Uploaded by User124384

Intoleransi Agama Saat Bulan Ramadhan

advertisement
Intoleransi Agama Saat Bulan Ramadhan
Sikap intoleransi agama saat bulan ramadhan yang terjadi saat ini tentunya tidak muncul
dengan sendirinya. Pastinya ada beberapa dorongan- dorongan eksternal maupun internal.
Intoleransi berbasis agama terjadi dikarenakana faktor kesenjangan pengetahuan dan ekonomi.
Kasus- kasus intoleransi bisa juga dipengaruhi oleh peraturan perundang- undangan yang
sifatnya diskriminatif. Ada empat pemicu yang membuat seseorang melakukan aksi intoleransi.
Pertama, perbedaan dalam memahami ajaran agama secara tekstual. Pemahaman ini
menghasilkan pengalaman yang berbeda bagi sesama penganut satu agama. Kedua, aksi
pemaksaan hak asasi yang dilakukan oleh kaum mayoritas kepada pihak minoritas. Aksi lainya
adalah pemakaian atribut keagaaman secara berlebihan dan menyombongkan diri dengan
segala atribut yang dipakainya. Ketiga, perbedaan adat istiadat juga dapat menjadi pemicu
terjadinya kasus intoleransi, faktor adat istiadat ini menyebabkan konflik yang dilator
belakangi fanatisme/ fanatic kesukuan. Keempat adalah ketidak adilan dari pihak aparatur
negara ataupun pemerintah dalam menangani berbagai masalah atau konflik yang terjadi,
mereka cenderung memihak pada salah satu kubu dengan alasan yang bermacam macam
seperti uang, agama, golongan, bahkan kasta.
Selain itu, menurut Wijaya, masalah intoleransi saat ini muncul karena adanya respon
terhadap perubahan sosial. Menguatnya politik idiologi, menguatnya kesenjangan sosial
ekonomi, menyebabkan adanya peningkatan gerakan intoleransi, akibatnya, hal-hal tersebut
di ekspresikan dalam nuansa keagamaan. Berkembangnya politik pasca kebenaran adalah
sebuah prinsip yang lebih percaya pada media mainstream, yang menyebarkan berita tidak
benar yang menyebabkan munculnya penyimpangan dalam tindakan masyarakat yang
mendapatinya. Orang beranggapan bahwa tidak perlu lagi adanya tolerasi, serta merasa kalah
sehingga perlu membalas pada hal yang lain. Masyarakat sangat tergantung pada media,
padahal media hanyalah sebuah perantara. Media yang tadinya sebuah alat yang dibuntuk oleh
masa itu sendiri berubah menjadi sekutu yang menyeramkan. “Harusnya media sendiri sudah
berusaha menjaga dirinya sebagai instrumen penjaga kebenaran, namun banyaknya
kepentingan-kepentingan yang ada mengubah media menjadi aliansi bisnis dan kepentingan
politik,” tegasnya. Karena itulah orang dengan mudah menerima berita bohong, sehingga
media seperti sudah menjadi indistri berita bohong. Soluinya adalah tidak menerima berita
media secara mutlak atau mantah mentah, kita harus mencari kebenaran dari berita itu. Sikap
yang negatif adalah sadar diri akan perbedaan dengan orang lain namun berusaha untuk
menghilangkan perbedaan itu, bukan malah mentoleransinya atau disebut dengan sikap rasis.
Padahal jika kita pahami masyarakat indonesia dulunya sangat beragam namun tetap pada
toleransi, seperti kata gusdur” yang sama tidak perlu dibeda bedakan, dan yang beda tidak perlu
disama samakan”
Munculnya benih benih perpecahan yang terjadi pada anak bangsa pada saat ini, yang
dipicu karena sentiment atau sensitifnya latar belakang suatu agama, menjadi keprihatinan
yang mendalam serta kewaspadaan untuk sejumlah eleman masyarakat yang menghendaki
kembalinya kehidupan masyarakat yang rukun dan damai. Aksi intolernasi yang sedang ramai
saat ini adalah pemaksaan aturan penutupan warung makan saat bulan ramadhan yang terjadi
di Serang, Banten hingga kasus penyitaan penanak nasi dari warung makan sehingga banyak
diperbincangkan. Banyak kritikan dan kecaman terhadap kasus ini di antaranya Ormas PBNU
dan Kementrian agama melalui juru bicara Abdul Rochmah yang sangat tidak setuju dengan
perbuatan tersebut. Masalah seperti inilah yang menurut saya sangat mengerikan, karena bagi
saya mau buka warung ataupun tidak, itu merupakan hak asasi yang dimiliki oleh seseorang.
