BAB II KAJIAN PUSTAKA

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Tekanan Darah
Tekanan darah merupakan gaya yang ditimbulkan oleh darah
terhadap dinding pembuluh, bergantung pada volume darah yang
terkandung di dalam pembuluh dan compliance atau daya regang dinding
pembuluh
darah
yang
bersangkutan.
Tekanan
maksimum
yang
ditimbulkan di arteri sewaktu darah disemprotkan masuk ke dalam arteri
selama sistol (tekanan sistolik) rata-rata adalah 120 mmHg. Tekanan
minimum di dalam arteri sewaktu darah mengalir ke luar ke pembuluh di
hilir selama diastol (tekanan diastolik) rata-rata adalah 80 mmHg.
Sedangkan tekanan pada nadi adalah perbedaan antara tekanan darah
sistolik dan diastolik (Sherwood, 2006).
Terdapat 2 sistem pengaturan tekanan darah di dalam tubuh manusia
yaitu:
1. Sistem pengaturan tekanan darah jangka pendek
Pengaturan jangka pendek dikendalikan oleh sistem saraf simpatis,
terutama melalui efek sistem saraf pada tahanan vaskular perifer total
dan kemampuan memompa jantung (Guyton dan Hall, 2006).
Mekanisme utama dalam proses pengaturan tekanan darah berjalan
sesuai dengan mekanisme umpan balik negatif yaitu mekanisme
7
8
perangsangan yang akan mengurangi impuls respon tubuh. Mekanisme
ini membutuhkan sensor/reseptor, neuron aferen, sistem saraf pusat,
neuron eferen dan efektor (Ronny, et al 2009).
Menurut Sherwood (2006), terdapat beberapa sensor yang
mendeteksi perubahan tekanan darah sebagai berikut:
a. Refleks Baroreseptor
Refleks ini berperan pada setiap perubahan tekanan darah
yang diperantarai secara otonom. Baroreseptor terdapat di sinus
karotis dan arkus aorta yang bekerja sangat cepat untuk
mengkompensasi perubahan tekanan darah. Secara kontinu,
baroreseptor menghasilkan potensial aksi sebagai respon terhadap
tekanan di dalam arteri. Jika tekanan arteri meningkat, potensial
aksi juga akan meningkat sehingga kecepatan pembentukan
potensial aksi di neuron eferen yang bersangkutan juga akan
meningkat. Begitu juga sebaliknya saat terjadi penurunan tekanan
darah. Di saat tekanan arteri terlalu tinggi, pusat kontrol
kardiovaskuler berespon dengan mengurangi aktivitas simpatis dan
meningkatkan aktivitas parasimpatis. Sinyal-sinyal eferen ini
menurunkan kecepatan denyut jantung, menurunkan volume
sekuncup, menimbulkan vasodilatasi arteriol dan vena serta
menurunkan curah jantung dan resistensi perifer total, sehingga
tekanan darah kembali normal. Begitu juga sebaliknya jika tekanan
darah turun di bawah normal.
9
b. Osmoreseptor hipotalamus dan reseptor volume pada atrium kiri
Osmoreseptor pada hipotalamus peka terhadap perubahan
osmolaritas darah yang dipengaruhi oleh keseimbangan cairan
tubuh, ke duanya mempengaruhi regulasi jangka panjang tekanan
darah dengan mengontrol volume darah
c. Kemoreseptor pada arteri karotis dan aorta
Kemoreseptor tersebut peka terhadap kadar O2 rendah atau
keasaman tinggi pada darah. Fungsi utamanya adalah secara
refleks meningkatkan aktivitas pernapasan sehingga lebih banyak
O2 yang masuk atau lebih banyak CO2 pembentuk asam yang ke
luar. Apabila kandungan oksigen turun atau kadar karbondioksida
dalam darah meningkat, maka kemoreseptor yang berada di arkus
aorta dan pembuluh-pembuluh darah besar di leher mengirim
impuls ke pusat vasomotor dan terjadilah vasokonstriksi,
selanjutnya peningkatan tekanan darah membantu mempercepat
darah kembali ke jantung dan ke paru. Dengan meningkatnya
tekanan darah akan mengakibatkan peningkatan pada pengiriman
potensial aksi ke pusat pengontrolan kardiovaskuler. Di samping
itu reseptor ini juga akan menyampaikan impuls eksitatorik ke
pusat kardiovaskuler.
d. Sistem saraf pusat
Sistem saraf akan mempengaruhi tekanan darah melalui
perangsangan simpatis dan parasimpatis. Emosi dan perilaku
10
tertentu mempengaruhi kerja simpatis yang berefek pada respon
kardiovaskular.
e. Olahraga
Perubahan mencolok pada sistem kardiovaskular terjadi
saat berolahraga, termasuk peningkatan besar aliran darah otot
rangka, peningkatan curah jantung, penurunan resistensi perifer
total.
f. Kontrol hipotalamus terhadap arteriol kulit
Tekanan darah dapat turun pada saat pembuluh kulit
mengalami dilatasi menyeluruh untuk mengeluarkan kelebihan
panas dari tubuh.
