G. SUMBING, JAWA TENGAH

advertisement
G. SUMBING, JAWA TENGAH
Gunungapi Sumbing
KETERANGAN UMUM
NAMA GUNUNGAPI
: G. Sumbing
NAMA LAIN
: -
NAMA KAWAH
: -
LOKASI
: a. Geografi Puncak : 7 23' LS dan 110 03'30" BT
o
b.
Administrasi
Temanggung,
o
:
Kabupaten
Kabupaten
Magelang,
Wonosobo
dan
Purworejo
KETINGGIAN
: 3371m dpl
TIPE GUNUNGAPI
: Gunungapi Strato type A
Kota Terdekat
: Temanggung, Jawa Tengah
Desa Gentingsari, Kec. Parakan,Kab.Temanggung,
:
POS PENGAMATAN
Jawa Tengah.
o
o
Koordinat Geografi : 07 17,08' LS dan 110 03,8' BT,
ketinggian 950m dpl.
Kabupaten
Kabupaten
PENDAHULUAN
Gunung Sumbing di Jawa Tengah termasuk ke dalam wilayah Kabupaten
Magelang,
Kabupaten
Temanggung,
Kabupaten
Wonosobo
dan
Kabupaten Purworejo. Puncaknya berketinggian 3371 m dpl. Secara
geografis teretak pada 07o17,08' LS dan 110o03,8' BT. Karena bibir kawah
sebelah timur laut telah hancur sehingga nampak seolah-olah sobek,
maka disebut Gunung Sumbing, karena nampaknya seolah-olah seperti
bibir sumbing.
Kota terdekat masing-masing Magelang di sebelah tenggara, Temanggung
di sebelah timurlaut, Parakan di sebelahutara dan Wonosobo di sebelah
barat. Kaki gunung Sumbing sebelah barat-laut berbatasan dengan
Gunung Sundoro, sedangkan di sebelah selatan dan tenggara berbatasan
dengan Pegunungan Menoreh, Beser dan Kekep.
Untuk mencapai puncak Gunung Sumbing biasanya pendakian dilakukan
dari arah barat laut yaitu dari Kampung garung (1543 m), Desa Butuh,
Kecamatan
Kalijajar,
Kabupaten
Wonosobo.
Pendakian
bisa
juga
dilakukan dari arah utara yaitu dari Kecapit, Parakan; arah timur laut yaitu
dari Kampung Butuh atau Selogowok, Temanggung; arah tenggara yaitu
dari Kalegen, Magelang; arah baratdaya yaitu dari Sapuran, Wonosobo.
Bagian lereng yang landai dengan Magelang; arah baratdaya yaitu dari
Sapuran, Wonosobo. Bagian lereng yang landai dengan kemiringan
sekitar 15o antara ketinggian lebih kurang 1500 sampai 2000 m,
sedangkan lereng atas yang terjal kemiringan sekitar 25o bahkan ada yang
sampai 30o antara ketinggian di atas 2000 sampai 3000 m dpl. Karena
tanahnya sangat subur hampir seluruh daerah lereng yang landai sampai
ketinggian lebih kurang 2000 m telah dijadikan daerah perkebunan rakyat,
seperti sayur-sayuran (kol, wortel, kentang, kacan-kacangan dan lain-lain)
di samping penanaman tembakau. Karena itu penduduk yang bermukim di
sekitar Gunung Sumbing cukup padat, sampai radius lebih kurang 8 km
dari puncak, penduduknya berjumlah hampir mencapai 100.000 jiwa
(1989).
Karena tersusun oleh batuan beku (lava) yang sangat keras, maka hampir
seluruh daerah lereng atas yang terjal itu keadaanya yang sangat gersang,
pada umumnya hanya ditumbuhi semak-belukar, bahkan mulai ketinggian
lebih kurang 3000 m hanya ditumbuhi rerumputan yang daun-daunnya
berbulu.
Gambar Peta Kawah G. Sumbing, Jawa Tengah
MORFOLOGI DAN TOPOGRAFI
Morfologi atau topografi Gunung Sumbing dapat dibagi menjadi dua
satuan morologi, yaitu morfologi daerah lereng dan morfologi daerah
puncak.
