Uploaded by nettigustina04

lseminar literatur antidiabetes fix

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diabetes mellitus adalah suatu sindroma klinik yang ditandai oleh poliuria,
polidipsia dan polifagia, disertai peningkatan kadar glukosa darah atau
hiperglikimia (Glukosa puasa ≥126 mg/dL atau glukosa sewaktu ≥200 mg/dL)
(Farmasi, 2015). Diabetes mellitus disebabkan karena kekurangan hormon insulin
yang berfungsi memanfaatkan glukosa sebagai sumber energi dan mensintesa
lemak. Akibatnya glukosa bertumpuk didalam darah (hiperglikemia) dan akhirnya
dieksresikan lewat kemih (glikosuria) tanpa digunakan. Karena itu, produksi
kemih sangat meningkat dan mengakibatkan penderita sering mengeluarkan air
seni, merasa amat haus, berat badan menurun dan berasa lelah (Pasaribu, 2012).
Pada tahun 2013 jumlah pasien penderita penyakit diabetes di dunia
mencapai 382 juta jiwa, jumlah ini akan terus meningkat hingga mencapai 592
juta jiwa dalam dua dekade yang akan datang. Sekitar 90% dari keseluruhan
jumlah pasien menderita diabetes mellitus tipe-2 yang menjadi tipe utama pada
penyakit diabetes mellitus (DM). Diabetes mellitus tipe-2 disebabkan oleh
gangguan sekresi insulin yang mengakibatkan menurunnya aktivitas insulin.
Selain itu, kelebihan berat badan (obesitas), dan kurang melakukan aktivitas fisik
(Aktivitas fisik pasif) dapat menjadi penyebab utama DM tipe-2 (Guariguata, et
al., 2014).
Obat-obatan antidiabetes oral yang tersedia secara klinis menggunakan
efek terapinya dengan berbagai mekanisme termasuk peningkatan sekresi insulin,
dan penyerapan glukosa dan metabolisme. α-Glucosidase adalah enzim kunci
yang mengubah disakarida menjadi monosakarida yang mudah diserap dalam
saluran pencernaan. Oleh karena itu, penggunaan inhibitor (penghambat) αglukosidase merupakan strategi terapi yang menonjol untuk mengontrol
hiperglikemia postprandial pada DM tipe-2. Inhibitor α-glukosidase yang tersedia
1
secara klinis termasuk akarbose, voglibose dan miglitol saat ini diberikan secara
oral sebagai monoterapi atau dikombinasi dengan obat antidiabetik oral lainnya.
Namun, obat ini harganya mahal dan menyebabkan efek samping gastrointestinal.
Selain itu, penggunaan jangka panjang inhibitor α-glukosidase yang tersedia
secara komersial dapat menimbulkan bahaya jantung (Fisman, et al., 2008). Obatobatan antidiabetik oral yang tersedia secara klinis menggunakan efek terapinya
dengan berbagai mekanisme termasuk peningkatan sekresi insulin, penyerapan
dan metabolisme glukosa.
α-Glukosidase adalah enzim kunci yang mengubah disakarida menjadi
monosakarida yang mudah diserap dalam saluran pencernaan. Polisakarida
kompleks akan dihidrolisis oleh enzim amilase menjadi dekstrin dan dihidrolisis
lebih lanjut menjadi glukosa oleh enzim α-glukosidase sebelum memasuki
sirkulasi darah melalui penyerapan epitelium (Febrinda, 2013). Oleh karena itu
penghambatan α-glukosidase merupakan strategi terapi yang efektif untuk
mengontrol hiperglikemia postprandial pada DM tipe-2 (Fisman, et al., 2008).
Sejumlah ekstrak tumbuhan dan senyawa yang berhasil diisolasi, telah
banyak dilaporkan dapat digunakan sebagai aantidiabetes dengan mekanisme
sebagai penghambat aktivitas α-glukosidase (Kumar, et al., 2011). Rhinacanthus
nasutus (L.) Kurz adalah tanaman obat asli Thailand dan Asia Tenggara yang
terkenal untuk pengobatan berbagai penyakit termasuk DM (Brimson, et al.,
2014). Di Cina dan Taiwan, sering dijadikan sebagai teh herbal (Huang, et al.,
2015). Tanaman R. Nasutus memiliki kandungan senyawa aktif utama yaitu
Rhinacanthin-C (RC) yang dapat memberikan efek proteksi hipoglikemik,
hipolipidemik bagi penderita diabetes (Adam, et al., 2016). Untuk mengisolasi RC
membutuhkan waktu yang lama, energi yang besar, tahapan yang banyak
membutuhkan pelarut organik yang beracun. Sehingga akan meningkatkan biaya
produksi.
Pendekatan alternatif yang mungkin menimbulkan efek yang sama dengan
senyawa RC adalah dengan memanfaatkan ekstrak rich-rhinacanthins (RRE),
suatu ekstrak daun R. nasutus yang memiliki isi total rhinacanthins ± 70% b/b,
2
dengan
60–70%
b/b
terdiri
dari
RC
sebagai
komponen
utama
(Panichayupakaranant, et al., 2009).
