SERUAN UNTUK AKSI DARI MASYARAKAT ADAT DI ASIA PADA KONFERENSI DUNIA TENTANG MASYARAKAT ADAT (WORLD CONFERENCE ON INDIGENOUS PEOPLES (WCIP)) Masyarakat Adat memiliki solusi yang beragam terhadap Krisis Global Abad ke-21 Krisis sosial, ekonomi, ekologi dan iklim yang saling terkait di abad ke-21 merupakan cerminan dari ketidakseimbangan struktural yang mendalam pada hubungan sosial dan ekologi didalam masyarakat dan dengan alam. Sejarah kolonisasi dari masyarakat adat dan penutupan dan eksploitasi tanah-tanah, wilayah and sumber daya mereka pada masa kolonial dan saat ini, telah melahirkan dan menyatukan suatu gerakan global masyarakat adat, yang berkomitmen untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia yang mendasar dan kelangsungan hidup serta kesejahteraan masyarakat adat di dunia. Intensifikasi dari globalisasi ekonomi dan jangkauan finansial dari perusahaan-perusahaan transnasional telah merambah ke semua bidang kehidupan adat dan tanah leluhur, disertai dengan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia mereka. Dampak negatif terhadap manusia dan bumi, dibawa oleh paradigma yang dominan dari pertumbuhan ekonomi modern dan pembangunan, menyerukan untuk alternatif dan visi yang beragam dari sosial dan ekologi di masa mendatang yang ditarik dari perspektif dan kontribusi-kontribusi positif dari masyarakat adat dalam mengatasi krisis-krisis global yang ada. Pertemuan Persiapan Asia untuk Konferensi Dunia tentang Masyarakat Adat (WCIP) dilaksanakan di Bangkok pada tanggal 8-9 November, 2012 Menyambut Resolusi A/RES/65/198 Majelis Umum PBB (United Nations General Assembly (UNGA)) tertanggal 3 Maret 2011 untuk mengadakan sidang pleno tingkat tinggi yang dikenal sebagai Konferensi Dunia tentang Masyarakat Adat ( World Conference on Indigenous Peoples (WCIP)), yang akan diadakan pada tahun 2014, untuk berbagi perspektif dan praktek-praktek yang terbaik dalam pelaksanaan hak-hak masyarakat adat, termasuk yang diakui dalam Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat (UNDRIP); Selanjutnya menyambut Resolusi UNGA A/66/L.61 tertanggal 17 September 2012, menyatakan bahwa WCIP harus menghasilkan dokumen singkat tentang hasil yang berorientasi tindakan dengan mempertimbangkan pandangan yang muncul dari proses persiapan melalui sidang interaktif informal dan konsultas i-konsultasi informal yang inklusif dan terbuka diantara dan antara negara-negara anggota dan masyarakat adat; Meyakinkan bahwa WCIP menawarkan kesempatan untuk membangun UNDRIP dan tujuan pembangunan yang ada dan telah disetujui secara internasional untuk lebih mendorong realisasi dari hak asasi masyarakat adat dalam dekade mendatang, dan masuknya visi-visi masyarakat adat dalam agenda pembangunan PBB paska 2015, termasuk elaborasi dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals (SDGs)). Menggarisbawahi bahwa adopsi dari UNDRIP, oleh UNGA pada tahun 2007, dengan suara dukungan yang luar biasa dari sebagian besar negara anggota-anggota PBB dari Asia dan seluruh dunia, merupakan sebuah komitmen global dalam mengatasi ketidakadilan sejarah yang dilakukan terhadap masyarakat adat dan menyoroti imperatif kontemporer untuk menghormati, melindungi dan mempromosikan hak-hak asasi manusia kolektif dan individu dan kebebasan mendasar dari masyarakat adat, diseluruh dunia; Menegaskan bahwa standar-standar dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam UNDRIP harus dianggap sebagai dokumen pedoman utama untuk meningkatkan hubungan yang harmonis dan kooperatif antara negara-negara dan masyarakat adat, berdasarkan prinsipprinsip keadilan, demokrasi, penghormatan terhadap hak asasi manusia, tanpa diskriminasi dan dengan itikad baik1; Menyambut, kerja Forum Permanen PBB mengenai Isu-isu Masyarakat Adat (UN Permanent Forum on Indigenous Issues (UNPFII)), Mekanisme Ahli PBB mengenai Hak-hak Masyarakat Adat ( UN Expert Mechanism on the Rights of Indigenous Peoples (EMRIP)) dan Pelaporan Khusus mengenai Hak-hak Masyarakat Adat, yang semuanya memberikan jalan untuk keterlibatan yang lebih fokus pada isu-isu masyarakat adat dalam sistem PBB; Pelaksanaan Komitmen Internasional untuk Pembangunan Berkelanjutan Menyoroti dokumen hasil “Masa Depan yang Kami Inginkan” dari Konferensi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan (Rio +20), yang menekankan pentingnya partisipasi dari masyarakat adat dalam pencapaian pembangunan berkelanjutan, dan mengakui pentingnya UNDRIP dalam konteks pelaksanaan global, regional, nasional, dan sub-nasional dari tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan dan strategi-strategi terkait2. Menyoroti juga pengakuan hak-hak masyarakat adat dan pentingnya