AMI - ETD UGM

advertisement
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Penyakit Acute Myocardial Infarction (AMI) merupakan penyebab
kematian utama di dunia dan merupakan penyebab kematian pertama di Indonesia
pada tahun 2002 dengan angka mortalitas 220.000 (14%) (WHO, 2008). Penyakit
kardiovaskular adalah penyebab utama kematian di negara majudan diprediksikan
menjadi penyebab kematian terbesar di negara berkembang pada tahun 2020
(Murray & Lopez, 1997). Tahun 2020 diperkirakan akan terdapat 25 juta
kematian setiap tahun akibat penyakit kardiovaskular dimana hampir setengahnya
akibat penyakit jantung koroner. Pada tahun tersebut akan terdapat kenaikan
angka mortalitas lebih dari 100% akibat penyakit jantung iskemi (Irawan, 2006).
Penelitian Direktorat Jendral Pelayanan Medik Indonesia pada tahun 2007
jumlah pasien penyakit jantung yang menjalani rawat inap dan rawat jalan di
rumah sakit di Indonesia adalah 239.548 jiwa. Kasus terbanyak adalah panyakit
jantung iskemik, yaitu sekitar 110,183 kasus. Case Fatality Rate (CFR) tertinggi
terjadi pada AMI (13,49%) dan kemudian diikuti oleh gagal jantung (13,42%) dan
penyakit jantung lainnya (13,37%) (Depkes, 2009).
Angka kematian pada penyakit kardiovaskular di Indonesia meningkat
setiap tahunnya, tahun 2004 mendekati 30% dibandingkan tahun 1975 yang hanya
5%. DataSurvei Kesehatan Rumah Tangga Indonesia saat ini menunjukkan
penyakit serebrokardiovaskuler adalah penyebab kematian tertinggi di Indonesia.
Sebuah penelitian kohort selama 13 tahun di 3 wilayah di propinsi Jakarta ibukota
1
Indonesia menunjukkan penyakit arteri koroner merupakan penyebab kematian
tertinggi di Jakarta (Dharmaet al., 2012).
Acute Myocardial Infarction merupakan bentuk yang paling berbahaya di
antara penyakit jantung koroner (PJK) dengan angka kematian yang paling tinggi
(Alwi., 2006). Diperkirakan 700.000 penduduk Amerika akan mengalami
kejadian koroner pertama pada tahun 2006 dan 500.000 diantaranya akan rekuren
(American Heart Association, 2002).
Salah satu bagian dalam perjalanan klinis penyakit jantung koroner adalah
Acute Coronary Syndrome (ACS), yang secara klinis dibagi menjadi dua
manifestasi klinis berdasarkan gambaran elektrokardiografi (EKG) yaitu ST
elevation Myocardial Infarction (STEMI) dan Non ST elevation Acute Coronary
Syndrome (NSTEACS). Non ST elevation Acute Coronary Syndrome meliputi dua
kondisi yang secara patogenesis dan gambaran klinis sama namun dengan tingkat
keparahan yang berbeda yaitu Non ST-elevation Myocardial Infarction
(NSTEMI)dan unstable angina pectoris (UAP)(Braunwald et al., 2002).
Acute Myocardial Infarctionadalah nekrosis miokard yang berkembang
cepat oleh karena ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen otototot jantung (Fenton, 2009).Acute Myocardial Infarction mempunyai etiologi
yang heterogen. Penyebab yang paling sering adalah penyakit aterosklerosis pada
arteria koroner dengan erosi atau ruptur dari plak aterosklerosis. Erosi atau ruptur
plak menyebabkan paparan faktor-faktor prokoagulan pada inti ateroma dengan
trombosit yang bersirkulasi dan protein koagulasi. Hasil akhir dari proses ini
adalah terbentuknya trombus intrakoroner (Fuster et al., 1992).
2
Liporotein (a) [Lp(a)] merupakan salah satu penyebab terjadinya penyakit
kardioserebrovaskuler yang berkaitan dengan aterotrombosis (Dahlen et al.,
1986). Kadar Lp(a) yang tinggi berhubungan dengan terjadinya aterosklerosis
pada penyakit jantung koroner, restenosis, dan stroke iskemik (Kostner et al.,
1996). Kadar Lp(a) yang tinggi juga dapat memprediksi kejadian infark miokard
pada populasi umum. Peningkatan kadar di atas persentil 95 dapat memprediksi
kejadian infark miokard 3-4 kali lebih tinggi pada populasi umum dan risiko
absolut meningkat sekitar 20-30% baik pada pria maupun wanita (Smolderset al.,
2007).
