STRATEGI MANAJEMEN PROGRAMMING PADA STASIUN TELEVISI SWASTA LOKAL JTV SURABAYA Oleh: Tantri Yudhientia (070610351) [email protected] ABSTRAK Jtv adalah salah satu pelopor televisi swasta lokal di Indonesia dan merupakan yang pertama di jawa timur. Didirikan pada november 2001, JTV masih bertahan hingga sekarang dan mampu bersaing dengan televisi-televisi lainnya. Sebagai media penyiaran, produk yang dijual oleh JTV ini adalah program acara yang mengusung nilai-nilai lokalitas Jawa Timur.. Karena itu, JTV harus memiliki strategi manajemen programming serta mampu mengaplikasikan dengan baik agar program acaranya bisa menarik masyarakat dan pengiklan. Walau strategi manajemen programming ini meliputi beberapa tahapan, mulai dari perencanaan, produksi dan pembelian, eksekusi, hingga pengawasan dan evaluasi program, namun di JTV, proses manajemen programming ini terlihat pada tahapan perencanaan. Hal ini karena semua konsep rancangan program dibuat dan diputuskan pada tahap ini. Pada perencanaan program, peran dewan direksi sangat besar, karena mereka yang memutuskan disetujui atau tidaknya ide program. Selain itu eksekutif produser dan produser juga memegang peranan penting, yaitu sebagai perancang konsep program. Kata kunci: strategi manajemen programming, JTV, televisi swasta lokal PENDAHULUAN Televisi yang sifatnya yang berupa perpaduan antara audio dan visual membuat media ini lebih disukai daripada media komunikasi massa lainnya. Hal ini membuat televisi menjadi lebih menarik dan menghibur. Tayangannya pun murah meriah, untuk menikmatinya tidak dipungut biaya, masyarakat dari berbagai kalangan yang memiliki televisi dapat dengan mudah menikmati media ini. Hal ini senada dengan Fidler (2003, hal.166), bahwa medium ini (televisi) telah menembus hampir semua lapisan sosial dan ekonomi, dan telah menyebar dari ruang duduk ke ruang makan, dapur, kamar tidur, dan bahkan kamar mandi di sebagian rumah. Perkembangan teknologi yang semakin canggih membuat masyarakat dapat menikmati siaran televisi dimana saja, tidak hanya di rumah dengan pesawat dan antena. Tidak sedikit orang yang memasang televisi di dalam mobil sebagai teman di perjalanan. Bahkan, media ini bisa dinikmati melalui handphone yang memiliki fitur-fitur tertentu. Disamping itu, melihat siaran televisi juga dapat dilakukan melalui internet. Berbagai kemudahan dari modernisasi teknologi tersebut, kini masyarakat dapat lebih fleksibel dalam meluangkan waktu untuk menonton televisi. 1 Berbagai keunggulan yang ditawarkan televisi membuatnya lebih disukai daripada media massa lainnya. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Wirodono (2005), bahwa penetrasi media televisi mencapai 90,7%, sedangkan jenis media lain seperti radio mencapai 39%, surat kabar 29,8%, majalah 22,4%, internet 8,8% dan orang menonton bioskop 15%. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa konsumsi terbesar masyarakat terhadap media massa adalah televisi, yang kemudian diikuti oleh media massa lainnya. Bahkan menurut Azizah (2008), Sebuah penelitian mengatakan, rata-rata penduduk Indonesia menonton televisi sebanyak 50 jam dalam seminggu, sedangkan anak-anak sebanyak 20 jam dalam seminggu. Konsumen televisi yang besar membuat bisnis televisi menjadi industri yang menjanjikan. Tidak mengherankan apabila perkembangan televisi menjadi begitu pesat. Melihat dari sejarahnya, televisi pertama di Indonesia adalah Televisi Republik Indonesia yang pertama kali beroperasi pada tanggal 17 Agustus 1962. Mengusung moto “Menjalin Persatuan dan Kesatuan”, selama hampir seperempat abad, televisi ini menjadi satu-satunya televisi yang ada di Indonesia. Namun dominasi tersebut pudar seiring dengan dikeluarkannya ijin pendirian televisi swasta. Televisi swasta pertama yaitu Rajawali Citra Televisi (RCTI) yang berdiri pada tahun 1989. Setahun kemudian, tepatnya tahun 1990, Surya Citra Televisi (SCTV) beroperasi. Setelah itu, televisi-televisi swasta nasional lain mulai bermunculan, seperti TPI, ANTV, Indosiar, Global TV, Trans TV, TV7 (sekarang Trans7), Lativi (sekarang TvOne), serta Metro TV. Televisi-televisi swasta yang ada di Indonesia, bisa disebut sebagai televisi komersial, tentu lebih mengutamakan tayangan-tayangan yang berupa hiburan. Senada dengan yang diungkapkan Siregar (2001, hal.75) bahwa dalam menjalankan fungsinya sebagai media massa, televisi komersial tidak lepas dari hiburan. Bisa dilihat bahwa saat ini, news atau program berita pun seringkali disajikan dengan cara yang menghibur. Gaya presenter berita pun berubah menjadi lebih santai dan tidak terlalu kaku. Dengan gaya penyajian yang seperti itu, program news diharapkan membawa nuansa baru yang bisa lebih diterima masyarakat. Berdasar dalih menjangkau seluruh masyarakat sebagai konsumen, televisi menjadikan pasar sebagai tolok ukur sukses atau tidaknya suatu acara. Menurut Ishadi SK, terdapat beberapa faktor pemasang iklan akan menayangkan iklannya di televisi. Pertama adalah kualitas audio dan video. Dengan kualitas audio dan video yang bagus, maka televisi tersebut akan dilihat penonton. Faktor kedua adalah kualitas programnya. Pengiklan kadangkala melihat tema sebuah program, sesuai atau tidak dengan produknya. Misalnya saja program infotainment yang segmennya ibu rumah tangga, maka akan pas apabila 2 menampilkan iklan mengenai barang-barang kebutuhan rumah tangga seperti detergen dan sebagainya. Faktor ketiga adalah image stasiun televisi tersebut, apakah sudah sangat kuat, sehingga menjadi pilihan penonton atau tidak. Faktor selanjutnya yang tidak bisa dikesampingkan adalah penyebaran siaran seberapa jauh atau coverage area. Makin luas coverage area-nya, maka akan semakin menarik karena akan semakin banyak masyarakat yang menonton acara televisi tersebut. Sedangkan faktor terakhir adalah rating (Tempo, n.d). Sayangnya, sepuluh televisi swasta nasional kita seakan tidak memiliki ciri khas, bahkan tak jarang stasiun televisi menyajikan program yang hampir sama. Seperti yang diungkapkan oleh Vivian (2008, hal.32), bahwa dengan berorientasi pada keuntungan, kebanyakan pengelola media tidak mau mengambil resiko untuk rugi dan di tinggalkan penonton, sehingga mereka seringkali mendaur ulang materi yang sama namun dengan kemasan yang berbeda demi mendapatkan uang dengan cara cepat. Fenomena ini seakan menunjukan tidak tampak adanya perbedaan antara televisi yang satu dengan televisi lainnya. Menurut Mulyana (2008, hal.75), bahwa jumlah televisi saat ini sudah terlalu banyak, tetapi dengan pola siaran yang relatif seragam, kecuali Metro TV yang agak berbeda. Siregar (2001, hal.75) menjelaskan, dengan program yang sama secara substansial dan khalayak yang juga sama, yang membedakan nantinya hanyalah waktu penempatan program saja. Kebutuhan akan desentralisasi informasi ini akhirnya memunculkan inisiatif untuk mendirikan televisi yang sifatnya lokal di berbagai daerah. Kehadiran stasiun televisi lokal diharapkan dapat mengangkat budaya dan kearifan lokal (local genius) yang hidup dan berkembang di masyarakat, sehingga