Morfologi Daerah Lereng
Morfologi daerah lereng adalah daerah tubuh gunungapi antara ketinggian
lebih kurang 1400 sampai 3300m dpl. Bagian lereng yang landai
mempunyai kemiringan sekitar 15o antara ketinggian lebih kurang 1400
sampai 2000m dpl. Satuan morfologi ini disusun oleh batuan hasil letusan
yang relatif lunak dan tersayat sangat dalam oleh aliran sungai.
Baatuannya terdiri dari lapili, tuf, tuf pasiran sampai tuf halus berbatu
apung. Lereng bagian bawah menunjukkan daerah bergelombang rendah,
batuannya dominan terdiri dari piroklastika. Bagian lereng yang terjal
mempunyai kemiringan sekitar 25o-30o mulai ketinggian di atas 2000
sampai lebih kurang 3300m dpl. Di lereng bagian atas banyak terdapat
gawir-gawir dan alur-alur hulu sungai yang sempit dan dalam. Bagian
lereng yang terjal ini batuannya dominan terdiri dari lava (lava flow) yang
membentuk punggungan bukit di antara alur-alur hulu sungai.
Kerucut parasit Petarangan setinggi lebih kurang 200m dpl muncul di kaki
sebelah utara, puncaknya berketinggian 1292m dpl, sedangkan kerucut
parasit Namu muncul di kaki sebelah tengara, puncaknya berketinggian
1033m dpl.
Morfologi Daerah Puncak
Daerah puncak Gunung Sumbing berketinggian antara 3260-3571m dpl.
Kawahnya bergaris tengah lebih kurang 800m, berbentuk lonjong
menyerupai bentuk tapal kuda yang terbuka ke arah timur laut. Kedalaman
kawah lebih kurang 100-150m. Pematang atau bibir kawah yang
menyerupai bentuk tapal kuda ini mengapit kubah lava selebar 450m yang
membujur dan menurun ke arah timur laut. leleran lava dari kubah lava ini
sampai ketinggian lebih kurang 2400m dpl membentuk lidah lava. Tinggi
kubah lava lebih kurang 50m dari dasar kawah atau lebih kurang 3250m
dpl, batuannya terdiri dari andesit hornblende. Pematang kawah
batuannya terdiri dari andesit hipersten augit hornblende, yang pada
beberapa dinding/tebing kawah terlihat struktur kekar meniang.
Di dasar kawah terdapat 4 dataran sempit yaitu sisa bekas lubang letusan
yang terisi oleh material lepas berukuran pasir, lapili sampai bongkahbongkah asal kubah lava:
1.
Dataran sempit sebelah utara (Kawah A) berketinggian 3159m,
terletak antara lava berbongkah (kubah lava 1730) dan pematang
sebelah utara.
2.
Dataran sempit sebelah barat (Kawah B), terletak antara kubah lava
1730 clan pematang sebelah barat.
3.
Dataran sempit sebelah selatan (Kawah C) berketinggian 3183m
terletak antara kubah lava 1730 dan pematang sebelah selatan.
4.
Dataran sempit sebelah timur dataran sempit No.2 (Kawah D),
berketinggian 3196m dpl terletak antara kubah lava 1730 dan
pematang berarah utara-selatan
5.
KEGIATAN VULKANIK DAN LETUSAN YANG TERCATAT DALAM
SEJARAH
Letusan dalam sejarah hanya tercatat satu kali yaitu tahun 1730 yang
terjadi di kawah puncak, dimana terbentuk kubah lava dengan aliran lava
ke arah bibir kawah terendah diperkirakan terjadi pada tahun tersebut
(Junghuhn, 1853 dan Traverne, 1926).
Pada tahun 1937 kepulan asap solfatara yang bersuhu lebih kurang 90oC
nampak pada kubah lava dan kubangan lumpur di belakang kubah lava.
Pada pemeriksaan puncak/kawah yang dilakukan bulan juni 1989, salah
satu bekas lubang letusan yang terletak di sebelah utara sebagian terisi air
berwarna keabu-abuan. Tidak nampak adanya kegiatan vulkanik, kepulan
asap solfatara dan fumarola di daerah puncak/kawah, baik letak maupun
hembusannya pada Juni 1989 tidak jauh berbeda bila dibandingkan
dengan keadaan tahun 1977. Kepulan asap solfatara di berbagai tempat
menghasilkan endapan kristal belerang.
