BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory) Teori keagenan membahas tentang adanya hubungan keagenan antara principal dengan agen. Hubungan keagenan adalah sebuah kontrak dimana satu atau lebih principal menyewa orang lain (agen) untuk melakukan beberapa jasa untuk kepentingan mereka yaitu mendelegasikan beberapa wewenang pembuatan keputusan kepada agen. Yang disebut dengan principal adalah pihak yang memberi mandat kepada agen, dalam hal ini yaitu pemegang saham. Sedangkan yang disebut dengan agen adalah pihak yang mengerjakan mandat dari principal, yaitu manajemen yang mengelola perusahaan. Tujuan utama dari teori keagenan adalah untuk menjelaskan bagaimana pihak-pihak yang melakukan hubungan kontrak dapat mendesain kontrak yang tujuannya untuk meminimalisir cost sebagai dampak adanya informasi yang tidak simetris dan kondisi ketidakpastian (diakses melalui http: digilib.petra.ac.id) Teori keagenan dilandasi oleh beberapa asumsi (Eisenhardt, 1989 dalam Emirzon, 2007). Asumsi-asumsi tersebut dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu asumsi tentang sifat manusia, asumsi keorganisasian dan asumsi informasi. Asumsi sifat manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat mementingkan diri sendiri (self-interest), manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan manusia selalu menghindari resiko 9 (risk averse). Asumsi keorganisasian adalah adanya konflik antar anggota organisasi, efisiensi sebagai kriteria efektivitas dan adanya asimetri informasi antara principal dan agent. Asumsi informasi adalah bahwa informasi sebagai barang komoditi yang dapat diperjualbelikan. Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia dijelaskan bahwa masing-masing individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara prinsipal dan agen. Pihak pemilik (principal) termotivasi mengadakan kontrak untuk mensejahterahkan dirinya dengan profitabilitas yang selalu meningkat. Sedangkan manajer (agent) termotivasi untuk memaksimalkan pemenuhan ekonomi dan psikologinya, antara lain dalam hal memperoleh investasi, pinjaman, maupun kontrak kompensasi. Dengan demikian terdapat dua kepentingan yang berbeda di dalam perusahaan dimana masing-masing pihak berusaha untuk mencapai atau mempertahankan tingkat kemakmuran yang dikehendaki (Ningsaptiti, 2010). Permasalahan yang timbul akibat adanya perbedaan kepentingan antara prinsipal dan agen disebut dengan agency problems. Salah satu penyebab agency problems adalah adanya asimetri informasi. Asimetri informasi adalah ketidakseimbangan informasi yang dimiliki oleh prinsipal dan agen, ketika prinsipal tidak memiliki informasi yang cukup tentang kinerja agen sebaliknya, agen memiliki lebih banyak informasi mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja dan perusahaan secara keseluruhan (Widyaningdyah, 2001) Teori keagenan menjelaskan bahwa hubungan agensi muncul ketika satu orang atau lebih (principal) mempekerjakan orang lain (agent) untuk memberikan 10 suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agent tersebut (Jensen dan Meckling, 1976). (Arfan dkk, 2005) Teori agensi mendasarkan pemikiran atas adanya perbedaan informasi antara atasan dengan bawahan, antara kantor pusat dan kantor cabang, atau adanya asimetri informasi yang memengaruhi penggunaan sistem akuntansi. Dari sudut pandang teori agensi, prinsipal (pemilik dan manajemen puncak) membawahi agen (karyawan atau manajer yang lebih rendah) untuk melaksanakan kinerja yang efisien. Teori ini mengasumsikan kinerja yang efisien dan bahwa kinerja organisasi ditentukan oleh usaha dan pengaruh kondisi lingkungan. Agen dan prinsipal diasumsikan termotivasi kepentingannya sendiri, dan sering kali kepentingan antara keduanya berbenturan. Menurut pandangan prinsipal, kompensasi yang diberikan kepada agen tersebut didasarkan pada hasil, sementara menurut pandangan agen, dia lebih suka jika sistem kompensasi tersebut tidak semata-mata melihat hasil tapi juga tingkat usahanya. Sebagai pengelola perusahaan, Agen akan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan dibandingkan prinsipal ( pemilik atau pemegang saham). Agen berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada prinsipal sebagai wujud dari pertanggungjawaban atas pengelolaan perusahaan. 