Adab Interaksi Sosial dalam Kehidupan Muslim (Adabut Ta'amul Fil Jama'ah) Manusia adalah makhluq sosial, dia tak bisa hidup seorang diri, atau mengasingkan diri dari kehidupan bermasyarakat. Dengan dasar penciptaan manusia yang memikul amanah berat menjadi khalifah di bumi, maka Islam memerintahkan ummat manusia untuk saling ta’awun, saling tolong-menolong, untuk tersebarnya nilai rahmatan lil alamin ajaran Islam. Maka Islam menganjurkan ummatnya untuk saling ta’awun dalam kebaikan saja dan tidak dibenarkan ta’awun dalam kejahatan ( QS Al Maaidah:2) Oleh karena itu manusia selalu memerlukan oranglain untuk terus mengingatkannya, agar tak tersesat dari jalan Islam. Allah SWT mengingatkan bahwa peringatan ini amat penting bagi kaum muslimin. “Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman” (Adz Dzariyat: 55) Bahkan Allah SWT menjadikan orang-orang yang selalu ta’awun dalam kebenaran dan kesabaran dalam kelompok orang yang tidak merugi hidupnya. (QS: Al Ashr: 13). Maka hendaknya ummat Islam mngerahkan segala daya dan upayanya untuk senantiasa mengadakan tashliihul mujtama’, perubahan ke arah kebaikan, pada masyarakat dengan memanfaatkan peluang, momen yang ada. Jika kita berada di bulan Ramadhan maka bisa melakukan ta’awun, misalnya dengan saling membangunkan untuk sahur, mengingatkan pentingnya memanfaatkan waktu selama menjalankan puasa. Mengingatkan agar jangan menyia-nyiakan puasa dengan amalan yang dilarang syari’at, dsb. Di bulan Syawal, lebih ditingkatkan lagi dengan hubungan sosial yang berkelanjutan, mengesankan. Bulan Dzulhijjah juga momen penting untuk merajut kembali benang-benang ukhuwah. Tentu saja harihari selain itu perlu kita tegakkan aktivitas-aktivitas sosial yang memang merupakan seruan Islam. 1. Silaturahim Islam menganjurkan silaturahim antar anggota keluarga baik yang dekat maupun yang jauh, apakah mahram ataupun bukan. Apalagi terhadap kedua orang tua. Islam bahkan mengkatagorikan tindak “pemutusan hubungan silaturahim” adalah dalam dosa-dosa besar. “Tidak masuk surga orang yang memutuskan hubungan silaturahim” (HR. Bukhari, Muslim) 2. Memuliakan tamu Tamu dalam Islam mempunyai kedudukan yang amat terhormat. Dan menghormati tamu termasuk dalam indikasi orang beriman. “…barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya” (HR. Bukhari, Muslim) 3. Menghormati tetangga Hal ini juga merupakan indikator apakah seseorang itu beriman atau belum. “…Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia memuliakan tetangganya” (HR. Bukhari, Muslim) Apa saja yang bisa dilakukan untuk memuliakan tetangga, diantaranya: - Menjaga hak-hak tetangga - Tidak mengganggu tetangga - Berbuat baik dan menghormatinya - Mendengarkan mereka - Menda’wahi mereka dan mendo’akannya, dst. 4. Saling menziarahi. Rasulullah SAW, sering menziarahi para sahabatnya. Beliau pernah menziarahi Qois bin Saad bin Ubaidah di rumahnya dan mendoakan: “Ya Allah, limpahkanlah shalawat-Mu serta rahmat-Mu buat keluatga Saad bin Ubadah”. Beliau juga berziarah kepada Abdullah bin Zaid bin Ashim, Jabir bin Abdullah juga sahabatsahabat lainnya. Ini menunjukkan betapa ziarah memiliki nilai positif dalam mengharmoniskan hidup bermasyarakat. “Abu Hurairah RA. Berkata: Bersabda Nabi SAW: Ada seorang berziyaroh pada temannya di suatu dusun, maka Allah menyuruh seorang malaikat (dengan rupa manusia) menghadang di tengah jalannya, dan ketika bertemu, Malaikat bertanya; hendak kemana engkau? Jawabnya; Saya akan pergi berziyaroh kepada seorang teman karena Allah, di dusun itu. Maka ditanya; Apakah kau merasa berhutang budi padanya atau membalas budi kebaikannya? Jawabnya; Tidak, hanya semata-mata kasih sayang kepadanya karena Allah. Berkata Malaikat; Saya utusan Allah kepadamu, bahwa Allah kasih kepadamu sebagaimana kau kasih kepada kawanmu itu karena Allah” (HR. Muslim). 5. Memberi ucapan selamat. Islam amat menganjurkan amal ini. Ucapan bisa dilakukan di acara pernikahan, kelahiran anak baru, menyambut bulan puasa. Dengan menggunakan sarana yang disesuaikan dengan zamannya. Untuk sekarang bisa menggunakan kartu ucapan selamat, mengirim telegram indah, telepon, internet, dsb. Sesungguhnya ucapan selamat terhadap suatu kebaikan itu merupakan hal yang dilakukan Allah SWT terhadap para Nabinya dan kepada hamba-hamba-Nya yang melakukan amalan surga. Misalnya; “Sampaikanlah kabar baik, kepada mereka yang suka mendengarkan nasihat dan mengikuti yang baik daripadanya” (Az Zumar: 17). “Maka Kami memberi selamat kepada Ibrahim akan mendapat putra yang sopan santun (sabar)”. (Al Maidah: 101), Rasulullah SAW juga memberikan kabar gembira (surga) kepada para sahabatnya semisal, Abu bakar RA, Umar bin Khaththab RA, Utsman RA, Ali RA, dsb. 6 Peduli dengan aktivitas sosial. Orang yang peduli dengan aktivitas orang di sekitarnya, serta sabar menghadapi resiko yang mungkin akan dihadapinya, seperti cemoohan, cercaan, serta sikap apatis masyarakat, adalah lebih daripada orang yang pada asalnya sudah enggan untuk berhadapan dengan resiko yang mungkin menghadang, sehingga ia memilih untuk mengisolir diri dan tidak menampakkan wajahnya di muka khalayak. “Seorang mukmin yang bergaul dengan orang lain dan sabar dengan gangguan mereka lebih baik dari mukmin yang tidak mau bergaul serta tidak sabar dengan gangguan mereka” (HR. Ibnu Majah, Tirmidzi, dan Ahmad). 