Makanan berasal dari bahan pangan yang sudah atau tanpa mengalami pengolahan. Secara umum pangan didefinisikan sebagai suatu bahan yang diperlukan untuk mempertahankan kehidupan dan fungsi normal dari makhluk hidup baik jasad renik, tumbuhan, hewan atau manusia. Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang terpenting dalam peningkatan kualitas fisik, mental dan kecerdasan, yang dimaksud dengan pangan disini adalah semua produk yang dikonsumsi manusia baik dalam bentuk bahan mentah, setengah jadi maupun jadi yang meliputi produk-produk industri, restoran, katering serta makanan tradisional atau jajanan. Sekolah SD Inpres Bontomanai Makassar sebagai salah satu sekolah yang terletak ditengah-tengah masyarakat, seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, mengalami perkembangan yang sangat pesat khusus dalam bidang mikrobiologi pangan. Perkembangan pada bidang mikrobiologi pangan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat, namun tidak dapat dipungkiri bahwa ada sebagian produsen membuat makanan dengan mencampuri bahan pengawet dan peralatan yang digunakan untuk memasak juga kurang higenis serta lingkungan sekitar sekolah tidak mendukung adanya penjualan jajanan anak sekolah tersebut yang dimaksud disini adalah tempat penjualan makanan berdekatan dengan parit pembuangan air kotor sehingga dampak cemaran mikroba yang dapat ditimbulkan melalui lingkungan sekolah pun semakin bertambah, diakibatkan karena cara produsen menjual makanan tidak secara teratur, serta Sekolah SD Inpres Bontomanai tersebut tidak mempunyai kantin tersendiri diakibatkan anak-anak sekolah membeli jajanan sembarang di lingkungannya. Kualitas makanan dapat dilihat dari indikator mikrobiologi, fisik, dan kimianya. Kehadiran bakteri coliform merupakan indikator biologi adanya kontaminasi feses terhadap makanan jajanan anak sekolah. Cemaran oleh bakteri coliform tidak dikehendaki, baik ditinjau dari nilai estetika, kebersihan maupun kemungkinan terjadi infeksi yang berbahaya. Jika didalam 750 mL sampel terdapat >1100 bakteri coli, memungkinkan terjadinya penyakit yang pada keadaan tertentu dapat mengalahkan mekanisme pertahanan tubuh, antara lain dapat menyebabkan diare, penyakit septimia dan infeksi-infeksi lainnya. Kualitas mikrobiologi makanan jajanan anak sekolah dapat ditentukan berdasarkan nilai MPN Coliform, nilai MPN Coliform fekal dan jumlah koloni Escherichia coli. Kontaminasi bakteri coliform dapat menyebabkan penyakit infeksi saluran pencernaan seperti diare dan gangguan pencernaan lain. Indikator kualitas fisik seperti rasa dan aroma dari makanan tersebut sedangkan indikator kualitas kimia seperti suhu, pH dan nutrisi dari makanan merupakan indikator yang tidak secara langsung berhubungan dengan kesehatan. Kendati demikian, kualitas fisik dan kimia berhubungan dengan penentuan kelayakan makanan untuk dikonsumsi dalam kondisi minimum berdampak buruk bagi kesehatan. Coliform adalah kelompok bakteri Gram negatif berbentuk batang yang pada umumnya menghasilkan gas jika ditumbuhkan dalam medium laktosa. Salah satu anggota kelompok coliform adalah E.Coli. Karena E. coli adalah bakteri coliform yang ada pada kotoran manusia, maka E.coli sering disebut sebagai coliform fecal. Apabila pada bahan pangan terdapat coliform, berarti bahan pangan tersebut seperti empekempek, manisan mangga dan es putar telah tercemar oleh kotoran manusia. Bahan pangan ini kemungkinan juga mengandung bakteri-bakteri patogen yang berasal dari kotoran tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya pengujian tentang kandungan bakteri terutama golongan