Perburuan Bangbung

advertisement
Mengais Rejeki Memburu Serangga
Kasus Pemburuan Bangbung di Gunung Salak
Center For Conservation and Insect Studies
Mengais Rejeki Memburu Serangga
Ketika Bangbung
Menjadi Berharga
Bangbung adalah serangga yang banyak diburu oleh sebagaian masyarakat di Gunung Salak. Bangbung merupakan
serangga yang menjadi sumber rejeki sebagian masyarakat, ketika orang luar mau menghargai dengan rupiah per-ekor.
Pemburuan Bangbung dimulai pada tahun 1980-an, dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun dan mencapai
puncaknya pada tahun 1990-an. Sekarang masih ada saja masyarakat yang memburu, walaupun intensitas pemburuan
sudah menurun karena harga Bangbung mulai menurun dan pemburuan semakin sulit karena populasinya yang
semakin menurun.
Sebelum Bangbung bernilai rupiah, masyarakat memandang Bangbung seperti serangga pada umumnya, biasa biasa
saja demikian pendapat masyarakat. Dulu, masyarakat menganggap bahwa Bangbung adalah hewan yang sekedar
membuat lapuk pohon atau kayu dan memiliki suara yang khas tergantung jenisnya. Dulu, jumlahnya sangat melimpah
bahkan sampai masuk ke rumah rumah penduduk. Dulu, Bangbung tidak banyak menjadi bahan pembicaraan
masyarakat. Jangankan dibicarakan, dipedulikan saja tidak, karena Bangbung tidak menganggu namun tidak dianggap
berguna.
Sekarang, Bangbung menjadi idola beberapa kelompok masyarakat terutama yang mulai melihat serangga ini menjadi
sumber untuk mengais rejeki. Sekarang, jumlah Bangbung mulai menurun, dan sedikit sekali yang masuk ke
perkampungan. Sekarang, masyarakat mau mengorbankan banyak hal untuk mendapatkan Bangbung, bahkan
mengacuhkan bahaya bahaya yang menghadang. Jika berbicara mengenai Bangbung, maka yang ada dibenak
masyarakat adalah nilai ekonomisnya, stratifikasi berdasarkan harga, kualitas dan standart mutu layak jualnya.
Pemburu Bangbung tersebar di beberapa wilayah di kawasan Gunung Salak, terutama di desa Kabandungan yang
merupakan desa yang berbatasan dengan areal usaha PT Unocal Geothermal Indonesia (PT. UGI). Lampu PT. UGI
mampu menarik perhatian Bangung yang sensitif cahaya, sehingga memudahkan masyarakat untuk menangkapnya.
Wilayah lain adalah di desa sekitar desa Kabandungan, seperti Desa Cipeutey bahkan sampai di kabupaten Bogor
seperti Desa Purwabakti juga ada yang mencari Bangbung.
Perdagangan
Bangbung
Agak sulit untuk menelusuri sejarah pemburuan Bangbung di Gunung Salak. Hal ini disebabkan usaha pemburuan
Bangbung merupakan hal sensitif yang terkait dengan penghidupan masyarakat. Bisa dimaklumi jika masyarakat
pemburu Bangbung sedikit tertutup dalam hal ini. Beberapa tahun yang lalu ada penelitian yang dilakukan mahasiswa,
yang mengorek informasi tentang Bangbung namun ternyata itu dimaksudkan “menghambat” usaha Bangbung
mereka. Pandangan ini didapatkan dari desa Kabandungan yang mencari Bangbung atas bantuan lampu PT. Unocal
Geothermal Indonesia (PT. UGI) yang terletak di Hutan Lindung Gunung Salak.
