BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes mellitus adalah suatu sindroma klinik yang ditandai oleh poliuria, polidipsia dan polifagia, disertai peningkatan kadar glukosa darah atau hiperglikimia (Glukosa puasa ≥126 mg/dL atau glukosa sewaktu ≥200 mg/dL) (Farmasi, 2015). Diabetes mellitus disebabkan karena kekurangan hormon insulin yang berfungsi memanfaatkan glukosa sebagai sumber energi dan mensintesa lemak. Akibatnya glukosa bertumpuk didalam darah (hiperglikemia) dan akhirnya dieksresikan lewat kemih (glikosuria) tanpa digunakan. Karena itu, produksi kemih sangat meningkat dan mengakibatkan penderita sering mengeluarkan air seni, merasa amat haus, berat badan menurun dan berasa lelah (Pasaribu, 2012). Pada tahun 2013 jumlah pasien penderita penyakit diabetes di dunia mencapai 382 juta jiwa, jumlah ini akan terus meningkat hingga mencapai 592 juta jiwa dalam dua dekade yang akan datang. Sekitar 90% dari keseluruhan jumlah pasien menderita diabetes mellitus tipe-2 yang menjadi tipe utama pada penyakit diabetes mellitus (DM). Diabetes mellitus tipe-2 disebabkan oleh gangguan sekresi insulin yang mengakibatkan menurunnya aktivitas insulin. Selain itu, kelebihan berat badan (obesitas), dan kurang melakukan aktivitas fisik (Aktivitas fisik pasif) dapat menjadi penyebab utama DM tipe-2 (Guariguata, et al., 2014). Obat-obatan antidiabetes oral yang tersedia secara klinis menggunakan efek terapinya dengan berbagai mekanisme termasuk peningkatan sekresi insulin, dan penyerapan glukosa dan metabolisme. α-Glucosidase adalah enzim kunci yang mengubah disakarida menjadi monosakarida yang mudah diserap dalam saluran pencernaan. Oleh karena itu, penggunaan inhibitor (penghambat) αglukosidase merupakan strategi terapi yang menonjol untuk mengontrol hiperglikemia postprandial pada DM tipe-2. Inhibitor α-glukosidase yang tersedia 1 secara klinis termasuk akarbose, voglibose dan miglitol saat ini diberikan secara oral sebagai monoterapi atau dikombinasi dengan obat antidiabetik oral lainnya. Namun, obat ini harganya mahal dan menyebabkan efek samping gastrointestinal. Selain itu, penggunaan jangka panjang inhibitor α-glukosidase yang tersedia secara komersial dapat menimbulkan bahaya jantung (Fisman, et al., 2008). Obatobatan antidiabetik oral yang tersedia secara klinis menggunakan efek terapinya dengan berbagai mekanisme termasuk peningkatan sekresi insulin, penyerapan dan metabolisme glukosa. α-Glukosidase adalah enzim kunci yang mengubah disakarida menjadi monosakarida yang mudah diserap dalam saluran pencernaan. Polisakarida kompleks akan dihidrolisis oleh enzim amilase menjadi dekstrin dan dihidrolisis lebih lanjut menjadi glukosa oleh enzim α-glukosidase sebelum memasuki sirkulasi darah melalui penyerapan epitelium (Febrinda, 2013). Oleh karena itu penghambatan α-glukosidase merupakan strategi terapi yang efektif untuk mengontrol hiperglikemia postprandial pada DM tipe-2 (Fisman, et al., 2008). Sejumlah ekstrak tumbuhan dan senyawa yang berhasil diisolasi, telah banyak dilaporkan dapat digunakan sebagai aantidiabetes dengan mekanisme sebagai penghambat aktivitas α-glukosidase (Kumar, et al., 2011). Rhinacanthus nasutus (L.) Kurz adalah tanaman obat asli Thailand dan Asia Tenggara yang terkenal untuk pengobatan berbagai penyakit termasuk DM (Brimson, et al., 2014). Di Cina dan Taiwan, sering dijadikan sebagai teh herbal (Huang, et al., 2015). Tanaman R. Nasutus memiliki kandungan senyawa aktif utama yaitu Rhinacanthin-C (RC) yang dapat memberikan efek proteksi hipoglikemik, hipolipidemik bagi penderita diabetes (Adam, et al., 2016). Untuk mengisolasi RC membutuhkan waktu yang lama, energi yang besar, tahapan yang banyak membutuhkan pelarut organik yang beracun. Sehingga akan meningkatkan biaya produksi. Pendekatan alternatif yang mungkin menimbulkan efek yang sama dengan senyawa RC adalah dengan memanfaatkan ekstrak rich-rhinacanthins (RRE), suatu ekstrak daun R. nasutus yang memiliki isi total rhinacanthins ± 70% b/b, 2 dengan 60–70% b/b terdiri dari RC sebagai komponen utama (Panichayupakaranant, et al., 2009). 1.2. Tujuan Penulisan Tujuan penulisan ini adalah untuk memahami dan mempelajari penelitian yang dilakukan oleh M. A. Shah, R. Khalil, Z. Ul-Haq, P. Panichayupakaranant (2017) tentang “Efek Penghambatan α-glukosidase Ekstrak Rhinacanthins-Rich (RRE) Dari Daun Rhinacanthus nasutus dan Efek Sinergis Dalam Kombinasi Dengan Akarbosa”. Adapun Tujuan Penelitian adalah menyelidiki aktivitas penghambatan α-glukosidase secara in vitro serta dalam kombinasi dengan akarbosa, sebagai obat antidiabetes. Studi in silico juga dilakukan untuk menentukan mekanisme pengikatan RC dengan enzim target dan untuk menjelaskan hubungan aktivitas struktur RC. 