2. Sistem pengaturan tekanan darah jangka panjang
Pengaturan jangka panjang berkaitan dengan homeostatis volume
cairan tubuh, yang ditentukan oleh keseimbangan antara asupan dan
keluaran cairan. Bila tubuh mengandung banyak cairan ekstrasel,
volume darah dan tekanan arteri akan meningkat. Peningkatan tekanan
ini kemudian mempengaruhi ginjal untuk mengekskresikan kelebihan
cairan ekstrasel, sehingga pengembalian tekanan kembali normal
(Guyton and Hall, 2006).
Pengaturan tekanan darah intermitten dan jangka panjang
dipengaruhi secara vasoaktif, meliputi:
a. Epinefrin, berasal dari medula adrenal, berikatan dengan reseptor
α1 (vasokonstriksi) dan reseptor β2 (vasodilatasi), juga berikatan
11
dengan β1 (meningkatkan denyut jantung dan kekuatan kontraksi)
(Ronny, et al., 2009)
b. Serotonin 5-hidroksitriptamin, biasanya terdapat pada saraf
terminal,
trombosit
dan
sel
mast.
Zat
ini
menyebakan
vasokonstriksi (Ronny, et al., 2009)
c. Histamin, biasanya dikelurkan saat terjadi luka atau inflamsi yang
dapat menyebabkan pembuluh darah di otot polos vasodilatasi,
tetapi otot polos viseral berkontraksi (Ronny, et al., 2009)
d. Angiotensin II, merupakan bagian dari sistem renin angiotensin
aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokontriktor yang sangat
kuat. Walaupun hanya berada dalam darah 1 atau 2 menit dalam
darah, tetapi angiotensin II mempunyai pengaruh utama yang dapat
meningkatkan tekanan arteri, yaitu sebagai vasokonstriksi di
berbagai daerah tubuh serta menurunkan ekskresi garam dan air
oleh ginjal.
2.2
Pre-Hipertensi
2.2.1
Definisi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah diastolik dan sistolik
secara intermitten atau terus menerus. Umumnya adalah tekanan darah
systolik secara intermitten 139 mm Hg atau lebih atau tekanan darah
diastolik 89 mm Hg atau lebih mengindikasikan hipertensi. Prehipertensi
nampaknya menjadi sebuah precursor dari hipertensi (Cooper, et al.,
12
2009). Vasan et al., (2001) melaporkan bahwa konversi prehipertensi
menjadi hipertensi selama waktu 4 tahun adalah 30%.
Adapun empat kategori definisi tekanan darah menurut
The
Seventh Report of the Joint National Committee on the Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNCVII,
2013):
1. Tekanan darah normal : Tekanan darah sistolik <120 mmHg da
tekanan darah diastolik <80 mmHg
2. Prehipertensi : Tekanan darah sistolik 120-139 mmHg atau
tekanan darah diastolik 80-89 mmHg
3. Hipertensi tahap I : Tekanan darah sistolik ≥140-159 mmHg
atau tekanan darah diastolik 90-99 mmHg
4. Hipertensi tahap II : Tekanan darah sistolik ≥160 mmHg atau
tekanan darah diastolik ≥100 mmHg
Dari ke-empat kategori di atas, terdapat kategori tekanan darah
baru yaitu "prehypertension" untuk tekanan darah systolik dan diastolik
120 -139 mm Hg dan 85 sampai 89 mm Hg (Chonabian, et al., 2003).
Prehipertensi cenderung berkembang menjadi hipertensi dari pada orang
yang mempunyai tekanan darah normal (normotensive) (Quresi, et al.,
2005). Pada tahun 1999-2000 lebih dari 88% orang dengan prehipertensi
mempunyai sedikitnya 1 faktor resiko kardiovaskuler (Greenlund, et al.,
2004).
13
Prevalensi faktor risiko penyakit jantung dan stroke pada orang
dengan prehipertensi adalah:
1. Cenderung lebih banyak laki-laki dari pada perempuan (40% vs
23%).
2. Orang
dengan
Overweight
lebih
cenderung
mempunyai
prehipertensi dari pada orang yang mempunyai berat badan
normal.
3. BMI lebih dari 25 kg/m2 atau lebih berhubungan dengan resiko
prehipertensi yang meningkat 50%
4. BMI 30 kg/m2 atau lebih berhubungan dengan 2 kali peningkatan
resiko prehipertensi.
Toikka et al., (2000) mendemonstrasikan bahwa prehipertensi
berhubungan dengan penebalan intima-media brakhilais dan karotis.
Sementara itu, Washio et al., (2004) menemukan bahwa ada peningkatan
resiko stenosis karotis pada pasien dengan prehipertensi. Penemuan
tersebut menunjukkan bahwa perubahan patologi telah dimulai bahkan
pada kondisi prehipertensi. Berkaitan dengan faktor risiko penyakit arteri
koroner, di antara pasien prehipertensi, menunjukkan risiko 2,9 kali pada
orang berumur 45 sampai 64 tahun dan 4,4 kali pada orang yang berumur
65 tahun atau lebih dibandingkan dengan orang yang berumur di bawah 45
tahun, dan lebih tinggi pada laki-laki (2,5 kali), orang dengan diabetes (2,1
kali), dan pasien dengan hypercholesterolemia (1,5 kali) (Qureshi, et al.,
2005).
