BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Tekanan Darah Tekanan darah merupakan gaya yang ditimbulkan oleh darah terhadap dinding pembuluh, bergantung pada volume darah yang terkandung di dalam pembuluh dan compliance atau daya regang dinding pembuluh darah yang bersangkutan. Tekanan maksimum yang ditimbulkan di arteri sewaktu darah disemprotkan masuk ke dalam arteri selama sistol (tekanan sistolik) rata-rata adalah 120 mmHg. Tekanan minimum di dalam arteri sewaktu darah mengalir ke luar ke pembuluh di hilir selama diastol (tekanan diastolik) rata-rata adalah 80 mmHg. Sedangkan tekanan pada nadi adalah perbedaan antara tekanan darah sistolik dan diastolik (Sherwood, 2006). Terdapat 2 sistem pengaturan tekanan darah di dalam tubuh manusia yaitu: 1. Sistem pengaturan tekanan darah jangka pendek Pengaturan jangka pendek dikendalikan oleh sistem saraf simpatis, terutama melalui efek sistem saraf pada tahanan vaskular perifer total dan kemampuan memompa jantung (Guyton dan Hall, 2006). Mekanisme utama dalam proses pengaturan tekanan darah berjalan sesuai dengan mekanisme umpan balik negatif yaitu mekanisme 7 8 perangsangan yang akan mengurangi impuls respon tubuh. Mekanisme ini membutuhkan sensor/reseptor, neuron aferen, sistem saraf pusat, neuron eferen dan efektor (Ronny, et al 2009). Menurut Sherwood (2006), terdapat beberapa sensor yang mendeteksi perubahan tekanan darah sebagai berikut: a. Refleks Baroreseptor Refleks ini berperan pada setiap perubahan tekanan darah yang diperantarai secara otonom. Baroreseptor terdapat di sinus karotis dan arkus aorta yang bekerja sangat cepat untuk mengkompensasi perubahan tekanan darah. Secara kontinu, baroreseptor menghasilkan potensial aksi sebagai respon terhadap tekanan di dalam arteri. Jika tekanan arteri meningkat, potensial aksi juga akan meningkat sehingga kecepatan pembentukan potensial aksi di neuron eferen yang bersangkutan juga akan meningkat. Begitu juga sebaliknya saat terjadi penurunan tekanan darah. Di saat tekanan arteri terlalu tinggi, pusat kontrol kardiovaskuler berespon dengan mengurangi aktivitas simpatis dan meningkatkan aktivitas parasimpatis. Sinyal-sinyal eferen ini menurunkan kecepatan denyut jantung, menurunkan volume sekuncup, menimbulkan vasodilatasi arteriol dan vena serta menurunkan curah jantung dan resistensi perifer total, sehingga tekanan darah kembali normal. Begitu juga sebaliknya jika tekanan darah turun di bawah normal. 9 b. Osmoreseptor hipotalamus dan reseptor volume pada atrium kiri Osmoreseptor pada hipotalamus peka terhadap perubahan osmolaritas darah yang dipengaruhi oleh keseimbangan cairan tubuh, ke duanya mempengaruhi regulasi jangka panjang tekanan darah dengan mengontrol volume darah c. Kemoreseptor pada arteri karotis dan aorta Kemoreseptor tersebut peka terhadap kadar O2 rendah atau keasaman tinggi pada darah. Fungsi utamanya adalah secara refleks meningkatkan aktivitas pernapasan sehingga lebih banyak O2 yang masuk atau lebih banyak CO2 pembentuk asam yang ke luar. Apabila kandungan oksigen turun atau kadar karbondioksida dalam darah meningkat, maka kemoreseptor yang berada di arkus aorta dan pembuluh-pembuluh darah besar di leher mengirim impuls ke pusat vasomotor dan terjadilah vasokonstriksi, selanjutnya peningkatan tekanan darah membantu mempercepat darah kembali ke jantung dan ke paru. Dengan meningkatnya tekanan darah akan mengakibatkan peningkatan pada pengiriman potensial aksi ke pusat pengontrolan kardiovaskuler. Di samping itu reseptor ini juga akan menyampaikan impuls eksitatorik ke pusat kardiovaskuler. d. Sistem saraf pusat Sistem saraf akan mempengaruhi tekanan darah melalui perangsangan simpatis dan parasimpatis. Emosi dan perilaku 10 tertentu mempengaruhi kerja simpatis yang berefek pada respon kardiovaskular. e. Olahraga Perubahan mencolok pada sistem kardiovaskular terjadi saat berolahraga, termasuk peningkatan besar aliran darah otot rangka, peningkatan curah jantung, penurunan resistensi perifer total. f. Kontrol hipotalamus terhadap arteriol kulit Tekanan darah dapat turun pada saat pembuluh kulit mengalami dilatasi menyeluruh untuk mengeluarkan kelebihan panas dari tubuh. 