2.1.2 Teori Sinyal ( Signaling theory) Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan selalu berdampak pada para stakeholders seperti karyawan, pemasok, investor, pemerintah, konsumen, serta masyarakat. Kegiatan-kegiatan tersebut menjadi perhatian dan minat dari 11 para stakeholders, terutama para investor dan calon investor sebagai pemilik dan penanam modal perusahaan. Oleh karenanya, perusahaan berkewajiban untuk memberikan laporan sebagai informasi kepada para stakeholders ( Danu,2011). Laporan – laporan yang dipublikasikan oleh perusahaan pada umumnya yaitu satu set laporan keuangan. Belakangan laporan keuangan mulai dilengkapi dengan laporan tambahan, yaitu laporan yang lebih dari laporan keuangan seperti misalnya laporan tahunan yang berisikan laporan perusahaan mengenai aktivitas Corporate Sosial Responsibility (CSR). Hal ini dilakukan untuk mengurangi terjadinya asimetri informasi yang terjadi antara agen dengan prinsipal. Dengan disertakannya laporan tambahan seperti laporan aktivitas CSR perusahaan maka diharapkan hal tersebut akan berdampak positif bagi perusahaan. Dalam hal ini, perusahaan memberikan tanda (signal) kepada stakholders mengenai kepedulian perusahaan terhadap lingkungan sekitarnya. Dengan demikian diharapkan investor dapat melihat sinyal yang diberikan perusahaan bahwa perusahaan tidak mengejar keuntungan semata namun, tetap memperhatikan lingkungan sekitarnya. Menurut Drever dkk (2007) dalam Danu (2011) signaling theory menekankan bahwa perusahaan pelapor dapat meningkatkan nilai perusahaan melalui pelaporannya. Jika perusahaan gagal dalam menyajikan informasi yang lebih, maka para stakeholders hanya akan menilai perusahaan sebagai perusahaan rata-rata sama dengan perusahaan-perusahaan yang tidak mengungkapkan laporan tambahan. 12 Hal ini memberikan motivasi bagi perusahaan-perusahaan untuk mengungkapkan laporan tambahan. sehingga, signaling theory menekankan bahwa perusahaan akan cenderung menyajikan informasi yang lebih lengkap untuk memperoleh reputasi yang lebih baik dibandingkan perusahaan-perusahaan yang tidak mengungkapkan, yang pada akhirnya akan menarik investor serta meningkatkan nilai perusahaan itu sendiri. 2.1.3 Laporan Tahunan laporan tahunan merupakan salah satu sumber informasi yang mencakup informasi historis tentang perusahaan, informasi mengenai administrasi perusahaan, informasi tentang perusahaan, sumber keuangan, serta informasi tentang asset dan kinerja. Lavers (1993) dalam Febrina (2011) menyarankan dua keunggulan yang berbeda untuk menggunakan laporan tahunan yaitu pertama, perusahaan dapat melakukan kontrol editorial untuk mencegah mungkin jurnalistik penafsiran atau distorsi, dan kedua, laporan dapat digunakan sebagai tujuan perbandingan. PSAK No.1 (revisi 2009) menunjukkan bahwa perusahaaan yang ada di Indonesia diberikan suatu kebebasan dalam mengungkapkan informasi tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam laporan keuangan tahunan perusahaan. BAPEPAM – LK selaku lembaga yang mengatur dan mengawasi pelaksanaan pasar modal dan lembaga keuangan di Indonesia telah mengeluarkan beberapa aturan tentang disclosure yang harus dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang go public. Peraturan tersebut dimaksudkan untuk melindungi para pemilik modal 13 dari adanya asimetri informasi. Perusahaan dapat memberikan pengungkapan melalui laporan tahunannya yang telah diatur oleh BAPEPAM – LK, maupun melalui pengungkapan sukarela sebagai tambahan pengungkapan minimum yang telah ditetapkan. 