BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Thalasemia adalah suatu gangguan darah yang diturunkan ditandai oleh defisiensi produk rantai globulin pada hemoglobin (Suriadi, 2010). Penyakit thalasemia merupakan salah satu penyakit genetik tersering di dunia. Penyakit genetic ini diakibatkan oleh ketidakmampuan sumsum tulang membentuk protein yang dibutuhkan untuk memproduksi hemoglobin (Potts & Mandleco, 2007). Hemoglobin merupakan protein kaya zat besi yang berada di dalam sel darah merah yang berfungsi untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh bagian tubuh (McPhee & Ganong, 2010). Badan kesehatan dunia atau WHO (2012) menyatakan kurang lebih 7% dari penduduk dunia mempunyai gen thalasemia dimana angka kejadian tertinggi sampai dengan 40% kasusnya adalah di Asia. Prevalensi karier thalasemia di Indonesia mencapai 3-8%. Pada tahun 2009, kasus thalasemia di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 8,3% dari 3653 kasus yang tercatat di tahun 2006 (Wahyuni, 2010). Data yang didapatkan dari RSUD Arifin Achmad Pekanbaru, penyakit thalasemia menduduki peringkat pertama di ruang rawat inap anak. Jumlah penderita thalasemia pada tahun 2013 sebanyak 485 orang dan pada tahun 2014 jumlah pasien thalasemia sebanyak 488 orang (Rekam Medis RSUD Arifin Achmad Pekanbaru, 2014). Anak yang menderita thalasemia sering mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan reproduksi. Faktor yang berperan pada pasien thalasemia adalah factor genetik dan lingkungan. Selain itu hemoglobin juga berpengaruh, bila kadar hemoglobin dipertahankan tinggi, lebih kurang 10 g/dl disertai pencegahan hemokromatosis, maka gangguan pertumbuhan tidak terjadi (Arijanty, 2008). Gangguan 1 pertumbuhan pada penderita thalasemia disebabkan oleh kondisi anemia dan masalah endokrin. Kondisi anemia dan masalah endokrin ini dapat mengganggu proses pertumbuhan anak penderita thalasemia, sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan seperti postur yang pendek (Mariani, 2011). Penelitian yang dilakukan Febrianis (2009) menemukan adanya masalah pertumbuhan pada anak penderita thalasemia, yaitu mengalami malnutrisi berat sebanyak 20 orang (67%) dan juga ditemukan masalah perkembangan dimana anak penderita thalasemia mengalami suspek atau meragukan sebanyak 24 orang (80%). Penelitian yang dilakukan Asadi- Pooya, Karimi, dan Immanieh (2004) di Iran adanya hubungan antara kadar hemoglobin rata-rata sebelum transfusi dan kecepatan pertumbuhan. Tranfusi darah bertujuan untuk mempertahankan kadar hemoglobin 9-10 g/dl (Rahayu, 2012). Pemberian tranfusi darah secara terus-menerus akan menyebabkan terjadinya penumpukan besi pada jaringan parenkim hati dan disertai dengan kadar serum besi yang tinggi. Efek samping dari tranfusi adalah meningkatnya akumulasi zat besi dalam tubuh (Rudolph, Hoffmand, & Rudolph, 2007). Pemberian tranfusi yang berulang mengakibatkan kerusakan organorgan tubuh seperti hati, limpa, ginjal, jantung, tulang, dan pankreas. Terapi yang diberikan pada pasien yang melakukan tranfusi secara reguler adalah terapi kelasi besi. Pemberian kelasi besi (desferal) dimulai setelah diberikan saat kadar feritin serum ≥ 1.000 ng/mL, atau sudah mendapat transfusi darah 10-15 kali, dan sudah menerima darah sebanyak 3 liter. Kelebihan beban besi akan terjadi apabila penderita thalasemia dibiarkan tidak diterapi sehingga menyebabkan morbiditas berat dan kematian usia muda. Penelitian yang dilakukan Anggororini, Fadlyana, dan Idjradinata (2009) yang dilakukan pada anak usia 10-18 tahun di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung ditemukan sebanyak 25 (83%) anak kelompok dengan thalasemia mengalami keterlambatan pertumbuhan dan kematangan 2 seksual. Penyebab masalah ini adalah adanya perbedaan pemberian kelasi besi sehingga jumlah besi di dalam tubuh akan berbedabeda. Studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 4 Desember 2014 dengan mewawancarai 10 orang tua anak penderita thalasemia didapatkan