empati pada pelaku bullying - PPJP UNLAM

advertisement
EMPATI PADA PELAKU BULLYING
EMPATHY AT THE BULLIES
Dwi Nur Rachmah
Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Lambung Mangkurat,
Jl. A. Yani Km 36,00 Banjarbaru Kalimantan Selatan, 70714, Indonesia
E-mail : [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasikan dan mengetahui secara lebih mendalam alasan-alasan
pelaku bullying melakukan bullying dan juga bertujuan untuk mengetahui gambaran empati pelaku bullying di
Sekolah Menengah Atas. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Subjek
yang terlibat dalam penelitian ini berjumlah dua orang yang dipilih berdasarkan teknik purposive sampling dan
tekhnik pengumpulan data yang dilakukan adalah menggunakan observasi dan wawancara mendalam.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa alasan pelaku bullying melakukan perbuatan bullying yaitu
dikarenakan faktor karakteristik korban, sikap korban, tradisi/budaya bullying di sekolah. Pelaku bullying
melakukan bullying juga dikarenakan memiliki kemampuan empati yang rendah. Ketidakmampuan pelaku untuk
berempati menyebabkan mereka kurang mampu untuk melihat dari sudut pandang orang lain, mengenali
perasaan orang lain dan menyesuaikan kepeduliannya dengan tepat. Kurangnya empati dari pelaku
menyebabkan pelaku kurang memahami kondisi korban, tidak peduli dengan korban dan cenderung melakukan
tindakan kekerasan kepada orang atau korban.
Keywords: empati, pelaku bullying, siswa Sekolah Menengah Atas
ABSTRACT
This study aimed at identifying and understanding more deeply the reasons doing the bullying and to describe
empathy bullies in high school. This research is a qualitative case study approach. Subjects involved in this
study is two people chosen by purposive sampling technique and the data were collected using the techniques of
observations and in-depth interviews. Based on the research results know that the reasons bullies bullying act
because characteristic factor of the victim, the victim attitude, and tradition/culture of bullying at school. the
bullies have a low capacity for empathy. Inability the bullies to empathize cause them less able to see the
persfective of others, recognize the feelings of others and adjust to the proper concern. Lack of empathy the
bullies bringing not understanding of the condition of the victim, no matter the victim and tend to commit acts of
violence to the person or the victim.
Keywords : empathy , bullying , high school students
Perbuatan-perbuatan yang tidak menyenangkan
atau yang biasa disebut pula dengan bullying menurut
Prayuda mmerupakan suatu perbuatan yang saat ini
menjadi semakin marak dilakukan oleh kalangan
remaja, terutama disekolah. Kasus bullying sendiri
menurut ketua komnas perlindungan anak Arist
Merdeka Sirait sebagai mana yang dituliskan oleh
Triyuda (http://www.detik.com) pada tahun 2011
terdapat 139 kasus yang terjadi disekolah. Özkan dan
Cifci (2009) menyebutkan bahwa ada peningkatan
frekuensi perilaku bullying dalam sekolah dalam dekade
terakhir ini. Kekerasan yang terjadi di antara teman
sebaya di sekolah ini mengkhawatirkan psikolog, guru
dan keluarga di berbagai kota di dunia. Fakta
menunjukkan bahwa perilaku bullying di sekolah
memiliki berbagai konsekuensi negatif bagi kedua belah
pihak, baik pelaku maupun korbannya.
Perilaku bullying menunjukkan suatu fenomena
yang ’unik’ dan ’beda’. Bullying ini sering diartikan
sebagai bentuk pengulangan dari tindak agresi,
intimidasi, perlawanan terhadap korban yang jauh lebih
lemah dari bullies (pelaku bullying) baik dari segi fisik,
kekuatan sosial, kekuatan psikologis dan faktor-faktor
lain yang menghasilkan perbedaan kekuatan (power)
(Carney & Merrell, 2001; Smith & Ananiadou, 2003).
Orpinas dan Horne (2006) menjelaskan bullying
sebagai
bagian
dari
perilaku
agresif
yang
dikarakteristikkan
dengan
ketidakseimbangan
kekuasaan (power), perilaku yang disengaja, dan
dilakukan berulang setiap waktu. Ketidakseimbangan
kekuasaan berarti ada gap atau perbedaan jarak
kekuasaan antara pelaku dan korban bullying. Pelaku
memiliki kekuasaan yang lebih besar dibandingkan
korban. Kekuasaan lebih besar yang dimiliki pelaku
dapat diperoleh dari jabatan/ kedudukan yang lebih
51
52
Jurnal Ecopsy, Volume 1, Nomor 2, April 2014
besar, popularitas, intelegensi, ataupun postur tubuh
pelaku yang lebih besar dari korban. Orpinas dan Horne
(2006) melanjutkan bahwa kekuatan pelaku dalam
melakukan bullying diperoleh tidak saja berasal dari
karakteristik individual tetapi juga kekuasaan dari
keterikatan dengan kelompok sosial lain. Sebagai
contoh anak diajarkan oleh temannya untuk
mempercayai bullying adalah strategi pemecahan
masalah yang tepat.
Bullying dapat terjadi di lingkungan sekolah,
kerja, bahkan internet (Hamarus dan Kaikkonen, 2008;
Einarsena, Hoelb, dan Notelaersa, 2009; Slonje dan
Smith, 2008). Bullying yang terjadi di sekolah dapat
terjadi antara kakak kelas-adik kelas, guru-murid,
ataupun teman sebaya (Sejiwa, 2008; Hamarus dan
Kaikkonen, 2008).