1.2. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah untuk memahami dan mempelajari penelitian
yang dilakukan oleh M. A. Shah, R. Khalil, Z. Ul-Haq, P. Panichayupakaranant
(2017) tentang “Efek Penghambatan α-glukosidase Ekstrak Rhinacanthins-Rich
(RRE) Dari Daun Rhinacanthus nasutus dan Efek Sinergis Dalam Kombinasi
Dengan Akarbosa”. Adapun Tujuan Penelitian adalah menyelidiki aktivitas
penghambatan α-glukosidase secara in vitro serta dalam kombinasi dengan
akarbosa, sebagai obat antidiabetes. Studi in silico juga dilakukan untuk
menentukan mekanisme pengikatan RC dengan enzim target dan untuk
menjelaskan hubungan aktivitas struktur RC.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanaman Rhinacanthus nasutus
Tanaman ini adalah tanaman semak dengan batang ramping dan kecil,
memiliki tinggi 60-76 cm. Panjang daunnya mencapai 4-10 cm, dan menyempit
dan menunjuk pada kedua ujungnya. Perbungaan adalah serabut, daun, berbulu
dengan bunga biasanya dalam kelompok. Kelopak hijau, berbulu, dan panjang
sekitar 5 mm. Buahnya berbentuk kapsul dan terdapat 4 biji seperti yang terlihat
pada gambar 1. Untuk pertumbuhan yang optimal tanaman ini memerlukan curah
hujan 1000-1200 mm dengan suhu 20-28 0C. Tanaman R.nasutus kini telah
banyak dibudidayakan sebagai tanaman obat. Tanaman ini telah banyak
digunakan dalam perawatan dan pencegahan beragam penyakit. R.nasutus telah
digunakan dalam obat tradisional untuk pengobatan penyakit seperti eksim,
tuberkulosis paru, herpes, hepatitis, diabetes, hipertensi. Dalam beberapa
percobaan, ia memiliki efek potensial untuk pengobatan beberapa penyakit seperti
untuk mengobati kanker, gangguan hati, penyakit kulit, ulkus peptikum,
helminthiasis, kudis, peradangan dan obesitas. Nama lain dari Rhinacanthus
nasutus diberbagai negara adalah Snake Jasmine, Rangchita Dainty, Spurs,
Palakjuhi, Juhipani, Gajkarni, Uragamalli, Nagamalli, Nagamulla, Puzhukkolli,
Nagamalle, Nagamallige, Doddapatike, Juipana, Dadmari, Palakjuhi, dan
Yudhikaparni (Bukke, 2011).
Berdasarkan penggolongan dan tata nama tumbuhan, tanaman R.nasutus
termasuk kedalam klasifikasi sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Division
: Magnoliophyta
Class
: Magnoliopsida
Family
: Acanthaceae
Subfamily
: Acanthoideae
4
Genus
: Rhinacanthus
Species
: nasutus - (L.)
Gambar 2.1 Rhinacanthus nasutus (Linn.)
Studi fitokimia yang telah dilakukan pada spesies R.nasutus menunjukkan
bahwa tanaman ini
memiliki
kandungan flavonoid,
steroid,
terpenoid,
antrakuinon, lignan dan terutama analog naphthoquinone sebagai mayor.
Konstituen naphthoquinones yaitu, rhinacanthins A, B, C, D, G, H, I, J, K, L, M,
N, O, P, dan Q diisolasi dari daun dan akar tanaman R.nasutus (Wu, et al., 1998;
Sendl, et al., 1996). Dihasilkan rhinacanthone dari daun dan batang (Kodama, et
al., 1993 dan Kuwahara, et al., 1995) dan dapat dihasilkan dehydro α-lapachone
dari hasil isolasi akar-akarnya, senyawa Benzenoids p-hydroxy-benzaldehide,
asam vanilat, asam syringic, 2-metoksi-propionolphenol, metil valinat dan
syringaldehida diisolasi dari daun, akar dan batang (Wu, et al., 1998) . Lignan
rhinacanthin –E dan -F diisolasi dari bagian aerial (Kernan, et al., 1997).
5
6
Gambar 2.2. Struktur kimia dari senyawa-senyawa yang terdapat pada tanaman
Rhinacanthus nasutus (Linn.) (Wu, et al., 1998; Sendl, et al., 1996; Kodama, et al.,
1993; Kuwahara, et al., 1995; Kernan, et al., 1997)
2.2. Metoda Isolasi Senyawa Bahan Alam
2.2.1. Metoda ekstraksi
Ekstraksi adalah penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah
dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Simplisia yang diekstrak
mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang tidak dapat larut seperti
serat, karbohidrat, protein, dan lain-lain. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai
simplisia dapat digolongkan minyak atsiri, alkoloid, flavonoid dan lain-lain. Dengan
diketahuinya senyawa aktif yang terkandung dalam simplisia akan mempermudah
pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Depkes RI, 2000). Mengekstraksi
bahan alam menggunakan pelarut terdiri atas 2 cara, yaitu :
1.
Cara panas
Cara panas terdiri dari refluks, digesti, dekok, infus, dan sokletasi (Depkes
RI, 2000).
2.
Cara dingin
Cara dingin terdiri dari perkolasi, dan maserasi.
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut
dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar.
Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan
penyaringan maserat pertama dan seterusnya. Maserasi adalah perendaman bahan
alam yang dikeringkan (simplisia) dalam suatu pelarut. Metode ini dapat
menghasilkan esktrak dalam jumlah
7
banyak, serta terhindar dari perubahan kimia senyawa-senyawa tertentu karena
pemanasan (Pratiwi, 2009).
Proses pemisahan senyawa dalam simplisia, menggunakan pelarut tertentu
sesuai dengan sifat senyawa yang akan dipisahkan. Pemisahan
pelarut
berdasarkan kaidah ‘like dissolved like’ artinya suatu senyawa polar akan larut
dalam pelarut polar. Ekstraksi dapat dilakukan dengan bermacam-macam metode,
tergantung dari tujuan ekstraksi, jenis pelarut yang digunakan dan sennyawa yang
diinginkan. Metode ekstraksi yang paling sederhana adalah maserasi (Pratiwi,
2009).
2.2.2. Metode Isolasi
Suatu ekstrak yang telah dihasilkan dari suatu protokol estaksi yang sesuai
dan pengujian aktivitas biologi telah dilakukan dalam bioassay (contohnya
aktivitas antibakteri), langkah selanjutnya adalah fraksinasi ekstrak menggunakan
metode pemisahan sehingga komponen biologis aktif dapat diisolasi (Henrich, et
al, 2004).
Pemisahan dan pemurnian kandungan tumbuhan terutama dilakukan
dengan menggunakan salah satu dari keempat teknik kromatografi atau gabungan
teknik tersebut. Keempat teknik kromatografi itu adalah kromatografi kertas
(KKt), kromatografi lapis tipis (KLT), kromatografi gas cair (KGC), dan
kromatografi kinerja tinggi (KCKT) (Harborne, 1987).
2.2.2.1. Kromatografi vakum cair (KVC)
Metoda ini digunakan untuk mengisolasi diterpena sembrenoid dari
terumbu karang lunak Australia. Kromatografi vakum cair menggunakan silika gel
60 (63-200  m). Kromatografi vakum cair ini menggunakan corong Buchner kaca
atau kolom pendek sedangkan menggunakan kolom yang lebih panjang untuk
meningkatkan daya pisah (Hostettmann et al., 1995).
