SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045 PENETAPAN POLA RESISTENSI ANTIBIOTIKA Vibrio parahaemolyticus HASIL ISOLASI DARI CUMI-CUMI (Loligo vulgaris) DAN KEPITING BAKAU (Scylla serratta) 1 Ria Afrianti1, Marlina2, M. Husni Mukhtar2 STIFI Perintis Padang, 2Fakultas Farmasi Universitas Andalas ABSTRACT The characteristics of Vibrio parahaemolyticus resistances were observed from Squid (Loligo vulgaris) and mangrove crab (Scylla serratta) in Padang using differential medium CHROMAgar the Vibrio. Antibiotic resistances were tested on fourty two cultures of Vibrio parahaemolyticus by Krumperman diffusion method toward six kinds of antibiotic. The percentage of Vibrio parahaemolyticus resistances toward ampicillin, chloramphenicol, erythromycin, gentamicin, sulfametoxazol, and tetracycline were 76,19 %, 19,05 %, 52,38 %, 26,19 %, 92,86 %, 26,19 % respectively. Value of Multiple Antibiotics Resistances (MAR) was 0,46. Keywords : Vibrio parahaemolyticus, Antibiotics resistances, Loligo vulgaris, Scylla serratta (Boyd, 1980). Pada serangan akut, diberikan antibiotika seperti tetrasiklin, ampisilin, dan siprofloksazin (Doyle, 1989). Tetapi, penggunaan antibiotika yang tidak diawasi mengakibatkan suatu sifat tidak terganggunya aktivitas sel bakteri pada pemberian antibiotika. Sifat ini dikenal dengan istilah resistensi sel bakteri (Ganiswarna, 1995). PENDAHULUAN Vibrio parahaemolyticus adalah bakteri gram negatif, berbentuk koma, mempunyai flagela polar, fakultatif anaerob, tumbuh baik pada medium dengan kadar NaCl 1-8 % sehingga termasuk bakteri halofilik. Penyakit yang ditimbulkannya adalah gastroenteritis dengan gejala-gejala diare, keram perut, mual, muntah, demam (Gerard, 1982; Barrow 1993; Mier 1996). Masa inkubasinya 4-96 jam dengan rata-rata 15 jam. Untuk dapat menimbulkan infeksi, bakteri harus melalui tahap kontak dengan permukaan mukosa usus, penetrasi ke dalam mukosa usus, menetap di dalam sel epitel usus dan memperbanyak diri (Postnova, 1996). Perkembangan resistensi merupakan proses alamiah yang dilakukan bakteri guna mengembangkan toleransi terhadap keadaan lingkungan yang baru (Pelczar et al, 1988). Bakteri yang telah resisten memiliki gen untuk melindungi dirinya dari efek bakterisida suatu antibiotika. Gen resistensi dari bakteri yang telah resisten terhadap suatu antibiotika dapat dipindahkan ke bakteri lain melalui mekanisme transformasi, transduksi ataupun konjugasi selama berlangsungnya pengobatan menggunakan antibiotika (Pelczar et al, 1988; Waturangi, 2000). Pengobatan dilakukan dengan mengganti cairan elektrolit tubuh yang hilang akibat diare, seperti pemberian larutan 0,5% NaCl, 0,5% NaHCO3 dan 0,1% KCl ke dalam pembuluh darah 42 SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045 Resistensi sel bakteri terhadap suatu antibiotika yang terjadi di rumah sakit cukup tinggi (Radu, 2002). Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengamati penetapan resistensi bakteri terhadap antibiotika, khususnya bakteri V. parahaemolyticus. Pada penelitian terdahulu telah dilakukan suatu kajian tentang sifat resistensi bakteri Vibrio cholerae yang diisolasi dari feses balita penderita diare dan limbah cair di rumah sakit terhadap beberapa antibiotika (Harta, 2004). Beranjak dari penelitian tersebut maka dilakukan penelitian mengenai sifat resistensi bakteri V. parahaemolyticus yang diisolasi dari sampel Cumi-cumi (Loligo