Tidak begitu jelas siapa yang pertama kali mulai “kreatif” untuk melihat peluang bisnis Bangbung ini. Namun dari
informasi yang dikumpulkan dari masyarakat, menyatakan bahwa bukan dari masyarakat ide jual beli Bangbung
muncul. Masyarakat mulai memburu ketika tergiur oleh harga yang ditawarkan oleh perantara (tengkulak) yang juga
merupakan penduduk lokal. Informasi dari wawancara mendalam dengan beberapa tokoh dan bukan tokoh
masyarakat di dua desa (Kabandungan dan Cipeutey) memberikan informasi yang menarik : (i) Bangbung mulai diburu
sekitar tahun 1980-an, bersamaan dengan mulai dioperasikan PT UGI. Ada kemungkinan justru dari person person PT
UGI yang mulai menangkap peluang bisnis Bangbung tersebut. (ii) Kemungkinan yang lain menurut masyarakat adalah
dari peneliti dari Jepang yang pernah melakukan studi tentang Bangbung. Ada beberapa project penelitian dari Taman
Nasional Gunung Halimun yang melibatkan peneliti asing dari Jepang. Sumber dari masyarakat menyatakan bahwa
salah satu asisten peneliti Banbung tersebut, yang merupakan masyarakat setempat pernah menjadi salah satu
pengumpul Bangbung (iii) Beberapa pedagang dan kolektor Bangbung dari Jakarta yang datang langsung ke kawasan
untuk kerjasama dengan pengumpul lokal.
Center for Conservation & Insect Studies 2003
Mengais Rejeki Memburu Serangga
Pemburu
Bangbung
Kolektor dari
Jepang dan
Negara lain
Pedagang di
daerah lain
Pemburu dan
Pengumpul
Pengekspor
Tengkulak
Pengumpul
Bos/
Kolektor besar
Pedagang
di Jakarta
Gambar 1. Pola Perdagangan Bangbung berdasarkan Informasi yang digali dari masyarakat
Pola perdagangan Bangbung melibatkan rantai yang panjang, dengan ujung adalah ekspor ke Jepang atau negara lain.
Masyarakat tidak mengetahui pasti berapa margin keuntungan pada rantai setelah tengkulak. Kepala Desa
Kabandungan, Ujang Suherman menyatakan bahwa ketidak terbukaan dari pengumpul besar akan harga membuat
perdagangan ini tidak fair bagi masyarakat. Seharusnya mereka yang sudah mendapat keuntungan yang besar harus
memberikan bagian yang adil bagi masyarakat pemburu bangbung.
Para tengkulak itu membuat saya kesal, karena meraka tidak mau terbuka. Sementara saya melihat masyarakat kami
memburu bangbung dengan mengorbankan banyak hal, termasuk resiko bahaya namun yang didapatkan hanya
sedikit. Jika para tengkulak itu mau memajukan masyarakat, mereka harus adil dalam hal pembagian harga, jika
masih tertutup itu sama saja dengan memeras masyarakat kami (Ujang Suherman, Kades Kabandungan)
Menurut informasi pemburu Bangbung, harga banbung bervariasi tergantung jenis dan standart mutunya. Untuk
Bangbung Metalik (masyarakat menyebut sebagai Banbung semen) harganya paling mahal. Standar mutu yang harus
diapai antara lain bentuk dan ukuran dari Bangbung, serta hidup atau matinya Bangbung. Ada ukuran panjang tertentu
yang jika dicapai bisa meningkatkan harga Bangbung, sementara Bangbung hidup dengan bentuk tubuh yang utuh
harganya lebih mahal dibanding Bangbung yang mati dan bentuk tubuhnya sudah rusak. Masyarakat nampak sudah
sangat paham akan standar mutu dan kriteria dasar penilaian harga ini.
Tidak semua pemburu berhubungan langsung dengan tengkulak. Para pengumpul lokal yang sekaligus pemburu,
merupakan aktor kunci yang berhubungan dengan tengkulak, karena merupakan kontak person bagi tengkulak. Kang
Diwan (25 tahun), salah satu pengumpul sekaligus pemburu Bangbung merupakan “host” bagi para pemburu di
kampung Cisalimar (Cipeutey). Dia mengumpulkan hasil buruan rekannya dan berhubungan dengan tengkulak yang
ada di desa Kabandungan.