bahwa semua orang tua anak penderita thalasemia mengatakan setiap bulan mereka membawa anaknya untuk ditranfusi, jika anaknya tidak mendapatkan tranfusi maka kondisi anak akan mudah lemah, tidak bertenaga, dan pucat. Data lain yang didapatkan dari studi pendahuluan yaitu 6 anak mengkonsumsi kelasi besi secara teratur dan 4 anak lainnya tidak teratur mengkonsumsi kelasi besi. Hasil pengukuran berat badan dan tinggi badan yang dilakukan peneliti, 3 dari 10 orang anak thalasemia mengalami masalah pertumbuhan seperti berat badan tidak sesuai dengan usia anak (Safitri, Ernawaty, & Karim, 2015). B. Tujuan Pembuatan Makalah Adapun tujuan pembuatan makalah yakni untuk memenuhi tugas kuliah mata ajar Keperawatan Anak II. 3 BAB II PEMBAHASAN A. Definisi Desferal (deferoxamine)merupakan obat cair yang diberikan di bawah kulit. Biasanya obat ini diberikan dengan menggunakan alat semacam “portable pump”. (Rakhmawati,2009) B. Tujuan Menurunkan/mencegah penumpukan Fe dalam tubuh baik itu hemochromatosis (penumpukan Fe di bawah kulit) atau pun hemosiderosis (penumpukan Fe dalam organ). (Rakhmawati, 2009) C. Indikasi/Kontraindiksi Indikasi 1. Dilakukan pada klien dengan thalasemia yang mendapatkan transfusi darah secara rutin (berulang). 2. Kadar Fe≥ 1000 mg/ml. 3. Dilakukan 4-7 kali dalam seminggu post transfuse. Kontraindikasi Tidak dilakukan pada klien dengan gagal ginjal. (Rakhmawati, 2009) D. Standar Operasional Prosedur 1. Pengkajian a. Menyampaikan salam kepada klien/keluarganya. b. Melakukan pengkajian kondisi klien meliputi : usia, tingkat hemocromatosis & hemosiderosis (kadar Fe). 2. Persiapan a. Mencuci tangan. b. Menyusun alat-alat yang diperlukan dengan memperhatikan teknik aseptic dan antiseptik. 4 Streril : 1) Syringe 10 cc 2) Wing needle Tidak Steril : 1) Alas 2) Bengkok 3) Kapas alkohol pada tempat tertutup 4) Infusa pump 5) Obat yang diperlukan (desferal) 6) Pengencer (aquadest steril) dalam botol 7) Perban gulung/kantong infusa pump 8) Plester 9) Gunting plester c. Mempersiapkan obat desferal sesuai kebutuhan. 1) Melakukan cek ulang obat yang akan diberikan sesuai perencanaan. 2) Mengkalkulasi dosis sesuai kebutuhan klien Usia > 5 tahun = 1 gram (2 vial) Usia < 5 tahun = 0,5 gram (1 vial) Mengencerkan obat dengan tepat : (catatan : 1 vial (0,5 gram) obat desferal dioplous dengan aquadest 4-5 cc). Membersihkan bagian atas botol aquadest dengan kapas alcohol dan menarik cairan aquadest dari botol secukupnya denganmenggunakan syringe/spuit 10 cc, kapas buang ke bengkok 3) Membersihkan bagian atas botol vial desferal dengan kapas alcohol dan membiarkan kering sendiri, membuang kapas alkohol ke bengkok 4) Memasukkan jarum syringe 10 cc yang berisi aquadest melalui karet penutup botol ke dalam botol 5 5) Kocok vial obat sampai mencampur rata 6) Memegang botol dengan tangan yang tidak dominan dan tarik obat sejumlah yang diperlukan 7) Memeriksa adanya udara dalam syringe/spuit, bila ada keluarkan dengan posisi tepat. 8) Mengecek ulang volume obat dengan tepat. 9) Menyambungkan syringe/spuit dengan wing needle. 10) Memeriksa kembali adanya udara dalam syringe/spuit & wingneedle, bila ada keluarkan dengan posisi yang tepat. 11) Menyiapkan infusa pump . 6 d. Membawa peralatan ke dekat klien. 3. Melakukan pemasangan desferal a. Mencuci tangan Menggunakan sarung tangan bila pada pasien yang menderita penyakit menular (AIDS, Hepatitis B) b. Menjaga privacy dan kenyamanan klien. 1) Mendekati dan mengidentifikasi klien. 2) Jelaskan prosedur kepada klien dengan bahasa yang jelas. 3) Memasang sampiran (bila perlu) c. Memperhatikan teknik aseptic dan antiseptic Mempersiapkan alat dan klien : 1) Menyiapkan plester untuk fiksasi. 2) Memasang alas/perlak. 3) Mendekatkan bengkok pada klien d. Menyuntikkan desferal dengan teknik steril 1) Bersihkan lokasi injeksi dengan alkohol dengan teknik sirkuler atau atas ke bawah sekali hapus. 2) Membuang kapas alkohol ke dalam bengkok. 