akan terjadi proses pembelajaran dan penanaman nilainilai (positif) budaya setempat (Harian Sumatera Ekspres, 25 Agustus 2005). Televisi lokal mulai mempunyai harapan saat Undang Undang No. 32 Tahun 2002 Penyiaran diluncurkan pada 28 November 2002. Peraturan ini memberi pengakuan hukum atas eksistensi lembaga penyiaran lokal, baik swasta, komunitas, maupun publik. Bahkan, ada satu klausul yang membatasi siaran televisi nasional dengan mengharuskannya berjaringan dengan televisi-televisi lokal (Sudibyo 2004, hal.102). Tujuan UU ini mengatur tentang Sistem Siaran Berjaringan untuk meletakkan pondasi bagi sistem desentralisasi penyiaran, yaitu memberikan keleluasaan untuk pembangunan ekonomi, kesejahteraan masyarakat di daerah, juga agar tidak terkonsentrasi dipusat (Setiakarya, 2008). Salah satu stasiun televisi lokal yang berdiri adalah JTV. berdiri pada November 2001, JTV tentu tidak akan bisa hidup hingga sekarang jika programnya tidak menarik 3 perhatian penonton. Tanpa didukung dengan strategi manajemen pemrograman yang kuat, tipis harapan televisi ini akan bisa menjadi besar seperti sekarang. Persaingan usaha di bidang media massa, khususnya televisi, membuat para pelaku media berlomba-lomba mencari cara agar program acaranya laku dan dilihat oleh masyarakat. Berbagai macam program televisi, termasuk JTV, dikemas dengan berbagai macam bentuk agar dapat menarik perhatian masyarakat dan dapat dinikmati oleh pemirsanya. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi para pelaku media. Berbagai keunggulan program pun ditawarkan. Hal ini dilakukan sematamata agar stasiun televisi tersebut bisa bertahan hidup. Program yang ditayangkan JTV ini 90% mengangkat budaya Jawa Timuran. Tidak hanya itu, beberapa program acara JTV (termasuk acara berita, dialog, dan sinetron) disajikan dalam Bahasa Jawa Dialek Surabaya (Boso Suroboyoan), diantaranya yaitu Pojok Kampung, Pojok Medhureh (berita dalam Bahasa Madura), dan Pojok Kulonan, yaitu berita dalam Bahasa Jawa Tengahan (Gerr-JTV, n.d). Bahkan, yang menarik adalah film dari luar negeri yang di dubbing menggunakan bahasa Suroboyan. Di Jawa Timur sendiri, JTV merupakan media yang banyak ditonton oleh masyarakat. Menurut Fatekhul Mujib, M.Si, peneliti Republik Institut, JTV termasuk televisi lokal yang fenomenal karena ditonton oleh lebih dari 57% masyarakat Jatim, mengalahkan televisitelevisi swasta nasional, misalnya Indosiar, TVOne, dan sebagainya. Tentunya dalam menghadapi persaingan tersebut, JTV harus memiliki strategi manajemen programming serta mampu mengaplikasikan dengan baik agar program acaranya berhasil menarik perhatian masyarakat dan juga pengiklan. PEMBAHASAN Segmentasi Penonton JTV Keberhasilan suatu media penyiaran tergantung kepada mampu atau tidaknya media tersebut dalam memahami khalayaknya. Sebagai sebuah media yang berbasis lokal, JTV diharap mampu membuat program yang sesuai dengan budaya setempat. Untuk itu, penentuan segmentasi penonton perlu dilakukan. Menurut Morissan (2008), segmentasi khalayak atau audien adalah suatu strategi untuk memahami struktur audien. Dengan adanya segmentasi ini, maka khalayak yang dituju akan lebih spesifik. Program yang disajikanpun bisa tepat sasaran, sehingga masyarakat merasakan adanya proximity atau kedekatan dan rasa memiliki terhadap program yang disajikan. 