BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. SIROSIS HATI 2.1.1. Definisi Sirosis hati adalah tahap paling akhir dari seluruh tipe penyakit hati kronik. Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang ditandai dengan proses peradangan, nekrosis sel hati, usaha regenerasi dan terbentuknya fibrosis hati yang difus, dengan terbentuknya nodul yang mengganggu susunan lobulus hati.(Ramon B, 2008 ; Golberg E, 2012) Respon fibrosis terhadap kerusakan hati bersifat reversible, namun pada sebagian besar pasien sirosis, proses fibrosis biasanya tidak reversible. WHO memberi batasan histologi sirosis sebagai proses kelainan hati yang bersifat difus, ditandai fibrosis dan perubahan bentuk hati normal ke bentuk nodul-nodul yang abnormal. (Sulaiman, 2007) 2.1.2. Anatomi dan Fungsi Hati Hati adalah organ yang terbesar yang terletak di sebelah kanan atas rongga perut di bawah diafragma. Beratnya 1.500 gr atau 2,5 % dari berat badan orang dewasa normal. Pada kondisi hidup berwarna merah tua karena kaya akan persediaan darah. Hati terbagi menjadi lobus kiri dan lobus kanan yang dipisahkan oleh ligamentum falciforme, di inferior oleh fisura dinamakan dengan ligamentum teres dan di posterior oleh fisura dinamakan dengan ligamentum venosum. Universitas Sumatera Utara Lobus kanan hati enam kali lebih besar dari lobus kirinya dan mempunyai 3 bagian utama yaitu : lobus kanan atas, lobus caudatus, dan lobus quadrates. Hati dikelilingi oleh kapsula fibrosa yang dinamakan kapsul glisson dan dibungkus peritorium pada sebagian besar keseluruhan permukaannnya. Hati disuplai oleh dua pembuluh darah yaitu : Vena porta hepatica yang berasal dari lambung dan usus, yang kaya akan nutrien seperti asam amino, monosakarida, vitamin yang larut dalam air, dan mineral dan Arteri hepatica, cabang dari arteri koliaka yang kaya akan oksigen.(AmirudinR,2006) Gambar 2.1. Anatomi hati (Benviemedicshop, 2014) Unit fungsional hati disebut acinus yang terdiri dari lapisan parenchym yang dialiri oleh pembuluh darah dan limfe. Parenchym hati terdiri dari satu lapisan sel hati yang dipisahkan oleh sinusoid. Pada sinusoid terdapat Kupffer cell yang bertindak sebagai makrofaq dan stellata cell (lypocytes) yang berperan dalam terjadinya fibrosis.(Khalili, 2014). Universitas Sumatera Utara Gambar 2.2. Struktur lobulus hati (Cardenas, 2006) 2.1.3. Epidemiologi Sirosis hati merupakan penyebab kematian ke 9 di Amerika Serikat. Penyakit hati kronik dan sirosis menyebabkan kematian 4 sampai 5% dari pasien - pasien yang berusia 45-54 tahun dan menyebabkan 30.000 kematian per-tahunnya. Keseluruhan insidensi sirosis di Amerika diperkirakan 360 per 100.000 penduduk ,dimana 60% kasus adalah laki-laki (Ramon B, 2008) Lebih dari 40% pasien sirosis hati asimptomatis. Pada keadaan ini, sirosis ditemukan waktu pemeriksaan rutin kesehatan atau pada waktu autopsi. Penyebabnya sebagian besar akibat penyakit hati alkoholik maupun infeksi virus kronik. Hasil penelitian lain menyebutkan perlemakan hati akan mengakibatkan steatohepatitis non-alkoholik (NASH) dengan prevalensi 4% dan berakhir dengan sirosis hati dengan prevalensi 0,3%. Di Indonesia, secara keseluruhan rata-rata prevalensi sirosis adalah 3,5% dari seluruh pasien yang dirawat di bangsal penyakit dalam, atau rata- Universitas Sumatera Utara rata 47,4% dari seluruh pasien penyakit hati yang dirawat. Perbandingan pria : wanita adalah 2,1 : 1 dan usia rata-rata 44 tahun. Rentang usia 13 – 88 tahun, dengan kelompok terbanyak antara 40 – 50 tahun.