pengetahuan tradisional mereka, inovasi-inovasi dan praktek-praktek yang relevan dengan Konvensi Rio dan proses-proses – seperti Rencana Strategis untuk Keanekaragamanan Hayati (20112020) d an Target-target Keanekaragaman Aichi, Protokol Nagoya tentang Akses terhadap Sumber Daya Genetik dan Pembagian yang Adil dan Wajar dari Manfaat-manfaat yang Timbul dari Pemanfaatannya, Instrumen yang Tidak Terikat secara Hukum terhadap Semua Jenis Hutan; serta berbagai program-program mengenai Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+) dibawah Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC). Menyambut pembentukan Landasan Kebijakan-Ilmu Antar-pemerintah tentang Jasa Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem (Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES)) dan masuknya sistem-sistem pengetahuan yang beragam, termasuk pengetahuan adat dan lokal, dalam kerjanya dalam rangka meningkatkan informasi terbaik yang tersedia untuk kebijakan yang relevan tentang keanekaragamanhayati untuk membantu pengambil keputusan; Memperhatikan kerja dari Komite Antar Pemerintah WIPO tentang Kekayaan Intelektual dan Sumber Daya Genetik, Pengetahuan Tradisional dan Cerita Rakyat (IGC) dengan tujuan 1 2 Pasal Pembuka dari UNDRIP, http://www.un.org/esa/socdev/unpfii/documents/DRIPS_en.pdf Pasal 49 dari “Masa Depan yang Kami Inginkan”, http://www.uncsd2012.org/content/documents/727The%20Future%20We%20Want%2019%20June%201230 pm.pdf mencapai kesepakatan mengenai suatu teks (beberapa teks) dari instrumen (beberapa instrumen) hukum internasional, yang akan menjamin perlindungan efektif atas Sumber Daya Genetik, Pengetahuan Tradisional dan Ekpresi Budaya Tradisional (TCEs); Menperhatikan penerapan kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi tentang Masyarakat Adat oleh beberapa badan PBB, lembaga-lembaga keuangan internasional serta badan-badan pembangunan bilateral dan multilateral; Mengutarakan keprihatinan bahwa masyarakat adat terus menjadi salah satu kelompok paling miskin dari masyarakat, dan bahwa kebutuhan khusus serta keadaan masyarakat adat yang yang masih belum memadai sesuai dengan dan yang ditargetkan oleh Tujuan-tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals (MDGs)) dan dalam Strategi-strategi Penanggulangan Kemiskinan; Juga prihatin bahwa meskipun adanya perjanjian ganda dan instrumen hukum lainnya terhadap keanekaragaman budaya dan pengetahuan tradisional, komersialisasi dari budaya adat dan penyalahgunaan pengetahuan adat dan tradisional serta warisan terus berlanjut; Mengakui tantangan-tantangan yang luar biasa dalam memenuhi tujuan-tujuan dan sasaran Dekade Internasional Kedua dari Masyarakat Adat Dunia (2004-2014) dan dalam operasionalisasi strategi-strategi, kebijakan-kebijakan dan program-program dari badanbadan PBB; Menggarisbawahi peluang-peluang yang ditawarkan kepada Negara-negara dan Masyarakat Adat, dalam pelaksanaan nasional dari tujuan-tujuan yang telah disepakati secara internasional ini, untuk masuk kedalam kemitraan yang baru, sejajar dan saling menghormati dan memperkuat yang sudah ada, dalam elaborasi rencana-rencana, kebijakan-kebijakan, undang-undang dan langkah-langkah administratif, konsisten dengan UNDRIP, dan prioritas masyarakat adat untuk pembangunan berkelanjutan yang ditentukan sendiri; Menekankan bahwa realisasi dari UNDRIP dan prinsip-prinsip dan standar-standar hak asasi manusia internasional lainnya, serta tujuan-tujuan pembangunan yang disepakati secara internasional mensyaratkan bahwa mereka dimasukkan kedalam dan diuraikan dalam undang-undang, kebijakan-kebijakan, langkah-langkah administratif pada tingkatan nasional dan lokal, dengan partisipasi penuh dan efektif dari masyarakat adat; Menegaskan kembali prinsip dan hak persetujuan bebas, didahulukan dan diinformasikan (free, prior and informed consent (FPIC)) dari masyarakat adat dalam pelaksanaan komitmen-komitmen internasional tersebut diatas, menggarisbawahi pembangunan kemitraan jangka panjang untuk keberlanjutan dan efektifitas pembangunan; Menyoroti kebutuhan untuk suatu pemahaman yang mendalam tentang konteks masyarakat adat dan komunitas-komunitas di Asia dan pedoman operasional yang tepat untuk mengatasi permasalahan tematik prioritas dari masyarakat adat di wilayah tersebut. Konteks Masyarakat Adat di Asia Mengingat sejarah yang kaya dari peradaban yang beragam, kebudayaan dan sistem-sistem politik dan hukum yang ada di Asia; Merayakan Asia, sebagai wilayah global, yang merupakan rumah bagi dua per tiga dari penduduk pribumi dunia, dengan masyarakat yang beragam yang mewakili identitas, budaya dan rezim hukum adat yang berbeda dari masyarakat adat; Mengingat