4 Pemetaan khalayak JTV sendiri termasuk dalam geodemografis, yang merupakan gabungan dari demografis dan geografis. Mengingat bahwa JTV merupakan stasiun televisi swasta lokal Jawa Timur, maka dalam masyrakat terdapat adanya kebutuhan yang sama dalam hal informasi mengenai daerahnya sendiri, baik itu berupa berita, kebudayaan, hiburan, dan sebagainya. Ini senada dengan Shrimp (2003, hal.149), bahwa dasar dari geodemografis ini adalah bahwa orang-orang yang menetap di area yang sama, misalnya tetangga atau dalam zona kode area, juga memiliki persamaan dalam demografi dan gaya hidup. Strategi Manajemen Programming JTV Strategi manajemen programming diperlukan oleh sebuah media televisi diperlukan untuk merencanakan bagaimana agar program yang ditayangkan bisa menarik banyak penonton dan pengiklan. Hal ini karena sebagai media penyiaran, khususnya televisi, JTV menjual program sebagai produk utamanya. Tanpa strategi manajemen programming yang baik, maka bisa dipastikan suatu televisi akan kehilangan penonton sekaligus juga pengiklan. menurut Peter Pringle dkk, (Morissan 2008, hal.231) strategi program dibagi menjadi beberapa bagian ditinjau dari strategi manajemennya, yaitu mulai dari perencanaan program, produksi dan pembelian program, eksekusi program, hingga pengawasan dan evaluasi program. Strategi manajemen programming pada JTV dapat dijelaskan melalui skema sebagai berikut: Direksi Tim produksi Departemen lain Ide program Proposal oleh produser dan eksekutif produser Perencanaan Program Direktur utama Direktur News dan Program Direktur marketing Rapat Manajemen atau Board of Director (BOD) Wakil direktur 5 Direktur keuangan Direktur Teknik dan Produksi Diterima Diproduksi Ditolak Produksi dan Pembelian Program membeli program Eksekusi Program Penayangan program acara Rating rendah Rating tinggi/stabil dipertahan kan modifikasi Pengawasan dan Evaluasi Program Perencanaan Program JTV Perencanaan program perlu untuk dilakukan agar program yang dibuat nantinya sesuai dengan apa yang sudah ditentukan sebelumnya, yaitu program yang sesuai dengan ciri khas masyarakat dan daerah Jawa Timur. Dengan adanya perencanaan ini, maka output program nantinya akan sesuai dengan konsep, dan tidak melenceng kemana-mana. Segala sesuatu yang berhubungan dengan program akan dibicarakan dalam proses perencanaan ini, mulai dari jenis program, jadwal tayang, dan hubungannya dengan pengiklan. Menurut Morissan (2008, hal.233) perencanaan program biasanya menjadi tanggung jawab manajemen puncak stasiun penyiaran. Dalam perencanaan program ini, terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi dalam penentuan program, diantaranya yaitu pengelola atau pemilik stasiun, audiens, pemasang iklan atau sponsor, serta regulator. Pengelola atau pemilik stasiun Dalam perencanaan program ini, pemegang kekuasaan memiliki peran penting dalam penentuan program. Sebagai instutusi bisnis, televisi melibatkan perputaran uang yang 6 jumlahnya tidak sedikit. Setiap hal memiliki resiko dan keuntungan sendiri-sendiri. Perencanaan awal harus benar-benar dipertimbangkan secara matang, oleh karena itu, keputusan yang paling penting ditentukan oleh pihak Top manajemen. Hal ini pula yang telah dilakukan oleh JTV. Pada JTV, alur dari perencanaan program ini bermula dari ide program yang bisa diusulkan oleh berbagai pihak, baik usul dari dewan direksi, tim produksi sendiri, maupun dari divisi lain dalam institusi tersebut. Ide tersebut diutarakan kepada produser dan direncanakan konsepnya secara matang melalui pembuatan proposal. Setelah proposal konsep selesai kemudian dibawa ke rapat manajemen, dimana yang menghadiri rapat tersebut adalah para decision maker, yaitu orang-orang di tingkatan