menuju gereja yang makin mengindonesia seminar sehari 50 tahun

advertisement
MENUJU GEREJA YANG MAKIN MENGINDONESIA
SEMINAR SEHARI 50 TAHUN HIRARKI GEREJA KATOLIK INDONESIA
KEBERADAAN GEREJA SERTA PERAN HIRARKI
DITINJAU DARI SISI ANTROPOLOGI-BUDAYA
John Mansford Prior, svd
Untuk memancing diskusi, kiranya bermanfaat jika kita menyoroti keberadaan Gereja serta
peran Hirarki melalui prisma model-model budaya seperti pola pra-modern, modern dan
pasca-modern, serta berbagai tanggapan teologis-antropologis yang dapat kita sakiskan
sekarang ini.
Boleh jadi lebih dari satu pola budaya nampak dalam Gereja kita, walau, mungkin saja,
salah satunya lebih menonjol dari yang lain. Malah pola utama bisa saja bergantian dengan
pola lain dalam waktu relatif singkat. Masing-masing model terdiri dari unsur-unsur
seperti simbol, mitos dan ritus.
Pola Pra-Modern
Komunitas Konformis yang Mengutamakan Loyalitas
Elemen-elemen yang paling kararteristik dari pola pra-modern adalah ideologi keluarga
besar (klan), patriarki, penyesuaian/konformitas pada tradisi/adat, dan sistem-sistem
sosial yang berfungsi untuk mempertahankan status quo.
Maka, salah satu nilai signifikan adalah loyalitas pada keluarga/klan, sampai anggotaanggotanya didesak agar menyesuaikan diri dengan kelompok. Jika kebiasaan dilanggar,
skandal itu disembunyikan dari pihak luar. Budaya seperti itu tak boleh dipersalahkan atau
pun ditertawakan.
Ada juga kekerabatan “fiktif” yaitu pengelompokan masyarakat yang saling berhubungan
seperti dalam sebuah keluarga; loyalitas utama ada pada kelompok, dan para anggota
mengindahkan “kode bisu” demi menjaga nama kelompok. Mungkin saja ada loyalitas
seperti itu dalam Gereja kita di mana umat merasa Gereja akan amat dipermalukan jika
anggotanya mengkritik “keluarga besar Gereja Katolik Roma”, atau “ikatan suci kaum
klerus”.
Jangan heran jika dalam budaya pra-modern pimpinan cenderung bertindak otoriter malah
dengan kekerasan – lewat ancaman, sangsi, denda malah kekerasan fisik.
1
Mitologi pra-modernitas bersifat patriarkis dan menyerahkan status subordinat pada
perempuan, dan kaum lelaki didukung oleh struktur serta mekanisme adat untuk
menegaskan atau malah memaksakan posisinya dengan mengorbankan kaum perempuan.
Kejantanan disamakan dengan kehormatan, sedangkan bagi kaum perempuan terhormat
berarti tunduk total pada ayah, suami atau kakak laki-lakinya. Otoritas sang ayahanda
diberikan oleh Allah sendiri dan nyaris bersifat absolut.
Kepemimpinan Feodal
Para pembesar dalam komunitas yang berciri pra-modern mengandaikan bahwa mereka
sendiri punya wewenang untuk mengambil keputusan dan mereka bertanggungjawab
hanya ke atas. Boleh jadi di dalam Gereja kita masih terdapat anggota hirarki yang merasa
perlu memberikan akuntabilitas hanya ke Roma selain kepada Tuhan Allah sendiri. Dalam
budaya seperti itu otoritas kepausan dan hirarki hampir-hampir disamakan dengan
otoritas Yang MahaEsa. Jika umat awam berpesta itu boros; jika uskup atau imam berpesta
itu “pengungkapan iman”.
Dalam dunia pra-modern, pastor-pastor yang terlibat dalam celaka lalu lintas di wilayah
yang mayoritasnya Kristen, tak pernah diperkarakan kendati ada korban jiwa. Skandalskandal seks didiamkan - dan berjalan terus. Nama Gereja lebih mulia dari pada kondisi
korban perlakuan busuk sang pastor. Kultur komunikatif-terbuka akan membongkar
skandal-skandal ini dan mengutamakan perempuan dan laki-laki yang jadi korban – bukan
nama baik institusi.
