View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Isu lingkungan hidup menjadi sebuah isu global dan mulai dilirik para
penstudi hubungan internasional pasca perang dingin. Tepatnya pada akhir dekade
1990-an sekelompok pakar yang disebut “Copenhagen School” diantaranya Barry
Buzan, Ole Waever dan Jaap de Wilde mencoba memperluas objek rujukan isu
keamanan yang tidak lagi dimaknai keamanan “Negara” (tradisional) melainkan
juga menyangkut keamanan “manusia” (human security).1 Adapun objek rujukan
yang dimaksud sebagai bagian dari isu keamanan non-tradisional yaitu kerawanan
pangan, kemiskinan, kesehatan, lingkungan hidup, perdagangan manusia,
terorisme, dsb.
Isu lingkungan hidup kini tidak hanya menjadi isu internal negara
melainkan menjadi sebuah isu trans-boundaries (lintas batas negara). Isu
lingkungan hidup yaitu kerusakan alam akibat ulah manusia (antrophogenic
intervention) dirasakan dampaknya secara global. Adapun dampak kerusakan
lingkungan hidup akibat aktivitas ekonomi manusia yang cenderung melihat alam
hanya sebagai sumber materiil saja yaitu perubahan iklim. Fenomena perubahan
iklim biasanya lebih dikenal dengan istilah pemanasan global (global warming).
1
Yulius P. Hermawan, 2007, Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional: Aktor,
Isu dan Metodologi, Yogyakarta: Graha Ilmu, hal. 13
Definisi perubahan iklim menurut UNFCCC menunjuk pada adanya
perubahan pada iklim yang disebabkan secara langsung atau tidak langsung oleh
kegiatan manusia yang mengubah komposisi atmosfer global dan juga variabilitas
iklim alami yang diamati selama periode waktu tertentu. Fenomena perubahan
iklim ini utamanya disebabkan oleh peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer.
Dampak yang ditimbulkannya pun dirasakan secara global sehingga mendorong
upaya tingkat global dalam penyelesaiannya.
Mengingat fenomena perubahan iklim ini mengancam keamanan manusia,
maka upaya tingkat global pun berjalan. Organisasi Metereologi Dunia atau
WMO dan Program Lingkungan PBB atau UNEP, yang keduanya dibawah
naungan PBB membentuk sebuah panel antarpemerintah sejak tahun 1988. Panel
ini dinamakan IPCC yang bertugas untuk melakukan kajian khusus dan regular
terkait perubahan iklim global.
Dalam laporan IPCC yang pertama ditahun 1990 dan kemudian diperkuat
laporan tahun 2007, meramalkan bahwa ditahun 2100 nanti suhu rata-rata dunia
cenderung mengalami peningkatan sebesar 2,2°C yaitu dari 1,8°C menjadi 4°C.
Bahkan, jika tidak dilakukan upaya berarti untuk mestabilisasi GRK di atmosfer,
maka suhu rata-rata bumi bisa mencapai 5°C.2 Pemanasan global akan membawa
dampak serius pada berbagai sektor kehidupan manusia, flora dan fauna serta
makhluk bumi lainnya.
Ismid Hadad, “Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan: Sebuah Pengantar”
dalam Jurnal Prisma, Volume 29 No. 2, April 2010, hal. 4
2
Mengacu pada laporan IPCC tersebut, pada Juni 1992, UNCED
mengadakan KTT di Rio de Janeiro. Dalam KTT ini, para pemimpin dunia
bersepakat untuk mengadopsi rencana besar terkait upaya konservasi lingkungan
dan menyejahterakan manusia melalui pembangunan. Hasil yang diperoleh
diantaranya sebuah dokumen yang mengikat secara hukum (legally binding) yaitu
Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang perubahan iklim atau UNFCCC. Adapun
lembaga pengambil keputusan tertinggi dalam UNFCCC yaitu Konferensi Para
Pihak atau disebut COP.
Dalam COP yang diadakan setiap tahunnya, barulah pada COP III,
Desember 1997 di Kyoto, Jepang, negara pihak bersepakat untuk membuat suatu
komitmen yang mengikat secara hukum. Adapun komitmen ini dituangkan dalam
sebuah Protokol Kyoto sebagai kesepakatan operasional dari UNFCCC. Protokol
ini menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca untuk negara-negara
Annex I (KP Art.3 para 1).3
Negara-negara Annex I adalah negara-negara yang terdaftar sebagai
Annex I dalam UNFCCC yang terdiri dari negara-negara industri maju, termasuk
negara yang berada dalam tahap transisi ekonomi seperti Rusia dan negara-negara
Eropa timur. Target nasional berkisar dari pengurangan 8 persen untuk Uni Eropa,
7 persen untuk AS, 6 persen untuk Jepang, 0 persen untuk Rusia, dan penambahan
yang diizinkan sebesar 8 persen untuk Australia dan 10 persen untuk Islandia.4
Institute for Global Environmental Strategies (IGES), Februari 2011, “CDM dalam
Bagan versi Hyperlink”, diakses dari www.dephut.go.id/INFORMASI/INTAG/cdm.htm pada 14
Februari 2012
4
Heri Murdianto, “Carbon Trading dalam Konteks Kepentingan Indonesia”, diakses dari
http://umum.kompasiana.com/2009/06/22/carbon-trading-dalam-konteks-kepentingan-indonesia/
pada 14 Februari 2012
3
Negara-negara Annex I memiliki batas emisi GRK yang berbeda untuk
periode 2008-2012 (periode komitmen pertama). Target penurunan emisi GRK
kolektif negara Annex I berdasarkan protokol ini yaitu minimal 5,2 persen dari
emisi tahun dasar (1990) dalam periode komitmen pertama, terhitung dari 2005.5
Hal yang harus dilakukan masyarakat dunia yaitu menurunkan emisi karbon
hingga 80 persen pada tahun 2020 dari level emisi dasar tahun 1990.
Di lain pihak, negara-negara kepulauan kecil di Samudera Pasifik yaitu
AOSIS mencanangkan target kenaikan suhu maksimum 1,5°C dan konsentrasi
CO2 di atmosfer tidak lebih dari 350 ppm pada tahun 2015.6 Jika suhu bumi
dibiarkan mencapai 2°C pada tahun 2020, diperkirakan hampir setengah dari 40
negara kepulauan kecil akan tenggelam.7 Komitmen penurunan emisi GRK ini
menjadi kewajiban negara-negara Annex I mengingat tanggung jawab historis
sebagai negara-negara penghasil emisi terbesar sejak revolusi industri.
Negara berkembang tidak memiliki kewajiban untuk menurunkan emisi
pada periode tersebut, namun perlu menerapkan pola pembangunan berkelanjutan
untuk mencegah kenaikan emisi GRK. Adapun jika negara berkembang tersebut
ingin berpartisipasi maka sifatnya sukarela pada komitmen pertama. Hal ini
berdasar pada prinsip UNFCCC yaitu common but differentiated responsibilities
and respected capabilities. Prinsip ini menjelaskan semua negara memiliki
tanggung jawab bersama mencegah perubahan iklim sesuai dengan kapasitas
masing-masing dan prinsip keadilan.
5
Emil Salim, Juni 2010, Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas, hal 4
6
Ismid Hadad, op.cit., hal. 5
7
Ibid.
Sebagai salah satu negara berkembang, Indonesia merasa perlu merespon
cepat dampak perubahan iklim. Mengingat Indonesia merupakan negara
kepulauan yang akan merasakan dampak negatif langsung akibat kenaikan suhu
permukaan bumi. Selain itu, Indonesia memiliki luas kawasan hutan sekitar 132,4
juta ha menurut Kementerian Kehutanan tahun 20098 yang berpotensi menjadi
penyerap dan penyimpan CO2 (sink) atau sebagai pengemisi CO2 (source) dalam
konteks perubahan iklim. Indonesia juga dikenal sebagai negara dengan hutan
tropis terbesar ketiga dunia.9
Realitas yang terjadi bahwa hutan Indonesia diperhadapkan pada
permasalahan besar yang turut andil terhadap peningkatan emisi GRK seperti
degradasi hutan dan lahan, deforetasi akibat illegal logging, penjarahan hutan, alih
fungsi lahan dan kebakaran hutan.10 Berdasarkan hasil studi IFCA tahun 2007,
kandungan karbon hutan Indonesia pada kisaran 8-339 ton/ ha atau 24-1.017 ton
CO2 per ha.11 Untuk itu, sebagai langkah keseriusannya, Indonesia kemudian
meratifikasi UNFCCC melalui UU No.6/ 1994 dan Protokol Kyoto melalui UU
No.17/ 2004.
Nur Masripatin, “Hutan Indonesia: Penyerap atau Penyumbang Emisi Karbon?” dalam
Jurnal Prisma, Volume 29 No. 2, April 2010, hal. 62
8
Icha Wulansari, “Deforestasi di Indonesia dan Mekanisme REDD” dalam Jurnal Ilmiah
Hubungan Internasional, Volume 6 No. 2, September 2010, hal. 55
9
10
Ibid.
11
Ibid., hal. 64
Dalam upaya penurunan emisi GRK tingkat global, berdasarkan Protokol
Kyoto ada tiga mekanisme fleksibel12 yang dapat dilakukan diantaranya JI, CDM,
dan ET. Selain mekanisme tersebut, terdapat mekanisme lain dalam kerangka
UNFCCC yang termuat dalam Bali Action Plan yang merupakan hasil COP XIII
2007 di Bali yaitu skema REDD+. Skema ini merupakan mekanisme yang
diadopsi UNFCCC sebagai upaya mitigasi untuk menurunkan emisi GRK di
negara-negara berkembang. REDD+ merupakan kelanjutan dari REDD dimana
dalam REDD+ ditambahkan peran konservasi, pengelolaan hutan secara lestari,
serta peningkatan stok karbon hutan.13
Konsekuensi sebagai negara peratifikasi UNFCCC, kemudian menjadikan
Indonesia ikut berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon 26-41 persen tahun
2020 dari arah BAU. Untuk mencapai target 26 persen penurunan emisi,
Indonesia akan menggunakan sumber daya sendiri, baik dari sektor publik
maupun swasta, serta pencapaian target 41 persen dengan bantuan luar negeri.
Penurunan emisi Indonesia ini juga dapat digunakan negara-negara maju untuk
mengompensasi penurunan emisi mereka.
Setelah COP XIII di Bali, kecenderungan skema REDD+ menjadi pilihan
untuk penurunan emisi GRK global di negara berkembang. Selain karena dapat
menurunkan emisi GRK dari deforestasi dan degradasi, peran konservasi,
pengelolaan hutan secara lestari juga sebagai penyimpanan stok karbon hutan di
Kardono, September 2010, “Memahami Perdagangan Karbon” dalam Info Pustanling
(Pusat Standarisasi dan Lingkungan Kementrian Kehutanan) Vol. 12, No. 1, hal. 2, diakses dari
www.pustanling.files.wordpress.com/2011/04/info-pustan-2010.pdf pada 28 Februari 2012.
