Pemilik atau pemegang saham sebagai prinsipal,sedangkan manajemen sebagai agen. Agency Theory mendasarkan hubungan kontrak agar anggota-anggota dalam perusahaan, dimana prinsipal dan agen sebagai pelaku utama. Prinsipal merupakan pihak yang memberikan mandat kepada agen untuk bertindak atas nama prinsipal, sedangkan agen merupakan pihak yang diberi amanat oleh prinsipal untuk menjalankan perusahaan. Agen berkewajiban untuk mempertanggung jawabkan apa yang telah diamanahkan oleh prinsipal kepadanya. Aplikasi agency theory dapat terwujud dalam kontrak kerja yang akan mengatur proporsi hak dan kewajiban masing-masing pihak dengan tetap memperhitungkan kemanfaatan secara keseluruhan. Kontrak kerja merupakan seperangkat aturan yang mengatur mengenai mekanisme bagi hasil, baik yang berupa keuntungan,return maupun resiko-resiko yang disetujui oleh prinsipal dan agen. Kontrak kerja akan menjadi optimal bila kontrak dapat fairness yaitu mampu menyeimbangkan antara prinsipal dan agen yang secara matematis memperlihatkan pelaksanaan kewajiban yang optimal oleh agen dan pemberian insentif/imbalan khusus yang memuaskan dari prinsipal ke agen. Inti dari Agency Theory atau teori keagenan adalah pendesainan kontrak yang tepat untuk menyelaraskan kepentingan prinsipal dan agen dalam hal terjadi konflik kepentingan (Scott, 1997). Adanya posisi, fungsi, kepentingan dan latar belakang prinsipal dan agen yang berbeda saling bertolak belakang namun saling membutuhkan ini, mau tidak mau dalam praktiknya akan menimbulkan pertentangan dengan saling tarik menarik pengaruh dan kepentingan antara satu sama lain. Menurut Eisenhard (1989), teori keagenan dilandasi oleh 3 buah asumsi yaitu: (a) Asumsi tentang sifat manusia Asumsi tentang sifat manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat untuk mementingkan diri sendiri (self interest), memiliki keterbatasan rasionalitas (bounded rationality), dan tidak menyukai resiko (risk aversion). (b) Asumsi tentang keorganisasian Asumsi keorganisasian adalah adanya konflik antar anggota organisasi,efisiensi sebagai kriteria produktivitas, dan adanya Asymmetric Information (AI) antara prinsipal dan agen. (c) Asumsi tentang informasi. Asumsi tentang informasi adalah bahwa informasi dipandang sebagai barang komoditi yang bisa diperjual belikan. Penting diketahui bahwa Prinsipal sebagai pemilik modal mempunyai hak akses pada informasi internal perusahaan, sedangkan agen yang menjalankan operasional perusahaan mempunyai informasi tentang operasi dan kinerja perusahaan secara riil dan menyeluruh. Asimetris Informasi Asimmetric Information (AI), yaitu informasi yang tidak seimbang yang disebabkan karena adanya distribusi informasi yang tidak sama antara prinsipal dan agen. Akibatnya adanya informasi yang tidak seimbang (asimetri) ini, dapat menimbulkan 2 (dua) permasalahan yang disebabkan adanya kesulitan prisipal untuk memonitor dan melakukan kontrol terhadap tindakan-tindakan agen. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan permasalahan tersebut adalah : (a) Moral Hazard (pada agen) Yaitu permasalahan yang muncul jika agen tidak melaksanakan hal-hal yang telah disepakati bersama dalam kontrak kerja. (b) Adverse Selection Yaitu suatu keadaan dimana prinsipal tidak dapat mengetahui apakah suatu keputusan yang diambil oleh agen benar-benar didasarkan atas informasi yang telah diperolehnya, atau terjadi sebagai sebuah kelalaian dalam tugas. Biaya Keagenan Menurut Brigham (1997) agency cost adalah seluruh biaya-biaya yang digunakan untuk memonitoring manajer. Menurut Gitman (2002) bahwa agency cost adalah biaya-biaya yang ditanggung para pemegang saham untuk mencegah atau meminimalkan masalah-masalah keagenan dan untuk memaksimalkan kekayaan pemegang saham. Menurut Jensen dan Meckling (1976), agency cost adalah biaya-biaya yang ditanggung oleh pemegang saham untuk mencegah atau meminimalkan masalahmasalah keagenan