coliform yang ada di dalam bahan pangan tersebut. Adanya bakteri coliform merupakan indikator untuk mengetahui sejauh mana bahan pangan terkontaminasi oleh bahan buangan organisme khususnya bahanbahan feces (tinja). Di antara beberapa sumber bahan pangan terdapat perbedaan yang cukup nyata dalam hal resiko keamanan pangannya. Resiko bahaya dari bahan pangan atau makanan sangat beragam tergantung antara lain pada jenis dan tempat diperolehnya, serta peka tidaknya bahan makanan tersebut terhadap kerusakan. Kerusakan atau pencemaran bahan makanan tersebut dapat disebabkan oleh pencermaran dari bahan-bahan yang berbahaya seperti mikroba, bahan kimia atau benda lain yang dapat meracuni atau dapat menyebabkan kecelakaan. Seringnya kita mendengar dan melihat berita media massa bahwa ditemukan banyak kasus keracunan makanan di berbagai daerah di indonesia, hal ini sejalan dengan hasil analisis yang dilakukan oleh Badan Pengawan Obat dan Makanan (BPOM) yang menunjukkan bahwa kasus keracunan cenderung meningkat dari tahun 2001 yang hanya 26 kejadian menjadi 184 kejadian di tahun 2005. Keracunan pangan tersebut membawa konsekuensi dari sakit sampai meninggal dunia. Berdasarkan permasalahan diatas maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “ Analisis Bakteri Coliform Pada Jajanan Anak Sekolah SD Inpres Bontomanai Makassar Berdasarkan hal tersebut, diperlukan rencana sampling dan prosedur analisis yang tepat untuk memperoleh kinerja yang baik. Pada tahun 1997 Codex menerbitkan Principles for The Establishment and Application of Microbiological Criteria for Foods (CAC/GL 21-1997) yang sedang direvisi dan pada tahun 2012 pada step 5/8. Pedoman tersebut menyatakan bahwa kriteria mikrobiologi harus memenuhi kaidah yang mencakup jenis pangan, proses atau sistem pengawasan keamanan pangan dimana kriteria mikrobiologi ditetapkan; titik dalam rantai pangan tempat kriteria diaplikasikan; mikroba dan alasan penetapannya; batas maksimum mikroba (m dan M) atau batas maksimum lainnya (batas risiko); rencana sampling yang menjelaskan jumlah sampel yang akan diambil (n), ukuran unit sampel analisis atau yang diperlukan dan jumlah keberterimaan (c); tindakan yang harus diambil jika tidak memenuhi kriteria; serta metode analisis. Pada draft revisi, Codex menambahkan komponen tujuan dan indikator kinerja statistik. Format standar mikrobiologi sesuai Codex yang menetapkan rencana sampling menjadi layak diikuti. Makanan merupakan salah satu dari tiga unsur kebutuhan pokok manusia, selain kebutuhan sandang dan papan. Sandang dan papan menjadi kebutuhan pokok manusia karena keduanya berguna untuk memberi perlindungan bagi tiap manusia dalam menjalani proses kehidupan pribadinya maupun dalam hubungan interaksi sosial satu dengan yang lain (Sari, 2003). Sementara makanan merupakan sumber energi dan gizi bagi manusia untuk bisa melaksanakan aktivitasnya sehari-hari. Tanpa makanan, manusia tidak memiliki tenaga untuk bisa melaksanakan berbagai rutinitasnya setiap hari. Akan tetapi makanan-makanan tersebut mungkin saja dapat menjadi penyebab terjadinya gangguan dalam tubuh kita sehingga kita jatuh sakit (Santoso, 1999). Makanan jajanan merupakan makanan yang telah siap untuk dimakan dan yang terlebih dahulu dimasak di tempat produksi dan dijual di tempat umum seperti di pasar, sekolah, kampus dan tempat umum lainnya (Hartini, 2011). Apabila pada bahan pangan terdapat Coliform, berarti bahan pangan tersebut telah tercemar oleh kotoran manusia. Bahan pangan ini kemungkinan juga mengandung bakteribakteri patogen yang berasal dari kotoran tersebut. Cemaran oleh bakteri