vulgaris) dan kepiting bakau (Scylla serratta) di kota Padang terhadap beberapa antibiotika. Isolasi bakteri parahaemolyticus Vibrio Ditimbang 10 g sampel yang telah dihaluskan kemudian dimasukan dalam erlemeyer dan ditambahkan Salt Poymixin Broth (SPB) hingga 100 ml dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Setelah diinkubasi kemudian dilakukan pengenceran mulai dari 10‾1 sampai 10‾5 dengan cara memipet 0,1 ml sampel induk dimasukan ke dalam 0,9 ml media SPB dalam tabung ependorf untuk pengenceran 10‾1 , selanjutnya 0,1 ml dari pengenceran 10‾1 dimasukan kedalam 0,9 ml media SPB dalam tabung ependorf untuk pengenceran 10‾2 demikian seterusnya sampai pengenceran 10‾5. Setelah masing-masing pengencean ditanam pada media CHROMAgar™ Vibrio dalam cawan Petri. Lalu diinkubasi lagi pada suhu 37°C selama 24 jam. Biakan dalam cawan Petri akan memberikan koloni ungu yang menandakan adanya bakteri V.parahaemolyticus. METODE PENELITIAN Alat dan Bahan Jarum ose, spatel, batang pengaduk, beaker glass, cawan petri, erlenmeyer, hot plate, jangka sorong, kapas lidi, effendorf, lemari pendingin, lampu spiritus, lampu UV, pot salep, pinset, pipet mikro, sentrifugator, timbangan digital (Mettler PM 200®), water bath, vortex, autoklaf, incubator, Rotary shaker inkubator, laminar air flow. Media Sampel CHROMagar Vibrio (CHROMagarTM), media Luria Burtani (LB) broth, media Mueller Hinton (Merck®), aquadest steril, etanol 70%, disk antibiotika (BBL™). Uji resistensi bakteri Vibrio parahaemolyticus terhadap antibiotika Cakram antibiotika yang digunakan dengan konsentrasi yang telah ditetapkan sebagai berikut: Golongan Pengambilan sampel Sampel dibeli dari penjual cumicumi dan kepiting di pinggir pantai Purus, kota Padang, kemudian diidentifikasi di Laboratorium Ekologi Hewan Jurusan Biologi FMIPA, Universitas Andalas Padang. Antibiotik Konsentrasi (µg ) 10 Penisilin Ampisilin Kloramfenikol Kloramfenikol 30 Eritromisin Eritromisin 10 Aminoglikosida Gentamisin 15 Sulfonamida Sulfametoksazol 5 Tetrasiklin Tetrasiklin 30 Uji resistensi antibiotik dilakukan terhadap beberapa kultur V.parahaemolticus yang diisolasi dari 43 SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045 Scylla serratta dan Loligo vulgaris. Biakan yang telah diremajakan dalam LB broth diambil dengan pipet mikro sebanyak 100 µl dan ditanam pada medium Mueller hinton Agar dengan meratakanya pada permukaan media menggunakan lidi kapas steril. Disk antibiotik ditaruh hati-hati diatas biakan bakteri dan ditekan perlahan dengan pinset steril supaya benar-benar kontak dengan bakteri. Jarak Disk dengan tepi cawan Petri 15 mm dan jarak antar Disk 24 mm. Biakan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37ºC. % Re sistensi Daerah hambatan yang terlihat sebagai wilayah bening disekitar disk antibiotik diukur diameternya dan karakter resistensi dari bakteri tersebut terhadap antibiotik dibandingkan terhadap tabel standard. Analisa Data Persentase resistensi bakteri terhadap antibiotika dihitung untuk setiap jenis antibiotika dengan menggunakan persamaan: Jumlah kultur yang resisten x 100% Jumlah kultur yang diuji Perhitungan Nilai MAR dengan menggunakan persamaan Krumperman: MAR = x y Keterangan : MAR = Multiple Antibiotics Resistance x = Jumlah bagian yang resisten terhadap antibiotika dari satu kultur yang digunakan y = Jumlah antibiotika yang digunakan Resistensi suatu koloni bakteri terhadap