( Sulaiman, 2007) . . Di RS Dr.Sardjito Yogyakarta jumlah pasien sirosis hati berkisar 4.1% dari pasien yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam dalam kurun waktu 1 tahun (data tahun 2004) . Di RS Cipto Mangunkusumo di ruangan Bagian Penyakit Dalam pada tahun 2005 tercatat dari 193 kasus sirosis hati. Kurang lebih 50% kasus sirosis hati yang dirawat di RSCM disertai asites ( Komali, 2006) Di Medan dalam kurun waktu 4 tahun dijumpai pasien sirosis hati sebanyak 819 (4%) dari seluruh pasien yang dirawat di Departemen Penyakit Dalam RSUP H.Adam Malik (Rekam Medik, 2015) 2.1.4. Klasifikasi Sirosis hati diklasifikasikan berdasarkan morfologi dan etiologinya. Klasifikasi morfologi telah jarang dipakai karena sering tumpang tindih satu sama lainnya. Klasifikasi ini terdiri dari : a. Sirosis mikronoduler ; nodul berbentuk uniform, diameter kurang dari 3 mm. Penyebabnya antara lain: alkoholisme, hemakromatosis, obstruksi bilier dan obstruksi vena hepatika. b. Sirosis makronoduler; nodul bervariasi dengan diameter lebih dari 3mm. Penyebabnya antara lain: hepatitis kronik B, hepatitis kronik C, defisiensi α-1-antitripsin dan sirosis bilier primer . c. Sirosis campuran kombinasi antara mikronoduler dan makronoduler. Universitas Sumatera Utara Klasifikasi etiologi lebih serig dipakai. Mayoritas penderita sirosis awalnya merupakan penderita penyakit hati kronis yang disebabkan oleh virus hepatitis atau penderita steatohepatitis yang berkaitan dengan kebiasaan minum alkohol ataupun obesitas. Beberapa etiologi lain dari penyakit hati kronis diantaranya adalah infestasi parasit (schistosomiasis), penyakit autoimun yang menyerang hepatosit atau epitel bilier, penyakit hati bawaan, penyakit metabolik seperti Wilson’s disease, penyakit granulomatosa (sarcoidosis), efek toksisitas obat (methotrexate dan hipervitaminosis A), dan obstuksi aliran vena seperti sindrom Budd-Chiari dan penyakit veno-oklusif.(Sulaiman, 2007) Di Amerika Serikat, kecanduan alkohol adalah penyebab yang paling sering dari sirosis hati. Berdasarkan hasil penelitian di Indonesia, virus hepatitis B merupakan penyebab tersering dari sirosis hati yaitu sebesar 4050% kasus, diikuti oleh virus hepatitis C dengan 30-40% kasus, sedangkan 10-20% sisanya tidak diketahui penyebabnya dan termasuk kelompok virus bukan B dan C (Rockey, 2006). Universitas Sumatera Utara Etiologi-etiologi dari penyakit sirosis dapat dikelompokkan kedalam kategori yang tertera pada tabel dibawah ini : Tabel 2.1. Penyebab Sirosis Hati ( Bataller,2008) 2.1.5. Patogenesis Terjadinya fibrosis hati menggambarkan kondisi ketidakseimbangan antara produksi matriks ekstraseluler dan proses degradasinya. Sel stelata yang berada dalam ruangan perisinusoidal merupakan sel penting untuk memproduksi matriks ekstraseluler. Sel ini bersama sel liposit dapat mulai diaktivasi sel pembentuk kolagen oleh berbagai faktor parakrin. Beerapa Universitas Sumatera Utara faktor dapat dilepas atau diproduksi oleh sel hepatosit, sel Kupfer dan endotel sinusoid pada saat terjadi kerusakan hati. Sel-sel stelata yang aktif juga mempunyai sifat kontriksi yang dapat memacu hipertensi portal.