9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Landasan Teori
2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory)
Teori keagenan membahas tentang adanya hubungan keagenan antara
principal dengan agen. Hubungan keagenan adalah sebuah kontrak dimana satu
atau lebih principal menyewa orang lain (agen) untuk melakukan beberapa jasa
untuk kepentingan mereka yaitu mendelegasikan beberapa wewenang pembuatan
keputusan kepada agen. Yang disebut dengan principal adalah pihak yang
memberi mandat kepada agen, dalam hal ini yaitu pemegang saham. Sedangkan
yang disebut dengan agen adalah pihak yang mengerjakan mandat dari principal,
yaitu manajemen yang mengelola perusahaan. Tujuan utama dari teori keagenan
adalah untuk menjelaskan bagaimana pihak-pihak yang melakukan hubungan
kontrak dapat mendesain kontrak yang tujuannya untuk meminimalisir cost
sebagai dampak adanya informasi yang tidak simetris dan kondisi ketidakpastian
(diakses melalui http: digilib.petra.ac.id)
Teori keagenan dilandasi oleh beberapa asumsi (Eisenhardt, 1989 dalam
Emirzon, 2007). Asumsi-asumsi tersebut dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu
asumsi tentang sifat manusia, asumsi keorganisasian dan asumsi informasi.
Asumsi sifat manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat mementingkan
diri sendiri (self-interest), manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi
masa mendatang (bounded rationality), dan manusia selalu menghindari resiko
9
(risk averse). Asumsi keorganisasian adalah adanya konflik antar anggota
organisasi, efisiensi sebagai kriteria efektivitas dan adanya asimetri informasi
antara principal dan agent. Asumsi informasi adalah bahwa informasi sebagai
barang komoditi yang dapat diperjualbelikan.
Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia dijelaskan bahwa masing-masing
individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga
menimbulkan konflik kepentingan antara prinsipal dan agen. Pihak pemilik
(principal) termotivasi mengadakan kontrak untuk mensejahterahkan dirinya
dengan profitabilitas yang selalu meningkat. Sedangkan manajer (agent)
termotivasi untuk memaksimalkan pemenuhan ekonomi dan psikologinya, antara
lain dalam hal memperoleh investasi, pinjaman, maupun kontrak kompensasi.
Dengan demikian terdapat dua kepentingan yang berbeda di dalam perusahaan
dimana masing-masing pihak berusaha untuk mencapai atau mempertahankan
tingkat kemakmuran yang dikehendaki (Ningsaptiti, 2010).
Permasalahan yang timbul akibat adanya perbedaan kepentingan antara
prinsipal dan agen disebut dengan agency problems. Salah satu penyebab agency
problems adalah adanya asimetri informasi. Asimetri informasi adalah
ketidakseimbangan informasi yang dimiliki oleh prinsipal dan agen, ketika
prinsipal tidak memiliki informasi yang cukup tentang kinerja agen sebaliknya,
agen memiliki lebih banyak informasi mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja
dan perusahaan secara keseluruhan (Widyaningdyah, 2001)
Teori keagenan menjelaskan bahwa hubungan agensi muncul ketika satu
orang atau lebih (principal) mempekerjakan orang lain (agent) untuk memberikan
10
suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan
kepada agent tersebut (Jensen dan Meckling, 1976). (Arfan dkk, 2005) Teori
agensi mendasarkan pemikiran atas adanya perbedaan informasi antara atasan
dengan bawahan, antara kantor pusat dan kantor cabang, atau adanya asimetri
informasi yang memengaruhi penggunaan sistem akuntansi. Dari sudut pandang
teori agensi, prinsipal (pemilik dan manajemen puncak) membawahi agen
(karyawan atau manajer yang lebih rendah) untuk melaksanakan kinerja yang
efisien. Teori ini mengasumsikan kinerja yang efisien dan bahwa kinerja
organisasi ditentukan oleh usaha dan pengaruh kondisi lingkungan. Agen dan
prinsipal diasumsikan termotivasi kepentingannya sendiri, dan sering kali
kepentingan antara keduanya berbenturan. Menurut pandangan prinsipal,
kompensasi yang diberikan kepada agen tersebut didasarkan pada hasil, sementara
menurut pandangan agen, dia lebih suka jika sistem kompensasi tersebut tidak
semata-mata melihat hasil tapi juga tingkat usahanya.