bahwa masyarakat adat di Asia telah mengalami penjajahan, marginalisasi, pengucilan, diskriminasi, asimilasi secara paksa, dan eksploitasi tanah, wilayah dan sumber daya mereka; Prihatin bahwa beberapa perjanjian, kesepakatan dan pengaturan konstruktif lainnya antara masyarakat adat dan negara-negara Asia dan kolonial pendahulu mereka atau negara-negara lain tidak diakui, diamati dan ditegakkan dalam semangat sejati mereka; Prihatin pada tingkat lemahnya pelaksanaan perlindungan oleh negara-negara Asia yang terkandung dalam kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi tentang Masyarakat Adat, rekomendasi dari berbagai badan-badan perjanjian hak asasi manusia antar-pemerintah dan mekanisme PBB serta prosedur-prosedur dengan tujuan untuk mengatasi kekhawatiran masyarakat adat; Mengutarakan kepedulian bahwa sementara beberapa negara-negara Asia memberikan pengakuan konstitusional dan formal lainnya terhadap identitas dan hak-hak masyarakat adat, beberapa negara Asia lainnya masih enggan untuk mengakui dan menghormati identitas, martabat, hak-hak dan sistem politik dan yuridis dari masyarakat adat yang tinggal dinegaranegara tersebut; Lebih lanjut lagi menggungkapkan keprihatinan pada tidak dimasukkannya hak-hak masyarakat adat oleh Asosiasi Bangsa-bangsa Asia Tenggara (Association of Southeast Asian Nations (ASEAN)), termasuk Deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN yang disahkan pada bulan November 2012, dan memahami bahwa rencana integrasi ekonomi dan perjanjian perdagangan bebas ASEAN akan semakin meminggirkan masyarakat adat dan mendukung perdagangan orang untuk tenaga kerja; Waspada tentang percepatan perambahan kedalam wilayah masyarakat adat dan eksploitasi sumber daya alam mereka oleh perusahaan serta pemerintah, entitas non-pemerintah atau lainnya, tanpa FPIC dari masyarakat atau komunitas yang bersangkutan; Menyambut beberapa kemajuan menuju pelaksanaan UNDRIP di Asia, dan ratifikasi oleh beberapa negara Asia atas Konvensi ILO No. 169 dan mendesak Negara-negara lain untuk meratifikasi Konvensi tersebut; Mendorong pada inisiasi dan kelanjutan dari dialog-dialog antara beberapa Negara Asia dan Masyarakat Adat yang berusaha untuk menyelesaikan konflik-konflik kekerasan dan perselisihan dengan menandatangani perjanjian, kesepakatan dan pengaturan konstruktif lainnya; Mendorong bahwa masyarakat adat di Asia terus menegaskan identitas, pemerintahansendiri, sistem-sistem yuridis dan lembaga sosio-budaya, mata pencaharian tradisional dan sistem-sistem pengelolaan sumber daya mereka yang berbeda, dalam persentuhan mereka dengan arus utama sistem-sistem nasional, politik, budaya dan ekonomi serta kerangka kerja hukum. Pencarian Masyarakat Adat Asia untuk Penentuan Nasib Sendiri dan Pemerintahan Sendiri Di Asia, telah ada perkembangan-perkembangan positif dalam realisasi dari hak penetuan nasib sendiri dan pemerintahan sendiri termasuk melalui gerakan-gerakan dan perjuanganperjuangan masyarakat adat. Beberapa negara sudah mengakui hak kolektif masyarakat adat dan sistem-sistem pemerintahan adat dalam kerangka hukum internasional, regional dan nasional. Beberapa negara telah mendirikan lembaga-lembaga nasional yang diberi mandat untuk mempromosikan dan melaksanakan hak-hak masyarakat adat, diantaranya adalah seperti kementrian, departemen, dewan, komisi dan badan hukum lainnya. Lembaga-lembaga ini mengelola region, daerah tertentu dan wilayah lainnya, memberikan representasi wajib dan jatah kursi di badan legislatif dan kantor-kantor publik dan lembaga-lembaga pendidikan, memungkinkan pemerintahan adat dan tradisional dan lembaga peradilan berfungsi secara mandiri, memberikan sertifikat tanah, menyelesaikan sengketa tanah dan merumuskan serta mengimplementasikan rencana nasional diantaranya untuk pembangunan masyarakat adat. Masyarakat adat semakin sering terwakili dan terlibat dalam penyebaran, reformasi, dan pelaksanaan undang-undang, program-program dan kebijakan-kebijakan pada tingkat nasional, termasuk proses inklusif restrukturisasi-negara yang dilembagakan dalam Konstitusi Sementara Nepal dan keputusan-keputusan Mahkamah Agung di India mengakui adivasis sebagai masyarakat adat. Di sisi lain, masyarakat adat terus menegaskan pembangunan mandiri dan kepemilikan serta kontrol atas wilayah adat mereka, tempat tinggal dan tanah mereka melalui tindakan kolektif dan dengan menegaskan hak mereka untuk persetujuan bebas, didahulukan dan diinformasikan (free, prior and informed consent (FPIC)) yang berkaitan dengan pembangunan dan penggunaan atas lahan, wilayah dan sumber daya mereka. Masyarakat adat telah mendapatkan manfaat tersebut diatas melalui pengorganisasian