7 3) Membiarkan lokasi kering sendiri 4) Menyuntikkan obat dengan tepat (subkutan : area m.deltoid) 5) Memfiksasi wing needle dengan plester e. Mengatur obat desferal pada alat infusa pump Memfiksasi infusa pump dengan menggunakan perban gulung (a) atau kantong infusa pump (b dan c). 8 f. Mencuci tangan 4. Evaluasi a. Melihat kondisi klien. b. Memperhatikan respon klien selama tindakan dilakukan. c. Menanyakan perasaan klien setelah tindakan dilakukan. 5. Mendokumentasikan tindakan a. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dan respon klien selama tindakan dan kondisi setelah tindakan b. Mencatat dengan jelas, mudah dibaca, ditandatangani disertai nama jelas c. Tulisan yang salah tidak dihapus tetapi dicoret dengan disertai paraf. d. Catatan dibuat dengan (Rakhmawati, 2009) 9 menggunak ballpoint atau tinta. E. Konsep yang mendasari: Konsep Medis (Thalasemia) 1. Definisi Talasemia merupakan penyakit anemia hemalitik dimana terjadi kerusakan sel darah merah di dalam pembuluh darah sehingga umur eritrosit menjadi pendek (kurang dari 100 hari). (Ngastiyah, 1997 : 377). Talasemia merupakan penyakit anemia hemolitik herediter yang diturunkan secara resesif. (Mansjoer, 2000 : 497). Thalasemia merupakan kelompok kelainan genetik heterogen yang timbul akibat berkurangnya kecepatan sintesis rantai alpha atau beta (Hoffbrand, 2005). Talasemia adalah suatu golongan darah yang diturunkan ditandai oleh defisiensi produksi rantai globin pada hemoglobin. (Suriadi, 2001 : 23). Talasemia merupakan kelompok gangguan darah yang diwariskan, dikarakteristikan dengan defisiensi sintetis rantai globulin spesifik molekul hemoglobin(Muscari, 2005). Thalassemia adalah sekelompok heterogen anemia hipopkromik heriditer dengan berbagai derajat keparahan (Nelson, 1999). Talasemia merupakan sindrom kelainan yang diwariskan (inherited) dan masuk kedalam kelompok hemoglobinopati, yakni kelainan yang disebabkanoleh gangguan system hemoglobin akibat mutasi didalam atau dekat gen globin (Nurarif, 2013 : 549) 2. Klasifikasi Secara klinik talasemia dibagi menjadi 2 golongan yaitu : a. Talasemia mayor (memberi gejala klinik jelas) b. Talasemia minor (biasanya tidak memberi gejala klinik) (Ngastiyah, 2001 : 377) 10 3. Etiologi Penyakit thalassemia adalah penyakit keturunan yang tidak dapat ditularkan.banyak diturunkan oleh pasangan suami isteri yang mengidap thalassemia dalam sel – selnya/ Faktor genetik (Suriadi, 2001 : 24). Thalassemia bukan penyakit menular melainkan penyakit yang diturunkan secara genetik dan resesif. Penyakit ini diturunkan melalui gen yang disebut sebagai gen globin beta yang terletak pada kromosom 11. Pada manusia kromosom selalu ditemukan berpasangan. Gen globin beta ini yang mengatur pembentukan salah satu komponen pembentuk hemoglobin. Bila hanya sebelah gen globin beta yang mengalami kelainan disebut pembawa sifat thalassemia-beta. Seorang pembawa sifat thalassemia tampak normal/sehat, sebab masih mempunyai 1 belah gen dalam keadaan normal (dapat berfungsi dengan baik). Seorang pembawa sifat thalassemia jarang memerlukan pengobatan. Bila kelainan gen globin terjadi pada kedua kromosom, dinamakan penderita thalassemia (Homozigot/Mayor). Kedua belah gen yang sakit tersebut berasal dari kedua orang tua yang masingmasing membawa sifat thalassemia. Pada proses pembuahan, anak hanya mendapat sebelah gen globin beta dari ibunya dan sebelah lagi dari ayahnya. Bila kedua orang tuanya masing-masing pembawa sifat thalassemia maka pada setiap pembuahan akan terdapat beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama si anak mendapatkan gen globin beta yang berubah (gen thalassemia) dari bapak dan ibunya maka anak akan menderita thalassemia. Sedangkan bila anak hanya mendapat sebelah gen thalassemia dari ibu atau ayah maka anak hanya membawa penyakit ini. Kemungkinan lain adalah anak mendapatkan gen globin beta normal dari kedua orang tuanya. Sedangkan menurut (Suriadi, 2001) Penyakit thalassemia adalah penyakit keturunan yang tidak dapat ditularkan.banyak diturunkan oleh pasangan suami isteri yang mengidap thalassemia dalam sel – selnya/ Faktor genetik. 