dan memaksimumkan keuntungan pemegang saham. Keuntungan ini adalah laba perusahaan yang dibagikan dalam bentuk dividen. Adanya agency problem di atas, menimbulkan biaya keagenan (agency cost), yang menurut Jensen dan Meckling (1976) terdiri dari : (a) The monitoring expenditures by the priciple Biaya monitoring dikeluarkan oleh prinsipal untuk memonitor prilaku agen, termasuk juga usaha untuk mengendalikan (control) perilaku agen melalui budget restriction, compensation policies. (b) The bonding expeditures by the agent. The bonding cost dikeluarkan oleh agen untuk menjamin bahwa agen tidak akan menggunakan tindakan tertentu yang akan merugikan prinsipal atau untuk menjamin bahwa prinsipal akan diberi kompensasi jika ia tidak mengambil banyak tindakan. (c) The residual loss Merupakan penurunan tingkat kesejahteraan prinsipal maupun agen setelah adanya agency relationship. Baik prinsipal maupun agen, keduanya mempunyai bargaining position. Prinsipal sebagai pemilik modal mempunyai hak akses pada informasi internal perusahaan, sedangkan agen yang menjalankan operasional perusahaan mempunyai informasi tentang operasi dan kinerja perusahaan secara riil dan menyeluruh, namun agen tidak mempunyai wewenang mutlak dalam pengambilan keputusan, apalagi keputusan yang bersifat strategis, jangka panjang dan global. Hal ini disebabkan untuk keputusan-keputusan tersebut tetap menjadi wewenang dari prinsipal selaku pemilik perusahaan. Adanya posisi, fungsi, kepentingan dan latar belakang prinsipal dan agen yang berbeda saling bertolak belakang namun saling membutuhkan ini, mau tidak mau dalam praktiknya akan menimbulkan pertentangan dengan saling tarik menarik pengaruh dan kepentingan antara satu sama lain. Apabila agen (yang berperan sebagai penyedia informasi bagi prinsipal dalam pengambilan keputusan) melakukan upaya sistematis yang dapat menghambat prisipal dalam pengambilan keputusan strategis melalui penyediaan informasi yang tidak transparan, sedang di lain pihak prinsipal selaku pemilik modal bertindak semaunya atau sewenang-wenang karena ia merasa sebagai pihak yang paling berkuasa dan penentu keputusan dengan wewenang yang tak terbatas, maka kemudian yang terjadi adalah pertentangan yang semakin tajam yang akan menyebabkan konflik yang berkepanjangan yang pada akhirnya merugikan semua pihak. Baik prinsipal maupun agen diasumsikan sebagai orang ekonomik (homo economicsus) yang berperilaku ingin memaksimalkan kepentingannya masingmasing. Dalam konsep Agency Theory, manajemen sebagai agen semestinya on behalf the best interest of the shareholders, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan manajemen hanya mementingkan kepentingannya sendiri untuk memaksimalkan utililitas. Dalam uraian tentang Agency Theory diatas disebutkan bahwa adanya perilaku dari manajer atau agen untuk bertindak hanya untuk menguntungkan dirinya sendiri dengan mengorbankan kepentingan pihak lain/pemilik, dapat terjadi karena manjer mempunyai informasi yang lengkap mengenai perusahaan, sedangkan informasi tersebut tidak dimilki oleh pemilik perusahaan (dalam hal ini timbul Asymmetric Information atau AI). Adanya AI dan Self Serving Behavior pada manager/agen, memungkinkan mereka untuk mengambil keputusaan dan kebijakan yang kurang bermanfaat bagi perusahaan. Adanya kondisi ini menimbulkan tata kelola perusahaan yang kurang sehat karena tidak adanya keterbukaan dari manajemen untuk mengungkapkan hasil kinerjanya kepada prinsipal sebagai pemilik perusahaan. Agency Theory menganalisis dan mencari solusi atas dua permasalahan yang muncul dalam hubungan antara para prinsipal (pemilik/pemegang saham) dan agen (manajemen). Manajemen Laba dan Kompensasi Eksekutif Manajemen laba (earnings management) merupakan tindakan manajemen dalam proses penyusunan laporan keuangan untuk mempengaruhi tingkat laba yang ditampilkan. Tujuannya adalah meningkatkan kesejahteraan pihak