14
2.2.2
Jenis Hipertensi
Menurut Gray, et al., (2005), hipertensi dibagi berdasarkan
penyebabnya menjadi dua jenis:
a. Hipertensi primer
Disebut juga sebagai hipertensi esensial atau idiopatik dan
merupakan 95% dari kasus-kasus hipertensi. Tekanan darah
merupakan hasil curah jantung dan resistensi vaskular, sehingga
tekanan darah meningkat jika curah jantung meningkat,
resistensi vaskular bertambah atau ke duanya. Meskipun
mekanisme yang berhubungan dengan penyebab hipertensi
melibatkan perubahan-perubahan tersebut, hipertensi sebagai
kondisi klinis biasanya diketahui beberapa tahun setelah
kecenderungan tersebut dimulai. Dan pada saat itu terjadi
beberapa mekanisme fisiologis kompensasi sekunder, sehingga
kelainan curah jantung atau resistensi perifer tidak diketahui
dengan jelas.
b. Hipertensi sekunder
Sekitar 5% kasus hipertensi telah diketahui penyebabnya,
dan dapat dikelompokkan menjadi:
1. Penyakit parenkim ginjal (3%), setiap penyebab gagal ginjal
yang dapat menyebabkan kerusakan parenkim ginjal, akan
cenderung menimbulkan hipertensi dan hipertensi itu
sendiri akan mengakibatkan kerusakan ginjal.
15
2. Penyakit renovaskular (1%), terdiri dari penyakit yang
menyebabkan gangguan pasokan darah ginjal, yaitu
arterosklerosis dan fibrodisplasia. Penurunan pasokan darah
ginjal akan memacu produksi renin ipsilateral dan
meningkatkan tekanan darah.
3. Endokrin (1%), pertimbangkan aldosteronisme primer
(sindrom
Conn)
jika
terdapat
hipokalemia
bersama
hipertensi. Tingginya kadar aldosteron dan renin yang
rendah akan mengakibatkan kelebihan natrium dan air.
Biasanya disebabkan adenoma jinak soliter atau hiperplasia
adrenal bilateral.
4. Sindrom cushing, disebabkan oleh hiperplasia adrenal yang
disebabkan oleh adenoma hipofisis yang menghasilkan
ACTH (adenocorticotrophic hormone) pada dua per tiga
kasus dan tumor adrenal primer pada sepertiga kasus.
5. Hiperplasia adrenal kongenital, merupakan penyebab
hipertensi pada anak namun kejadian ini masih sangat
jarang ditemui.
6. Feokromositosoma, disebabkan oleh sel tumor sel kromafin
asal neural yang mensekresikan katekolamin, 90 % berasal
dari kelenjar adrenal dan 10 % lainnya terjadi di tempat
lain. Hipertensi pada kehamilan, terjadi sekitar 10% pada
kehamilan pertama dan lebih sering terjadi pada ibu muda.
16
Diperkirakan karena aliran uretroplasental yang kurang baik
dan umumnya terjadi pada trimester terakhir atau awal
periode postpartum.
7. Hipertensi akibat obat, yang paling banyak menyebabkan
hipertensi adalah penggunaan pil kontrasepsi oral (OCP),
dengan 5% perempuan mengalami hipertensi dalam 5 tahun
sejak mulai penggunaan.
2.2.3
Epidemiologi
Peningkatan tekanan darah menjadi bagian yang normal
dari proses degeneratif. Menurut American Heart Association
(AHA), penduduk Amerika yang berusia di atas 20 tahun menderita
hipertensi telah mencapai angka hingga 74,5 juta jiwa, namun
hampir sekitar 90-95% kasus tidak diketahui penyebabnya.
Berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah, prevalensi hipertensi
pada penduduk umur 18 tahun ke atas tahun 2007 di Indonesia
adalah sebesar 31,7%. Sedangkan, pada tahun 2013 terjadi
penurunan sebesar 5,9% (dari 31,7% menjadi 25,8%). Sama halnya
pada provinsi Bali, terjadi penurunan yang sekitar 10% dari tahun
2007 sampai tahun 2013. Provinsi Bali masuk ke dalam peringkat
2 dari 5 provinsi dengan prevalensi hipertensi terendah dengan
jumlah 840.851 jiwa dari 4.225.384 juta jiwa (Pusdatin, Kemenkes
2013).
17
2.2.4
Patofisiologi
Terdapat empat sistem kontrol yang berperan dalam
mempertahankan tekanan darah antara lain sistem baroreseptor
arteri, pengaturan volume cairan, sistem renin angiotensin dan
autoregulasi vaskular (Udjianti, 2010).
Sistem baroreseptor merupakan monitor derajat tekanan
arteri dan meniadakan peningkatan tekanan arteri melalui
mekanisme perlambatan jantung oleh respon vagal (stimulasi
parasimpatis) dan vasodilatasi.
Terdapat banyak mekanisme pengatur saraf khusus yang
bekerja sepanjang waktu dan bersifat bawah sadar untuk
mempertahankan tekanan arteri pada atau tekanan normal. Sejauh
ini, mekanisme saraf untuk mengatur tekanan arteri yang paling
diketahui ialah refleks baroreseptor yang terletak pada titik-titik
spesifik di dinding beberapa arteri sistemik besar. Peningkatan
tekanan arteri akan meregangkan baroreseptor dan menyebabkan
menjalarnya sinyal menuju sistem saraf pusat. Sinyal “umpan
balik” kemudian dikirim kembali melalui sistem saraf otonom ke
sirkulasi untuk mengurangi tekanan arteri kembali ke nilai normal
(Guyton dan Hall, 2006).
