdapat dalam harta bersama bagi laki-laki yang berpoligami tersebut.1 Apabila putusnya perkawinan disebabkan karena salah satu dari suami atau isteri meninggal dunia, maka yang menjadi masalah dalam perkawinan poligami adalah tentang pembagian harta bersama yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Hal ini disebabkan masing-masing pihak merasa berhak atas harta bersama tersebut tidak berbeda dengan putusnya perkawinan karena perceraian harta bersama juga turut andil menjadi timbulnya sengketa dalam putusnya perkawinan karena kematian, kematian adalah faktor kewarisan 1 hlm. 107. Satria Effendi, Problematika Hukum: Kekeluargaan Kontenporer, Kencana, Jakarta, 2010, ii dalam Islam. 2 Masalah harta bersama dalam perkawinan poligami merupakan masalah yang cukup pelik dan rumit dan dapat berakibat pada kerugian bagi setiap istri, apabila tidak dilakukan pembukuan yang rapi dan akuntabel. Pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami senantiasa merupakan suatu hal yang krusial, karena isteri atau isteri-isteri dan ahli waris lain yang hidup terlama akan mempersoalkan mengenai pembagian harta bersama yang ditinggalkan oleh si peninggal (pewaris), seperti yang terjadi dalam kasus yang akan penulis teliti sebagaimana terdapat dalam Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram Nomor: 0095/PDT.G/2015/PTA. MTR. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram Nomor: 0095/PDT.G/ 2015/PTA. MTR., merupakan putusan tingkat banding atas Putusan Perkara Nomor: 0475/Pdt.G/2004/PA.Mtr., yang telah dikuatkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dan telah berkekuatan hukum tetap (inkrah). Sehingga rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimanakah pengaturan pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami menurut Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam serta apa dasar dan pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor: 0475/Pdt.G/ 2014/PA.Mtr., Jo Putusan PerkaRa Nomor: 0095/Pdt.G/2015/PTA.MTR., tentang pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaturan pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami menurut 2 Yawirman, Hukum Keluarga, Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat Dalam Masyarakat Matrilineal Minang Kabau, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 219. iii Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam dan untuk menganalisis dan mengetahui dasar dan pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor: 0475/Pdt.G/2014/PA. Mtr., Jo Putusan Nomor: 0095/Pdt.G/2015/PTA. MTR., tentang pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami. Selanjutnya manfaat dari penelitian ini adalah penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan Ilmu Hukum pada umumnya dan Hukum Keluarga pada khususnya mengenai pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami serta dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman bagi masyarakat yang melakukan perkawinan poligami, dan memberi kankontribusi atau masukan bagi pemerintah serta legislatif dalam menyusun atau merubah peraturan perrundang-undangan yang mengatur keudukan dan pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami. Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif. Metode Pendekatan yang dipakai yaitu pendekatan undangundang (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Sumber dan jenis bahan hukum yaitu terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Bahan hukum dikumpulkan dengan teknik studi dokumen. Kemudian bahan hukum dianalisis dengan analisis kualitatif. iv II. PEMBAHASAN 1. Pengaturan Pembagian Harta Bersama Dalam Perkawinan Poligami Menurut Undang-Undang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam Mengenai harta bersama menurut Undang-Undang Nomor 1 tentang perkawinan di atur dalam Pasal 35 Ayat (1), 36 Ayat (1) dan Pasal 37. Seperti diketahui di atas bahwa Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Harta bawaan dari masingmasing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain, sedangkan Pasal 36 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Khusus ketentuan harta bersama dalam perkawinan poligami diatur dalam Peraturan Peralihan, Pasal 65 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Berdasarkan pada Pasal 65 ayat (1) Huruf b UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka dapat dikatakan bahwa pembagian harta bersama akibat kematian dalam perkawinan poligami menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang v Perkawinan adalah kedudukan istri kedua, ketiga dan seterusnya dalam perkawinan poligami akibat kematian tidak mempunyai hak atas harta bersama dari perkawinan suami dengan istri yang pertama, istri ketiga dan keempat tidak mempunyai hak atas harta bersama dari perkawinan suami dengan istri pertama dan kedua, sedangkan istri ketiga tidak mempunyai hak atas harta bersama dari perkawinan suami dengan istri pertama dan kedua. Kemudian Pengaturan Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam atur dalam Pasal 85, 86 Ayat (1), dan Pasal 87 Ayat (1), (2), akan tetapi dalam Pasal 94 KHI memberikan pengaturan yang berbeda dengan ketentuan tersebut di atas, pasal ini menyatakan: (1) Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri. (2) Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang sebagaimana tersebut pada ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga dan seterusnya. Selanjutnya pengaturan harta bersama dalam perkawinan poligami secara mendetail diatur dalam Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama,3 menurut buku ini pengaturan harta bersama sebagaimana yang dimuat pada Pasal 94 Kompilasi Hukum Islam, akan menimbulkan ketidakadilan, karena dalam keadaan atau kasus tertentu dapat merugikan isteri yang dinikahi lebih dahulu. 3 Keputusan Mahkamah Agung RI Nomor 032/SK/IV/2006 tanggal 04 April 2006 Tentang Pedoman Pelaksaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama, Buku II Edisi Revisi tahun 2010 halaman.140. vi Dari ketentuan teknis dalam Keputusan Mahkamah Agung RI Nomor 032/SK/IV/2006 tanggal 04 April 2006 Tentang Pedoman Pelaksaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama di atas pada prinsipnya sudah mengatur secara kongkret ketentuan dalam Pasal 65 Ayat (1) huruf b dan c Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Pasal 94 Kompilasi Hukum Islam dimana isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi. Artinya dalam hal harta bersama yang diperoleh sejak perkawinan antara suami dan isteri pertama merupakan hak secara mutlak yang dimiliki dari pasangan suami isteri tersebut. Sedangkan isteri kedua, ketiga, dan keempat tidak mempunyai hak dari harta bersama tersebut. Dan pada pedoman teknis tersebut sudah mengatur secara tegas seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri yang terdapat dalam Pasal 94 Kompilasi Hukum Islam dengan pengaturan secara rinci harta bersama tersebut karena dalam pasal tersebut pada keadaan tertentu dapat merugikan isteri yang pertama sehigga dirasa menimbulkan ketidakadilan, maka dalam pedoman pelaksaan tugas dan administrasi peradilan agama mengatur secara konkret kedudukan dan pembagian harta bersama tersebut. Dapat dikatakan bahwa KHI memberikan pengaturan yang kurang lebih serupa dengan pengaturan yang terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan mengenai harta benda dalam perkawinan. vii Berdasarkan pasal 86 Ayat (1) dan (2) KHI ini dapat pula ditafsirkan adanya pengaturan yang memisahkan hak kepemilikan pada harta benda dalam perkawinan sebagaimana yang ditetapkan oleh kaidah-kaidah Hukum Islam. Penafsiran pertama: terdapat ketentuan yang mengatur adanya harta bersama (Pasal 85 KHI). Dengan demikian adanya harta bersama ini menimbulkan konsekuensi terjadinya percampuran harta kekayaan suami dan istri selama perkawinan berlangsung menjadi hak kepemilikan kolektif si suami dan si istri baik dalam hal penghasilan masing-masing menjadi harta bersama.4 Penafsiran kedua: terdapat ketentuan yang mengatur bahwa tidak ada penggabungan harta dalam perkawinan, melainkan tetap terjadi pemisahan harta benda. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan pasal 86 Ayat (1) KHI: “Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan”. Dan pernyataan pasal 86 Ayat (2) KHI: “Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya”. Ayat (1) Pasal 86 KHI secara tegas memberikan dasar hukum untuk meniadakan harta bersama sehingga secara otomatis meniadakan pula hak kepemilikan secara kolektif suami dan istri dan Ayat (2) Pasal 86 juga secara tegas menguatkan di Ayat 1 dengan memberikan dasar hukum bagi suami dan istri untuk tetap mempunyai hak kepemilikan secara pribadi secara penuh. Dengan sendirinya 4 Harahap, M. Yahya, Kedudukan, Kewenangan Di Acara Peradilan Agama, Cet-Ke 3, Pustaka Kartini, Jakarta, 2013. viii berdasarkan Pasal 86 ini, ketentuan Hukum Islam yang tidak mengatur adanya harta bersama dan pada dasarnya memisahkan hak kepemilikan secara pribadi antar suami dan istri, berlaku sepenuhnya. Pasal 87 KHI: 1) Ayat 1: harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. 