2.2.2.2. Kromatografi kolom gravitasi
Salah satu teknik pemisahan dengan kromatografi dalam jumlah yang
besar adalah dengan menggunakan kromatografi kolom gravitasi. Kromatografi
gravitasi dapat digunakan untuk pemisahan dan pemunian senyawa yang telah
8
difraksinasi menggunakan kromatografi vakum cair. Teknik ini dapat dilakukan
dengan kolom diameter ukuran 1-3 cm dan panjang 50 cm. Sebagai adsorben
digunakan silika gel GF 60 (200-400 mesh). Tinggi adsorben yang biasa
digunakan 15-20 cm. Eluen yang digunakan merupakan campuran pelarut polar
dan non polar dengan perbandingan yang sesuai. Kromatografi kolom merupakan
salah satu metoda kromatografi dengan fase gerak cair dan fase diam padat pada
kromatografi jenis ini, campuran yang akan dipisahkan dituangkan pada bagian
atas permukaan (lapisan tipis) kolom penyerap yang berada dalam tabung kaca
berbentuk silinder. Pemisahan dengan kromatografi kolom gravitasi biasanya akan
diperoleh hasil yang baik apabila digunakan campuran pelarut yang dapat
memisahkan komponen pada Rf kurang dari 0,3 pada uji coba dengan KLT (Atun,
2014).
2.2.2.3. Kromatografi lapis tipis (KLT)
Kromatografi lapis tipis adalah suatu teknik pemisahan komponenkomponen campuran suatu senyawa yang melibatkan partisi suatu senyawa di
antara padatan penyerap (fasa diam) yang dilapiskan pada pelat kaca atau
aluminium dengan suatu pelarut (fasa gerak) yang mengalir melewati adsorben
(padatan penyerap). Pengaliran pelarut dikenal sebagai proses pengembangan oleh
pelarut (elusi). Di dalam analisis dengan KLT, sampel dalam jumlah yang sangat
kecil ditotolkan menggunakan pipa kapiler di atas permukaan pelat tipis fasa
diam, kemudian pelat diletakkan dengan tegak dalam bejana pengembang yang
berisi sedikit pelarut pengembang. Oleh aksi kapiler, pelarut mengembang naik
sepanjang permukaan lapisan pelat dan membawa komponen-komponen yang
terapat dalam sampel (Atun, 2014).
Menghitung jarak yang ditempuh oleh noda maka harus diketahui lokasi
noda pada plat dengan tepat. Untuk noda yang berwarna dapat dilihat secara
visual, tetapi untuk noda yang tidak berwarna dapat diamati dengan cara
menggunakan sinar lampu UV, uap iodium dan pereaksi penampak noda. Noda
yang telah didapat ditandai denganmenggunakan pensil. Gunanya adalah untuk
mencari harga Rf (retardation factor = faktor penghambat).
9
Rf =
jarak yang ditempuh senyawa
(Mukholifah, 2014).
jarak yang ditempuh eluen
2.3. Karakteristik Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) / HPLC
HPLC atau High Performance Liquid Chromatography merupakan teknik
pemisahan yang diterima secara luas untuk analisis dan pemurnian senyawa
tertentu dalam suatu sampel pada sejumlah bidang, antara lain : farmasi,
lingkungan, bioteknologi, polimer, dan industri makanan. HPLC adalah jenis yang
khusus dari kromatografi kolom. Metode ini menggunakan cairan dengan tekanan
tinggi sebagai fase gerak. HPLC paling sering digunakan untuk menetapkan kadar
senyawa tertentu seperti asam amino, asam nukleat, protein dalam cairan
fisiologis, menentukan kadar senyawa aktif obat, memurnikan suatu senyawa
dalam suatu campuran (Aprina, 2012).
2.4. Uji Aktivitas Antidiabetes
Pengujian aktivitas antidiabetes dapat diuji dengan tiga cara yaitu secara in
vivo, in vitro dan in silico.
2.4.1. Pengujian In Vitro
Pengujian In vitro yang digunakan adalah dengan Metode pengujian
dengan cara In vitro α-glukosidase inhibitory assay merupakan pengujian yang
digunakan untuk melihat aktivitas penghambatan enzim α-glukosidase. Enzim αglukosidase berperan dalam mengkonversi karbohidrat menjadi glukosa, oleh
karena itu jika ada penghambatan aktivitas dari α-glukosidase akan menurunkan
gula darah. Pengujian dengan cara sampel ditambahkan dimetil sulfoksidan dan
ditambahkan p-nitrofenilα-D-glukopiranosida agar terjadi reaksi enzimatis dan
diinkubasi, reaksi dihentikan dengan Na2CO3 dan dilihat absorbansinya pada
panjang gelombang 400 nm. Aktivitas dihitung dengan rumus:
% Inhibition = (Ac –As) / Ac
Sedangkan; Ac = Absorbansi kontrol, As = Absorbansi sampel (Kim, et al., 2008).
10
2.4.2. Pengujian In Silico
Uji in silico, merupakan uji dengan menggunakan komputasi dalam
mengetahui struktur 3D molekul dan mempelajari sisi aktif yang berperan didalam
molekul. Salah satu metode yang digunakan adalah molecular docking. Uji ini
dilakukan untuk menentukan bagian yang berperan dalam aktivitas antidiabetes.
Metode molecular docking meliputi penyiapan struktur reseptor, penyiapan
senyawa bioaktif, simulasi docking, dan analisis farmakofor (Nugraha, 2016).
Penambatan Molekular atau molecular docking adalah salah satu metode
in silico (komputasi) khususnya bioinformatika untuk membantu mengidentifikasi
target obat, mengeksplorasi struktur target dan situs aktif dalam menghasilkan
kandidat obat baru. Teknik tersebut dilakukan berdasarkan afinitas pengikatannya,
dan selanjutnya mengoptimalkan molekul dengan memperbaiki karakteristik
pengikatan. Kekuatan pengikatan protein dan ligan terutama didasarkan pada
interaksi hidrofobik. Interaksi protein-ligan sebanding dengan prinsip kunci dan
gembok, di mana gembok tersebut mengkodekan protein dan kunci merupakan
ligan (Pujiastuti, 2017).
11
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Fakultas Ilmu Farmasi, Universitas Prince of
Songkla, Kampus Hat Yai, Thailand pada tahun 2017.