antibiotika dikatakan tinggi jika memiliki nilai Multiple Antibiotics Resistance (MAR) 0.2. keberadaan spesies lain, penambahan ini sesuai dengan kadar optimal untuk pertumbuhan V.parahaemolyticus. Kultur pada media SPB ditanam pada medium spesifik CHROMAgar™ vibrio, kemudian di inkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Terbentuknya warna ungu menandakan pada kedua sampel yaitu cumi-cumi (L.vulgaris) dan kepiting bakau (S.serratta) ada V.parahaemolyticus. HASIL DAN PEMBAHASAN Media yang digunakan untuk isolasi bakteri Vibrio parahaemolyticus yaitu media pengaya SPB yang mengandung antibiotik Polymixin B, dimana bakteri V.parahaemlyticus resisten terhadap antibiotik ini, dan masih memiliki aktivitas terhadap spesies vibrio, sehingga pertumbuhan V. parahaemolyticus akan tetap berlangsung, sedangkan pertumbuhan spesies vibrio lainya dihambat. Pada media SPB harus ditambahkan 3% NaCl yang bertujuan untuk meningkatkan jumlah V.parahaemoyticus sebagai spesies vibrio halofilik dan menekan Terapi utama untuk mengatasi dehidrasi pada penyakit gastroenteritis adalah penggantian cairan dan elektrolit baik secara oral maupun secara intravena. Walaupun demikian, terapi 44 SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045 dengan antibiotik juga penting karena dalam beberapa kasus, terapi dengan antibiotik dapat mengurangi durasi diare dan ekskresi serta mengontrol penyebaran penyakit ini, sehingga hasil pengujian sifat resisten V. parahaemolyticus terhadap antibiotik sangat penting untuk pemilihan antibiotik yang tepat (Ganiswara, 1995). Uji resistensi terhadap antibiotik pada penelitian ini menggunakan metode difusi krumpermen karena metoda ini merupakan metoda yang sederhana tetapi efektif memberi informasi untuk pengujian sifat resisten bakteri terhadap beberapa antibiotik. diperoleh 52,38% kultur resisten terhadap antibiotik ini, resistensi dapat timbul karena resistensi silang. Gentamisin merupakan senyawa aminoglikosida pilihan utama karena harganya murah dan aktivitasnya yang diandalkan terhadap semua infeksi kecuali terhadap bakteri aerob gram negatif yang paling resisten. Dari hasil yang diperoleh (26,19%), antibiotik ini masih peka dengan V.parahaemolyticus, namun penggunaan antibiotik ini harus diperhatikan karena memiliki efek samping yang berbahaya yakni dapat menimbulkan nefrotoksik (Goodman & Gilman, 2007). Ampisilin merupakan senyawa prototipe golongan aminopenisilin. Antibiotik ini bersifat bakteriostatik terhadap bakteri gram positif dan gram negatif. Ampisilin bekerja dengan menghambat sintesa dinding sel bakteri. Dari hasil, diperoleh 76,19% kultur resisten terhadap antibiotik ini. Sulfametoksazol yang biasanya dikombinasikan dengan trimetoprim merupakan senyawa antibiotika yang efektif secara klinis. Kombinasinya akan berupa efek yang sinergis, namun pada penelitian ini digunakan Sulfametoksazol. Dari hasil diperoleh 92,86% kultur resistensi terhadap sulfametoksazol. Resistensi dapat timbul karena penyebaran resistensi yang diperantarai oleh plasmid. Kloramfenikol adalah salah satu obat alternatif untuk diare (Ganiswara, 1995). Antibiotika ini bekerja menghambat enzim petidil transperase yang berperan sebagai katalisator untuk membentuk ikatan peptida pada proses sintesis protein bakteri. Umumnya bersifat bakteriostatik, pada konsentrasi tinggi kadang-kadang bersifat bakterisid. Dari penelitian ini diperoleh hasil 19,05% kultur