2) Ayat (2): suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sadaqah atau lainnya.5 Jenis-jenis harta bersama (Pasal 91 KHI) sebagai berikut: 1) Harta bersama sebagaimana tersebut dalam Pasal 85 diatas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud; 2) Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga; 3) Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban; dan 4) Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atau persetujuan pihak lainnya.6 5 6 Lubis Haris, Hukum Perkawinan Nasional, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2010. hlm.50. Ibid. hlm.58 ix 2. Dasar dan Pertimbangan Hukum Dalam Putusan Nomor: 0475/Pdt.G/ 2014/PA.Mtr., Jo Putusan Perkara Nomor: 0095/Pdt.G/2015/PTA.MTR., Tentang Pembagian Harta Bersama Dalam Perkawinan Poligami Dasar dan Pertimbangan Hakim Menetapkan Harta Bersama Dalam Poligami Dalam Perkara Nomor 0475/Pdt.G/2014/PA.Mtr., Jo Putusan Perkara Nomor: 0095/Pdt.G/2015/PTA.MTR., adalah sebagai berikut : a. Adanya alasan yang dibenarkan oleh undang-undang. Bahwa Istri (Pemohon) mengajukan permohonan harta bersama dengan alasan isteri (Termohon) saat ini, terhadap obyek waris tersebut tidak pernah dilakukan pembagian waris, akan tetapi obyek waris tersebut dikuasai dan dikelola secara sepihak oleh Para Tergugat tanpa memperdulikan hak-hak Para Penggugat, bahkan pada tahun 2013 tanpa sepengetahuan dan persetujuan Para Penggugat tanah obyek sengketa 4.5 oleh Para Tergugat telah dijual kepada Turut Tergugat. Untuk itu mohon kepada Ketua Pengadilan Agama Mataram berkenan menetapkan bagian waris masing-masing ahli waris tersebut diatas menurut hukum,serta menghukum/memerintahkan Para Tergugat dan Turut Tergugat untuk menyerahkan tanah obyek sengketa kepada Para Penggugat sesuai dengan bagiannya masing-masing. b. Pasal 4 Ayat (2) huruf a, Pasal 5 Ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan jo Pasal 58 huruf a Kompilasi Hukum Islam. c. Bahwa para Penggugat khawatir para Tergugat dan Turut Tergugat akan menjual, atau memindahtangankan obyek waris kepada pihak ketiga, maka untuk itu mohon diletakkan Sita x Jaminan(Conservatoir Beslag). d. Bahwa gugatan ini didasarkan pada buktibukti yang kuat, sehingga putusannya dapat dijalankan serta-merta meskipun Para Tergugat dan Turut Tergugat melakukan upaya hukum dalam bentuk apapun. e. Adanya permohonan penetapan harta bersama. Hal ini telah sesuai dengan ketentuan yang dimaksud dalam buku II dan majelis hakim telah menetapkan harta bersama antara pemohon dan termohon sebagai berikut: Putusan Majelis hakim dalam perkara tersebut menetapkan harta bersama berada pada Pemohon dan Termohon. Hal ini menurut penyusun telah sesuai dengan ketentuan Pasal 94 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam yaitu harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri dan Majelis hakim telah pula menerapkan tujuan hukum tersebut diatas dengan prioritas mengedepankan kepastian hukum, kemudian keadilan dan kemanfaatan. Setelah menerima putusan Pengadilan Agama Mataram tersebut para Tergugat tidak puas, kemudian mereka mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Agama Mataram melalui surat tanggal 26 Agustus 2015 Masehi. Pengadilan Tinggi Agama Mataram melalui putusannya Nomor 22/Pdt.G/ 2015/PTA.Mtr tanggal 2 September 2015 Masehi memutuskan menerima permohonan banding Para Pembanding. Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan, maka putusan Pengadilan Agama Mataram Nomor 0475/Pdt.G/2014/PA.Mtr., tanggal 20 Agustus 2015 Masehi, bertepatan dengan tanggal 05 Dzulqoidah 1436 Hijriah xi mengenai gugatan rekovensi tersebut patut dikuatkan dengan perbaikan amarnya sebagaimana disebutkan di bawah ini. Menimbang, bahwa Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Agama Mataram berpendapat, bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama (vide : Pasal 35 Ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, sedangkan harta-harta sebagaimana tersebut pada angka 1, 2,3,4 dan 5 di atas diperoleh H. Sarafudin ketika masih terikat perkawinan yang sah dengan 2 orang isterinya yaitu Hj. Nurjanah dan Sapiah alias Hj. Nurhasanah sampai yang bersangkutan (H. Sarafudin) meninggal dunia pada tahun 2012. Menimbang, bahwa obyek sengketa tersebut di atas diperoleh/dibeli sesudah H. Sarafudin menikah dengan Sapiah alias Hj. Nurhasanah dan