Sebagai pengelola perusahaan, Agen akan lebih banyak mengetahui
informasi internal dan prospek perusahaan dibandingkan prinsipal ( pemilik atau
pemegang saham). Agen berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi
perusahaan kepada prinsipal sebagai wujud dari pertanggungjawaban atas
pengelolaan perusahaan.
2.1.2 Teori Sinyal ( Signaling theory)
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan selalu berdampak pada
para stakeholders seperti karyawan, pemasok, investor, pemerintah, konsumen,
serta masyarakat. Kegiatan-kegiatan tersebut menjadi perhatian dan minat dari
11
para stakeholders, terutama para investor dan calon investor sebagai pemilik dan
penanam modal perusahaan. Oleh karenanya, perusahaan berkewajiban untuk
memberikan laporan sebagai informasi kepada para stakeholders ( Danu,2011).
Laporan – laporan yang dipublikasikan oleh perusahaan pada umumnya
yaitu satu set laporan keuangan. Belakangan laporan keuangan mulai dilengkapi
dengan laporan tambahan, yaitu laporan yang lebih dari laporan keuangan seperti
misalnya laporan tahunan yang berisikan laporan perusahaan mengenai aktivitas
Corporate Sosial Responsibility (CSR). Hal ini dilakukan untuk mengurangi
terjadinya asimetri informasi yang terjadi antara agen dengan prinsipal.
Dengan disertakannya laporan tambahan seperti laporan aktivitas CSR
perusahaan maka diharapkan hal tersebut akan berdampak positif bagi
perusahaan.
Dalam hal ini, perusahaan memberikan tanda (signal) kepada
stakholders mengenai kepedulian perusahaan terhadap lingkungan sekitarnya.
Dengan demikian diharapkan investor dapat melihat sinyal yang diberikan
perusahaan bahwa perusahaan tidak mengejar keuntungan semata namun, tetap
memperhatikan lingkungan sekitarnya.
Menurut Drever dkk (2007)
dalam Danu (2011) signaling theory
menekankan bahwa perusahaan pelapor dapat meningkatkan nilai perusahaan
melalui pelaporannya. Jika perusahaan gagal dalam menyajikan informasi yang
lebih, maka para stakeholders hanya akan menilai perusahaan sebagai perusahaan
rata-rata sama dengan perusahaan-perusahaan yang tidak mengungkapkan laporan
tambahan.
12
Hal ini memberikan motivasi bagi perusahaan-perusahaan untuk
mengungkapkan laporan tambahan. sehingga, signaling theory menekankan
bahwa perusahaan akan cenderung menyajikan informasi yang lebih lengkap
untuk memperoleh reputasi yang lebih baik dibandingkan perusahaan-perusahaan
yang tidak mengungkapkan, yang pada akhirnya akan menarik investor serta
meningkatkan nilai perusahaan itu sendiri.
2.1.3 Laporan Tahunan
laporan tahunan merupakan salah satu sumber informasi yang mencakup
informasi
historis tentang perusahaan, informasi
mengenai
administrasi
perusahaan, informasi tentang perusahaan, sumber keuangan, serta informasi
tentang asset dan kinerja. Lavers (1993) dalam Febrina (2011) menyarankan dua
keunggulan yang berbeda untuk menggunakan laporan tahunan yaitu pertama,
perusahaan dapat melakukan kontrol editorial untuk mencegah mungkin
jurnalistik penafsiran atau distorsi, dan kedua, laporan dapat digunakan sebagai
tujuan perbandingan.
PSAK No.1 (revisi 2009) menunjukkan bahwa perusahaaan yang ada di
Indonesia diberikan suatu kebebasan dalam mengungkapkan informasi tanggung
jawab sosial dan lingkungan dalam laporan keuangan tahunan perusahaan.
BAPEPAM – LK selaku lembaga yang mengatur dan mengawasi pelaksanaan
pasar modal dan lembaga keuangan di Indonesia telah mengeluarkan beberapa
aturan tentang disclosure yang harus dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang
go public. Peraturan tersebut dimaksudkan untuk melindungi para pemilik modal
13
dari adanya asimetri informasi. Perusahaan dapat memberikan pengungkapan
melalui laporan tahunannya yang telah diatur oleh BAPEPAM – LK, maupun
melalui pengungkapan sukarela sebagai tambahan pengungkapan minimum yang
telah ditetapkan.