12
13
Nur Masripatin, op.cit., hal. 67
negara berkembang. Potensi ini cenderung menjadi model penerapan mekanisme
offset carbon trading baru pasca 2012.
Upaya pemenuhan komitmen Indonesia hingga tahun 2020 pun
membutuhkan pendanaan yang besar, yang apabila Indonesia tidak mampu
membiayai dari sumber penerimaan dalam negeri, maka potensi pendanaan dari
bantuan luar negeri menjadi solusi pemerintah Indonesia. Hal ini ditunjang
dengan peluang mendapatkan dana perubahan iklim yang juga semakin besar.
Terlihat dari semakin bertambahnya donor baik negara maju, lembaga
multilateral, maupun swasta yang bersedia mendanai program penurunan emisi
termasuk skema REDD+. Namun hal ini dapat menjadi masalah ketika upaya
penurunan emisi GRK global dibiayai oleh bantuan luar negeri dalam skema
utang luar negeri.
Berdasarkan rangkaian penjelasan di atas, penulis ingin mengetahui lebih
lanjut implementasi dan dampak implementasi mekanisme carbon trading skema
REDD+ sektor kehutanan di Indonesia periode 2008-2012.
B.
Batasan dan Rumusan Masalah
UNFCCC merupakan konvensi internasional tentang perubahan iklim
yang menyepakati mekanisme carbon trading sebagai solusi penurunan emisi
GRK global dan mengikat secara hukum negara-negara yang telah meratifikasi.
Indonesia meratifikasi UNFCCC dan sektor penurunan emisinya yaitu energi,
kehutanan, pertanian atau peternakan, industri, dan limbah atau persampahan.
Sektor yang penulis bahas yaitu kehutanan dengan mekanisme carbon trading
skema REDD+. Skema REDD+ merupakan upaya penurunan emisi dari
deforestasi dan degradasi hutan, peran konservasi, pengelolaan hutan secara
lestari, dan peningkatan stok karbon hutan.
Penulis memilih implementasi sektor kehutanan di Indonesia karena
Indonesia merupakan negara hutan tropis terbesar ketiga dunia dengan wilayah
sekitar 75 persen hutan sehingga berpotensi sebagai wilayah implementasi skema
REDD+. Selain itu, laju deforestasi dan degradasi hutan di negara berkembang
berperan sebesar 17-20 persen terhadap emisi GRK global dan di Indonesia
menyumbang 47 persen dari total emisi GRK nasional. Melalui skema ini juga
mekanisme carbon trading dibolehkan antara negara maju dan negara
berkembang yang hemat biaya serta mencakup peran alih teknologi dari negara
maju ke negara berkembang. Skema ini juga cenderung akan dijadikan sebagai
skema penurunan emisi global pasca 2012 melalui perdagangan karbon global.
Indonesia meratifikasi UNFCCC melalui UU No. 6/ 1994 dan sebagai
konsekuensinya turut mengambil peran dalam penurunan emisi GRK global.
Indonesia kemudian berkomitmen menurunkan emisi GRK nasional sebesar 26-41
persen. Sumber pendanaannya berasal dari APBN dan kerjasama bilateral maupun
multilateral, inisiatif swasta, serta ICCTF. Pembiayaan komitmen 26 persen
berasal dari sumber dalam negeri dan komitmen 41 persen berupa bantuan luar
negeri.
Penulis kemudian membatasi implementasi mekanisme carbon trading
skema REDD+ ini pada periode 2008-2012. Alasannya, dalam periode ini dapat
dikatakan semakin bertambah donor bilateral, multilateral, maupun swasta yang
bersedia membiayai upaya penurunan emisi di negara pemilik hutan tropis
termasuk Indonesia. Dana ini untuk membiayai persiapan kesiapan Indonesia
dalam mengimplementasikan REDD+. Selain itu, sebagai bentuk keseriusan
Indonesia dalam mengurusi khususnya terkait pendanaan perubahan iklim ini,
dibentuk Badan Kebijakan Fiskal Perubahan Iklim yaitu PKPPIM.
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis merumuskan dan membatasi fokus
pembahasan dalam penelitian yaitu:
1. Bagaimana implementasi mekanisme carbon trading skema REDD+
di sektor kehutanan Indonesia periode 2008-2012?
2. Bagaimana dampak implementasi mekanisme carbon trading skema
REDD+ di Indonesia periode 2008-2012 terhadap utang luar negeri
Indonesia?
C.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Dalam proses penelitian, penulis mengacu pada tujuan dan kegunaan
penelitian yang ditetapkan. Adapun tujuan dan kegunaan penelitian tersebut,
diantaranya:
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui implementasi mekanisme carbon trading skema
REDD+ di sektor kehutanan Indonesia periode 2008-2012.
b. Untuk mengetahui dampak implementasi mekanisme carbon
trading skema REDD+ di Indonesia periode 2008-2012 terhadap
utang luar negeri Indonesia.
2. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan:
a. Dapat memberikan informasi bagi masyarakat umum mengenai
implementasi mekanisme carbon trading skema REDD+ di sektor
kehutanan Indonesia periode 2008-2012.
b. Dapat memberikan informasi bagi masyarakat umum mengenai
dampak implementasi mekanisme carbon trading skema REDD+
di Indonesia periode 2008-2012 terhadap utang luar negeri
Indonesia.
c. Dapat menjadi referensi bagi peneliti-peneliti selanjutnya yang
tertarik untuk meneliti permasalahan yang sama.
D.
Kerangka Konseptual
1. Carbon Trading
Konsep carbon trading pertama kali muncul setelah Protokol
Kyoto di bawah naungan UNFCCC memiliki kekuatan mengikat secara
hukum pada tahun 2005 bagi negara-negara yang meratifikasinya.
Protokol ini mewajibkan negara-negara Annex I mengurangi emisi GRK
mereka minimal 5,2 persen dibawah tahun emisi dasar (1990) dalam kurun
waktu (2008-2012).14 Adapun mekanisme fleksibel berdasarkan Protokol
Kyoto yang dapat digunakan sebagai mekanisme perdagangan karbon
diantaranya Implementasi Bersama, Perdagangan Emisi dan Mekanisme
Pembangunan Bersih.
14
Emil Salim, loc. cit.
Melalui protokol ini juga pasar karbon bermunculan memenuhi
bursa saham. Ada dua jenis pasar karbon yaitu pasar karbon wajib
(compliance market) dan pasar karbon sukarela (voluntary carbon
market). Sederhananya, laju emisi GRK yang dihasilkan dapat diturunkan
melalui pembelian kredit karbon, membayar proyek yang mengurangi,
menetralisir atau menyerap emisi GRK dengan lembaran sertifikat yang
dihasilkan melalui mekanisme carbon trading di pasar karbon dunia.
Karbon disini mengacu pada enam emisi GRK yang dianggap berperan
besar dalam pemanasan global berdasarkan Protokol Kyoto diantaranya15
karbondioksida
(CO2),
hidrofluorokarbon
metana
(HFCs),
(CH),
nitrogen
perfluorokarbon
oksida
(PFCs)
dan
(NO),
sulfur
hexaflourida (SF6).
Mekanisme carbon trading merupakan mekanisme berbasis pasar.
Ini dapat dilihat dalam beberapa pasal yang setidaknya tercantum dalam
Protokol Kyoto. Diantaranya16 pasal 17 tentang perdagangan emisi (ET),
pasal 4 yang membolehkan suatu wilayah politik memiliki target
pembatasan dan pengurangan emisi secara berkelompok. Pasal 6 mengatur
Implementasi Bersama dan pasal 12 mengatur mekanisme CDM.
UNFCCC,
“Kyoto
Protocol
to
the
UNFCCC”,
diakses
http://unfccc.int/methods_and_science/lulucf/items/4123.php pada 3 Maret 2012
15
16
Agus Sari, op. cit., hal. 95
dari
Dalam perkembangan negosiasi COP UNFCCC, keberadaan hutan
tropis dinilai penting berperan terhadap perubahan iklim, sehingga
dihasilkanlah mekanisme carbon trading lain yaitu REDD dan REDD+.
Melalui mekanisme ini pemberian insentif dilakukan bagi negara yang
memiliki hutan tropis dan berhasil menjaga hutannya. Mekanisme ini
memudahkan negara industri untuk membantu dalam pencapaian target
penurunan emisi domestiknya.
Mekanisme carbon trading melalui skema REDD ini menimbulkan
sejumlah keprihatinan bahwa skema pencegahan deforestasi dapat
mengalihkan perhatian dari prioritas yang lebih mendesak yaitu
pengurangan tingkat konsumsi energi per kapita dari negara-negara maju
serta pemangkasan tingkat emisi kolektif di negara berpenduduk besar
seperti Cina dan India dimana kombinasi antara pertumbuhan ekonomi
dan jumlah penduduk yang besar telah melambungkan tingkat emisi
GRK.17
Menurut masyarakat sipil Bali18, carbon trading telah digunakan
sebagai suatu tindak penyamaran untuk mengelak dari peraturan dan
menunda aksi mendesak yang diperlukan untuk mengurangi emisi dan
mengembangkan
solusi
alternatif
yang
rendah
karbon.
Menurut
penyelidikan Institute for Policy Studies19 yang berkedudukan di AS,
Down To Earth (DTE), 2009, “Keadilan Iklim dan Penghidupan yang Berkelanjutan”.
KIPPY Print Solution, hal. 51, diakses dari http://dte.gn.apc.org/CCcomp09.pdf pada 16 Februari
2012.
17
18
Ibid.
19
Ibid.
mekanisme CDM dari Protokol Kyoto tidak berjalan sebagai solusi efektif
untuk menurunkan emisi.
Heidi Bachram, dkk dalam artikel “The Sky is not The Limit” TNI
Briefing Series No. 2003/ 1 merefleksikan20 pesimistis beberapa golongan
masyarakat diantaranya kalangan organisasi non-pemerintah yang
menyatakan mekanisme carbon trading tidak lebih usaha kamuflase hijau.
Kecenderungan pemerintah dan korporasi tidak bersungguh-sungguh
dalam menangani perubahan iklim yang ternyata masih didominasi
kepentingan ekonomi saja. Padahal nilai-nilai yang membentuk Protokol
Kyoto didasari oleh semangat keberlanjutan ekonomi, sosial dan
lingkungan.