( Sulaiman,2007) Fibrosis hati dapat muncul dalam tiga keadaan sebagai berikut: 1. Efek sekunder dari proses inflamasi dan subsekuensi dari respon imun. 2. Bagian dari proses penyembuhan luka 3. Respon terhadap rangsangan dari agen penyebab fibrogenesis primer HBV dan Schistoma sp. merupakan contoh agen-agen yang dapat memicu terjadinya fibrosis hati dengan cara menstimulasi respon imun. Carbon tetrachloride adalah contoh agen yang dapat menyerang dan membunuh sel hepatosit sehingga terjadi fibrosis sebagai bagian dari proses penyembuhan luka. Baik dalam proses respon immun atau penyembuhan luka ,fibrosis dipicu secara tidak langsung sebagai efek dari pelepasan citokin-citokin oleh sel-sel inflammasi. Tetapi , zat-zat tertentu seperti etanol dan besi dapat menyebabkan fibrogenesis primer dengan meningkatkan proses transkripsi gen kolagen dan menyebabkan peningkatan jumlah jaringan ikat yang disekresi oleh sel-sel ( Khalili, 2012) 2.1.6. Manifestasi Klinis Pada pasien sirosis dapat datang ke dokter dengan sedikit keluhan, tanpa keluhan, atau dengan keluhan penyakit lain Manifestasi klinik dari sirosis hati disebabkan oleh dua hal utama yaitu disfungsi hepatoselluler yang progressif dan hipertensi portal. (Gambar 2.3) Universitas Sumatera Utara Gambar 2.3. Manifestasi klinis Sirosis Hati (Cardenas, 2006) Gejala dan tanda seperti mudah lelah,penurunan berat badan ,mual,muntah, jaundice dan hepatomegali adalah akibat dari difungsi hepatoselular. Disertai pula dengan gejala dan tanda ekstrahepatik seperti palmar erytema, spider angioma, pembesaran kelenjar parotis dan lakrimalis, ginekomastia, gangguan menstruasi serta gangguan perdarahan. Pada pasien sirosis dapat mengalami keluhan dan gejala klinis akibat komplikasi dari sirosis hatinya. Pada beberapa pasien komplikasi ini dapat menjadi gejala pertama yang membawa pasien datang ke dokter. Pasien sirosis dapat tetap berjalan kompensata selama bertahun-tahun, sebelum berubah menjadi dekompensata yang dpat dikenal daritimbunya bermacam Universitas Sumatera Utara komplikasi seperti hipertensi portal yang menyebabkan asites, ensepalopati, splenomegali, varises esophagus yang dapat menyebabkan hematemesis dan melena ( Sulaiman,2007; Khalili, 2012) 2.1.6. Gambaran Laboratoris Adanya sirosis hati dicurigai apabila ada kelainan pemeriksaan laboratorium pada waktu seseorang memeriksakan kesehatan rutin, atau waktu skrining untuk evaluasi keluhan spesifik. Tes fungsi hati meliputi aminotransferase, alkalin fosfatase, gamma glutamil transpeptidase, bilirubin, albumin dan waktu protrombin (Sudoyo AW, 2006). Aspartat aminotransferase (AST) atau serum glutamil oksalo asetat (SGOT) dan alanin aminotransferase (ALT) atau serum glutamil piruvat transaminase (SGPT) meningkat tapi tidak begitu tinggi. AST lebih meningkat daripada ALT, namun bila transaminase normal tidak mengenyampingkan adanya sirosis. Alkali fosfatse, meningkat kurang dari 2-3 kali batas normal atas. Konsentrasi yang tinggi bisa ditemukan pada pasien kolangitis sklerosis primer dan sirosis bilier primer. Gamma-glutamil transpeptidase (GGT), konsentrasinya seperti halnya alkali fosfatase pada penyakit hati. Konsentrasinya tinggi pada penyakit hati alkoholik kronik, karena alkohol selain menginduksi GGT mikrosomal hepatik, juga bisa menyebabkan bocornya GGT dari hepatosit. Universitas Sumatera Utara Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis hepatis kompensata, tapi bias juga meningkat pada sirosis hepatis lanjut. Albumin, sintesisnya terjadi di jaringan hati, konsentrasinya menurun sesuai dengan perburukan sirosis. Globulin, konsentrasinya meningkat pada sirosis. Akibat sekunder dari masuknya antigen bakteri dari sistem porta ke jaringan limfoid, selanjutnya menginduksi produksi imunoglobulin. Waktu protrombin mencerminkan derajat/tingkatan disfungsi sintesis hati, sehingga pada sirosis waktu protrombin memanjang. Natrium serum menurun terutama pada sirosis hati dengan asites, dikaitkan dengan ketidakmampuan ekskresi air bebas. Kelainan hematologi. Anemia