2 PENDAHULUAN Mikroorganisme yang tumbuh di lingkungan ekstrim seperti kawah gunung berapi ataupun sumber air panas memiliki cara pertahanan diri agar dapat bertahan hidup. Cara yang dilakukan mikroorganisme antara lain dengan menahan masuknya senyawa anorganik toksik seperti selenium atau dengan mekanisme resistensi dalam sel mikroorganisme dengan mengubah senyawa toksik menjadi tidak toksik. Bakteri yang hidup di tempat ekstrim seperti bakteri termofilik (tahan suhu tinggi) memiliki mekanisme resistensi senyawa logam berat seperti selenium toksik sehingga bakteri termofilik tetap dapat bertahan pada lingkungan mengandung selenium (Rosen 1996). Mekanisme resistensi disebabkan adanya gen yang menyandikan protein sehingga dapat berikatan dengan senyawa selenium dan diubah menjadi kompleks selenium-protein yang tidak toksik. Kompleks selenium-protein dapat digunakan sebagai komponen sisi aktif dari enzim glutation peroksidase. Enzim ini berperan sebagai enzim antioksidan dalam melindungi sel dari radikal bebas. Radikal bebas adalah suatu molekul oksigen dengan atom pada orbit terluarnya memiliki elektron tidak berpasangan. Akibatnya radikal bebas selalu mencari pasangan elektron, tetapi dengan cara radikal yaitu mengambil elektron dari molekul lain, maka itu disebut Reactive Oxygen Species (ROS). Radikal bebas dalam jumlah berlebihan di dalam tubuh akan sangat berbahaya karena menyebabkan kerusakan sel, asam nukleat, protein, dan jaringan lemak. Radikal bebas dapat terbentuk akibat produk sampingan hasil metabolisme ataupun karena tubuh terpapar radikal bebas melalui pernapasan (Dalimarta & Soedibyo 1998). Tubuh manusia meskipun mempunyai mekanisme antioksidan atau antiradikal bebas secara endogenik tetapi bila jumlah radikal bebas dalam tubuh berlebih maka dibutuhkan antioksidan dari luar tubuh. Senyawa antioksidan ini akan memberikan satu atau lebih elektronnya pada radikal bebas. Jika tidak, radikal-radikal bebas dapat menyebabkan kerusakan sel dan menimbulkan kanker. Sejumlah penelitian menggunakan biakan sel kanker telah menunjukkan bahwa apoptosis adalah mekanisme utama sehubungan dengan efek antikanker dari selenium. Studi awal mengenai apoptosis yang diinduksi selenium dilakukan menggunakan selenit dan menunjukkan adanya kerusakan oksidatif DNA sedangkan studi menggunakan selenium termetilasi membuktikan bahwa efek apoptosis dari selenium tidak berhubungan dengan efek toksiknya. Hasil-hasil penelitian menunjukan bahwa struktur kimia senyawa selenium dan dosis pemberian merupakan penentu aktivitas biologiknya baik sebagai nutrien utama maupun senyawa bersifat kemopreventif untuk kanker, atau sebagai zat toksik (Sari 2007) . Belum diteliti mengenai adanya kemungkinan gen resistensi selenium dari bakteri termofilik. Keberadaan gen resistensi selenium perlu diketahui maka dilakukan kloning gen. DNA bakteri termofilik dipotong-potong secara spesifik dan diharapkan mewakili gen resistensi selenium. Selanjutnya fragmen DNA disisipkamkan ke dalam vektor sehingga menghasilkan vektor rekombinan. Hasil transformasi ditransfeksi ke dalam sel inang yaitu E.coli dan ditumbuhkan ke dalam media yang mengandung antibotik dan IPTG X-gal sehingga dapat diidentifikasi sel rekombinan hasil transformasi (Lampiran 1). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan isolat bakteri termofilik yang memiliki gen penyandi resistensi selenium (Se) dari sumber air panas dan mengklon gen resistensi selenium ke dalam sel bakteri E. coli sehingga dapat diperbanyak. Manfaat dilakukannya penelitian ini adalah diperolehnya informasi ilmiah tentang gen penyandi resistensi selenium. Hipotesis penelitian ini adalah gen resistensi selenium dapat diidentifikasi, diisolasi, dan diklon ke dalam sel E. coli. TINJAUAN PUSTAKA Bakteri Termofilik Bakteri termofilik merupakan salah satu bakteri yang unik karena dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan bersuhu tinggi. Kisaran suhu pertumbuhan bakteri yang ekstrim dibagi tiga yaitu termofilik 45-65 ºC, ekstrim termofil 65-85 ºC, dan hipertermofil 85-110 ºC. Mikroorganisme ini dapat dengan mudah ditemukan di daerah dengan aktivitas geotermal, seperti daerah pegunungan berapi, sumber air panas, dan juga tempata cadangan minyak bumi atau batubara (Van den Burg 2003). Bakteri termofilik pertama kali diisolasi pada tahun 1879 oleh Miquel, penemu bakteri