Hal ini tidak sesuai dengan sila kedua pancasila yang berbunyi "Kemanusiaan yang adil dan
beradab". Dimana kita seharusnya mengakui persamaan hak, dan kewajiban asasi setiap
manusia, tanpa membeda-bedakan agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial,
warna kulit dan sebagainya. Tetap mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira
serta sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
Banyak yang mempersamasalahkan bahwa apabila membuka warung makan saat bulan
ramadhan banyak yang tergoda sehingga banyak yang batal puasa. Hal ini sebenarnya kurang
benar karena tujuan berpuasa adalah menjaga dan melatih hawa nafsu terhadap segala hal yang
dapat menimbulakan batalnya puasa. Banyak yang berpikiran bahwa apabila warung dibuka
saat puasa akan dianggap tidak menghormati ke mereka yang berpuasa. Menurut saya seperti
ini tidak perlu di permasalahkan, mereka yang memiliki warung memiliki hak untuk membuka
warung kapan saja akan tetapi setidaknya apabila ingin saling menghormati alangkah baiknya
apabila warung-warung makan memberikan suatu tirai penutup. Hal ini akan selaras dengan
sila pertama pancasila yang berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa". Dimana kita seharunya
mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dengan
penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Mengembangkan
sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaannya masing-masing. Tetap saling membina kerukunan hidup di antara sesama
umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Agama dan kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia
dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Pada prinsipnya semuanya harus saling menghormati, saling menghargai hak sesama,
menghargai dalam hal peribadahan. yang tidak ber puasa, harus menghormati yang berpuasa.
Demikian sebaliknya, yang berpuasa harus meng hormati yang tidak berpuasa. Agar
terciptanya kerukunan antar umat beragama. Hal ini akan sejalan dengan Pasal 29 UUD 1945
adalah ayat (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Ayat (2) berbunyi, Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Referensi:
Abdullah, M. (2001). Pluralisme Agama dan Kerukunan dalam Keagamaan. Jakarta: Kompas.
Ahmad, H. A. (Ed.). (2013). Survei nasional kerukunan umat beragama di Indonesia.
Kementerian Agama RI, Badan Litbang dan Diklat, Puslitbang Kehidupan Keagamaan.
Asshiddiqie, J. (2014, Februari). Toleransi dan Intoleransi Beragama di Indonesia Pasca
Reformasi. Makalah disampaikan pada Dialog Kebangsaan Ormas Gerakan Masyarakat
Penerus Bung Karno di Hotel Borobudur, Jakarta.
BBC. (2016, February 22). Sikap intoleran ‘kian meluas’ di masyarakat Indonesia. Dipetik
Februari
23,
2017,
dari
BBC
Indonesia:
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/02/160222_indonesia_intoleransi
Dewantara, A. (2017). Diskursus Filsafat Pancasila Dewasa Ini. Prosiding Seminar Nasional
Keindonesiaan I, 17 Februari 2016. ISBN: 978-602-0960-32-6
Digdoyo, E. (2018). Kajian Isu Toleransi Beragama, Budaya, Dan Tanggung Jawab Sosial
Media. JPK: Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan, Vol. 3, No. 1, Januari 2018 ISSN 25277057 (Electronic), ISSN 2545-2683 (Print). 42-60.
Hidayatulloh, M. T. (2014). Penistaan/Penodaan Agama dalam Perspektif Pemuka Agama
Islam di DKI Jakarta. Harmoni, 13(2), 104-116.
Wijaya, S. H. B., Mursito, B. M., & Anshori, M. (2013). Media Massa dan Intoleransi
Beragama (Studi Kasus tentang Wacana Intoleransi Beragama pada Surat Kabar Lokal di Kota
Surakarta Tahun 2012). Komunikasi, 6(2), 175.
Download