Ada beberapa macam tipe bullying yaitu
(Orpinas dan Horne, 2006; Özkan dan Cifci, 2009); (1)
Fisik adalah bullying yang menyebabkan kematian,
kecacatan, dan luka. Contohnya: pembunuhan,
perkelahian dengan senjata, memukul, menendang,
mendorong, mengigit, menarik rambut, mencakar,
melemparkan barang, dan merusak properti. (2) Verbal
adalah bullying dengan menggunakan kata-kata yang
menyebabkan efek psikologis atau emosional yang tidak
menyenangkan. Contohnya: memaki, menghina,
memberi julukan, dan lain-lain. (3) Relational adalah
bullying yang menyakiti hubungan pertemanan.
Misalnya mengeluarkan seseorang dari kelompok,
meninggalkan teman dari suatu aktivitas tertentu,
menyebarkan rumor, menggosipkan teman, mengisolasi
seseorang dari aktivitas tertentu, dan lain-lain. (3)
Seksual adalah bullying dalam bentuk kekerasan fisik,
verbal, atau relational. Contohnya pemerkosaan,
menyebarkan rumor seksual, menyentuh bagian intim
seseorang, mencium dengan paksa, dan lain-lain.
Berdasarkan beberapa penelitian, ditemukan
adanya hubungan yang positif antara perilaku bullying
dan rendahnya kemampuan empati (Özkan & Cifci,
2009). Peningkatan kemampuan empati dapat
menurunkan perilaku bullying. Selain itu, menurut
Ballard, dkk (dalam Papalia, 2001) pelaku bullying
memiliki karakteristik untuk melakukan dominasi
terhadap orang lain melalui kekerasan, dan mereka
menunjukkan sedikit atau tidak ada empati pada korban
mereka. Menurut Goleman (2006), ketidakmampuan
pelaku bullying untuk merasakan penderitaan korbannya
memungkinkan mereka melontarkan kebohongankebohongan kepada diri mereka sendiri sebagai
pembenaran atas perilakunya. Pembenaran diri tersebut
dikumpulkan dari apa yang dikatakan oleh orang-orang
yang sedang menjalani pengobatan untuk masalah ini.
Kalimat pembenaran mereka tujukan pada diri mereka
sewaktu menghajar korbannya atau ketika bersiap-siap
melakukannya.
Empati merupakan salah satu elemen dasar
dalam suatu hubungan, yang digambarkan sebagai
konstruk multidimensi yang melibatkan komponen
kognitif dan afektif (emosional). Empati sering diartikan
sebagai membagi perasaan dengan orang lain secara
emosional. Goleman (2006) mendefinisikan empati
sebagai kemampuan untuk mengetahui bagaimana
perasaan orang lain, sementara Koestner dan Franz
(dalam Sari, dkk. t.t) mendefinisikan empati sebagai
kemampuan untuk menempatkan diri dalam perasaan
atau pikiran orang lain tanpa harus secara nyata terlibat
dalam perasaan atau tanggapan orang tersebut.
Bullies atau pelaku memiliki kekurangan dalam
kemampuan empati, atau dengan kata lain memiliki
kemampuan untuk menghargai konsekuensi emosional
dari perilaku mereka pada perasaan orang lain dan
berempati dengan perasaan orang lain. Selain itu, bullies
kemungkinan juga memiliki distorsi kognitif dan
persepsi sosial yang bias dalam menerima permasalahan
di lingkungan sehingga menganggap tindak agresif ini
merupakan cara yang efektif untuk menyelesaikan
masalah (Merrell & Isava, 2008). Beberapa peneliti juga
menyetujui bahwa individu pelaku bullying memiliki
karakteristik cold cognition yang gagal untuk
memahami perasaan orang lain dan berpendapat bahwa
jika korban merasa tertekan, hal ini hanya akan
menguatkan perilaku bullies (Özkan & Cifci, 2009).
Bavolek (2007) menggolongkan empati menjadi
dua aspek yang tak terpisahkan yaitu aspek afektif yang
merupakan kapasitas untuk berbagi perasaan dengan
orang lain, dan aspek kognitif yaitu kemampuan untuk
memahami perasaan dan perspektif orang lain.
Sementara itu, Davis (1983) mendefinisikan aspek
kognitif menjadi dua yaitu kemampuan memposisikan
diri dalam perspektif orang lain (perspective taking) dan
fantasi (fantasy), sedangkan aspek afektif dibagi
menjadi fokus berempati (empathic concern) dan
tekanan personal (personal distress).
Empati menjadi salah satu faktor resiko sekaligus
solusi atas perilaku bullying di sekolah. Hasil penelitian
Gini, Albiero, Benelli, dan Altoè (2007) menunjukkan
perilaku bullying berhubungan dengan rendahnya
tingkat empati pada pelaku bullying berjenis kelamin
laki-laki. Hasil yang lebih spesifik ditunjukkan oleh
penelitian Jolliffe dan Farrington (2011). Jolliffe dan
Faarrington menemukan bahwa pelaku bullying berjenis
kelamin laki-laki memiliki tingkat empati yang rendah
pada aspek kognitif dan afeksi. Sedangkan pada pelaku
bullying yang berjenis kelamin perempuan memiliki
tingkat empati yang rendah pada aspek afeksi. Hasil
kedua penelitian menunjukkan bahwa empati yang
rendah dapat mendorong munculnya perilaku bullying.
Dalam hasil penelitiannya, Gini, Albiero,
Benelli, dan Altoè (2007) menyatakan empati dapat
pula menjadi salah satu alternatif cara untuk
mengurangi perilaku bullying di sekolah dengan jalan
meningkatkan empati pada pelaku maupun penonton
peristiwa bullying. Hasil ini diperkuat dengan penelitian
Rock (2004), Caravita, Blasio (2008), dan Özkan dan
Cifci (2009).