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Rhinacanthus nasutus Tanaman ini adalah tanaman semak dengan batang ramping dan kecil, memiliki tinggi 60-76 cm. Panjang daunnya mencapai 4-10 cm, dan menyempit dan menunjuk pada kedua ujungnya. Perbungaan adalah serabut, daun, berbulu dengan bunga biasanya dalam kelompok. Kelopak hijau, berbulu, dan panjang sekitar 5 mm. Buahnya berbentuk kapsul dan terdapat 4 biji seperti yang terlihat pada gambar 1. Untuk pertumbuhan yang optimal tanaman ini memerlukan curah hujan 1000-1200 mm dengan suhu 20-28 0C. Tanaman R.nasutus kini telah banyak dibudidayakan sebagai tanaman obat. Tanaman ini telah banyak digunakan dalam perawatan dan pencegahan beragam penyakit. R.nasutus telah digunakan dalam obat tradisional untuk pengobatan penyakit seperti eksim, tuberkulosis paru, herpes, hepatitis, diabetes, hipertensi. Dalam beberapa percobaan, ia memiliki efek potensial untuk pengobatan beberapa penyakit seperti untuk mengobati kanker, gangguan hati, penyakit kulit, ulkus peptikum, helminthiasis, kudis, peradangan dan obesitas. Nama lain dari Rhinacanthus nasutus diberbagai negara adalah Snake Jasmine, Rangchita Dainty, Spurs, Palakjuhi, Juhipani, Gajkarni, Uragamalli, Nagamalli, Nagamulla, Puzhukkolli, Nagamalle, Nagamallige, Doddapatike, Juipana, Dadmari, Palakjuhi, dan Yudhikaparni (Bukke, 2011). Berdasarkan penggolongan dan tata nama tumbuhan, tanaman R.nasutus termasuk kedalam klasifikasi sebagai berikut: Kingdom : Plantae Division : Magnoliophyta Class : Magnoliopsida Family : Acanthaceae Subfamily : Acanthoideae 4 Genus : Rhinacanthus Species : nasutus - (L.) Gambar 2.1 Rhinacanthus nasutus (Linn.) Studi fitokimia yang telah dilakukan pada spesies R.nasutus menunjukkan bahwa tanaman ini memiliki kandungan flavonoid, steroid, terpenoid, antrakuinon, lignan dan terutama analog naphthoquinone sebagai mayor. Konstituen naphthoquinones yaitu, rhinacanthins A, B, C, D, G, H, I, J, K, L, M, N, O, P, dan Q diisolasi dari daun dan akar tanaman R.nasutus (Wu, et al., 1998; Sendl, et al., 1996). Dihasilkan rhinacanthone dari daun dan batang (Kodama, et al., 1993 dan Kuwahara, et al., 1995) dan dapat dihasilkan dehydro α-lapachone dari hasil isolasi akar-akarnya, senyawa Benzenoids p-hydroxy-benzaldehide, asam vanilat, asam syringic, 2-metoksi-propionolphenol, metil valinat dan syringaldehida diisolasi dari daun, akar dan batang (Wu, et al., 1998) . Lignan rhinacanthin –E dan -F diisolasi dari bagian aerial (Kernan, et al., 1997). 5 6 Gambar 2.2. Struktur kimia dari senyawa-senyawa yang terdapat pada tanaman Rhinacanthus nasutus (Linn.) (Wu, et al., 1998; Sendl, et al., 1996; Kodama, et al., 1993; Kuwahara, et al., 1995; Kernan, et al., 1997) 2.2. Metoda Isolasi Senyawa Bahan Alam 2.2.1. Metoda ekstraksi Ekstraksi adalah penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Simplisia yang diekstrak mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang tidak dapat larut seperti serat, karbohidrat, protein, dan lain-lain. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan minyak atsiri, alkoloid, flavonoid dan lain-lain. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang terkandung dalam simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Depkes RI, 2000). Mengekstraksi bahan alam menggunakan pelarut terdiri atas 2 cara, yaitu : 1. Cara panas Cara panas terdiri dari refluks, digesti, dekok, infus, dan sokletasi (Depkes RI, 2000). 2. Cara dingin Cara dingin terdiri dari perkolasi, dan maserasi. Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar. Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya. Maserasi adalah perendaman bahan alam yang dikeringkan (simplisia) dalam suatu pelarut. Metode ini dapat menghasilkan esktrak dalam jumlah 7 banyak, serta terhindar dari perubahan kimia senyawa-senyawa tertentu karena pemanasan (Pratiwi, 2009). Proses pemisahan senyawa dalam simplisia, menggunakan pelarut tertentu sesuai dengan sifat senyawa yang akan dipisahkan. Pemisahan pelarut berdasarkan kaidah ‘like dissolved like’ artinya suatu senyawa polar akan larut dalam pelarut polar. Ekstraksi dapat dilakukan dengan bermacam-macam metode, tergantung dari tujuan ekstraksi, jenis pelarut yang digunakan dan sennyawa yang diinginkan. Metode ekstraksi yang paling sederhana adalah maserasi (Pratiwi, 2009). 2.2.2. Metode Isolasi Suatu ekstrak yang telah dihasilkan dari suatu protokol estaksi yang sesuai dan pengujian aktivitas biologi telah dilakukan dalam bioassay (contohnya aktivitas antibakteri), langkah selanjutnya adalah fraksinasi ekstrak menggunakan metode pemisahan sehingga komponen biologis aktif dapat diisolasi (Henrich, et al, 2004). Pemisahan dan pemurnian kandungan tumbuhan terutama dilakukan dengan menggunakan salah satu dari keempat teknik kromatografi atau gabungan teknik tersebut. Keempat teknik kromatografi itu adalah kromatografi kertas (KKt), kromatografi lapis tipis (KLT), kromatografi gas cair (KGC), dan kromatografi kinerja tinggi (KCKT) (Harborne, 1987). 2.2.2.1. Kromatografi vakum cair (KVC) Metoda ini digunakan untuk mengisolasi diterpena sembrenoid dari terumbu karang lunak Australia. Kromatografi vakum cair menggunakan silika gel 60 (63-200 m). Kromatografi vakum cair ini menggunakan corong Buchner kaca atau kolom pendek sedangkan menggunakan kolom yang lebih panjang untuk meningkatkan daya pisah (Hostettmann et al., 1995). 