Sangat jelas, bahwa selama berabad-abad Gereja Roma telah menyerap dan
mengembangkan semangat serta kebiasaan dari kebudayaan-kebudayaan Eropa sekular
pra-modern. Misalnya, sistem kepemimpinan monarkis-piramidal, birokrasi sentralistik di
Roma, serta nilai-nilai patriarkhal. Pucuk kepemimpian Gereja memegang kekuasaan
legislatif, eksekutif dan juridikatif dalam tangannya sendiri. Dalam komunitas demokratis,
ketiga kekuasaan ini dipisahkan dengan jelas.
Hirarki Gereja Katolik Roma sesungguhnya merupakan produk sebuah budaya patriarki,
dan seperti sering digarisbawahi oleh Mangunwijaya (Gereja Diaspora, Jogja 1999), Gereja
feodal-piramidal yang dibawa ke Indonesia cocok sekali dengan budaya-budaya Indonesia
yang feodal-patriarkis. Patriarki Gereja Katolik Roma menyuburkan budaya-budaya
Indonesia yang patriarkis dan demkian pun sebaliknya. Masyarakat yang feodal
mementingkan simbol dan personifikasi kekuasaan. Maka, jangan heran kalau Gereja kita
bersifat klerikal-kental dan para uskup serta para imam lebih menjadi pribadi kekuasaan
dari pada pelayan.
2
Penyesuaian bukan Inkulturasi
Melihat ciri-ciri pola budaya pra-modern, kita memperoleh kesan bahwa hampir seluruh
kebudayaan-kebudayaan Indonesia bersifat pra-modern, yaitu berciri patriarkis lagi feodal.
Karena itu, proses demokratisasi, yang dimulai sejak rejim Soeharto ditumbangkan, belum
mampu membongkar budaya ini. Walau para pemimpin negara dipilih secara demokratis,
mereka tetap menampilkan perannya seperti tua adat atau kepala keluarga yang feodal.
Tata pengaturan demokratis tidak menjamin demokrasi jika budaya dominan bersifat pramodern. Yang diambil dari kebudayaan adalah posisi kekuasaan yang menguntungkan;
maka kurang ada inisiatif untuk melakukan inkulturasi teologis yang sesungguhnya. Boleh
jadi sistem pemilihan pembesar dalam Tarekat-Tarekat religius, yang nota bene bersifat
quasi-demokratis, karena dilaksanakan dalam lingkup budaya yang didominasi oleh
elemen-elemen pra-modern, sebetulnya tidak jauh berbeda dari proses pemilihan umum
dengan fraksi-fraksi, blok etnis dan pengelompokan kepentingan-kepentingan lainnya.
Di sini saya tidak menyinggung situasi yang amat berbeda di Papua yang budaya
melanesianya lebih egalitarian.
Kembali ke Akar: Yesus Kristus
Tak ada satu pun dari elemen-elemen dari budaya pra-modern ini yang diwariskan oleh
Yesus Kristus. Jika Gereja Katolik Indonesia hendak membawa perubahan dalam
masyarakat Indonesia dan mendukung proses demokratisasi yang sedang diperjuangkan,
maka Gereja perlu kembali ke akarnya yakni Yesus sendiri dan ajaran-Nya dalam Kitab
Suci. Yesus yang melarang para murid berlagak bagai pimpinan dunia (Mrk 10:35-45);
Yesus yang memandang setiap situasi dari sudut para korban; Yesus yang mengundang
“yang jahat dan yang baik” dari pinggiran dan persimpangan jalan untuk menggantikan
para pemilik tanah dan pemilik modal (Mat 22:1-10; Luk 14:15-24); Yesus yang datang
untuk mencerai-beraikan yang congkak hatinya dan menurunkan yang berkuasa dari
tahtanya dan mengangkat orang-orang kecil. (Luk 1:51-53).