Rachmah, empati, pelaku bullying, siswa Sekolah Menengah Atas
Berdasarkan pemaparan tersebut di atas maka
peneliti tertarik untuk meneliti mengenai perilaku
empati pada pelaku bullying. Rumusan masalah dalam
penelitian ini yaitu seperti apakah perilaku empati
pelaku bullying dan alasan-alasan apakah yang
menyebabkan pelaku bullying (bullies) melakukan
tindakan bullying ?
Tujuan penelitian ini adalah ingin mengetahui
secara lebih mendalam mengenai perilaku empati yang
ditunjukkan oleh pelaku bullying dan juga ingin
mengetahui alasan-alasan apa yang menyebabkan
pelaku bullying melakukan tindakan bullying.
Manfaat penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu
manfaat teoretis dan manfaat praktis. Secara teoretis,
penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
positif pada perkembangan ilmu pengetahuan psikologi
secara umum dan psikologi pendidikan secara khusus
mengenai perilaku empati pelaku bullying di sekolah
yang dalam hal ini dilakukan oleh siswa. Secara praktis,
manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah
dapat memberikan informasi mengenai perilaku empati
pelaku bullying baik kepada pelaku atau subjek
penelitian, pihak sekolah dan masyarakat umum
sehingga dapat memanfaatkan perilaku empati yang
diketahui dari hasil penelitian ini untuk mengurangi
terjadinya perilaku bullying.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif
dengan metode studi kasus. Subyek penelitian dipilih
berdasarkan kriteria tertentu. Pemilihan Subyek dengan
kriteria-kriteria di atas didasarkan pada teknik purposive
sampling yakni subyek penelitian adalah pelaku
bullying usia remaja yang duduk di bangku Sekolah
Menengah Atas sebanyak dua orang.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah observasi non partisipant dan
wawancara (indepth interview). Pertanyaan yang
diajukan kepada responden adalah pertanyaanpertanyaan terbuka.
Data yang dihasilkan dalam penelitian ini berupa
transkrip verbatim wawancara. Transkrip verbatim
wawancara ini kemudian dianalisa secara kualitatif.
Transkrip verbatim wawancara ini pertama kali
dianalisa secara kualitatif dengan melakukan koding,
kategorisasi, dan interpretasi. Secara kualitatif metode
yang digunakan untuk menganalisis transkrip verbatim
adalah analisis tematik. Analisis tematik merupakan
proses mengkode informasi yang dapat menghasilkan
daftar tema, model tema, atau indikator yang kompleks,
kualifikasi yang biasanya terkait dengan tema tersebut,
atau hal-hal di antara atau gabungan dari yang telah
disebutkan (Poerwandari, 2007).
Kredibilitas penelitian ini dicapai dengan
menggunakan teknik triangulasi sumber.. Kredibilitas
merujuk pada seberapa akuratnya hasil penelitian dari
53
sudut pandang peneliti, partisipan, atau subyek
penelitian dan pembaca laporan (Creswell, 2003).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil wawancara yang dilakukan dengan kedua
orang subjek serta hasil observasi peneliti ketika subjek
berada di lingkungan sekolah menunjukkan bahwa
kedua orang subjek yaitu D dan K melakukan perilaku
bullying kepada teman disekolah mereka, akan tetapi
mereka tidak menyadari dan mengakui kalau perbuatan
tersebut merupakan tindakan bullying. D dan K adalah
siswa SMA kelas XI Sosial 3 di salah satu Sekolah
Menengah Umum Swasta khusus laki-laki (sekolah X).
D dan K sering terlibat masalah. Mereka melakukan
aksi bullying pada teman mereka yang membuat
seringnya mereka dipanggil oleh pihak sekolah (Kepala
sekolah dan Guru bimbingan konseling). D dan K
menyatakan bahwa apa yang dilakukan mereka hanya
sebuah bentuk candaan. Mereka juga menyangkal
bahwa tindakan mereka adalah tindakan kekerasan,
karena mereka menganggap jika mereka melakukan
tindak kekerasan, maka akan dikeluarkan dari sekolah.
Menurut kedua subjek, gaya bercanda siswa-siswa di
sekolah X memang seperti itu.
D memandang bahwa salah seorang korban
adalah anak yang pendiam dan tidak menganggap
bahwa teman-temannya adalah keluarganya. Misalnya,
jika dimintai tolong untuk mengajari teman-temannya,
korban tidak mau. Menurut D, korban memiliki
kelebihan di bidang akademis, yaitu di mata pelajaran
matematika. Perilaku korban yang pendiam menurut D
membuat ia sebenarnya ingin membantu agar dapat
membaur dengan teman-teman yang lain, yaitu dengan
cara bercanda (memukul kepala korban). Akan tetapi,
korban menganggap cara bercanda yang dilakukan oleh
D sebagai tindakan bullying dan melaporkannya kepada
orangtunya yang kemudian sampai ke kepala sekolah.
Sejalan dengan D, subjek kedua yaitu K juga
menyatakan perilakunya bukanlah tindakan bullying. Ia
hanya bermaksud untuk bercanda seperti yang biasa
dilakukan oleh anak laki-laki di sekolahnya yaitu
dengan saling mengejek, ece’-ece’an (mengumpat),
seperti menyebutkan kata ‘’bajingan’’ dan lainnya.
Selain mengumpat, gaya bercanda yang dilakukan oleh
K adalah dengan mengganggu korban. Misalnya, jika
korban sedang menulis, disenggol, atau mejanya
ditendang, tetapi mereka tidak memukulinya sampai
parah (bonyok). Menurut K ia dan teman-temannya
melakukan aksi bercanda itu dengan memperhatikan
waktu. Misalnya, jika guru sedang menjelaskan materi,
mereka tidak mengganggu korban. Mereka baru
melakukannya ketika guru selesai menjelaskan materi
dan ketika pergantian pelajaran.