Coliform tidak dikehendaki, baik ditinjau dari nilai estetika, kebersihan, maupun kemungkinan terjadi infeksi yang berbahaya. Jika didalam 750 mL sampel terdapat >1100 bakteri Coliform, memungkinkan terjadinya penyakit yang pada keadaan tertentu dapat mengalahkan mekanisme pertahanan tubuh, antara lain dapat menyebabkan diare, dan infeksi-infeksi lainnya. Salah satu anggota kelompok Coliform adalah Escherichia Coli. Karena Escherichia coli adalah bakteri Coliform yang ada pada kotoran manusia, maka Escherichia coli sering disebut sebagai Coliform fecal. Kasus keracunan makanan di berbagai daerah di Indonesia sering diberitakan di media massa, hal ini sesuai dengan data Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI) menunjukkan pada tahun 2008 jumlah korban keracunan pangan Indonesia mencapai 25.268 orang dengan jumlah kasus sebanyak 8.943 kasus. Sementara di tahun 2009, jumlah korban berkurang menjadi 7.815 orang dengan jumlah kasus sebanyak 3.239 kasus. Data 2009 menyebutkan, Indonesia masih menjadi negara 10 tertinggi pasien diare yang akhirnya meninggal. Data BPOM RI pada 2011 menunjukkan terjadi 128 kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 38 KLB atau 29,69 % diakibatkan cemaran mikroba, sedangkan 19 KLB atau 14,84 % akibat cemaran bahan kimia. Sumber makanan yang disebut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebagai Pangan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) ini kebanyakan tercemar mikroba, 66 % pada 2012 dan mengalami peningkatan menjadi 76 % pada 2013. Salah satu sumber makanan yang berpotensi tercemar mikroba Coliform adalah makanan jajanan karena jajanan merupakan makanan dan minuman yang dipersiapkan dan dijual oleh pedagang kaki lima di jalanan dan tempat-tempat keramaian umum lainnya yang langsung dimakan dan dikonsumsi tanpa pengolahan dan persiapan semestinya. Kegemaran masyarakat akan jajan atau mengkonsumsi makanan ringan membuka peluang usaha bagi produsen dan semakin tingginya tingkat kegemaran akan jajan ditunjukkan dengan maraknya makanan jajanan yang dijual dan semakin beragam jenis makanan yang dijual termasuk di lingkungan Kampus II Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui kualitas mikrobiologis makanan jajanan di kampus II Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar. Penyakit diare masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia karena angka kematian dan kesakitannya masih tinggi dan cenderung meningkat. Pada tahun 2000 angka insiden diare dilaporkan 301 per 1000 penduduk, tahun 2003 (374 per 1000 penduduk), tahun 2006 (423 per 1000 penduduk) dan tahun 2010 (411 per 1000 penduduk). 1 Kejadian luar biasa (KLB) diare juga masih sering terjadi dengan tingkat kematian yang cukup tinggi. Pada tahun 2008 terjadi KLB di 69 kecamatan di Indonesia dengan jumlah kasus 8.133 orang dan jumlah kematian 239 orang (2,94%). Tahun 2009 terjadi KLB di 24 kecamatan dengan jumlah kasus 5.756 orang, dengan kematian 100 orang (1,74%), sedangkan tahun 2010 terjadi KLB diare di 33 kecamatan dengan jumlah penderita 4.204 dengan kematian 73 orang (1,74 %).1 Sumber KLB tersebut adalah air atau makanan yang tercemar. Lawar adalah salah satu jenis makanan yang konsumennya cukup banyak di Bali baik penduduk lokal maupun wisatawan domestik dan mancanegara.2 Berkaitan dengan industri pariwisata higiene makanan termasuk lawar sangat penting untuk diketahui dalam upaya untuk menentukan kebijakan yang berkaitan dengan kesehatan pariwisata. Kabupaten Gianyar adalah salah satu kabupaten yang memiliki beberapa objek wisata terkenal seperti Goa Lawah, Sukawati, Tirta