2.1.4
Pengungkapan Laporan Keuangan
Sebagai usaha untuk meningkatkan pelaporan eksternal, AICPA pada
tahun 1991 membentuk komite khusus untuk pelaporan keuangan atau Komite
Jenkins (Belkaoui, 2006: 335). Komite tersebut mengidentifikasikan area-area
berikut ini dalam laporan keuangan yang sebaiknya ditingkatkan lagi untuk
memenuhi kebutuhan para pengguna informasi.
1) Meningkatkan pengungkapan dari informasi segmen bisnis
2) Menangani
pengungkapan
dan
akuntansi
untuk
instrumen-instrumen
keuangan yang inovatif.
3) Meningkatkan pengungkapan mengenai identitas, peluang, dan risiko dari
rencana-rencana pembiayaan di luar buku dan mempertimbangkan kembali
akuntansi bagi rencana-rencana tersebut.
4) Melaporkan secara terpisah dampak-dampak dari aktivitas dan peristiwa inti
dan non-inti, dan mengukur aktiva dan kewajiban non-inti dengan nilai wajar.
5) Meningkatkan pengungkapan mengenai ketidakpastian pengukuran atas
aktiva dan kewajiban tertentu.
6) Meningkatkan pelaporan triwulan dengan memberikan pelaporan pada
triwulan keempat secara terpisah dan memasukkan data segmen bisnis.
14
Laporan tersebut juga mengusulkan model komprehensif yang dirancang
untuk sesuai dengan proses pengambilan keputusan yang diterapkan oleh para
pengguna dalam membuat proyeksi, nilai perusahaan atau menilai prospek dari
pembayaran kembali pinjaman. Elemen-elemen tersebut adalah sebagai berikut:
1) Data keuangan dan nonkeuangan:
a)
Laporan keuangan dan pengungkapan yang berkaitan.
b) Data operasi tingkat tinggi dan pengukuran kinerja yang digunakan oleh
manajemen dalam mengelola bisnisnya.
2) Analisis manajemen terhadap data keuangan dan nonkeuangan:
a)
Alasan-alasan untuk perubahan yang terjadi dalam data keuangan,
operasional, dan yang berhubungan dengan kinerja, serta identitas dan
dampak masa lalu dari tren-tren kunci.
3) Informasi yang menatap masa depan:
a)
Peluang dan risiko, termasuk yang diakibatkan oleh tren-tren kunci.
b) Rencana manajemen, termasuk faktor-faktor keberhasilan yang penting.
c)
Perbandingan antara kinerja bisnis aktual dengan peluang-peluang,
risiko, dan rencana manajemen yang diungkapkan sebelumnya.
4) Informasi mengenai manajemen dan para pemegang saham:
a)
Direktur, manajemen, kompensasi, pemegang saham mayoritas, serta
transaksi dan hubungan diantara pihak-pihak yang memiliki hubungan
istimewa.
5) Latar Belakang Perusahaan:
a)
Sasaran dan strategi umum.
15
b)
Ruang lingkup dan uraian mengenai bisnis dan sifatnya.
c)
Dampak dari struktur industri terhadap perusahaan.
2.1.5 Corporate Sosial Responsibility ( CSR )
Pertanggungjawaban
Sosial
Perusahaan
atau
Corporate
Social
Resposibility (CSR) adalah mekanisme bagi suatu organisasi untuk secara
sukarela mengintegrasikan perhatian terhadap lingkungan dan sosial ke dalam
operasinya dan interaksinya dengan stakeholders, yang melebihi tanggung jawab
organisasi di bidang hukum (Darwin, 2004 dalam Anggraini, 2006).
Hackston dan Milne (1996) menyatakan bahwa Corporate Sosial
Responsibility merupakan proses pengkomunikasian dampak sosial dan
lingkungan dari kegiatan ekonomi organisasi terhadap kelompok khusus yang
berkepentingan dan terhadap masyarakat secara keseluruhan. Menurut Crefige
(1997) dalam Rawi (2008), lingkungan sosial perusahaan dapat diartikan: Dalam
pengertian luas, lingkungan sosial perusahaan meliputi seluruh kegiatan yang
berhubungan dengan masyarakat, karyawan, lingkungan hidup, pemerintah dan
konsumen. Dalam pengertian sempit, lingkungan sosial lebih condong ke
pengertian karyawan perusahaan, sehingga tanggungjawab sosial perusahaan lebih
terfokus pada kesejahteraan karyawannya.