Di sebelah barat terdapat dua dataran yang berdekatan, dibataasi oleh
bongkah-bongkah lava. Disini nampak kegiatan vulkanik berupa kepulan
solfatara, fumarola dan mata air panas. Dataran sempit di sebeleah
selatan yang diapit oleh kubah lava dan pematang kawah sebelah
tenggara-barat daya terisi oleh bahan lepas yang telah ditumbuhi
rerumputan. Di beberapa tempat nampak bekas kegiatan solfatara dan
fumarola berwarna keputih-putihan.
pada tahun 1922 kubah lava belum ditutupi tumbuh-tumbuhan. Baru sejak
1925 mulai ditumbuhi lumut-lumutan dan rerumputan. Pada saat ini kubah
lava tertutup agak lebat oleh tetumbuhan perdu dan rerumputan.
Bekas lubang letusan no.4 (Kawah D) kegiatan vulkanik berupa kepulan
asap solfatara dan fumarola. Di beberapa tempat ada yang mengandung
gas-gas S02, H2S, C02 dan C1. Kepulan asap solfatara dan fomarola itu
pada umumnya keluar berderet mengikuti dua rekahan. Rekahan pertama
terdapat di sebelah barat dasar kawah sepanjang lebih kurang 150m,
rekahan kedua terdapat di sebelah timur dan sejajar dengan rekahan yang
pertama. berdekatan dengan tembusan-tembusan gas tersebut ada
tempat yang oleh penduduk setempat disebut "kuburan keramat Sunan
Geseng".
Seperti halnya pada tahun 1921/1922 kepulan gas-gas hanya muncul
pada dasar kawah saja. Tahun 1921 suhunya berkisar antara 85o-98o C.
Tahun 1927 suhunya sedikit menurun yaitu 78oC-95oC. Tahun 1927 suhu
solfatara dan fumarola pada rekahan sebelah barat dari utara ke selatan
adalah 89oC-85,5oC. Pada umumnya suhu pada lubang-lubang gas di
rekahan sebelah barat maupun rekahan sebelah timur turun 5oC-7oC
dibandingkan dengan sebelumnya.
Suhu pada kolam lumpur yang terdapat di tengah-tengah dasar kawah
adalah 36oC, suhu pada kolam itu adalah suhu yang terendah. Tahun
1934 suhu solfatara pada rekahan sebelah barat berkisar antara 88,5oC91oC. Ada 3 kepulan gas dengan suara tiupan (blazer), suhunya 91oC.
Bekas lubang letusan no.2 (Kawah B), kegiatan vulkanik berupa kepulan
asap fumarola dan solfatara putih tipis yang keluar dari rekahan bagian
barat suhunya 89oC-125oC. Disini juga terdapat mata air panas. Tahun
1977 suhu maksimum mencapai 125oC, yaitu pada solfatara yang
bertekanan kuat dengan suara tiupan yang keras (blazer), suhu pada
lubang blazer lainnya sekitar 100oC, sedangkan suhu matab air panas
86oC. Mata air panas ini airnya sangat bening berbau belerang dan
rasanya kesat. Di sebelah timur air panas terdapat 2 buah kolam lumpur,
suhunya 77oC. Suhu pada lubang-lubang solfatara pada rekahan di dasar
kawah sebelah timur 34oC-76oC.
Pada umumnya tahun 1977 suhu pada lubang-lubang solfatara cenderung
menunjukkan kenaikan 7oC sampai 34oC dibandingkan dengan tahun
1934. Perubahan/perpindahan kegiatan vulkanik hanya terjadi di sekitar
Kawah B. Sepintas lalu seperti ada keseimbangan antara suhu dan luas
penyebaran lapangan solfatara dan fumarola, dimana jika tembusan panas
tersebat lebih luas maka suhu akan turun dan sebaliknya
USAHA PENANGGULANGAN BAHAYA LETUSAN
Untuk menekan jumlah korban jiwa maupun kerusakan akibat letusan
gunungapi, dilakukan berbagai cara, yaitu melakukan Pengamatan dan
Penelitian serta pembuatan Peta Daerah Bahaya.
Pengamatan dan Penelitian
Untuk peramalan letusan maka perlu melakukan pengamatan dan
penelitian dengan berbagai metoda seperti seismik, suhu, geokimia,
deformasi, visual dan lain-lain. Sejak tahun 1984 kegiatan Gunung
Sumbing telah dipantau dari Pos Pengamatan di Desa Gentingsari, Kec.