3.2. Alat dan Bahan
3.2.1. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Oven untuk mengeringkan
daun, ayakan No. 45 untuk menyaring serbuk, kolom Amberlite untuk fraksinasi,
instrument HPLC menggunakan Agilent 1100, Autosampler merk Palo Alto, CA,
kolom TSK-gel ODS-80Ts merk Tosoh Bioscience, Toyo Jepang), kolom
Amberlite® digunakan untuk fraksinasi, mikroplate rider-96 untuk menentukan
aktivitas penghambatan, perangkat lunak MOE 2015.1001 untuk pengujian secara
In silico, dan alat-alat gelas lain yang digunakan untuk analisa.
3.2.2. Bahan
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun segar R. Nasutus.
Bahan yang digunakan adalah pelarut etanol untuk ekstraksi, pelarut heksana dan
etil asetat untuk isolasi, metanol untuk analisis menggunakan HPLC, αGlukosidase dari Saccharomyces cerevisiae (EC 3.2.1.20), p-nitrophenyl-α-Dglucopyranoside (pNPG) dan akarbosa diperoleh dari Sigma-Aldrich Chemical
Co. (St. Louis, MO, USA), buffer potasium fosfat (pH 6,8), dimethylsulfoxida
(DMSO), natrium karbonat, buffer kalium fosfat (pH 6,8). Semua bahan kimia
lain yang digunakan adalah kelas analitis.
3.3. Prosedur Kerja
3.3.1. Pengumpulan dan Preparasi Sampel
Daun segar R. nasutus dikumpulkan dan disimpan di herbarium Fakultas
Ilmu Farmasi, Universitas Prince of Songkla, Kampus Hat Yai, Thailand, dengan
12
kode (No. 0011814). Daun dicuci dengan air kran dan dikeringkan pada suhu 60 °
C selama 24 jam dalam oven udara panas dan direduksi menjadi serbuk
menggunakan penggiling, dan serbuk diayak dengan ayakan No. 45.
3.3.2. Ekstraksi dan Isolasi
Serbuk kering RRE disiapkan diekstrak menggunakan etanol dengan
kondisi refluks selama 1 jam. Ekstrak kemudian disaring dan dipekatkan di
bawah tekanan. Metode ini menggunakan ekstraksi dibantu dengan gelombang
mikro diikuti dengan langkah fraksinasi sederhana dengan kolom. Selain itu,
hanya pelarut hijau, etanol dan air, yang digunakan dalam proses ekstraksi dan
fraksinasi (Panichayupakaranant et al.,2009). Rhinacanthin-C (RC), RhinacanthinD (RD) dan Rhinacanthin-N (RN) diisolasi dari RRE menggunakan kolom silika
gel yang dielusi oleh heksana dan etil acetat (99: 1, v/v). Struktur dari ketiga
senyawa (Gambar 1) dikarakterisasi dengan 1H dan
diperoleh dibandingkan dengan data 1H dan
13
13
C NMR , hasil yang
C NMR dari literatur sebelumnya
(Sendl et al., 1996; Wu et al., 1998).
Gambar 3.1. Struktur kimia Dari Rhinacanthin-C (1), Rhinacanthin-D (2) dan
Rhinacanthin-N (3).
13
3.3.3. Analisis HPLC dari RRE
Analisis HPLC dilakukan menggunakan Agilent dilengkapi dengan
detektor photodiode-array (PDA) dan autosampler. Pada analisis HPLC
pemisahan dicapai secara isokratis pada kolom dengan ukuran 150 mm x 4,6 mm
pada suhu 25 °C. Fase gerak terdiri dari metanol dan 5% asam asetat encer (80:20,
v/v) dan dipompa dengan laju alir 1 mL/menit. Volume injeksi adalah 20 μL.
Panjang gelombang kuantifikasi ditetapkan pada 254 nm (Panichayupakaranant et
al., 2009).
3.3.4. Uji Penghambatan α-Glukosidase
Aktivitas
penghambatan
α-glukosidase
ditentukan
menggunakan
mikroplate rider-96. Secara singkat, ragi α-glukosidase (0,1 Unit/ml) dilarutkan
dalam 0,1 M buffer potasium fosfat (pH 6,8), ini digunakan sebagai larutan enzim.
Sebagai
substrat,
0,375
mM
p-nitrophenyl-a-D-glucopyranoside
(pNPG)
disiapkan dalam buffer yang sama (pH 6,8). Sampel: ekstrak, fraksi pelarut dan
senyawa terisolasi secara individual dilarutkan dalam dimethylsulfoxide (DMSO).
Setiap sampel (20 μl) dan larutan enzim (20 μl) dicampur di piring mikrotiter.
Reaksi dimulai dengan menambahkan 40 μl substrat. Campuran reaksi diinkubasi
pada 37 0C selama 40 menit. Setelah inkubasi, 80 μl (0,2 M) natrium karbonat
dalam 0,1 M buffer kalium fosfat (pH 6,8) ditambahkan ke setiap sumur untuk
memuaskan reaksi. Jumlah p-nitrophenol (pNP) dirilis secara kuantifikasi
menggunakan MR Opsys pembacaan mikroplate rider-96 pada 405 nm. Sebagai
kontrol pada pengujian menggunakan campuran reaksi yang sama, tetapi larutan
sampel diganti dengan volume yang sama dengan buffer fosfat. Akarbosa
dilarutkan dalam DMSO, digunakan sebagai kontrol positif. Penentuan dilakukan
dalam rangkap tiga. Persentase penghambatan (%) dihitung dengan menggunakan
Persamaan berikut :
% Inhibition = (Ac –As) / Ac
Sedangkan; Ac = Absorbansi kontrol, As = Absorbansi sampel.
14
3.3.5. Penentuan mekanisme inhibisi α -glukosidase
Analisis kinetik enzim dilakukan berdasarkan pada penghambatan
inhibitor α-glukosidase yang dijelaskan di atas. Konsentrasi α-glukosidase yang
digunakan yaitu 0,1 unit/mL dan dilakukan variasi konsentrasi pNPG 0,16 sampai
2,65 mM dalam tanpa ditambahkan dan ditambahkan RRE dan RC (12,5, 25 dan
50 μg/mL). Penghambatan ditentukan oleh persamaan Lineweaver-Burk yang
diperoleh dari grafik kecepatan reaksi (sumbu vertikal) dan konsentrasi substrat
(sumbu horizontal) (Gu et al., 2009).