Di Indonesia, pengungkapan dalam laporan keuangan baik yang bersifat
wajib maupun sukarela telah diatur dalam PSAK No.1. Selain itu pemerintah
melalui Keputusan Ketua Bapepam No: kep-134/BL/2006 juga mengatur
mengenai pengungkapan informasi dalam laporan keuangan tahunan perusahaan
perusahaan di Indonesia. Pengungkapan informasi yang diatur oleh pemerintah
16
ataupun lembaga profesional (dalam hal ini adalah Ikatan Akuntan Indonesia)
merupakan pengungkapan yang wajib dipatuhi oleh perusahaan yang telah publik.
Tujuan pemerintah mengatur pengungkapan informasi adalah untuk melindungi
kepentingan para investor dari ketidakseimbangan informasi antara manajemen
dengan investor karena adanya kepentingan manajemen.
Pengungkapan sosial yang dilakukan oleh perusahaan umumnya bersifat
voluntary (sukarela), unaudited (belum diaudit), dan unregulated (tidak
dipengaruhi oleh peraturan tertentu). Zuhroh dan Heri (2003) menyebutkan tematema yang termasuk dalam wacana Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial adalah:
1) Kemasyarakatan
Tema ini mencakup aktivitas kemasyarakatan yang diikuti oleh perusahaan,
misalnya aktivitas yang terkait dengan kesehatan, pendidikan dan seni serta
pengungkapan aktivitas kemasyarakatan lainnya.
2) Ketenagakerjaan
Tema ini meliputi dampak aktivitas perusahaan pada orang-orang dalam
perusahaan tersebut. Aktivitas tersebut meliputi : rekruitmen, program
pelatihan, gaji dan tuntutan, mutasi dan promosi dan lainnya.
3) Produk dan Konsumen
Tema ini melibatkan aspek kualitatif suatu produk atau jasa, antara lain
pelayanan,
kepuasan
pelanggan,
kejujuran
kejelasan/kelengkapan isi pada kemasan, dan lainnya.
17
dalam
iklan,
4) Lingkungan Hidup
Tema ini meliputi aspek lingkungan dari proses produksi, yang meliputi
pengendalian polusi dalam menjalankan operasi bisnis, pencegahan dan
perbaikan kerusakan lingkungan akibat pemrosesan sumber daya alam dan
konversi sumber daya alam.
2.1.6 Tanggung jawab Pengungkapan Sosial dan Lingkungan di Indonesia
Tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur pemerintah dalam undangundang No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) Mewajibkan pelaksanaan
CSR bagi perusahaan-perusahaan yang terkait dengan Sumber Daya Alam dan
yang menghasilkan limbah. Kemudian pula kewajiban perseroan dianggarkan dan
diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan
memperhatikan kepatutan dan kewajaran bagi perusahaan (diakses melalui
www.menpan.go.id/index.php?option=com...csr.).
Akuntansi Sosial Ekonomi (Socio Economic Accounting) atau sering disebut
dengan akuntansi sosial merupakan fenomena baru dalam ilmu akuntansi.
Akuntansi sosial memiliki perbedaan dengan akuntansi konvensional. Akuntansi
konvensional yang menjadi fokus perhatiannya adalah pencatatan dan pengukuran
terhadap kegiatan atau dampak yang timbul akibat hubungan perusahaan dengan
pelanggan, sedangkan akuntansi sosial merupakan sub disiplin dari ilmu akuntansi
yang melakukan proses pengukuran dan pelaporan dampak-dampak sosial
perusahaan.
Jadi,
dalam
akuntansi
18
konvensional
tidak
sepenuhnya
mengakomodasi unsur tanggung jawab sosial perusahaan (diakses melalui
www.menpan.go.id/index.php?option=com...csr.).
2.2
Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya
Tabel 2.1 Ringkasan Hasil Penelitian Sebelumnya
Peneliti
Eddy Rismanda
Variabel
Independen:
Sembiring (2005) Size, profile,
Alat analisis
Hasil Penelitian
Regresi linier
Size, profile
berganda
perusahaan, dan
profitabilitas,
ukuran dewan
ukuran dewan
komisaris
komisaris, dan
berpengaruh
leverage.
terhadap
Dependen:
pengungkapan
Pengungkapan
sosial.
tanggung jawab
sosial perusahaan
Fr. Reni
Prosentase
Regresi linier
Prosentase
Retno
kepemilikan
berganda
kepemilikan
Anggraini
manajemen,
manajemen
(2006))
tingkat
dan tipe
leverage, biaya
industri
politis, dan
berpengaruh
profitabilitas
terhadap
kebijakan
perusahaandalam
mengungkapk
an informasi
sosial.