terjadi karena penyebab yang bermacam-macam. Berdasarkan morfologinya bisa terjadi anemia normokrom normositer atau hipokrom mikrositer. Anemia dengan trombositopenia dan neutropenia akibat splenomegali kongestif yang berkaitan dengan hipertensi porta sehingga terjadi hipersplenisme. (Nurdjanah, 2006 ; Pincus, 2011) 2.2. HIPERTENSI PORTAL Hipertensi portal didefinisikan sebagai peningkatan tekanan vena portal lebih besar dari 5 mmHg (Khalili,2012). Vena porta dimulai sebagai confluence/pertemuan dari limpa, mesenterika superior, mesenterika inferior, dan vena lambung, dan berakhir di sinusoid hati. Darah pada vena porta mengandung zat-zat yang diabsorpsi dari usus. Darah menghantarkan zat-zat Universitas Sumatera Utara ini ke hati untuk dimetabolisme sebelum memasuki sirkulasi sistemik (Gallego, 2002 ; Wachsberg, 2002). Ketika darah porta mencapai hati, darah akan menembus sistem darah kapiler yang sangat resisten di dalam sinusoid hepatik. Tekanan portal merupakan fungsi dari aliran dan resistensi terhadap aliran tersebut pada pembuluh darah hepatik, dan dijelaskan secara matematis oleh hukum Ohm (Tekanan= Arus x Tahanan, atau tekanan = aliran x resistensi) ( DA Langer, 2006). Pada sirosis hati, peningkatan tahanan atau resistensi hepatik disebabkan oleh vasokonstriksi intrahepatik yang dihipotesiskan karena adanya defisiensi nitro oksida (NO) intrahepatik. Peningkatan tahanan intrahepatik juga diakibatkan dari peningkatan aktivitas vasokonstriktor, dan oleh adanya perubahan struktur pada hati akibat regenerasi hati, kompresi sinusoid, dan fibrosis. Hipertensi portal merupakan konsekuensi peningkatan tahanan terhadap aliran portal dan sekaligus peningkatan aliran masuk ke vena porta, yang dihipotesiskan disebabkan oleh vasodilatasi splanik karena adanya peningkatan produksi NO pada sirkulasi ekstrahepatik sehingga mengakibatkan vasodilatasi dan peningkatan aliran masuk (Tsao, 2006). Tekanan portal normal biasanya di bawah 6 mmHg, dan pada pasien sirosis meningkat menjadi 7 – 9 mmHg. Hipertensi portal bermakna secara klinis jika tekanan meningkat di atas 10 – 12 mmHg, yaitu ambang batas untuk komplikasi hipertensi portal seperti varises esofageal dan ascites. (Wadhawan, 2006) Universitas Sumatera Utara Gambar 2.4. Sistem vena porta ( Gallego, 2002) 2.3. ASITES Asites ditandai dengan adanya kelebihan cairan didalam rongga peritoneum. Asites telah di kenal sejak dahulu oleh Hippocrates dengan sebutan “askos” yang artinya kantong untuk membawa anggur,air atau minyak. Di Amerika utara dan Eropa, 90% kasus asites disebabkan oleh sirosis, penyakit keganasan dan gagal jantung kongestif. Sekitar 50% pasien sirosis Universitas Sumatera Utara akan mengalami asites dalam 10 tahun. Asites memberikan gambaran prognosis yang buruk (Tsao, 2006). 2.3.1. Patogenesis Asites Pada sirosis, ada 5 faktor utama yang terlibat yaitu hipertensi portal, hipoalbuminemia, retensi sodium, retensi air dan peningkatan jaringan lymph. Hipertensi portal umumnya muncul pada pasien-pasien ascites karena sirosis hati. 2 (dua) mekanisme utama yang berkontribusi terhadap terjadinya hipertensi portal adalah: 1. Peningkatan resistensi pembuluh darah intrahepatik yang menyebabkan vasodilatasi arteri splanknik yang menimbulkan peningkatan aliran kedalam vena portal. 