3.3.6. Penghambatan α-glukosidase RRE dan RC dalam kombinasi dengan
akarbosa
Berdasarkan nilai IC50 dari serangkaian data tiga konsentrasi (1/4IC50,
1/2IC50
dan IC50) pada RRE dan RC serta campurannya dengan akarbosa disiapkan
untuk menyelidiki efek penghambatan sampel dengan obat akarbosa sebagai
kontrol pada α-glukosidase (Gao, et al., 2013). Reaksi dilakukan sesuai dengan uji
penghambatan α-glukosidase di atas.
3.3.7. Pengujian secara In silico
Pemodelan
molekuler
dilakukan
untuk
menyelidiki
mekanisme
penghambatan α-glukosidase dengan RC. Urutan FASTA untuk S. cerevisiae αglukosidase diambil dari Uniprot (kode aksesi P53051.1). Model ini
dikembangkan menggunakan SWISS MODEL. Perangkat lunak MOE 2015.1001
digunakan untuk menghasilkan plot energi Ramachandran dan Rotamer (threshold = 1 kkal/mol). Model yang dikembangkan menjadi sasaran minimisasi energi
dengan menggunakan medan gaya AMBER10 di MOE.
Model pembangun di MOE-2015.1001 digunakan untuk menghasilkan
struktur kimia RC. Studi docking molekuler dilakukan dengan menggunakan
protokol yang sudah dikembangkan sebelumnya (Barakat et al., 2016). Simulasi
10 ns Molecular Dynamik (MD) dilakukan dengan AMBER14 (Case et al., 2014)
untuk menganalisis stabilitas kompleks protein-ligan dan interaksi yang diamati
selama docking. Protein dan ligan parameter masing-masing dioptimalkan
15
menggunakan AMBER99SB dan medan gaya AMBER umum (GAFF). Sebuah
molekul air (10 Ằ) dihasilkan di bawah kondisi batas periodik, yang dilepaskan
menggunakan '3-point water model' (TIP3 P). Untuk menetralisir permukaan
protein, ditambahkan 16 ion Na+ dan digunakan untuk menggantikan molekul air
pada posisi yang menguntungkan. Untuk menghilangkan bentrokan sterik, sistem
tersebut mengalami minimisasi singkat. Serangkaian minimalisasi dilakukan
dengan cara bertahap dengan mengurangi regangan dari 25 hingga 5 kkal/mol.Å2.
Setelah itu, dilakukan minimisasi komprehensif yang tidak terkendali.
Suhu ditingkatkan secara bertahap mulai dari 0 hingga 300 K lebih dari
500 ps dan sistem selanjutnya diseimbangkan untuk 500 ps lebih lanjut pada
tekanan konstan (1 bar) dan suhu 300 K. Panjang ikatan yang melibatkan atom
hidrogen dibatasi menggunakan algoritma SHAKE dengan pembatasan harmonik
sebesar 25 kkal/mol.Å. Akhirnya, produksi 10 ns dilakukan dengan langkah
waktu 2 fs pada tekanan konstan (1 bar) dan suhu 300 K. Lintasan yang dihasilkan
dianalisis menggunakan modul CPPTRAJ dan diimplementasikan dalam
AMBERTOOLS15 dan VMD.
16
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
4.1.1. Kandungan Total Rhinacanthin Dalam Ekstrak Etanol Mentah dan
Ekstrak Rhinacanthin-Rich
Tabel 4.1. Kandungan total Senyawa Rhinacanthin (%b/b)
Konten Rhinacanthin (% b/b ; Mean ± SD)
Senyawa
Ekstrak etanol mentah
Ekstrak
Rhinacanthins-rich
Rhinacanthin-C
6.6 ± 0.10
62.2 ± 2.3
Rhinacanthin-D
1.1 ± 0.02
7.9 ± 0.1
Rhinacanthin-N
0.5 ± 0.01
3.6 ± 0.2
Total rhinacanthins
8.2
73.7
4.1.2. Aktivitas Penghambatan α-Glukosidase Dari Ekstrak RhinacanthinRich Dan Rhinacanthin-C.
Tabel 4.2. Aktivitas Penghambatan α-Glukosidase
Senyawa
RRE
Rhinacanthin-C
Rhinacanthin-D
Rhinacanthin-N
Akarbosa
IC50 (lg/mL)
25.0 ± 0.8a
22.6 ± 0.6a
71.5 ± 1.0b
t.a.*
Inhibisi konsentrasi dinyatakan sebagai mean ± STD (n = 3). Nilai ratarata diikuti oleh huruf berbeda secara signifikan berbeda (P 0,05). * Tidak
aktif.
4.2. Pembahasan
4.2.1. RRE Ekstraksi Dan Standardisasi
Pembuatan RRE dilakukan sesuai dengan metode penelitian sebelumnya
(Panichayupakaranant et al., 2009). RRE mengandung kandungan tertinggi
17
rhinacanthins (73,7% b/b) sama dengan yang dilaporkan sebelumnya (Tabel 1)
dan RC ditemukan menjadi konstituen utama (62,2% b/b). Green chemistry yang
dikembangkan dalam persiapan RRE dan RRE yang diperoleh sangat cocok untuk
aplikasi nutraceutical dan industri dalam hal keselamatan dan biaya rendah.
4.2.2. Aktivitas Penghambatan α-Glukosidase RRE Dan Senyawa Penanda
Efek penghambatan RRE dan senyawa penandanya RC, RD dan RN
terhadap α-glukosidase dinilai untuk melihat potensi sebagai antidiabetes. RC dan
RRE menunjukkan aktivitas penghambatan terbaik terhadap α-glukosidase dengan
nilai IC50 yaitu 22,6 μg/mL dan 25,0 μg/mL, yang aktivitas jauh lebih tinggi
daripada akarbosa (nilai IC50 395 μg/mL) (Tabel 2). RRE dan RC menunjukkan
aktivitas penghambatan α-glukosidase yang hampir sama yang sebelumnya pernah
dilaporkan memiliki aktivitas antimikroba dan antiinflamasi yang hampir setara.