7. Memberi bantuan sosial. Orang-orang lemah mendapat perhatian yang cukup tinggi dalam ajaran Islam. Kita diperintahkan untuk mengentaskannya. Bahkan orang yang tidak terbetik hatinya untuk menolong golongan lemah, atau mendorong orang lain untuk melakukan amal yang mulia ini dikatakan sebagai orang yang mendustakan agama. “Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin” (Al Maa’un: 13). BERINTERAKSI DENGAN NON MUSLIM - Muamalah dengan yang setimpal. - Tidak mengakui kekufuran mereka. - Berbuat yang adil terhadap mereka dan menahan diri dari mengganggu mereka. - Mengasihani mereka dengan rohamh insaniyah. - Menumjukkan kemuliaan akhlaq muslim dan izzah Islam. Dari uraian-uraian di atas jelaslah bahwa Islam menuntut ummatnya untuk menerapkan perilaku-perilaku kebaikan sosial. Untuk lebih luas lagi dapat dikatakan bahwa wujud nyata atau buah dari seorang mu’min yang rukuk, sujud, dan ibadah kepada Allah SWT adalah dengan melakukan aktivitas kebaikan. Seorang yang menyatakan diri beriman hendaknya senantiasa menyuguhkan , menyajikan kebaikan-kebaikan di tengah masyarakat. Jika setiap orang yang beriman rajin melakukan hal ini, maka lingkungan kita akan “surplus kebaikan”. Dus, defisit keburukan. Sementara yang terjadi sekarang adalah tata kehidupan sosial masyarakat yang “surplus keburukan”. Seseorang tidak akan merasa aman membawa uang dalam jumlah besar di jalan raya, di bus kota. Orang tidak tenang meninggalkan hartanya tanpa adanya sistem keamanan yang ketat. Fenomena seperti orang mudah sekali terprovokasi untuk anarkhi, mudah sekali berkelahi, masalah kecurangan, tipu menipu dalam perdagangan, dan sebagainya yang meliputi di hampir setiap bidang kehidupan kita. Semua membuat sesaknya nafas kehidupan ini. Memang sebenarnya negara ini bukan disesakkan oleh jumlah penduduknya tetapi akhlaq yang buruklah yang menyesakkan dada. Atas dasar inilah harus dibuat arus kebaikan, budaya kebaikan, sehingga orang mudah menemukan kebaikan dimana saja dia berada. Seseorang mudah mendapatkan salam dan senyum ketika bertemu orang lain walaupun belum saling kenal, tidak mudah curiga terhadap yang lain, banyak orang yang mampu menahan marah, mendapati orang suka berbuat baik, menolong dsb. Kondisi kehidupan seperti ini layaknya kehidupan zaman Rasulullah SAW, ataupun para salafush sholeh, dimana banyak orang berbuat baik tanpa disuruh dan diminta, hanya kerena mengharap ridho Allah SWT semata. Kita masih ingat kisah dua orang di zaman salafush shaleh, sedang mengadakan tarnsaksi jual beli sebidang tanah. Tanah telah dibeli oleh seorang pembelinya dan diolah tanah tersebut, ternyata dia mendapatkan sebatang emas dalam timbunan tanah tsb. Lantas dikembalikannya emas itu kepada si penjual, tapi ditolaknya, lantaran dia telah menjual semuanya apapun didalamnya. Namun si penemu emas (pembeli) tak bersedia menerima kembali karena dia hanya bermaksud membeli tanah. Terjadilah cek-cok saling menolak batangan emas. Akhirnya diadukan ke qodli, dan diputuskan dengan adil. Orang yang menemukan emas menikahkan anak laki-lakinya dengan anak perempuan si penjual tanah, dengan mahar emas tsb. Maka selesailah masalah. Demikianlah jika setiap kita suka berlomba dalam kebaikan maka dampaknya, yang akan menikmati hasilnya adalah kembali ke kita juga. Yaitu sebuah kehidupan yang kita impikan, surplus kebaikan. Di zaman sekarang ini surplusnya kebaikan hanya terjadi dalam waktu dan tempat yang tertentu saja. Misalnya hanya di bualan Ramadhan saja orang menahan marah, suka shodaqoh, jujur, dsb, dan setelah itu amalan tersebut langka. Di tempat tertentu misalnya hanya di seputar Ka’bah ketika bulan Hajji, di sana sering didapatkan orang memberikan uangnya kepada siapa saja yang ditemuinya, bahkan ada yang menyebarnya. Di Kuwait ketika Ramadhan telah tiba, saat menjelang ifthor, banyak warga yang membuka warung makan dan mempersilakan siapa saja untuk ifthor di sana, gratis! Sungguh nikmat jika adat seperti itu berjalan di sepanjang waktu dan di setiap tempat. Namun yang terjadi setelah bulan itu berlalu, kehidupan berjalan sebagaimana yang sebelumnya. Untuk itu hanya orang-orang mu’minlah satu-satunya manusia harapan untuk menciptakan peradaban seperti itu. “Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebaikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (Al Hajj: 77).