2. Peningkatan produksi dari zat-zat vasodilator ,terutama sintesa nitric oxide (NO) (Tsao, 2006 ; Cardenas, 2006) Hipoalbuminemia timbul akibat penurunan sintesa albumin yang terganggunya fungsi sintesis hepatosellular. Peningkatan retensi sodium timbul oleh karena adanya abnormalitas fungsi dari tubulus proksimal. Terjadi pula peningkatan reabsorpsi sodium di tubulus proksimal juga distal yang disebabkan oleh peningkatan sekresi aldosteron. Vasodilatasi arteriolar yang menekan volume darah effektif dalam arteri akan merangsang system neurohormonal seperti aldosteron, renninangiotensin dan epinefrin. Hal tersebut akan menyebabkan retensi air dan sodium sehingga timbul asites (Tsao, 2006). Universitas Sumatera Utara Ga mbar 2.5. Patogenesa asites pada Sirosis ( Cardenas,2006) 2.3.2. Etiologi Asites Penyebab dari asites sangat bervariasi dan yang tersering adalah sirosis hati. Hampir sekitar 80% kejadian asites disebabkan oleh sirosis hati. Di Amerika Utara dan Eropa, 90% dari kasus asites disebabkan oleh sirosis, keganasan dan penyakit jantung kongestif. Penyebab asites dapat terlihat di tabel berikut ini: Universitas Sumatera Utara Tabel 2.2. Penyakit penyebab asites ( Cardenas,2006) 2.3.3. Gambaran Klinis Asites Gejala klinis utama dari asites adalah pertambahan lingkar perut yang sering bersamaan dengan oedema tungkai bawah. Pasien asites baru terlihat secara fisik bila jumlah cairan asites ± 1500 cc. Pada pasien dengan cairan asites yang banyak ,fungsi pernafasan dan aktivitas fisik dapat terganggu. Gejala-gejala seperti dispnea, anoreksia, malaise, kelelahan, malnutrisi dan berkurang massa otot . Asites dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat keparahan asites, yaitu : Universitas Sumatera Utara • Grade 1 : asites hanya dapat dideteksi dengan Ultrasonography. • Grade 2 : asites yang menimbulkan distensi abdomen simetris yang sedang ( moderate ascites). • Grade 3 : asites yang menimbulkan distensi abdomen yang berat ( large ascites). Efusi pleura sering dijumpai pada pasien dengan asites. Efusi biasanya ringan sampai sedang dan lebih sering terjadi di lapangan paru kanan (Cardenas, 2006) 2.3.4. Diagnosa Asites pada Pasien Sirosis Hati A. Penilaian umum pada pasien sirosis hati dengan asites meliputi : • Riwayat perjalanan penyakit . • Pemeriksaan fisik ; apakah pembesaran perut yang terjadi karena asites, atau penyebab lain seperti: kegemukan, obstruksi usus, atau adanya massa di abdomen. • Pemeriksaan laboratorium seperti darah rutin, fungsi hemostasis, fungsi hati dan α-fetoprotein • USG abdomen untuk screening hepatocellular carcinoma dan untuk menilai patensi vena porta. • Endoskopi saluran pecernaan atas untuk melihat adanya varises esophagus atau lambung ( Cardenas,2006) Universitas Sumatera Utara B. Pemeriksaan cairan asites Pasien dengan asites yang membutuhkan rawat inap dan menunjukkan gejala-gejala seperti demam, sakit perut, perdarahan gastrointestinal atau hepatic encephalopathy perlu menjalani pemeriksaan cairan asites. Parameter dasar pemeriksaan cairan asites adalah hitung jenis sel leukosit, total protein dan albumin, kultur cairan asites dan sitologi cairan asites. Pemeriksaan cairan asites meliputi: a. Inspeksi Sebagian besar cairan asites berwarna transparan dan kekuningan. Warna cairan akan berubah menjadi merah muda jika terdapat sel darah merah > 10 000/μl, dan menjadi merah jika sel darah merah >20 000/μl. Cairan asites yang berwarna merah akibat trauma akan bersifat tidak homogen dan akan membeku,tetapi jika penyebabnya non trauma akan bersifat homogen dan tidak membeku. Cairan asites yang keruh menunjukan adanya infeksi. b. Hitung jumlah sel Cairan asites yang normal biasanya mengandung < 500 leukosit/mm3 dan <250 PMN/mm3. Apabila jumlah PMN >250/mm3, bisa diperkirakan kemungkinan terjadinya Peritonitis bakterial spontan. Pada tuberkulosis