11 Jika kedua orang tua tidak menderita Thalassaemia trait/pembawasifat Thalassaemia, maka tidak mungkin mereka menurunkan Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia atau Thalassaemia mayor kepada anak-anak mereka. Semua anak-anak mereka akan mempunyai darah yang normal. Apabila salah seorang dari orang tua menderita Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia sedangkan yang lainnya tidak, maka satu dibanding dua (50%) kemungkinannya bahwa setiap anak-anak mereka akan menderita Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia, tidak seorang diantara anak-anak mereka akan menderita Thalassaemia mayor. Orang dengan Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia adalah sehat, mereka dapat menurunkan sifat-sifat bawaan tersebut kepada anak-anaknya tanpa ada yang mengetahui bahwa sifat-sifat tersebut ada di kalangan keluarga mereka. Apabila kedua orang tua menderita Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia, maka anak-anak mereka mungkin akan menderita Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia atau mungkin juga memiliki darah yang normal, atau mereka mungkin juga menderita Thalassaemia mayor Skema Penurunan Gen Thalasemia Mendel 12 4. Gambaran klinik Pada talasemia mayor gejala klinik telah terlihat sejak anak baru berumur kurang dari 1 tahun. Gejala yang tampak adalah anak lemah, pucat, perkembangan fisik tidak sesuai dengan umur, berat badan kurang. Pada anak yang besar sering dijumpai adanya gizi buruk, perut membuncit, karena adanya pembesaran limpa dan hati yang mudah diraba. Adanya pembesaran limpa dan hati tersebut mempengaruhi gerak pasien karena kemampuan terbatas, limpa yang membesar ini akan mudah ruptur hanya karena trauma ringan saja. Gejala lain (khas) ialah bentuk muka mongoloid, hidung pesek tanpa pangkal hidung; jarak antara kedua mata lebar dan tulang dahi juga lebar. Hal ini disebabkan karena adanya gangguan perkembangan tulang muka dan tengkorak. (Gambaran radiologis tulang memperlihatkan medula yang besar, korteks tipis dan trabekula kasar). Keadaan kulit pucat kekuning-kuningan. Jika pasien telah sering mendapat tranfusi darah kulit menjadi kelabu serupa dengan besi akibat penimbunan besi dalam jaringan kulit. Penimbunan besi (hemosiderosis) dalam jaringan tubuh seperti pada hepar, limpa, jantung akan mengakibatkan gangguan fatal alatalat tersebut (hemokromatosis) (Ngastiyah, 1997 : 378). 5. Patofisiologi Normal hemoglobin adalah terdiri dari Hb-A dengan polipeptida rantai alpa dan dua rantai beta. Pada beta thalasemia yaitu tidak adanya atau kurangnya rantai beta thalasemia yaitu tidak adanya atau kekurangan rantai beta dalam molekul hemoglobin yang mana ada gangguan kemampuan ertrosit membawa oksigen. Ada suatu kompensator yang meningkat dalam rantai alpa, tetapi rantai beta memproduksi hemoglobin secara defictive. terus menerus Ketidak sehingga seimbangan menghasilkan polipeptida ini memudahkan ketidakstabilan dan disintegrasi. Hal ini menyebabkan 13 sel darah merah menjadi hemolisis dan menimbulkan anemia dan atau hemosiderosis. Kelebihan pada rantai alpa ditemukan pada talasemia beta dan kelebihan rantai beta dan gama ditemukan pada talasemia alpa. Kelebihan rantai polipeptida ini mengalami presipitasi, yang terjadi sebagai rantai polipeptida alpa dan beta, atau terdiri dari hemoglobin tak stabil badan heint, merusak sampul eritrosit dan menyebabkan hemolisis. Reduksi dalam hemoglobin menstimulasi yang konstan pada bone marrow, produksi RBC diluar menjadi eritropik aktif. Kompensator produksi RBC secara terus menerus pada suatu dasar kronik, dan dengan cepatnya destruksi RBC,menimbulkan tidak edukatnya sirkulasi hemoglobin. Kelebihan produksi dan edstruksi RBC menyebabkan bone marrow menjadi tipis dan mudah pecah atau rapuh. (Suriadi, 2001 : 23-24) Pada talasemia letak salah satu asam amino rantai polipre tidak berbeda urutannya/ditukar dengan jenis asam amino lain. Perubahan susunan asam amino tersebut. Bisa terjadi pada ke-4 rantai poliper HbA, sedangkan kelainan pada rantai alpha dapat menyebabkan kelainan ketiga Hb yaitu Hb-A, Hb-A2 dan Hb-F. (Hassan, 1985 : 49) 6. Pemeriksaan Penunjang Diagnosis untuk Thalassemia terdapat dua yaitu secara screening test dan definitive test. a. Screening test Di daerah endemik, anemia hipokrom mikrositik perlu diragui sebagai gangguan Thalassemia (Wiwanitkit, 2007). 