Organisasi Carbon Trade Watch21 memberikan argumen bahwa
mekanisme carbon trading hanya akan memberikan penekanan yang salah
terhadap isu perubahan iklim. Sebab, sesungguhnya yang harus dibenahi
adalah gaya hidup individu dan sistem politik kolektif. Menurut Mick
Kelly, Unit Riset Klimatik -Climatic Research Unit, University of East
Anglia (2000) menyatakan penerimaan atas carbon trading dalam Protokol
Kyoto menggambarkan pasal-pasal kepercayaan, kepercayaan atas
20
Muhammad Endro Sampurno, Lingkar Studi CSR, “Kritik atas Pelaksanaan
Perdagangan
Karbon”,
13
Agustus
2007,
diakses
dari
http://www.csrindonesia.com/data/articles/20080208130011-a.pdf pada 3 Maret 2012
, 25 Juni 2009, “Sejarah Perdagangan Karbon”, diakses dari
http://portal.djmbp.esdm.go.id/dbb2/index.php?option=com_content&view=article&id=125:artsej
arah-perdagangan-karbon&catid=34:artdbb&Itemid=58 pada 1 Maret 2012
21
perdagangan bebas dan kepercayaan atas proses globalisasi serta
semuanya berdiri pada satu sikap ideologi.22
Hal ini berarti konsep carbon trading berdasarkan pada mekanisme
pasar sebagai solusi menurunkan emisi GRK. Oleh karena itu, pertanyaan
mendasar bahwa mampukah program carbon trading ini mengurangi emisi
GRK global, tanpa ada penurunan emisi dari negara-negara maju.23
Di lain pihak, CIFOR memaparkan carbon trading membutuhkan
mekanisme baru dimana negara-negara industri dan negara penghasil
polutan terbesar diberi kesempatan untuk melakukan kompensasi dengan
cara membayar negara-negara berkembang untuk mencadangkan hutan
tropis yang mereka miliki sehingga terjadi "sequestration" atau
penyimpanan sejumlah besar karbon.24
Adapun
WALHI
dalam
artikelnya
“Perdagangan
Karbon”
memaparkan25 ada dua jenis perdagangan perdagangan karbon yaitu
perdagangan emisi (emission trading) dan perdagangan kredit berbasis
proyek (trading in project based credit). Seringkali dua kategori tersebut
disatukan menjadi sistem perdagangan hibrida. Adapun perdagangan
kredit berbasis proyek juga dikenal dengan istilah carbon offset.
22
Ibid.
Abdul Razak, Kelayakan Kompensasi yang Ditawarkan Dalam Perdagangan Karbon.
Makalah Manajemen Hutan Lanjutan, Program Pasca Sarjana/ S2, Program Studi Manajemen
Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, UGM Yogyakarta
24
CIFOR, “Gagasan Perdagangan Karbon: Sanggupkah Memberikan Manfaat Bagi Hutan
Tropis?”, diakses dari http://www.cifor.org/publications/Html/AR-98/Bahasa/Carbon.html pada 3
Maret 2012
25
WALHI Bali, 27 Agustus 2007, “Perdagangan Karbon” diakses dari
http://walhibali.blogspot.com/2007/08/perdagangan-karbon.html pada 23 Februari 2012
23
Greenpeace dalam artikelnya “Greenpeace: Menolak Perdagangan
Karbon” memaparkan26 mekanisme carbon offset tidak memberi
keuntungan dalam penghentian perubahaan iklim karena tidak signifikan
menurunkan emisi di negara maju. Dengan carbon offset negara maju bisa
membeli karbon dari hutan-hutan tropis di negara berkembang dengan
demikian negara berkembang harus menjaga hutannya sebagai cadangan
karbon yang diperjualbelikan, sementara negara maju karena telah
membeli karbon maka mereka akan tetap bebas melakukan emisi, padahal
rata-rata emisi karbon global dihasilkan dari negara maju.
2. Perjanjian Internasional
Perjanjian internasional pada hakekatnya merupakan suatu
persetujuan atau agreement. Bentuk perjanjian internasional yang
dilakukan antarbangsa maupun antarorganisasi internasional ini tidak
harus berbentuk tertulis. Dalam perjanjian internasional terdapat istilah
subjek dan obyek. Yang dimaksud subjek perjanjian internasional adalah
semua subjek hukum internasional, terutama negara dan organisasi
internasional.
Sedangkan
yang
dimaksud
dengan
obyek
hukum
internasional adalah semua kepentingan yang menyangkut kehidupan
masyarakat internasional, terutama kepentingan ekonomi, sosial, politik,
dan budaya.
Greenpeace, “Kenapa Greenpeace Menolak Perdagangan Karbon?” diakses dari
http://www.greenpeace.org/seasia/id/blog/kenapa-greenpeace-menolak-perdagangankarbon/blog/19236/ pada 12 Februari 2012.
26
Masalah definisi perjanjian internasional memang salah satu isu
kontroversi dalam literatur hukum perjanjian internasional. Perdebatan
sengit bahkan berlangsung pula dalam perumusan definisi ini pada
Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional. Menurut Konvensi
ini, perjanjian internasional adalah27:
“An International Agreement concluded between States and
International Organizations in written form and governed by
International Law, whether embodied in a single instrument or in
two or more related instruments and whatever its particular
designation”
Selanjutnya, definisi ini diadopsi oleh Undang-Undang No. 24
Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang merumuskan28 “setiap
perjanjian di bidang hukum publik, yang diatur oleh hukum internasional,
dan dibuat oleh pemerintah dengan negara, organisasi internasional, atau
subjek hukum internasional lain.”
Adapun definisi lain menurut G. Schwarzenberger, perjanjian
internasional adalah29:
“Treaties are agreements between subject of International Law
creating binding obligations in International Law. They may be
bilateral (i.e. concluded between contracting parties) or
multilateral (i.e. concluded more than contracting parties).”
Damos Dumali Agusman. “Apa Perjanjian Internasional itu?: Beberapa Perkembangan
Teori dan Praktek di Indonesia tentang Hukum perjanjian Internasional” diakses dari http://elibrary.kemlu.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=65%3Aapa-perjanjianinternasional-itu&catid=45%3Ae-resources&Itemid=76&lang=en pada 24 Februari 2012
27
28
Ibid.
Rosmi Hasibuan, “Suatu Tinjauan Umum tentang Perjanjian Internasional” diakses dari
http://library.usu.ac.id/download/fh/hukuminter-Rosmi5.pdf pada 24 Februari 2012
29
Dari
definisi
tersebut
dapat
diartikan,
bahwa
perjanjian
internasional diartikan sebagai suatu persetujuan antara subyek-subyek
hukum internasional yang menimbulkan kewajiban-kewajiban yang
mengikat dalam hukum internasional. Persetujuan tersebut dapat
berbentuk bilateral maupun multilateral.
Adapun menurut Oppenheim-Lauterpacht, “International treaties
are agreements of contractual charter between states, creating legal rights
and obligations between the parties”30. Ditegaskan bahwa perjanjian
adalah suatu persetujuan antar negara, yang menimbulkan hak dan
kewajiban diantara para pihak. Pendapat yang lebih luas lagi didefinisikan
oleh Mochtar Kusumaatmadja31 bahwa “Perjanjian internasional adalah
suatu perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa
yang bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu”.
Perjanjian internasional biasanya dituangkan dalam bentuk struktur
perjanjian internasional yang lengkap dan dibuat melalui tiga tahap, yaitu
tahap perundingan (negotiation), tahap penandatanganan (signature), dan
tahap ratifikasi (ratification). Pengikatan diri pada suatu perjanjian
internasional dimaksudkan pemberian persetujuan oleh negara-negara
yang menjadi pihak pada perjanjian untuk mengikatkan diri pada
30
Muhammad Ashri, 2009, Perjanjian Internasional: Dari Pembentukan Hingga Akhir
Berlakunya”, Makassar: PT Umitoha Ukhuwah Grafika, hal. 7
31
Ibid., hal. 3
perjanjian baik bilateral maupun multilateral yang pengaturannya terdapat
dalam pasal 11-17 Konvensi Wina.32
3. Bantuan Luar Negeri
Konsep bantuan luar negeri dalam ilmu hubungan internasional
dapat dilihat melalui pandangan kaum realis dan liberalis. Kaum realis
melihat
bantuan internasional atau bantuan luar negeri (foreign aid)
praktis hanya menjadi sebuah alat kebijakan untuk mencapai kepentingan
nasional. Morgenthau mengatakan motivasi politik itulah menjadi hal yang
dipertimbangkan oleh donor saat memberikan bantuan luar negeri. Realis
sama sekali tidak menerima ide “melakukan pembangunan” dalam konteks
foreign aid. Adapun kaum liberalis memiliki pandangan tentang bantuan
luar negeri bahwa selain membawa nilai dan peran yang penting, dengan
bantuan luar negeri menciptakan harapan untuk sukses dalam proses
pembangunan.
Istilah bantuan luar negeri (foreign aid) dapat diartikan sebagai
tindakan-tindakan negara, masyarakat yang berada pada suatu negara
tertentu yang memberikan bantuan berupa pinjaman, hibah, atau
penanaman modal kepada pihak tertentu di negara lainnya.33 Dalam
prakteknya, bantuan luar negeri tidak terlepas dari berbagai kepentingan
ekonomi dan politik. Kebanyakan orang membincangkan proses bantuan
itu berupa hubungan ekonomi dan politik secara timbal balik.
32
33
Ibid., hal. 63
Yanuar Ikbar, 2008, Ekonomi Politik Internasional 2: Implementasi Konsep dan Teori,
Bandung: PT Refika Aditama, hal. 187
Michael Todaro memaparkan34 bahwa bantuan luar negeri
mengalir ke negara dunia ketiga dengan beberapa kriteria, yaitu dari segi
donor tujuan-tujuan itu haruslah non-komersil. Bantuan itu harus
memenuhi syarat konsensional, dengan suku bunga dan jangka waktu
pembayaran kembali modal secara lunak atau tidak memberatkan negara
peminjam. Pinjaman komersial dengan suku bunga lunak dan jangka
pengembalian pendek atau menengah.
Dengan demikian menurut Yanuar Ikbar semakin jelas bahwa
bantuan luar negeri meliputi sumber daya yang dimiliki suatu negara ke
negara lain yang memerlukannya menurut negosiasi. Berdasarkan ini,
bantuan luar negeri dapat dibagi menjadi35 bantuan berupa pemberian atau
hibah (grant), pinjaman (utang luar negeri), dan investasi (penanaman
modal) asing. Pinjaman luar negeri (foreign loan) dan bantuan luar negeri
(foreign aid) sering dianggap memiliki konotasi yang sama. Adapun jenis
pinjaman luar negeri diantaranya36 pinjaman terikat, pinjaman tidak
terikat, pinjaman proyek, dan pinjaman program. Pinjaman dan hibah luar
negeri diatur dalam mekanisme APBN.
34
Ibid., hal. 188
35
Ibid., hal. 189
Nur Utaminingsih, 2011, “Global Agriculture and Food Security Program (GAFSP)
sebagai solusi penanganan krisi pangan negara berkembang (studi perspektif: Bangladesh dan
Ethiopia)”, Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, FISIP Unhas, Makassar
36
Pengertian pinjaman luar negeri menurut Peraturan Pemerintah
Nomor 2 Tahun 2006 adalah:
“Setiap penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan atau
devisa yang dirupiahkan, rupiah maupun dalam bentuk barang dan
atau jasa yang diperoleh dari Pemberi Pinjaman Luar Negeri yang
harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu.”