Kedua Subyek menganggap bahwa apa yang
mereka lakukan bukanlah bentuk bullying. Bagi mereka
perbuatan mereka adalah sesuatu hal yang wajar
dilakukan dalam lingkungan laki-laki. Mereka
54
Jurnal Ecopsy, Volume 1, Nomor 2, April 2014
menganggap perbuatan mereka adalah cara becanda
siswa-siswa di sekolah X sebagai mana yang
diterangkan oleh D berikut:
“Sik bentar, aku jelasin...menurut aku, menurut
tradisi, menurut budayanya anak sosial anak
sekolah X yang aku lakukin itu cuma bercanda
dan kalau dibilang kekerasan itu..apa..ga..ga
itu..ga masuk”
Menurut mereka, ketika bersekolah apalagi dalam
lingkungan yang semuanya laki-laki, tidak mungkin jika
tidak muncul konflik diantara siswanya. Biasanya di
sekolah X konflik yang terjadi tidak akan berkelanjutan.
Perbuatan tidak menyenangkan yang dilakukan oleh
kedua subjek tidak hanya dilakukan kepada satu korban
saja saja tetapi juga pernah dilakukan kepada teman
mereka yang lain baik dengan melakukan tindakan fisik
seperti memukul, berkelahi ataupun dengan mengejek
orang lain. Perilaku bullying yang dilakukan oleh kedua
subjek dilakukan tanpa memikirkan bahwa korban akan
merasa sakit hati, tidak senang, atau tertekan dengan
perilaku yang dilakukan oleh D dan K.Seringkali D dan
K tidak pernah berkomunikasi langsung dengan korban.
Korban umumnya tidak memprotes bahwa dirinya tidak
terima diperlakukan seperti itu. Menurut mereka jika
korban memberitahu mereka, maka mereka tidak akan
melakukan itu. Sikap korban yang diam saja tanpa
berusaha melakukan komunikasi dengan subjek D dan K
membuat D dan K menjadi semakin sering mengganggu.
Meskipun demikia, ada kalanya bullying terjadi
dikarenakan korban memancing mereka untuk
melakukan tindakan tersebut seperti misalnya membalas
ejekan mereka atau melawan ketika diminta sesuatu
seperti diminta uang.
Kedua subyek mengaku tidak menyesal
melakukan
tindakan
tersebut
karena
mereka
menganggap bahwa apa yang mereka lakukan adalah
benar. Hal ini terjadi pada salah satu kasus dimana
subjek D dan K terlibat bersama melakukan aksi
bullying kepada salah seorang teman mereka di kelas
yang menyebabkan mereka harus dipanggil ke sekolah.
Mereka juga mendapatkan dukungan dari guru mereka.
Guru mereka mengatakan bahwa hal itu hanya masalah
komunikasi saja.
Perilaku bullying yang dilakukan oleh kedua
subjek merupakan perilaku bullying yang bersifat fisik,
relational dan verbal. Perilaku bullying secara fisik
dilakukan oleh subjek penelitian ini dengan cara
memukul korban, merusak barang milik korban,
menendang meja korban sehingga membuat korban
terganggu ketika menulis dan belajar dikelas. Sementara
bullying
relational
dilakukan
dalam
bentuk
menyebarkan berita bahwa korban tidak mau berteman,
tidak mau membantu teman dalam pelajaran, pelit dan
mengatakan sifat-sifat buruk lainnya kepada temanteman mereka. Selain itu, bullying dalam bentuk verbal
juga dilakukan oleh kedua subjek dengan seringkali
mengatakan kata-kata ejekan kepada korban seperti kata
bajingan.
Perilaku bullying selain secara fisik, relational
dan verbal juga dilakukan secara psikologis. Subjek K
melakukan bullying secara psikologis ini dengan cara
“memalak” atau meminta uang kepada korban sehingga
membuat korban merasa tidak nyaman dan tertekan
secara psikologi. Bullying secara psikologis ini juga
dilakukan oleh subjek D yaitu dengan membuat tidak
nyaman perasaan orang lain (korban) sehingga korban
juga menjadi tertekan atau tidak nyaman dengan kondisi
yang ditimbulkan oleh subjek.
Alasan subjek dalam melakukan bullying yaitu
dikerenakan mereka menganggap perbuatan mereka
adalah benar/tidak salah, faktor karakter korban, sikap
korban yang tidak memenuhi keinginan subjek, dan
karena adanya budaya konflik atau budaya bullying di
sekolah. Pola pikir mereka yang menganggap perbuatan
mereka adalah benar/tidak salah ditunjukkan dengan
sikap tidak menyesal dan pernyataan bahwa perbuatan
tersebut hanya candaan belaka. Pola pikir mereka ini
membuat sikap mereka menjadi tidak berubah dan
mengulangi perbuatan mengganggu teman mereka.
Karakter dari korban juga menjadi salah satu
faktor pemicu yang membuat subjek melakukan
perbuatan bullying. Korban yang cenderung pendiam,
kurang bersosialisasi, tidak mempunyai teman, dan
cenderung dilihat lemah oleh subjek menjadi alasan
subjek melakukan perbuatan kurang menyenangkan.
Kondisi subjek yang lemah dan kurang mampu
bersosialisasi dengan baik didukung oleh sikap korban
yang cenderung tidak mematuhi kehendak dari
subjek/pelaku, seperti tidak mematuhi ketika diminta
membantu dalam pelajaran dan tidak menghiraukan
ucapan subjek.