1) Interpretasi apusan darah Dengan apusan darah anemia mikrositik sering dapat dideteksi pada kebanyakkan Thalassemia kecuali Thalassemia α silent carrier. Pemeriksaan apusan darah rutin 14 dapat membawa kepada diagnosis Thalassemia tetapi kurang berguna untuk skrining. 2) Pemeriksaan osmotic fragility (OF) Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan fragiliti eritrosit. Secara dasarnya resistan eritrosit untuk lisis bila konsentrasi natrium klorida dikurangkan dikira. Studi yang dilakukan menemui probabilitas formasi pori-pori pada membran yang regang bervariasi mengikut order ini: Thalassemia < kontrol < spherositosis (Wiwanitkit, 2007). Studi OF berkaitan kegunaan sebagai alat diagnostik telah dilakukan dan berdasarkan satu penelitian di Thailand, sensitivitinya adalah 91.47%, spesifikasi 81.60, false positive rate 18.40% dan false negative rate 8.53% (Wiwanitkit, 2007). 3) Indeks eritrosit Dengan bantuan alat indeks sel darah merah dapat dicari tetapi hanya dapat mendeteksi mikrositik dan hipokrom serta kurang memberi nilai diagnostik. Maka metode matematika dibangunkan (Wiwanitkit, 2007). 4) Model matematika Membedakan anemia defisiensi besi dari Thalassemia β berdasarkan parameter jumlah eritrosit digunakan. Beberapa rumus telah dipropose seperti 0.01 x MCH x (MCV)², RDW x MCH x (MCV) ²/Hb x 100, MCV/RBC dan MCH/RBC tetapi kebanyakkannya digunakan untuk membedakan anemia defisiensi besi dengan Thalassemia β (Wiwanitkit, 2007). Sekiranya Indeks Mentzer = MCV/RBC digunakan, nilai yang diperoleh sekiranya >13 cenderung ke arah defisiensi besi sedangkan <13 mengarah ke Thalassemia trait. Pada penderita Thalassemia trait kadar MCV rendah, eritrosit 15 meningkat dan anemia tidak ada ataupun ringan. Pada anemia defisiensi besi pula MCV rendah, eritrosit normal ke rendah dan anemia adalah gejala lanjut (Yazdani, 2011). b. Definitive test 1) Elektroforesis hemoglobin Pemeriksaan ini dapat menentukan pelbagai jenis tipe hemoglobin di dalam darah. Pada dewasa konstitusi normal hemoglobin adalah Hb A1 95-98%, Hb A2 2-3%, Hb F 0.82% (anak di bawah 6 bulan kadar ini tinggi sedangkan neonatus bisa mencapai 80%). Nilai abnormal bisa digunakan untuk diagnosis Thalassemia seperti pada Thalassemia minor Hb A2 4-5.8% atau Hb F 2-5%, Thalassemia Hb H: Hb A2 <2% dan Thalassemia mayor Hb F 10-90%. Pada negara tropikal membangun, elektroporesis bisa juga mendeteksi Hb C, Hb S dan Hb J (Wiwanitkit, 2007). 2) Kromatografi hemoglobin Pada elektroforesis hemoglobin, HB A2 tidak terpisah baik dengan Hb C. Pemeriksaan menggunakan high performance liquid chromatography (HPLC) pula membolehkan penghitungan aktual Hb A2 meskipun terdapat kehadiran Hb C atau Hb E. Metode ini berguna untuk diagnosa Thalassemia β karena ia bisa mengidentifikasi hemoglobin dan variannya serta menghitung konsentrasi dengan tepat terutama Hb F dan Hb A2 (Wiwanitkit, 2007). 3) Molecular diagnosis Pemeriksaan ini adalah gold standard dalam mendiagnosis Thalassemia. Molecular diagnosis bukan saja dapat menentukan tipe Thalassemia malah dapat juga menentukan mutasi yang berlaku (Wiwanitkit, 2007) 16 7. Penatalaksanaan Medis Menurut (Suriadi, 2001:26) Penatalaksaan Medis Thalasemia antara lain : a. Pemberian transfusi hingga Hb mencapai 9-10g/dl. Komplikasi dari pemberian transfusi darah yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya penumpukan zat besi yang disebut hemosiderosis. Hemosiderosis ini dapat dicegah dengan pemberian deferoxamine (Desferal), yang berfungsi untuk mengeluarkan besi dari dalam tubuh (iron