Center for Conservation & Insect Studies 2003
Mengais Rejeki Memburu Serangga
Harga
No.
Jenis Bangbung
Mutu Baik
Mutu Rendah
(sesuai ukuran,hidup, dan utuh)
(tak sesuai ukuran, mati dan tak utuh)
1
Metalik/Semen
Harga tertinggi Rp.300.000
Harga terendah Rp. 60.000
Rp. 5.000
2
Janggrang
Harga tertinggi Rp. 90.000
Harga terendah Rp. 25.000
Harga tertinggi Rp. 15.000
Harga terendah Rp. 5.000
3
Capit kebo
Harga tertinggi Rp. 45.000
Harga terendah Rp. 5.000
Rp. 5.000
4
Capit konci
Harga tertinggi Rp. 45.000
Harga terendah Rp. 7.500
Rp. 5.000
5
Engket-engket/
Kumis panjang
Harga tertinggi Rp.
Harga terendah Rp.
5.000
2.500
Rp. 2.500
6
Zebra
Harga tertinggi Rp.
Harga terendah Rp.
5.000
2.500
Rp. 2.500
Tabel 1. Daftar Jenis dan Harga Bangbung
Pola Pemburuan
Bangbung
Ada pola pemburuan yang berbeda antara di Kabandungan dan Cipeutey. Bangbung merupakan serangga yang sensitif
cahaya, dan hal tersebut menjadi dasar teknik penangkapana Bangbung oleh masyarakat. Pola pemburuan Bangbung
di Kabandungan sangat dipengaruhi oleh pemanfaatan keberadaan lampu PT. UGI. Sementara itu pola pemburuan di
desa Cipeutey mengunakan lampu sendiri baik genset-pembangkit lampu maupun dengan menggunakan lampu
No.
Pola Pemburuan
1.
Pemanfaatan Lampu
Lampu PT UGI, Genset
Lampu Petromak
(membawa lampu sendiri)
2.
Lokasi penangkapan
Sekitar lampu PT.UGI
Hutan sekitar kampung, kawasan perhutani
kawasan T.Nasional (lokasi berpindah)
3.
Waktu penangkapan
Mulai jam 18.00, 05.00
setiap hari
Mulai jam 18.00-21.00
tgl 16-4 bulan Jawa
4.
Posisi usaha bangbung
thd pendaptan keluarga
Pendapatan utama
Pendapatan tambahan,
penghasilan utam dari bertani
5.
Modal
Tanpa modal
Biaya beli lampu, bahan bakar
layar
6.
Alat penangkap
Sarung dan jaring
Jaring dan layar
7.
Kerjasama permburuan
Berebutan
Terbagi otomatis berdasarkan
jarak dan lokasi
8.
Umur bangbung yang
ditangkap
Dewasa
Larva dan Dewasa (mulai membiakan larva di kayu lapuk)
Center for Conservation & Insect Studies 2003
Desa Kabandungan
Desa Cipeutey
Mengais Rejeki Memburu Serangga
No.