Adapun definisi hibah luar negeri dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 2 Tahun 2006 adalah:
“Setiap penerimaan negara baik dalam bentuk devisa atau devisa
yang dirupiahkan, rupiah maupun dalam bentuk barang dan atau
jasa yang diperoleh dari Pemberi Hibah Luar Negeri yang tidak
perlu dibayar kembali.”
Pinjaman luar negeri memiliki banyak macam. Diantaranya jika
dilihat dari sumber dananya, pinjaman luar negeri dapat dibedakan
menjadi Pinjaman Multilateral, Pinjaman Bilateral, dan Pinjaman
Sindikasi. Dilihat dari segi persyaratannya, pinjaman luar negeri dapat
dibedakan menjadi Pinjaman Lunak (Concessional Loan), Pinjaman
setengah
lunak
(semi
concessional
loan),
Pinjaman
Komersial
(Commercial Loan).
E.
Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Penelitian ini menggunakan tipe penelitian deskriptif eksplanatif.
Penulis menggunakan penelitian deskriptif untuk menggambarkan
implementasi mekanisme carbon trading skema REDD+ sektor kehutanan
periode 2008-2012 di Indonesia dilanjutkan dengan menganalisis dampak
implementasi skema tersebut selama periode 2008-2012 di Indonesia.
2. Jenis Data
Jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data
sekunder dan primer (wawancara). Adapun jenis data yang penulis maksud
diantaranya;
a. Dokumen United Nation Framework Convention on Climate Change
(UNFCCC) dan Dokumen Protokol Kyoto;
b. UU No. 6/1994 mengenai ratifikasi Indonesia terhadap UNFCCC;
c. UU No. 17/ 2004 mengenai ratifikasi Indonesia terhadap Protokol
Kyoto;
d. Dokumen mengenai ICCTF (Indonesia Climate Change Trust Fund);
e. Strategi nasional REDD+ di Indonesia;
f. Data hibah dan utang luar negeri Indonesia sektor kehutanan skema
REDD+;
g. Wawancara dengan lembaga terkait carbon trading khususnya
REDD+.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan ialah telaah pustaka dan
wawancara. Yaitu cara pengumpulan data dengan menelaah sejumlah
literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti baik
berupa jurnal, buku, dokumen, laporan, makalah, majalah, surat kabar dan
artikel. Adapun wawancara dilakukan dengan lembaga terkait. Data
diperoleh melalui penelitian penulis ke beberapa tempat seperti:
a. Perpustakaan Pusat Universitas Hasanuddin di Makassar;
b. Kementerian Luar Negeri Indonesia di Jakarta;
c. Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia di Jakarta;
d. Kementerian Kehutanan Indonesia di Jakarta;
e. Kementerian Keuangan di Jakarta;
f. Perpustakaan BAPPENAS;
g. Kantor Dewan Perubahan Iklim Indonesia di Jakarta;
h. Perpustakaan Freedom Institute dan CSIS di Jakarta;
i. Sekretariat WALHI dan Koalisi Anti Utang di Jakarta;
j. Perpustakaan Himpunan Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional
(HIMAHI) FISIP Unhas.
4. Teknik Analisis Data
Penulis menggunakan teknik analisis data kualitatif dalam
menganalisis data selama proses penelitian. Penulis kemudian membuat
kerangka pikir untuk memperjelas alur penelitian. Berikut kerangka pikir
yang penulis maksud:
Gambar 1.1. Kerangka Pikir Penelitian
UNFCCC
(ratifikasi melalui UU No. 6/1994)
Carbon Trading
Energi
Kehutanan (CDM A/R,
REDD, REDD+)
Limbah /
Persampahan
Pertanian
Industri
Komitmen Sukarela Indonesia
(Penurunan emisi GRK nasional 26-41 persen tahun 2020)
2020)
- APBN
- Kerjasama Bilateral / Multiliteral
Target 26 persen
(Sumber Dalam Negeri)
Inisiatif Swasta
ICCTF (Bappenas)
Target 41 persen
(Bantuan Luar Negeri)
Sehubungan dengan urgensitas dan dampak perubahan iklim secara
global, upaya global pun lahir melalui UNFCCC sebagai konvensi
kerangka kerja PBB tentang perubahan iklim yang mengikat secara hukum
negara peratifikasi. Negosiasi UNFCCC menyepakati mekanisme carbon
trading sebagai solusi penurunan emisi GRK global. Salah satu sektor
implementasi mekanisme carbon trading adalah kehutanan. Mekanisme
carbon trading sektor kehutanan dibawah naungan UNFCCC yang
implementasinya dilakukan di negara berkembang yang berhasil menjaga
hutannya dalam konteks perubahan iklim sebagai carbon sink (penyerap
karbon), carbon storage (penyimpan karbon), dan carbon source
(pengemisi karbon) adalah REDD+.
Indonesia meratifikasi UNFCCC melalui UU No.6/ 1994.
Konsekuensi sebagai negara peratifikasi UNFCCC yaitu komitmen
penurunan emisi nasionalnya sebesar 26-41 persen hingga tahun 2020.
Pemenuhan komitmen ini tentunya berdampak pada kebutuhan pendanaan
dalam jumlah besar. Indonesia merencanakan sumber pendanaan untuk
mencapai target komitmen 26 persen berasal dari sumber dalam negeri dan
komitmen 41 persen dari bantuan luar negeri. Faktor pemenuhan
pendanaan dalam jumlah besar ini menjadi peluang masuknya berbagai
bantuan luar negeri baik bilateral, multilateral maupun swasta.
5. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan pada penelitian ini adalah
deduktif.
Penulis
terlebih
dahulu
memberikan
gambaran
umum
permasalahan penelitian, kemudian secara khusus memaparkan setiap
variabel penelitian, pengaruh dan keterkaitan antarvariabel. Selanjutnya,
berdasarkan data-data yang diperoleh selama proses penelitian, penulis
merumuskan simpulan atau hasil analisis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Carbon Trading
1. Konsep Dasar Carbon Trading
Secara historis, awal mulanya perdagangan karbon lebih sering
diistilahkan dengan cap and trade. Konsep cap and trade ini untuk
pertama kali didemonstrasikan tahun 1967 dan 1970 oleh National Air
Pollution Control Administration (sekarang menjadi United States
Environmental Protection Agency’s Office of Air and Radiation)
menggunakan simulasi komputer ekonomi mikro. Tujuannya adalah untuk
menghitung sumber emisi di beberapa kota, sehingga diperoleh
perbandingan yang lebih efektif antara industri beralih ke teknologi rendah
karbon atau mengatasi masalah emisi melalui jual beli di pasar karbon.
Hasil yang diperoleh dari perhitungan ini yaitu pengurangan emisi
dengan perdagangan karbon lebih efektif dan murah. Berawal dari sinilah
konsep cap and trade lahir. Konsep ini kemudian menuai sejumlah kritik
dari para aktivis lingkungan. Perdagangan karbon dinilai sekadar sebagai
wadah berkembangnya sistem pasar bebas di ranah kebijakan lingkungan.
Mereka juga mengatakan perdagangan karbon hanya akan memecahkan
sebagian kecil masalah emisi, bahkan menjadikan negara yang
menghasilkan sedikit emisi akan terdorong menjual konservasi alamnya
kepada penawar tertinggi.
Lebih luas, dalam ranah kebijakan internasional lingkungan
khususnya terkait isu perubahan iklim, perdagangan karbon dijadikan
suatu mekanisme internasional setelah lahirnya Protokol Kyoto. Protokol
ini lahir melalui proses negosiasi COP37 III di bawah kerangka kerja
UNFCCC38 dan mengikat secara hukum sejak tahun 2005. Protokol ini
mewajibkan negara-negara Annex I39 mengurangi emisi GRK mereka
minimal 5,2 persen dibawah tahun emisi dasar (1990) dalam kurun waktu
(2008-2012).
Latar belakang munculnya isu perdagangan karbon internasional
ini, terkait upaya mitigasi40 dari dampak pemanasan global melalui
pemberian konsesi carbon credit41
bagi upaya maupun langkah yang
dilakukan oleh pemerintah dan sektor swasta dalam melaksanakan
37
Conference of Parties (COP) merupakan lembaga pengambil keputusan tertinggi dalam
UNFCCC. COP ini diselenggarakan berkala setiap tahunnya sebagai wadah pertemuan negaranegara pihak UNFCCC.
38
UNFCCC merupakan konvensi yang lahir dalam suasana kebersamaan dan dilandasi
prinsip-prinsip Dekralasi Rio (menekankan hubungan antara lingkungan dan pembangunan),
diantaranya tanggung jawab umum yang sama, namun secara khusus harus dibedakan sesuai
dengan kemampuannya (common but differentiated responsibilities). Konvensi ini mengikat para
anggotanya dengan untuk mencapai tujuan utama yaitu menstabilkan konsentrasi Gas Rumah
Kaca (GRK) di atmosfer pada tingkat tertentu dari kegiatan manusia yang membahayakan sistem
iklim bumi. UNFCCC bekerja berdasarkan pertemuan sesi konvensi setahun sekali dan ditambah
dengan berbagai pertemuan antara. Konvensi ini juga membahas masalah seperti mekanisme
perdagangan karbon, program adaptasi, pendanaan perubahan iklim, transfer teknologi dan
monitoring, serta observasi gejala perubahan iklim.
39
Negara-negara Annex I adalah negara-negara yang terdaftar sebagai Negara Annex I
dalam UNFCCC. Diantaranya negara-negara maju termasuk didalamnya negara-negara yang
berada dalam tahap transisi ekonomi seperti Rusia dan Negara-negara Eropa timur.
40
Mitigasi merupakan upaya mengatasi dan mengurangi risiko dan dampak pemanasan
global serta perubahan iklim di masa depan.
41
Carbon credit merupakan hasil penurunan emisi karbon. Carbon credit ini diterbitkan
setelah seluruh proses pelaksanaan suatu proyek penurunan emisi berhasil dilakukan dan
diverifikasi. Setelah diterbitkan, carbon credit ini menjadi milik pihak yang mendanai proyek
penurunan emisi tersebut dan dapat dijual di pasar karbon.
pembangunan ramah lingkungan.42 Pemanasan global yang terjadi
merupakan akibat dari peningkatan emisi GRK global dan juga berdampak
secara global sehingga negara-negara menegosiasikan upaya yang dapat
dilakukan
untuk
menekan
peningkatan
emisi
tersebut.
Adapun
kesepakatan internasional yang diperoleh yaitu melalui mekanisme
perdagangan karbon.