chelating agent). Deferoxamine diberikan secar intravena, namun untuk mencegah hospitalisasi yang lama dapat juga diberikan secara subkutan dalam waktu lebih dari 12 jam. b. Splenectomy : dilakukan untuk mengurangi penekanan pada abdomen dan meningkatkan rentang hidup sel darah merah yang berasal dari suplemen (transfusi). c. Pada thalasemia yang berat diperlukan transfusi darah rutin dan pemberian tambahan asam folat. Penderita yang menjalani transfusi, harus menghindari tambahan zat besi dan obat-obat yang bersifat oksidatif (misalnya sulfonamid), karena zat besi yang berlebihan bisa menyebabkan keracunan. Pada bentuk yang sangat berat, mungkin diperlukan pencangkokan sumsum tulang. Terapi genetik masih dalam tahap penelitian. 17 8. Komplikasi a. Fraktur patologi. b. Hepatosplenomegaly. c. Gangguan tumbuh kembang. d. Difungsi organ, seperti : hepar, limpa, kulit jantung (Suriadi, 2001 : 24) 9. Pencegahan Menurut Tamam (2009), karena penyakit ini belum ada obatnya, maka pencegahan dini menjadi hal yang lebih penting dibanding pengobatan. Program pencegahan Talasemia terdiri dari beberapa strategi, yakni : a. Penapisan (skrining) pembawa sifat Talasemia, b. Konsultasi genetik (genetic counseling), c. Diagnosis prenatal. Skrining pembawa sifat dapat dilakukan secara prospektif dan retrospektif. Secara prospektif berarti mencari secara aktif pembawa sifat thalassemia langsung dari populasi diberbagai wilayah, sedangkan secara retrospektif ialah menemukan pembawa sifat melalui penelusuran keluarga penderita Talasemia (family study). Kepada pembawa sifat ini diberikan informasi dan nasehat-nasehat tentang keadaannya dan masa depannya. Suatu program pencegahan yang baik untuk Talasemia seharusnya mencakup kedua pendekatan tersebut. Program yang optimal tidak selalu dapat dilaksanakan dengan baik terutama di negara-negara sedang berkembang, karena pendekatan prospektif memerlukan biaya yang tinggi. Atas dasar itu harus dibedakan antara usaha program pencegahan di negara berkembang dengan negara maju. Program pencegahan retrospektif akan lebih mudah dilaksanakan di negara berkembang daripada program prospektif. 18 a. Penapisan (Screening) Ada 2 pendekatan untuk menghindari Talesemia: 1) Karena karier Talasemia β bisa diketahui dengan mudah, penapisan populasi dan konseling tentang pasangan bisa dilakukan. Bila heterozigot menikah, 1-4 anak mereka bisa menjadi homozigot atau gabungan heterozigot. 2) Bila ibu heterozigot sudah diketahui sebelum lahir, pasangannya bisa diperiksa dan bila termasuk karier, pasangan tersebut ditawari diagnosis prenatal dan terminasi kehamilan pada fetus dengan Talasemia β berat. Bila populasi tersebut menghendaki pemilihan pasangan, dilakukan penapisan premarital yang bisa dilakukan di sekolah anak. Penting menyediakan program konseling verbal maupun tertulis mengenai hasil penapisan Talasemia (Permono, & Ugrasena, 2006). Alternatif lain adalah memeriksa setiap wanita hamil muda berdasarkan ras. Penapisan yang efektif adalah ukuran eritrosit, bila MCV dan MCH sesuai gambaran Talasemia, perkiraan kadar HbA2 harus diukur, biasanya meningkat pada Talasemia β. Bila kadarnya normal, pasien dikirim ke pusat yang bisa menganalisis gen rantai α. Penting untuk membedakan Talasemia αo(-/αα) dan Talasemia α+(-α/-α), pada kasus pasien tidak memiliki risiko mendapat keturunan Talesemia αo homozigot. Pada kasus jarang dimana gambaran darah memperlihatkan Talesemia β heterozigot dengan HbA2 normal dan gen rantai α utuh, kemungkinannya adalah Talasemia α non delesi atau Talasemia β dengan HbA2 normal. Kedua hal ini dibedakan dengan sintesis rantai globin dan analisa DNA. Penting untuk memeriksa Hb elektroforase pada kasus-kasus ini untuk mencari kemungkinan variasi struktural Hb (Permono, & Ugrasena, 2006). 