Penelitian kardiologi klinis akhir-akhir ini meneliti peran lipid dan
penanda koagulasi sebagaifaktor risiko jantung berikutnya yang merugikan pada
pasien yang telah mengalami kerusakan miokard. Lipoprotein (a) berhubungan
dengan perkembangan lesi koroner baru sesudah serangan AMI. Potensi
aterotrombotik pada peningkatan kadar Lp(a) yang menyebabkan peningkatan
risikoburuk pada populasi yang telah menderita gangguan koroner protrombotik
masih harus diteliti lebih lanjut. Perlu adanya penelitian kohorttentang makna
prognostik berdasar kadar lipoprotein (a) pada pasien infak miokard (Stubbs et al.,
1998, Ikenaga et al., 2010).
Istilah major adverse cardiac events(MACE) atau major cardiac events
adalah
kejadian
kardiovaskuler
utama
selanjutnya
yang
merugikan,
merupakantitik akhiryang umum digunakandalam penelitiankardiovaskular.
DefinisiMACEadalah
gabungan
dariperistiwa
klinisdan
biasanyatermasuk
titikakhiryang mencerminkankeamanan dan efektivitas pengobatan. Definisi
3
standar untuk MACE tidak ada, luaran individu digunakan sebagai titik akhir
dengan cakupan berbeda-beda berdasarkan studi. Saat ini meskipun tidak ada
definisi standar, MACE secara rutin digunakan dan dilaporkan sebagai evaluasi
hasil prosedural, jangka pendek, dan jangka panjang, dan mungkin melibatkan
perawatan kardiovaskular lainnya (Kevin et al., 2008). Insidensi MACE selama
fase akut AMI terdiri dari berbagai macam, beberapa diantaranya dikategorikan
sebagai kematian kardiak, reinfark dan gangguan hemodinamik (gagal jantung
akut dan syok kardiogenik) (Stephen et al., 2010; Marcucci et al., 2005; Ikenaga
et al., 2010).
Peran Lp(a) sebagai prediktor kejadian kardiovaskular pada populasi sehat
maupun dengan riwayat PJK sebelumnya masih kontroversial. Beberapa
penelitian kasus-kontrol dan prospektif klinis menunjukkan peningkatan risiko
angina pektoris maupun infark miokard yang bermakna pada populasi dengan
kadar Lp(a) diatas persentil 75, meskipun beberapa studi lain gagal membuktikan
hal ini. Belum banyak studi yang mempelajari pengaruh kadar Lp(a) terhadap
kejadian kardiovaskular selanjutnya (Rini et al., 2007).Penelitian Nicholls et al.,
tahun 2010 menunjukkan kadar Lp(a) ≥ 30 mg/dL dihubungkan dengan
peningkatan kejadian MACE(41.8 vs. 35.8%, P = 0.005).
Penelitian yang dilakukan oleh Brunelli et al., (1995) tentang kenaikan
kadar Lp(a) pada ACS dan AMI di Gonoa menunjukkan kenaikan kadar Lp(a)
pada pasien dengan ACS namun tidak signifikan untuk menentukan derajat
keparahan. Penelitian Jae Yeong Cho et al.,(2010) menunjukkan pada pasien
dengan kelas Killip yang tinggi dan kadar Lp(a) yang tinggi berhubungan dengan
4
kejadian kardiovaskular jangka panjang yang merugikan. Penelitian lain yang
dilakukan oleh Stubb et al., (1998) secara prospektif menggunakan 513 pasien
suspek ACS menunjukkan bahwa Lp(a) merupakan prediktor kematian kardiak
pada pasien ACS.
Kadar Lp(a) dalam plasma dapat bervariasi karena ditentukan secara
genetik yaitu diturunkan secara autosomal dominan (Scanu, 1990). Beberapa
penelitian menunjukkan kadar Lp(a) yang berbeda pada kelompok etnis yang
berbeda.Selama ini penelitian terkait Lp(a) lebih banyak dilakukan di negara barat
yang memiliki ras yang berbeda dengan Indonesia sehingga dimungkinkan
didapatkan pola dan gambaran Lp(a) yang berbeda dengan subyek di Indonesia.
