Perempuan dan Isu Ketenagakerjaan

advertisement
PEREMPUAN DAN ISU-ISU
KETENAGAKERJAAN
Pendahuluan
1. Apa yang membedakan antara
“Hukum Perburuhan” dengan
“Wanita dan Hukum” dalam
menganalisis isu/kasus perempuan
dan ketenagakerjaan?
2. Apa persoalan klasik yang dihadapi
oleh pekerja perempuan pada
umumnya?
Jawab:
1. – menggunakan perspektif perempuan
(menghitung pengalaman perempuan,
memperhatikan konteks relasi gender)
- memiliki kepentingan untuk
mengetahui praktik kekerasan
berbasis gender (gender based
violence) yang besar kemungkinan
terjadi
Matriks Persoalan Buruh
Perempuan(sumber: Women Research Institute)
Kasus Lingkungan Kerja
Kasus Hak Buruh dan Hak
Berorganisasi
Masalah Fasilitas kamar
mandi/WC tidak memenuhi
standar kesehatan
Masalah Fasilitas penerangan
tidak baik
Masalah Petugas kesehatan
tidak ramah
Masalah Fasilitas ruang
makan tidak tersedia
Masalah Fasilitas umum yang
diskriminatif
Masalah Buruh tidak mendapat
perlindungan dari perusahaan
Jaminan kesehatan, kebebasan
memilih kerja lembur, perlindungan
dari pelecehan seksual tidak ada.
Masalah Dominasi laki-laki dalam
Perwakilan Unit Kerja (PUK) dan
Serikat Pekerja (SP)
Beban peran ganda untuk
berorganisasi
Masalah Perusahaan
menghambat secara
sistematis kegiatan organisasi
pekerja
Masalah Buruh memasuki
organisasi serikat pekerja jika
terlibat masalah atau punya
kepentingan
Masalah Representasi buruh
perempuan dalam organisasi
serikat pekerja sangat rendah
Masalah Pertemuan
organisasi serikat pekerja
malam hari menghambat
akses, kontrol, dan pengaruh
buruh perempuan
Kasus Upah, kerja, dan kerja
lembur
Masalah Penghitungan upah
lembur tidak transparan
Masalah Tidak ada insentif
bagi pekerja yang berhasil
memenuhi target produksi
Masalah Upah tidak sebanding
dengan kebutuhan hidup
sehingga terpaksa kerja
lembur
Masalah Jam kerja yang
melewati batas waktu sering
tidak mendapat kompensasi
Masalah Diberi waktu
maksimum 5 menit untuk
buang air kecil/besar
Masalah Posisi kerja berdiri 7
jam yang melelahkan
Masalah Menu makan siang
kurang bermutu
Kesehatan Reproduksi dan
Pelecehan Seksual
Masalah Cuti hamil sering
dipermasalahkan
Masalah Aparatus perusahaan
menganggap pelecehan
seksual sebagai hal sepele
Masalah Tidak tersedia
fasilitas memadai untuk
buruh yang hamil
Kasus Kespro:
1.“Perusahaan hanya memberikan cuti
haid setelah satu bulan penuh, dan
tidak bisa diambil berurutan dengan
hari libur. Misalnya haid tanggal 1
Januari, tanggal 31 Januari baru bisa
mendapatkan cuti tersebut.”
(Leik Ngatiyem, Buruh Perempuan)
Artinya, cuti haid tidak bisa disesuaikan
dengan siklus haid mereka.
2. Hasil wawancara dengan NN, buruh pabrik
kosmetik
Menurut keterangannya, perusahaan
memberikan jatah cuti haid 2 hari.
Tapi….
Buruh2 perempuan lebih memilih tidak
mengambilnya, karena tidak mau
kehilangan “uang bonus”
Kasus Relasi dengan penyelia
(kuasa yang timpang)
• Linda, Ika, Enong, dan Tati, misalnya, harus selalu
siap “meluangkan waktu” untuk kerja lembur di
malam hari. Mereka sulit menampik untuk tidak kerja
lembur. Tuntutan perusahaan, solidaritas sesama
buruh, dan biaya hidup tinggi di perkotaan membuat
buruh semakin sulit menghindari kerja lembur.
Namun, dalam kerja lembur itu pun tidak jarang
muncul kasus ketidaksesuaian antara penghitungan
jam lembur dan upah yang diterima. Misalnya, Linda
telah bekerja lembur selama 140 jam, namun besar
upah lembur yang diterimanya dihitung 100 jam.
