makalah islam - SIMBI

advertisement
Mam
MAKALAH ISLAM
Spirit Jum'at: Mari Bersilaturahim
9 Januari2015
Makalah Islam
Spirit Jum'at: Mari Bersilaturahim
Jaja Zarkasyi, MA
(Direktur Rumah Moderasi Islam/RUMI)
Kamis malam (8/1) yang lalu saya kedatangan dua
sahabat yang lama tak berjumpa, Ami Irvan dan Ami
Angga Marzuki. Ami Irvan kini tengah menempuh
jenjang profesi sebagai seorang perawat, sedangkan Ami
Angga bersiap menuju Pare Kediri untuk memperdalam
bahasa Inggris, program penguatan bahasa dari Ditjen
Pendis Kemenag. “Ami” merupakan panggilan akrab di
Pesantren Shighor, Gedongan Cirebon. Diambil dari kata
“’ammî” yang berarti “pamanku”, kata tersebut biasa
digunakan para santri saat memanggil kakak kelas atau
orang yang lebih tua. Bahkan hingga lulus pun, kami biasa
saling memanggil “ami”. Begitulah, sebuah sapaan yang
begitu menghadirkan kehangatan antara kami.
Keduanya tiba dengan membawa seabreg ide dan
harapan. Dalam kehangatan malam jum’at, bersamaan
dengan sahutan pengajian di beberapa masjid, kami larut
dalam sharing ide dan pengalaman. Perjumpaan malam
itu mungkin akan sangat biasa, layaknya kunjungan
lebaran atau libur sekolahan. Tapi bagi saya perbincangan
malam itu sangat luar biasa, setidaknya perjumpaan itu
memberi saya banyak wawasan. Ada banyak pelajaran
yang begitu berharga untuk diresapi, dihayati dan
diterapkan dalam kehidupan ini.
Ami Irvan bertutur tentang pengalamannya selama
menempuh jenjang profesi sebagai pearwat di beberapa
Rumah Sakit (RS) Jakarta. Ada banyak pasien yang telah
ia rawat, pun dengan berbagai pelajaran yang dapat
diperolehnya. Kepada saya ia bertutur,”Ternyata
keikhlasan dalam menghadapi rasa sakit seperti yang
diajarkan Abuya (panggilan untuk Kyai-red) baru saya
pahami secara utuh belakang ini. Pernah saya menjumpai
pasien yang begitu tenang walau jarum infus dan obatobatan menjadi temannya di kamar perawatan. Rupanya
ia tengah menikmati rasa sakit dan mengikhlaskan apapun
yang dirasanya, seraya berserah diri, tidak berusaha
melawan rasa sakit itu. Tak disangka, kepasrahan itu
mendorongnya lebih cepat keluar dari ruang perawatan.
Ternyata rasa sakit itu bukan untuk dilawan, dikeluhkan,
diratapi, karena semua itu menyebabkan munculnya sikap
su’udzhan (buruk sangka) dan dapat menurunkan daya
tahan tubuh. Akan tetapi rasa sakit harus dikhlaskan,
diresapi dan diambil hikmahnya, karena hal itu akan
meningkatkan kekebalan tubuh.”
Adapun Ami Angga bercerita tentang keinginannya
memperdalam bahasa. Datang dari keluarga yang
sederhana, ia menghabiskan bangku kuliah di Ciputat,
kampus yang penuh dengan dinamika pemikiran. Satu
yang selama ini menjadi sahabat setianya, yaitu
istiqomah. Ya, ia begitu istiqomah menempuh pendidikan
dan keahlian di bidang hadits. Kepada saya ia bertutur,
istiqomah itu sangatlah berat. Ada banyak godaan
mencoba menggoyahkan jalan yang kini ia tempuh, dari
mulai pekerjaan, organisasi hingga berkarir di
perkantoran. Namun baginya ia lebih membutuhkan
mengisi pengetahuan, wawasan dan keahlian. Bukan tidak
butuh semua itu, namun ia lebih memilih bersabar
menyelesaikan tahap demi tahap yang kini ia lalui,
berusaha menghindarkan diri dari ketergesa-gesaan. Dan,
pada akhirnya ia pun mendapat beasiswa persiapan
bahasa Inggris, tahap awal untuknya melanjutkan ke luar
negeri.
Saya sangat terinspirasi oleh celoteh keduanya.
Pertama, kisah tentang lelaki yang ikhlas menghadapi rasa
sakit membuka hati, betapa banyak sikap negatif saat
tubuh ini digerogoti penyakit. Entah lebih banyak mana,
mengeluh atau bersyukur saat rasa sakit dirasakan.