peritoneal dan peritonitis karena karsinoma, jumlah limfosit menjadi dominan. Dua persen penderita sirosis mengalami perdarahan cairan asites (sel darah merah >50.000/mm3), dan 30%nya disebabkan oleh karsinoma hepatoseluler. Universitas Sumatera Utara c. SAAG (Serum Ascites Albumin Gradient) SAAG ini mengklasifikasikan asites akibat hipertensi portal (SAAG>1,1 g/dl) dan non-hipertensi portal (SAAG <1,1 g/dl). Cara penghitungan SAAG adalah dengan menghitung jumlah albumin cairan asites dikurangi jumlah albumin serum. Hal tersebut erat hubungannya dengan tekanan vena porta. Pemeriksaan ini 97% akurat untuk membedakan asites dengan atau tanpa hipertensi portal. Beberapa penyebab asites berdasarkan pembagian menurut nilai SAAG dapat dilihat pada Tabel 2.3 ( Tsao, 2006 ; Cardenas, 2006) Tabel 2.3. Klasifikasi Asites Berdasarkan SAAG (Tsao,2006) d. Kultur atau pewarnaan gram Sensitivitas kultur mencapai 92% dalam mendeteksi bakteri pada cairan asites. Dilain pihak, sensitivitas pewarnaan gram hanya 10%. e. Sitologi Cairan Asites Universitas Sumatera Utara Sensitivitas dari sitologi sekitar 60-90% untuk mendiagnosis asites pada keganasan. 2.4. PERITONITIS BAKTERIAL SPONTAN 2.4.1. Definisi Peritonitis Bakterial Spontan Peritonitis bakterial spontan adalah infeksi spontan pada cairan asites tanpa adanya sumber infeksi atau inflamasi yang jelas dari intraabdomen seperti adanya perforasi usus atau luka operasi . ( Tsao, 2006 ; Cardenas, 2006). 2.4.2. Prevalensi Peritonitis Bakterial Spontan Pada awal tahun 1970-an ketika pertama kali dilaporkan angka mortalitasnya di USA dan Eropa sekitar 90%. Dengan peningkatan kecepatan penegakan diagnosis dan perbaikan penanganannya pada tahun 1990-an, mortalitasnya sudah dapat ditekan sekitar 20% - 30% (Hillebrand DJ, 2000; Tsao , 2006 ; Anadon MN, 2003). Dilaporkan pula, insiden Peritonitis bakterial spontan pada pasien sirosis hati dengan asites berkisar 10% sampai 25% dengan tingkat mortalitas 70% - 80%. Angka kekambuhan antara 40% - 70% setelah infeksi bersih ditangani dalam satu tahun pertama (Tsao, 2006 ; Thomas E, 2014) Di Indonesia dilaporkan angka mortalitas berkisar antara 48% - 57% . Kiran Chugh et.al melaporkan angka kematian karena Peritonitis bakterial spontan yang tidak teratasi dengan pengobatan sangat tingggi yaitu diatas 80% ( Chugh,2015 ) Universitas Sumatera Utara Peritonitis bakterial spontan dapat terjadi pada anak-anak dan orang dewasa dan merupakan komplikasi yang sangat umum terjadi pada pasien dengan sirosis hepatis. Selain itu , peritonitis bakterial spontan dapat terjadi sebagai komplikasi dari setiap keadaan penyakit yang menyebabkan sindrom klinis asites, seperti gagal jantung dan sindrom Budd-Chiari. Anak-anak dengan sindroma nefrotik atau Lupus Eritomatosus Sistemik dengan asites juga memiliki resiko tinggi mengalami Peritonitis bakterial spontan (Pardede, 2013). 2.4.3. Patofisiologi Peritonitis Bakterial Spontan Pada tahun 1960-an, Harold Conn menemukan bahwa 90% bakteri yang berhasil diisolasi dari cairan asites pasien Peritonitis bakterial spontan adalah bakteri dari saluran pencernaan. Hal tersebut menjadi dasar teori translokasi bakteri sebagai penyebab Peritonitis bakterial spontan dimana terjadi migrasi transmural bakteri dari lumen usus. Bakteri dari usus halus bertranslokasi ke kelenjar limfa mesenterium dan kemudian menyebar secara hematogen. Bakteri memasuki cavum peritoneum dan menemukan lingkungan yang sesuai untuk untuk berkembang biak sehingga memudahkan timbulnya Peritonitis bakterial spontan (Hijau, 2014 ; Cardenas, 