2.1.4 Pengungkapan Laporan Keuangan Sebagai usaha untuk meningkatkan pelaporan eksternal, AICPA pada tahun 1991 membentuk komite khusus untuk pelaporan keuangan atau Komite Jenkins (Belkaoui, 2006: 335). Komite tersebut mengidentifikasikan area-area berikut ini dalam laporan keuangan yang sebaiknya ditingkatkan lagi untuk memenuhi kebutuhan para pengguna informasi. 1) Meningkatkan pengungkapan dari informasi segmen bisnis 2) Menangani pengungkapan dan akuntansi untuk instrumen-instrumen keuangan yang inovatif. 3) Meningkatkan pengungkapan mengenai identitas, peluang, dan risiko dari rencana-rencana pembiayaan di luar buku dan mempertimbangkan kembali akuntansi bagi rencana-rencana tersebut. 4) Melaporkan secara terpisah dampak-dampak dari aktivitas dan peristiwa inti dan non-inti, dan mengukur aktiva dan kewajiban non-inti dengan nilai wajar. 5) Meningkatkan pengungkapan mengenai ketidakpastian pengukuran atas aktiva dan kewajiban tertentu. 6) Meningkatkan pelaporan triwulan dengan memberikan pelaporan pada triwulan keempat secara terpisah dan memasukkan data segmen bisnis. 14 Laporan tersebut juga mengusulkan model komprehensif yang dirancang untuk sesuai dengan proses pengambilan keputusan yang diterapkan oleh para pengguna dalam membuat proyeksi, nilai perusahaan atau menilai prospek dari pembayaran kembali pinjaman. Elemen-elemen tersebut adalah sebagai berikut: 1) Data keuangan dan nonkeuangan: a) Laporan keuangan dan pengungkapan yang berkaitan. b) Data operasi tingkat tinggi dan pengukuran kinerja yang digunakan oleh manajemen dalam mengelola bisnisnya. 2) Analisis manajemen terhadap data keuangan dan nonkeuangan: a) Alasan-alasan untuk perubahan yang terjadi dalam data keuangan, operasional, dan yang berhubungan dengan kinerja, serta identitas dan dampak masa lalu dari tren-tren kunci. 3) Informasi yang menatap masa depan: a) Peluang dan risiko, termasuk yang diakibatkan oleh tren-tren kunci. b) Rencana manajemen, termasuk faktor-faktor keberhasilan yang penting. c) Perbandingan antara kinerja bisnis aktual dengan peluang-peluang, risiko, dan rencana manajemen yang diungkapkan sebelumnya. 4) Informasi mengenai manajemen dan para pemegang saham: a) Direktur, manajemen, kompensasi, pemegang saham mayoritas, serta transaksi dan hubungan diantara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa. 5) Latar Belakang Perusahaan: a) Sasaran dan strategi umum. 15 b) Ruang lingkup dan uraian mengenai bisnis dan sifatnya. c) Dampak dari struktur industri terhadap perusahaan. 2.1.5 Corporate Sosial Responsibility ( CSR ) Pertanggungjawaban Sosial Perusahaan atau Corporate Social Resposibility (CSR) adalah mekanisme bagi suatu organisasi untuk secara sukarela mengintegrasikan perhatian terhadap lingkungan dan sosial ke dalam operasinya dan interaksinya dengan stakeholders, yang melebihi tanggung jawab organisasi di bidang hukum (Darwin, 2004 dalam Anggraini, 2006). Hackston dan Milne (1996) menyatakan bahwa Corporate Sosial Responsibility merupakan proses pengkomunikasian dampak sosial dan lingkungan dari kegiatan ekonomi organisasi terhadap kelompok khusus yang berkepentingan dan terhadap masyarakat secara keseluruhan. Menurut Crefige (1997) dalam Rawi (2008), lingkungan sosial perusahaan dapat diartikan: Dalam pengertian luas, lingkungan sosial perusahaan meliputi seluruh kegiatan yang berhubungan dengan masyarakat, karyawan, lingkungan hidup, pemerintah dan konsumen. Dalam pengertian sempit, lingkungan sosial lebih condong ke pengertian karyawan perusahaan, sehingga tanggungjawab sosial perusahaan lebih terfokus pada