2.2.2.2. Kromatografi kolom gravitasi Salah satu teknik pemisahan dengan kromatografi dalam jumlah yang besar adalah dengan menggunakan kromatografi kolom gravitasi. Kromatografi gravitasi dapat digunakan untuk pemisahan dan pemunian senyawa yang telah 8 difraksinasi menggunakan kromatografi vakum cair. Teknik ini dapat dilakukan dengan kolom diameter ukuran 1-3 cm dan panjang 50 cm. Sebagai adsorben digunakan silika gel GF 60 (200-400 mesh). Tinggi adsorben yang biasa digunakan 15-20 cm. Eluen yang digunakan merupakan campuran pelarut polar dan non polar dengan perbandingan yang sesuai. Kromatografi kolom merupakan salah satu metoda kromatografi dengan fase gerak cair dan fase diam padat pada kromatografi jenis ini, campuran yang akan dipisahkan dituangkan pada bagian atas permukaan (lapisan tipis) kolom penyerap yang berada dalam tabung kaca berbentuk silinder. Pemisahan dengan kromatografi kolom gravitasi biasanya akan diperoleh hasil yang baik apabila digunakan campuran pelarut yang dapat memisahkan komponen pada Rf kurang dari 0,3 pada uji coba dengan KLT (Atun, 2014). 2.2.2.3. Kromatografi lapis tipis (KLT) Kromatografi lapis tipis adalah suatu teknik pemisahan komponenkomponen campuran suatu senyawa yang melibatkan partisi suatu senyawa di antara padatan penyerap (fasa diam) yang dilapiskan pada pelat kaca atau aluminium dengan suatu pelarut (fasa gerak) yang mengalir melewati adsorben (padatan penyerap). Pengaliran pelarut dikenal sebagai proses pengembangan oleh pelarut (elusi). Di dalam analisis dengan KLT, sampel dalam jumlah yang sangat kecil ditotolkan menggunakan pipa kapiler di atas permukaan pelat tipis fasa diam, kemudian pelat diletakkan dengan tegak dalam bejana pengembang yang berisi sedikit pelarut pengembang. Oleh aksi kapiler, pelarut mengembang naik sepanjang permukaan lapisan pelat dan membawa komponen-komponen yang terapat dalam sampel (Atun, 2014). Menghitung jarak yang ditempuh oleh noda maka harus diketahui lokasi noda pada plat dengan tepat. Untuk noda yang berwarna dapat dilihat secara visual, tetapi untuk noda yang tidak berwarna dapat diamati dengan cara menggunakan sinar lampu UV, uap iodium dan pereaksi penampak noda. Noda yang telah didapat ditandai denganmenggunakan pensil. Gunanya adalah untuk mencari harga Rf (retardation factor = faktor penghambat). 9 Rf = jarak yang ditempuh senyawa (Mukholifah, 2014). jarak yang ditempuh eluen 2.3. Karakteristik Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) / HPLC HPLC atau High Performance Liquid Chromatography merupakan teknik pemisahan yang diterima secara luas untuk analisis dan pemurnian senyawa tertentu dalam suatu sampel pada sejumlah bidang, antara lain : farmasi, lingkungan, bioteknologi, polimer, dan industri makanan. HPLC adalah jenis yang khusus dari kromatografi kolom. Metode ini menggunakan cairan dengan tekanan tinggi sebagai fase gerak. HPLC paling sering digunakan untuk menetapkan kadar senyawa tertentu seperti asam amino, asam nukleat, protein dalam cairan fisiologis, menentukan kadar senyawa aktif obat, memurnikan suatu senyawa dalam suatu campuran (Aprina, 2012). 2.4. Uji Aktivitas Antidiabetes Pengujian aktivitas antidiabetes dapat diuji dengan tiga cara yaitu secara in vivo, in vitro dan in silico. 2.4.1. Pengujian In Vitro Pengujian In vitro yang digunakan adalah dengan Metode pengujian dengan cara In vitro α-glukosidase inhibitory assay merupakan pengujian yang digunakan untuk melihat aktivitas penghambatan enzim α-glukosidase. Enzim αglukosidase berperan dalam mengkonversi karbohidrat menjadi glukosa, oleh karena itu jika ada penghambatan aktivitas dari α-glukosidase akan menurunkan gula darah. Pengujian dengan cara sampel ditambahkan dimetil sulfoksidan dan ditambahkan p-nitrofenilα-D-glukopiranosida agar terjadi reaksi enzimatis dan diinkubasi, reaksi dihentikan dengan Na2CO3 dan dilihat absorbansinya pada panjang gelombang 400 nm. Aktivitas dihitung dengan rumus: % Inhibition = (Ac –As) / Ac Sedangkan; Ac = Absorbansi kontrol, As = Absorbansi sampel (Kim, et al., 2008). 10 2.4.2. Pengujian In Silico Uji in silico, merupakan uji dengan menggunakan komputasi dalam mengetahui struktur 3D molekul dan mempelajari sisi aktif yang berperan didalam molekul. Salah satu metode yang digunakan adalah molecular docking. Uji ini dilakukan untuk menentukan bagian yang berperan dalam aktivitas antidiabetes. Metode molecular docking meliputi penyiapan struktur reseptor, penyiapan senyawa bioaktif, simulasi docking, dan analisis farmakofor (Nugraha, 2016). Penambatan Molekular atau molecular docking adalah salah satu metode in silico (komputasi) khususnya bioinformatika untuk membantu mengidentifikasi target obat, mengeksplorasi struktur target dan situs aktif dalam menghasilkan kandidat obat baru. Teknik tersebut dilakukan berdasarkan afinitas pengikatannya, dan selanjutnya mengoptimalkan molekul dengan memperbaiki karakteristik pengikatan. Kekuatan pengikatan protein dan ligan terutama didasarkan pada interaksi hidrofobik. Interaksi protein-ligan sebanding dengan prinsip kunci dan gembok, di mana gembok tersebut mengkodekan protein dan kunci merupakan ligan (Pujiastuti, 2017). 