Baroreseptor merupakan ujung saraf tipe memancar (spraytipe) yang terletak di dalam dinding arteri; baroreseptor terangsang
18
bila teregang. Pada hampir semua arteri besar yang terletak di
daerah toraks
dan leher, dapat
dijumpai sejumlah kecil
baroreseptor; tetapi, jumlah baroreseptor berlimpah di dalam (1)
dinding setiap arteri karotis interna yang terletak sedikit di atas
bifurkasio karotis, suatu daerah yang dikenal sebagai sinus karotis
dan (2) dinding arkus aorta (Guyton dan Hall, 2006).
Gambar 2.1 Sistem Baroreseptor untuk mengendalikan
tekanan arteri (Guyton dan Hall, 2006)
Gambar
di
atas
menunjukkan
bahwa
sinyal
dari
“baroreseptor karotis” dijalarkan melalui saraf Hering yang sangat
kecil menuju saraf glosofaringeus di leher bagian atas dan
kemudian ke traktus solitarius di daerah medula batang otak.
19
Sinyal dari “baroreseptor aorta” di arkus aorta dijalarkan melalui
nervus vagus menuju traktus solitarius yang sama di medula
(Guyton dan Hall, 2006).
Refleks sirkulasi terhadap perubahan tekanan darah diawali
oleh baroreseptor di mana setelah sinyal baroreseptor memasuki
traktus solitarius medula, sinyal sekunder menghambat pusat
vasokonstriktor di medula dan merangsang pusat parasimpatis
vagus. Efek yang terjadi adalah (1) vasodilatasi vena dan arteriol di
seluruh sistem sirkulasi perifer dan (2) berkurangnya frekuensi
denyut jantung dan kekuatan kontraksi jantung. Oleh karena itu,
perangsangan beroreseptor akibat tekanan tinggi di dalam arteri
secara refleks menyebabkan penurunan tekanan arteri akibat
penurunan tahanan perifer dan penurunan curah jantung.
Sebaliknya, tekanan yang rendah mempunyai efek berlawanan,
yang secara refleks menyebabkan tekanan meningkat kembali
menjadi normal (Guyton dan Hall, 2006).
2.2.5
Faktor Resiko
Sampai saat ini penyebab hipertensi primer tidak diketahui
dengan pasti. Hipertensi primer tidak disebabkan oleh faktor
tunggal dan khusus tetapi oleh berbagai faktor yang saling
berkaitan (Anggraini et al, 2009). Menurut faktor pemicunya,
faktor resiko hipertensi dibagi menjadi dua yaitu yang dapat
dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi.
20
a. Faktor genetik
Terdapat banyak hasil penelitian yang menyebutkan bahwa
orang yang mempunyai riwayat atau silsilah keluarga memiliki
riwayat hipertensi, maka kecenderungan untuk terjadinya
hipertensi juga besar (Sudarmoko, 2010). Hal ini berhubungan
dengan peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya
rasio antara potasium terhadap sodium. Individu dengan orang
tua dengan hipertensi mempunyai risiko dua kali lebih besar
untuk menderita hipertensi daripada orang yang tidak
mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi. Selain itu
didapatkan 70-80% kasus hipertensi esensial dengan riwayat
hipertensi dalam keluarga (Anggraini et al, 2009).
b. Usia
Kepekaan terhadap hipertensi akan meningkat seiring
dengan bertambahnya usia seseorang. Individual yang berumur
di atas 60 tahun, sekitar 50-60% mempunyai tekanan darah
lebih besar atau sama dengan 140/90 mmHg. Hal ini
merupakan pengaruh degenerasi yang terjadi pada orang yang
bertambah usianya (Susilo dan Wulandari, 2011).
c. Jenis kelamin
Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria dan wanita
cenderung sama, hanya saja wanita terlindungi dari penyakit
kardiovaskular sebelum menopause. Wanita yang belum
21
mengalami menopause dilindunngi oleh hormone estrogen yang
dapat meningkatkan jumlah High Density Lipoprotein (HDL).
Kadar HDL yang tinggi mampu mencegah terjadinya
aterosklerosis (Anggraini et al, 2009). Namun dari hasil
penelitian menyebutkan bahwa pria lebih mudah terserang
hipertensi dibandingkan dengan wanita, hal itu mungkin
dikarenakan gaya hidup pria yang kebanyakan lebih tidak
terkontrol dibandingkan wanita, misalnya kebiasaan merokok,
bergadang, stres, kerja, hingga pola makan yang tidak teratur
(Sudarmoko, 2010)
d. Etnis
Hipertensi banyak terjadi pada orang berkulit hitam
daripada yang berkulit putih. Belum diketahui secara pasti
penyebabnya, namun pada orang yang berkulit hitam
ditemukan kadar renin yang lebih rendah dan sensitivitas
terhadap vasopresin yang lebih besar (Susilo dan Wulandari,
2011).
e. Obesitas
Dalam penelitian Anggraini, et al (2009) dipaparkan bahwa
menurut National Institutes for Health USA, Prevalensi tekanan
darah tinggi pada orang dengan Indeks Massa Tubuh (IMT)
>30 (obesitas) adalah 38% untuk pria dan 32% untuk wanita,
dibandingkan dengan prevalensi 18% untuk pria dan 17% untuk
22
wanita bagi yang memiliki IMT <25 (status gizi normal
menurut standar internasional) (Anggraini et al, 2009).
f. Asupan garam
Asupan garam yang tinggi akan menyebabkan pengeluaran
berlebihan dari hormon natriuretik yang secara tidak langsung
akan meningkatkan tekanan darah (Susilo dan Wulandari,
2011).