“Si S itu pendiam kan, terus dia ga nganggep
kalau kelas itu keluarganya sendiri tu
loh...contohnya dimintain tolong cuek, dimintain
tolong tentang pelajaran cuek suruh nutorin
temen-temennya dia kan punya kelebihan di
akademis”
Faktor budaya yang terjadi di sekolah juga
menjadi salah satu faktor yang memunculkan terjadinya
perilaku bullying. Menurut subyek, adalah hal yang
tidak mungkin jika selama 3 tahun bersekolah, tidak ada
konflik, terlebih mereka bersekolah di sekolah yang
semua
siswanya
adalah
laki-laki.
Hal
ini
mengindikasikan adanya budaya konflik dalam sekolah
khusus laki-laki. Berkelahi dalam sekolah sudah
menjadi suatu hal yang tak terhindarkan lagi. Subyek
mengetahui bahwa tindakan yang pada awalnya hanya
bercanda dengan korban dan berlanjut kepada tindak
kekerasan seperti mengejek, memalak dan memukul
kepada korban dapat menyebabkan ia dihukum. Subyek
menganggap hal itu merupakan suatu tindakan yang
wajar karena merupakan budaya di lingkungan sekolah
Rachmah, empati, pelaku bullying, siswa Sekolah Menengah Atas
yang biasanya dilakukan oleh teman-teman sekelas
subyek.
Pada dasarnya kedua subjek kurang memiliki
sikap empati terhadap oranglain terutama kepada
korban. Hal ini ditandai dengan sikap mereka yang
biasa saja tanpa merasa kasihan ketika korban
diperlakukan tidak menyenangkan oleh mereka seperti
ketika dipukul, dipanggil dengan kata-kata yang tidak
pantas, dan dipermainkan oleh mereka. Mereka juga
tidak melakukan tindakan nyata dengan perbuatanperbuatan yang baik serta sikap positif untuk membantu
korban bersosialisasi di lingkungan sekolah pada kasus
korban yang pendiam dan tidak memiliki teman.
Meski kedua subyek merasa bahwa apa yang
mereka lakukan bukan merupakan bullying, namun
faktanya ada korban yang “ditindas” oleh subyek.
Bullying sendiri merupakan bentuk kekerasan yang
terjadi yang melibatkan subyek dan korban, dengan
korban merupakan seseorang yang tidak berdaya.
Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh Subyek
sebenarnya merupakan bullying. Terlebih lagi, kedua
subjek juga pernah melakukan hal yang sama pada
beberapa orang siswa. Dari sudut pandang kedua
Subyek, mereka berpendapat bahwa perilaku korban
perlu diubah. Mereka berkeinginan supaya korban bisa
berinteraksi dan berbaur dalam budaya laki-laki di
sekolah X.
Bullying seringkali dianggap sebagai sesuatu hal
yang biasa seperti ketika siswa saling mengejek,
mempermalukan seseorang didepan umum atau ketika
memalak seseorang. Hal-hal seperti ini memperlihatkan
betapa bullying dianggap sebagai kenyataan sehari-hari
yang alamiah. Namun, hal ini juga menunjukkan
mengapa bullying bisa berlangsung begitu lama, lintas
generasi, dan begitu berurat akar karena cederung
mendiamkannya, menyepelekannya dan memandangnya
sebagai bagian dari proses natural tumbuh kembang
anak. Lebih lanjut disebutkan juga bahwa pelaku
bullying kemungkinan besar juga sekedar mengulangi
apa yang pernah ia lihat dan alami sendiri (Sejiwa,
2008). Pernyataan ini sejalan dengan hasil temuan pada
penelitian ini. Kedua subjek penelitian yang merupakan
pelaku bullying menganggap perbuatan mereka adalah
perbuatan yang biasa dilakukan dan sering dilakukan
oleh teman-teman mereka yang lain.
Bullying merupakan suatu tindakan kekerasan
yang seringkali muncul di lingkungan sekolah. Perilakuperilaku kekerasan atau bullying ini umumnya dipelajari
dari lingkungan sosial atau lingkungan yang dekat
dengan subyek. Seperti yang terjadi pada kasus ini, para
subyek umumnya melakukannya karena hal itu
dianggap wajar dan merupakan tradisi dari kelompok
mereka. Tradisi bullying ini cenderung menjadi suatu
tradisi yang akan menurun ke generasi kelompok itu
selanjutnya, dimana umumnya berasal dari pengaruh
teman sebaya, seperti yang diutarakan oleh Dryfoos
(dalam Santrock, 2002) bahwa bergaul dengan teman-
55
teman sebaya yang nakal menambah besar resiko
menjadi nakal.
Perilaku bullying di dalam kelas biasanya
dilakukan pada saat siswa diminta untuk mengerjakan
tugas dan guru lengah atau pada saat pergantian jam
pelajaran. Hal ini sejalan dengan apa yang diutarakan
oleh Sejiwa (2008) yaitu bahwa bullying dapat terjadi di
lingkungan sekolah, terutama di tempat-tempat yang
bebas dari pengawasan guru maupun orang tua. Guru
yang sadar akan potensi bullying harus lebih sering
memeriksa tempat-tempat seperti ruang kelas, lorong
sekolah, kantin, perkarangan, lapangan, toilet pada saat
yang tidak diperkirakan oleh siswa akan ada
pemeriksaan.
Kesadaran yang kurang dari subyek terhadap
tindakan kekerasan yang dilakukan terutama juga
dipengaruhi oleh sikap empati subyek yang cenderung
kurang. Seperti yang diketahui bahwa sikap empati
subyek cenderung rendah dan ini terlihat dimana subyek
tidak merasakan perasaan yang khusus seperti kasihan,
peduli kepada korban, membantu korban untuk terlibat
dengan lingkungan atau menunjukkan perasaan, sikap
dan tindakan lainnya. Pada subyek, muncul perasaan
kasihan kepada korban setelah misalnya salah satu
kasus bullying itu selesai ditangani, dan perasaan itu
hanya merupakan perasaan sesaat saja tanpa ada reaksi
yang lain karena kenyataannya subjek tetap
melakukannya kepada orang lain.