2. Ukuran
19
perusahaan,
leverage, dan
profitabilitas
tidak terbukti
berpengaruh
atau tidak
berpengaruh
terhadap
kebijakan
pengungkapan
informasi
sosial oleh
perusahaan
Parsa dan Kouhy
Independen:
Regresi linier
Variabel tipe
(2007)
Variabel umur
berganda
industri, size, dan
perusahaan, tipe
gearing terbukti
industri, size, dan
signifikan
gearing.
mempunyai
Dependen:
korelasi terhadap
Pengungkapan
pengungkapan
informasi sosial
informasi sosial.
Umur perusahaan
tidak terbukti
berkorelasi.
Khan (2010)
Independen:
Regresi linier
Direktur non-
Direktur non-
berganda
eksekutif dan
eksekutif (dewan
keberadaan bangsa
komisaris),
asing berpengaruh
keberadaan bangsa
signifikan
asing, dan
terhadap
20
keterwakilan
pelaporan
perempuan pada
tanggung jawab
dewan
sosial.
Dependen:
Pelaporan
tanggung jawab
sosial
Febrina (2011)
Independen:
Regresi linier
Ukuran
Leverage,
Berganda
perusahaan
Profitabilitas, Kep.
berpengaruh
Manajerial,
signifikan
ukuran dewan
terhadap
komisaris, ukuran
pelaporan
perusahaan.
tanggungjawab
Dependen :
sosial
Pelaporan
Tanggung jawab
sosial.
2.3.1 Hipotesis
Hipotesis yang dapat dirumuskan oleh peneliti antara lain adalah sebagai
berikut :
2.3.1 Pengaruh
Profitabilitas
pada
pengungkapan
Corporate
Sosial
Responsibility
Heinze (1976) dalam Sulistiani (2007), menyatakan bahwa profitabilitas
merupakan faktor yang memberikan kebebasan dan fleksibilitas kepada
manajemen untuk mengungkapkan pertanggungjawaban sosial kepada pemegang
saham. Sehingga semakin tinggi tingkat profitabilitas perusahaan maka semakin
21
besar pengungkapan informasi sosial (Bowman & Haire, 1976) dan Preston
(1978) dalam Hackston & Milne (1996). Roberts (1992) dan Gray dkk. (1999)
dalam Parsa dan Kouhy (1994) menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif
antara pengungkapan sosial dengan profitabilitas. Dengan profitabilitas yang
tinggi, manajemen perusahaan wajib untuk mengungkapkannya secara terbuka
sehingga menimbulkan sinyal positif mengenai posisi perusahaan saat itu. Dapat
diindikasikan
dari
hal
tersebut
bahwa
kemampuan
perusahaan
untuk
mengungkapkan corporate social responsibility akan lebih banyak lagi. Variabel
profitabilitas dalam penelitian ini diproksikan dengan Return on Equity (ROE) .
ROE adalah perbandingan antara laba bersih setelah pajak dengan modalnya
sendiri untuk mengukur tingkat seberapa baik sebuah perusahaan akan
menggunakan investasinya untuk menghasilkan keuntungan..
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai
berikut :
H1 :
Profitabilitas berpengaruh positif pada pengungkapan Corporate Sosial
Responsibility
2.3.2 Pengaruh
Leverage
pada
pengungkapan
Corporate
Sosial
Responsibility
Tingkat leverage adalah untuk melihat kemampuan perusahaan dalam
menyelesaikan semua kewajibannya kepada pihak lain. Perusahaan yang
mempunyai proporsi utang lebih banyak dalam struktur permodalannya akan
mempunyai biaya yang lebih besar. Oleh karena itu, perusahaan yang mempunyai
leverage tinggi mempunyai kewajiban lebih untuk memenuhi kebutuhan
22
informasi krediturnya (Suripto dalam Amalia, 2005).