top manajemen. Jika pada rapat, tersebut sebuah ide program disetujui, maka ide tersebut akan dieksekusi. Pada rapat manajemen, para top manajemen, direktur utama, wakil direktur, serta direktur masing-masing divisi terlibat, mulai dari news dan program, teknik dan produksi, serta tidak ketinggalan pula divisi marketing dan divisi keuangan. Keputusan para decision maker ini dapat berguna dalam memberikan pertimbangan program, karena mereka sudah memahami dengan baik program apa yang sekiranya bagus untuk ditayangkan agar mendapatkan profit yang sebesar-besarnya dengan resiko kerugian yang sekecil-kecilnya. Di sini terlihat bagaimana para top manajemen JTV merupakan inti dari stasiun televisi swasta lokal ini. Kemana arah televisi ini, yang direpresentasikan melalui programprogramnya, ditentukan oleh mereka. oleh karena itu para decision maker ini haruslah terdiri dari orang-orang yang sudah memiliki pengalaman yang tidak sedikit dalam dunia pertelevisian. Audiens Audiens berpengaruh dalam penentuan program karena audiens sebagai konsumen yang keinginan dan kebutuhannya diwujudkan dalam bentuk program. Salah satu wujud mengakomodasi keinginan masyarakat adalah dengan dibuatnya program yang dekat dengan kehidupan mereka sehari-hari dan sesuai dengan keinginan mereka. Menurut J. David Lewis, pengaruh audiens dalam keputusan perencanaan program adalah dalam bentuk pemberian umpan balik (feedback) secara langsung dan laporan peringkat (rating) program (dalam Morissan 2008, hal.245). Hal tersebut juga terjadi di JTV, tidak dapat dipungkiri bahwa sebagai sebuah institusi bisnis JTV memerlukan audiens untuk menarik minat para pengiklan. Program yang dianggap sesuai dengan apa yang diinginkan 7 oleh audiens otomatis akan membuat program itu ditonton oleh banyak orang, yang berakibat tingginya jumlah rating, sehingga akan mengundang minat pengiklan untuk mengiklankan produk pada program tersebut. Senada dengan Peter Pringle (dalam Morissan 2008, hal.245), bahwa program yang gagal menarik pendengar atau pemirsa, atau gagal untuk memuaskan kebutuhan mereka, berada dalam posisi berbahaya. Begitu pula keuangan stasiun bersangkutan. Pemasang iklan atau sponsor Sebagai sebuah institusi bisnis, JTV berorientasi pada profit. Untuk itu, JTV berusaha menarik pengiklan sebanyak-banyaknya, selain untuk mendapatkan keuntungan, juga untuk membiayai operasional televisi yang sangat besar. Pada JTV, masuknya iklan pada suatu ada dua jenis, yaitu: 1. Iklan yang datang. Iklan yang datang ini bisa dikarenakan karena tertarik pada jam tayang yang sekiranya sesuai dengan ketersediaan target market mereka. selain itu pengiklan bisa juga tertarik pada program yang ditayangkan. Contohnya yaitu program solusi sehat. Program ini merupakan program talkshow tentang masalah kesehatan, misalnya diabetes, darah tinggi dan sebagainya. salah satu pengiklan yang mengiklankan produk di sini adalah obat sakit kepala Parameks. Di sini Parameks melihat tema program yang sesuai dengan produknya, yaitu tentang kesehatan. 2. Iklan yang diminta Iklan yang diminta ini yaitu menawarkan kepada pengiklan atau instutusi yang sekiranya sesuai, untuk mengadakan kerjasama dalam program. Bisa jadi institusi pemerintah seperti kemendikbud, pemkot, pemprov, maupun pengiklan komersial. Contohnya yaitu liputan mengenai acara Ulang Tahun Surabaya. Di sini JTV menawarkan untuk meliput acara. Dengan adanya kerjasama tersebut, selain mendapat program untuk ditayangkan, JTV juga mendapat keuntungan dari biaya yang dibayarkan untuk penayangan. Regulator Regulator yaitu lembaga yang berwenang dalam mengawasi jalannya suatu media penyiaran. regulator inilah yang akan bertindak apabila mendapati penyimpangan pada suatu media penyiaran. JTV sendiri sebisa mungkin tidak melanggar peraturan dalam operasionalnya. 