BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan nilem (Osteochilus hasselti) merupakan ikan yang banyak dipelihara di daerah Jawa Barat dan di Sumatera (khususnya Sumatera Barat). Ikan nilem ini mempunyai cita rasa yang sangat spesifik dan gurih dibanding dengan ikan air tawar lainnya karena ikan ini mengandung sodium glutamat dalam daging yang terbentuk alami yang mungkin disebabkan pengaruh kebiasaan makan pakan alami fitoplankton dan zooplankton terutama ganggang yang tumbuh akibat pemupukan kolam (BP4K Kab. Sukabumi 2002). Keberhasilan pengembangan budidaya ikan nilem ini sangat ditentukan oleh penyediaan benih yang memiliki kualitas dan kuantitas yang baik. Kualitas benih dipengaruhi oleh kualitas induk dan faktor lingkungan seperti kualitas air, makanan, penyakit dan parasit (Sutisna dan Ratno 1995). Sedangkan kuantitas benih merupakan jumlah produksi benih yang dihasilkan sesuai dengan permintaan konsumen. Pemeliharaan larva juga merupakan faktor yang dapat mempengaruhi penyediaan kualitas dan kuantitas benih yang baik. Tahap pemeliharaan larva merupakan tahap yang sulit karena kematian sering terjadi diakibat oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan larva yaitu kuning telur serta kualitas air seperti suhu, pH, oksigen, salinitas dan cahaya (Kamler 1992). Kematian pada larva sering terjadi dikarenakan pada fase kritis stadia larva, terjadi peralihan pemanfaatan makanan dari kuning telur (endogenous feeding) ke pemanfaatan pakan dari luar (exogenous feeding). Apabila terjadi kesenjangan pemanfaatan energi dari endogenous feeding ke exogenous feeding maka akan menyebabkan kematian larva (Effendie 1995). Kesenjangan diartikan pada saat kuning telur larva habis, larva belum melakukan proses organogenesis secara sempurna seperti pembentukan bintik mata, bukaan mulut dan lainnya. Ketidaksempurnaan dalam proses organogenesis dengan memanfaatkan energi 1 2 dari endogenous feeding akan mengakibatkan ketidakmampuan larva dalam memanfaatkan pakan dari exogenous feeding. Kematian diduga karena kemampuan larva untuk mengambil pakan dari luar rendah yang berkaitan dengan pembentukkan organ-organ pemangsaan yang rendah sebagai akibat dari penggunaan kuning telur yang tidak efisien. Efisiensi pemanfaatan dilihat dari pemanfaatan kuning telur yang dikonversikan menjadi jaringan tubuh (Heming dan Buddington 1998) dan akan bernilai maksimal pada suhu normal (Blaxter 1969). Suhu adalah salah satu faktor eksternal fisika yang secara langsung dapat mempengaruhi kondisi telur. Ditinjau dari segi fisiologis, perubahan suhu air dapat mempengaruhi kecepatan metabolisme pada ikan. Di daerah sub-tropis dan dingin berkaitan dengan lama penyinaran matahari, sehingga kedua faktor tersebut mempengaruhi proses biologi seperti pematangan gonad, pemijahan serta penetasan telur pada kegiatan pembenihan ikan (Sutisna dan Ratno 1995). Suhu yang tinggi menyebabkan rendahnya pertumbuhan demikian pula pada suhu yang terlalu rendah. Menurut Rounsefell dan Everhart dalam Sutisna dan Ratno (1995), pada temperatur rendah menyebabkan proses pencernaan makanan pada ikan berlangsung lambat sedangkan pada suhu hangat proses pencernaan pada ikan akan berlangsung lebih cepat. Dengan demikian, suhu mempengaruhi nafsu makan ikan. Kuning telur pada fase endogenous feeding digunakan sebagai sumber energi untuk proses metabolisme dan pertumbuhan. Proses tersebut menyebabkan berkurangnya volume kuning telur serta terdapat faktor eksternal seperti suhu yang mempengaruhi volume kuning tersebut, Sehingga suhu dapat dijadikan sebagai faktor yang mempengaruhi penyusutan volume kuning telur serta memaksimalkan pemanfaatan kuning telur menjadi organ agar dapat menekan kematian pada larva (Kamler 1992). 3 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian diatas, permasalahan yang dihadapi adalah seberapa jauh suhu dapat mempengaruhi terhadap efisiensi pemanfaatan kuning telur larva ikan nilem. 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan suhu optimum yang dapat meningkatkan nilai efisiensi pemanfatan kuning telur pada larva ikan nilem yang tinggi. 1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan menjadi salah satu data dasar yang penting untuk manajemen suhu dalam pemeliharaan larva ikan nilem (Osteochilus hasselti) serta memberikan informasi kepada pembenih mengenai suhu optimum untuk kegiatan pembenihan ikan nilem. 