Sejarah K3 Sejak zaman purba pada awal kehidupan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya manusia bekerja. Pada saat bekerja mereka mengalami kecelakaan dalam bentuk cidera atau luka. Dengan akal pikirannya mereka berusaha mencegah terulangnya kecelakaan serupa dan ia dapat mencegah kecelakaan secara preventif (pencegahan). Selama pekerjaan masih dikerjakan secara perorangan atau dalam kelompok maka usaha pencegahan tidaklah terlalu sulit, sifat demikian segera berubah takala revolusi industri dimulai yakni sewaktu umat manusia dapat memanfaatkan hukum alam dan dipelajari sehingga menjadi ilmu pengetahuan dan dapat diterapkan secara praktis. Penerapan ilmu pengetahuan tersebut dimulai pada abad 18 dengan terjadinya revolusi industri di Eropa, munculnya industri tenun, penemuan ketel uap untuk keperluan industri. Tenaga uap sangat bermanfaat bagi dunia industri namun pemanfaatannya juga mengandung resiko terhadap peledakan karena adanya tekanan. Selanjutnya menyusul revolusi listrik, revolusi tenaga atom dan penemuan-penemuan baru di bidang teknik dan teknologi yang sangat bermanfaatan bagi umat manusia. Disamping manfaat tersebut, pemanfaatan teknik dan teknologi dapat merugikan dalam bentuk resiko terhadap kecelakaan apabila tidak diikuti dengan pemikiran tentang upaya keselamatan, kesehatannya dan kesejahteraan tenaga kerja sebagai subjek. Sebagai gambaran tentang sejarah perkembangan keselamatan dan kesehatan kerja dapat disampaikan sebagai berikut : - ± 1700 tahun SM Raja Hamurabi dari kerajaan Babylonia dalam kitab undang-undangnya menyatakan bahwa : “ Bila seorang ahli bangunan membuat rumah untuk seseorang atau pembuatannya tidak dilaksanakan dengan baik sehingga rumah itu roboh dan menimpa pemilik rumah hingga mati, maka ahli bangunan tersebut dibunuh “. - Dalam zaman Mozai ± 5 abad setelah Hamurabi, dinyatakan bahwa ahli bangunan bertanggung jawab atas keselamatan para pelaksana dan pekerjanya dengan menetapkan pemasangan pagar pengaman pada setiap sisi luar atap rumah. - ± 80 tahun sesudah masehi, Plinius seorang ahli Ecyclopedia bangsa Roma mensyarakatkan agar para pekerja tambang diharuskan memakai tutup hidung. - Tahun 1450 Dominico Fontana diserahi tugas membangun obelisk ditengah lapangan St. Pieter Roma. Ia selalu mensyaratkan agar para pekerja memakai topi baja. Peristiwa-peistiwa sejarah tersebut menggambarkan bahwa masalah keselamatan dan kesehatan manusia pekerja menjadi perhatian para ahli waktu itu. Sejak revolusi industri di Inggris dimana banyak terjadi kecelakaan dan banyak membawa korban, para pengusaha pada waktu itu berpendapat bahwa hal tersebut adalah bagiann dari resiko pekerjaan yang harus ditanggung oleh para pekerja sendiri. Pada mulanya tidak ada langkah yang diambil untuk mengurangi kecelakaan dan penderitaan para korban, karena bagi pengusaha sendiri hal tersebut dapat dengan mudah ditanggulangi dengan jalan memperkerjakan tenaga baru. Akhirnya banyak orang berpendapat bahwa membiarkan korban berjatuhan apalagi tanpa ganti rugi bagi korban dianggap tidak manusiawi. Para pekerja mendesak pengusaha untuk mengambil langkah-langkah yang positif untuk menanggulangi masalah tersebut. Yang diusahakan pertama-tama adalah memberikan perawatan kepada para korban dimana motifnya berdasarkan perikemanusiaan. Pada tahun 1991 di Amerika Serikat diberlakukan undang-undang Work’s Compensation Law dimana disebutkan bahwa tidak memandang apakah kecelakaan tersebut terjadi akibat kesalahan si korban atau tidak, yang bersangkutan akan mendapat ganti rugi jika terjadi dalam pekerjaan. Undangundang ini menandai permulaan usaha pencegahan kecelakaan yang lebih terarah. Di Inggris pada mulanya aturan perundangan yang hampir sama telah juga diberlakukan, namun harus dibuktikan bahwa kecelakaan tersebut bukanlah terjadi karena kesalahan si korban. Jika terbukti bahwa kecelakaan