8 Peran regulator ini tidak hanya dalam program, bahkan pengaturan jenis iklan dan jam tayang iklan pun sebisa mungkin tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah. Selain itu hal-hal yang sekiranya tidak pantas ditonton harus dieliminasi, misalnya berpakaian terlalu terbuka, kata-kata makian, dan sebagainya. Selain program yang tidak boleh bertentagan dengan ketentuan dari regulator, jenis dan jam tayang iklan pun harus diperhatikan. Contohnya adalah iklan rokok atau iklan produk keharmonisan pasangan suami istri yang target marketnya adalah laki-laki atau perempuan dewasa. Iklan jenis ini hanya boleh ditayangkan di atas jam sepuluh malam dimana ketersediaan audiens anak-anak atau remaja sangat sedikit. Produksi dan Pembelian Program JTV Setelah tahap perencanaan program, langkah selanjutnya yaitu melaksanakan rencana program yang telah dibuat, atau dengan kata lain disebut dengan produksi program. Dilihat dari siapa yang memproduksi program, maka terdapat dua tipe program, yaitu program yang diproduksi sendiri dan program yang diproduksi pihak lain (Morrisan 2008, hal.267). Produksi program ini yang dilakukan dengan membeli program dari pihak lain biasa disebut outsourcing, sementara yang diproduksi sendiri biasa disebut in house production. Pertimbangan untuk outsourcing maupun in house tidak lepas dari kesiapan sumber daya manusia, finansial, dan teknologi yang telah dimiliki oleh masing-masing stasiun televisi (Sugihartono 2009, hal.5). Di JTV sendiri, perbandingan untuk in house production dan outsourcing adalah 9:1, yaitu 90% program dibuat sendiri, sementara sisanya didapat dari pihak luar. Selama ini karakteristik program yang dibuat sendiri oleh JTV adalah mengusung potensi dan budaya daerah yang dikemas dengan cara yang kreatif. Misalnya saja Goro-Goro Kartolo yang merupakan kesenian ludruk yang dikemas dengan unsur komedi. Begitu juga dengan program Ngetoprak Bareng Kirun. Program yang dibuat sendiri unsur lokalitasnya lebih kental terasa. Berbeda halnya dengan dan Program yang dibeli. Jenis programnya adalah yang bersifat umum, tidak ada kekhasan di dalamnya. Contohnya yaitu program Kartun anak, film Asia, dan Film barat. Eksekusi Program JTV Eksekusi program mencakup kegiatan menayangkan program sesuai dengan rencana yang sudah ditetapkan (Morrisan 2008, hal.302). Eksekusi ini merupakan proses pelaksanaan dari rencana program yang telah dibuat. Eksekusi program ini hendaknya dibuat sedemikian rupa agar tidak menyimpang terlalu jauh dari perencanaan semula. Sesuai dengan sifat media 9 penyiaran yang tidak bisa diulang (kecuali progam rerun), maka konsep program, waktu penayangan, audiens, kompetitor diperhatikan dengan seksama. Pada JTV, eksekusi program ini merupakan pelaksanaan dari perencanaan yang sudah dirancang dengan matang sebelumnya, yaitu penayangan program pada stasiun televisi JTV ini sehingga dapat ditonton oleh masyarakat. Pengawasan dan Evaluasi Program JTV Pengawasan dan evaluasi program merupakan tahapan untuk melihat apakah program yang ditayangkan sudah sesuai dengan yang diharapkan atau tidak. Proses pengawasan dan evaluasi ini untuk menentukan seberapa jauh suatu rencana dan tujuan sudah dapat dicapai atau diwujudkan oleh stasiun