Konsumsi
natrium
yang
berlebih
menyebabkan
konsentrasi natrium di dalam cairan ekstraseluler meningkat.
Untuk menormalkannya cairan intraseluler ditarik ke luar,
sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat. Dengan
meningkatnya cairan ekstraseluler maka terjadi peningkatan
volume darah dan berdampak kepada timbulnya hipertensi
(Anggraini et al, 2009).
WHO merekomendasikan pola konsumsi garam dengan
kadar sodium tidak lebih dari 100 mmol (sekitar 2,4 gram
sodium atau 6 gram garam) perhari (Anggraini et al, 2009).
g. Merokok
Merokok merupakan salah satu faktor penyebab dan faktor
resiko yang dapat dimodifikasi untuk terjadinya hipertensi.
Nikotin dalam rokok dan obat seperti kokain menyebabkan
peningkatan tekanan darah dengan segera dan tergantung
dengan
dosis.
Kebiasaan
mengkonsumsi
substansi
ini
mempunyai implikasi di dalam insiden hipertensi. Pasien
23
hipertensi dengan kebiasaan merokok mempunyai risiko lebih
besar mengalami penyakit kardiovaskular dan stroke.
h. Stress
Stress dapat meningkatkan resistensi pembuluh darah
perifer dan curah jantung sehingga akan menstimulasi aktivitas
saraf simpatis. Peningkatan simpatis akan meningkatkan kerja
jantung dan meningkatkan tekanan darah (Susilo dan
Wulandari, 2011).
i. Kafein
Konsumsi kafein dalam jumlah yang berlebihan juga dapat
menjadi
faktor resiko
terjadi hipertensi.
Kafein
dapat
menimbulkan perangsangan saraf simpatis, yang pada orangorang tertentu dapat menimbulkan gejala jantung berdebardebar, sesak napas dan lain-lain (Susilo dan Wulandari, 2011)
j. Kolesterol tinggi
Kandungan lemak yang berlebihan dalam darah dapat
menyebabkan penimbunan kolesterol pada dinding pembuluh
darah, sehingga pembuluh darah akan menyempit dan
akibatnya
tekanan
darah
akan
meningkat
(Susilo
dan
Wulandari, 2011)
2.2.6
Pencegahan
Untuk menghindari faktor-faktor penyebab dan faktor resiko
timbulnya hipertensi haruslah memiliki pola hidup yang sehat dan
24
teratur. Berikut yang dapat dilakukan untuk mencegah hipertensi
(Susilo dan Wulandari, 2011):
1. Pola makan sehat yaitu makan makanan yang mengandung
kalori dan kebutuhan nutrisi sesuai dengan kebutuhan.
a. Kurangi konsumsi garam dalam makanan sehari-hari
b. Konsumsi
makanan
yang
mengandung
kalium,
magnesium dan kalsium karena dapat mengurangi
hipertensi seperti pisang dan alpukat
c. Kurangi minuman beralkohol dan bersoda
d. Makan sayuran dan buah-buahan berserat tinggi seperti
sayuran hijau, pisang, tomat, wortel, melon dan jeruk
e. Kendalikan diabetes bila ada
f. Hindari konsumsi obat yang dapat meningkatkan
tekanan darah
g. Tidur cukup antara 6-8 jam setiap hari.
h. Konsumsi minyak ikan, karena mengandung omega-3
yang dapat menurunkan tekanan darah secara signifikan
i. Puasa yang rutin juga sangat baik untuk mengendalikan
tekanan darah
2. Pola hidup sehat
a. Melakukan olahraga teratur. pada penderita hipertensi
dapat melakukan olahraga ringan seperti berjalan kaki,
25
bersepeda, lari santai dan berenang. Dilakukan selama
30 hingga 45 menit sehari sebanyak tiga kali seminggu.
b. Mengendalikan emosi dan mengurangi kecemasan
c. Berhenti merokok. Selain dapat meningkatkan faktor
resiko
terkena
hipertensi,
merokok
juga
dapat
menyebabkan komplikasi pada penyakit paru dan
kardiovaskular yang lain.
2.3
Sistem Pernapasan
2.3.1
Fisiologi Pernapasan
Fungsi sistem pernapasan adalah untuk mengambil oksigen
(O2) dari atmosfer ke dalam sel-sel tubuh dan untuk mentrasnpor
karbon dioksida (CO2) yang dihasilkan sel-sel tubuh kembali ke
atmosfer (Sloane, 2004). Proses respirasi adalah sebagai berikut:
1) ventilasi pulmonal (pernapasan) adalah jalan masuk dan ke
luar udara dari saluran pernapasan dan paru-paru.