11 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Fakultas Ilmu Farmasi, Universitas Prince of Songkla, Kampus Hat Yai, Thailand pada tahun 2017. 3.2. Alat dan Bahan 3.2.1. Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Oven untuk mengeringkan daun, ayakan No. 45 untuk menyaring serbuk, kolom Amberlite untuk fraksinasi, instrument HPLC menggunakan Agilent 1100, Autosampler merk Palo Alto, CA, kolom TSK-gel ODS-80Ts merk Tosoh Bioscience, Toyo Jepang), kolom Amberlite® digunakan untuk fraksinasi, mikroplate rider-96 untuk menentukan aktivitas penghambatan, perangkat lunak MOE 2015.1001 untuk pengujian secara In silico, dan alat-alat gelas lain yang digunakan untuk analisa. 3.2.2. Bahan Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun segar R. Nasutus. Bahan yang digunakan adalah pelarut etanol untuk ekstraksi, pelarut heksana dan etil asetat untuk isolasi, metanol untuk analisis menggunakan HPLC, αGlukosidase dari Saccharomyces cerevisiae (EC 3.2.1.20), p-nitrophenyl-α-Dglucopyranoside (pNPG) dan akarbosa diperoleh dari Sigma-Aldrich Chemical Co. (St. Louis, MO, USA), buffer potasium fosfat (pH 6,8), dimethylsulfoxida (DMSO), natrium karbonat, buffer kalium fosfat (pH 6,8). Semua bahan kimia lain yang digunakan adalah kelas analitis. 3.3. Prosedur Kerja 3.3.1. Pengumpulan dan Preparasi Sampel Daun segar R. nasutus dikumpulkan dan disimpan di herbarium Fakultas Ilmu Farmasi, Universitas Prince of Songkla, Kampus Hat Yai, Thailand, dengan 12 kode (No. 0011814). Daun dicuci dengan air kran dan dikeringkan pada suhu 60 ° C selama 24 jam dalam oven udara panas dan direduksi menjadi serbuk menggunakan penggiling, dan serbuk diayak dengan ayakan No. 45. 3.3.2. Ekstraksi dan Isolasi Serbuk kering RRE disiapkan diekstrak menggunakan etanol dengan kondisi refluks selama 1 jam. Ekstrak kemudian disaring dan dipekatkan di bawah tekanan. Metode ini menggunakan ekstraksi dibantu dengan gelombang mikro diikuti dengan langkah fraksinasi sederhana dengan kolom. Selain itu, hanya pelarut hijau, etanol dan air, yang digunakan dalam proses ekstraksi dan fraksinasi (Panichayupakaranant et al.,2009). Rhinacanthin-C (RC), RhinacanthinD (RD) dan Rhinacanthin-N (RN) diisolasi dari RRE menggunakan kolom silika gel yang dielusi oleh heksana dan etil acetat (99: 1, v/v). Struktur dari ketiga senyawa (Gambar 1) dikarakterisasi dengan 1H dan diperoleh dibandingkan dengan data 1H dan 13 13 C NMR , hasil yang C NMR dari literatur sebelumnya (Sendl et al., 1996; Wu et al., 1998). Gambar 3.1. Struktur kimia Dari Rhinacanthin-C (1), Rhinacanthin-D (2) dan Rhinacanthin-N (3). 13 3.3.3. Analisis HPLC dari RRE Analisis HPLC dilakukan menggunakan Agilent dilengkapi dengan detektor photodiode-array (PDA) dan autosampler. Pada analisis HPLC pemisahan dicapai secara isokratis pada kolom dengan ukuran 150 mm x 4,6 mm pada suhu 25 °C. Fase gerak terdiri dari metanol dan 5% asam asetat encer (80:20, v/v) dan dipompa dengan laju alir 1 mL/menit. Volume injeksi adalah 20 μL. Panjang gelombang kuantifikasi ditetapkan pada 254 nm (Panichayupakaranant et al., 2009). 3.3.4. Uji Penghambatan α-Glukosidase Aktivitas penghambatan α-glukosidase ditentukan menggunakan mikroplate rider-96. Secara singkat, ragi α-glukosidase (0,1 Unit/ml) dilarutkan dalam 0,1 M buffer potasium fosfat (pH 6,8), ini digunakan sebagai larutan enzim. Sebagai substrat, 0,375 mM p-nitrophenyl-a-D-glucopyranoside (pNPG) disiapkan dalam buffer yang sama (pH 6,8). Sampel: ekstrak, fraksi pelarut dan senyawa terisolasi secara individual dilarutkan dalam dimethylsulfoxide (DMSO). Setiap sampel (20 μl) dan larutan enzim (20 μl) dicampur di piring mikrotiter. Reaksi dimulai dengan menambahkan 40 μl substrat. Campuran reaksi diinkubasi pada 37 0C selama 40 menit. Setelah inkubasi, 80 μl (0,2 M) natrium karbonat dalam 0,1 M buffer kalium fosfat (pH 6,8) ditambahkan ke setiap sumur untuk memuaskan reaksi. Jumlah p-nitrophenol (pNP) dirilis secara kuantifikasi menggunakan MR Opsys pembacaan mikroplate rider-96 pada 405 nm. Sebagai kontrol pada pengujian menggunakan campuran reaksi yang sama, tetapi larutan sampel diganti dengan volume yang sama dengan buffer fosfat. Akarbosa dilarutkan dalam DMSO, digunakan sebagai kontrol positif. Penentuan dilakukan dalam rangkap tiga. Persentase penghambatan (%) dihitung dengan menggunakan Persamaan berikut : % Inhibition = (Ac –As) / Ac Sedangkan; Ac = Absorbansi kontrol, As = Absorbansi sampel. 