Parakan, Kab. Temanggung, Jawa Tengah.
Pos Pengamatan Gentingsari juga untuk memantau kegiatan vulkanik
Gunung Sundoro atau sebelah utara Gunung Sumbing pada ketinggian
lebih kurang 980m dpl.
Kawasan Rawan Bencana
Bila berdasarkan pengamatan dan penelitian diramalkan bahwa Gunung
Sumbing akan meletus, maka perlu memberitahukan penduduk agar
menyingkir atau perlu pengungsian penduduk dari tempat-tempat yang
dianggap berbahaya ke tempat yang aman sebelum atau pada waktu
letusan itu terjadi. Sehubungan dengan itu maka diperlukan pula Kawasan
Rawan Bencana, di samping tentunya diteliti dan diamati secara terusmenerus dari Pos Pengamatan Gunungapi.
Kawasan Rawan Bencana Gunung Sumbing yang disusun ini hanya
berlaku apabila terjadinya leusan di daerah puncak atau dari kawah utama
dan arah letusan tegak lurus; tidak terjadi pembentukan kaldera; morfologi
dan topografinya tidak berubah.
Sekitar tahun 1730 terjadi letusan di kawah puncak. Pada letusan ini
menurut Junghuhn (1853), Traverne (1926) terjadi aliran lava ke arah
timurlaut sampai garis ketinggian lebih kurang 2400m. Baik Junghuhn
maupun Traverne tidak menjelaskan apakah bibir kawah sebelah timur
laut yang hancur (terputus) itu karena didobrak oleh aliran lava tersebut.
Menurut Neumann van Padang (1937), leleran lava berbongkah dari
letusan 1730 mendobrak dinding pematang kawah sebelah timurlaut.
Meskipun sepanjang sejarah Gunung Sumbing tidak pernah meletus yang
menimbulkan bencana, namun demikian untuk menjaga kemungkinan
terjadinya letusan yang membahayakan penduduk yang bermukim di
sekitarnya, perlu dipersiapkkan Kawasan Rawan Bencana sebagai
pegangan atau pedoman darurat dalam mengambil tindakan untuk
pengamanan penduduk dari ancaman bahaya. Kawasan Rawan Bencana
ini mencantumkan daerah yang dianggap berbahaya jika terjadi letusan,
baik bahaya langsung maupun tidak langsung.
berdasarkan pengalaman, suatu gunungapi yang sudah lama tidak
meletus biasanya akan dahsyat letusannya jika ini terjadi. Kemungkinan
terjadinya awan panas tidak dapat diremehkan (Kusumadinata, 1980).
Kawasan Rawan Bencana hanya berlaku untuk letusan di daerah puncak
terutama letusan yang terjadi di kawah yang berbentuk tapal kuda yang
bersumbat lava. Peta ini disiapkan untuk menghadapi kemungkinan
terjadinya letusan besar seperti misalnya G. Agung di Bali (1963), G.
Galunggung di Jawa Barat (1983), G. Colo di Pulau Una-Una (1983), G.
Kelud di Jawa Tmur (1990).
Keadaan bentuk alam (morfologi dan topografi) akan mempengaruhi arah
penyebaran bahan letusan terutama bahaya luncuran awan panas, aliran
lava dan lahar. Bentuk awan dan ke arah mana terbukanya akan
menentukan daerah mana yang paling mungkin terlanda jika terjadi
letusan. Jurusan luncuran awan panas dan aliran lahar terutama akan
mengikuti jurang-jurang dan lembah-lembah sungai yang berhulu di
daerah puncak/tepi kawah.
Kawah Gunung Sumbing terbuka ke arah timurlaut. Maka bila terjadi
letusan agak hebat, kemungkinan besar luncuran awan panas, aliran lava
dan lahar akan melanda sektor lembah-lembah sungai yang mengalir ke
arah timurlaut seperti K. Kedu, K. Bulu, K. Gondang, K. Parang dan K.
Gintung.
Untuk bahaya lontaran batuan, bom vulkanik, lapili, terutama pasir dan
abu, penyebarannya dipengaruhi oleh arah angin yang berubah-ubah
sesuai dengan musim. Pada Kawasan Rawan Bencana hanyalah
diperkirakan batas radial yang mungkin masih membahayakan
PEMBATASAN DAERAH BAHAYA
Berdasarkan bentuk morfologi dan topografi, sifat kegiatan suatu
gunungapi dan penyebaran bahan letusan masa lampau, maka daerah
bahaya Gunung Sumbing dibagi menjadi Daerah Bahaya dan Daerah
Waspada.