tertentu, walaupun dalam jangka panjang (laba kumulatif) tidak terdapat perbedaan laba yang dapat diidentifikasi sebagai suatu keuntungan. Masalah manajemen laba merupakan masalah keagenan yang seringkali dipicu oleh adanya pemisahan peran atau perbedaan kepentingan antara pemilik (pemegang saham) dengan pengelola (manajemen) perusahaan. Lebih jauh lagi, manajemen sebagai pengelola perusahaan memiliki informasi tentang perusahaan lebih cepat, lebih banyak, dan lebih valid daripada pemegang saham (information asymmetry) sehingga memungkinkan manajemen melakukan praktik akuntansi dengan berorientasi pada angka laba, yang dapat menciptakan kesan (prestasi) tertentu. Manajemen laba mencakup usaha manajemen untuk memaksimumkan, atau meminimumkan laba, termasuk perataan labasesuai dengan keinginan manajemen. Hal ini dilakukan tentunya dengan maksudagar investor tidak menarik modalnya sehingga perusahaan dapat terus beroperasi. Namun, dalam beberapa situasi, informasi yang cenderung tampak baikjuga akan meningkatkan kehatihatian investor dalam berinvestasi. PENTING MEMAHAMI LATAR BELAKANG (MAKALAH BAB 1). “TEORI KEAGENAN MEMICU MUNCULNYA KEINGINAN MANAJER UNTUK MEMANAJEMENKAN LABANYA DENGAN HARAPAN MEMPEROLEH KOMPENSASI EKSEKUTIF” Pengertian Manajemen Laba Manajemen laba merupakan tindakan manajer untuk meningkatkan (mengurangi) laba yang dilaporkan saat ini atas suatu unit usaha dimana manajer bertanggung jawab, tanpa mengakibatkan peningkatan (penurunan) profitabilitas ekonomi jangka panjang unit tersebut. Faktor-Faktor Pendukung 1) Hipotesis Bonus Plan. Bahwa pada perusahaan dengan bonus plan cenderung untuk menggunakan metode akuntansi yang akan meningkatkan income saat ini. 2) Debt To Equity Hypothesis. Bahwa pada perusahaan yang mempunyai rasio debt to equity besar maka manajer perusahaan tersebut cenderung menggunakan metode akuntansi yang akan meningkatakan pendapatan atau laba. 3) Political Cost Hypothesis Bahwa pada perusahaan yang besar, yang kegiatan operasinya menyentuh sebagian besar masyarakat akan cenderung untuk mengurangi laba yang dilaporkan. A. Sasaran Manajemen Laba Menurut Ayres (1994:27-29) terdapat unsur-unsur laporan keuangan yang dapat dijadikan sasaran untuk dilakukan manajemen laba yaitu : 1) Kebijakan Akuntansi. Keputusan manajer untuk menerapkan suatu kebijakan akuntansi yang wajib diterapkan oleh suatu perusahaan, yaitu antara menerapkan akuntansi lebih awal dari waktu yang ditetapkan atau menundanya sampai saat berlakunya kebijakan tersebut. 2) Pendapatan. Dengan mempercepat atau menunda pengakuan akan pendapatan. 3) Biaya Menganggap sebagai ongkos (beban biaya) atau menganggap sebagai suatu tambahan investasi atas suatu biaya (amortize or capitalize of investment). B. Alasan Dilakukan Manajemen Laba Alasan dilakukan manajemen laba karena: 1) Manajemen laba dapat meningkatkan kepercayaan pemegang saham terhadap manajer. Manajemen laba berhubungan erat dengan tingkat perolehan laba atau prestasi usaha suatu organisasi, hal ini karena tingkat keuntungan atau laba dikaitka n dengan prestasi manajemen dan juga besar kecilnya bonus yang akan diterima oleh manajer. 2) Manajemen laba dapat memperbaiki hubungan dengan pihak kreditor. Perusahaan yang terancam default yaitu tidak dapat memenuhi kewajiban pembayaran utang pada waktunya, perusahaan berusaha menghindarinya dengan membuat kebijakan yang dapat meningkatkan pendapatan maupun laba. Dengan demikian akan memberi posisi bargaining yang relatif baik dalam negoisasi atau penjadwalan ulang utang antara pihak kreditor dengan perusahaan. 3) Manajemen laba dapat menarik investor untuk menanamkan modalnya terutama pada perusahaan go publik pada saat IPO. C. Teknik Manajemen Laba Ada tiga cara yang dapat digunakan untuk melakukan manajemen laba pada laporan keuangan Scott (2000) dalam gumanti (2000), yaitu: 1. Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi. Cara ini merupakan cara manajer untuk mempengaruhi laba melalui judgement terhadap estimasi akuntansi antara lain: estimasi tingkat piutang tak tertagih, estimasi kurun waktu depresiasi aktiva tetap atau amortisasi aktiva tak berwujud, estimasi biaya garansi, dan lainlain. 2. Mengubah metode akuntansi, Perubahan metoda akuntansi yang digunakan untuk mencatat suatu transaksi, contoh: mengubah metode depresiasi aktiva tetap, dari metode depresiasi angka tahun ke metode depresiasi garis lurus. 3. Menggeser perioda biaya atau pendapatan, Beberapa orang menyebutkan rekayasa jenis ini sebagai manipulasi keputusan operasional (Fischer dan Rozenzweig, 1995; Bruns dan Merchant, 1990). Contoh: rekayasa perioda biaya atau pendapatan antara lain: mempercepat atau menunda pengeluaran untuk penelitian sampai perioda akuntans i berikutnya (Daley dan Vigeland, 1993), mempercepat atau menunda pengeluaran promosi sampai perioda akuntansi berikutnya, mengatur saat penjualan aktiva tetap yang sudah tidak dipakai, dan lain -lain. Model lihat di Makalah – tentang manajemen laba Pengertian Kompensasi Eksekutif. Kompensasi dapat diartikan sebagai pemberian imbalan atas hasil kerja yang dilakukan dengan melihat prestasi kerja itu sendiri. Prestasi kerja yang dilakukan dapat dinilai dan diukur berdasarkan suatu penilaian yang telah ditentukan perusahaan secara objektif. Handoko (1998) menyatakan bahwa : “Kompensasi adalah pemberian kepada karyawan dengan pembayaran finansial sebagai balas jasa untuk pekerjaan yang dilaksanakan dan sebagai motivator untuk pelaksanaan kegiatan di waktu yang akan datang”. Kompensasi eksekutif adalah mekanisme kekuasaan yang berusaha mensejajarkan kepentingan manajer dan pemilik lewat gaji, bonus, dan khususnya kompensasi insentif jangka panjang seperti kepemilikan saham. Unsur-Unsur Yang Menjadi Pertimbangan Dalam Manajemen Kompensasi Menurut Mangkuprawira (2003) ada beberapa prinsip yang diterapkan dalam manajemen kompensasi, antara lain : 1. Terdapatnya rasa keadilan dan pemerataan pendapatan dalam perusahaan. 2. Setiap pekerjaan dinilai melalui proses evaluasi pekerjaan dan kinerja atau performance. 3. Mempertimbangkan keuangan perusahaan. 4. Nilai rupiah dalam sistem penggajian mampu bersaing dengan harga pasar tenaga kerja sejenis. 5. Sistem penggajian yang baru dapat membedakan orang yang berprestasi baik dan yang tidak dalam golongan yang sama 6. Sistem penggajian yang baru harus dikaitkan dengan penilaian kinerja karyawan. 1. 2. 3. 1. Karakteristik Komponen Insentif Paket kompensasi dari seorang manajer terdiri dari 3 komponen yaitu: Gaji Benefit (biasanya selain dalam bentuk dana pensiun dan manfaat kesehatan, juga berbagai bentuk penghasilan tambahan lainnya). Kompensasi insentif Ketiga komponen di atas saling berkait, tapi kompensasi insentif secara khusus berkaitan dengan fungsi pengendalian manajemen. Kompensasi tersebut berbeda dengan dua jenis kompensasi yang lain yaitu gaji atau upah dan berbagai jenis tunjangan. Kompensasi insentif akan diterima anggota organisasi apabila realisasi laba, volume produksi, volume penjualan atau hasil penjualan berada diatas anggaran. Perbedaan lainnya antara insentif dengan gaji dan tunjangan-tunjangan adalah dalam pembagian jumlah yang akan diterima oleh manajer dan karyawan. Rencana kompensasi insentif dapat dibagi menjadi dua yaitu : (1) kompensasi insentif jangka pendek dan (2) kompensasi insentif jangka panjang. INSENTIF UNTUK CORPORATE OFFICER Setiap pimpinan perusahaan, kecuali chief excutive officer ikut bertanggung jawab, walaupun sebagian, terhadap kinerja perusahaan secara keseluruhan. Pimpinan seperti ini dinilai dan dimotivasi atas dasar bonus untuk kinerja yang baik. Walaupun bagian kinerja yang mereka hasilkan tidak bisa diukur. Untuk mendorong motivasi yang diinginkan, pimpinan puncak biasanya mendasarkan pada perhitungan kinerja masing-masing orang. Kompensasi untuk CEO biasanya