2006). Teori lainnya menyebutkan bahwa, asites dapat menekan sistem pertahanan tubuh host. Asites menyebabkan dilusi cairan kaya protein yang menyebabkan reduksi opsonin, seperti IgG, komplemen C3 dan penurunan aktivitas sistem retikuloendotelial atau mediator inflamasi lainnya. Selain itu, fagositosis pada cairan kurang efektif di bandingkan di permukaan padat. Universitas Sumatera Utara Faktor predisposisi utama mungkin pertumbuhan berlebih bakteri usus pada pasien sirosis, terutama dikaitkan dengan waktu transit usus yang tertunda. Pertumbuhan bakteri usus yang berlebihan, gangguan fungsi fagositik , kadar komplemen yang rendah dan penurunan aktivitas sistem retikuloendothelial menjadi prediktor timbulnya Peritonitis bakterial spontan.( Kouaouzidis, 2011) Gambar 2.6 Mekanisme terjadinya Peritonitis bakterial spontan pada sirosis hati (Cardenas,2006) Penderita sirosis hepatis yang termasuk klasifikasi Child-Pugh C memiliki resiko terkena Peritonitis bakterial spontan sebanyak 71%. ( Djauzi S, 1999). Penderita sirosis hati yang termasuk klasifikasi Chil-Pugh C memiliki resiko terkena Peritonitis bakterial spontan sebanyak 71%( Djauzi. S, 1999). Skor Child-Pugh merupakan suatu skor untuk menilai cadangan fungsi hati pada penderita sirosis hati, yang dipublikasikan oleh Child (1964). Universitas Sumatera Utara Ada 5 ( lima ) variabel penting yang digunakan yaitu kadar serum bilirubin, serum albumin, asites, gangguan neurologis dan status nutrisi. Kemudian Pugh dkk (1973) memodifikasi kriteria Child, dimana variabel status nutrisi diganti dengan waktu protrombin. Selanjutnya kriteria tersebut dikenal kriteria Child-Pugh. Kelima variabel dibagi dalam 3 kelompok yaitu A, B dan C yang diberi skor 1, 2 dan 3. Selanjutnya berdasarkan nilai skor total diklasifikasikan menjadi Child-Pugh A dengan skor 5 – 6, Child-Pugh B dengan skor 7 – 9, dan Child-Pugh C dengan skor 10 – 15. Berikut adalah tabel skor kriteria Child-Pugh: SKOR 1 2 3 Serum bilirubin (mg/dL) <2 2-3 >3 Serum albumin (mg/dL) > 3,5 2.8 – 3.5 < 2.8 Asites Tidak ada Mudah dikontrol Sulit dikontrol Gangguan neurologi Tidak ada minimal koma <4 4-6 >6 Waktu protrombin ( detik) Tabel. 2.4. Skor Child-Pugh (Nurdjanah, 2006) Selain itu, perdarahan saluran cerna juga memperbesar resiko terjadinya Peritonitis bakterial spontan karena meningkatkan terjadinya bakterinemia pada saat terjadinya perdarahan akut ( Yu AS, 2001). Berikut faktor resiko yang meningkatkan terjadinya Peritonitis bakterial spontan (Runyon , 1992) 1. Sirosis hati dengan kriteria Child-Pugh klas C Universitas Sumatera Utara 2. Perdarahan saluran cerna pada Child-Pugh klas C dengan atau tanpa skleroterapi. 3. Kadar protein cairan asites < 1 gr/ dL 4. Infeksi saluran kemih atau infeksi saluran pernafasan 5. Penggunaan infus intra vena 6. Pernah mengalami Peritonitis bakterial spontan sebelumnya 7. Parasentesis dalam jumlah banyak 2.4.4. Etiologi Peritonitis Bakterial Spontan Kuman penyebab Peritonitis bakterial spontan sebanyak 92% adalah monomikrobial. Yang paling sering muncul adalah bakteri gram negatif bentuk batang seperti Escherichia coli (70%) dan Klebsiella spp (10%). Bakteri gram positif dijumpai pada 25% kasus Peritonitis bakterial spontan (Jennings,2010; Alaniz. 2009). Yang paling sering adalah Streptococcus pneumonia, tetapi pernah juga ditemukan Streptococcus viridians. Enterococcus spp pernah dilaporkan pada sekitar 6%- 10% kasus. Staphylococcus aureus dilaporkan pada 2% - 4% kasus Peritonitis bakterial spontan. Berikut tabel yang menunjukkan persentase bakteri penyebab Peritonitis bakterial spontan.