empul, Ubud serta terkenal dengan wisata kulinernya. Berdasarkan hasil observasi banyak wisatawan yang mencoba makanan khas Bali seperti Lawar, Babi Guling, ayam betutu dan Jajanan Bali di kawasan wisata. Makanan tersebut harus memenuhi standar mikrobiologis agar dapat menjadi makanan yang layak untuk wisatawan. Oleh sebab itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan mikrobiologis dan higyene makanan lawar serta proses pengolahan lawar yang baik. Makanan sehat adalah makanan yang higienis dan bergizi, untuk memperoleh makanan sehat diperlukan beberapa persyaratan khusus diantaranya adalah pengolahan makanan yang memenuhi syarat, penyiapan makanan yang benar dan pengangkutan yang sesuai (Mukono, 2008). Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) makanan yang baik adalah makanan yang didalamnya terdapat kandungan gizi, bersih, dan terbebas dari bahan berbahaya, makanan adalah salah satu hal terpenting bagi kesehatan manusia, sehingga keamanan pangan yang dikonsumsi perlu terbebas dari kontaminasi baik yang disebabkan oleh bakteri mauapun bahan lain. Prinsip higiene dan sanitasi makanan adalah pengendalian 4 faktor penyehatan makanan, yaitu tempat atau bangunan, peralatan yang digunakan, orang yang mengolah, dan bahan yang diolah. Salah satu hal yang penting adalah alat makan dan peralatan masak berisiko dapat menimbulkan kontaminasi silang yang dapat menyebabkan food borne disease dan keracunan makanan. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya kontaminasi makanan oleh bakteri patogen, virus, dan jamur yang terdapat pada makanan sehingga mencemari makanan tersebut. Food borne disease dapat bersifat toksik, hal ini disebabkan karena agen penyakit yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui konsumsi pangan yang terkontaminasi (WHO, 2000). Menurut Undang-Undang no. 44 tahun 2009, rumah sakit merupakan salah satu sarana kesehatan yang menjadi tempat perkumpulan orang sakit maupun orang sehat yang dapat menjadi tempat penularan penyakit dan memungkinkan terjadinya suatu pencemaran lingkungan serta gangguan kesehatan. Kontaminasi yang disebabkan oleh bakteri pada makanan dan air yang terdapat di rumah sakit dapat diketahui dari hasil pemeriksaan bakteriologis di laboratorium (Marpaung dkk, 2012). Infeksi bawaan makanan dapat menimbulkan berbagai komplikasi penyakit diantaranya dapat memengaruhi sistem kardiovaskuler, ginjal, persendian, pernafasan, sampai dengan sistem imun (WHO, 2000). Pelayanan gizi di rumah sakit merupakan pelayanan yang mendukung upaya penyembuhan penderita dalam waktu sesingkat mungkin. Makanan yang memenuhi kebutuhan gizi akan mempercepat penyembuhan dan memperpendek hari rawat pasien. Makanan yang tidak dikelola dengan baik dan benar oleh penjamah makanan dapat berisiko menimbulkan dampak negatif, seperti gangguan kesehatan dan keracunan akibat bahan kimia maupun mikroorganisme, tumbuhan atau hewan, dan dapat pula menimbulkan alergi (Maria, 2011). Menurut WHO tahun 2005 di Amerika Serikat terdapat 1,8 juta orang yang meninggal karena diare dan adanya kontaminasi air minum. Bahkan setiap tahun negara ini mengalami 76 juta kasus keracunan makanan, 325 orang dirawat dan 5000 orang meninggal dunia akibat keracunan makanan (ALPI, 2011). Survei yang dilakukan WHO di Selandia Baru, Eropa, dan Amerika Serikat memperoleh hasil bahwa setiap tahun terdapat sampai dengan 10% orang yang menderita penyakit bawaan makanan (WHO, 2000). Penelitian Hisyam (2005) menyebutkan di Jakarta terdapat sebesar 41,1% angka infeksi nosokomial, sedangkan di Surabaya terdapat 73,3%, dan Yogyakarta