penyiaran (Morrisan 2008, hal.314). Pada tahap ini nantinya akan dievaluasi apa saja yang menjadi kelebihan dan kekurangan selama pelaksanaan program. Standart utama bagus atau tidaknya program di ukur melalui rating penonton. Jika ratingnya bagus, maka program tersebut akan dipertahankan. Jika ratingnya turun, maka akan dilakukan modifikasi. Seperti yang sudah disebutkan dalam strategi buaian, dilakukan beberapa modifikasi agar penonton tidak jenuh, misal dengan melakukan perubahan setting, penambahan presenter, dan sebagainya. Modifikasi ini akan dilakukan sampai beberapa kali, namun jika setelah melakukan revisi berkali-kali tetap tidak ada perubahan, dalam artian rating tetap juga naik dan pendapatan iklan menurun atau bahkan tidak ada sama sekali, maka program tersebut akan dihentikan dan diganti dengan program yang baru. KESIMPULAN Strategi manajemen programming ini terdiri dari beberapa tahapan, yaitu perencanaan program, produksi dan pembelian program, eksekusi program, serta pengawasan dan evaluasi program. Namun di JTV, proses programming ini terlihat pada tahapan perencanaan. Hal ini dikarenakan dalam tahap perencanaan tersebut, semua hal baik ide program, target penonton, target pengiklan, budget, hingga jadwal tayang dirancang dan diputuskan pada tahap ini. Sementara tahapan-tahapan selanjutnya dari strategi manajemen programming merupakan pelaksanaan dari konsep program yang sudah ditetapkan pada tahapan perencanaan. Tahap perencanaan, peran dewan direksi sangat besar. Dewan direksi inilah yang memegang kunci untuk menentukan apakah suatu ide program disetujui untuk diproduksi atau tidak. Peran besar lainnya yaitu pada tim produksi, utamanya eksekutif produser dan 10 produser, karena pada tahap perencanaan, mereka yang merancang ide program menjadi sebuah konsep matang yang ditulis ke dalam proposal untuk kemudian dipresentasikan pada rapat manajemen atau Board of Director (BOD). DAFTAR PUSTAKA Morissan, M.A. 2008. Manajemen Media Penyiaran (Strategi Mengelola Radio & Televisi). Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Mulyana, Deddy. 2008. Komunikasi Massa: Kontroversi, Teori, dan Aplikasi. Widya Padjadjaran. Shimp, Terence A. 2003. Periklanan Promosi (Aspek Tambahan Komunikasi Pemasaran Terpadu), Erlangga, Jakarta. Siregar, Ashadi. 2001. Menyingkap Media Penyiaran (Membaca Televisi Melihat Radio). LP3Y, Yogyakarta. Sudibyo, Agus. 2004. Ekonomi Politik Media Penyiaran. LkiS, Yogyakarta. Undang-Undang Penyiaran & Pers. 2005: Fokus Media, Bandung. Vivian, John. 2008. Teori Komunikasi Massa (edisi kedelapan). Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Azizah, Nur, 2008, Remaja Melek Media, akses 25 Maret 2011 dari http://radio.jurnalperempuan.com/2008/01/rjp-425-remaja-melek-media/. Swa, 2005, Sampai kapan TV-TV Lokal Tekor Terus?, diakses 25 Maret 2011 dari http://swa.co.id/2005/02/sampai-kapan-tv-tv-lokal-tekor-terustanya/ Setiakarya, Adi, 2008, Menyambut TV Lokal, akses 25 Maret 2011 dari http://www.rumahdunia.net/wmview.php?ArtID=1139 Sugihartono, Ranang Agung. 2009. “Televisi Lokal sebagai Medium Pencitraan Lokalitas Daerah”. Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Surakarta. Tempo n.d, TV Swasta Orientasinya harus Earning, bukan Spending seperti TVRI, akses 26 Oktober 2010 dari http://www.tempo.co.id/harian/wawancara/waw-ishadisk.html Wirodono, Sunardian. 2005. Matikan TV-Mu! Teror Media Televisi di Indonesia, dari http://singleproduction.blogspot.com/2011/02/resensi-buku-matikan-tv-mu-terormedia.html. 11