Dewasa ini, perdagangan karbon telah dilakukan oleh aktor-aktor
diantaranya negara, individu, IGO, dan perusahaan atau swasta. Bentuk
perdagangan karbonnya pun dapat dilakukan secara bilateral, multilateral
maupun regional. Dengan berkembang pesatnya perdagangan karbon ini,
maka pasar perdagangan karbon pun semakin bermunculan. Hingga saat
ini telah muncul beberapa pasar karbon regional diantaranya Chicago
Climate Exchange, European Union Emissions Trading System, Japan
Emissions Trading System, New South Wales GHG, Russian Joint
Implementation.
42
Kajian Isu Perubahan Iklim 2010, Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan
(BPPK), Kementerian Luar Negeri RI, 2010, hal: 6
Beberapa penjelasan dan tanggapan mengenai perdagangan
karbon, diantaranya:
a. Mick Kelly, Climatic Research Unit, University of East Anglia,
200043,
“Acceptance of [the carbon trading provisions of the Kyoto
Protocol] represents an article of faith, faith in the free market
and faith in the process of globalization. It rests on an
ideological stance.”
(Penerimaan atas carbon trading dalam Protokol Kyoto
menggambarkan pasal-pasal kepercayaan, kepercayaan atas
perdagangan bebas dan kepercayaan atas proses globalisasi.
Semuanya itu berdiri pada satu sikap ideologi.)
b. DNPI44
“Perdagangan karbon atau emisi sederhananya adalah
perdagangan yang mana komoditi yang diperdagangkan adalah
selisih antara ketika tidak melakukan suatu upaya mitigasi
penurunan emisi dan ketika melakukan suatu upaya mitigasi
penurunan emisi. Seperti contoh, tanpa melakukan upaya
penurunan emisi dengan pembangkit listrik dari batubara
menghasilkan emisi sebesar 1 ton MW/hour sedangkan dengan
melakukan upaya penurunan emisi menggunakan pembangkit
listrik geothermal dihasilkan emisi 0,7 ton MW/hour.
Selisihnya yaitu 0,3 ton MW/hour inilah yang menjadi
komoditi perdagangan karbon.”
Larry Lohmann, “Carbon Trading: A Critical Conversation on Climate Change,
Privatisation, and Power” dalam Development Dialogue, Nomor 48, September 2006, hal: 33
43
44
Berdasarkan hasil wawancara dengan Andi Samya, Ketua Unit Divisi Perdagangan
Karbon DNPI pada tanggal 27 Juni 2012 di Jakarta
c. Carbon
Trade
Watch
(bagian
dari
Amsterdam
based
Transnational Institute)45,
“Carbon trading is a complex system which sets itself a simple
goal: to make it cheaper for companies and governments to
meet emissions reduction targets– although, as we will show,
emissions trading is designed in such a way that the targets can
generally be met without actual reductions taking place.”
(Perdagangan karbon adalah sistem yang kompleks dimana
memiliki tujuan sederhana; yaitu agar perusahaan dan
pemerintah mengeluarkan biaya yang lebih murah untuk
memenuhi target pengurangan emisinya-meskipun seperti yang
terlihat, perdagangan karbon yang ada pada umumnya
berlangsung tanpa pengurangan emisi sebenarnya.
Berdasarkan penjelasan dan tanggapan di atas mengenai carbon
trading, dapat dirumuskan carbon trading merupakan suatu mekanisme
berbasis pasar yang bertujuan untuk menurunkan emisi karbon global,
yang mana aktornya adalah negara, individu, IGO, perusahaan/ swasta dan
dilakukan pada tingkat nasional, bilateral, multilateral, serta regional.
2. Jenis-jenis Carbon Trading dan Pasar Karbon
Dalam perdagangan tentunya terdapat pembeli, penjual, komoditi
atau
barang
yang diperdagangkan,
dan
tempat
untuk
transaksi
perdagangan, begitu pula dalam perdagangan karbon. Mekanisme
perdagangan karbon merupakan mekanisme berbasis pasar. Pembeli dalam
perdagangan karbon mengacu pada Protokol Kyoto adalah negara industri
yang
menghasilkan
emisi
karbon
dan
diwajibkan
untuk
menyeimbangkan emisi yang dikeluarkan melalui mekanisme sekuestrasi
karbon.
Tamra Gilbertson dan Oscar Reyes, “Carbon Trading: How It Works and Why It Fails”,
dalam Critical Currents, Nomor 7, November 2009, hal: 9
45
Lain halnya dengan penjual adalah negara yang mampu mengelola
hutan atau lahan pertaniannya, kemudian menjual kredit karbon yang
dihasilkan berdasarkan akumulasi karbon yang terkandung dalam
pepohonannya dalam hal ini negara pemilik. Selain itu, yang dapat
dikategorikan sebagai penjual adalah negara yang mampu mengurangi
emisi karbonnya, dan menjual kelebihan emisinya kepada negara emitor
lain. Ini dapat terjadi karena setiap negara Annex I yang diwajibkan
menurunkan emisi domestiknya diberikan standar penurunan emisi dalam
periode yang telah ditetapkan Protokol Kyoto.
Perdagangan karbon memiliki dua jenis sistem yang lazim
dilakukan antarnegara, diantaranya46:
a. Perdagangan dengan sistem cap and trade
Sederhananya dalam sistem ini, emisi total suatu negara
dibatasi (capped), dari emisi yang dibatasi inilah muncul kelebihan
emisi yang tidak dipakai disebut allowances. Allowances ini boleh
dijual kepada negara atau perusahaan lain yang tidak dapat
menurunkan emisinya sesuai target dan ini disebut trade.
Sebagai contoh, suatu negara A dibatasi emisinya sebesar 1 juta
ton CO2. Target emisi ini dibagi pada perusahaan-perusahaan di
negara tersebut. Misal, perusahaan A ditarget emisi 100.000 ton,
padahal sebelumnya nilai emisinya mencapai 110.000 ton CO2.
Perusahaan ini harus melakukan penurunan emisi 10.000 ton CO2
46
Kardono, loc. cit.
sedangkan perusahaan ini mampu menurunkan emisinya hingga
20.000 ton CO2. Artinya terdapat kelebihan emisi 10.000 ton CO2.
Di lain pihak perusahaan B (diberikan target penurunan dan
nilai emisi yang dihasilkan sama dengan perusahaan A) memilih
untuk tidak menurunkan emisinya dikarenakan biaya yang mahal.
Perusahaan ini berhak membeli kelebihan emisi perusahaan A
sebesar 10.000 ton CO2 dengan biaya yang lebih rendah.
b. Perdagangan dengan sistem berbasis proyek (offset trading)
Sistem offset trading merupakan sistem pemberian kompensasi
kepada negara atau perusahaan yang berhasil melakukan upaya
penyerapan karbon atau menghindari pelepasan emisi karbon oleh
negara pengemisi. Dalam konteks negara, dengan sistem ini negara
yang diwajibkan untuk menurunkan emisinya dianggap telah
melakukan upaya penurunan emisi yang ditargetkan kepadanya
dengan membiayai suatu proyek penurunan emisi di negara lain.
Ilustrasinya sebagai berikut, perusahaan A mengemisi 110.000
ton CO2 pertahun. Pemerintah menginginkan masing-masing
perusahaan untuk menurunkan emisinya menjadi 100.000 ton CO2.
Kedua perusahaan tersebut diberikan alternatif. Apabila tidak
menginginkan menurunkan emisinya, perusahaan tersebut dapat
mendanai suatu proyek (benar adanya dan dapat dibuktikan) di
tempat lain (boleh negara lain) yang dapat menurunkan emisi
sebesar 10.000 ton. Perdagangan dengan sistem ini juga dikenal
dengan sistem baseline47 and credit.
Secara sederhana, dalam konteks upaya mitigasi perubahan
iklim sektor kehutanan, untuk sistem offset dapat dilakukan melalui
penyerapan dan penyimpanan karbon di hutan-hutan tropis negara
berkembang. Sistem offset menjadi pro bagi negara maju dan
kontra bagi negara berkembang. Perdebatan mengenai sistem ini
berkisar bahwa jika sistem ini diberlakukan maka yang tercapai
hanya pencapaian target pengurangan emisi secara nominal saja,
bukan pengurangan emisi domestik yang sebenarnya dari negaranegara emiter.
Hal lain bahwa offset kemudian menjadi beban baru negara
berkembang sehingga secara de facto, tanggung jawab upaya
pengurangan emisi justru lebih banyak dilakukan oleh negara
berkembang. Padahal secara historis, negara maju-lah yang
memiliki tanggung jawab tersebut. Selain itu, negara maju juga
dianggap lebih mampu dalam menurunkan emisi domestiknya
dikarenakan dukungan kuat faktor finansial dan kemajuan iptek.
47
Baseline merupakan salah satu konsep dasar yang digunakan dalam offset carbon
trading. Konsep Baseline menjelaskan skenario/ kondisi yang ada jika suatu proyek karbon tidak
dilaksanakan. Baseline juga dikenal dengan keadaan bussiness as usual.
Mekanisme perdagangan karbon yang berbasis pasar juga memiliki
dua jenis pasar karbon yang berjalan hingga saat ini, diantaranya:
a. Pasar karbon wajib (compliance/ mandatory market)
Pasar karbon ini terbentuk diatur oleh peraturan penurunan
emisi karbon baik bersifat nasional, regional, maupun
internasional. Adapun beberapa contoh pasar karbon ini dengan
sistem cap and trade yaitu perdagangan emisi dibawah Protokol
Kyoto, Skema Perdagangan Emisi Uni Eropa (EU ETS), New
South Wales GHG Abatement Scheme, Western Climate
Initiative. Sedangkan pasar karbon berbasis proyek dalam
sistem cap and trade adalah CDM, JI, dan The EU-ETS linking
Directive.
b. Pasar karbon sukarela (voluntary carbon market)
Pasar ini terbentuk karena adanya upaya korporasi dan
masyarakat di negara maju untuk mengurangi emisi karbon
yang dihasilkannya. Pasar karbon ini juga memungkinkan
negara, perusahaan, NGO, ataupun orang per orang untuk
berperan dalam mengurangi emisi dunia dengan membeli offset
karbon. Dalam pasar karbon ini tidak terdapat aturan maupun
regulasi.
3. Mekanisme Carbon Trading dalam UNFCCC
Protokol Kyoto (Hasil dari COP ke-3 UNFCCC di Kyoto, Jepang)
yang merupakan petunjuk teknis dan mengikat hukum negara-negara yang
meratifikasinya, menyediakan tiga mekanisme fleksibel penurunan emisi,
sebagai berikut:
a. Emission Trading (Perdagangan Emisi)
Mekanisme perdagangan karbon ini berlangsung dengan
sistem cap and trade. Mekanisme ini diatur dalam pasal 17
Protokol Kyoto. Mekanisme perdagangan karbon ini hanya
berlangsung antarnegara maju yang telah dibatasi jumlah
emisinya. Satuan emisi yang diperdagangkan disebut AAUs48.
b. Joint Implementation (Implementasi Bersama)
Mekanisme perdagangan karbon ini diatur dalam pasal 6
Protokol Kyoto. Seperti dengan emission trading, mekanisme
ini hanya boleh digunakan dalam perdagangan karbon
antarnegara maju. Melalui mekanisme ini, negara industri
(Annex I) yang ditarget penurunan emisinya diperbolehkan
untuk mendapatkan sertifikat satuan penurunan emisi yang
disebut ERU (emission reduction unit). ERU ini didapatkan
dari proyek penurunan atau penyerapan emisi di negara Annex
I lain yang juga ditarget penurunan emisinya.