9
Pola Pemburuan
Urutan proses penangkapan
Desa Kabandungan
Desa Cipeutey
Datang ke lokasi PT.UGI, menunggu datang
Bangbung, ditangkap dg sarung atau jaring
Membuka areal 10x20 m dg menebang pohon,
memasang lampu dan layar, menangkap dg jaring
10
Nilai tradisi
Tidak ada
Untuk menangkap harus datang kepada tokoh adat,
ada ijin dulu
11
Resiko/bahaya
Terperosok ke balk limbah, gas beracun,
kejurang, setrum atau tegangan tinggi
Tidak ada
12
Perhatian dari pihak
luar
PT UGI memberikan genset, agar bisa
mencari ke tempat lain
Tidak ada
13
Kreatifitas penangkapan
Tidak ada
Inovasi teknik penangkapan, mulai melakukan
pengambilan larva dan membudidayakan
14
Dampak
Mengganggu kepentingan dan keamanan
PT UGI
Mengganggu kelestarian alam,
penebangan kayu
Tabel 2. Pola-pola pemburuan Bangbung
Dari dua pola pemburuan Bangbung tersebut nampak bahwa di desa Kabandungan merupakan pola pemburuan yang
mudah karena terbantu oleh lampu PT UGI, namun mengandung resko bahaya yang tinggi. Sementara itu untuk
pemburuan di desa Cipetey lebih sulit dan memerlukan modal sendiri, dan memiliki dampak terhadap lingkungan yang
besar terutama penebangan kayu.
Box 1. Pengambilan dan Pemeliharaan Larva
Diwan (25 tahun) merupakan salah satu pemburu dan pengumpul
bangbung di desa Cipeutey yang memiliki skill dan pengetahuan yang
memadahi untuk urusan per”bangbungan”. Selain memburu ia juga
mengambil larva untuk dikembangbiakan. Caranya adalah dengan
membawa kayu busuk dan lapuk dan memotongnya sepanjang 1
meter, sebagai tempat pemeliharaan larva. Lalu ia mengambil larva
bangbung yang ada di hutan (biasanya di kayu lapuk juga) dan
memasukkan larva tersebut kedalam lobang di pemeliharaan larva
yang sudah dia buat sebelumnya. Setelah itu lobang ditutup dengan
bubuk kayu dan dibiarkan sampai bangbung mulai dewasa. Lamanya berbulan bulan tergantung jenis bangbung.
Kayu lapuk sebagai pemeliharaan tersebut ditaruh di tempat yang kering dan jauh dari gangguan serangga lain
seperti semut atau lalat. Informasi dari masyarakat menyebutkan bahwa bangbung hanya memilih kayu-kayu lapuk
dari jenis pohon puspa dan pasang sebagai tempat bertelur dan berkembang biaknya larva. Belum ada informasi
mengenai kayu dari jenis-jenis pohon lainnya. Menurut Diwan, ia bisa membedakan mana yang larva bangbung
metalik dan mana yang bukan. Jika larva digelitik bergerak maka merupakan bangbung metalik, sementara jika tidak
maka bukan metalik (bangbung metalik merupakan jenis bangbung yang harganya mahal). Sekarang Diwan masih
menunggu dewasanya beberapa larva yang ia kembangkan. Menurutnya cara ini memang jarang dilakukan oleh
pemburu bangbung karena selain memakan waktu lama juga karena sekarang sulit untuk mencari larva di hutan.
Persepsi Masyarakat
Tentang Pemburuan Bangbung
Pandangan masyarakat mengenai pemburuan Bangbung ada yang setuju dan ada yang tidak setuju. Yang setuju
mengatakan bahwa dengan adanya pemburuan bangbung ini maka (i) ada lapangan pekerjaan bagi masyarakat kecil,
karena masyarakat pemburu bangbung adalah masyarakat miskin (ii) memanfaatkan potensi yang ada, karena
Bangbung merupakan potensi alam lokal yang bernilai.
Center for Conservation & Insect Studies 2003
Mengais Rejeki Memburu Serangga
Namun khusus untuk di desa Cipeutey memburu bangbung memang memerlukan keahlian dan kesabaran tersendiri.
Ketika lagi harga bangbung melambung tingi maka berbondong bongdong mencari bangbung. Namun ada yang
mendapat banyak namun tidak jarang berbulan bulan hanya mendapat sedikit saja, yang akhirnya jumlah pencari
bangbung adalah mereka yang memang memiliki keahlian tersendiri.
Bapak (-suami saya) dulu juga ikutan mencari bangbung karena yang lain pada nyari dan harganya lagi mahal.