2. Sistem pengaturan tekanan darah jangka panjang Pengaturan jangka panjang berkaitan dengan homeostatis volume cairan tubuh, yang ditentukan oleh keseimbangan antara asupan dan keluaran cairan. Bila tubuh mengandung banyak cairan ekstrasel, volume darah dan tekanan arteri akan meningkat. Peningkatan tekanan ini kemudian mempengaruhi ginjal untuk mengekskresikan kelebihan cairan ekstrasel, sehingga pengembalian tekanan kembali normal (Guyton and Hall, 2006). Pengaturan tekanan darah intermitten dan jangka panjang dipengaruhi secara vasoaktif, meliputi: a. Epinefrin, berasal dari medula adrenal, berikatan dengan reseptor α1 (vasokonstriksi) dan reseptor β2 (vasodilatasi), juga berikatan 11 dengan β1 (meningkatkan denyut jantung dan kekuatan kontraksi) (Ronny, et al., 2009) b. Serotonin 5-hidroksitriptamin, biasanya terdapat pada saraf terminal, trombosit dan sel mast. Zat ini menyebakan vasokonstriksi (Ronny, et al., 2009) c. Histamin, biasanya dikelurkan saat terjadi luka atau inflamsi yang dapat menyebabkan pembuluh darah di otot polos vasodilatasi, tetapi otot polos viseral berkontraksi (Ronny, et al., 2009) d. Angiotensin II, merupakan bagian dari sistem renin angiotensin aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokontriktor yang sangat kuat. Walaupun hanya berada dalam darah 1 atau 2 menit dalam darah, tetapi angiotensin II mempunyai pengaruh utama yang dapat meningkatkan tekanan arteri, yaitu sebagai vasokonstriksi di berbagai daerah tubuh serta menurunkan ekskresi garam dan air oleh ginjal. 2.2 Pre-Hipertensi 2.2.1 Definisi Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah diastolik dan sistolik secara intermitten atau terus menerus. Umumnya adalah tekanan darah systolik secara intermitten 139 mm Hg atau lebih atau tekanan darah diastolik 89 mm Hg atau lebih mengindikasikan hipertensi. Prehipertensi nampaknya menjadi sebuah precursor dari hipertensi (Cooper, et al., 12 2009). Vasan et al., (2001) melaporkan bahwa konversi prehipertensi menjadi hipertensi selama waktu 4 tahun adalah 30%. Adapun empat kategori definisi tekanan darah menurut The Seventh Report of the Joint National Committee on the Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNCVII, 2013): 1. Tekanan darah normal : Tekanan darah sistolik <120 mmHg da tekanan darah diastolik <80 mmHg 2. Prehipertensi : Tekanan darah sistolik 120-139 mmHg atau tekanan darah diastolik 80-89 mmHg 3. Hipertensi tahap I : Tekanan darah sistolik ≥140-159 mmHg atau tekanan darah diastolik 90-99 mmHg 4. Hipertensi tahap II : Tekanan darah sistolik ≥160 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥100 mmHg Dari ke-empat kategori di atas, terdapat kategori tekanan darah baru yaitu "prehypertension" untuk tekanan darah systolik dan diastolik 120 -139 mm Hg dan 85 sampai 89 mm Hg (Chonabian, et al., 2003). Prehipertensi cenderung berkembang menjadi hipertensi dari pada orang yang mempunyai tekanan darah normal (normotensive) (Quresi, et al., 2005). Pada tahun 1999-2000 lebih dari 88% orang dengan prehipertensi mempunyai sedikitnya 1 faktor resiko kardiovaskuler (Greenlund, et al., 2004). 13 Prevalensi faktor risiko penyakit jantung dan stroke pada orang dengan prehipertensi adalah: 1. Cenderung lebih banyak laki-laki dari pada perempuan (40% vs 23%). 2. Orang dengan Overweight lebih cenderung mempunyai prehipertensi dari pada orang yang mempunyai berat badan normal. 3. BMI lebih dari 25 kg/m2 atau lebih berhubungan dengan resiko prehipertensi yang meningkat 50% 4. BMI 30 kg/m2 atau lebih berhubungan dengan 2 kali peningkatan resiko prehipertensi. Toikka et al., (2000) mendemonstrasikan bahwa prehipertensi berhubungan dengan penebalan intima-media brakhilais dan karotis. Sementara itu, Washio et al., (2004) menemukan bahwa ada peningkatan resiko stenosis karotis pada pasien dengan prehipertensi. Penemuan tersebut menunjukkan bahwa perubahan patologi telah dimulai bahkan pada kondisi prehipertensi. Berkaitan dengan faktor risiko penyakit arteri koroner, di antara pasien prehipertensi, menunjukkan risiko 2,9 kali pada orang berumur 45 sampai 64 tahun dan 4,4 kali pada orang yang berumur 65 tahun atau lebih dibandingkan dengan orang yang berumur di bawah 45 tahun, dan lebih tinggi pada laki-laki (2,5 kali), orang dengan diabetes (2,1 kali), dan pasien dengan hypercholesterolemia (1,5 kali) (Qureshi, et al., 2005). 