kesejahteraan karyawannya. Di Indonesia, pengungkapan dalam laporan keuangan baik yang bersifat wajib maupun sukarela telah diatur dalam PSAK No.1. Selain itu pemerintah melalui Keputusan Ketua Bapepam No: kep-134/BL/2006 juga mengatur mengenai pengungkapan informasi dalam laporan keuangan tahunan perusahaan perusahaan di Indonesia. Pengungkapan informasi yang diatur oleh pemerintah 16 ataupun lembaga profesional (dalam hal ini adalah Ikatan Akuntan Indonesia) merupakan pengungkapan yang wajib dipatuhi oleh perusahaan yang telah publik. Tujuan pemerintah mengatur pengungkapan informasi adalah untuk melindungi kepentingan para investor dari ketidakseimbangan informasi antara manajemen dengan investor karena adanya kepentingan manajemen. Pengungkapan sosial yang dilakukan oleh perusahaan umumnya bersifat voluntary (sukarela), unaudited (belum diaudit), dan unregulated (tidak dipengaruhi oleh peraturan tertentu). Zuhroh dan Heri (2003) menyebutkan tematema yang termasuk dalam wacana Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial adalah: 1) Kemasyarakatan Tema ini mencakup aktivitas kemasyarakatan yang diikuti oleh perusahaan, misalnya aktivitas yang terkait dengan kesehatan, pendidikan dan seni serta pengungkapan aktivitas kemasyarakatan lainnya. 2) Ketenagakerjaan Tema ini meliputi dampak aktivitas perusahaan pada orang-orang dalam perusahaan tersebut. Aktivitas tersebut meliputi : rekruitmen, program pelatihan, gaji dan tuntutan, mutasi dan promosi dan lainnya. 3) Produk dan Konsumen Tema ini melibatkan aspek kualitatif suatu produk atau jasa, antara lain pelayanan, kepuasan pelanggan, kejujuran kejelasan/kelengkapan isi pada kemasan, dan lainnya. 17 dalam iklan, 4) Lingkungan Hidup Tema ini meliputi aspek lingkungan dari proses produksi, yang meliputi pengendalian polusi dalam menjalankan operasi bisnis, pencegahan dan perbaikan kerusakan lingkungan akibat pemrosesan sumber daya alam dan konversi sumber daya alam. 2.1.6 Tanggung jawab Pengungkapan Sosial dan Lingkungan di Indonesia Tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur pemerintah dalam undangundang No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) Mewajibkan pelaksanaan CSR bagi perusahaan-perusahaan yang terkait dengan Sumber Daya Alam dan yang menghasilkan limbah. Kemudian pula kewajiban perseroan dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran bagi perusahaan (diakses melalui www.menpan.go.id/index.php?option=com...csr.). Akuntansi Sosial Ekonomi (Socio Economic Accounting) atau sering disebut dengan akuntansi sosial merupakan fenomena baru dalam ilmu akuntansi. Akuntansi sosial memiliki perbedaan dengan akuntansi konvensional. Akuntansi konvensional yang menjadi fokus perhatiannya adalah pencatatan dan pengukuran terhadap kegiatan atau dampak yang timbul akibat hubungan perusahaan dengan pelanggan, sedangkan akuntansi sosial merupakan sub disiplin dari ilmu akuntansi yang melakukan proses pengukuran dan pelaporan dampak-dampak sosial perusahaan. Jadi, dalam akuntansi 18 konvensional tidak sepenuhnya mengakomodasi unsur tanggung jawab sosial perusahaan (diakses melalui www.menpan.go.id/index.php?option=com...csr.). 2.2 Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya Tabel 2.1 Ringkasan Hasil Penelitian Sebelumnya Peneliti Eddy Rismanda Variabel Independen: Sembiring (2005) Size, profile, Alat analisis Hasil Penelitian Regresi linier Size, profile berganda perusahaan, dan profitabilitas, ukuran dewan ukuran dewan komisaris komisaris, dan berpengaruh leverage. terhadap Dependen: pengungkapan Pengungkapan sosial. tanggung jawab sosial perusahaan Fr. Reni Prosentase Regresi linier Prosentase Retno kepemilikan berganda kepemilikan Anggraini manajemen, manajemen (2006)) tingkat dan tipe leverage, biaya industri politis, dan berpengaruh profitabilitas terhadap kebijakan perusahaandalam mengungkapk an informasi sosial. 