Agus Sari, “Pasar Karbon dan Potensinya di Indonesia”, Jurnal Prisma, Volume 29,
Nomor 2, April 2010, hal. 9
48
c. Clean Development Mechanism (Mekanisme Pembangunan
Bersih)
Mekanisme pembangunan bersih merupakan satu-satunya
mekanisme yang memperbolehkan terjadinya perdagangan
karbon antarnegara maju dan berkembang diantara tiga
mekanisme yang diatur dalam Protokol Kyoto. Melalui
mekanisme ini negara yang dibebani target penurunan emisi
dibawah komitmen Protokol Kyoto bisa mengimplementasikan
target tersebut dalam kegiatan penurunan emisi di negara
berkembang. Adapun sertifikat karbon yang diterbitkan disebut
Certified Emission Reduction (CER).
Selain ketiga mekanisme fleksibel diatas yang telah diatur dalam
Protokol Kyoto periode komitmen pertama (2008-2012), dalam perjalanan
negosiasi internasional UNFCCC, muncul satu konsep yang dikenal
dengan REDD/ REDD+. Konsep ini berawal dari pengajuan proposal yang
diajukan oleh negara Papua Nugini dan Kosta Rika dalam forum negosiasi
UNFCCC yaitu COP XI di Montreal, Kanada tahun 2005.
Ditinjau secara historis, konsep REDD lahir diperkuat dengan
munculnya laporan IV IPCC (2007)49, yang menyatakan sekitar 1,6 miliar
ton gas karbon dioksida yang dilepaskan tiap tahunnya ke atmosfer akibat
perubahan tata guna lahan, sebagian besarnya disumbangkan oleh
deforestasi. Jumlah ini merupakan seperlima dari jumlah emisi global.
49
Mumu Muhajir, 2010, REDD di Indonesia, Ke mana Akan Melangkah?, Jakarta:
Penerbit HuMa, hal. 4
Dengan munculnya hasil laporan ini, memperkuat dan mengharuskan
konsep “avoided deforestation” menjadi pembahasan dalam forum
negosiasi UNFCCC.
Istilah REDD kemudian menjadi salah satu poin pembahasan yang
terus diperbincangkan dalam forum negosiasi UNFCCC setelah Bali
Action Plan diadopsi sebagai hasil COP XIII di Bali tahun 2007. Dalam
Peraturan Menteri Kehutanan No. 30 tahun 2009, REDD adalah50
“Semua upaya pengelolaan hutan dalam rangka pencegahan dan
atau pengurangan penurunan kuantitas tutupan hutan dan stok
karbon yang dilakukan melalui berbagai kegiatan untuk
mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan.”
Selanjutnya, dalam perkembangan forum negosiasi UNFCCC,
penamaan REDD terus mengalami perkembangan. Pada awalnya REDD,
hanya menyangkut pencegahan deforestasi dan degradasi hutan di negara
berkembang, namun akhirnya dalam COP XIII di Bali diperkuat di COP
XIV di Poznan, penamaan REDD ditambah dengan akhiran symbol “+”
(baca: plus). Definisi REDD+ ini menurut Bali Action Plan atau keputusan
COP 13 no.1 tahun 200751 adalah “kegiatan pengurangan emisi dari
deforestasi dan degradasi hutan (REDD), peran konservasi, pengelolaan
hutan secara lestari, dan peningkatan stok karbon hutan.”
50
BPPK Kemlu RI, op.cit., hal.2
51
Nur Masripatin, op. cit., hal.67
Secara sederhana, perjalanan negosiasi REDD+ dan perubahan
iklim dalam forum negosiasi UNFCCC dapat dilihat melalui gambar52
berikut:
Gambar 2.1. Peta Perjalanan Negosiasi REDD+ dan Perubahan Iklim
Sumber: Doddy S. Sukardi, DNPI
Dari gambar di atas, dapat dilihat bahwa perjalanan negosiasi
perubahan iklim dan REDD+ telah dimulai sejak terbentuknya UNFCCC
tahun 1992. Perjalanan negosiasi UNFCCC melalui forum COP yang
diadakan
tiap
tahunnya,
barulah
konsep
avoided
deforestation
diperbincangkan hingga lahirlah inisiatif RED, kemudian berkembang
menjadi REDD, hingga akhirnya menjadi REDD+. Pada COP tahun 2010,
melalui Cancun Agreement, fase-fase pelaksanaan REDD+ ini dijabarkan.
Adapun fase-fase REDD+ dapat dilihat melalui tabel berikut53:
Presentasi Doddy S. Sukardi, DNPI, “Koordinasi Kelembagaan dan Kebijakan
REDD+”, disampaikan dalam rangka Pelatihan Mekanisme Pembayaran REDD+ pada 21
Desember 2011 di Hotel Grand USSU, Cisarua
53
Presentasi Hadi Daryanto, Sekjen Kementerian Kehutanan, “Kemajuan dan
Keberlanjutan Demonstrative Activities REDD+ di Provinsi: Komunikasi Publik dengan Tokoh
Agama tentang REDD+” pada 15 Juni 2011, Balitbang Kemenhut dan UN-REDD
52
Tabel 2.1. Fase-fase Pelaksanaan REDD+ dalam Cancun Agreement
Fase I
Fase II
Fase III
Fase IV
Pengembangan
Strategi
Nasional
REDD+
Membangun
Kelembagan
REDD+ yang
sejalan dengan
Perkembangan
Negosiasi REDD+
Mengembangkan
Metodologi REDD+
di Indonesia
diantaranya
Penetapan REL dan
MRV serta
Mekanisme
Pendanaan dan
Distribusi Manfaat
Menetapkan
Provinsi Prioritas
Pelaksanaan
REDD+ dan
Mendorong
Result-based
Demonstration
Activities
Sumber: Diolah dari Hadi Daryanto, Kementerian Kehutanan
Skema REDD+, dari sisi negara berkembang, menjadi skema
kedua setelah CDM yang memberikan tugas bagi negara berkembang
untuk melakukan upaya mitigasi perubahan iklim. Secara historis, upaya
mitigasi ini merupakan tanggung jawab negara industri maju yang sejak
revolusi industri telah menyumbangkan peningkatan emisi di atmosfer.
Dalam pelaksanaan REDD+ ini negara maju memberikan kompensasi atau
bantuan insentif dana bagi negara berkembang (dalam hal ini negara
pemilik hutan tropis) yang mampu menjaga hutannya.
Jika ditinjau dari konsep REDD+ ini, ide dasarnya 54 adalah negaranegara utara membayar negara-negara selatan untuk mengurangi
penggundulan hutan dalam wilayah negara mereka. Salah satunya dengan
memberikan bantuan keuangan dengan kepentingan tersebut. Penafsiran
lain yaitu negara-negara selatan dibawah sistem global perdagangan
Tom Griffiths, Juni 2007, “RED”: AWAS? “Pencegahan Deforestasi” dan Hak-hak
Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal, diterjemahkan oleh Ima Susilowati, Forest Peoples
Programme, hal. 3
54
karbon, menjual stok akrbon yang tersimpan di hutannya kepada negaranegara utara sehingga industri-industri di utara masih tetap dapat
mengemisi, dikarenakan telah memberikan kompensasi.
Sampai saat ini, sebenarnya skema REDD+ masih dalam tahap
negosiasi COP untuk menentukan seperti apa aspek teknis atau
metodologis, serta mekanisme pendanaan ke depan ketika inisiatif ini
diadopsi pasca 2012 (berakhirnya periode Protokol Kyoto komitmen I)
sebagai mekanisme wajib bagi negara pihak dalam kesepakatan UNFCCC.
Dengan demikian, jika terdapat perdagangan karbon dengan skema
REDD+ ini, itu melalui pasar sukarela.
UCS (2008) memperkirakan akan ada tiga macam pendekatan
pendanaan REDD+55, yakni:
a. Direct Carbon Market, perusahaan di negara annex I membeli
kredit REDD+ untuk emissions allowance dalam sistem cap
and trade di negaranya. Dengan REDD+, perusahaan ini
diperbolehkan mengemisi lebih dari kuota di dalam negaranya
dan dikompensasi dengan pencegahan emisi dari deforestasi
dan degradasi hutan di negara berkembang.
b. Market Linked. Pendekatan ini menciptakan pendanaan melalui
pelelangan pendapatan atau alokasi allowance untuk REDD+
dari sistem cap and trade.
Nur Masripatin, “Apa itu REDD?: Working Group on Forest Land Tenure” dalam
Warta Tenure, Nomor 6, September 2008, hal. 7
55
c. Voluntary. Pendanaan sukarela yang berasal dari individu atau
negara serta tidak dikaitkan dengan sistem cap and trade di
negaranya.
Selanjutnya, dalam negosiasi UNFCCC sendiri, berkembang dua
usulan mekanisme pendanaan untuk REDD+56, yaitu:
a. Public Fund; Melalui mekanisme ini pendanaan bersumber dari
dana publik yng dikumpulkan dari berbagai negara melalui
proses tertentu oleh suatu institusi dalam UNFCCC. Dana
tersebut dialokasikan kepada negara-negara pemilik hutan
melalui syarat-syarat tertentu. Relasi pendanaan ini bersifat G
to G (Government to Government). Skema ini diusulkan Brasil
dan sebagian besar didukung oleh negara-negara Amerika
Latin. Dana melalui mekanisme ini akan diatur oleh pemerintah
dan dialokasikan kepada komunitas yang merupakan pemilik
hutan serta mengau pada daftar prioritas kepentingan dalam
negeri.
b. Pendanaan melalui mekanisme pasar; Skema pendanaan ini
diusulkan oleh Bank Dunia dan sebagian besar negara maju.
Muncul anggapan skeptis bahwa penggalangan dana publik
akan mampu memenuhi target jumlah dana yang diperlukan
agar skema REDD+ bisa efektif. Tata kelola pemerintahan
negar berkembang yang masih buruk juga menjadi alasan untuk
56
Mumu Muhajir, op. cit.,hal. 83
memindahkan peran negara ke swasta. Dari segi akumulasi
dana, pasar memiliki peluang tak terbatas untuk memenuhi
kebutuhan pendanaan. Selain itu, menurut negara maju, skema
ini akan menguntungkan lebih banyak pihak, utamanya swasta.
Relasi pendanaannya bersifat P to P (Private to Private).