H. Sarafudin masih terikat perkawinan yang sah dengan isteri pertama (Hj. Nurjanah), namun objek sengketa tersebut di atas oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Mataram dengan berpedoman pada Pasal 94 Kompilasi Hukum Islam hanya menisbatkan sebagai harta bersama H. Sarafudin dan Hj. Nurjanah, hal demikian merugikan isteri yang dinikahi lebih dulu/isteri pertama, oleh karena itu ketentuan pasal 94 Kompelasi Hukum Islam tersebut menurut Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Agama Mataram harus ditafsirkan sebagaimana ketentuan Buku II (Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama) halaman 146 yang diambil alih sebagai pendapat Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Agama Mataram yang xii menyebutkan bahwa harta yang diperoleh suami selama dalam ikatan perkawinan dengan isteri pertama, merupakan harta bersama milik suami dan isteri pertama, sedangkan harta yang diperoleh suami selama dalam ikatan perkawinan dengan isteri kedua dan selama itu pula suami masih terikat perkawinan dengan isteri pertama, maka harta tersebut merupakan harta bersama milik suami, isteri pertama dan isteri ketiga (H. Sarafudin, Hj. Nurjanah dan Sapiah alias Hj. Nurhasanah). Menimbang, bahwa oleh karena isteri pertama H. Sarafudin (Hj. Nurjanah) hanya sebagai ibu rumah tangga, sedang isteri ketiga bersama suami sebagai pedagang beras dan biji-bijian yang sukses dan dari hasil/ keuntungan berdagang tersebut mampu membeli objek sengketa (harta bersama) maka dipandang adil patut bagi Hj.Nurjanah mempunyai hak/bagian dari obyek sengketa tersebut di atas, meskipun bagian yang menjadi hak Hj. Nurjanah tidak sebesar yang diterima oleh H. Sarafudin (suami) maupun yang diterima isteri ketiga (Sapiah alias Hj. Nurhasanah), oleh karena itu dipandang adil dan patut sesuai dengan peran/andil masing-masing dalam memperoleh objek sengketa/harta bersama tersebut, yaitu Hj. Nurhasanah (isteri ketiga) memperoleh bagian sebesar 2/5 bagian atau 40 % dari harta bersama, H. Sarafudin (suami) memperoleh bagian sebesar 2/5 bagian atau 40 % dari harta bersama dan Hj. Nurjanah (isteri pertama) memperoleh bagian sebesar 1/5 bagian atau 20 % dari harta bersama. xiii III. PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan secara sistematis, maka dapat diambil kesimpulan bahwa kedudukan harta bersama dalam perkawinan poligami menurut Undang-Undang Perkawinan yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain, dan menyatakan bahwa mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Sedangkan kedudukan harta bersama dalam perkawinan poligami menurut Kompilasi Hukum Islam yaitu harta bersama dalam perkawinan poligami tetap ada, tetapi dipisahkan antara milik istri pertama, kedua, dan seterusnya. Sehingga ditentukan Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang, dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga, atau yang keempat. Sehingga dalam pembagiannya dipenuhi rasa keadilan. Mengenai Yang menjadi pertimbangan Hakim dalam memutus perkara Nomor Kasus xiv Posisi Putusan Nomor 0475/Pdt.G/2014/PA.Mtr., Jo Putusan Nomor 0095/Pdt.G/2015/PTA.Mtr., adalah Pasal 35 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan dan Pasal 96 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam Indonesia yang telah menjadi hukum terapan yang berlaku bagi peradilan agama di Indonesia. Pasal 35 ayat (1) Undang-undang Perkawinan menentukan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Sedangkan Pasal 96 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam menentukan apabila cerai mati maka separuh harta adalah hak pasangan hidup yang lebih lama. 2. Saran Saran dalam penelitian ini adalah agar menghindari terjadinya sengketa harta dalam perkawinan, khususnya pada perkawinan poligami disarankan akta nikah pasangan suami istri disertai dengan ketentuan harta bersama dalam perjanjian perkawinan. Dan juga hendaknya dalam memutus perkara tentang pembagian warisan, khususnya dalam perkawinan poligami sebaiknya sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum terapan yang dipakai dalam Peradilan Agama, yakni dengan membagi terlebih dulu harta bersama dalam perkawinan dan membagi harta warisan sesuai dengan porsi yang telah ditetapkan. Disarankan kepada Majelis Hakim dalam memutuskan perkara, disamping menjadikan Kompilasi Hukum Islam Indonesia sebagai dasar pertimbangan juga harus menjadikan hukum yang xv hidup ditengah-tengah masyarakat sebagai dasar pertimbangan putusan hakim.