14 3.3.5. Penentuan mekanisme inhibisi α -glukosidase Analisis kinetik enzim dilakukan berdasarkan pada penghambatan inhibitor α-glukosidase yang dijelaskan di atas. Konsentrasi α-glukosidase yang digunakan yaitu 0,1 unit/mL dan dilakukan variasi konsentrasi pNPG 0,16 sampai 2,65 mM dalam tanpa ditambahkan dan ditambahkan RRE dan RC (12,5, 25 dan 50 μg/mL). Penghambatan ditentukan oleh persamaan Lineweaver-Burk yang diperoleh dari grafik kecepatan reaksi (sumbu vertikal) dan konsentrasi substrat (sumbu horizontal) (Gu et al., 2009). 3.3.6. Penghambatan α-glukosidase RRE dan RC dalam kombinasi dengan akarbosa Berdasarkan nilai IC50 dari serangkaian data tiga konsentrasi (1/4IC50, 1/2IC50 dan IC50) pada RRE dan RC serta campurannya dengan akarbosa disiapkan untuk menyelidiki efek penghambatan sampel dengan obat akarbosa sebagai kontrol pada α-glukosidase (Gao, et al., 2013). Reaksi dilakukan sesuai dengan uji penghambatan α-glukosidase di atas. 3.3.7. Pengujian secara In silico Pemodelan molekuler dilakukan untuk menyelidiki mekanisme penghambatan α-glukosidase dengan RC. Urutan FASTA untuk S. cerevisiae αglukosidase diambil dari Uniprot (kode aksesi P53051.1). Model ini dikembangkan menggunakan SWISS MODEL. Perangkat lunak MOE 2015.1001 digunakan untuk menghasilkan plot energi Ramachandran dan Rotamer (threshold = 1 kkal/mol). Model yang dikembangkan menjadi sasaran minimisasi energi dengan menggunakan medan gaya AMBER10 di MOE. Model pembangun di MOE-2015.1001 digunakan untuk menghasilkan struktur kimia RC. Studi docking molekuler dilakukan dengan menggunakan protokol yang sudah dikembangkan sebelumnya (Barakat et al., 2016). Simulasi 10 ns Molecular Dynamik (MD) dilakukan dengan AMBER14 (Case et al., 2014) untuk menganalisis stabilitas kompleks protein-ligan dan interaksi yang diamati selama docking. Protein dan ligan parameter masing-masing dioptimalkan 15 menggunakan AMBER99SB dan medan gaya AMBER umum (GAFF). Sebuah molekul air (10 Ằ) dihasilkan di bawah kondisi batas periodik, yang dilepaskan menggunakan '3-point water model' (TIP3 P). Untuk menetralisir permukaan protein, ditambahkan 16 ion Na+ dan digunakan untuk menggantikan molekul air pada posisi yang menguntungkan. Untuk menghilangkan bentrokan sterik, sistem tersebut mengalami minimisasi singkat. Serangkaian minimalisasi dilakukan dengan cara bertahap dengan mengurangi regangan dari 25 hingga 5 kkal/mol.Å2. Setelah itu, dilakukan minimisasi komprehensif yang tidak terkendali. Suhu ditingkatkan secara bertahap mulai dari 0 hingga 300 K lebih dari 500 ps dan sistem selanjutnya diseimbangkan untuk 500 ps lebih lanjut pada tekanan konstan (1 bar) dan suhu 300 K. Panjang ikatan yang melibatkan atom hidrogen dibatasi menggunakan algoritma SHAKE dengan pembatasan harmonik sebesar 25 kkal/mol.Å. Akhirnya, produksi 10 ns dilakukan dengan langkah waktu 2 fs pada tekanan konstan (1 bar) dan suhu 300 K. Lintasan yang dihasilkan dianalisis menggunakan modul CPPTRAJ dan diimplementasikan dalam AMBERTOOLS15 dan VMD. 16 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kandungan Total Rhinacanthin Dalam Ekstrak Etanol Mentah dan Ekstrak Rhinacanthin-Rich Tabel 4.1. Kandungan total Senyawa Rhinacanthin (%b/b) Konten Rhinacanthin (% b/b ; Mean ± SD) Senyawa Ekstrak etanol mentah Ekstrak Rhinacanthins-rich Rhinacanthin-C 6.6 ± 0.10 62.2 ± 2.3 Rhinacanthin-D 1.1 ± 0.02 7.9 ± 0.1 Rhinacanthin-N 0.5 ± 0.01 3.6 ± 0.2 Total rhinacanthins 8.2 73.7 4.1.2. Aktivitas Penghambatan α-Glukosidase Dari Ekstrak RhinacanthinRich Dan Rhinacanthin-C. Tabel 4.2. Aktivitas Penghambatan α-Glukosidase Senyawa RRE Rhinacanthin-C Rhinacanthin-D Rhinacanthin-N Akarbosa IC50 (lg/mL) 25.0 ± 0.8a 22.6 ± 0.6a 71.5 ± 1.0b t.a.* Inhibisi konsentrasi dinyatakan sebagai mean ± STD (n = 3). Nilai ratarata diikuti oleh huruf berbeda secara signifikan berbeda (P 0,05). * Tidak aktif. 4.2. Pembahasan 4.2.1. RRE Ekstraksi Dan Standardisasi Pembuatan RRE dilakukan sesuai dengan metode penelitian sebelumnya (Panichayupakaranant et al., 2009). RRE mengandung kandungan tertinggi 17 rhinacanthins (73,7% b/b) sama dengan yang dilaporkan sebelumnya (Tabel 1) dan RC ditemukan menjadi konstituen utama (62,2% b/b). Green chemistry yang dikembangkan dalam persiapan RRE dan RRE yang diperoleh sangat cocok untuk aplikasi nutraceutical dan industri dalam hal keselamatan dan biaya rendah. 4.2.2. Aktivitas Penghambatan α-Glukosidase RRE Dan Senyawa Penanda Efek penghambatan RRE dan senyawa penandanya RC, RD dan RN terhadap α-glukosidase dinilai untuk melihat potensi sebagai antidiabetes. RC dan RRE menunjukkan aktivitas penghambatan terbaik terhadap α-glukosidase dengan nilai IC50 yaitu 22,6 μg/mL dan 25,0 μg/mL, yang aktivitas jauh lebih tinggi daripada akarbosa (nilai IC50 395 μg/mL) (Tabel 2). RRE dan RC menunjukkan aktivitas penghambatan α-glukosidase yang hampir sama yang sebelumnya pernah dilaporkan memiliki aktivitas antimikroba dan antiinflamasi yang hampir setara. RD, minor naphthoquinone ester dari RRE, juga menunjukkan aktivitas penghambatan yang baik, dengan nilai IC50 71,5 μg/mL, sedangkan RN ditemukan menjadi tidak aktif. Hal ini dikarenakan cincin aromatik tersubstitusi kelompok R pada rhinacanthins (Gambar 3.1) dapat mengurangi efek penghambatan α-glukosidase mereka dengan gangguan pada situs pengikatan enzim. Baru-baru ini, RC telah menunjukkan potensi antidiabetes pada tikus diabetes yang diinduksi streptozotocin-ni cotinamide. Peningkatan penyerapan glukosa oleh aditocites, ekspresi GLUT2 pankreas dan efek protektif pankreas karena menurunkan inflamasi dan mediator apoptosis selular telah diusulkan untuk menjelaskan aktivitas antidiabetes RC (Adam et al., 2016). Penelitian ini adalah laporan pertama mengenai penghambatan α-glukosidase sebagai mekanisme antidiabetes untuk RRE dan senyawa penandanya. 