2. Ukuran 19 perusahaan, leverage, dan profitabilitas tidak terbukti berpengaruh atau tidak berpengaruh terhadap kebijakan pengungkapan informasi sosial oleh perusahaan Parsa dan Kouhy Independen: Regresi linier Variabel tipe (2007) Variabel umur berganda industri, size, dan perusahaan, tipe gearing terbukti industri, size, dan signifikan gearing. mempunyai Dependen: korelasi terhadap Pengungkapan pengungkapan informasi sosial informasi sosial. Umur perusahaan tidak terbukti berkorelasi. Khan (2010) Independen: Regresi linier Direktur non- Direktur non- berganda eksekutif dan eksekutif (dewan keberadaan bangsa komisaris), asing berpengaruh keberadaan bangsa signifikan asing, dan terhadap 20 keterwakilan pelaporan perempuan pada tanggung jawab dewan sosial. Dependen: Pelaporan tanggung jawab sosial Febrina (2011) Independen: Regresi linier Ukuran Leverage, Berganda perusahaan Profitabilitas, Kep. berpengaruh Manajerial, signifikan ukuran dewan terhadap komisaris, ukuran pelaporan perusahaan. tanggungjawab Dependen : sosial Pelaporan Tanggung jawab sosial. 2.3.1 Hipotesis Hipotesis yang dapat dirumuskan oleh peneliti antara lain adalah sebagai berikut : 2.3.1 Pengaruh Profitabilitas pada pengungkapan Corporate Sosial Responsibility Heinze (1976) dalam Sulistiani (2007), menyatakan bahwa profitabilitas merupakan faktor yang memberikan kebebasan dan fleksibilitas kepada manajemen untuk mengungkapkan pertanggungjawaban sosial kepada pemegang saham. Sehingga semakin tinggi tingkat profitabilitas perusahaan maka semakin 21 besar pengungkapan informasi sosial (Bowman & Haire, 1976) dan Preston (1978) dalam Hackston & Milne (1996). Roberts (1992) dan Gray dkk. (1999) dalam Parsa dan Kouhy (1994) menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara pengungkapan sosial dengan profitabilitas. Dengan profitabilitas yang tinggi, manajemen perusahaan wajib untuk mengungkapkannya secara terbuka sehingga menimbulkan sinyal positif mengenai posisi perusahaan saat itu. Dapat diindikasikan dari hal tersebut bahwa kemampuan perusahaan untuk mengungkapkan corporate social responsibility akan lebih banyak lagi. Variabel profitabilitas dalam penelitian ini diproksikan dengan Return on Equity (ROE) . ROE adalah perbandingan antara laba bersih setelah pajak dengan modalnya sendiri untuk mengukur tingkat seberapa baik sebuah perusahaan akan menggunakan investasinya untuk menghasilkan keuntungan.. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut : H1 : Profitabilitas berpengaruh positif pada pengungkapan Corporate Sosial Responsibility 2.3.2 Pengaruh Leverage pada pengungkapan Corporate Sosial Responsibility Tingkat leverage adalah untuk melihat kemampuan perusahaan dalam menyelesaikan semua kewajibannya kepada pihak lain. Perusahaan yang mempunyai proporsi utang lebih banyak dalam struktur permodalannya akan mempunyai biaya yang lebih besar. Oleh karena itu, perusahaan yang mempunyai leverage tinggi mempunyai kewajiban lebih untuk memenuhi kebutuhan 22 informasi krediturnya (Suripto dalam Amalia, 2005). Semakin tinggi tingkat leverage (rasio hutang/aktiva) semakin besar kemungkinan akan melanggar perjanjian kredit sehingga perusahaan akan berusaha untuk melaporkan laba sekarang lebih tinggi (Belkaoui dan Karpik (1989), supaya laba yang dilaporkan tinggi maka manajer harus mengurangi biaya-biaya (termasuk biaya untuk mengungkapkan pertanggungjawaban sosial). Sesuai dengan teori agensi maka manajemen perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi akan mengurangi pengungkapan tanggung jawab sosial yang dibuatnya agar tidak menjadi sorotan dari para debtholders. Selain itu, Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H2 : Leverage perusahaan