RD, minor naphthoquinone ester dari RRE, juga menunjukkan aktivitas
penghambatan yang baik, dengan nilai IC50 71,5 μg/mL, sedangkan RN
ditemukan menjadi tidak aktif. Hal ini dikarenakan cincin aromatik tersubstitusi
kelompok R pada rhinacanthins (Gambar 3.1) dapat mengurangi efek
penghambatan α-glukosidase mereka dengan gangguan pada situs pengikatan
enzim. Baru-baru ini, RC telah menunjukkan potensi antidiabetes pada tikus
diabetes yang diinduksi streptozotocin-ni cotinamide. Peningkatan penyerapan
glukosa oleh aditocites, ekspresi GLUT2 pankreas dan efek protektif pankreas
karena menurunkan inflamasi dan mediator apoptosis selular telah diusulkan
untuk menjelaskan aktivitas antidiabetes RC (Adam et al., 2016). Penelitian ini
adalah laporan pertama mengenai
penghambatan α-glukosidase
sebagai
mekanisme antidiabetes untuk RRE dan senyawa penandanya.
4.2.3. Mekanisme Penghambatan RRE Dan Aktivitas Sinergisnya Dengan
Akarbosa
Untuk menentukan mekanisme inhibisi, RRE dan RC digunakan dalam
tiga konsentrasi yang berbeda yaitu 12,5, 25 dan 50 μg/mL sebagai inhibitor
dalam eksperimen kinetik untuk menjelaskan jenis inhibisi. Kemungkinan
interferensi oleh RRE dan RC diperiksa pada lima konsentrasi pNPG yang
18
berbeda yaitu 0,16-2,65 mM. Absorbansi pertama kali diplot terhadap waktu
untuk memperoleh kecepatan reaksi dan kecepatan kemudian diplot terhadap
timbal balik konsentrasi substrat untuk membuat persamaan Lineweaver-Burk.
Persamaan Lineweaver-Burk untuk penghambatan α-glukosidase oleh RC dan
RRE dihasilkan berupa garis lurus, yang berpotongan pada titik yang sama pada
sumbu X di kuadran kedua, menunjukkan penghambatan nonkompetitif (Gambar
4.3).
Gambar 4.3 Persamaan Lineweaver-Burk dari ekstrak rhinacanthin-C (A) dan
ekstrak rhinacanthins-rich (B) terhadap α-glukosidase pada
konsentrasi berbeda dari pNPG.
Akarbosa adalah inhibitor α-glukosidase kompetitif (Ag. H, 1994),
sehingga menarik untuk menetapkan apakah RRE dan RC, sebagai inhibitor
nonkompetitif, mungkin berinteraksi secara sinergis dengan akarbosa dalam
menghambat aktivitas α-glukosidase. Percobaan dilakukan pada tiga konsentrasi
19
yang berbeda pada
1⁄4IC50, 1⁄2IC50
dan IC50. Ditemukan bahwa konsentrasi yang
lebih rendah dari akarbosa dikombinasikan dengan RRE dan RC di
1/2IC50
1/4IC50
dan
mengakibatkan penghambatan yang signifikan dibandingkan dengan
senyawa individu pada konsentrasi yang sama (Gambar 4.4) menunjukkan
aktivitas
penghambatan
sinergis
terhadap
α-glukosidase.
Temuan
ini
menunjukkan bahwa kombinasi akarbosa dengan RRE atau RC memiliki
mekanisme penghambatan yang berbeda dapat menghambat aktivitas αglukosidase lebih efektif pada dosis rendah dibandingkan dengan senyawa
tunggal, menghasilkan pengurangan glukosa darah postprandial pada DM tipe-2
dan menghindari efek buruk karena akarbosa.
Gambar 4.4. Persentase penghambatan α-glukosidase oleh akarbosa, RRE dan
RC, dan gabungan akarbosa dengan RRE (A + RRE) dan RC (A +
RC) pada konsentrasi yang berbeda pada dasar dari IC50. Hasilnya
dinyatakan sebagai mean ± SEM (n = 3). Nilai rata-rata diikuti dengan
huruf berbeda secara signifikan berbeda (P 0,05).
4.2.4. Pengujian Secara In silico
Penentuan struktur dari ragi α-glukosidase belum sepenuhnya teratasi.
Oleh karena itu, digunakan aplikasi SWISS MODEL untuk memperoleh titik
koordinat tiga dimensi dari S. cerevisiae dengan menggunakan urutan fasta dari αglukosidase, dengan kode akses P53051.1. struktur kristalografi kompleks ragi
oligo-1,6-glukosidase dengan inhibitor maltose kompotitifnya (PDB 3AJ7)
20
diidentifikasi sebagai template yang paling sesuai dengan identitas urutan dan
kesamaan dengan nilai masing-masing yaitu 72,68 dan 0,54. Hasil dari nilai
Qmean model yaitu 0,729 yang menandakan keandalan model. Nilai Root Mean
Square Deviation (RMSD) antara model dengan template adalah 0,19 Ǻ. Kualitas
dari permodelan dinilai menggunakan persamaan Ramachandran dan Rotamer.
Garis Ramachandran berguna untuk evaluasi sudut backbone dihedral, sedangkan
persamaan Rotamer menampilkan konformasi yang menguntungkan untuk
diadopsi oleh rantai samping asam amino tergantung pada energi regangan relatif
dari rantai samping (Renfrew et al., 2008).
Seperti terlihat pada gambar 4.5.A. sebagian besar residu terletak di
wilayah inti kecuali TYR286 dan THR 566. Pada gambar 4.5.B terlihat energy
rotamer yang dihasilkan oleh model berada di bawah ambang batas yaitu 5
kkal/mol. Hasil ini menunjukkan bahwa model yang digunakan dalam permodelan
ini merupakan model yang sudah benar dan tepat keandalannya.
21
Gambar 4.5. Visual yang menunjukkan hasil penilaian model. Grafik di atas
menunjukkan kontur Ramachandran untuk model yang baru
dikembangkan. Titik hijau menyumbang posisi residu di wilayah
inti. Sementara, (+) tanda menyoroti outlier. Profil rotamer dari
model yang baru dikembangkan menyoroti energi rantai samping
setiap asam amino. Energi berada di bawah ambang batas yang
mengucapkan kualitas model yang baik.