Namun dalam sebulan cuma dapat 4 ekor dan itupun bukan yang harganya mahal. Akhirnya Bapak berhenti
mencari bangbung, karena hasilnya tidak seberapa dan modal yang dikeluarkan untuk bahan bakar banyak (Bu
Adim, warga Cipetey, menuturkan pengalaman suaminya dalam mencari bangbung dan pernah ikut 2 malam)
Namun ada juga yang tidak setuju salah satunya seperti yang dituturkan oleh Pak Aca salah satu tokoh masyarakat (60
tahun) yang menyatakan bahwa dengan adanya pemburuan Bangbung mengakibatkan kerusakan hutan di sekitar
desa. Dampaknya adalah pada ketersediaan air yang makin berkurang, padahal air bagi masyarakat Cipeutey
merupakan sumber pengairan sawah dan sumber tenaga untuk listrik. Jika dilihat dari aspek ekonomi, ternyata yang
memburu Bangbung juga tidak semakin sejahtera, jadi keuntungan justru lebih banyak diambil orang luar. Selain itu
Bangbung berkurang maka pelapukan kayu akan menurun, karena Bangbung menurut masyarakat merupakan
binatang pelapuk kayu. Kayu yang lapuk dapat meningkatkan kesuburan tanah. Walaupun jumlah pemburu
bangbung di dusun Cisalimar tidak banyak, sekitar 20 orang namun dampak yang ditimbulkan sangat besar karena
mereka berpindah pindah tempat dalam memburu bangbung. Ada juga komentar saudara Rida (25 tahun) di
khawatirkan salah penggunaannya diajadikan obat yang berbahaya
Sementara itu walaupun tidak setuju, Kepala Desa Kabandungan Ujang Suherman juga merasa dalam posisi
dilematis, karena mereka memang orang yang butuh uang untuk kehidupannya. Sebagai kepala desa, dia
memposisikan diri untuk memberikan jalan yang terbaik untuk mengatasi masalah dengan mengharap pihak PT UGI,
memikirkan hal ini. Namun sampai sekarang berbagai upaya yang dikembangkan belum memenuhi harapan.
Jumlah pemburu banbung di desa Kabandungan sekitar 100-150 orang, dan semakin berkuarang, namun sulit untuk
alih profesi. Pendapat ini dikuatkan oleh salah satu anggota BPD Kabandungan Rakit Budianto, yang menyatakan
bahwa sebenarnya para pemburu Bangbung ini bukannya tidak mau untuk berhenti dan bukannya tidak mengerti
bahaya, namun memang karena keterdesakan ekonomi yang membuat mereka memburu Bangbung.
Mereka yang memburu bangbung itu hanya masyarakat kecil yang ingin uang buat kehidupannya. Mereka
bukannya tidak mengerti dan tidak tahu bahaya, namun keterdesakan ekonomi yang membuat mereka memburu
bangbung. Jadi meraka memang nekad saja (Rakit Budianto, Anggota BPD desa Kabandungan) Selain itu tidak ada
lapangan kerja yang lain dan memanfaatkan waktu malam hari sebelum tidur (pak Kadus Cipeuteuy)
Kepala desa kabandungan Ujang Suherman mempunyai gagasan untuk mengorganisir dan membentuk diversifikasi
usaha supaya masyarakat bisa memilih diantara usaha usaha yang ada. Selain itu dengan cara ini bargaining posisi
dari pemburu terhadap kolektor bangbung bisa meningkat. Namun gagasan ini belum terlaksana, karena ditanggapi
pro dan kontra, serta kesibukan kepala desa membuat gagasan ini belum secara kongkret dilakukan.