14 2.2.2 Jenis Hipertensi Menurut Gray, et al., (2005), hipertensi dibagi berdasarkan penyebabnya menjadi dua jenis: a. Hipertensi primer Disebut juga sebagai hipertensi esensial atau idiopatik dan merupakan 95% dari kasus-kasus hipertensi. Tekanan darah merupakan hasil curah jantung dan resistensi vaskular, sehingga tekanan darah meningkat jika curah jantung meningkat, resistensi vaskular bertambah atau ke duanya. Meskipun mekanisme yang berhubungan dengan penyebab hipertensi melibatkan perubahan-perubahan tersebut, hipertensi sebagai kondisi klinis biasanya diketahui beberapa tahun setelah kecenderungan tersebut dimulai. Dan pada saat itu terjadi beberapa mekanisme fisiologis kompensasi sekunder, sehingga kelainan curah jantung atau resistensi perifer tidak diketahui dengan jelas. b. Hipertensi sekunder Sekitar 5% kasus hipertensi telah diketahui penyebabnya, dan dapat dikelompokkan menjadi: 1. Penyakit parenkim ginjal (3%), setiap penyebab gagal ginjal yang dapat menyebabkan kerusakan parenkim ginjal, akan cenderung menimbulkan hipertensi dan hipertensi itu sendiri akan mengakibatkan kerusakan ginjal. 15 2. Penyakit renovaskular (1%), terdiri dari penyakit yang menyebabkan gangguan pasokan darah ginjal, yaitu arterosklerosis dan fibrodisplasia. Penurunan pasokan darah ginjal akan memacu produksi renin ipsilateral dan meningkatkan tekanan darah. 3. Endokrin (1%), pertimbangkan aldosteronisme primer (sindrom Conn) jika terdapat hipokalemia bersama hipertensi. Tingginya kadar aldosteron dan renin yang rendah akan mengakibatkan kelebihan natrium dan air. Biasanya disebabkan adenoma jinak soliter atau hiperplasia adrenal bilateral. 4. Sindrom cushing, disebabkan oleh hiperplasia adrenal yang disebabkan oleh adenoma hipofisis yang menghasilkan ACTH (adenocorticotrophic hormone) pada dua per tiga kasus dan tumor adrenal primer pada sepertiga kasus. 5. Hiperplasia adrenal kongenital, merupakan penyebab hipertensi pada anak namun kejadian ini masih sangat jarang ditemui. 6. Feokromositosoma, disebabkan oleh sel tumor sel kromafin asal neural yang mensekresikan katekolamin, 90 % berasal dari kelenjar adrenal dan 10 % lainnya terjadi di tempat lain. Hipertensi pada kehamilan, terjadi sekitar 10% pada kehamilan pertama dan lebih sering terjadi pada ibu muda. 16 Diperkirakan karena aliran uretroplasental yang kurang baik dan umumnya terjadi pada trimester terakhir atau awal periode postpartum. 7. Hipertensi akibat obat, yang paling banyak menyebabkan hipertensi adalah penggunaan pil kontrasepsi oral (OCP), dengan 5% perempuan mengalami hipertensi dalam 5 tahun sejak mulai penggunaan. 2.2.3 Epidemiologi Peningkatan tekanan darah menjadi bagian yang normal dari proses degeneratif. Menurut American Heart Association (AHA), penduduk Amerika yang berusia di atas 20 tahun menderita hipertensi telah mencapai angka hingga 74,5 juta jiwa, namun hampir sekitar 90-95% kasus tidak diketahui penyebabnya. Berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah, prevalensi hipertensi pada penduduk umur 18 tahun ke atas tahun 2007 di Indonesia adalah sebesar 31,7%. Sedangkan, pada tahun 2013 terjadi penurunan sebesar 5,9% (dari 31,7% menjadi 25,8%). Sama halnya pada provinsi Bali, terjadi penurunan yang sekitar 10% dari tahun 2007 sampai tahun 2013. Provinsi Bali masuk ke dalam peringkat 2 dari 5 provinsi dengan prevalensi hipertensi terendah dengan jumlah 840.851 jiwa dari 4.225.384 juta jiwa (Pusdatin, Kemenkes 2013). 17 2.2.4 Patofisiologi Terdapat empat sistem kontrol yang berperan dalam mempertahankan tekanan darah antara lain sistem baroreseptor arteri, pengaturan volume cairan, sistem renin angiotensin dan autoregulasi vaskular (Udjianti, 2010). Sistem baroreseptor merupakan monitor derajat tekanan arteri dan meniadakan peningkatan tekanan arteri melalui mekanisme perlambatan jantung oleh respon vagal (stimulasi parasimpatis) dan vasodilatasi. Terdapat banyak mekanisme pengatur saraf khusus yang bekerja sepanjang waktu dan bersifat bawah sadar untuk mempertahankan tekanan arteri pada atau tekanan normal. Sejauh ini, mekanisme saraf untuk mengatur tekanan arteri yang paling diketahui ialah refleks baroreseptor yang terletak pada titik-titik spesifik di dinding beberapa arteri sistemik besar. Peningkatan tekanan arteri akan meregangkan baroreseptor dan menyebabkan menjalarnya sinyal menuju sistem saraf pusat. Sinyal “umpan balik” kemudian dikirim kembali melalui sistem