Pola Pasca-Modern
Dua unsur dari pola modernitas yang sangat menonjol adalah proses birokratisasi dan
sentralisasi. Tapi, karena diberi cuma 10 menit untuk memancing diskusi, saya melewati
pola modernitas begitu saja.
Pada masa pasca-modern kepastian sudah runtuh, prinsip (adat) yang menata masyarakat
secara tersentralistik sudah menghilang. Tolok ukur etika tunggal tidak ditemukan lagi.
Keyakinan akan diri manusia yang satu dan koheren tengah memudar. Pembatasan,
kepastian, tabu, peran pasti, sistem-sistem, pola, bentuk dan tradisi, pun perbedaan gender,
3
dilanggar. Sepertinya ambiguitas dan ketakpastian menjadi pola hidup utama pada masa
pasca-modern.
Jatidiri kita manusia sudah diperoleh dari rupa-rupa sumber. Kita hidup di dalam apa yang
dijuluki “masyarakat jejaringan”. Karena itu, identias sosial diperoleh dari aneka sumber
yang melintasi batas lingkup-lingkup budaya, malah batas bangsa sendiri. Identitas tidak
lagi terbatas oleh sistem golongan sosial, gender, etnisitas, umur dan sebagainya. Sangat
mungkin komunitas maya, bagi sementara sama saudara, lebih bermakna daripada
komunitas geografis.
Berhadapan dengan pola budaya pasca-modern ada orang yang menjadi skeptis atau sinis,
lain menjadi serba pragmatis tanpa merasa perlu norma yang pasti, lain lagi menjadi amat
relativistis.
Tiga Tangapan dalam Gereja
Kita bisa menyaksikan tiga jenis tanggapan terhadap perubahan pesat yang sedang
melanda masyarakat dan Gereja pada masa pasca-modernitas ini, yaitu respons
fundamentalistik, respons berupa protes, dan respons konsiliar-kolegial.
Respons Fundamentalis Katolik
Budaya pasca-modern menjadi “tempat pembibitan” tuntutan akan kepastian oleh
kelompok-kelompok etnis, kelompok-kelompok fundamentalis, dan mereka yang coba
merestorasi – yaitu mau mengembalikan Gereja ke suatu masa lampau seperti yang mereka
rekonstruksikan dalam bayangan-bayangan mereka.
Sekarang ini kita dapat menyaksikan gerakan kuat restorasionisme, sebuah arus balik
dalam Gereja yang mengafirmasikan struktur, sikap dan devosi dari Gereja pra-Konsili.
Ortodoksi kaku direkonstruksi dan ditekankan menggantikan kreativitas pastoral. Mereka
memimpikan sebuah Gereja Roma yang berbudaya-tunggal bukan suatu Gereja majemuk,
multi-budaya.
Respons ini terlihat dalam proses re-klerikalisasi pada tingkat paroki di mana Dewan
Pastoral kembali menjadi kaki-tangan sang pastor tertahbis. Komunitas-komunitas Basis
Gerejani yang dirintis pada tahun 1970an, kini direduksi menjadi cuma satuan-satuan
administratif dan devosional di dalam struktur dan organisasi paroki. Berbagai gerakan
rohani baru seperti sebagian dari gerakan karismatik serta gerakan devosional lainnya,
mengutamakan identitas Katolik Roma bukan dialog dengan masyarakat mayoritas. Roma
juga terbawa – atau malah membawa – arus balik fundamentalistik ini misalnya dengan
coba memaksa kita untuk re-romanisasi liturgi Gereja serta melatinisasi bahasa Indonesia
yang dipakai di dalamnya. Bahayanya, gerakan restorasionisme ini bisa saja menjadi arus
4
umum dalam Gereja kita, presis terbalik dari tema kita hari ini: Menuju Gereja yang Makin
Mengindonesia.