Kurang pekanya sikap empati dari subyek
menyebabkan subyek kurang memahami kondisi
korban, tidak peduli dengan korban dan cenderung
melakukan tindakan kekerasan kepada orang atau
korban yang lain. Rasa bersalah pada diri subyek
kadangkala muncul namun terkadang subyek juga
menganggap tindakan itu merupakan suatu tindakan
yang dibenarkan menurut standar aturan atau perilaku
dikelompoknya,
sehingga
subyek
umumnya
menghentikan bullying kepada korban bukan
dikarenakan perasaan empatinya kepada korban namun
lebih dikarenakan perasaan malas atau enggan untuk
terlibat masalah lagi dengan korban.
Dalam penelitian-penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya memang ditemukan bahwa ada hubungan
yang positif antara perilaku bullying dan rendahnya
kemampuan empati (Ozkan & Cifci, 2009). Selain itu,
Saphiro (1997) juga menjelaskan bahwa dengan
bertambahnya kematangan wawasan dan kemampuan
kognitif, anak-anak secara bertahap belajar mengenali
tanda-tanda perasaan orang lain, dan mampu
menyesuaikan kepeduliannya dengan perilaku yang
tepat. Pada kedua subjek penelitian ini subjek yang
merupakan pelaku bullying melakukan bullying karena
mereka memiliki kemampuan empati yang rendah.
individu yang memiliki empati yang tinggi cenderung
akan membantu atau menolong seseorang yang berada
dalam kesulitan, sedangkan anak yang empatinya
rendah akan menjauhi anak yang sedang dalam
kesulitan
bahkan
beberapa
menjadi
agresif,
56
Jurnal Ecopsy, Volume 1, Nomor 2, April 2014
mencaci,atau memukul korban yang mengeluh.
Ketidakmampuan pelaku untuk berempati menyebabkan
mereka kurang mampu untuk melihat dari sudut
pandang orang lain, mengenali perasaan orang lain dan
menyesuaikan kepeduliannya dengan tepat.
Tinggi rendahnya kemampuan berempati
seseorang akan dipengaruhi oleh situasi, pengalaman,
dan respon empati yang diberikan. Subjek dalam
penelitian ini melakukan tindakan bullying salah
satunya dikarenakan karakteristik dari korban yang
tidak mirip dengan diri mereka. Selain itu juga
didukung oleh sikap korban yang dianggap tidak
mematuhi keinginan mereka. Menurut Krebs (1987),
seseorang akan berempati pada orang yang mirip
dengannya daripada orang yang tidak mirip dengannya.
Pernyataan ini didukung oleh pendapat Sarwono (2002)
menyatakan bahwa kesamaan akan meningkatkan
empati yang pada akhirnya akan melahirkan perilaku
menolong. Pada kasus ini, subyek melakukan aksi
bullying pada siswa yang berbeda dengannya. Korban
adalah seorang yang pendiam dan jarang berinteraksi
dengan teman-teman lainnya. Bagi kedua subyek,
perilaku korban yang cenderung menyendiri dan tidak
bergaul merupakan sesuatu yang dianggap aneh oleh
mereka. Subyek memiliki empati yang rendah kepada
korban karena subyek merasa korban itu berbeda
dengannya. Meskipun ketika melakukan aksinya subyek
bermaksud membantu korban agar dapat berinteraksi
dengan teman-teman lainnya, namun cara yang
ditempuh subyek untuk membantu korban tidak tepat
sehingga terjadi aksi bullying.
Perilaku empati ditandai dengan adanya aspek
kognitif empati yang berkaitan dengan kemampuan
untuk memahami perasaan dan perspektif orang lain.
Dengan kata lain, empati mengacu pada kemampuan
kognitif untuk memahami kondisi mental dan emosional
orang lain atau insight sosial (Eisenberg, 2000). Mead
dalam Eisenberg (2000) juga telah menyebutkan bahwa
empati merupakan kapasitas mengambil peran orang
lain dan mengadopsi perspektif orang lain dihubungkan
dengan diri sendiri. Sementara itu Yazemin Ozkan &
Elif Cifci (2009) menyebutkan empati sebagai
kemampuan seseorang untuk menempatkan diri pada
situasi orang lain dan melihat masalah orang lain
berdasarkan persfektif orang tersebut. Hal ini membuat
empati menjadi dasar utama dalam menjalin relasi,
dalam hal ini adalah persahabatan dengan teman sebaya.
Ketika sebuah relasi dimulai dengan empati sehingga
mampu memahami presfektif orang lain maka relasi
tersebut akan berjalan dengan sehat.
Dalam kasus ini, baik Subyek D dan K belum
mampu untuk mengadopsi perspektif korban yang lebih
menyukai “ketenangan” daripada terlibat banyak dalam
interaksi laki-laki yang rawan konflik. Kurangnya
empati yang dimiliki subyek menyebabkan mereka
menyangkal bahwa mereka telah melakukan bullying.