didiskusikan oleh panitia kompensasi dari dewan direktur setelah CEO mempresentasikan rekomendasi kompensasi untuk bawahannya. Dari presentasi ini, sikap dasar CEO tentang keinginan presentase tertentu atas kompensasi insentif yang diberikan bisa dilihat nantinya. Dalam keadaan biasa panitia secara sederhana menerapakan presentase yang sama untuk kompensasi CEO. Namun, panitia biasanya memberi tanda untuk kinerja CEO yang berbeda dengan memutuskan apakah memberikan presentase yang lebih tinggi atau lebih rendah. HUBUNGAN KEAGENAN DAN KOMPENSASI MANAJEMEN KONSEP Suatu hubungan keagenan ada jika satu pihak (prinsipal) menyewa pihak lain (agen) untuk menjalankan beberapa jasa. Jasa yang dimaksud membutuhkan prinsipal untuk mendelegasikan beberapa otorisasi pembuatan keputusan kepada agen. Ada dua bentuk hubungan keagenan. Pertama, adanya kesepakatan dimana pemilik ataupun pemegang saham suatu perusahaan menyewa CEO untuk menjadi agen mereka dalam mengelola perusahaan dengan menjaga kepentingan terbaik perusahaan tersebut. Kedua, ada persetujuan dimana CEO perusahaan bertindak b. c. 2. a. b. sebagai prinsipal dan menyewa manajer suatu bagian atau divisi sebagai agen untuk mengelola suatu unit organisasi yang telah didesentrasikan. Perbedaan tujuan antara prinsipal dan agen Teori agen mendasarkan pada semua individu bekerja sesuai kepentingannya sendiri. Agen diasumsikan menerima kepuasan tidak hanya dari kompensasi keuangan tapi juda dari penghasilan tambahan yang berkaitan dengan hubungan keagenan. Perbedaan lainnya adalah preferensi resiko. Teori agen mendasarkan pada asumsi bahwa manager lebih suka kekayaan dikurangi, tapi utility marginal ataupun kepuasaan menurun setelah harta terkumpul. Agen pada dasarnya, kekayaan yang ada padanya tergantung pada keberuntungan perusahaan. Kekayaan ini terdiri dari kekayaan keuangan dan modal pribadi. Karena penurunan utilitas kekayaan dan jumlah modal agen tergantung pada perusahaan, maka agen diasumsikan risk averse; Tindakan agen yang tidak bisa diamati Perbedaan dalam hal preferensi kaitannya dengan kompensasi dan penghasilan tambahan lainnya timbul jika prinsipal tidak bisa dengan mudah memonitor kinerja CEO. Keadaan ini menyebabkan 2 hal yaitu pertama, situasi dimana informasi asimetris (prinsipal tidak tahu pasti kontribusi sebenarnya dri agen terhadap hasil yang dicapai. Kedua, resiko moral (kesalahan dalam memberi informasi). MEKANISME KONTROL Teori agen menyatakan ada 2 cara utama yang berkaitan dengan perbedaan tujuan dan asimetri informasi yakni monitoring dan incentives. Monitoring, Prinsipal bisa mendesain sistem pengendalian untuk memonitor tindakan agen. Contohnya dengan mengaudit laporan keuangan yang dilakukan pihak luar dan dikirmkan ke pemilik. Teori agen berupaya menjelaskan mengapa perbedaan hubungan agen yang berbeda memerlukan tingkatan monitoring yang berbeda pula. Insentif, Prinsipal berusahan membatasi perbedaan preferensi yang membuat kontrak insentif yang memadai. Makin banyak imbalan seorang agen tergantung pada ukuran kinerja, makin banyak insentif yang diperlukan untuk agen meningkatkan ukuran tersebut. Sistem kompensasi yang tidak mendorong ke arah kontrak insentif akan membawa masalah yang serius. Tidak ada satupun persetujuan insentif yang bisa menjamin keselarasan tujuan secara lengkap. Hal ini karena perbedaan resiko preferensi antara 2 pihak, asimentris infromasi dan biaya monitoring. 3. RENCANA KOMPENSASI DAN KEPEMILIKAN SAHAM UNTUK CEO Sebagai contoh biaya agen yang berkaitan dengan kompensasi insentif, jika perusahaan membayar seorang CEO dengan bonus dalam bentuk stock option. Agen yang telah memiliki risk averse, menambah resiko jika ia dibayar atas dasar kinerja harga saham. Masalah lainnya adalah kurangnya kaitan secara langsung antara usaha agen dan perubahan atas harga saham. Harga saham dipengaruhi oleh faktor diluar kemampuan seorang agen untuk mengawasinya.