4.2.3. Mekanisme Penghambatan RRE Dan Aktivitas Sinergisnya Dengan Akarbosa Untuk menentukan mekanisme inhibisi, RRE dan RC digunakan dalam tiga konsentrasi yang berbeda yaitu 12,5, 25 dan 50 μg/mL sebagai inhibitor dalam eksperimen kinetik untuk menjelaskan jenis inhibisi. Kemungkinan interferensi oleh RRE dan RC diperiksa pada lima konsentrasi pNPG yang 18 berbeda yaitu 0,16-2,65 mM. Absorbansi pertama kali diplot terhadap waktu untuk memperoleh kecepatan reaksi dan kecepatan kemudian diplot terhadap timbal balik konsentrasi substrat untuk membuat persamaan Lineweaver-Burk. Persamaan Lineweaver-Burk untuk penghambatan α-glukosidase oleh RC dan RRE dihasilkan berupa garis lurus, yang berpotongan pada titik yang sama pada sumbu X di kuadran kedua, menunjukkan penghambatan nonkompetitif (Gambar 4.3). Gambar 4.3 Persamaan Lineweaver-Burk dari ekstrak rhinacanthin-C (A) dan ekstrak rhinacanthins-rich (B) terhadap α-glukosidase pada konsentrasi berbeda dari pNPG. Akarbosa adalah inhibitor α-glukosidase kompetitif (Ag. H, 1994), sehingga menarik untuk menetapkan apakah RRE dan RC, sebagai inhibitor nonkompetitif, mungkin berinteraksi secara sinergis dengan akarbosa dalam menghambat aktivitas α-glukosidase. Percobaan dilakukan pada tiga konsentrasi 19 yang berbeda pada 1⁄4IC50, 1⁄2IC50 dan IC50. Ditemukan bahwa konsentrasi yang lebih rendah dari akarbosa dikombinasikan dengan RRE dan RC di 1/2IC50 1/4IC50 dan mengakibatkan penghambatan yang signifikan dibandingkan dengan senyawa individu pada konsentrasi yang sama (Gambar 4.4) menunjukkan aktivitas penghambatan sinergis terhadap α-glukosidase. Temuan ini menunjukkan bahwa kombinasi akarbosa dengan RRE atau RC memiliki mekanisme penghambatan yang berbeda dapat menghambat aktivitas αglukosidase lebih efektif pada dosis rendah dibandingkan dengan senyawa tunggal, menghasilkan pengurangan glukosa darah postprandial pada DM tipe-2 dan menghindari efek buruk karena akarbosa. Gambar 4.4. Persentase penghambatan α-glukosidase oleh akarbosa, RRE dan RC, dan gabungan akarbosa dengan RRE (A + RRE) dan RC (A + RC) pada konsentrasi yang berbeda pada dasar dari IC50. Hasilnya dinyatakan sebagai mean ± SEM (n = 3). Nilai rata-rata diikuti dengan huruf berbeda secara signifikan berbeda (P 0,05). 4.2.4. Pengujian Secara In silico Penentuan struktur dari ragi α-glukosidase belum sepenuhnya teratasi. Oleh karena itu, digunakan aplikasi SWISS MODEL untuk memperoleh titik koordinat tiga dimensi dari S. cerevisiae dengan menggunakan urutan fasta dari αglukosidase, dengan kode akses P53051.1. struktur kristalografi kompleks ragi oligo-1,6-glukosidase dengan inhibitor maltose kompotitifnya (PDB 3AJ7) 20 diidentifikasi sebagai template yang paling sesuai dengan identitas urutan dan kesamaan dengan nilai masing-masing yaitu 72,68 dan 0,54. Hasil dari nilai Qmean model yaitu 0,729 yang menandakan keandalan model. Nilai Root Mean Square Deviation (RMSD) antara model dengan template adalah 0,19 Ǻ. Kualitas dari permodelan dinilai menggunakan persamaan Ramachandran dan Rotamer. Garis Ramachandran berguna untuk evaluasi sudut backbone dihedral, sedangkan persamaan Rotamer menampilkan konformasi yang menguntungkan untuk diadopsi oleh rantai samping asam amino tergantung pada energi regangan relatif dari rantai samping (Renfrew et al., 2008). Seperti terlihat pada gambar 4.5.A. sebagian besar residu terletak di wilayah inti kecuali TYR286 dan THR 566. Pada gambar 4.5.B terlihat energy rotamer yang dihasilkan oleh model berada di bawah ambang batas yaitu 5 kkal/mol. Hasil ini menunjukkan bahwa model yang digunakan dalam permodelan ini merupakan model yang sudah benar dan tepat keandalannya. 21 Gambar 4.5. Visual yang menunjukkan hasil penilaian model. Grafik di atas menunjukkan kontur Ramachandran untuk model yang baru dikembangkan. Titik hijau menyumbang posisi residu di wilayah inti. Sementara, (+) tanda menyoroti outlier. Profil rotamer dari model yang baru dikembangkan menyoroti energi rantai samping setiap asam amino. Energi berada di bawah ambang batas yang mengucapkan kualitas model yang baik. Pengujian mekanisme penghambatan α-glukosidase oleh RC itu secara studi docking molekuler dilakukan sesuai dengan protokol yang sudah dijelaskan oleh penelitian sebelumnya (Barakat et al., 2016). Aplikasi MOE-dock digunakan untuk menghasilkan 100 konformasi RC. Posisi yang dihasilkan berbentuk berkerumun dan posisi yang menghasilkan skor tertinggi dipilih untuk dianalisis lebih lanjut. Model pengikatan dan bentuk interaksi RC dengan α-glukosidase direpresentasikan pada Gambar 4.6. Model permukaan MSMS dari protein menunjukkan bahwa keberadaan residu dasar di sekitar cincin naphthoquinone dari ligan dilengkapi dengan ikatan yang relatif lebih elektronegatif dari ligan. Ekor ligan yang mengandung rantai alifatik telah terlipat untuk berikatan di dalam alur hidrofobik dari protein. 