Kedua subyek berpendapat bahwa apa yang mereka
lakukan bukan bagian dari kekerasan karena kekerasan
tidak mungkin terjadi di sekolah. Mereka cenderung
tidak dapat menempatkan diri pada posisi korban
sehingga perasaan korban saat dihina, diejek atau
menerima tindakan bullying lainnya tidak dapat
ditangkap dan dirasakan oleh subyek. Mereka belum
mampu untuk memahami kondisi mental dan emosional
korban sehingga mereka melakukan bullying kepada
korban. Subyek hanya memikirkan bahwa tindakan
seperti itu hanyalah merupakan tindakan yang wajar
saja di kalangan kelompoknya. Hal ini menunjukkan
kurangnya kemampuan subyek memposisikan diri
dalam perspektif orang lain (perspective taking).
Perspective taking merupakan kemampuan untuk
merasakan apa yang dirasakan orang lain dan
kemampuan untuk menempatkan diri dalam keadaan
orang lain. Aspek ini akan mengukur sejauh mana
individu melihat peristiwa yang terjadi dari pandangan
orang lain. Mead (dalam Davis, 1983) menyebutnya
dengan perilaku yang non egosentrik dalam kemampuan
perspective taking, yaitu perilaku yang tidak
berorientasi pada kepentingan diri tetapi pada
kepentingan orang lain dan memungkinkan individu
untuk mampu memperkirakan dan mengantisipasi
perilaku dan reaksi orang lain yang akan muncul.
Kurangnya rasa peka akan kondisi orang lain membuat
subyek tidak memahami akan kondisi korban atau
perasaan sedih, tidak nyaman dan perasaan dihina yang
dialaminya. Hal ini mengakibatkan subyek tidak pernah
memikirkan bagaimana perasaan korban ketika mereka
melakukan bullying.
Faktor yang menjadikan seseorang melakukan
perilaku bullying di sekolah yaitu karakter dari korban
yang pendiam, sikap korban yang tidak memenuhi
keinginan pelaku, dan adanya tradisi yang terjadi di
sekolah tersebut. Hasil penelitian ini sesuai dengan
asumsi bahwa siswa yang sulit bergaul adalah ciri yang
bisa dijadikan korban bullying (Sejiwa, 2008). Selain itu
terdapat pemahaman bagi sebagian orang bahwa
perilaku bullying merupakan suatu usaha dalam
memberi pelajaran (Sonia, 2010). Subyek dalam
penelitian ini melakukan bullying untuk memberi
pelajaran kepada korban agar korban mau berinteraksi
dengan mereka dan teman-teman yang lain. Sikap
subjek yang merasa lebih baik dibandingkan dengan
korban menjadikan subjek (pelaku) seringkali
melakukan perbuatan bullying kepada korban. Ballard,
dkk (dalam Papalia, 2001) menyatakan bahwa pelaku
bullying memiliki karakteristik untuk melakukan
dominasi terhadap orang lain melalui kekerasan, dan
mereka menunjukkan sedikit atau tidak ada empati pada
korban mereka.
Sikap korban yang berdiam diri ternyata juga
tidak sepenuhnya menjadikan korban sebagai sasaran
bullying. Ketika seseorang bersikap asertif dan menolak
untuk memenuhi keinginan pelaku juga dapat
menjadikan alasan pelaku untuk melakukan bullying
kepada korban. Terlebih lagi jika kondisi ini diperkuat
oleh budaya dalam suatu organisasi atau instansi yang
Rachmah, empati, pelaku bullying, siswa Sekolah Menengah Atas
dalam hal ini adalah sekolah sehingga membuat
perilaku bullying semakin meningkat dan berkembang
dari waktu ke waktu serta terjadi secara bergenerasi
terlebih lagi jika tidak adanya prevensi ataupun
intervensi yang dilakukan oleh pihak sekolah dalam
mengatasi perilaku bullying. Sehingga dapat dikatakan
bahwa faktor lingkungan dapat berpengaruh pula
terhadap munculnya perilaku bullying.
SIMPULAN
Pelaku bullying melakukan bullying karena
mereka memiliki kemampuan empati yang rendah.
Ketidakmampuan pelaku untuk berempati menyebabkan
mereka kurang mampu untuk melihat dari sudut
pandang orang lain, mengenali perasaan orang lain dan
menyesuaikan kepeduliannya dengan tepat. Kurangnya
rasa peka akan kondisi orang lain membuat subyek tidak
memahami akan kondisi korban atau perasaan sedih,
tidak nyaman dan perasaan dihina yang dialaminya. Hal
ini mengakibatkan subyek tidak pernah memikirkan
bagaimana perasaan korban ketika mereka melakukan
bullying.
Alasan-alasan yang menyebabkan munculnya
perilaku bullying yaitu dikarenakan karaktersitik korban
yang berbeda dengan pelaku, sikap korban yang
menentang pelaku, dan tradisi atau budaya perilaku
bullying di sekolah yang merupakan faktor lingkungan
dalam memunculkan perilaku bullying.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat berikan
beberapa saran bagi pelaku. Pelaku bullying memiliki
kecenderungan
empati
yang
rendah.
Subjek
menunjukkan tidak adanya rasa kasihan, rasa bersalah
dan keinginan untuk memahami kondisi korban. Sikap
empati pelaku bullying dapat ditingkatkan dengan
merubah persepsi atau pola pikir dan menempatkan diri
pada posisi korban serta dapat ditingkatkan dengan
terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial sehingga
lebih dapat memahami kondisi orang lain terutama
kondisi korban pelaku bullying.
Bagi korban. Bullying umumnya terjadi pada
individu yang memiliki sikap sulit bergaul, tingkat
percaya diri yang rendah, lemah, tidak memiliki
keberanian untuk bersikap tegas ketika diganggu oleh
pelaku dan menentang pelaku. Peneliti menyarankan
untuk mengadakan pelatihan peningkatan kualitas diri
seperti melatih meningkatkan kepercayaan diri, melatih
sikap tegas dan melatih kemampuan dalam
bersosialisasi agar korban tidak mengalami hal yang
sama atau tidak menjadi korban bullying secara terus
menerus. Selain itu korban juga dapat menghindari
konflik
dengan
pelaku
dan
menyatakan
ketidaksetujuannya dengan cara yang baik.