saraf otonom ke sirkulasi untuk mengurangi tekanan arteri kembali ke nilai normal (Guyton dan Hall, 2006). Baroreseptor merupakan ujung saraf tipe memancar (spraytipe) yang terletak di dalam dinding arteri; baroreseptor terangsang 18 bila teregang. Pada hampir semua arteri besar yang terletak di daerah toraks dan leher, dapat dijumpai sejumlah kecil baroreseptor; tetapi, jumlah baroreseptor berlimpah di dalam (1) dinding setiap arteri karotis interna yang terletak sedikit di atas bifurkasio karotis, suatu daerah yang dikenal sebagai sinus karotis dan (2) dinding arkus aorta (Guyton dan Hall, 2006). Gambar 2.1 Sistem Baroreseptor untuk mengendalikan tekanan arteri (Guyton dan Hall, 2006) Gambar di atas menunjukkan bahwa sinyal dari “baroreseptor karotis” dijalarkan melalui saraf Hering yang sangat kecil menuju saraf glosofaringeus di leher bagian atas dan kemudian ke traktus solitarius di daerah medula batang otak. 19 Sinyal dari “baroreseptor aorta” di arkus aorta dijalarkan melalui nervus vagus menuju traktus solitarius yang sama di medula (Guyton dan Hall, 2006). Refleks sirkulasi terhadap perubahan tekanan darah diawali oleh baroreseptor di mana setelah sinyal baroreseptor memasuki traktus solitarius medula, sinyal sekunder menghambat pusat vasokonstriktor di medula dan merangsang pusat parasimpatis vagus. Efek yang terjadi adalah (1) vasodilatasi vena dan arteriol di seluruh sistem sirkulasi perifer dan (2) berkurangnya frekuensi denyut jantung dan kekuatan kontraksi jantung. Oleh karena itu, perangsangan beroreseptor akibat tekanan tinggi di dalam arteri secara refleks menyebabkan penurunan tekanan arteri akibat penurunan tahanan perifer dan penurunan curah jantung. Sebaliknya, tekanan yang rendah mempunyai efek berlawanan, yang secara refleks menyebabkan tekanan meningkat kembali menjadi normal (Guyton dan Hall, 2006). 2.2.5 Faktor Resiko Sampai saat ini penyebab hipertensi primer tidak diketahui dengan pasti. Hipertensi primer tidak disebabkan oleh faktor tunggal dan khusus tetapi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan (Anggraini et al, 2009). Menurut faktor pemicunya, faktor resiko hipertensi dibagi menjadi dua yaitu yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi. 20 a. Faktor genetik Terdapat banyak hasil penelitian yang menyebutkan bahwa orang yang mempunyai riwayat atau silsilah keluarga memiliki riwayat hipertensi, maka kecenderungan untuk terjadinya hipertensi juga besar (Sudarmoko, 2010). Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara potasium terhadap sodium. Individu dengan orang tua dengan hipertensi mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi daripada orang yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi. Selain itu didapatkan 70-80% kasus hipertensi esensial dengan riwayat hipertensi dalam keluarga (Anggraini et al, 2009). b. Usia Kepekaan terhadap hipertensi akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia seseorang. Individual yang berumur di atas 60 tahun, sekitar 50-60% mempunyai tekanan darah lebih besar atau sama dengan 140/90 mmHg. Hal ini merupakan pengaruh degenerasi yang terjadi pada orang yang bertambah usianya (Susilo dan Wulandari, 2011). c. Jenis kelamin Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria dan wanita cenderung sama, hanya saja wanita terlindungi dari penyakit kardiovaskular sebelum menopause. Wanita yang belum 21 mengalami menopause dilindunngi oleh hormone estrogen yang dapat meningkatkan jumlah High Density Lipoprotein (HDL). Kadar HDL yang tinggi mampu mencegah terjadinya aterosklerosis (Anggraini et al, 2009). Namun dari hasil penelitian menyebutkan bahwa pria lebih mudah terserang hipertensi dibandingkan dengan wanita, hal itu mungkin dikarenakan gaya hidup pria yang kebanyakan lebih tidak terkontrol dibandingkan wanita, misalnya kebiasaan merokok, bergadang, stres, kerja, hingga pola makan yang tidak teratur (Sudarmoko, 2010) d. Etnis Hipertensi banyak terjadi pada orang berkulit hitam daripada yang berkulit putih. Belum diketahui secara pasti penyebabnya, namun pada orang yang berkulit hitam ditemukan kadar renin yang lebih rendah dan sensitivitas terhadap vasopresin yang lebih besar (Susilo dan Wulandari, 2011). e. Obesitas Dalam penelitian Anggraini, et al (2009) dipaparkan bahwa menurut National Institutes for Health USA, Prevalensi tekanan darah tinggi pada orang dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) >30 (obesitas) adalah 38% untuk pria dan 32% untuk wanita, dibandingkan dengan prevalensi 18% untuk pria dan 17% untuk 22 wanita bagi yang memiliki IMT <25 (status gizi normal menurut standar internasional) (Anggraini et al, 2009). f. Asupan garam Asupan garam yang tinggi akan menyebabkan pengeluaran berlebihan dari hormon natriuretik yang secara tidak langsung akan meningkatkan tekanan darah (Susilo dan Wulandari, 2011). Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium di dalam cairan ekstraseluler meningkat. Untuk menormalkannya cairan intraseluler ditarik ke luar, sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat. Dengan meningkatnya cairan ekstraseluler maka terjadi peningkatan volume darah dan berdampak kepada timbulnya hipertensi (Anggraini et al, 2009). WHO merekomendasikan pola konsumsi garam dengan kadar sodium tidak lebih dari 100 mmol (sekitar 2,4 gram sodium atau 6 gram garam) perhari (Anggraini et al, 2009). g. Merokok Merokok merupakan salah satu faktor penyebab dan faktor resiko yang dapat dimodifikasi untuk terjadinya hipertensi. Nikotin dalam rokok dan obat seperti kokain menyebabkan peningkatan tekanan darah dengan segera dan tergantung dengan dosis. Kebiasaan mengkonsumsi substansi ini mempunyai implikasi di dalam insiden hipertensi. Pasien 23 hipertensi dengan kebiasaan merokok mempunyai risiko lebih besar mengalami penyakit kardiovaskular dan stroke. h. Stress Stress dapat meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer dan curah jantung sehingga akan menstimulasi aktivitas saraf simpatis. Peningkatan simpatis akan meningkatkan kerja jantung dan meningkatkan tekanan darah (Susilo dan Wulandari, 2011). i. Kafein Konsumsi kafein dalam jumlah yang berlebihan juga dapat menjadi faktor resiko terjadi hipertensi. Kafein dapat menimbulkan perangsangan saraf simpatis, yang pada orangorang tertentu dapat menimbulkan gejala jantung berdebardebar, sesak napas dan lain-lain (Susilo dan Wulandari, 2011) j. Kolesterol tinggi Kandungan lemak yang berlebihan dalam darah dapat menyebabkan penimbunan kolesterol pada dinding pembuluh darah, sehingga pembuluh darah akan menyempit dan akibatnya tekanan darah akan meningkat (Susilo dan Wulandari, 2011) 2.2.6 Pencegahan Untuk menghindari faktor-faktor penyebab dan faktor resiko timbulnya hipertensi haruslah memiliki pola hidup yang sehat dan 24 teratur. Berikut yang dapat dilakukan untuk mencegah hipertensi (Susilo dan Wulandari, 2011): 1. Pola makan sehat yaitu makan makanan yang mengandung kalori dan kebutuhan nutrisi sesuai dengan kebutuhan. a. Kurangi konsumsi garam dalam makanan sehari-hari b. Konsumsi makanan yang mengandung kalium, magnesium dan kalsium karena dapat mengurangi hipertensi seperti pisang dan alpukat c. Kurangi minuman beralkohol dan bersoda d. Makan sayuran dan buah-buahan berserat tinggi seperti sayuran hijau, pisang, tomat, wortel, melon dan jeruk e. Kendalikan diabetes bila ada f. Hindari konsumsi obat yang dapat meningkatkan tekanan darah g. Tidur cukup antara 6-8 jam setiap hari. h. Konsumsi minyak ikan, karena mengandung omega-3 yang dapat menurunkan tekanan darah secara signifikan i. Puasa yang rutin juga sangat baik untuk mengendalikan tekanan darah 2. Pola hidup sehat a. Melakukan olahraga teratur. pada penderita hipertensi dapat melakukan olahraga ringan seperti berjalan kaki, 25 bersepeda, lari santai dan berenang. Dilakukan selama 30 hingga 45 menit sehari sebanyak tiga kali seminggu. b. Mengendalikan emosi dan mengurangi kecemasan c. Berhenti merokok. Selain dapat meningkatkan faktor resiko terkena hipertensi, merokok juga dapat menyebabkan komplikasi pada penyakit paru dan kardiovaskular yang lain. 2.3 Sistem Pernapasan 2.3.1 Fisiologi Pernapasan Fungsi sistem pernapasan adalah untuk mengambil oksigen (O2) dari atmosfer ke dalam sel-sel tubuh dan untuk mentrasnpor karbon dioksida (CO2) yang dihasilkan sel-sel tubuh kembali ke atmosfer (Sloane, 2004). Proses respirasi adalah sebagai berikut: 1) ventilasi pulmonal (pernapasan) adalah jalan masuk dan ke luar udara dari saluran pernapasan dan paru-paru. 2) Respirasi eksternal adalah difusi O2 dan CO2 antara udara dalam paru dan kapilar pulmonal. 3) Respirasi internal adalah difusi O2 dan CO2 antara sel darah dan sel-sel jaringan. 