22 Gambar 4.6. Model MSMS dari S. cerevisiae α-glukosidase seperti yang diberikan oleh distribusi columbik. Elektronegativitas digambarkan oleh Red, hidrofobikitas digambarkan oleh putih sementara warna biru menyoroti daerah elektropositif. Gambar kotak menggambarkan interaksi dimediasi oleh RC dengan protein. Juga penting dalam gambar sebagai residu yang melapisi alur hidrofobik dalam rongga yang membantu dalam pembentukan kontak apolar dengan ekor ligan. Bentuk interaksi ligan-protein mengkonfirmasi pembentukan berbagai ikatan hidrogen dan hidrofobik antara RC dan α-glukosidase. Seperti yang digambarkan pada Gambar 4.6, inti dari RC telah terikat pada protein melalui interaksi ligan bidentat dengan LYS232 dan 414. Ikatan hidrogen lainnya juga diamati antara backbone atom N dari SER157 dan RC. Inti hidrofobik yang mengelilingi ekor ligan termasuk residu LYS143, PRO144, THR160 dan PHE161. Afinitas yang diamati dalam molecular docking (MD) antara ligan dan enzim membantu menjelaskan temuan eksperimental tentang penghambatan tertinggi pada aktivitas α-glukosidase oleh RC. Untuk menyelidiki stabilitas model ligan-protein yang diusulkan, dilakukan simulasi selama 10 ns dari semua atom yang dilakukan simulasi MD dengan menggunakan aplikasi AMBER14. Simulasi MD dilakukan sebagai teknik utama dalam berbagai aplikasi untuk merancang molekul bioaktif dan menyelidiki cara kerja mereka. Terlepas dari informasi mengenai jarak dan interaksi antara ligan dan residu yang menarik, lintasan MD memungkinkan estimasi stabilitas keseluruhan kompleks. Telah dilakukan pengukuran mengenai karakteristik yang berbeda dari sistem untuk mengukur perbedaan dinamis yang diinduksi dalam sistem pada pengikatan ligan. Root Mean Square Deviation (RMSD) adalah nilai 23 yang mengukur stabilitas kompleks. Semakin rendah RMSD semakin tinggi stabilitasnya. Nilai RMSD rata-rata dari dua sistem yaitu apo dan kompleks, masing-masing adalah 1,5 dan 2,0 Ǻ,. Berdasarkan Gambar 4.7.A menunjukkan bahwa lebih banyak fluktuasi kompleks dibandingkan dengan fluktuasi apo, meskipun keseluruhan sistem tetap tidak stabil. Selanjutnya, untuk menyelidiki sifat yang tepat dari penyimpangan ini, dilakukan perhitungan Root Mean Square Fluctuation (RMSF). Berdasarkan Gambar 4.7.B ditemukan fluktuasi yang lebih tinggi dalam kasus kompleks α-glukosidase-RC dengan penyimpangan yang lebih tinggi dalam kasus residu LYS229, ASP278, dan GLU548. Inspeksi visual dari residu-residu ini yang dianotasikan oleh struktur sekunder menunjukkan bahwa residu-residu ini ada dalam loop-loop terbuka yang sangat dinamis di alam. Analisis visual lintasan MD mengungkapkan bahwa ligan terikat protein melalui ikatan hidrogen selama 2 ns pertama dari simulasi. Ligan menunjukkan perpindahan signifikan dan terdapat perbedaan 2,46 Ǻ di koordinat sebelum dan sesudah simulasi. Selain itu, dilakukan penstabilan interaksi oleh interaksi hidrofobik yang ditampilkan oleh ligan. 24 Gambar 4.7. Grafik menunjukkan fluktuasi rata-rata akar sebagai fungsi residu angka (A) dan deviasi kuadrat akar rata-rata sebagai fungsi waktu (B) back bone protein. 25 BAB V KESIMPULAN 5.1. Kesimpulan Dari penulisan didapat kesimpulan bahwa : 1. Ekstrak RRE mengandung RC sebesar 62,2%. 2. Ekstrak diperoleh dari daun R. Nasutus menggunakan metode green chemistry 3. Aktivitas ekstrak REE menunjukkan efek inhibisi non kompetitif dan sangat mungkin sebagai obat alternatif antidiabetes alami, untuk mengontrol kadar glukosa darah postprandial 4. Ekstrak juga menunjukkan efek penghambatan sinergis ketika dikombinasi dengan akarbosa untuk penggunaan klinis. 26 DAFTAR PUSTAKA Adam, S. H., Giribabu, N., Rao, P. V., Sayem, A. S. M., Arya, A., Panichayupakaranant, P., dan Salleh, N. 2016. Rhinacanthin C ameliorates hyperglycaemia, hyperlipidemia and pancreatic destruction in streptozotocin–nicotinamide induced adult male diabetic rats. European Journal of Pharmacology, 771, 173–190. Ag, H. 1994. Pharmacology of a-glucosidase inhibition. European Journal of Clinical Investigation. 24, 3–10. Aprina, H. P. 2012. Analisis komposisi asam amino gelatin sapi dan gelatin babi pada marsmallow menggunakan teknik kombinasi HPLC (High Performance Liquid Chromatography) dan PCA (Principal Component Analysis). Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta. Atun, S. 2014. Metode isolasi dan identifikasi struktur senyawa organik bahan alam. J. Konversi Cagar Budaya Borobudur. 