mandiri, sistem-sistem tata kelola madiri, gerakan masyarakat adat dan dengan memaksimalkan ruang-ruang yang tersedia untuk partisipasi politik dan kerjasama dengan pemerintah, Badan-badan PBB, LSM, akademisi, media dan sektor lainnya. Namun, masyarakat adat di Asia menghadapi tantangan, permasalahan dan kesenjangan yang lebih besar dan serius dalam merealisasikan secara penuh hak mereka untuk menentukan nasib sendiri termasuk otonomi dan tata kelola madiri. Hukum nasional dari sebagian besar negara-negara Asia merupakan warisan kolonial, bertentangan dengan hukum adat dan melanggar hak asasi manusia dan kebebasan mendasar. Pelaksanaan yang lemah dari konstitusi yang ada, ketentuan hukum lainnya dan komitmen internasional yang mengakui hak-hak masyarakat adat, termasuk hak atas FPIC, menyebabkan konflik yang serius dan perpecahan di dalam masyarakat adat dan komunitaskomunitas dan konflik-konflik antara masyarakat adat dan bagian-bagian lain dari penduduk negara mereka. Penafsiran yang keliru tentang politik dari masyarakat adat dan perlindungan politik semakin meminggirkan masyarakat adat. Sebagian besar pemerintah di Asia kurang memiliki kemauan politik untuk mengatasi penentuan nasib sendiri dan hak kolektif masyarakat adat seperti yang ditunjukkan dalam kegagalan mereka dalam menangani permasalahan masyarakat adat, dan merespon dengan cara yang tepat dan sesuai atas rekomendasi-rekomendasi badan-badan perjanjian hak asasi PBB dan mekanisme-mekanisme sesuai atas rekomendsaiatas rekomendasi rekomendasi-rekomendasi badan-badan perjanjian hak asasi PBB dan mekanismemekanisme pengawasan hak asasi manusia PBB. Negara-negara di Asia telah terus menerus menyerukan prinsip “tidak mencampuri kedaulatan nasional dan integritas wilayah” untuk membenarkan pelanggaran hak penentuan nasib sendiri dan hak-hak lain dari masyarakat adat. Beberapa negara di Asia terus mengabaikan, salah menafsirkan dan merusak hak masyarakat adat untuk menentukan nasib sendiri, otonomi dan pemerintahan sendiri terhadap semangat Piagam PBB, UNDRIP dan instrumen-instrumen Hak Asasi Manusia lainnya dan menciptakan rintangan yang besar untuk mempromosikan dan memperkuat hidup berdampingan dengan damai, h a r m o n i sosial, dan pembangunan berkelanjutan dan sesuai dengan budaya dari negara tersebut dan masyarakatnya, termasuk masyarakat adat. Beberapa negara enggan untuk melaksanakan hak untuk menentukan nasib sendiri dari masyarakat adat menyebabkan marginalisasi, diskriminasi dan eksploitasi masyarakat adat, yang melanggar hak asasi manusia dan kebebasan fundamental. Perbatasan yang ditetapkan oleh negara-negara telah membagi masyarakat adat yang wilayahnya melintasi batas negara, mempengaruhi identitas dan integritas mereka, hubungan antar dan intra-adat, kenalan dan gaya hidup mereka secara umum. Oleh karena itu masyarakat adat di Asia merekomendasikan hal-hal berikut: 1. Kepada negara-negara untuk melakukan reformasi konstitusional dan hukum lainnya untuk memasukkan hak penentuan nasib sendiri dari masyarakat adat – konsisten dengan Piagam PBB, UNDRIP, Perjanjian Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)), Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR)) dan standar-standar hak asasi manusia internasional lainnya. Selanjutnya, negara-negara harus menetapkan mekanisme-mekanisme implementasi yang kompeten, dan mengalokasikan sumber daya yang sesuai untuk mempromosikan pelaksanaan yang efektif dari hak tersebut. 2. Kepada negara-negara untuk mematuhi sesuai dengan perjanjian-perjanjian, kesepakatankesepakatan dan pengaturan konstruktif lainnya antara masyarakat adat dan negara-negara Asia untuk menghormati hak menentukan nasib sendiri termasuk otonomi dan tata kelola mandiri masyarakat adat. 3. Kepada negara-negara untuk mengakui dan memperkuat komunitas masyarakat adat, organisasi-organisasi, gerakan-gerakan, sistem-sistem tata-kelola dan manajemen atas tanah, wilayah dan sumber daya mereka, sebagai pernyataan organisasi atas pelaksanaan hak mereka untuk penentuan nasib sendiri dan membangun dan memperkuat kapasitas perempuan adat dan pemuda, organisasi dan gerakan mereka untuk partisipasi mereka secara penuh dan efektif dalam pengambilan keputusan di semua tingkatan. 4. Kepada negara-negara untuk menjamin penghormatan dan pengakuan hak-hak masyarakat adat, khususnya mereka yang terpecah karena batas-batas internasional, untuk mempertahankan dan mengembangkan kontak, hubungan dan kerjasama serta aktivitas lainnya dengan anggota mereka sendiri serta masyarakat lainnya diseluruh perbatasanperbatasan internasional. 