Daerah Bahaya
Daerah bahaya adalah daerah yang sangat rawan terhadap bahaya
letusan yaitu berupa luncuran awan panas, lahar, leleran lava, lontaran
batuan seperti bom vulkanik, lapili, hujan pasir dan abu. Karena itu
penduduk di daerah ini harus diungsikan bila ada tanda-tanda akan terjadi
letusan.
Tanpa memperhitungkan arah tiupan angin pada saat terjadi letusan,
bahaya lontaran batuan di daerah bahaya meliputi daerah berbentuk
lingkaran dengan jari-jari 5 km berpusatkan kawah aktif.
Terhadap bahaya luncuran awan panas, leleran lava dan aliran lahar
terutama akan mengancam sektor timur laut mengikuti lembah-lembah
sungai yang berhulu dari puncak atau dari tepi kawah.
Jumlah penduduk di daerah bahaya ini sekitar 23.500 jiwa (Juli 1989).
Daerah Waspada
Daerah Waspada adalah daerah perluasan dari Daerah Bahaya. Tanpa
memperhitungkan arah tiupan angin pada saat terjadinya letusan,
terhadap bahaya lontaran lapili, hujan pasir dan abu, mungkin juga bom
vulkanik; meliputi daerah berbentuk lingkaran di luar Daerah Bahaya
dengan jari-jari lebih kurang 8 km, berpusatkan kawah aktif. Jumlah
penduduk di daerah ini lebih kurang 71.500 jiwa (juli 1989).
Untuk kemungkinan bahaya lahar bervariasi sepanjang lembah-lembah
sungai. Beberapa sungai yang berhulu dari daerah puncak mungkin akan
dilalui banjir lahar hujan, bila setelah terjadi letusan di daerah puncak turun
hujan lebat yang cukup lama. Oleh karena itu penduduk di daerah ini
harus waspada (siap siaga) bila turun hujan setelah terjadi letusan.
Daerah yang tidak termasuk kedua daerah ini dianggap aman, namun
demikian tidaklah berarti bahwa tidak terjangkau bahan letusan sama
sekali. Mungkin saja ada bahan letusan yang bisa mencapai daerah
tersebut tetapi masih dalam keadaan yang tidak mengancam keselamatan
penduduk sehingga tidak dibatasi sebagai Daerah Bahaya atau pun
Daerah Waspada.
KAWASAN RAWAN BENCANA GUNUNGAPI
Peta Kawasan Rawan Bencana G. Sumbing
DAFTAR PUSTAKA
Hamidi. S.. 1989, Laporan Pemetaan Daerah Bahaya Gunung Sumbing.
Jawa Tengah, Juli 1989,
Direktorat Vulkanologi. 16 h..tidak dipublikasikan.
---------1991, Pemeetaan Daerah Bahaya Gunungapi Salah Satu Cara
Untuk Penanggulangan
Bencana Letusan Gunungapi, Direktorat Vulkanologi. 26 h., tidak
dipublikasikan.
Kusumadinata. R.. 1975, Volcanic Hazard Maps, BDG. VIII. n. 2
-------,
dkk..
1979.
Data
Dasar
Gunungapi
Indonesia.
Direktorat
Vulkanologi, Bandung.
-------, 1980. Pengaruh Letusan Gunungapi Terhadap Massyarakat,
Direktorat Vulkanologi, Bandung.
Matahelumual. J., 1982. gunungapi dan bahayanya di Indonesia, Bull.
volcanol. Survey Indon., n. 105
Neumann van Padang, M., 1951. Catalogue of the active volcanoes of the
world
including solfatara fields, part I. Indonesia; Napoli, Italia, pp. 113-115
Sjarifudin, M.Z., dan Hadian. R.. 1977, Laporan Lapangan Pemeriksaan
Gunung Sumbing,
Jawa Tengah, Direktorat Vulkanologi, 21 h., tidak dipublikasikan.
Sudrajat, A., 1982, Gunungapi dan Penanggulangannya. BDG, v. 14, n. 9
Traverne. N.J.Ni., 1926, Vulkaanstudien op Java. Vull:. en Seism. Meded.,
VII, hh.52-56
Download