Hampir serupa dialami Ika yang bekerja di bagian
jahit. Fasilitas penerangan sangat tidak memadai,
sehingga kedua bola mata Ika segera memerah dan
cepat lelah ketika diharuskan kerja lembur.
Berbagai faktor penyebab
diskriminasi pekerjaan:
1. Domestifikasi peran perempuan
2. Stereotipe terhadap perempuan
3. Beban (ingat, bukan peran) ganda
perempuan
Bagaimana UU mengatur
persoalan perempuan dan
ketenagakerjaan?
UU 7/1984 Tentang Pengesahan Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan:
Pasal 11:
(a) Hak untuk mendapatkan pekerjaan
(b) Hak atas kesempatan kerja yang sama
termasuk penerapan kriteria seleksi yang sama
dalam penerimaan pegawai/karyawan
(c) Hak untuk memilih profesi dan
pekerjaan
(d) Hak untuk promosi jabatan dalam
pekerjaan
(e) Hak untuk memperoleh pelatihan
kejuruan
(f) Hak untuk menerima upah yang
sama dengan tenaga kerja laki-laki
atas pekerjaan yang sama nilainya
(g) Hak atas jaminan sosial
Kritik terhadap UU 13/2003 konteks
kesejahteraan buruh perempuan:
pertama, agar dilakukannya peninjauan kembali pasal
tentang subkontrak;
kedua, dimasukkannya pasal yang menyatakan tidak
diperbolehkan membatasi jenis/jenjang pekerjaan tertentu
berdasarkan jenis kelamin (sesuai dengan konvensi ILO);
ketiga, dimasukkannya pasal yang menyatakan adanya
persamaan upah antara laki-laki dan perempuan untuk
jenis pekerjaan yang sama (sesuai dengan konvensi ILO),
termasuk tunjangan dan pemberlakuan pajak;
keempat, UU tersebut sebaiknya memasukkan kembali
hak cuti haid;
kelima, UU juga sebaiknya memasukkan pasal yang
khusus memberikan sanksi bagi pelaku pelecehan seksual
dan bahwa perusahaan diwajibkan untuk memberikan
perlindungan dan
pengobatan fisik dan psikologis bagi korban;
keenam, UU ini sebaiknya menghapuskan
wewenang perusahaan untuk melakukan lock out
jika terjadi kegagalan dalam perundingan dengan
buruh.
ketujuh, perlu dibuat peraturan tentang kuota
buruh >>Perlindungan Buruh Perempuan dan
Kebijakan Ketenagakerjaan Indonesia 135
perempuan yang duduk dalam serikat pekerja dan
mewakili pekerja dalam perjanjian atau
perundingan dengan pengusaha.
UU No.13/2003 Tentang
Ketenagakerjaan
Pasal 5: setiap tenaga kerja memiliki
kesempatan yang sama tanpa
diskriminasi untuk memperoleh
pekerjaan
Pasal 6:
Setiap tenaga kerja/buruh berhak
memperoleh perlakuan yang sama
tanpa diskriminasi dari pengusaha
Refleksi
Bagaimana dengan Pekerja Rumah
Tangga
a. Persoalan apa saja yang mereka
hadapi ?
b. Perlukah diatur melalui suatu
peraturan perundang-undangan
secara khusus?
Masalah yang dihadapi
• Jam kerja
• Usia di bawah umur/di atas batas usia sepantasnya utk
kerja
• Trafficking
• Pelecehan (seksual/non seksual)
• Gaji di bawah UMR
• Beban dan jenis kerja
• Persepsi budak
• Agency/penyalur PRT: eksploitatif
• Tidak ada kontrak kerja yang jelas, sehingga menciptakan
profesionalitas (melindungi majikan dan PRT)
• Tidak ada asuransi kesehatan
• Hidup layak (mis. Makan bergizi 3x)
• Jatah cuti kerja
Perlukah pengaturan secara
khusus?
Perlu, karena tidak ada perjanjian
Buruhekonomi formal, PRTnon formal
Buruhada PPS, PRTrentan pengabaian hak
Via agency: buruh
Via informal:bukan buruh
Refleksi Konvensi ILO: menjamin hak2 dasar PRT (belum
diratifikasi) RUU PPRT masih terhambat legislasinya di DPR
Arti penting: menjamin perlindungan PRT di luar negeri
• Tidak Perlu
sebaiknya cukup dengan revisi UU
13/2003
Perda khususnya utk mengatur
monitoring oleh aparat desa
KUHP sdh cukup mengatur tindak
kekerasan yg dialami PRT
Download