4) Respirasi selular adalah penggunaan O2 oleh sel-sel tubuh untuk produksi energi dan pelepasan produksi oksidasi (CO2 dan air) oleh sel-sel tubuh. 26 Sistem pernapasan mencakup paru dan sistem saluran yang menghubungkan tempat berlangsungnya pertukaran gas dengan lingkungan luar. Juga terdapat suatu mekanisme ventilasi yang terdiri atas rangka toraks, otot interkostal, diafragma dan unsur elastis serta kolagen paru penting dalam memindahkan udara melalui bagian konduksi dan respirasi paru. Sistem pernapasan dibagi dalam 2 bagian utama yaitu 1) bagian konduksi yang terdiri atas rongga hidung, nasofaring, laring, trakea, bronkus, dan bronkiolus terminalis; 2) bagian respirasi (tempat berlangsungnya pertukaran gas), terdiri atas bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, dan alveolus (Jonueira, et al., 1997). 2.3.2 Pengaturan Aktivitas Pusat Pernapasan Pernapasan bertujuan untuk mempertahankan konsentrasi oksigen, karbondioksida dan ion hidrogen yang sesuai dalam jaringan. Pengaturan aktivitas pernapasan diatur oleh pusat pernapasan di sistem saraf pusat pada medulla oblongata dan pons pada batang otak. Kelebihan karbondioksida atau kelebihan ion hidrogen dalam darah terutama bekerja langsung pada pusat pernapasan itu sendiri, menyebabkan kekuatan sinyal motorik inspirasi dan ekspirasi ke otot-otot pernapasan sangat meningkat. Oksigen, sebaliknya, tidak mempunyai efek langsung yang bermakna terhadap pusat pernapasan di otak dalam pengaturan pernapasan. Justru, oksigen bekerja hampir seluruhnya pada 27 mekanisme lain yang mengatur pernapasan yaitu sistem kemoreseptor perifer. Reseptor kimia saraf khusus (kemoreseptor) penting untuk mendeteksi perubahan oksigen dalam darah, sedikit berespon terhadap perubahan konsentrasi karbon dioksida dan ion hidrogen. Kemoreseptor berperan membantu mengatur aktivitas pernapasan dengan mentrasmisikan sinyal saraf ke pusat pernapasan di otak. Kemoreseptor ini terletak di beberapa area di luar otak. Sebagian besar terletak di badan karotis. Namun, dalam jumlah yang sedikit terletak juga di badan aorta dan dalam jumlah yang sangat sedikit terletak di tempat lain yang berkaitan dengan arteri-arteri lainnya dari regio toraks dan regio abdomen tubuh. Badan karotis terletak bilateral pada percabangan arteri karotis komunis. Serabut saraf aferennya berjalan melalui nervus hering ke nervus glosofaringeus dan kemudian ke area pernapasan dorsal di medula. Badan aorta terletak di sepanjang arkus aorta; serabut aferennya berjalan melalui nervus vagus, juga ke area pernapasan dorsal medula. Tiap-tiap badan kemoreseptor ini menerima suplai darah khususnya miliknya sendiri melalui arteri kecil secara langsung dari arteri besar yang berdekatan. Darah yang mengalir melalui badan-badan ini bersifat ekstrem, yaitu 20 kali berat badannya sendiri setiap menit. Oleh karena itu, persentase pemindahan oksigen dari darah yang mengalir sebetulnya nol. Hal ini berarti bahwa kemoreseptor setiap saat terekspos dengan darah 28 arteri, bukan dengan darah vena, dan PO2-nya merupakan PO2 arteri (Guyton dan Hall, 2006). Gambar 2.2 Pengaturan pernapasan oleh kemoreseptor perifer di dalam badan karotis dan badan aorta (Guyton dan Hall, 2006) 2.3.3 Pengaruh Aktivitas Respirasi Aktivitas fisik yang berhubungan dengan respirasi di mana terjadi inspirasi dan repirasi mempunyai efek besar pada aliran darah balik dan curah jantung (cardiac output). Selama inspirasi normal, tekanan intratoraks berkisar 7 mmHg, di mana diafragma berkontraksi dan rongga dada mengembang. Tekanan ini meningkat dengan jumlah yang sama selama ekspirasi. Selama pernapasan berlangsung, tidak hanya pergerakan udara ke luar masuk paru yang terjadi, namun tekanan yang dihasilkan juga ditransmisikan ke dinding-dinding vena besar di rongga dada dan 29 mempengaruhi aliran balik vena dari perifer ke jantung. Fenomena ini disebut juga dengan pompa respirasi (Mohrman and Jane, 2006). Gambar 2.3 Pengaruh inspirasi respirasi terhadap kardiovaskular (Mohrman and Jane, 2006) Selama inspirasi, tekanan intratoraks berkurang sehingga tekanan di vena sentral juga berkurang. Hal ini menyebabkan aliran balik vena dan volume vena sentral meningkat sehingga pengisian jantung kanan meningkat. Sesuai hukum starling, keadaan ini juga meningkatkan stroke volume dan cardiac output di jantung kiri. Hal ini akan meningkatkan tekanan darah arteri dan merangsang baroreseptor arterial. Proses inspirasi yang mengurangi tekanan intratoraks juga merangsang baroreseptor di pembuluh darah dan dinding jantung. Rangsangan yangg diterima oleh kedua reseptor akan mengaktivasi medullary cardiovascular centers untuk 30 menurunkan tekanan darah yaitu dengan meningkatkan kerja parasimpatis dan menurunkan kerja simpatis (Mohrman and Jane, 2006). 