tersebut adalah kesalahan atau kelalaian si korban maka ganti rugi tidak akan diberikan. Karena para pekerja berada pada posisi yang lemah maka pembuktian salah tidaknya pekerja yang bersangkutan selalu merugikan korban. Akhirnya peraturan perundangan tersebut diubah tanpa memandang apakah si korban salah atau tidak. Berlakunya peraturan perundangan tersebut sebagai permulaan dari gerakan keselamatan kerja yang membawa angin segar dalam usaha pencegahan kecelakaan industri. H.W. Heinrich dalam bukunya yang terkenal “Industrial Accident Prevention” (1931), dianggap sebagai suatu titik awal, yang bersejarah bagi semua gerakan keselamatan kerja yang terorganisir secara terarah. Pada hakekatnya prinsip-prinsip yang dikemukakan Heinrich di tahun 1931 adalah merupakan unsur dasar bagi program keselamatan kerja yang berlaku saat ini. Setiap perusahaan memiliki kebijakan masing-masing dalam mengelola karyawan. Akan tetapi, UU Ketenagakerjaan harus tetap dijadikan patokan. Jangan sampai, inovasi dalam rancangan peraturan perusahaan bertentangan dengan UUK. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terdiri atas 193 pasal. Dari keseluruhan pasal, Gadjian menyajikan ringkasan isi UU Ketenagakerjaan pada topik-topik yang sering kita butuhkan. Tentang Status Karyawan UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 mengatur perjanjian kerja antara karyawan dengan perusahaan, yang akan menentukan yang bersangkutan dalam perusahaan itu. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT) mengacu pada karyawan kontrak. Perjanjiannya didasarkan pada jangka waktu tertentu atau selesainya sebuah pekerjaan. Sedangkan perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu (PKWTT) merupakan perjanjian kerja untuk karyawan tetap. Pasal yang mengatur perjanjian kerja untuk karyawan tetap dan karyawan kontrak yakni Pasal 56 – Pasal 60 UU Ketenagakerjaan. Di dalamnya juga dirinci mengenai jenisjenis pekerjaan yang boleh diserahkan kepada karyawan kontrak (PKWT). Untuk karyawan kontrak, departemen HR harus selalu memperhatikan kapan kontrak kerja berakhir. Untuk itu, aplikasi HRIS Gadjian menyediakan reminder kontrak karyawan. Dengan reminder ini, HR punya cukup waktu untuk mengkordinasikan keputusan perusahaan, apakah karyawan akan dihentikan kontraknya, diperpanjang, atau diangkat sebagai karyawan tetap. Baca Juga: Perbedaan PKWT dan PKWTT yang Wajib Diketahui HR (Infografis) Tentang Upah “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” Untuk mewujudkan Pasal 88 ayat 1 dari UU Ketanagekerjaan di atas, pemerintah kemudian menetapkan kebijakan-kebijakan pengupahan yang meliputi upah minimum, upah kerja lembur, upah tidak masuk kerja karena berhalangan, upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaan, upah karena menjalankan hak waktu istirahat, dan lain-lain. Ditekankan pula dalam UU Ketenagakerjaan tersebut bahwa upah untuk pekerja/karyawan tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pemerintah. Dalam menetapkan struktur dan skala upah pun perusahaan perlu memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, serta kompetensi para karyawannya. Jika perusahaan kemudian menyusun komponen upah karyawan terdiri atas gaji pokok dan tunjangan tetap, maka persentase gaji pokok minimal 75% dari total upah tetap. Penghitungan gaji sendiri pada praktiknya biasa dilakukan bersamaan dengan berbagai macam komponen kompensasi dan benefit, misalnya tunjangan kehadiran, upah lembur, BPJS, potongan untuk cicilan kasbon, dan lain-lain. Beruntung saat ini mudah bagi perusahaan untuk melakukannya dengan cepat dan akurat karena ada payroll software yang andal. Kemudahan bayar gaji online dan penyediaan slip gaji online menjadi keunggulan tersendiri dari payroll software Gadjian. Berdasarkan UU, upah tidak diberikan jika karyawan tidak melakukan pekerjaannya. Namun, ada beberapa kondisi di