5. Kepada negara-negara, Badan-badan PBB dan LSM untuk memfasilitasi dialog sistematik masyarakat adat dengan ASEAN, Asosiasi Asia Selatan untuk Kerjasama Regional (South Asian Association for Regional Cooperation (SAARC)) dan pemerintah nasional untuk memungkinkan diskusi konstruktif mengenai bagaimana hak penentuan nasib sendiri dapat diimplementasikan sesuai dengan UNDRIP dan standar-standar HAM internasional lainnya. 6. Kepada negara-negara untuk memulai dan melanjutkan dialog dengan masyarakat adat untuk menyelesaikan konflik kekerasan dan perselisihan dan masuk kedalam perjanjian, kesepakatan dan pengaturan konstruktif lainnya dimana konflik dan perselisihan tersebut ada atau akan terjadi. 7. Kepada pemerintah Asia untuk mengenali, mengamati dan menegakkan, dalam semangat mereka yang sesungguhnya, perjanjian, kesepakatan dan pengaturan konstruktif lainnya yang dibuat oleh mereka dan penjajah mereka sebelumnya atau negara-negara lainnya dengan masyarakat adat. 8. Kepada Pemerintah Asia untuk memastikan partisipasi penuh dan efektif dari masyarakat adat dalam semua pengambilan keputusan kebijakan dalam hal-hal yang mempengaruhi mereka. Masyarakat Adat Asia Menderita Militarisasi dan Konflik Masyarakat adat di Asia terus menghadapi diskriminasi, pemindahan lahan, pemindahan penduduk secara paksa, pengungsian, pelanggaran HAM, genosida, asimilasi budaya dan penolakan akses terhadap keadilan. Wilayah masyarakat adat dibagi selama masa penjajahan dengan menerapkan kebijakan “memecah belah dan menguasai” untuk kepentingan penjajah dan peninggalan tersebut masih terus ada di beberapa negara-negara modern penggantinya. Kedatangan dan migrasi penduduk noon-pribumi secara tidak sah dan illegal dalam jumlah besar ke wilayah adat yang tiada henti menyebabkan mereka menjadi minoritas, marjinalisasi dan konflik-konflik dengan komunitas-komunitas non-pribumi dan antar masyarakat adat serta hilangnya tanah, wilayah dan sumber daya kami. Globalisasi dan liberalisasi kebijakan-kebijakan yang disertai dengan militerisasi dan kebijakan pembangunan yang agresif telah melanggar hak-hak dasar manusia, memaksa masyarakat adat untuk menggunakan gerakan perlawanan, awalnya melalui proses demokrasi dan kemudian melalui perjuangan bersenjata untuk pertahanan diri. Sebagai tanggapan, negara telah memperlakukan perlawanan ini dengan penindasan yang mengarah kepada militerisasi yang berat, konflik-konflik dan pelanggaran HAM berat di wilayah masyarakat adat di Asia. Keprihatinan yang mendalam adalah meningkatnya pemberian label pada para aktivis pergerakan masyarakat adat yang sah sebagai “teroris”, menyatakan wilayah masyarakat adat sebagai “daerah yang menggangu” untuk melegitimasi operasi-operasi militer berskala besar, mengijinkan pembunuhan yang melanggar hukum dan pelanggaran HAM lainnya melalui perjanjian hukum atau kuasi hukum yang dikenal sebagai “Operation Greenhunt”, “Operation Cleanheart”, “Operation Conflagration”, “Operation Upliftment”, atau “Oplan Bayanihan”. Militerisasi yang terus menerus pada banyak wilayah masyarakat adat di Asia telah mengarah kepada pelanggaran HAM yang berat, termasuk genosida, pembunuhan yang melanggar hukum, penyiksaan, penahanan atas pelanggaran hukum, penghilangan orang secara paksa perkosaan dan kekerasan seksual lainnya terhadap perempuan dan anak-anak yang ditandai dengan budaya kekebalan hukum dimana pelaku pelanggaran tersebut melarikan diri dari temuan tersebut dan hukumannya. Lebih jauh lagi, para pemuda dan anak-anak direkrut ke dalam pasukan paramiliter dan milisi sementara lembaga-lembaga pendidikan digunakan untuk tujuan militer atau “keamanan”. Militarisasi merupakan salah satu permasalahan serius yang paling umum dihadapi oleh masyarakat adat di Asia, dimana kekuatan militer digunakan tidak hanya untuk menekan dengan kekerasan gerakan masyarakat adat untuk menentukan nasib sendiri dan otonomi, tetapi juga untuk memecah integritas wilayah masyarakat adat, serta untuk mempromosikan dan melindungi kepentingan badan-badan yang didukung oleh negara atau perusahaan swasta lainnya atau perusahaan-perusahaan multinasional. Masyarakat adat di Asia selanjutnya merekomendasikan hal-hal berikut: 1. Kepada negara-negara untuk memastikan bahwa wilayah-wilayah masyarakat adat di Asia bebas dari intervensi militer negara dan bahwa pangkalan militer atau pusat pelatihan militer tidak akan didirikan di wilayah adat tanpa (FPIC) dari mereka. 