terdapat angka infeksi nosokomial kurang lebih 5,9%. Angka kejadian nosokomial yang tergolong kecil tetapi cenderung meningkat terdapat di Pontianak yaitu 0.71% pada tahun 2003, meningkat menjadi 0.91% pada tahun 2004, dan 1.83% pada tahun 2005. Kandungan Escherichia coli pada peralatan makan dalam batas aman di instalasi gizi RSUP H. Adam Malik semarang, kantin Poltekkes Kemenkes Pontianak, instalasi sanitasi Rumah Sakit Umum Daerah Wates Kabupaten Kulon Progo, dan RS PKU Muhammadiyah Surakarta dalam penelitian Marpaung dkk. (2012), Yulia (2016), Handayani (2016), & Andriyani (2009). Tetapi dalam penelitian Kirana & Gunawan (2016) menyebutkan hasil pemeriksaan angka lempeng total sendok yang digunakan oleh pasien tidak memenuhi syarat. Terdapat bakteri Escherichia coli pada pemeriksaan makanan di RSUD Dr. Soedarsono dan di instalasi gizi RS X dalam penelitian Puspita dkk. (2010) & Apriliyani dkk. (2013). Penelitian Saridewi dkk. (2016) makanan siap saji dikantin RS X dan RS Y tidak mengadung bakteri Eschericia coli. Tahun 2011 di Indonesia tercatat 128 kasus keracunan makanan, terdapat sebanyak 18.144 orang terpapar oleh makanan yang terkontaminasi dan tahun 2012 terjadi sebanyak 6.901 kasus KLB keracunan pangan dan 11 orang meninggal. Di Indoensaia urutan kedua kasus keracunan pangan adalah Provinsi Jawa Tengah yaitu sebanyak 855 (12,39%) orang, posisi pertama kasus keracunan pangan adalah Provinsi Banten (16,94%) (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2012). Data BPOM 2014 terjadi sebanyak 47 kasus keracunan makanan yang menurun dari tahun 2013 sebanyak 84 kasus. Data keracunan makanan di Surabaya akibat bakteri Escherichia coli pada tahun 2015 sebanyak 93 kasus (Dinas Kesehatan Kota Surabaya, 2015). Penelitian Andriyani (2009) menyebutkan jumlah angka kuman pada alat makan terutama yang kontak langsung dengan pasien seperti sendok memungkinkan terjadinya penularan penyakit. Salah satu faktor yang memungkinkan terjadinya penularan di rumah sakit adalah sumber penyakit. Pasien merupakan sumber penularan penyakit. Pencucian alat makan dengan menggunakan detergen dan larutan klorin dapat menurunkan jumlah angka kuman pada alat makan di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta. Salah satu alasan pentingnya pemantauan higiene dan sanitasi makanan di pelayanan gizi rumah sakit karena selama proses produksi memiliki peluang terjadinya pencemaran yang dapat membahayakan konsumen. Pencemaran tersebut misalnya kontaminasi silang yang terjadi dari pekerja yang kurang menjaga kebersihan diri serta kebersihan alat yang kurang terjaga dan pencemaran yang diakibatkan oleh bahan kimia, mikroorganisme, tumbuhan, atau hewan. RSUD Dr. Soetomo Surabaya telah melakukan pemantauan higiene dan sanitasi makanan yang diproduksi oleh instalasi gizi RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Pemeriksaan rutin dilaksanakan setiap satu minggu yang meliputi usap alat makan, peralatan masak dan pengambilan sampel makanan untuk diperiksa di laboratorium instalasi sanitasi, selain pihak laboratorium instalasi sanitasi lingkungan juga bekerja sama dengan BBTKLPP Surabaya (Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit) bertujuan untuk memperoleh hasil banding dari pemeriksaan sampel makanan dan usap alat instalasi gizi RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Hal ini dilakukan karena alat makan dan peralatan masak dapat memengaruhi kontaminasi makanan yang dikonsumsi oleh pasien, hal ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana makanan tersebut dapat dipastikan aman untuk dikonsumsi pasien.