mana perusahaan tetap wajib menggaji karyawan yang tidak bekerja. Kondisi-kondisi tersebut, yaitu: Karyawan sakit, Karyawati sakit karena haid pada hari pertama dan kedua, Karyawan menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran, suami/ isteri/ anak/ menantu/ orang tua/ mertua/ anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia, Sedang menjalankan kewajiban terhadap negara, Karyawan menjalankan ibadah agamanya, Karyawan telah bersedia melakukan pekerjaan yang dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha, Karyawan melaksanakan hak istirahat, Karyawan melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha, Karyawan melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan. Selengkapnya, Undang-Undang Ketenagakerjaan mengatur soal pengupahan dalam sebelas pasal, yaitu Pasal 88 s.d. 98. Tentang Lembur Pasal 77 UU Ketenagakerjaan mengatur waktu kerja karyawan, yaitu selama 40 jam/minggu (7 jam/hari untuk 6 hari kerja, atau 8 jam/hari untuk 5 hari kerja). Selebihnya, perusahaan diwajibkan membayar upah lembur kepada karyawan. Meskipun begitu, UU tersebut juga membatasi waktu kerja lembur karyawan, yaitu maksimal selama 3 jam/ hari dan 14 jam/minggu. Jangan lupa, penugasan untuk bekerja lembur ini pun harus atas persetujuan karyawan yang bersangkutan. Untuk perhitungan upah lembur, sudah banyak perusahaan yang puas hitung lembur dengan Gadjian, sebab prosesnya otomatis dan bisa langsung diintegrasikan dalam komponen gaji bulanan. Tentang Cuti dan Istirahat Dengan berkembangnya teknologi saat ini, karyawan-karyawan di perusahaan pengguna HR software Gadjian telah dapat menikmati cuti online. Seperti apa aturan cuti itu sendiri di Indonesia? Dalam Pasal 79 UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa perusahaan diwajibkan memberikan waktu istirahat dan cuti bagi karyawannya. Waktu istirahat dan cuti yang dimaksud adalah sebagai berikut: Istirahat antara jam kerja, minimal 30 menit setelah bekerja selama 4 jam terus menerus. Waktu istirahat ini tidak dihitung sebagai jam kerja; Istirahat mingguan: 1 hari untuk 6 hari kerja/minggu, atau 2 hari untuk 5 hari kerja/minggu; Cuti tahunan minimal 12 hari kerja setelah karyawan bekerja selama 12 (dua belas) bulan terus menerus; Istirahat panjang untuk karyawan yang telah bekerja selama 6 tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama. Total waktu yang dapat digunakan untuk istirahat panjang minimal 2 bulan, yang dilaksanakan pada tahun ke-7 dan ke-8 bekerja (masing-masing 1 bulan). Dengan diambilnya cuti panjang oleh karyawan, ia tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 tahun berjalan. Selanjutnya, hal yang sama berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 tahun. Tentang Hak Karyawan Perempuan Pasal-pasal yang mengatur tentang hak-hak khusus untuk karyawan perempuan, adalah: Pasal 81, tentang hak bagi karyawan perempuan yang merasakan sakit untuk tidak bekerja pada hari pertama dan kedua masa haid Pasal 82 ayat 1, tentang waktu istirahat untuk karyawati (karyawan perempuan) yang melahirkan Pasal 82 ayat 2, tentang hak waktu istirahat bagi karyawati yang mengalami keguguran Pasal 83, tentang kesempatan bagi karyawati menyusui anaknya Tentang Tenaga Kerja Asing Pemerintah Indonesia pun mengatur tentang tenaga kerja asing melalui UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003. Bagi perusahaan yang ingin mempekerjakan tenaga kerja asing, ada beberapa kewajiban yang perlu diketahui, antara lain: Perusahaan wajib terlebih dahulu mendapatkan izin tertulis dari Menteri Ketenagakerjaan atau pejabat yang ditunjuk. Sedangkan pemberi kerja perseorangan (bukan perusahaan) dilarang sama sekali untuk mempekerjakan tenaga kerja asing. Perusahaan wajib memastikan tenaga kerja asing itu dipekerjakan dalam jabatan dan waktu yang sesuai dengan Keputusan Menteri terkait hal tersebut Perusahaan wajib