2) Respirasi eksternal adalah difusi O2 dan CO2 antara udara
dalam paru dan kapilar pulmonal.
3) Respirasi internal adalah difusi O2 dan CO2 antara sel darah
dan sel-sel jaringan.
4) Respirasi selular adalah penggunaan O2 oleh sel-sel tubuh
untuk produksi energi dan pelepasan produksi oksidasi (CO2
dan air) oleh sel-sel tubuh.
26
Sistem pernapasan mencakup paru dan sistem saluran yang
menghubungkan tempat berlangsungnya pertukaran gas dengan
lingkungan luar. Juga terdapat suatu mekanisme ventilasi yang
terdiri atas rangka toraks, otot interkostal, diafragma dan unsur
elastis serta kolagen paru penting dalam memindahkan udara
melalui bagian konduksi dan respirasi paru. Sistem pernapasan
dibagi dalam 2 bagian utama yaitu 1) bagian konduksi yang terdiri
atas rongga hidung, nasofaring, laring, trakea, bronkus, dan
bronkiolus terminalis; 2) bagian respirasi (tempat berlangsungnya
pertukaran gas), terdiri atas bronkiolus respiratorius, duktus
alveolaris, dan alveolus (Jonueira, et al., 1997).
2.3.2
Pengaturan Aktivitas Pusat Pernapasan
Pernapasan bertujuan untuk mempertahankan konsentrasi
oksigen, karbondioksida dan ion hidrogen yang sesuai dalam
jaringan. Pengaturan aktivitas pernapasan diatur oleh pusat
pernapasan di sistem saraf pusat pada medulla oblongata dan pons
pada batang otak. Kelebihan karbondioksida atau kelebihan ion
hidrogen dalam darah terutama bekerja langsung pada pusat
pernapasan itu sendiri, menyebabkan kekuatan sinyal motorik
inspirasi dan ekspirasi ke otot-otot pernapasan sangat meningkat.
Oksigen, sebaliknya, tidak mempunyai efek langsung
yang
bermakna terhadap pusat pernapasan di otak dalam pengaturan
pernapasan. Justru, oksigen bekerja hampir seluruhnya pada
27
mekanisme
lain
yang
mengatur
pernapasan
yaitu
sistem
kemoreseptor perifer. Reseptor kimia saraf khusus (kemoreseptor)
penting untuk mendeteksi perubahan oksigen dalam darah, sedikit
berespon terhadap perubahan konsentrasi karbon dioksida dan ion
hidrogen. Kemoreseptor berperan membantu mengatur aktivitas
pernapasan dengan mentrasmisikan sinyal
saraf ke
pusat
pernapasan di otak. Kemoreseptor ini terletak di beberapa area di
luar otak. Sebagian besar terletak di badan karotis. Namun, dalam
jumlah yang sedikit terletak juga di badan aorta dan dalam jumlah
yang sangat sedikit terletak di tempat lain yang berkaitan dengan
arteri-arteri lainnya dari regio toraks dan regio abdomen tubuh.
Badan karotis terletak bilateral pada percabangan arteri karotis
komunis. Serabut saraf aferennya berjalan melalui nervus hering ke
nervus glosofaringeus dan kemudian ke area pernapasan dorsal di
medula. Badan aorta terletak di sepanjang arkus aorta; serabut
aferennya berjalan melalui nervus vagus, juga ke area pernapasan
dorsal medula. Tiap-tiap badan kemoreseptor ini menerima suplai
darah khususnya miliknya sendiri melalui arteri kecil secara
langsung dari arteri besar yang berdekatan. Darah yang mengalir
melalui badan-badan ini bersifat ekstrem, yaitu 20 kali berat
badannya sendiri setiap menit. Oleh karena itu, persentase
pemindahan oksigen dari darah yang mengalir sebetulnya nol. Hal
ini berarti bahwa kemoreseptor setiap saat terekspos dengan darah
28
arteri, bukan dengan darah vena, dan PO2-nya merupakan PO2
arteri (Guyton dan Hall, 2006).
Gambar 2.2 Pengaturan pernapasan oleh kemoreseptor perifer
di dalam badan karotis dan badan aorta (Guyton dan Hall,
2006)
2.3.3
Pengaruh Aktivitas Respirasi
Aktivitas fisik yang berhubungan dengan respirasi di mana
terjadi inspirasi dan repirasi mempunyai efek besar pada aliran
darah balik dan curah jantung (cardiac output). Selama inspirasi
normal, tekanan intratoraks berkisar 7 mmHg, di mana diafragma
berkontraksi dan rongga dada mengembang. Tekanan ini
meningkat dengan jumlah yang sama selama ekspirasi. Selama
pernapasan berlangsung, tidak hanya pergerakan udara ke luar
masuk paru yang terjadi, namun tekanan yang dihasilkan juga
ditransmisikan ke dinding-dinding vena besar di rongga dada dan
29
mempengaruhi aliran balik vena dari perifer ke jantung. Fenomena
ini disebut juga dengan pompa respirasi (Mohrman and Jane,
2006).
Gambar 2.3 Pengaruh inspirasi respirasi terhadap
kardiovaskular (Mohrman and Jane, 2006)
Selama inspirasi, tekanan intratoraks berkurang sehingga
tekanan di vena sentral juga berkurang. Hal ini menyebabkan aliran
balik vena dan volume vena sentral meningkat sehingga pengisian
jantung kanan meningkat. Sesuai hukum starling, keadaan ini juga
meningkatkan stroke volume dan cardiac output di jantung kiri.