2. Kepada pemerintah di Asia untuk mengembangkan mekanisme-mekanisme yang efektif untuk melacak akar asli dari penyebab kerusuhan dan mengatasi masalah melalui solusi politik yang tepat mengingat kecendrungan yang meningkatnya kerusuhan dan konflikkonflik di wilayah-wilayah masyarakat adat. 3. Kepada negara-negara untuk mengakui dan menghormati hak-hak melintasi perbatasan dari masyarakat adat. 4. Kepada negara-negara untuk menjamin akses terhadap keadilan bagi masyarakat adat melalui lembaga peradilan formal, lembaga-lembaga nasional hak asasi manusia dan bentuk-bentuk lain dari penanganan, termasuk dengan memperhatikan hukum adat dari masyarakat adat, lembaga-lembaga dan proses-prosesnya. 5. Kepada negara-negara untuk mendirikan lembaga-lembaga hak asasi nasional, bilamana mereka masih belum melakukannya, dan untuk memperkuat mereka dimana badanbadan tersebut berada, dengan bermitra bersama masyarakat adat. 6. Kepada badan-badan hak asasi manusia nasional dan regional untuk mengidentifikasi orang-orang penting dalam masyarakat adat untuk melayani terutama untuk masalah hak asasi manusia dari masyarakat adat. 7. Kepada pemerintah Asia untuk mengatur masuknya para migrant atau orang asing yang ilegal dan tidak sah kedalam wilayah masyarakat adat dan meninjau serta mencabut kebijakan-kebijakan yang mendukung kedatangan atau migrasi tersebut. 8. Kepada badan-badan PBB, para ahli yang kompeten dan independen, termasuk para Pelapor Khusus, untuk melakukan penyelidikan yang netral mengenai situasi hak asasi manusia masyarakat adat di Asia dan dalam kaitannya dengan kebijakan-kebijakan pemerintah seperti Angkatan Bersenjata (Kekuatan Khusus) Act (AFSPA) dan kebijakan-kebijakan anti pemberontakan lainnya, yang memfasilitasi pembunuhan di luar hukum, pembantaian, pemerkosaan, penggunaan anak-anak sebagai perisai manusia dan penggunaan tentara bayaran dan badan-badan keamanan asing untuk melindungi kepentingan perusahaan-perusahaan pertambangan. 9. Kepada pemerintah Asia untuk melaksanakan keinginan politik untuk mengakhiri impunitas dan mengambil langkah-langkah konkrit untuk menghentikan militerisasi wilayah adat, menuntut pelanggar hak asasi manusia dan menjamin keadilan, kompensasi dan rehabilitasi kepada korban-korban hak asasi manusia. 10. Kepada badan-badan Hak Asasi Manusia PBB, termasuk Pelapor Khusus tentang masyarakat adat, pembunuhan di luar hukum (extra-judicial killings (JEK)), pengungsi internal (internally displaced persons (IDP)), kekerasan terhadap perempuan, intoleransi beragama, penghilangan orang secara paksa, pangan, dan lain-lain dan prosedurprosedur khusus relevan lainnya untuk melakukan pemantauan kunjungan ke negaranegara atau wilayah-wilayah yang bersangkutan dan untuk sebaliknya berkomunikasi dengan negara-negara Asia dan perusahaan-perusahaan untuk memfasilitasi sesuai dengan standar-standar dan norma-norma hak asasi manusia internasional. 11. Kepada negara-negara di Asia untuk terus terlibat dalam dialog-dialog dengan masyarakat adat untuk meninjau pembuatan kebijakan dan penindasan militer mereka untuk mengatasi permasalahan yang timbul dari militerisasi di wilayah masyarakat adat. Mengamankan Tanah, Wilayah, Sumber Daya dan Ekonomi Lokal Masyarakat adat Asia terus menghargai cara hidup kami, ekonomi lokal, membuktikan praktek-praktek pertanian yang lestari seperti perladangan rotasi atau perladangan berpindah, penggembalaan, berburu dan meramu, serta kontribusi kami untuk kedaulatan pangan dan pemenuhan hak atas pangan bagi semua komunitas adat. Negara-negara, sektor swasta dan LSM memiliki beberapa praktek yang baik dalam mempromosikan proyek-proyek mata pencaharian, akses ke pasar, dan pengelolaan bersama di kawasan-kawasan lindung yang memperkuat keamanan kepemilikan masyarakat adat dan/atau akses ke lahan, wilayah, sumber daya tradisional mereka dan hubungan sosial-budaya, dan pekerjaan-pekerjaan tradisional mereka. Namun, sejarah dekolonisasi yang baru di berbagai bagian Asia dan munculnya negaranegara baru dalam periode paska penjajahan, berusaha untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dan modernisasi telah mengarah kepada pembatasan kebijakan-kebijakan dan praktek-praktek dan eksploitasi atas tanah, wilayah dan sumber daya masyarakat adat. Negara-negara Asia dan negara-negara lain dan entitas non-negara telah menjalin kesepakatan mengenai eksploitasi sumberdaya yang tidak berkelanjutan di wilayah masyarakat adat. Pembangunan tanah dan infrastruktur yang agresif, industri pertambangan, aktivitas-aktivitas mitigasi perubahan iklim, pendirian dan pengelolaan kawasan lindung, termasuk kawasan yang tertulis dalam Daftar Warisan Dunia, dan bentuk-bentuk lain gangguan perambahan pada tanah, wilayah, sumber daya masyarakat adat telah menyebabkan pelanggaran yang terus menerus dan pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia dan kebebasan fundamental yang dilakukan oleh Negara-negara. Masuknya proyek-proyek seperti pertambangan, proyek listrik mega