menunjuk tenaga kerja WNI sebagai tenaga pendamping bagi tenaga kerja asing yang dipekerjakan, dengan tujuan alih teknologi dan alih keahlian dari tenaga kerja asing tersebut Perusahaan wajib melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diduduki oleh tenaga kerja asing yang sedang dipekerjakan Perusahaan wajib memulangkan tenaga kerja asing ke negara asalnya setelah hubungan kerjanya berakhir Lebih lanjut, sebanyak 8 Pasal telah mengatur mengenai keberadaan tenaga kerja asing yang dipekerjakan di Indonesia, yaitu dari Pasal 42 hingga Pasal 49. UNDANG UNDANG TENTANG KETENAGAKERJAAN Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah K3 Disusun oleh : Patromuan Gearry Andreas (181331054) PROGRAM STUDI TEKNIK TELEKOMUNIKASI JURUSAN TEKNIK ELEKTRO POLITEKNIK NEGERI BANDUNG BANDUNG 2018 Kedaluarsa Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja dapat menjadi hilang jika telah melewati jangka waktu 2 (dua) tahun sejak hak-hak pekerja telah ditetapkan. Selanjutnya, penjabaran mengenai ketentuan penghasilan yang layak, kebijakan pengupahan, kebutuhan hidup layak, perlindungan pengupahan, penetapan upah minimum, dan pengenaan denda diatur dengan Peraturan Pemerintah sesuai kebutuhan dan perkembangan situasi. Tunjangan Hari Raya Pemberian THR diatur oleh Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No.6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan. Hari Raya Keagamaan di Indonesia yang dimaksud dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tersebut adalah Hari Raya Idul Fitri untuk Pekerja beragama Islam, Hari Raya Natal untuk Pekerja beragama Katolik dan Protestan, Hari Raya Nyepi untuk Pekerja beragama Hindu, Hari Raya Waisak untuk Pekerja beragama Buddha, dan Hari Raya Imlek untuk Pekerja beragama Konghucu. Berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6 Tahun 2016, ada 6 poin penting yang perlu diketahui tentang THR: 1. Masa Kerja Pekerja THR wajib diberikan kepada pekerja yang telah bekerja minimal 1 bulan di perusahaan. Perhitungan untuk pekerja dengan masa kerja kurang dari 12 bulan dan lebih dari 12 bulan berbeda. Jika pekerja dengan masa kerja lebih dari 12 bulan mendapatkan THR sebesar upah 1 bulan, pekerja dengan masa kerja 1 bulan dan kurang dari 12 bulan mendapatkan THR dengan perhitungan ((masa kerja)/12) x upah 1 bulan. Definisi “upah” yang digunakan sebagai basis perhitungan THR dapat berbeda-beda sesuai dengan kebijakan perusahaan. Namun pada dasarnya, perusahaan menggunakan salah satu besaran berikut sebagai basis perhitungan THR: 1. Hanya gaji pokok 2. Gaji pokok dan tunjangan tetap Berikut ini beberapa contoh perhitungan THR sebagai ilustrasi. 2. Bentuk THR THR hanya dapat diberikan dalam bentuk uang rupiah. Dengan kata lain, pemberian THR berupa voucher, paket sembako, parsel dan hadiah lainnya tidak dihitung sebagai THR. 3. Waktu Pemberian THR Pemberian THR oleh perusahaan kepada pekerja wajib dilakukan selambat-lambatnya 7 hari atau seminggu sebelum Hari Raya Keagamaan berlangsung. Sebagai contoh, apabila Hari Raya Idul Fitri jatuh pada tanggal 17 Juni 2017, maka perusahaan harus memberikan THR kepada pekerja maksimal tanggal 10 Juni 2017. 4. THR bagi Pekerja yang Mengundurkan Diri Pekerja Kontrak Waktu Tertentu (PKWT/Kontrak) dan Pekerja Kontrak Waktu Tidak Tertentu (PKWTT/Tetap) berhak mendapatkan THR jika pemutusan hubungan kerja terjadi 30 hari sebelum Hari Raya Keagamaan. Perdebatan seringkali muncul jika terjadi kasus pemutusan hubungan kerja dalam waktu yang cukup dekat dengan Hari Raya Keagamaan. Ada baiknya hal-hal tersebut dibahas dengan pihak manajemen serta karyawan yang bersangkutan secara terbuka dan kekeluargaan untuk menghindari sengketa lebih lanjut. 