Hal ini akan meningkatkan tekanan darah arteri dan merangsang
baroreseptor arterial. Proses inspirasi yang mengurangi tekanan
intratoraks juga merangsang baroreseptor di pembuluh darah dan
dinding jantung. Rangsangan yangg diterima oleh kedua reseptor
akan mengaktivasi medullary cardiovascular centers untuk
30
menurunkan tekanan darah yaitu dengan meningkatkan kerja
parasimpatis dan menurunkan kerja simpatis (Mohrman and Jane,
2006).
2.4
Slow Deep Breathing
Slow deep breathing merupakan tindakan yang disadari untuk
mengatur pernapasan secara dalam dan lambat yang dapat menimbulkan
efek relaksasi. Terapi relaksasi banyak digunakan dalam kehidupan seharihari untuk dapat mengatasi berbagai masalah misalnya stres, ketegangan
otot, nyeri, hipertensi, gangguan pernapasan, dan lain-lain. Relaksasi
secara umum merupakan keadaan menurunnya kognitif, fisiologi, dan
perilaku (Potter and Perry, 2006). Pada saat relaksasi terjadi perpanjangan
serabut otot, menurunnya pengiriman impuls saraf ke otak, menurunnya
aktivitas otak, dan fungsi tubuh yang lain. Karakteristik dari respon
relaksasi ditandai oleh menurunnya denyut nadi, jumlah pernapasan,
penurunan tekanan darah, dan peningkatan konsumsi oksigen (Potter and
Perry, 2006).
Penelitian oleh Astin, dalam buku Potter (2006), menunjukkan
bahwa relaksasi dapat menurunkan nyeri dan mengontrol tekanan darah.
Napas dalam lambat dapat mensimulasi respon saraf otonom melalui
pengeluaran neurotransmitter endorphin yang berefek pada penurunan
respon saraf simpatis dan peningkatan respon parasimpatis. Stimulasi saraf
simpastis meningkatkan aktivitas tubuh, sedangkan respon saraf
31
parasimpatis lebih banyak menurunkan aktivitas tubuh atau relaksasi
sehingga
dapat
menurunkan
aktivitas
metabolik
(Velkumary
&
Madanmohan, 2004).
2.4.1
Mekanisme Fisiologi Slow Deep Breathing
Pernapasan dengan metode latihan slow deep breathing
akan menyebabkan rileksasi sehingga menstimulasi pengeluaran
hormon endorphine yang berefek langsung terhadap sistem saraf
otonom dan menyebabkan penurunan kerja sistem saraf simpatis
dan peningkatan kerja sistem saraf parasimpatis sehingga terjadi
penurunan tekanan darah (Lovastatin, 2005). Selain itu, dengan
ekshalasi yang panjang daripada metode latihan slow deep
breathing akan menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan
intratoraks di paru selama inspirasi yang akan menyebabkan
peningkatan kadar oksigen di dalam jaringan tubuh. Oksigen yang
meningkat akan mengaktivasi refleks kemoreseptor yang banyak
terdapat di badan karotis, badan aorta dan sedikit pada rongga
toraks dan paru. Aktivasi kemoreseptor ini akan mentransmisikan
sinyal saraf ke pusat pernapasan tepatnya di medula oblongata
yang juga menjadi tempat medullary cardiovascular centre. Sinyal
yang di kirim ke otak akan menyebabkan aktivitas kerja saraf
parasimpatis meningkat dan menurunkan aktivitas kerja saraf
simpatis sehingga akan menyebabkan penurunan tekanan darah.
Peningkatan tekanan intratoraks di paru tidak hanya menyebabkan
32
peningkatan
oksigen
jaringan,
namun
juga
menyebabkan
penurunan tekanan di vena sentral yang mengakibatkan aliran balik
vena dan peningkatan volume vena sentral sehingga curah jantung
dan stroke volume akan meningkat di jantung kiri. Hal ini
mengaktivasi refleks baroreseptor melalui peningkatan tekanan
arteri di pembuluh akibat terjadinya peningkatan stroke volume
dan curah jantung di jantung kiri sehingga terjadi penurunan
tekanan darah dari aktivasi refleks baroreseptor yang mengirimkan
sinyal ke medullary cardiovascular centre di medula oblongata
yang menyebabkan peningkatan kerja saraf parasimpatis dan
penurunan kerja saraf simpatis (Joohan,2000).
2.4.2
Metode Latihan Slow Deep Breathing
Slow deep breathing adalah metode bernapas yang frekuensi
bernapas kurang dari 10 kali permenit dengan fase ekshalasi yang
panjang (Breathesy, 2006). Slow deep breathing adalah gabungan dari
metode napas dalam (deep breathing) dan napas lambat sehingga
dalam pelaksanaan latihan pasien melakukan napas dalam frekuensi
kurang dari atau sama dengan 10 kali permenit.
Langkah-langkah dalam latihan slow deep breathing, menurut
University of Pittsburgh Medical Center, (2003).