Bagi sekolah Perlu adanya pengkajian ulang
mengenai budaya sekolah supaya budaya sekolah tidak
menjadi alasan siswa untuk dapat melakukan aksi
bullying disekolah. Selain itu, sekolah juga perlu
memberikan gambaran yang jelas mengenai konsep
57
bullying seperti bullying yang bersifat verbal dan mental
agar siswa tidak berpikir bahwa bullying itu hanyalah
kekerasan secara fisik saja. Disiplin yang ketat juga
disarankan untuk dilakukan seperti membuat aturan
yang jelas berikut dengan sanksinya agar siswa tidak
berbuat semaunya terutama dalam masalah bullying ini.
Perilaku bullying juga dapat diatasi dengan membuat
program intervensi bagi pelaku yang dilaksanakan oleh
pihak sekolah. Program intervensi ini bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan empati pada pelaku seperti
melakukan konseling kelompok ataupun workshop
untuk mengurangi perilaku bullying dan menumbuhkan
sikap empati.
DAFTAR PUSTAKA
Bavolek, S.S. (2007). Developing Empathy in Families:
The Nurturing Parenting Program Family
Development Resources, Inc.
Caravita, Simona C.S., Blassio, Paola Di. (2008).
Unique and Interactive Effects of Emphaty and
Social Status on Involvement in Bullying.
Carney, A.G., & Merrell, K.W. (2001). Bullying in
Schools: Perspectives on Understanding and
Preventing an International Problem. School
Psychology International, 22, 364-382
Creswell, J. W. (2003). Research Design Qualitative,
Quantitative, and Mixed Methods Approaches (2nd
Ed). USA: Sage Publication Inc.
Davis, M. H. (1983). Measuring Individual Differences
in Empathy : Evidence for Multidimensional
Approach. Journal of Personality and Social
Psychology.
Einarsena, S., Hoelb, H, & Notelaersa, G. (2009).
Measuring Exposure to Bullying and Harassment
at Work: Validity, Factor Structure and
Psychometric Properties of The Negative Acts
Questionnaire-Revised. Work & Stress, 23, 1,
24_44.
Eisenberg, Nancy. 2000. Empathy and Sympathy, dalam
Handbook of Emotions – Second Edition, edited by
Michael Lewis and Jeannette M. Haviland-Jones.
New York: The Guilford Press.
Gini, G., Albiero, P., Benelli, B., & Altoe, G. (2007).
Does Empathy Predict Adolescents’ Bullying and
Defending Behavior? Aggressive Behavior, 33:
467–476.
Goleman, D. (2006). Emotional Intelligence: Mengapa
EI lebih penting daripada IQ. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
58
Jurnal Ecopsy, Volume 1, Nomor 2, April 2014
Hamarusa, P., & Kaikkonen, P. (2008). School Bullying
As A Creator of Pupil Peer Pressure. Educational
Research, 50, 4, 333–345
Jolliffe, D., Farrington, D., P. (2011). Is Low Emphaty
Related To Bullying After Controlling For
Individual and Social Background Variables?
Journal of Adolescence, 34: 59-71.
Krebs, J.R. (1987). An Introduction of Behavioral
Ecology. London: Oxford-Blackwell Scientific
Publication
Merrell, K.W., Isava, D.M. (2008). How Effective are
School Bullying Intervention Programs? A MetaAnalysis of Intervention Research. APA School
Psychology Quarterly, Vol:23. no I, 26-42.
Orpinas, P., & Horne, A. M. (2006). Bullying
Prevention Creating a Positive School Climate
and Developing Social Competence. Washington
DC: American Psychological Association.
Özkan, Y., & Cifci, G. (2009). The Effect of Emphaty
Level on Peer Bullying in Schools. Humanity &
Social Sciences Journal, 4 (1), 31-38.
Papalia, D E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2001).
Human Development (8th ed.). Boston: McGrawHill.
Poerwandari, K. (2007). Pendekatan Kualitatif untuk
Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta: LPSP3
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Rock, E. A. (2004). Emphaty, The Easily Aroused Child
and Antidots For Bullying. The Psychotherapy
Patient, 13: 63-86.
Sari, A.T.O., Ramdhani, N., Eliza, M. (t.t). Empathy
and Smoking in Public Area. Yogyakarta: UGM
Sarwono, S.W. (2002). Psikologi Sosial: Individu dan
Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: Balai
Pustaka
Sejiwa. (2008). Bullying. Jakarta : PT Grasindo
Shapiro, L. E., terj. Alex Tri Kantjono. (1997).
Mengajarkan Emotional Intelligence Pada Anak.
Jakarta: Gramedia.
Slonje, R dan Smith, P.K. (2008). Cyberbullying:
Another Main Type of Bullying? Scandinavian
Journal of Psychology, 49, 147–154
Smith, P. K., & Ananiadou, K. (2003). The Nature of
School Bullying and The Effectiveness of School
Based Interventions. Journal of
Psychoanalytic Studies, 5, 189-209.
Applied
Sonia, V. (2010). Perbedaan Depresi Ditinjau dari
Kategori Bullying, Jenis Kelamin pada Remaja
Awal.
http://repository.
usu.ac.id/bitstrem/123456789/19754/5/chapter1.D
iakses 11 April 2011
Triyuda, P. (2012). Bullying di sekolah. Diakses tanggal
23
Juli
2013
dari
http://.www.news.detik.com/.../komnas-pa-tahun2011- bullying-di-sekolah-139-kasu...
Download