Pengujian mekanisme penghambatan α-glukosidase oleh RC itu secara
studi docking molekuler dilakukan sesuai dengan protokol yang sudah dijelaskan
oleh penelitian sebelumnya (Barakat et al., 2016). Aplikasi MOE-dock digunakan
untuk menghasilkan 100 konformasi RC. Posisi yang dihasilkan berbentuk
berkerumun dan posisi yang menghasilkan skor tertinggi dipilih untuk dianalisis
lebih lanjut. Model pengikatan dan bentuk interaksi RC dengan α-glukosidase
direpresentasikan pada Gambar 4.6. Model permukaan MSMS dari protein
menunjukkan bahwa keberadaan residu dasar di sekitar cincin naphthoquinone
dari ligan dilengkapi dengan ikatan yang relatif lebih elektronegatif dari ligan.
Ekor ligan yang mengandung rantai alifatik telah terlipat untuk berikatan di dalam
alur hidrofobik dari protein.
22
Gambar 4.6. Model MSMS dari S. cerevisiae α-glukosidase seperti yang diberikan
oleh distribusi columbik. Elektronegativitas digambarkan oleh Red,
hidrofobikitas digambarkan oleh putih sementara warna biru
menyoroti daerah elektropositif. Gambar kotak menggambarkan
interaksi dimediasi oleh RC dengan protein. Juga penting dalam
gambar sebagai residu yang melapisi alur hidrofobik dalam rongga
yang membantu dalam pembentukan kontak apolar dengan ekor
ligan.
Bentuk interaksi ligan-protein mengkonfirmasi pembentukan berbagai
ikatan hidrogen dan hidrofobik antara RC dan α-glukosidase. Seperti yang
digambarkan pada Gambar 4.6, inti dari RC telah terikat pada protein melalui
interaksi ligan bidentat dengan LYS232 dan 414. Ikatan hidrogen lainnya juga
diamati antara backbone atom N dari SER157 dan RC. Inti hidrofobik yang
mengelilingi ekor ligan termasuk residu LYS143, PRO144, THR160 dan
PHE161. Afinitas yang diamati dalam molecular docking (MD) antara ligan dan
enzim membantu menjelaskan temuan eksperimental tentang penghambatan
tertinggi pada aktivitas α-glukosidase oleh RC.
Untuk menyelidiki stabilitas model ligan-protein yang diusulkan,
dilakukan simulasi selama 10 ns dari semua atom yang dilakukan simulasi MD
dengan menggunakan aplikasi AMBER14. Simulasi MD dilakukan sebagai teknik
utama dalam berbagai aplikasi untuk merancang molekul bioaktif dan menyelidiki
cara kerja mereka. Terlepas dari informasi mengenai jarak dan interaksi antara
ligan dan residu yang menarik, lintasan MD memungkinkan estimasi stabilitas
keseluruhan kompleks. Telah dilakukan pengukuran mengenai karakteristik yang
berbeda dari sistem untuk mengukur perbedaan dinamis yang diinduksi dalam
sistem pada pengikatan ligan. Root Mean Square Deviation (RMSD) adalah nilai
23
yang mengukur stabilitas kompleks. Semakin rendah RMSD semakin tinggi
stabilitasnya. Nilai RMSD rata-rata dari dua sistem yaitu apo dan kompleks,
masing-masing adalah 1,5 dan 2,0 Ǻ,. Berdasarkan Gambar 4.7.A menunjukkan
bahwa lebih banyak fluktuasi kompleks dibandingkan dengan fluktuasi apo,
meskipun keseluruhan sistem tetap tidak stabil. Selanjutnya, untuk menyelidiki
sifat yang tepat dari penyimpangan ini, dilakukan perhitungan Root Mean Square
Fluctuation (RMSF). Berdasarkan Gambar 4.7.B ditemukan fluktuasi yang lebih
tinggi dalam kasus kompleks α-glukosidase-RC dengan penyimpangan yang lebih
tinggi dalam kasus residu LYS229, ASP278, dan GLU548. Inspeksi visual dari
residu-residu ini yang dianotasikan oleh struktur sekunder menunjukkan bahwa
residu-residu ini ada dalam loop-loop terbuka yang sangat dinamis di alam.
Analisis visual lintasan MD mengungkapkan bahwa ligan terikat protein melalui
ikatan hidrogen selama 2 ns pertama dari simulasi. Ligan menunjukkan
perpindahan signifikan dan terdapat perbedaan 2,46 Ǻ di koordinat sebelum dan
sesudah simulasi. Selain itu, dilakukan penstabilan interaksi oleh interaksi
hidrofobik yang ditampilkan oleh ligan.
24
Gambar 4.7. Grafik menunjukkan fluktuasi rata-rata akar sebagai fungsi residu
angka (A) dan deviasi kuadrat akar rata-rata sebagai fungsi waktu
(B) back bone protein.
25
BAB V
KESIMPULAN
5.1. Kesimpulan
Dari penulisan didapat kesimpulan bahwa :
1. Ekstrak RRE mengandung RC sebesar 62,2%.
2. Ekstrak diperoleh dari daun R. Nasutus menggunakan metode green
chemistry
3. Aktivitas ekstrak REE menunjukkan efek inhibisi non kompetitif dan
sangat mungkin sebagai obat alternatif antidiabetes alami, untuk
mengontrol kadar glukosa darah postprandial
4. Ekstrak juga menunjukkan efek penghambatan sinergis ketika
dikombinasi dengan akarbosa untuk penggunaan klinis.
26
DAFTAR PUSTAKA
Adam, S. H., Giribabu, N., Rao, P. V., Sayem, A. S. M., Arya, A.,
Panichayupakaranant, P., dan Salleh, N. 2016. Rhinacanthin C
ameliorates hyperglycaemia, hyperlipidemia and pancreatic destruction
in streptozotocin–nicotinamide induced adult male diabetic rats.
European Journal of Pharmacology, 771, 173–190.
Ag, H. 1994. Pharmacology of a-glucosidase inhibition. European Journal of
Clinical Investigation. 24, 3–10.
Aprina, H. P. 2012. Analisis komposisi asam amino gelatin sapi dan gelatin babi
pada marsmallow menggunakan teknik kombinasi HPLC (High
Performance Liquid Chromatography) dan PCA (Principal Component
Analysis). Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta.
Atun, S. 2014. Metode isolasi dan identifikasi struktur senyawa organik bahan
alam. J. Konversi Cagar Budaya Borobudur. 8(2): 53-56.
Barakat, A., Islam, M. S., Al-Majid, A. M., Ghabbour, H. A., Yousuf, S., Ashraf,
M., dan Ul-Haq, Z. 2016. Synthesis of pyrimidine-2, 4, 6-trione
derivatives: Anti-oxidant, anti-cancer, a-glucosidase, b-glucuronidase
inhibition and their molecular docking studies. Bioorganic Chemistry, 68,
72–79.