Respons Berupa “Protes”
Kita dapat menyaksikan bagaimana dengan merosotnya visi dan pembaruan Konsiliarkolegial, maka ada gejala bahwa umat semakin terpecah ke dalam sekian banyak kelompok,
mana yang satu tidak mempedulikan, atau malah saling bertentangan, dengan yang lain.
Ada umat yang masih tetap setia pada visi konsili tapi tidak punya akses pada kekuasaan
dalam Gereja. Lain kelompok membentuk semacam sekte-sekte elitis dan punya akses pada
modal besar; mereka mendesak solusi-solusi instan yang sangat otoriter, dan kadangkadang malah mengejar sambil memfitnah anggota-anggota kelompok lain. Ada umat lain
lagi yang sudah jenu dengan segala pertentangan dalam Gereja dan diam-diam mundur.
Gejala terakhir ini terlihat di antara umat yang tekun terlibat dalam proses demokratisasi
negara dan dalam gerakan penegakan hak-hak asasi manusia.
“Protes” tidak senantiasa harus dengan demo publik atau suara lantang, melainkan dengan
diam-diam umat mempertanggungjawabkan imannya sendiri-sendiri, semakin terlepas
dari Gereja institusional, tapi tetap “kental Katolik” dalam keyakinan, dan dalam nilai-nilai
iman yang mendasari perjuangan hidup demi kesejahteraan umum.
Respons Konsiliar-Kolegial
Namun, masih tinggal beberapa orang yang setia pada wawasan Konsili Vatikan II dan yang
hendak membentuk “status quo baru” dengan struktur-strukur serta sistem-sistem
kekuasaan baru, dan yang berbasis mitologi Gereja (eklesiologi Konsili) yang sudah
diperbarui. Dalam dokumen Lumen Gentium Gereja piramidal diganti dengan Gereja
persekutuan, Gereja klerus dengan Gereja Umat, Gereja monarkis dengan Gereja umat Allah
dalam perjalanan. Dalam dokumen Gaudium et spes, Gereja ghetto atau benteng tertutup
(“masyarakat sempurna”) diganti dengan Gereja terbuka yang berdialog dengan dunia.
Proses ini berat dan makan waktu lama dan menuntut ketabahan dan kesabaran. Proses
berkepanjangan ini memerlukan pemimpin yang mampu hidup di tengah ambiguitas
masyarakat kini dan di sini sementara mitologi baru (eklesiologi Konsili) pelan-pelan
menjadi milik, dan struktur-struktur baru dapat dibangun di atas sistem nilai konsiliar.
Tanggapan konsiliar-kolegial pernah cukup menonjol di Gereja Katolik Indonesia pada
tahun 1960an dan 1970an, ketika ada upaya “indonesianisasi” dan “awamisasi”. Sekarang
rasanya para uskup lebih menjadi “pastor paroki besar” yang menjalankan saja apa yang
dipikirkan KWI dan diharapkan Roma dari pada menjadi pimpinan inspiratif dengan
gagasan-gagasan teologis alternatif demi menjawab kerumitan dan kesimpang-siurnya
zaman ini.
5
Kelompok konsiliar-kolegial ini hendak menemukan keseimbangan antara nilai hirarkis
dan nilai kolegial dalam Konsili. Antara lain mereka menekankan nilai: kerjasama dengan
segala pihak yang berkehendak baik, imajinasi, spiritualitas terlibat, kesetaraan gender,
akuntabilitas (tanggung gugat), rekonsiliasi/pedamaian, dan pantang kekerasan.
Pertanyaan
Tema seminar kita adalah “Menuju Gereja yang Makin Mengindonesia”. Pertanyaan saya:
Gereja mau menuju kebudayaan Indonesia mana: pra-modern, modern dan atau pascamodern? Budaya mana yang diharapkan dan yang paling sesuai dengan warta Yesus
Kristus? Lantas gerakan-gerakan manakah bisa mendorong Gereja menuju “pengIndonesia-an yang diharapkan?
John Mansford Prior, svd
Candraditya Research Centre,
Jalan Lerowulan 1, Wairklau-MAUMERE, NTT
[email protected]
6
Download