2.4 Slow Deep Breathing Slow deep breathing merupakan tindakan yang disadari untuk mengatur pernapasan secara dalam dan lambat yang dapat menimbulkan efek relaksasi. Terapi relaksasi banyak digunakan dalam kehidupan seharihari untuk dapat mengatasi berbagai masalah misalnya stres, ketegangan otot, nyeri, hipertensi, gangguan pernapasan, dan lain-lain. Relaksasi secara umum merupakan keadaan menurunnya kognitif, fisiologi, dan perilaku (Potter and Perry, 2006). Pada saat relaksasi terjadi perpanjangan serabut otot, menurunnya pengiriman impuls saraf ke otak, menurunnya aktivitas otak, dan fungsi tubuh yang lain. Karakteristik dari respon relaksasi ditandai oleh menurunnya denyut nadi, jumlah pernapasan, penurunan tekanan darah, dan peningkatan konsumsi oksigen (Potter and Perry, 2006). Penelitian oleh Astin, dalam buku Potter (2006), menunjukkan bahwa relaksasi dapat menurunkan nyeri dan mengontrol tekanan darah. Napas dalam lambat dapat mensimulasi respon saraf otonom melalui pengeluaran neurotransmitter endorphin yang berefek pada penurunan respon saraf simpatis dan peningkatan respon parasimpatis. Stimulasi saraf simpastis meningkatkan aktivitas tubuh, sedangkan respon saraf 31 parasimpatis lebih banyak menurunkan aktivitas tubuh atau relaksasi sehingga dapat menurunkan aktivitas metabolik (Velkumary & Madanmohan, 2004). 2.4.1 Mekanisme Fisiologi Slow Deep Breathing Pernapasan dengan metode latihan slow deep breathing akan menyebabkan rileksasi sehingga menstimulasi pengeluaran hormon endorphine yang berefek langsung terhadap sistem saraf otonom dan menyebabkan penurunan kerja sistem saraf simpatis dan peningkatan kerja sistem saraf parasimpatis sehingga terjadi penurunan tekanan darah (Lovastatin, 2005). Selain itu, dengan ekshalasi yang panjang daripada metode latihan slow deep breathing akan menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intratoraks di paru selama inspirasi yang akan menyebabkan peningkatan kadar oksigen di dalam jaringan tubuh. Oksigen yang meningkat akan mengaktivasi refleks kemoreseptor yang banyak terdapat di badan karotis, badan aorta dan sedikit pada rongga toraks dan paru. Aktivasi kemoreseptor ini akan mentransmisikan sinyal saraf ke pusat pernapasan tepatnya di medula oblongata yang juga menjadi tempat medullary cardiovascular centre. Sinyal yang di kirim ke otak akan menyebabkan aktivitas kerja saraf parasimpatis meningkat dan menurunkan aktivitas kerja saraf simpatis sehingga akan menyebabkan penurunan tekanan darah. Peningkatan tekanan intratoraks di paru tidak hanya menyebabkan 32 peningkatan oksigen jaringan, namun juga menyebabkan penurunan tekanan di vena sentral yang mengakibatkan aliran balik vena dan peningkatan volume vena sentral sehingga curah jantung dan stroke volume akan meningkat di jantung kiri. Hal ini mengaktivasi refleks baroreseptor melalui peningkatan tekanan arteri di pembuluh akibat terjadinya peningkatan stroke volume dan curah jantung di jantung kiri sehingga terjadi penurunan tekanan darah dari aktivasi refleks baroreseptor yang mengirimkan sinyal ke medullary cardiovascular centre di medula oblongata yang menyebabkan peningkatan kerja saraf parasimpatis dan penurunan kerja saraf simpatis (Joohan,2000). 2.4.2 Metode Latihan Slow Deep Breathing Slow deep breathing adalah metode bernapas yang frekuensi bernapas kurang dari 10 kali permenit dengan fase ekshalasi yang panjang (Breathesy, 2006). Slow deep breathing adalah gabungan dari metode napas dalam (deep breathing) dan napas lambat sehingga dalam pelaksanaan latihan pasien melakukan napas dalam frekuensi kurang dari atau sama dengan 10 kali permenit. Langkah-langkah dalam latihan slow deep breathing, menurut University of Pittsburgh Medical Center, (2003). 