Bukke, S., Raghu, P. S., Sailaja, G., dan Kedam, T. R. 2011. The study on
morphological, phytochemical and pharmacological aspects of
Rhinacanthus nasutus. (L) Kurz. Journal of Applied Pharmaceutical
Science. 01 (08): 26-32.
Case, D. A., Babin, V., Berryman, J., Betz, R. M., Cai, Q., Cerutti, D. S., dan
Goetz, A. W. 2014. Amber 14.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2000. Parameter Standar Umum
Ekstrak. Jakarta.
Farmasi, A., 2015. Uji efek antihiperglikemia ekstrak etanol daun nipah (Nypa
fruticans Wurmb.) pada mencit yang diinduksi aloksan. Skripsi.
Universitas Sumatra Utara. Medan.
Febrinda, A. E., Astawan, M., Wresdiyati, T., dan Yuliana, N. D., 2013. Kapasitas
antioksidan dan inhibitor alfa glukosidase ekstrak umbi bawang dayak. J.
Teknol dan Industri Pangan, 24 (2).
Fisman, E. Z., Michael, M., dan Tenenbaum, A. 2008. Non-insulin antidiabetic
therapy in cardiac patients: Current problems and future prospects. In E.
Z. Fisman, & A. Tenenbaum (Eds.), Cardiovascular diabetology:
Clinical, metabolic and inflammatory facets. Advances cardiology : 154–
170.
27
Gao, J., Xu, P., Wang, Y., Wang, Y., dan Hochstetter, D. 2013. Combined effects
of green tea extracts, green tea polyphenols or epigallocatechin gallate
with acarbose on inhibition against a-amylase and a-glucosidase in vitro.
Molecules, 18, 11614–11623.
Gu, H. J., Lv, J. C., Yong, K. L., Chen, X., Liu, P. P., & Zhang, X. B. (2009).
Antidiabetic effect
of an active fraction extracted from dragon’s blood (Dracaena
cochinchinensis). Journal of Enzyme Inhibition and Medicinal
Chemistry. 24: 136–139.
Harborne, J. B. 1987. Phytochemical Methods: Chapman and Hall, Ltd., London,
pp. 49-188.
Heinrich, M., Barnes, J., Gibbons, S., & Williansom, M,E. 2004. Fundamental Of
Pharmacognosy and Phytotherapy. Philadelpia : Penerbit Elsevier.
Hostettmann, Jalyeslml, F. dan Abo, K. A. 1995. Phytochemical and
Antimicrobial analysis of the crude extract, petroleum ether and
chloroform fractions of Euphorbia heterophylla Linn Whole Plant.
University of Ibadan: Nigeria.
Kernan, M. R. Et al. 1997. Phytomedicine. 1: 77-106.
Kim, J.S., Hyun, T.K. dan Kim, M.J. 2008. The inhibitory effects of ethanol
extracts from sorghum, foxtail millet and proso millet on α-glucosidase
and α-amylase activities. Food Chem. 124: 1647–1651
Kodama, O., Ichikawa, H., Akatsuka, T., Santisopasri, V., Kato, A., dan Hayshi,
Y. 1993. J. Nat. Prod. 56: 292-294
Kuwahara, S., Awai, N., Kodama, O., Howie, R. A., dan Thomson, R. H. 1995. J.
Nat. Prod. 58: 1455-1458
Mukholifah.2014. Identifikasi senyawa tanin dan penentuan eluen terbaik dari
ekstrak etanol 70% daun pepaya (Carica papaya sp.) dengan metode
kromatografi lapis tipis. Skripsi. Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim. Malang.
Nugraha, M. R., dan Hasanah, A. N. 2016. Review artikel: Metode pengujian
aktivitas antidiabetes. Farmaka, 16 (3).
Nurlaili. 2013. Isolasi Senyawa Metabolit Sekunder Dari Ekstrak Metanol Kulit
Batang Tumbuhan Meranti Lilin (Shorea teysmanniana Dier). Skripsi.
Universitas Muhammadiyah Riau. Pekanbaru.
Panichayupakaranant, P., Charoonratana, T., dan Sirikatitham, A. 2009. RPHPLC analysis of rhinacanthins in Rhinacanthus nasutus: Validation and
application for the preparation of rhinacanthin high-yielding extract.
Journal of Chromatographic Science, 47, 705–708.
Pasaribu, F., Sitorus, P., dan Bahri, S. 2012. Uji ekstrak etanol kulit buah manggis
(Gracinia mangostana L.) terhadap penurunan kadar glukosa darah.
Journal of Pharmaceutics and Pharmacology, 1 (1).
Pratiwi, I. 2009. Uji Anti Bakteri Ektrak Kasar Daun Avalypha Indica Terhadap
28
Bakteri Salmonella Choleraesuis dan Salmonela Typhimurium.
Surakarta: Jurusan Biologi FMIPA UNS.
Pujiastusi, M. W., dan Sanjaya, I. G. M., 2017. Penentuan aktivitas senyawa
turunan mangiferin sebagai antidiabetes pada diabetes mellitus tipe 2
secara in silico. Journal of Chemistry, 6 (3).
Pujiyanto, S., dan Ferniah, R. S., 2010. Aktifitas inhibitor alpha-glukosidase
bakteri endofit PR-3 yang diisolasi dari tanaman pare (momordica
charantia). Bioma, 12 (1): 1-5
Renfrew, P. D., Butterfoss, G. L., dan Kuhlman, B. 2008. Using quantum
mechanics to improve estimates of amino acid side chain rotamer
energies. Proteins: Structure, Function, and Bioinformatics, 71, 1637–
1646.
Sendl, A., Chen, J. L., Jolad, S. D., Stoddart, C., Rozhon, E., Kernan, M., dan
Balick, M. 1996. Two new naphthoquinones with antiviral activity from
Rhinacanthus nasutus. Journal of Natural Products, 59, 808–811.
Wu, T. S., Hsu, H. C., Wu, P. L., Leu, Y. L., Chan, Y. Y., Chern, C. Y., dan Tien,
H. J. 1998. Naphthoquinone esters from the root of Rhinacanthus
nasutus. Chemical and Pharmaceutical Bulletin, 46, 413–418.
29
Download