B. Bantuan Luar Negeri
1. Konsep Dasar Bantuan Luar Negeri
Bantuan luar negeri dalam sejarah hubungan internasional mulai
terlihat pada fenomena pemberian bantuan ekonomi yang dilakukan oleh
Amerika Serikat pasca Perang Dunia II. Fenomena bantuan luar negeri
yang utama dimasa itu adalah bantuan luar negeri Amerika Serikat kepada
Eropa barat melalui program Marshall Plan57. Pemberian bantuan luar
negeri ini diharapkan mampu menciptakan pasar bagi produk Amerika
Serikat dan membantu Eropa dalam menghadapi ancaman komunis.
Selanjutnya, dua dekade pasca Perang Dunia II, ditandai dengan
banyaknya negara merdeka dari jajahan Eropa, khususnya di Asia dan
Afrika, Amerika Serikat kembali memberikan bantuan luar negeri bagi
negara-negara di kawasan tersebut. Bantuan ini diberikan utamanya bagi
negara-negara yang telah siap dengan rencana pembangunannya. Inilah
57
Marshall Plan merupakan program bantuan luar negeri AS kepada Eropa barat yang
bertujuan untuk merehabilitasi kehancuran negara-negara di kawasan tersebut akibat Perang Dunia
II baik disektor sosial, ekonomi, maupun infrastruktur politik masyarakat.
yang menjadi titik awal pemberian bantuan luar negeri negara maju
kepada negara berkembang.
Tentunya, pemberian bantuan luar negeri oleh negara donor seperti
Amerika Serikat memiliki motivasi atau tujuan tersendiri. Seperti yang
dikemukakan oleh Edward S. Mason bahwa “bantuan luar negeri
merupakan instrumen kebijakan luar negeri dari suatu negara.”58 Hal ini
berarti setiap bantuan luar negeri oleh negara donor perlu diwaspadai
karena terdapat tujuan tertentu negara ini yang ingin dicapai pada negara
penerima.
Tidak hanya itu, dalam perspektif Neo Marxis atau radikal melihat
bantuan luar negeri sebagai alat imperialisme dan kontrol sosial yang
ditujukan untuk menghancurkan kebebasan negara-negara berkembang.
Selain itu, bantuan luar negeri dinilai memiliki arti strategis untuk
mempengaruhi kebijakan nasional negara penerima bantuan.
Motivasi-motivasi lain negara donor dalam pemberian bantuan luar
negeri selain pandangan neo-marxis di atas, terdapat pandangan lain,
diantaranya59:
a. Motif
kemanusiaan
yang
bertujuan
untuk
mengurangi
kemiskinan di negara dunia ketiga melalui dukungan kerjasama
ekonomi;
58
Edward S. Mason, 1964, Foreign Aid Policy, New York: Harper & Row Publishers,
hal. 8
59
Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani, September 2006, Pengantar
Ilmu Hubungan Internasional, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, hal. 84
b. Motif politik, bertujuan untuk meningkatkan image negara
donor;
c. Motif keamanan nasional, mendasarkan pada asumsi bahwa
bantuan luar negeri dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi
yang akan mendorong stabilitas politik dan keuntungan pada
kepentingan negara donor. Dengan kata lain, motif keamanan
memiliki sisi ekonomi;
d. Motif yang berkaitan dengan kepentingan nasional negara
donor.
Selanjutnya dalam melihat bantuan luar negeri, Pearson dan
Payasilian mengemukakan empat teori60, yaitu:
a. Aliran realis menyatakan tujuan utama bantuan luar negeri
bukan
untuk
menunjukkan
idealisme
abstrak
aspirasi
kemanusiaan tetapi untuk proyeksi power nasional. Bantuan
luar negeri merupakan komponen penting bagi kebijakan
keamanan internasional;
b. Aliran moralis atau idealis menyatakan bantuan luar negeri
secara
esensial
merupakan
gerakan
kemanusiaan
yang
menunjukkan nilai-nilai kemanusiaan internasional. Aliran
moralis menyatakan negara-negara yang lebih kaya memiliki
tanggung jawab moral kepada negara miskin. Berangkat dari
hal tersebut, aliran moralis menyatakan bantuan luar negeri
60
Ibid., hal. 81-82
mendorong dukungan yang saling menguntungkan sejalan
dengan pembangunan ekonomi dan hak asasi manusia, hukum
dan ketertiban internasional.
c. Teori bureaucratic incrementalist menyatakan bantuan luar
negeri sebagai kebijakan publik, produk dari politik domestik
yang melibatkan opini publik, kelompok kepentingan, dan
institusi pemerintah yang secara langsung terlibat dalam proses
pembuatan kebijakan yang mempromosikan kepentingan
nasional melalui agenda politik.
d. Teori ketergantungan (dependensia) menyatakan bantuan luar
negeri digunakan negara kaya untuk mempengaruhi hubungan
domestik dan luar negeri negara penerima bantuan, merangkul
elit politik lokalnya untuk tujuan komersil dan keamanan
nasional. Selanjutnya, melalui jaringan internasional, keuangan
internasional dan struktur produksi, bantuan luar negeri ada
untuk mengeksploitasi sumber daya alam negara penerima
bantuan. Yang pada akhirnya bantuan luar negeri dapat
digunakan sebagai instrumen untuk perlindungan dan ekspansi
negara kaya ke negara miskin untuk mengekalkan sistem
ketergantungan.
Lain halnya dengan OECD61, melalui DAC62, mendefinisikan
bantuan luar negeri sebagai bantuan pembangunan secara resmi yang
terdiri dari dana yang disediakan oleh pemerintah atas persyaratan
konsensional terutama digunakan untuk kesejahteraan negara berkembang.
Dalam bantuan luar negeri, berlangsung pola hubungan donor dan
negara penerima untuk pengelolaan bantuan. Dikarenakan aliran bantuan
luar negeri terus meningkat, menjadi keharusan dalam pengelolaan
bantuan agar transparan, dapat dipertanggungjawabkan, dan dikelola
efektif antara keduabelah pihak.
Berdasar dari hal ini, lahirlah Paris Declaration on Aid
Effectiveness sebagai komitmen global antara donor dan negara penerima
untuk mengelola bantuan luar negeri. Pengelolaannya didasarkan pada
prinsip-prinsip
kepemilikan
(ownership),
keselarasan
(alignment),
harmonisasi (harmonization), dan berorientasi pada pengelolaan dengan
hasil yang terukur (managing for result), serta pertanggungjawaban
bersama (mutual accountability).63
61
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) merupakan wadah
perkumpulan negara-negara maju untuk menyalurkan bantuan pembangunan kepada negara
berkembang. Organisasi ini berdiri pada tahun 1961 dan berkedudukan di Paris.
62
Development Assistance Committee (DAC) merupakan salah satu panitia dari OECD
yang bertugas merumuskan segala sesuatu yang berkaitan dengan bantuan luar negeri kepada
negara berkembang. Definisi mengenai bantuan luar negeri diatas perumusannya dihasilkan pada
tahun 1971 oleh DAC.
63
Endah Bayu Purnawati, “Tinjauan terhadap Upaya Pengefektifan Bantuan Luar Negeri
di Indonesia”, dalam Analisis CSIS, Volume 40, Nomor 4, Desember 2011, hal. 567
2. Jenis-jenis dan Pengelompokan Bantuan Luar Negeri
Dalam interaksi internasional, bantuan luar negeri dapat juga
berupa pinjaman luar negeri. Pinjaman luar negeri juga biasa disebut utang
luar negeri. Pinjaman luar negeri merupakan bentuk bantuan luar negeri
yang harus dikembalikan dan dibayar kembali beserta bunga pinjaman
dalam jangka waktu tertentu. Bantuan luar negeri juga dapat berupa hibah.
Holsti mengelompokkan program bantuan luar negeri dalam empat jenis64
diantaranya bantuan teknik, bantuan militer, Grant dan program komoditi
impor, serta pinjaman pembangunan.
Bantuan luar negeri seperti yang penulis sebutkan sebelumnya,
dapat berupa pinjaman atau utang, juga memiliki banyak jenis dan
pengelompokan seperti:
a. Berdasarkan persyaratan pinjaman65
i.
Pinjaman lunak (concessional loan)
Pinjaman ini berasal dari lembaga multilateral dan
negara bilateral dengan tujuan untuk peningkatan
pembangunan. Tingkat suku bunga rendah (maksimal
3%), jangka waktu pengembalian minimal 25 tahun
64
K. J. Holsti, 1995, Politik Internasional: Kerangka Analisis, New Jersey: Prantice Hall,
hal. 182
65
Diana Yumanita, dkk, 2001, Profil Pinjaman Luar Negeri Indonesia dan
Permasalahannya, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank Indonesia
dengan masa tenggang 8 tahun, mengandung hibah
(grant element) di atas 25% dari total pinjaman.66
ii.
Pinjaman setengah lunak (semi-concessional loan)
Pinjaman ini memiliki persyaratan pinjaman sebagian
lunak dan komersil. Contohnya adalah fasilitas kredit
ekspor dan purchasing installment sales agreement
(PISA).
iii.
Pinjaman komersial (commercial loan)
Pinjaman yang sumbernya dari bank atau lembaga
keuangan dengan persyaratan yang berlaku di pasar
internasional.
Pinjaman atau utang diterima berupa dana (berbentuk uang),
barang, dan jasa (berbentuk technical assistance). Adapun data utang luar
negeri ini ada tiga jenis yakni:
a. Long term debt outstanding (DO), penjumlahan utang yang
telah dan belum dicairkan dengan melihat posisi total obligasi
eksternal negara peminjam pada akhir tahun;
b. Long term disbursement (DD), yaitu utang luar negeri yang
telah dicairkan berdasarkan komitmen yang disepakati kreditor
dan debitor;
c. Long term net transfer on debt (DT), selisih antara neto67 dan
bungan yang dibayarkan oleh negara pengutang.
66
Syarat kategori pinjaman lunak ini berdasarkan ketentuan pemberian bantuan luar
negeri melalui mekanisme dana pembangunan resmi. Syarat konsensional ini diatur dalam New
DAC Term.
PP No. 2 tahun 2006 mengenai struktur komponen pinjaman dari
pemerintah Indonesia terdiri atas:
a. Pinjaman komersil
Pinjaman luar negeri pemerintah yang diperoleh dengan
persyaratan di pasar dan tanpa adanya penjaminan dari lembaga
penjamin kredit ekspor.
b. Fasilitas kredit ekspor
Berupa pinjaman komersial yang diberikan oleh lembaga
keungan atau non-keuangan di negara pengekspor dengan
jaminan dari lembaga penjamin kredit ekspor. Fasilitas ini
biasanya digunakan untuk pembelian senjata di luar negeri.
c. Komponen pinjaman lunak
Pinjaman yang masuk kategori ODA loan atau concessional
loan, berasal dari negara atau lembaga multilateral dengan
tujuan pembangunan ekonomi atau peningkatan kesejahteraan
sosial negara penerima.
d. Pinjaman program merupakan pinjaman luar negeri dalam
valuta asing yang dapat dirupiahkan dan digunakan untuk
pembiayaan APBN.
e. Pinjaman proyek merupakan pinjaman luar negeri yang
digunakan untuk membiayai kegiatan pembangunan tertentu.