1.5 Kerangka Pemikiran Suhu merupakan salah satu faktor eksternal lingkungan yang mempengaruhi proses pembuahan (Heming dan Buddington 1988). Suhu yang terlalu rendah atau melebihi titik maksimum toleransi pada pembuahan ikan mengakibatkan telur tidak dapat dibuahi dan dapat mengakibatkan kematian. Suhu yang optimal dalam perkembangan embrio akan menghasilkan larva yang berukuran besar, porsi kuning telur menjadi jaringan lebih tinggi, kemampuan makan dan berenang lebih besar, kuat dan tidak mudah sakit (Heming dan Buddington 1988). Menurut Wardoyo (1975), setiap organisme perairan mempunyai suhu minimum, optimum dan maksimum untuk kelangsungan hidup dalam batas tertentu. Suhu optimal tersebut menyebabkan daya tahan larva tinggi, sehingga diharapkan akan meningkatkan kelangsungan hidup. Proses pembuahan merupakan fase yang rentan terhadap perubahan suhu yang ekstrim karena derajat pembuahan terjadi pada fase blastulasi, dimana fase awal perkembangan embrio ini sangat sensitif terhadap gangguan luar, yaitu suhu. 4 Suhu air yang memenuhi syarat dalam akuarium penetasan pada umumnya berkisar antara 27°C sampai 29°C. Peningkatan suhu air dalam kisaran tertentu dapat juga digunakan untuk mengurangi tumbuhnya jamur yang dapat mengganggu perkembangan telur, mempengaruhi keragaan embriogenesis ikan dan kelangsungan hidup larva ikan. Suhu penetasan yang terlalu rendah juga dapat menghalangi perkembangan enzim sehingga memperlambat penetasan telur, sedangkan suhu terlalu tinggi akan mengakibatkan penetasan embrio menjadi prematur yang kebanyakan tidak mampu hidup. Walaupun embrio dapat mentolerir air yang dingin, tetapi embrio tidak dapat menetas karena produksi enzim terhambat (Woynarovich dan Hovarth 1980). Masa-masa kritis pada fase penetasan adalah ketika terjadi tingkat kematian yang tinggi, yaitu saat kuning telur (yolk sac) yang terdapat pada tubuh larva habis terserap dan larva ikan mulai beradaptasi untuk mencari makanan dari lingkungan sekitarnya. Menurut Haris (1974) perkembangan embrio ikan nilem secara keseluruhan hampir sama dengan ikan mas. Perbedaannya terletak pada ukuran dan kecepatan prosesnya, dimana pada proses perkembangan embrio ikan nilem lebih cepat daripada ikan mas. Taukhid (2004) dalam Olivia (2011) mendapatkan bahwa pada kisaran suhu air 22°C hingga kurang dari 26°C menyebabkan angka mortalitas pada larva ikan mas mencapai 94%, pada suhu 26°C hingga kurang dari 30°C menghasilkan mortalitas 71%, dan pada suhu 30°C hingga kurang dari 34°C menghasilkan mortalitas 32%. Syafri (1995) mendapatkan bahwa pada suhu media pemeliharaan 25°C sampai 31°C menghasilkan laju penyerapan kuning telur dan laju pertumbuhan panjang masing-masing dari 0,0713 hingga 0,1311 mm/jam dan dari 0,2212 hingga 0,4132 %/jam mempercepat waktu perkembangan larva. Semakin meningkatnya suhu maka lama penyerapan kuning telur semakin cepat yaitu 115 hingga 61 jam. Hasil penelitian Budiardi (2005) menyebutkan ikan Maanvis (Pterophyllum scalare) yang diinkubasi pada 30°C menghasilkan nilai efisiensi pemanfaatan kuning telur sebesar 73,70% pada fase embrio dan 0,18% pada fase larva dan 5 tidak berbeda dengan suhu ruang dan 27°C. Demikian juga dengan derajat penetasan telur sebesar 84,75% tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Penelitian Wijayanti (2005) dalam Olivia (2011) menunjukkan embrio ikan nilem yang diinkubasi pada temperatur 32°C berkembang paling cepat namun diikuti dengan kematian secara serempak setelah stadium blastula. Penetasan telur ikan nilem tertinggi sebesar 98% pada suhu 26°C-27°C. Perkembangan embrio terbaik pada suhu 29°C dan derajat penetasan tertinggi pada suhu 27-29°C berkisar antara 78,11% - 92,86% (Olivia 2011). Penelitian Marpaung (2011) menunjukkan ikan komet pada perlakuan suhu 28±1°C memberikan derajat pembuahan telur, derajat penetasan telur dan kelangsungan hidup larva yang tinggi, masing-masing sebesar 92,37%; 88,66%; dan 77,99%. Penelitian Faqih (2011) menyimpulkan suhu 28°C merupakan suhu terbaik dan relatif aman untuk perkembangan embrio dan larva ikan tengadak menghasilkan kelangsungan hidup yang tinggi yaitu 83,33% dan 91,71%. Penelitian Nurhayanto (2012) menunjukkan pada perlakuan suhu yang berbeda yaitu suhu 26±1°C dan 30±1°C pada ikan cupang memberikan hasil bahwa pada suhu 30±1°C menunjukkan hasil terbaik yaitu derajat pembuahan ikan cupang sebesar 75,31%, derajat penetasan sebesar 69,80% dan menetas dalam waktu 30 jam 45 menit pasca pembuahan. 1.6 Hipotesis Berdasarkan uraian diatas suhu 29°C merupakan suhu perlakuan yang akan memberikan efisiensi pemanfaatan kuning telur larva ikan nilem yang tinggi.