5. Pajak THR PPh 21 atas THR hanya dikenakan bagi pekerja yang mendapatkan THR di atas Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP), yaitu Rp 4,5 juta per bulan atau Rp 54 juta per tahun. Jika pekerja mendapatkan THR kurang dari Rp 4,5 juta, maka pekerja tersebut tidak dikenakan PPh 21 THR. Lihat di sini untuk mempelajari contoh kasusperhitungan PPh 21 THR secara lebih mendetail. 6. Sanksi Perusahaan Sebelum adanya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6 Tahun 2016 yang mengatur tentang THR, perusahaan tidak dikenakan sanksi apapun jika tidak memberikan THR kepada pekerja. Namun, setelah adanya peraturan tersebut, perusahaan akan dikenakan sanksi berupa denda sebesar 5% dari total THR yang harus dibayarkan jika tidak memberikan THR kepada pekerja. Denda yang dimaksud adalah THR yang harus dibayarkan oleh perusahaan ke pekerja ditambah dengan 5% dari total THR yang didapatkan oleh pekerja. Sehingga, perusahaan akan lebih dirugikan secara finansial sebagai sanksi akibat tidak memberikan THR sebagaimana peraturan pemerintah. Jam Kerja Jam kerja adalah waktu untuk melakukan pekerjaan, dapat dilaksanakan siang hari dan/atau malam hari. Undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur jam kerja bagi pekerja di sektor swasta. Sedangkan, untuk pengaturan mulai dan berakhirnya waktu jam kerja diatur sesuai dengan kebutuhan perusahaan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Dalam Undang-Undang No.13 tahun 2003 Pasal 77 ayat 1 mewajibkan setiap perusahaan untuk mengikuti ketentuan jam kerja yang telah diatur dalam 2 sistem yaitu: Kedua sistem jam kerja yang berlaku memberikan batasan jam kerja yaitu 40 (empat puluh) jam dalam 1 (satu) minggu. Apabila jam kerja dalam perusahaan melebihi ketentuan tersebut, maka waktu kerja yang melebihi ketentuan dianggap sebagai lembur, sehingga pekerja berhak atas upah lembur. Status Karyawan Kontrak Kerja/Perjanjian Kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja dan pengusaha secara lisan dan/atau tulisan, baik untuk waktu tertentu maupun untuk waktu tidak tertentu yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban pekerja dan perusahaan. Dalam kontrak kerja, pekerja dapat mengetahui status kerja. Status kerja diatur dalam UndangUndang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Status pekerja berdasarkan waktu berakhirnya: a. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau karyawan kontrakadalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu. Pekerja dianggap sebagai PKWT apabila kontrak kerja tidak lebih dari 3 (tiga) tahun dan tidak ada masa percobaan kerja (probation). b. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap atau biasa disebut karyawan tetap. Pada PKWTT dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja (probation) dengan waktu paling lama 3 (tiga) bulan, bila ada yang mengatur lebih dari 3 bulan, maka berdasarkan aturan hukum, sejak bulan keempat, pekerja dinyatakan sebagai pekerja tetap (PKWTT). Selain dari status pekerja berdasarkan waktu berakhirnya, ada juga pekerja harian lepas (freelancer) dan outsourcing: a. Harian Lepas (freelancer) Pekerja harian lepas diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.100 tahun 2004. Pada perjanjian kerja harian lepas berlaku beberapa ketentuan: Perjanjian kerja harian lepas hanya untuk pekerjaan tertentu yang memiliki waktu dan volume pekerjaan yang berubah-ubah, serta upah yang didasarkan pada waktu, volume pekerjaan, dan kehadiran pekerja dalam satu hari. Perjanjian kerja harian lepas berlaku dengan ketentuan pekerja bekerja kurang dari 21 hari dalam 1 (satu) bulan. Jika pekerja bekerja selama 21 hari atau lebih selama 3 (tiga) bulan berturut-turut, maka status pekerja berubah menjadi PKWT. b. Outsourcing Status kerja outsourcing artinya pekerja tidak berasal dari rekrutmen perusahaan, melainkan perusahaan meminta pihak ketiga sebagai perusahaan penyedia tenaga kerja untuk mengirimkan pekerjanya sesuai dengan kebutuhan perusahaan.Sehingga, perjanjian kerja dilakukan oleh perusahaan