8(2): 53-56. Barakat, A., Islam, M. S., Al-Majid, A. M., Ghabbour, H. A., Yousuf, S., Ashraf, M., dan Ul-Haq, Z. 2016. Synthesis of pyrimidine-2, 4, 6-trione derivatives: Anti-oxidant, anti-cancer, a-glucosidase, b-glucuronidase inhibition and their molecular docking studies. Bioorganic Chemistry, 68, 72–79. Bukke, S., Raghu, P. S., Sailaja, G., dan Kedam, T. R. 2011. The study on morphological, phytochemical and pharmacological aspects of Rhinacanthus nasutus. (L) Kurz. Journal of Applied Pharmaceutical Science. 01 (08): 26-32. Case, D. A., Babin, V., Berryman, J., Betz, R. M., Cai, Q., Cerutti, D. S., dan Goetz, A. W. 2014. Amber 14. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak. Jakarta. Farmasi, A., 2015. Uji efek antihiperglikemia ekstrak etanol daun nipah (Nypa fruticans Wurmb.) pada mencit yang diinduksi aloksan. Skripsi. Universitas Sumatra Utara. Medan. Febrinda, A. E., Astawan, M., Wresdiyati, T., dan Yuliana, N. D., 2013. Kapasitas antioksidan dan inhibitor alfa glukosidase ekstrak umbi bawang dayak. J. Teknol dan Industri Pangan, 24 (2). Fisman, E. Z., Michael, M., dan Tenenbaum, A. 2008. Non-insulin antidiabetic therapy in cardiac patients: Current problems and future prospects. In E. Z. Fisman, & A. Tenenbaum (Eds.), Cardiovascular diabetology: Clinical, metabolic and inflammatory facets. Advances cardiology : 154– 170. 27 Gao, J., Xu, P., Wang, Y., Wang, Y., dan Hochstetter, D. 2013. Combined effects of green tea extracts, green tea polyphenols or epigallocatechin gallate with acarbose on inhibition against a-amylase and a-glucosidase in vitro. Molecules, 18, 11614–11623. Gu, H. J., Lv, J. C., Yong, K. L., Chen, X., Liu, P. P., & Zhang, X. B. (2009). Antidiabetic effect of an active fraction extracted from dragon’s blood (Dracaena cochinchinensis). Journal of Enzyme Inhibition and Medicinal Chemistry. 24: 136–139. Harborne, J. B. 1987. Phytochemical Methods: Chapman and Hall, Ltd., London, pp. 49-188. Heinrich, M., Barnes, J., Gibbons, S., & Williansom, M,E. 2004. Fundamental Of Pharmacognosy and Phytotherapy. Philadelpia : Penerbit Elsevier. Hostettmann, Jalyeslml, F. dan Abo, K. A. 1995. Phytochemical and Antimicrobial analysis of the crude extract, petroleum ether and chloroform fractions of Euphorbia heterophylla Linn Whole Plant. University of Ibadan: Nigeria. Kernan, M. R. Et al. 1997. Phytomedicine. 1: 77-106. Kim, J.S., Hyun, T.K. dan Kim, M.J. 2008. The inhibitory effects of ethanol extracts from sorghum, foxtail millet and proso millet on α-glucosidase and α-amylase activities. Food Chem. 124: 1647–1651 Kodama, O., Ichikawa, H., Akatsuka, T., Santisopasri, V., Kato, A., dan Hayshi, Y. 1993. J. Nat. Prod. 56: 292-294 Kuwahara, S., Awai, N., Kodama, O., Howie, R. A., dan Thomson, R. H. 1995. J. Nat. Prod. 58: 1455-1458 Mukholifah.2014. Identifikasi senyawa tanin dan penentuan eluen terbaik dari ekstrak etanol 70% daun pepaya (Carica papaya sp.) dengan metode kromatografi lapis tipis. Skripsi. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. Malang. Nugraha, M. R., dan Hasanah, A. N. 2016. Review artikel: Metode pengujian aktivitas antidiabetes. Farmaka, 16 (3). Nurlaili. 2013. Isolasi Senyawa Metabolit Sekunder Dari Ekstrak Metanol Kulit Batang Tumbuhan Meranti Lilin (Shorea teysmanniana Dier). Skripsi. Universitas Muhammadiyah Riau. Pekanbaru. Panichayupakaranant, P., Charoonratana, T., dan Sirikatitham, A. 2009. RPHPLC analysis of rhinacanthins in Rhinacanthus nasutus: Validation and application for the preparation of rhinacanthin high-yielding extract. Journal of Chromatographic Science, 47, 705–708. Pasaribu, F., Sitorus, P., dan Bahri, S. 2012. Uji ekstrak etanol kulit buah manggis (Gracinia mangostana L.) terhadap penurunan kadar glukosa darah. Journal of Pharmaceutics and Pharmacology, 1 (1). Pratiwi, I. 2009. Uji Anti Bakteri Ektrak Kasar Daun Avalypha Indica Terhadap 28 Bakteri Salmonella Choleraesuis dan Salmonela Typhimurium. Surakarta: Jurusan Biologi FMIPA UNS. Pujiastusi, M. W., dan Sanjaya, I. G. M., 2017. Penentuan aktivitas senyawa turunan mangiferin sebagai antidiabetes pada diabetes mellitus tipe 2 secara in silico. Journal of Chemistry, 6 (3). Pujiyanto, S., dan Ferniah, R. S., 2010. Aktifitas inhibitor alpha-glukosidase bakteri endofit PR-3 yang diisolasi dari tanaman pare (momordica charantia). Bioma, 12 (1): 1-5 Renfrew, P. D., Butterfoss, G. L., dan Kuhlman, B. 2008. Using quantum mechanics to improve estimates of amino acid side chain rotamer energies. Proteins: Structure, Function, and Bioinformatics, 71, 1637– 1646. Sendl, A., Chen, J. L., Jolad, S. D., Stoddart, C., Rozhon, E., Kernan, M., dan Balick, M. 1996. Two new naphthoquinones with antiviral activity from Rhinacanthus nasutus. Journal of Natural Products, 59, 808–811. Wu, T. S., Hsu, H. C., Wu, P. L., Leu, Y. L., Chan, Y. Y., Chern, C. Y., dan Tien, H. J. 1998. Naphthoquinone esters from the root of Rhinacanthus nasutus. Chemical and Pharmaceutical Bulletin, 46, 413–418. 29