Semakin tinggi tingkat
leverage (rasio hutang/aktiva) semakin besar kemungkinan akan melanggar
perjanjian kredit sehingga perusahaan akan berusaha untuk melaporkan laba
sekarang lebih tinggi (Belkaoui dan Karpik (1989), supaya laba yang dilaporkan
tinggi maka manajer harus mengurangi biaya-biaya (termasuk biaya untuk
mengungkapkan pertanggungjawaban sosial). Sesuai dengan teori agensi maka
manajemen perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi akan mengurangi
pengungkapan tanggung jawab sosial yang dibuatnya agar tidak menjadi sorotan
dari para debtholders. Selain itu,
Berdasarkan
uraian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai
berikut:
H2 :
Leverage perusahaan berpengaruh negatif pada pengungkapan Corporate
Sosial Responsibility
2.3.3 Pengaruh Umur Perusahaan pada pengungkapan Corporate Sosial
Responsibility
Umur perusahaan juga merupakan faktor yang mempengaruhi kinerja
perusahaan dalam mengungkapkan tanggung jawab sosialnya. Umur perusahaan
dapat menunjukkan kemampuan dalam mengatasi kesulitan dan hambatan yang
dapat mengancam kehidupan perusahaan, serta menunjukkan kemampuan
perusahaan mengambil kesempatan dalam lingkungannya untuk mengembangkan
usaha. Di samping itu, umur perusahaan dapat menunjukkan kemampuan dalam
keunggulan berkompetisi. Dengan demikian makin lama perusahaan berdiri kian
menunjukkan eksistensinya dalam lingkungannya dan makin bisa meningkatkan
23
kepercayaan investor. Umur juga dapat memberikan sinyal positif bahwa
perusahaan mampu bertahan dan bersaing di tengan kuatnya persaingan.
Umur perusahaan diperkirakan memiliki hubungan positif dengan kualitas
pengungkapan sukarela. Alasan yang mendasarinya adalah bahwa perusahaan
yang berumur lebih tua mungkin lebih mengerti informasi-informasi apa saja yang
sebaiknya diungkapkan dalam laporan tahunan. Sehingga perusahaan hanya akan
mengungkapkan informasi-informasi yang akan memberikan pengaruh yang
positif terhadap perusahaan (Marpaung, 2009 dalam Untari, 2010). Perusahaan
yang memiliki pengalaman lebih banyak akan lebih mengetahui kebutuhan
konstituennya akan informasi tentang perusahaan. Penelitian yang dilakukan
Susanto (1992) dalam Amalia (2005) menunjukkan adanya pengaruh
yang
signifikan antara umur perusahaan dengan pengungkapan sosial perusahaan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H3 :
Umur perusahaan berpengaruh positif pada pengungkapan Corporate
Sosial Responsibility
2.3.4 Pengaruh Komposisi Dewan Direksi pada pengungkapan Corporate
Sosial Responsibility
Proporsi dewan direksi adalah mekanisme penting untuk kehadiran noneksekutif director (Komisaris) sebagai metode untuk mengontrol tindakan
eksekutif director dan memastikan direktur eksekutif bisa membuat kebijakan
yang konsisten dengan kepentingan pemegang saham (Fama, 1980 pada Weir
24
dkk, 2002.). Sehingga, nantinya pengungkapan yang dilakukan perusahaan dapat
dipertanggungjawabkan kepada para pemegang saham.
Mackenzie (2007) mengatakan bahwa dewan direksi perusahaan
memiliki peran penting dalam perusahaan untuk memenuhi standar tanggung
jawab sosial perusahaan. Haniffa, (2002) dalam Suhardjanto (2007) menunjukkan
bahwa ada hubungan antara proporsi direktur non eksekutif (komisaris) dalam
dewan direksi dengan pengungkapan sukarela perusahaan. Penelitian menemukan
bahwa tata kelola perusahaan harus dianggap sebagai titik yang mempengaruhi
pengungkapan. Sesuai dengan teori sinyaling semakin besar komposisi komisaris
menunjukkan pengawasan yang cenderung akan lebih maksimal untuk
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai
berikut:
H4 :
Komposisi dewan direksi berpengaruh positif pada pengungkapan
Corporate Sosial Responsibility
2.3.5 Pengaruh Kepemilikan Institusional pada pengungkapan Corporate
Sosial Responsibility
Investor
yang
memiliki
perspektif
jangka
panjang
cenderung
untuk memahami tanggung jawab sosial perusahaan sebagai pertimbangan utama
dalam pengambilan keputusan investasi. Prayogi (2003) menyatakan bahwa
semakin besar persentase kepemilikan publik semakin luas dalam pengungkapan
sukarela dalam laporan keuangan tahunan. Kepemilikan institusional sebagai
mekanisme dalam tata kelola perusahaan yang dapat meningkatkan kualitas
25
investasi berkaitan dengan tanggung jawab sosial, sehingga dapat meningkatkan
nilai perusahaan dalam jangka panjang.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai
berikut:
H5 :
Kepemilikan institusional berpengaruh positif pada pengungkapan
Corporate Sosial Responsibility.
26
Download