( Kouaouzidis, 2011) Universitas Sumatera Utara Tabel 2.5. Bakteri penyebab PBS ( Greenberger, 2010) Infeksi bakteri pada cairan asites dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok yaitu: (1) Peritonitis bakterial spontan didefinisikan jika positif ditemukan bakteri dalam asites, bersama dengan leukosit polimorfonuklear yang meningkat dalam asites (> 250 sel/mm3). (2) Kultur negative asites neutrocytic (Culture-negative neutrocytic ascites , CNNA). Infeksi bakteri tidak dapat dibuktikan dengan kultur, hanya peningkatan jumlah leukosit polimorfonuklear diatas batas 250 sel/mm3 yang terlihat. (3) Monomicrobial non-neutrocytic bacterascites (hanya bacterascites) jarang dijelaskan. Pada gangguan ini, positif kultur bakteri tidak disertai dengan peningkatan leukosit. Universitas Sumatera Utara (4) Polymicrobial bacteriascites. Pada gangguan ini, positif kultur bakteri multiple tidak disertai dengan peningkatan leukosit. Biasanya mengindikasikan adanya perforasi dinding usus pada saat parasentesis. (5) Secondary bacterial peritonitis. Pada gangguan ini, positif kultur bakteri multiple disertai dengan peningkatan leukosit. Di bedakan dari Peritonitis bakterial spontan oleh adanya sumber infeksi intraabdominal akibat prosedur operasi ( Jennings, 2010) 2.4.5. Diagnosa Peritonitis Bakterial Spontan Gejala klinis pasien Peritonitis bakterial spontan sangat bervariasi . Kadang- kadang sulit di kenali atau bahkan tampak jelas seperti gejal sepsis. Gambaran klinis yang terlihat dapat berupa demam, gangguan status mental , abdominal tenderness, perdarahan gastrointestinal, menggigil, mual atau muntah. Beberapa penelitian melaporkan bahwa sebanyak 30% pasien Peritonitis bakterial spontan tidak menunjukkan gejala klinis. Atau bahkan gejala bisa sama dengan kondisi lain pada sirosis seperti hepatik ensefalopati. Oleh karena itu, pemeriksaan cairan asites sangat penting untuk menegakkan diagnosis. Berikut adalah tabel yang menunjukkan tanda dan gejala klinis pada pasien Peritonitis bakterial spontan.(Enamoto,2014) Universitas Sumatera Utara Tabel 2.6. Tanda dan gejal klinis Peritonitis bakterial spontan (Cardenas, 2006) Kultur cairan asites positif dan peningkatan jumlah sel polymophonuclear leukocyte (PMNL) ≥ 250/mm2 adalah gold standard untuk penegakan diagnosis Peritonitis bakterial spontan. Tetapi, kultur cairan asites membutuhkan waktu yang lama. Sedangkan pemeriksaan PMNL dari cairan asites menggunakan alat automated cell counter yang mahal . Oleh karena itu, dibutuhkan tes diagnostik yag cepat , mudah dan cepat. Pemeriksaan carik celup leukosit esterase, biasanya digunakan untuk pemeriksaan PMNL di urine. Leukosit esterase adalah enzim intrasellular yang ada dalam PMNL yang dilepaskan bila PMNL lisis dalam proses inflamasi. Beberapa penelitian tentang tes ini untuk diagnosa Peritonitis bakterial spontan menunjukkan hasil dengan sensitivitas, spesifisitas dan negative predictive value 90% atau lebih tinggi. Penelitian- penelitian itu Universitas Sumatera Utara menunjukkan bahwa test ini dapat memperpendek waktu diagnosis Peritonitis bakterial spontan (Cardenas, 2006). Universitas Sumatera Utara 2.5. KERANGKA TEORI Sirosis hati Pertumbuhan bakteri yang berlebihan & kerusakan dinding usus Translokasi bakteri Saluran pernafasan, saluran kemih, IV Sintesis albumin↓ Volume cairan peritoneum ↑ Kadar albumin cairan peritoneum ↓↓ imunodefisiensi Kadar albumin serum ↓ bakterinemia Asites Infeksi cairan asites Peritonitis bakterial spontan Gambar 2.7. Kerangka Teori Universitas Sumatera Utara