resisten terhadap kloramfenikol. Hal ini berarti antibiotik ini masih dapat digunakan sebagai terapi. Resistensi pada kloramfenikol dapat muncul bila bakteri mampu membentuk enzim kloramfenikolasetil tranferase yang mampu merusak aktivitasnya. Tetrasiklin bersifat bakteriostatika dan bekerja menghambat sintesa protein bakteri pada ribosom yaitu berikatan dengan ribosom 30S dan menghalangi masuknya kompleks tRNA asam amino pada lokasi asam amino (Ganiswara, 1995). Timbulnya resistensi terhadap tetrasiklin (26,19%) terjadi karena proteksi melalui ribosom oleh protein sitoplasma.. Dari sekian banyak pola resistensi antibiotika terhadap isolat, ternyata sulfametoksazol mempunyai tingkat resistensi yang tinggi. Bakteri V.parahaemolyticus resistensi terhadap sulfametoksazol (Handayani, Y, 2006). Resistensi suatu bakteri gram negatif dinyatakan tinggi jika mempunyai nilai Multiple Antibiotics Resistence (MAR) > 0,2. Dari Eritromisin termasuk golongan makrolida yang bersifat bakteriostatika tapi dapat juga bersifat bakterisida dalam konsentrasi yang tinggi terhadap organisme yang rentan. Dari hasil, 45 SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011 ISSN : 2087-5045 by ELISA”, Microbiol, 142, 27672776 Mier, R.M., I.L. Pepper and C.P. Gerba, 1996, Environmental Microbiology, 5th Ed, International Thompson Publishing, California Boyd, F.R. and J.J. Mar., 1980, Medical Microbiology, Little Brown and Company, Boston Doyle, M., 1989, Foodborne Bacterial Pathogens, Marcell Dekker Inc., New York Ganiswarna, G.S., dkk., 1995, Farmakologi dan Terapi, UI-Press, Jakarta Pelczar, M. J., dan E. C. S. Chan, 1988, Dasar-Dasar Mikrobiologi, Jilid II, diterjemahkan oleh Ratna. S. H, dkk, UI-Press, Jakarta, Radu, S., M. Vincent., K. Apun., R.A. Rahim., P.G. Benjamin., Yuherman and G. Rusul, 2002, “Molecular Characterization of Vibrio cholerae O1 Outbreak Strain in Miri, Sarawak (Malaysia)”, Acta Tropica, 83, , 169-176 Waturangi, D.E., 2000, ”Keanekaragaman Genetik serta Uji Resistensi Antibiotik Escherichia coli yang Diisolasi dari Feses Farunus spp”, http://www.hayati.ipb.com Goodman & Gilman, 2007, Farmakologi Dan Terapi. EDISI ke-10. Vol 2. ITB. Jakarta penelitian ini diperoleh nilai MAR ratarata adalah 0,46. Hal ini menunjukan bahwa bakteri V.parahaemolyticus mempunyai tingkat resistensi yang cukup tinggi terhadap antibiotik yang digunakan. KESIMPULAN Dari penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : Hasil uji resistensi dari 42 kultur murni V.parahaemolyticus menunjukkan bahwa 76,19 % kultur resisten terhadap ampisilin, 19,05 % kultur resisten terhadap kloramfenikol, 52,38 % resisten terhadap eritromisin, 26,19 % resisten terhadap gentamisin, 92,86 % resisten terhadap sulfametoksazol, 26,19 % resisten terhadap tetrasiklin. Nilai Multiple Antibiotics Resistence (MAR) yang diperoleh berkisar antara 0,3 – 0,8 dengan nilai MAR rata-rata adalah 0,46. Hal ini menunjukan bahwa bakteri V.parahaemolyticus mempunyai tingkat resistensi terhadap antibiotik yang cukup tinggi. DAFTAR PUSTAKA Gerard, 1982, Mikrobiologi Kedokteran, PT. Gramedia, Jakarta Barrow, G.I, 1993, Cowan and Steel’s Manual for the Identification of Medical Bacteria, 3rd Ed, Cambridge Univercity Press. Postnova, T., O.G. Gomez-duarte and K. Richardson, 1996, ”Motility Mutants of Vibrio cholerae 01 have Reduced Adherence in vitro to Human Small Intestinal Epithelial Cells as Demonstrated 46