19 b. Diagnosis Prenatal Diagnosis prenatal dari berbagai bentuk Talasemia, dapat dilakukan dengan berbagai cara. Dapat dibuat dengan penelitian sintesis rantai globin pada sampel darah janin dengan menggunakan fetoscopi saat kehamilan 18-20 minggu, meskipun pemeriksaan ini sekarang sudah banyak digantikan dengan analisis DNA janin. DNA diambil dari sampel villi chorion (CVS=corion villus sampling), pada kehamilan 9-12 minggu. Tindakan ini berisiko rendah untuk menimbulkan kematian atau kelainan pada janin (Permono, & Ugrasena, 2006). Tehnik diagnosis digunakan untuk analisis DNA setelah tehnik CVS, mengalami perubahan dengan cepat beberapa tahun ini. Diagnosis pertama yang digunakan oleh Southern Blotting dari DNA janin menggunakan restriction fragment length polymorphism (RELPs), dikombinasikan dengan analisis linkage atau deteksi langsung dari mutasi. Yang lebih baru, perkembangan dari polymerase chain reaction (PCR) untuk mengidentifikasikan mutasi yang merubah lokasi pemutusan oleh enzim restriksi. Saat ini sudah dimungkinkan untuk mendeteksi berbagai bentuk α dan β dari Talasemia secara langsung dengan analisis DNA janin. Perkembangan PCR dikombinasikan dengan kemampuan oligonukleotida untuk mendeteksi mutasi individual, membuka jalan bermacam pendekatan baru untuk memperbaiki akurasi dan kecepatan deteksi karier dan diagnosis prenatal. Contohnya diagnosis menggunakan hibridasi dari ujung oligonukleotida yang diberi label 32P spesifik untuk memperbesar region gen globin β melalui membran nilon. Sejak sekuensi dari gen globin β dapat diperbesar lebih 108 kali, waktu hibridasi dapat dibatasi sampai 1 jam dan seluruh prosedur diselesaikan dalam waktu 2 jam (Permono, & Ugrasena, 2006). 20 Terdapat berbagai macam variasi pendekatan PCR pada diagnosis prenatal. Contohnya, tehnik ARMS (Amplification refractory mutation system), berdasarkan pengamatan bahwa pada beberapa kasus, oligonukleotida (Permono, & Ugrasena, 2006). Angka kesalahan dari berbagai pendekatan laboratorium saat ini, kurang dari 1%. Sumber kesalahan antara lain, kontaminasi ibu pada DNA janin, non-paterniti, dan rekombinasi genetik jika menggunakan RELP linkage analysis (Permono, & Ugrasena, 2006). Konsep Keperawatan Thalasemia 1. Pengkajian a. Riwayat kesehatan 1) Pucat. 2) Ikterus. 3) Gagal tumbuh. 4) Hepatosplenomegali 5) Tranfusi kronis/ terapi pendekatan. b. Pemeriksaan fisik 1) Kulit, mukosa oral, konjungtiva, telapak kaki, dan/atau telapak tangan pucat. 2) Sclera ikterus atau kulit ikterus. 3) Keterlambatan pertumbuhan atau perkembangan. 4) Saturasi oksigen rendah via oksimetri nadi. 5) Perubahan tingkat kesadaran. 6) Hepatoslpenomegali. 7) Penonjolan frontal (dahi). c. Uji laboratorium dan Diagnostik 1) Elektroforesis hemoglobin menunjukkan adanya hemoglobin F dan hanya hemoglobin A2. 21 2) DPL dan usapan perifer menunjukkan penurunan hemoglobin dan hematokrit secara signifikan, penonolan sel target, hipokromia, mikrositosis, dan anisokritosis serta poikilositosis ekstensif (variasi dalam ukuran dan bentuk SDM, secara berturut-turut). 3) Kadar zat besi dan bilirubin meningkat (Kyle & Carman, 2014). 2. Diagnosis Keperawatan a. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan konsentrasi hemoglobin. b. Risiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016). 3. Intervensi Keperawatan Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi Perfusi peifer tidak Rencana keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil NOC : Intervensi NIC : efektif b/d penurunan 1. Circulation status 1. Monitor TTV konsentrasi 2. Neurologic status 2. Monitor AGD, ukuran hemoglobin. 