hidro, eksplorasi minyak, taman nasional, proyek-proyek konservasi, perkebunan, pembangkit panas bumi dan konsesi lahan ekonomi tanpa (FPIC) dari masyarakat adat telah merampas hidup mereka dan sebaliknya berdampak buruk bagi wilayah dan cara hidup mereka. Selanjutnya masyarakat adat di Asia merekomendasikan hal-hal sebagai berikut: 1. Kepada negara-negara untuk mekanisme-mekanisme dan prosedur-prosedur lembaga untuk memastikan bahwa FPIC dilaksanakan pada semua tahapan siklus proyek dalam kasus-kasus dimana masyarakat adat terkena dampak diantaranya dari pelaksanaan operasi pembangunannnya, industri pertambangan, dan inisiatif-inisiatif konservasi. Proses memberikan atau menahan persetujuan dari masyarakat adat harus dibuat oleh lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi yang perwakilannya dipilih secara bebas oleh masyarakat adat, dan keputusan tersebut harus dihormati oleh semua pihak yang bersangkutan. 2. Kepada negara-negara dan badan-badan pembangunan internasional untuk menerapkan agenda pembangunan paska-2015 mereka dan pendekatan-pendekatan sedemikian rupa sehingga mereka menghormati dan mendukung praktek-praktek holistik dan ekologi dari komunitas adat, menerapkan kerangka hukum pluralistik yang mengakui kepemilikan adat, praktek-praktek pengelolaan sumber daya dan penggunaan berkelanjutan untuk kesejahteraan bersama. 3. Kepada negara-negara untuk menghormati kekhususan, hak-hak dan pengetahuan dari perempuan adat dalam kaitannya dengan hak atas tanah dan akses dan kontorl terhadap sumber daya, dan untuk melarang segala bentuk diskriminasi ras dan berbasis gender, termasuk diskriminasi berdasarkan sistem kasta. 4. Kepada negara-negara untuk merancang proyek-proyek pembangunan lahan sedemikian rupa sehingga mereka menghindari penggusuran, pemindahan secara paksa, dan perubahan hak atas tanah yang merusak dan konsentrasi tanah meningkat, rusaknya mata pencaharian dan lingkungan, kerawanan pangan dan kemiskinan, dan pelanggaran hak asasi manusia. 5. Kepada negara-negara untuk membentuk mekanisme pengaduan yang efektif dan mekanisme penanganan termasuk melalui mekanisme resolusi konflik tradisional dan sistem hukum adat. 6. Kepada negara-negara untuk sepatutnya membedakan lahan-lahan dan wilayah masyarakat adat sesuai dengan hukum dan proses adat, termasuk melalui praktekpraktek yang baik pada pemetaan masyarakat dalam kemitraan dengan masyarakat adat. 7. Kepada negara-negara untuk mereformasi undang-undang, kebijakan dan praktekpraktek yang berhubungan dengan tanah, wilayah dan sunder daya alam yang memperngaruhi masyarakat adat, sesuai dengan ketentuan Konvensi ILO No. 169 UNDRIP dan instrumen HAM internasional lain yang relevan, yang melindungi kedaulatan tetap masyarakat adat atas tanah, wilayah dan sumber daya. 8. Kepada negara-negara untuk sepenuhnya dan secara efektif mematuhi standar-standar hak asasi manusia internasional dalam rangka untuk menghormati, mempromosikan dan menjamin hak-hak kolektif dan individu dari masyarakat adat atas tanah. Wilayah dan sumber daya mereka, termasuk hak masyarakat adat untuk secara bebas mengejar ekonomi lokal dan menentukan pembangunan sendiri yang sesuai dengan kebudayaan, kebutuhan, pandangan dunia dan aspirasi-aspirasi. Kebudayaan dan Spiritualitas merupakan Dasar-dasar Penentuan Pembangunan Sendiri dari Masyarakat Adat Beberapa pemerintah Asia telah menerapkan pengakuan konstitusional dan telah menerapkan kerangka legislatif yang menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat adat atas tradisi dan identitas budaya mereka yang beragam, serta budaya masyarakat adat sebagai bagian dari warisan budaya nasional. Namun, masyarakat adat di Asia saat ini menghadapi kehilangan yang besar dari budaya dan identitas mereka sebagai akibat dari eksploitasi dan komersialisasi budaya, pengaruhpengaruh materialistik pada pemuda, terpisahnya dari tanah, wilayah dan sumber daya mereka serta struktur-struktur dan kebijakan yang mengakar yang telah merusak budaya asli tradisional masyarakat adat dan praktek-praktek hukum adat dari masyarakat adat. Ada pencurian secara terus menerus terhadap pengetahuan adat dan warisan budaya, yang tidak dilindungi secara memadai di tingkat nasional, regional dan global. Rezim kekayaan intelektual saat ini tetap terbatas dan tidak efektif sehubungan dengan perlindungan atas pengetahuan tradisional, selain memfasilitasi penyalahgunaan pengetahuan dan warisan atas nama kekayaan intelektual. Meskipun demikian, masyarakat adat telah bertahan dalam mempraktekan, berinovasi dan mempertahankan kebudayaan dan pengetahuan tradisional mereka, termasuk melalui penggunaan adat yang berkelanjutan, pengelolaan dan konservasi lahan dan sumber daya mereka dan pemeliharaan kesehatan dan pemeliharaan sistem yuridis serta lembagalembaga mereka; Oleh karena itu masyakat adat di Asia merekomendasikan hal-hal berikut: 1. Kepada negara-negara untuk menghentikan perlakuan diskriminasi terhadap masyarakat adat, dan dan sebaliknya menyebarluaskan pengajaran bahasa dalam lembaga arus utama dan lembaga adat sendiri, dan mendukung sistem budaya yang saling terkait meliputi kesehatan tradisional, transfer pengetahuan antar generasi, normanorma soial dan kepercayaan. 