1. Atur pasien dengan posisi duduk
2. Kedua tangan pasien diletakkan di atas abdomen
33
3. Anjurkan melakukan napas secara perlahan dan dalam melalui
hidung dan tarik napas selama 3 detik, rasakan abdomen
mengembang saat menarik napas
4. Tahan napas selama 3 detik
5. Kerutkan bibir, keluarkan melalui mulut dan hembuskan napas
secara perlahan selama 6 detik. Rasakan abdomen bergerak ke
bawah
6. Ulangi langkah 1 sampai 5 selama 15 menit
7. Latihan slow deep breathing dilakukan dengan frekuensi 2 kali
sehari.
2.5
Deep Breathing
Deep breathing exercise merupakan latihan pernapasan dengan
teknik bernapas secara perlahan dan dalam menggunakan otot diagfragma,
sehingga
memungkinkan
abdomen
terangkat
perlahan
dan
dada
mengembang penuh (Smeltzer, et al., 2008). Tujuan deep breathing
exercise yaitu untuk mencapai ventilasi yang lebih terkontrol dan efisien
serta mengurangi kerja pernapasan; meningkatkan inflasi alveolar
maksimal, relaksasi otot dan menghilangkan ansietas; mencegah pola
aktivitas otot pernapasan yang tidak berguna, melambatkan frekuensi
pernapasan, mengurangi udara yang terperangkap serta mengurangi kerja
bernapas (Smeltzer, et al., 2008).
34
Latihan pernapasan dengan teknik deep breathing membantu
meningkatkan compliance paru untuk melatih kembali otot pernapasan
berfungsi dengan baik serta mencegah distress pernapasan (Ignatavicius, et
al, 2006). Pemulihan kemampuan otot pernapasan akan meningkatkan
compliance paru sehingga membantu ventilasi lebih adequat sehingga
menunjang oksigenasi jaringan (Westerdahl, et al., 2005). Tujuan latihan
deep breathing adalah untuk meningkatkan volume paru, meningkatkan
dan redistribusi ventilasi, mempertahankan alveolus tetap mengembang,
meningkatkan oksigenasi, membantu membersihkan sekresi, mobilisasi
torak dan meningkatkan kekuatan dan daya tahan serta efisiensi dari otototot pernapasan (Nurbasuki, 2008).
2.5.1
Mekanisme Fisiologi Deep Breathing
Selama
metode
inspirasi
dengan
deep
breathing
berlangsung, akan menyebabkan abdomen dan rongga dada terisi
penuh mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan intratoraks
di paru. Hal ini menyebabkan peningkatan kadar oksigen di dalam
jaringan tubuh. Oksigen yang meningkat akan mengaktivasi
kemoreseptor yang peka terhadap perubahan kadar oksigen di
dalam
jaringan
tubuh,
kemudian
kemoreseptor
akan
mentransmisikan sinyal saraf ke pusat pernapasan tepatnya di
medula
oblongata
yang
juga
menjadi
tempat
medullary
cardiovascular centre. Sinyal yang ditransmisikan ke otak akan
menyebabkan aktivitas kerja saraf parasimpatis meningkat dan
35
menurunkan aktivitas kerja saraf simpatis sehingga akan
menyebabkan penurunan tekanan darah. Peningkatan tekanan
intratoraks di paru tidak hanya menyebabkan peningkatan oksigen
jaringan, namun juga mampu mengaktivasi refleks baroreseptor
melalui peningkatan tekanan arteri di pembuluh akibat terjadinya
peningkatan stroke volume dan curah jantung di jantung kiri.
Akibatnya adalah terjadi penurunan tekanan darah dari aktivasi
refleks baroreseptor yang mengirimkan sinyal ke medullary
cardiovascular centre di medula oblongata yang menyebabkan
peningkatan kerja saraf parasimpatis dan penurunan kerja saraf
simpatis (Joohan, 2000).
2.5.2
Metode Latihan Deep Breathing
Deep breathing exercise merupakan bagian dari fisioterapi
khususnya dalam kasus yang berhubungan dengan sistem
kardiorespirasi.
Latihan
pernapasan
ini
bertujuan
untuk
meningkatkan kemampuan otot-otot pernapasan yang berguna
untuk meningkatkan compliance paru untuk meningkatkan fungsi
ventilasi dan memperbaiki oksigenasi. Teknik deep breathing
exercise yang dipublikasikan oleh Smeltzer, et al., (2008) adalah
sebagai berikut:
1. mengatur posisi klien dengan semi fowler/fowler di tempat
tidur/kursi;
36
2. meletakkan satu tangan klien di atas abdomen (tepat di bawah
iga) dan tangan lainnya pada tengah dada untuk merasakan
gerakan dada dan abdomen saat bernapas;
3. menarik napas dalam melalui hidung selama 4 detik sampai
dada dan abdomen terasa terangkat maksimal, jaga mulut tetap
tertutup selama inspirasi, tahan napas selama 2 detik;
4. menghembuskan napas melalui bibir yang dirapatkan dan
sedikit terbuka sambil mengontraksikan otot- otot abdomen
dalam 4 detik;
5. melakukan pengulangan selama 1 menit dengan jeda 2 detik
setiap pengulangan, mengikuti dengan periode istirahat 2
menit;
6. melakukan latihan dalam 5 siklus selama 15 menit, 2 kali
sehari.
Download