1. Atur pasien dengan posisi duduk 2. Kedua tangan pasien diletakkan di atas abdomen 33 3. Anjurkan melakukan napas secara perlahan dan dalam melalui hidung dan tarik napas selama 3 detik, rasakan abdomen mengembang saat menarik napas 4. Tahan napas selama 3 detik 5. Kerutkan bibir, keluarkan melalui mulut dan hembuskan napas secara perlahan selama 6 detik. Rasakan abdomen bergerak ke bawah 6. Ulangi langkah 1 sampai 5 selama 15 menit 7. Latihan slow deep breathing dilakukan dengan frekuensi 2 kali sehari. 2.5 Deep Breathing Deep breathing exercise merupakan latihan pernapasan dengan teknik bernapas secara perlahan dan dalam menggunakan otot diagfragma, sehingga memungkinkan abdomen terangkat perlahan dan dada mengembang penuh (Smeltzer, et al., 2008). Tujuan deep breathing exercise yaitu untuk mencapai ventilasi yang lebih terkontrol dan efisien serta mengurangi kerja pernapasan; meningkatkan inflasi alveolar maksimal, relaksasi otot dan menghilangkan ansietas; mencegah pola aktivitas otot pernapasan yang tidak berguna, melambatkan frekuensi pernapasan, mengurangi udara yang terperangkap serta mengurangi kerja bernapas (Smeltzer, et al., 2008). 34 Latihan pernapasan dengan teknik deep breathing membantu meningkatkan compliance paru untuk melatih kembali otot pernapasan berfungsi dengan baik serta mencegah distress pernapasan (Ignatavicius, et al, 2006). Pemulihan kemampuan otot pernapasan akan meningkatkan compliance paru sehingga membantu ventilasi lebih adequat sehingga menunjang oksigenasi jaringan (Westerdahl, et al., 2005). Tujuan latihan deep breathing adalah untuk meningkatkan volume paru, meningkatkan dan redistribusi ventilasi, mempertahankan alveolus tetap mengembang, meningkatkan oksigenasi, membantu membersihkan sekresi, mobilisasi torak dan meningkatkan kekuatan dan daya tahan serta efisiensi dari otototot pernapasan (Nurbasuki, 2008). 2.5.1 Mekanisme Fisiologi Deep Breathing Selama metode inspirasi dengan deep breathing berlangsung, akan menyebabkan abdomen dan rongga dada terisi penuh mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan intratoraks di paru. Hal ini menyebabkan peningkatan kadar oksigen di dalam jaringan tubuh. Oksigen yang meningkat akan mengaktivasi kemoreseptor yang peka terhadap perubahan kadar oksigen di dalam jaringan tubuh, kemudian kemoreseptor akan mentransmisikan sinyal saraf ke pusat pernapasan tepatnya di medula oblongata yang juga menjadi tempat medullary cardiovascular centre. Sinyal yang ditransmisikan ke otak akan menyebabkan aktivitas kerja saraf parasimpatis meningkat dan 35 menurunkan aktivitas kerja saraf simpatis sehingga akan menyebabkan penurunan tekanan darah. Peningkatan tekanan intratoraks di paru tidak hanya menyebabkan peningkatan oksigen jaringan, namun juga mampu mengaktivasi refleks baroreseptor melalui peningkatan tekanan arteri di pembuluh akibat terjadinya peningkatan stroke volume dan curah jantung di jantung kiri. Akibatnya adalah terjadi penurunan tekanan darah dari aktivasi refleks baroreseptor yang mengirimkan sinyal ke medullary cardiovascular centre di medula oblongata yang menyebabkan peningkatan kerja saraf parasimpatis dan penurunan kerja saraf simpatis (Joohan, 2000). 2.5.2 Metode Latihan Deep Breathing Deep breathing exercise merupakan bagian dari fisioterapi khususnya dalam kasus yang berhubungan dengan sistem kardiorespirasi. Latihan pernapasan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan otot-otot pernapasan yang berguna untuk meningkatkan compliance paru untuk meningkatkan fungsi ventilasi dan memperbaiki oksigenasi. Teknik deep breathing exercise yang dipublikasikan oleh Smeltzer, et al., (2008) adalah sebagai berikut: 1. mengatur posisi klien dengan semi fowler/fowler di tempat tidur/kursi; 36 2. meletakkan satu tangan klien di atas abdomen (tepat di bawah iga) dan tangan lainnya pada tengah dada untuk merasakan gerakan dada dan abdomen saat bernapas; 3. menarik napas dalam melalui hidung selama 4 detik sampai dada dan abdomen terasa terangkat maksimal, jaga mulut tetap tertutup selama inspirasi, tahan napas selama 2 detik; 4. menghembuskan napas melalui bibir yang dirapatkan dan sedikit terbuka sambil mengontraksikan otot- otot abdomen dalam 4 detik; 5. melakukan pengulangan selama 1 menit dengan jeda 2 detik setiap pengulangan, mengikuti dengan periode istirahat 2 menit; 6. melakukan latihan dalam 5 siklus selama 15 menit, 2 kali sehari.