3. Tissue Prefusion : pupil, ketajaman, cerebral kesimetrisan dan reaksi Setelah dilakukan asuhan 3. Monitor adanya diplopia, selama 3x24 jam perfusi pandangan kabur, nyeri perifer tidak efektif teratasi kepala dengan kriteria hasil: 1. Tekanan systole dan 22 4. Monitor level kebingungan dan diastole dalam rentang yang diharapkan 2. Tidak ada 6. Monitor tekanan 3. Komunikasi jelas intrkranial dan respon 4. Menunjukkan nerologis konsentrasi dan 7. Catat perubahan pasien orientasi dalam merespon stimulus 5. Pupil seimbang dan reaktif 8. Monitor status cairan 9. Pertahankan parameter 6. Bebas dari aktivitas hemodinamik 10. Tinggikan kepala 0-45o kejang 7. Tidak mengalami nyeri kepala tergantung pada konsisi pasien dan order medis Diagnosa Masalah Kolaborasi 5. Monitor tonus otot pergerakan ortostatikhipertensi Keperawatan/ orientasi Rencana keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Risiko infeksi b/d NOC : efek prosedur infasif 1. Immune Status Pertahankan teknik aseptif 2. Knowledge : Infection Batasi NIC : control pengunjung perlu Cuci tangan setiap sebelum 3. Risk control Setelah dilakukan tindakan dan keperawatan selama 3x24 keperawatan jam pasien tidak mengalami infeksi bila dengan kriteria hasil: sesudah Gunakan baju, tangan sebagai tindakan sarung alat pelindung 1. Klien bebas dari tanda 23 Ganti letak IV perifer dan dan gejala infeksi dressing 2. Menunjukkan dengan petunjuk umum untuk Gunakan kateter intermiten timbulnya untuk menurunkan infeksi kemampuan mencegah sesuai infeksi kandung kencing 3. Jumlah leukosit dalam Tingkatkan intake nutrisi Berikan batas normal 4. Menunjukkan perilaku hidup sehat terapi antibiotik:............................ ..... 5. Status imun, gastrointestinal, genitourinaria batas normal Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal dalam Pertahankan teknik isolasi k/p Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase Monitor adanya luka Dorong masukan cairan Dorong istirahat Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi Kaji suhu badan pada pasien neutropenia setiap 4 jam 24 BAB III PENUTUP Kesimpulan Desferal (deferoxamine)merupakan obat cair yang diberikan di bawah kulit. Biasanya obat ini diberikan dengan menggunakan alat semacam “portable pump”. Terapi yang diberikan pada pasien yang melakukan tranfusi secara reguler adalah terapi kelasi besi. Pemberian kelasi besi (desferal) dimulai setelah diberikan saat kadar feritin serum ≥ 1.000 ng/mL, atau sudah mendapat transfusi darah 10-15 kali, dan sudah menerima darah sebanyak 3 liter. Kelebihan beban besi akan terjadi apabila penderita thalasemia dibiarkan tidak diterapi sehingga menyebabkan morbiditas berat dan kematian usia muda. 25 DAFTAR PUSTAKA Kyle, T., & Carman, S. (2014). Buku Praktik Keperawatan Pediatri. Jakarta: EGC. Safitri, R., Ernawaty, J., & Karim, D. (2015). HUBUNGAN KEPATUHAN TRANSFUSI DAN KONSUMSI KELASI BESI TERHADAP PERTUMBUHAN ANAK DENGAN THALASEMI. JOM , II, 14741483. Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta : Dewan Pengurus Pusat PPNI. Rakhmawati, Windy. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pemasangan Desferal. Bagian Ilmu Keperawatan Anak Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran. [online]. Available at : http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2010/03/pemasangan_desferal.pdf (diakses pada tanggal 23 Novemver 2018) Hoffband, A, dkk. 2005. Kapita selekta Hematologi. Jakarta: EGC Hartoyo, Edi, dkk. 2006. ”Standar Pelayanan Medis. Bajarmasin: Fakultas KedokteraanUnlam / RSUD Ulin Kuncara, H.Y, dkk. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth. Jakarta : EGC Mansjoer, arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran E d i s i k e - 3 J i l i d 2 . J a k a r t a : Media Aesculapius Fkul. Merenstein, Gerald B. 2001. Buku pegangan pediatric. Ed. 17. Jakarta: Widya Medika Muscari, Mary E. 2005. Panduan Belajar: Keperawatan pediatric. Jakarta: EGC Nelson, Waldo E. 1999. Ilmu kesehatan anak Nelson. Vol. 2. Jakarta: EGC Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit , Edisi I. Jakarta: EGC 26 Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & Nanda Nic-Noc Jilid 2. Yogyakarta: MediaCtion Publishing Nanda International. 2012. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Jakarta: EGC Suriadi S.Kp dan Yuliana Rita S.Kp. 2001. Asuhan Keperawatan Anak, Edisi I. Jakrta: PT Fajar Interpratama. Supardiman, I, 2002. Hematologi Klinik. Bandung: Penerbit alumni Wilkinson, Judith M. and Nancy R. Ahern. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 9. Jakarta: EGC 27