berpengaruh negatif pada pengungkapan Corporate Sosial Responsibility 2.3.3 Pengaruh Umur Perusahaan pada pengungkapan Corporate Sosial Responsibility Umur perusahaan juga merupakan faktor yang mempengaruhi kinerja perusahaan dalam mengungkapkan tanggung jawab sosialnya. Umur perusahaan dapat menunjukkan kemampuan dalam mengatasi kesulitan dan hambatan yang dapat mengancam kehidupan perusahaan, serta menunjukkan kemampuan perusahaan mengambil kesempatan dalam lingkungannya untuk mengembangkan usaha. Di samping itu, umur perusahaan dapat menunjukkan kemampuan dalam keunggulan berkompetisi. Dengan demikian makin lama perusahaan berdiri kian menunjukkan eksistensinya dalam lingkungannya dan makin bisa meningkatkan 23 kepercayaan investor. Umur juga dapat memberikan sinyal positif bahwa perusahaan mampu bertahan dan bersaing di tengan kuatnya persaingan. Umur perusahaan diperkirakan memiliki hubungan positif dengan kualitas pengungkapan sukarela. Alasan yang mendasarinya adalah bahwa perusahaan yang berumur lebih tua mungkin lebih mengerti informasi-informasi apa saja yang sebaiknya diungkapkan dalam laporan tahunan. Sehingga perusahaan hanya akan mengungkapkan informasi-informasi yang akan memberikan pengaruh yang positif terhadap perusahaan (Marpaung, 2009 dalam Untari, 2010). Perusahaan yang memiliki pengalaman lebih banyak akan lebih mengetahui kebutuhan konstituennya akan informasi tentang perusahaan. Penelitian yang dilakukan Susanto (1992) dalam Amalia (2005) menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan antara umur perusahaan dengan pengungkapan sosial perusahaan. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H3 : Umur perusahaan berpengaruh positif pada pengungkapan Corporate Sosial Responsibility 2.3.4 Pengaruh Komposisi Dewan Direksi pada pengungkapan Corporate Sosial Responsibility Proporsi dewan direksi adalah mekanisme penting untuk kehadiran noneksekutif director (Komisaris) sebagai metode untuk mengontrol tindakan eksekutif director dan memastikan direktur eksekutif bisa membuat kebijakan yang konsisten dengan kepentingan pemegang saham (Fama, 1980 pada Weir 24 dkk, 2002.). Sehingga, nantinya pengungkapan yang dilakukan perusahaan dapat dipertanggungjawabkan kepada para pemegang saham. Mackenzie (2007) mengatakan bahwa dewan direksi perusahaan memiliki peran penting dalam perusahaan untuk memenuhi standar tanggung jawab sosial perusahaan. Haniffa, (2002) dalam Suhardjanto (2007) menunjukkan bahwa ada hubungan antara proporsi direktur non eksekutif (komisaris) dalam dewan direksi dengan pengungkapan sukarela perusahaan. Penelitian menemukan bahwa tata kelola perusahaan harus dianggap sebagai titik yang mempengaruhi pengungkapan. Sesuai dengan teori sinyaling semakin besar komposisi komisaris menunjukkan pengawasan yang cenderung akan lebih maksimal untuk Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H4 : Komposisi dewan direksi berpengaruh positif pada pengungkapan Corporate Sosial Responsibility 2.3.5 Pengaruh Kepemilikan Institusional pada pengungkapan Corporate Sosial Responsibility Investor yang memiliki perspektif jangka panjang cenderung untuk memahami tanggung jawab sosial perusahaan sebagai pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan investasi. Prayogi (2003) menyatakan bahwa semakin besar persentase kepemilikan publik semakin luas dalam pengungkapan sukarela dalam laporan keuangan tahunan. Kepemilikan institusional sebagai mekanisme dalam tata kelola perusahaan yang dapat meningkatkan kualitas 25 investasi berkaitan dengan tanggung jawab sosial, sehingga dapat meningkatkan nilai perusahaan dalam jangka panjang. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H5 : Kepemilikan institusional berpengaruh positif pada pengungkapan Corporate Sosial Responsibility. 26