2. Kepada negara-negara untuk mengambil langkah-langkah efektif untuk memastikan bahwa media milik negara sepatuynya mencerminkan keragaman budaya tradisioal adat dalam kemitraannya dengan masyarakat adat. 3. Kepada negara-negara, tanpa prasangka memastikan kebebasan secara penuh untuk berekspresi, untuk mendorong media massa swasta mencerminkan secara sesuai keanekaragaman budaya masyarakat adat dengan cara yang akurat dan penuh penghormatan. 4. Kepada media milik negara dan media swasta untuk menghormati sepenuhnya hak FPIC dari masyarakat adat untuk dokumentasi dan penyiaran apapun dari budaya dan tradisi mereka. 5. Kepada negara-negara untuk terus mencari cara untuk membantu memperkuat dan merevitalisasi budaya asli, bahasa dan identitas dengan menjaga link penting terhadap tanah, wilayah dan sumber daya, dan dengan mendukung platform antar generasi untuk transmisi adat, system-sistem kepercayaan, nilai-nilai dan tradisi. 6. Kepada negara-negara untuk menjamin partisipasi dari pemuda adat dan perempuan adat dalam proses-proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi mereka, termasuk melalui penyediaan sumber daya yang memadai dan ruang untuk partisipasi tersebut; 7. Kepada negara-neagra untuk memastikan bahwa anak-anak dan pemuda adat memiliki akses kepada pendidikan dalam bahasa ibu mereka, dan untuk mengembangkan program pendidikan yang sesuai dengan budaya, yang secara akurat menggabungkan sejarah, identitas, nilai-nilai, kepercayaan, budaya, bahasa dan pengetahuan mereka. 8. Kepada negara-negara untuk memberikan akses yang lebih besar kepada para professional media adat terhadap informasi dan segala bentuk media tanpa diskriminasi, dan menyediakan bantuan teknis dan sumber daya dalam mendirikan media mereka sendiri dalam bahasa mereka sendiri. REKOMENDASI UMUM Selain rekomendasimengenai isu-isu tematik, masyarakat adat di Asia memberikan rekomendasi umum berikut: 1. Kepada Majelis Umum PBB untuk menunjuk seorang Wakil-Sekretaris Jenderal untuk Masyarakat Adat 2. Kepada PBB untuk membentuk mekanisme-mekanisme untuk memperkuat partisipasi masyarakat adat dalam pemerintahan dan badan-badan penasehat PBB. Mekanisme ini harus mencakup Badan-badan, Program-program dan Pendanaan, dan organisasiorganiasi internasional lainn ya pen ye dia dan a at au pelak sana prog r am dan proyek-proyek yang mempengaruhi masyarakat adat termasuk diantaranya untuk memperkuat kapasitas kelembagaan internal untuk pelaksanaan dan keterlibatan efektif dengan masyarakat adat. 3. Kepada PBB dan negara-negara anggotanya untuk memajukan generasi dan penyusunan data terpilah dan statistik tentang keadaan masyarakat adat, termasuk indeks kesejahteraan masyarakat adat untuk dimasukkan kedalam kerangka kerja pembangunan berkelanjutan paska-2015. 4. Kepada PBB dan negara-negara anggotanya untuk memajukan penggunaan indikatorindikator yang relevan dengan masyarakat adat dalam pemantauan kemajuan dalam pembangunan berdasarkan keinginan masyarakat adat sendiri, rencana-rencana pembangunan berkelanjutan nasional dan tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan global. 5. Kepada instansi-instansi terkait di tingkat global, regional dan nasional untuk membentuk suatu pengawasan yang lebih kuat dan mekanisme pelaporan atas pelaksanaan UNDRIP. 6. Kepada Komisi Antar Pemerintah ASEAN mengenai Hak Asasi Manusia ( ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR)) untuk membentuk suatu Kelompak Kerja untuk Masyarakat Adat. 7. Kepada SAARC untuk suatu membentuk komisi dan suatu Kelompok Kerja mengenai Masyarakat Adat. 8. Kepada negara-negara Asia untuk melanjutkan dialog, konsultasi dan kemitraan dengan masyarakat adat mengenai cara-cara dan sarana untuk on ways and means to membina hubungan yang lebih baik lagi dengan mereka, dan untuk memungkinkan penduduk asli dari negara-negara tersebut untuk sepenuhnya melaksanakan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya dengan cara yang sepenuhnya tanpa diskriminasi, bebas dari segala bentuk diskriminasi baik berdasarkan ras, suku, agama, spiritual, kelas, kasta, gender, umur, cacat ataupun sebaliknya.