Sampai saat ini sejauh penelusuran penulis belum banyak penelitian terkait
gambaran Lp(a) pada pasien AMI di Indonesia.
B. Permasalahan
Berdasarkan fakta-fakta tersebut dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:
1) Insidensi AMI dari tahun ke tahun terus meningkat, dan memiliki angka
mortalitas dan morbiditas yang tinggi
2) Acute Myocardial Infarction(AMI) dapat mengarah pada terjadinya
MACEyang akhirnya dapat mengakibatkan kematian
3) Peningkatan kadar Lp(a) merupakan salah satu penyebab terjadinya
penyakit kardioserebrovaskuler dan perkembangan lesi koroner baru sesudah
serangan AMI berkaitan aterotrombosis,ditunjukkan dengan adanya peningkatan
5
kejadian MACE, sehingga diperlukan pengetahuan mengenai Lp(a)agar diketahui
perjalanan penyakit pasien sedini mungkin.
C. Pertanyaan Penelitian
Apakahkadar Lp(a) ≥30 mg/dLmemberikan risiko luaran buruk(major
adverse cardiac events) selama perawatan intensif pasien AMI.
D. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang Lp(a)terhadap pasien sindroma koroner akut sudah
dilakukan beberapa peneliti sebelumnya namun masih menunjukkan hasil yang
kontroversi.
Tabel 1. Keaslian penelitian
Nama
peneliti
Brunelli
et al.
Tahun
1995
Stubbs et 1998
al.
Rini
et al.
2007
Tempat
penelitian
Gonoa
Sampel
Populasi
Metode
Hasil
365
Sindroma
Koroner
Akut
(Unstable
Angina
Pectoris
danAMI)
Kohort
Terdapat
kenaikan kadar
Lp(a) pada pasien
dengan
SKA
namun
tidak
signifikan untuk
menentukan
derajat
keparahan.
London,
Inggris
266
AMI
Kohort
Pasien
AMI
dengan
kadar
Lp(a) ≥ 30 secara
signifikan
meningkatkan
62%
kematian
kardiak.
Jakarta
129
AMI
Kohort
Kadar Lp(a) yang
tinggi
bukan
merupakan
prediktor
kejadian
kardiovaskuler
pasca AMI
dengan
elevasi
6
segmen ST.
Cho
et al.
2010
Gwangju,
korea
832
AMI
Kohort
Pasien
dengan
kelas
Killip
tinggi dan kadar
Lp(a)
tinggi
secara signifikan
berhubungan
dengan kejadian
lanjutan
pasca
AMI
Nichollse
t al.
2010
Los
Angeles
2769
Pasien
AMIyang
menjalani
coronary
angiograp
hy
Kohort
Lp(a) ≥30 mg/dL
secara signifikan
berhubungan
dengan besarnya
kejadian MACE
Ikenagae
t al.
2010
Jepang
410
AMI
Kohort
Lp(a) yang tinggi
signifikanberhub
ungan
dengan
terjadinya MACE
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Pasien
Pemeriksaan kadar Lp(a) pada saat serangan AMIdiharapkan pasien
mendapatkan terapi dan tindakan yang cepat dan tepat sehingga dapat
menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat AMI, selain itu juga dapat
memberikan informasi bagi pasien dan keluarganya.
2. Bagi klinisi
Klinisi dapat menghemat waktu pemeriksaan dan diagnosis karena dengan
pemeriksaan kadar Lp(a) dapat dengan cepat melihat perjalanan penyakit
pasien, sehingga penatalaksanaan AMI dapat lebih tepat.
3. Bagi peneliti
7
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti ilmiah dalam
pengembangan dan optimalisasi pemanfaatan Lp(a) sebagai prediktor
luaran buruk(MACE) selamaperawatan intensif AMI.
F. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menilaikadar Lp(a) ≥30 mg/dLdalam
memberikan risikoluaran buruk(major adverse cardiac events) selama perawatan
intensif pasien AMI.
8
Download