Uploaded by Hasna Aulia

Intoleransi; Implikasi Gagal Paham Beragama

Intoleransi; Implikasi Gagal Paham Beragama
Oleh : Hasna Aulia
Aktivis Pers Mahasiswa di LPM Invest UIN Walisongo Semarang
Praktik intoleransi oleh beberapa umat beragama seakan menjadi tren di Indonesia
dewasa ini. Namun gejala serupa sebenarnya banyak terjadi juga di berbagai negara.
Misalnya Amerika Latin, di mana penyebaran agama sarat akan kekerasan. Pertanyaannya
adalah apa benar agama sebagai sumber kekerasan? Bukankah pada dasarnya semua agama
itu nonviolence (antikekerasan)?
Secara konseptual, intoleransi adalah sikap tidak tenggang rasa terhadap sesama.
Dalam hal ini terjadinya praktik diskriminasi, baik fisik maupun sosial. Parahnya, intoleransi
kerap terjadi antarumat beragama yang notabene paham dengan ajaran-ajaran agamanya.
Seperti yang tercatat dalam sejarah, sejak dahulu banyak perselisihan dan kasus intoleransi
antarumat beragama, bahkan tak jarang perselisihan tersebut berujung pada peperangan.
Indonesia merupakan negara yang multiagama dan multibudaya, yang tentu saja tidak
lepas dari ancaman jerat praktik intoleransi. Dari sekian banyak kasus intoleransi,
perselisihan rumah ibadahlah yang kerap terjadi. Menurut hasil pemantauan Kepolisian
Republik Indonesia di tahun 2010 sampai 2012, tercatat sebanyak 196 kasus pengrusakan,
penyerangan, dan protes terhadap pendirian tempat ibadah. Rinciannya: sebanyak 142 kasus
terjadi di tempat ibadah Kristiani, 20 kasus di tempat ibadah Islam, 6 kasus di tempat ibadah
Hindu, dan 2 kasus di tempat ibadah lainnya.
Menurut Guru Besar Perbandingan Agama UIN Syarif Hidayatullah, M. Ridwan
Lubis dalam buku Hubungan Umat Beragama ada beberapa faktor yang menyebabkan
perselisihan tersebut. Pertama, sebagian umat beragama melihat mayoritas atau minoritas
menjadi lambang kualitas keberagamaan. Padahal populasi umat beragama tidak selalu
berbanding lurus dengan kualitas keberagamaan, melainkan tergantung dari komitmen umat
terhadap wawasan, penghayatan, pengamalan, jaringan serta keberadaan lembaga-lembaga
keagamaan.
Kedua, masyarakat menganggap bahwa rumah ibadah adalah wujud dari eksistensi
umat beragama. Keberadaan kelompok umat beragama lain belum siap diterima hegemoni
umat tertentu. Di sisi lain, masih banyak pendirian rumah ibadah yang tidak mengindahkan
peraturan baik dari pusat maupun daerah.
Ketiga, masyarkat belum benar-benar memahami makna kebangsaan. Di mana setiap
negara memiliki jarak yang sama terhadap negara, pun negara memiliki jarak yang sama
terhadap semua warga negara. Faktor-faktor tersebutlah yang memicu umat beragama seakan
berkontestasi mengunggulkan agamanya masing-masing tanpa memedulikan hak-hak
kelompok lain.
Salah Mengenal Tuhan
Menurut Nasution (1986) agama adalah ikatan (dari kekuatan gaib dan tidak dapat
ditangkap panca indra) yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Sedangkan beragama
adalah menganut atau memeluk agama. Singkatnya, agama adalah suatu ajaran. Sedangkan
beragama adalah kegiatan melakukan atau menganut ajaran.
Menurut Ibnu Khaldun agama merupakan kekuasaan integrasi, perukun, dan
pemersatu. Terbukti dari beberapa ajarannya, misalnya agama Buddha yang sangat
menjunjung tinggi ahimsa (antikekerasan) dan ajaran pokok kebajikan kasih sayang. Perintah
kasih sayang antar sesama juga tercermin dalam kitab suci Hindu. Salah satunya terjemahan
Artawa Veda 3. 30. “Aku jadikan engkau sehati, satu pikiran, bebas dari kebencian,
kasihilah satu sama lain seperti sapi mengasihi anaknya yang ia lahirkan,...”
Dalam Islam pun tak luput akan perintah perdamian, seperti yang tersurat dalam AlQuran yaitu “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah
(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya
kamu mendapat rahmat.” (Qs. Al-Hujurat : 10).
Ensiklik paling terkenal yang dikeluarkan oleh Paus Yohanes XXIII pada 11 April
1963, bahkan menegaskan pemahaman Gereja Katolik tentang bagaimana menciptakan
perdamaian di dunia. Ensikliknya Pacem In Terris (Damai di Bumi) ini kemudian yang
memantik munculnya dokumen Konsili Vatikan II dan paus-paus sesudahnya. Kalimat
pembukanya tertulis bahwa hal yang paling dirindukan seluruh manusia adalah kedamaian di
bumi. Kedamaian itu akan tegak hanya jika perintah Allah ditaati dengan setia.
Maka merupakan kekeliruan jika suatu kelompok mengatasnamakan agama sebagai
dasar melakukan kekerasan atau intoleransi. Karena menurut Francois Houtart “secara
apologis kandungan agama-agama adalah nonviolence, dan manusia lah, baik individu atau
kolektif yang menyelewengkan maknanya”.
Dari sini dapat diketahui bahwa konflik antar umat beragama sejatinya bermula dari
kekeliruan umat beragama itu sendiri dalam memahami agamanya. Karena tidak ada agama
yang mengajarkan kebencian. Maka pemahaman terhadap Tuhan pun harus diutamakan jika
ingin tercipta kedamaian. Hal ini selaras dengan paham Khonghucu, bahwa dalam rangka
menuju kesempurnaan hidup dengan memahami Tian (Tuhan) hanya dapat dicapai melalui
pemahaman manusia terhadap sesamanya.
Nah, upaya untuk mencapai pemahaman terhadap Tuhan, agama, dan manusia dapat
diterapkan sejak dini melalui pendidikan keluarga. Orang tua sangat berperan penting dalam
menumbuhkan pondasi pemikiran anaknya. Dengan cara memperkenalkan Tuhan secara
komprehensif dan menanamkan nilai-nilai agama secara humanis, setidaknya akan
menumbuhkan nalar generasi penerus bangsa yang berbudi.
Tidak selasai sampai di situ, pendidikan di sekolah oleh guru dan di lingkungan oleh
tokoh agama juga perlu diperhatikan agar pemahaman terhadap Tuhan dan agama tidak
menyimpang. Doktrin bahwa Tuhan menyayangi semua makhluk tanpa melihat perbedaan,
bahwa agama adalah simbol kerukunan dan kedamaian, bahwa kasih sayang antar manusia
adalah upaya beribadah kepada Tuhan, harus ditegakkan agar kontestasi keberagamaan
hilang. Sehingga tercapai prinsip agama yang sesungguhnya yaitu perdamaian.