Dampak dan konsekwensi
Pemburuan Bangbung
Pemburuan Bangbung memiliki konsewensi bagi degradasi lingkungan terutama untuk pola memburu dengan
memasuki hutan dan membuka areal 10 x 20 meter persegi untuk tempat penagkapan. Kayu kayu yang ditebang
diharapkan bisa busuk, dan bisa digunakan untuk keperluan mengembang biakkan larva. Namun demikian ada
potensi besar dari para pemburu Bangbung yang masuk hutan ini, karena kemampuan mereka dalam identifikasi
banbung dan pengalaman serta kreatifitas yang tinggi. Mereka mengerti dan hafal mana jenis kelamin, bentuk, serta
mampu memprediksikan dari larva tertentu akan menghasilkan jenis bangbung tertentu.
Sementara itu bagi pemburu Bangbung di areal PT UGI konsekwensi terbesar adalah bahaya yang ditanggung oleh
pemburu sendiri. Beberapa kali terjadi kecelakaan yang mengakibatkan kematian pemburu, seperti jatuh ke bak
limbah, lereng gunung, sungani terbentur batu batu namun hal tersebut tidak menyurutkan semanagat untuk
Center for Conservation & Insect Studies 2003
Mengais Rejeki Memburu Serangga
memburu bangbung sepanjang memang tata niaga bangbung tetap ada. Bagi pihak PT UGI maka masuknya
pemburu ke arealnya merupakan tantangan tersendiri, terutama bagi keamanan dan stabilitas perusahaan. Nampak
bahwa posisi PT UGI serba dilematis, karena dengan pelarangan akan mendapat demo dan tentangan dari
masyarakat sementara dibiarkan diangap PT UGI akan menggangu usaha. Berbagai upaya yang dilakukan sudah
namun tidak mampu menghentikan pemburuan Bangbung, dari mulai pendekatan keamanan yang menuai badai
konflik dengan masyarakat sampai pendekatan pemberdayaan masyarakat.
Sepanjang tata niaga bangbung masih ada, dan insentif pasar internasional terutama ke Jepang masih tinggi maka
pemburuan bangbung akan terus berjalan. Intensitas dan jumlah pemburu akan pasang surut seiring dengan naik
turunnya harga bangbung dipasaran. Masyarakat yang mengais rejeki dari pemburuan Bangbung adalah masyarakat
kecil yang butuh tambahan atau gantungan penghasilan. Mereka memburu dengan secgala resiko modal dan resiko
bahaya mengancam, walaupun keuntungan terbesar dari pemburuan bukan mereka yang menikmati, sama seperti
kasus illegal logging dimana penebang kayu bukan pihak yang diuntungkan, namun justru cokongnya.
Ada hal hal jangka pendek yang mungkin bisa dilakukan dengan menggali peran dan fungsi bangbung di alam, serta
dinamika populasinya. Dengan demikian akan diketahuai apa konsekwensi dari berkuragnya banbung di alam dan
siapa yang paling dirugikan dengan berkurangnya banbung. Informasi dan data tersebut bisa ditransformasi menjadi
bahasa bersama untuk pendidikan dan penyadaran masyarakat akan peranan Bangbung. Pelibatan aktor aktor grass
root menjadi media penting bagi upaya belajar memahami alam secara bersama sama. Sementara itu pada tataran
ekonomis, jika ada pihak yang akan mengembangkan ekonomi para pembruru bangbung maka harus
dipertimbangkan dan dipersiapkan secara matang. Menjauhkan dari alam semata bukanlah cara yang bijaksana,
namun harus dicari jalan keluar yang lebih partisipatif dengan pola pendampingan yang lebih mendalam yang
menyentuh akar persoalan yang sesungguhnya, minimnya akses dan kontrol masyarakat terhadap sumberdaya alam.
Akhirnya pertanyaan Pak Aca (tokoh agama Cipeutey) layak untuk direnungkan, siapa yang mendapat keuntungan
paling besar dari pemburuan Bangbung ? dan siapa yang paling dulu mendapat musibah (kerugian).
B
Kumbang
angbung
Center for Conservation & Insect Studies 2003
Download