Mungkin kita lebih banyak mengeluh, meratapi, atau
bahkan mengumpat, merasa penyakit itu seakan enggan
beranjak padahal segala usaha telah dilakukan. Toh, sikap
tersebut tak akan mampu mengusir penyakit pergi. Ikhlas
bukan berarti diam dan tanpa usaha. Ikhlas dapat diartikan
sikap positif melihat sisi positif rasa sakit dan mengambil
perbaikan kualitas hidup. Dengan ikhlas segala bentuk
keburukan yang menimbulkan kerusakan sistem
kekebalan tubuh akan terungkap, dan berbagai kebaikan
untuk tubuh dapat segera dilakukan.
Kedua, istiqomah dalam sebuah rencana hidup
adalah syarat bagi kesuksesan. Ada banyak rencana,
keinginan dan cita-cita, namun tentunya itu harus
ditentukan skala prioritas. Saat kita menempuh satu citacita, maka yang dibutuhkan adalah istiqomah, fokus pada
tahapan demi tahapan, tidak disibukan dengan rencana-
rencana lainnya yang dapat merusak fokus dan
konsentrasi. Tantangan terbesar bagi para sarjana yang
baru saja lulus adalah bingung memilih apa yang harus
dikerjakan. Jika tidak disertai kemampuan menentukan
fokus dan sasaran, niscaya akan sulit baginya meraih
kesuksesan. Ini hanyalah sebuah teori memang, bisa benar
bahkan bias pula salah.
Silaturahim bukanlah sekedar melepas kangen, rasa
ingin tahu apa yang telah diraih sahabat kita nan jauh
disana. Lebih dari itu, silaturahim memberi hidayah
tentang kebijaksanaan hidup, tentang nilai-nilai luhur
Islam, tentang moralitas terbaik. Tak jarang kita
mendapatkan nasihat dari sahabat atau pun orang-orang
yang kita jumpai. Saat kebuntuan menghampiri, ternyata
sahabat memberi kita jalan keluar. Silaturahim memberi
kita motivasi untuk terus menunaikan kebajikan,
istiqomah dalam menempuh jalan kehidupan, bijak dalam
menyikapi dinamika hidup yang silih berganti
menghampiri.
Dalam kebuntuan pikiran, jenuh dengan rutinitas
atau bete tingkat tinggi, ada baiknya kita bersilaturahim
kepada orang tua, saudara atau bahkan orang-orang di
kampung, sekedar meminta nasihat dan melihat
bagaimana mereka menyikapi kehidupannya. Atau kita
dapat pergi menjumpai para sahabat seperjuangan saat di
bangku sekolah/kuliah, sekedar mengambil spirit
bagaimana mereka sukses dan istiqomah dalam karirnya.
Rehat dari berbagai aktifitas juga dapat diisi dengan
berziarah kepada para leluhur, ulama atau siapapun yang
dipandang memiliki jejak pengabdian bagi kehidupan ini,
karena ada banyak pelajaran dan spirit di balik kisah
kehidupan mereka yang patut kita ambil, kita pelajari dan
kita aktualisasikan dalam kehidupan.
Mempersempit Ruang Perbedaan
Dalam konsep luas, silaturahim adalah pintu untuk
mencairkan segala bentuk ketegangan yang disebabkan
perbedaan pandangan, orientasi politik hingga
pemahaman keagamaan. Berbeda pendapat atau bahkan
berdebat di alam bebas tentunya tidaklah baik bagi masa
depan Islam, setidaknya dapat kita lihat belakang ini.
Ruang publik banyak menyisakan prasangka dan praduga.
Jika terus berdebat di ruang publik dan liar, maka ruang
perbedaan itu semakin melebar. Bukan hanya itu,
perdebatan pun akan semakin tidak sehat, dalam arti tidak
menunjukkan subatansi dan cenderung mendorong pada
keberbedaan yang semakin lebar.
Silaturahim meniscayakan adanya tatap muka,
saling sapa dan bersalaman, itu semua akan memberi
ruang yang lebih sempit terhadap perbedaan. Dengan
saling menyapa, bersalaman dan bertatap muka, segala
bentuk kecurigaan dan prasangka setidaknya dapat
direduksi. Bisa saja perbedaan itu bukan perbedaan
pandangan, hanya ego pribadi yang dikendalikan oleh
orientasi politik dan kepentingan. Maka, saat berbagai
kepentingan menemukan titik temu, tak jarang perbedaan
pun ikut menghilang. Setidaknya ini dapat kita lihat dari
berbagai perbedaan yang sangat tajam, namun pada
akhirnya menghilang begitu saja saat dipertemukan dalam
satu meja atau forum.
Masjid, Mushalla dan tempat-tempat pengajian
merupakan media yang telah disediakan untuk
bersilaturahim. Ada pula momen-momen keagamaan,
perayaan hari besar Islam, itu semua dapat dijadikan
media bersilaturahim. Kita tentunya bisa membayangkan,
betapa indahnya jika spirit silaturahim menjadi tradisi
dalam mempersempit ruang perbedaan. Wallahu aa’lam
bishshawâb.
Sumber: bimasislam.kemenag.gi.id-informasi-opini
Download