dan pihak ketiga tersebut. Ketentuan terkait status kerja outsourcing diatur dalam Undang-Undang No.13 Pasal 59 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Cuti Berdasarkan Undang-undang no. 13 tahun 2003 Pasal 79 ayat (2), pekerja yang telah bekerja minimal selama 12 bulan atau 1 (satu) tahun berturut-turut berhak untuk mendapatkan cuti sekurang-kurangnya 12 hari. Namun, perusahaan dapat menyesuaikan ketentuan cuti pekerja berdasarkan Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan (PP), atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang telah disepakati oleh perusahaan dan pekerja. Sakit Apabila karyawan tidak dapat melakukan pekerjaannya dikarenakan sakit, pengusaha tetap wajib membayar upah/gajinya. Di Indonesia tidak terdapat waktu maksimal karyawan diberikan izin sakit. Karyawan yang tidak masuk kerja karena sakit selama 2 hari berturutturut atau lebih harus menyertakan surat keterangan sakit dari dokter. tanpa keterangan resmi tersebut karyawan akan dianggap mangkir dan diperhitungkan sebagai cuti tahunan. Apabila sakit yang diderita karyawan cukup parah sehingga memerlukan waktu yang lama untuk kembali bekerja, akan dilakukan penyesuaian terhadap upah yang diterimanya: 1. Untuk 4 bulan pertama dibayar 100% dari upah, 2. Untuk 4 bulan kedua dibayar 75% dari upah, 3. Untuk 4 bulan ketiga dibayar 50% dari upah, 4. Untuk bulan selanjutnya dibayar 25% dari upah sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha. Peraturan Lembur Pengusaha wajib membayar upah kerja lembur jika mempekerjakan pekerja/buruhnya melebihi waktu kerja yang telah ditentukan Undang-Undang. Pemberlakuan lembur pun harus memenuhi syarat antara lain terdapatnya persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan serta maksimal waktu lembur selama 3 jam dalam 1 hari dan 14 jam dalam 1 minggu, tidak termasuk lembur pada waktu istirahat mingguan atau hari libur resmi. Perhitungan upah lembur sejam yang didasarkan pada upah bulanan dapat dihitung dengan 1/173 dikali upah sebulan (gaji pokok + tunjangan tetap). Dengan perhitungan upah lembur sebagai berikut: 1. Apabila lembur dilakukan pada hari kerja maka: a. Upah kerja lembur pertama dibayar 1.5 kali upah sejam b. Setiap jam kerja lembur berikutnya dibayar dua kali upah sejam. 2. Apabila kerja lembur dilakukan pada libur akhir pekan atau hari libur resmi untuk waktu 5 hari kerja, maka: a. Upah kerja lembur untuk 8 jam pertama dibayar 2 kali upah sejam, b. Upah kerja lembur untuk jam kesembilan dibayar 3 kali upah sejam c. Upah kerja lembur jam kesepuluh dan kesebelas dibayar 4 kali upah sejam. 3. Apabila kerja lembur dilakukan pada libur akhir pekan atau hari libur resmi untuk waktu 6 hari kerja, maka: a. Upah kerja lembur untuk 5 jam pertama dibayar 2 kali upah sejam, b. Upah kerja lembur untuk jam keenam dibayar 3 kali upah sejam c. Upah kerja lembur jam ketujuh dan kedelapan dibayar 4 kali upah sejam. Pemutusan Hubungan Kerja Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. PHK dapat dilakukan dikarenakan alasan-alasan tertentu dan dilarang apabila dilakukan secara sepihak dan sewenang-wenang. Pengusaha wajib merundingkan perihal PHK dengan serikat pekerja atau dengan pekerja, apabila perundingan tersebut tidak menghasilkan persetujuan maka PHK hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial atau pengadilan hubungan industrial. Pengusaha wajib membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima oleh pekerja sebagaimana yang tertera dalam UndangUndang Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003 serta dalam kesepakatan yang ada pada Perjanjian Kerja Bersama atau Peraturan Perusahaan. Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran yang tertera dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja sama, pengusaha dapat melakukan PHK setelah pekerja yang bersangkutan diberikan surat peringata