67
Neto yang dimaksud penulis adalah selisih antara utang yang telah dicairkan dan
pembayaran cicilan pokok
Lebih jelasnya, ketentuan mengenai persyaratan pinjaman (term
and conditions) penggunaan ODA baik bersifat bilateral maupun
multilateral di Indonesia didasarkan pada Inpres No. 8 tahun 1984 tentang
Penggunaan Kredit Ekspor Luar Negeri yang disempurnakan melalui PP
No. 2 tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/ atau
Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/ Hibah Luar Negeri.
Yang dapat diklasifikasikan pinjaman lunak harus memenuhi unsur-unsur:
a. Jangka waktu pengembalian utang 25 tahun atau lebih;
b. Masa tenggang (grace period) pembayaran pokok pinjaman
selama tujuh sampai sepuluh tahun;
c. Tingkat bunga pinjaman berkisar dua sampai tiga persen;
d. Dalam pinjaman yang diberikan terdapat unsur hibah (grant
element) sebesar 35%.
Bentuk bantuan luar negeri yang lain yaitu pemberian atau hibah
(grant). Hibah juga memiliki pengelompokan seperti68:
a. Hibah menurut skema atau bentuknya
1. Hibah dalam bentuk cash
Hibah ini sangat terbatas dan diberikan kepada negara
sangat miskin (pendapatan per kapita per tahun kurang dari
USD 200).
2. Hibah berbentuk barang dan jasa dalam rangka bantuan
proyek atau kerja sama keuangan
Kurniawan Ariadi, “Hibah Luar Negeri, APBN, dan Grant Trap”, Majalah
Perencanaan Pembangunan, Edisi 23, 2001, hal. 4-7
68
i. Hibah berbentuk barang dan jasa yang berdiri sendiri;
Hibah dalam skema ini sama dengan pinjaman luar
negeri untuk proyek pembangunan. Sumber dananya
tidak perlu dikembalikan.
ii. Hibah berbentuk barang dan jasa untuk mendukung atau
sebagai
bagian
project
assistance
yang
dibiayai
pinjaman; Hibah seperti ini berupa dana dan diberikan
bersama dengan pinjaman untuk pembiayaan suatu
proyek pengadaan barang dan jasa.
3. Hibah dalam rangka bantuan atau kerja sama teknik
i. Hibah untuk mendukung proyek-proyek yang dibiayai
pinjaman
Hibah bentuk ini umumnya berupa studi untuk
persiapan, apparsial ataupun monitoring proyek-proyek
pengadaan barang dan jasa yang dibiayai pinjaman.
Pihak pemberi dana menyediakan tenaga ahli dan
membiayai seluruh kegiatan yang dilakukan tenaga ahli.
Penerima hibah hanya memfasilitasi kegiatan tenaga ahli
dan menerima hasil studi, apparsial ataupun monitoring.
ii. Hibah dalam rangka technical assistance yang berdiri
sendiri
Hibah
dalam
skema
ini
pada
dasarnya
berupa
penyediaan tenaga ahli dan atau konsultan untuk
melaksanakan suatu proyek atau kegiatan tertentu.
iii. Beasiswa dan pelatihan
4. Hibah dalam rangka kemanusiaan
Hibah ini sifatnya lebih pada bantuan darurat. Perwakilan
negara donor umumnya memiliki alokasi dana khusus
untuk bantuan-bantuan kemanusiaan.
b. Hibah menurut peruntukan dan penyalurannya
1. Hibah untuk pemerintah
2. Hibah untuk non-pemerintah
3. Trust fund dan partnership
Trust fund adalah suatu mekanisme dimana beberapa donor
(umumnya bilateral) menyalurkan hibahnya melalui satu
donor lembaga multilateral (internasional atau regional)
yang bertindak sebagai pengelola seperti UNDP dan Uni
Eropa.
Hibah baik berupa dana maupun tenaga ahli dipercayakan
oleh pemberi hibah kepada lembaga pengelola untuk
membiayai atau mendukung program yang telah disusun
oleh lembaga bersangkutan. Dana dan tenaga ahli ini
bekerja dibawah naungan lembaga pengelola. Trust fund
jug memiliki jenis-jenis diantaranya69:
a. Endowment Fund (Dana Abadi); Dana yang diserahkan
untuk dikelola secara abadi, tanpa batasan waktu. Dana
yang bisa digunakan adalah dana hasil investasi dari
dana abadi tersebut.
b. Revolving Fund (Dana Bergulir); Dana yang diserahkan
untuk dikelola secara bergulir . Umumnya digunakan
untuk pinjaman atau modal usaha.
c. Sinking Fund (Dana Menurun); Dana yang diserahkan
untuk
dikelola
bagi
pengelolaan
program
dan
diamanatkan untuk digunakan sesuai dengan anggaran
yang disepakati. Dana diharapkan diserap habis.
d. Mixed Trust Fund; Kombinasi antara tiga bentuk trust
fund di atas.
Dengan menggunakan model trust fund, beberapa bentuk
program atau proyek bantuan luar negeri berusaha
menyederhanakan prosedur dan implementasi kegiatan.
Keuntungan yang diperoleh dengan model ini adalah dari
segi kecepatan pembiayaan program tanpa perlu mengikuti
prosedur birokrasi.
69
Presentasi Basah Hernowo, Direktur Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air,
Bappenas, “Peran Lembaga Trust Fund dalam REDD+” disampaikan dalam Workshop Pendanaan
dan Mekanisme Distribusi Insentif REDD+ pada 28 April 2011 di Jakarta
Selain itu, pemerintah selaku pengelola kegiatan cukup
membuat satu laporan pertanggungjawaban dalam format
yang telah disepakati, meskipun terdapat lebih dari satu
donor yang terlibat.
Selain pengelompokan jenis hibah di atas, umumnya jenis-jenis
hibah yang dapat diterima di Indonesia yaitu:
a. Donasi atau hibah bebas yaitu secara sukarela tanpa
persyaratan apapun;
b. Hibah dengan syarat (techincal assistance) yaitu bantuan yang
tidak perlu dibayar kembali namun dalam pelaksanaannya
menuntut persyaratan yang dituangkan dalam kesepakatan;
c. Hibah bagian dari pinjaman adalah komponen hibah dari suatu
proyek yang sebagian pendanaannya berasal dari pinjaman.
C. Perjanjian Internasional
1. Konsep Dasar Perjanjian Internasional
Dalam ilmu hubungan internasional, interkasi antaraktor atau
pelaku hubungan internasional terikat oleh suatu hukum internasional.
Aktor atau pelaku hubungan internasional dalam hukum internasional
disebut subjek hukum internasional.70 Apabila subjek-subjek hukum
internasional ini dalam interaksinya melakukan suatu perjanjian, inilah
70
Subjek hukum internasional adalah orang atau lembaga yang dianggap mampu
melakukan perbuatan atau tindakan hukum yang diatur dalam hukum internasional dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum internasional atas perbuatannya tersebut. Subjek hukum
internasional seperti negara, organisasi internasional, pihak yang bersengketa, perusahaan
internasional, tahta suci, dan individu.
disebut perjanjian internasional. Perjanjian internasional pada hakekatnya
merupakan suatu persetujuan atau agreement.
Dalam perjanjian internasional terdapat istilah subjek dan obyek.
Yang dimaksud subjek perjanjian internasional adalah semua subjek
hukum internasional. Sedangkan yang dimaksud dengan objek hukum
internasional adalah semua kepentingan yang menyangkut kehidupan
masyarakat internasional, terutama kepentingan ekonomi, sosial, politik,
dan budaya.
Definisi perjanjian internasional pun dalam literatur hukum
perjanjian internasional memiliki banyak definisi, diantaranya:
a. Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional71
“An International Agreement concluded between States and
International Organizations in written form and governed by
International Law, whether embodied in a single instrument or
in two or more related instruments and whatever its particular
designation.”
(Perjanjian internasional mencakup suatu perjanjian yang
dibuat antara satu atau lebih negara dan organisasi
internasional dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum
internasional, yang bertujuan untuk mengadakan akibat-akibat
hukum tertentu)
b. G. Schwarzenberger72
“Treaties are agreements between subject of International Law
creating binding obligations in International Law. They may be
bilateral (i.e. concluded between contracting parties) or
multilateral (i.e. concluded more than contracting parties).”
(Perjanjian internasional diartikan sebagai suatu persetujuan
antara subjek-subjek hukum internasional yang menimbulkan
kewajiban-kewajiban
yang
mengikat
dalam
hukum
internasional. Persetujuan tersebut dapat berbentuk bilateral
maupun multilateral.)
71
Damos Dumali Agusman, loc. cit.
72
Rosmi Hasibuan, loc. cit.
c. Oppenheim-Lauterpacht
“International treaties are agreements of contractual charter
between states, creating legal rights and obligations between
the parties”.73
(Perjanjian adalah suatu persetujuan antar negara, yang
menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak-pihak.)
d. Mochtar Kusumaatmadja74
“Perjanjian internasional adalah suatu perjanjian yang diadakan
antara anggota masyarakat bangsa-bangsa yang bertujuan untuk
mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu”.
Dari beberapa definisi di atas mengenai perjanjian internasional,
penulis menyimpulkan perjanjian internasional adalah perjanjian yang
dilakukan antara subjek hukum internasional, yang menimbulkan suatu
hak dan kewajiban yang mengikat diantaranya dan diatur oleh hukum
internasional.
2. Jenis-jenis dan Pengelompokan Perjanjian Internasional
Perjanjian internasional
merupakan sumber
formal hukum
internasional. Perjanjian internasional pun memiliki banyak jenis, sebagai
berikut:
a. Berdasarkan proses atau tahapan pembuatannya
i. perjanjian bersifat penting yang dibuat melalui proses
perundingan, penandatanganan, dan ratifikasi.
ii. perjanjian sederhana yang dibuat melalui dua tahap yakni
perundingan dan penandatanganan.
73
Muhammad Ashri, loc. cit.
74
Mochtar Kusumaatmadja, April 1999, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta:
Penerbit Putra A.Bardin, hal. 84
b. Berdasarkan pihak-pihak yang terlibat
i. perjanjian bilateral, adalah perjanjian yang diadakan oleh
dua pihak. Perjanjian ini bersifat khusus (treaty contract)
karena hanya menyangkut kepentingan dua negara saja.
Bersifat tertutup, yaitu menutup kemungkinan pihak lain
untuk ikut dalam perjanjian.
ii. perjanjian multilateral, adalah perjanjian yang diadakan
oleh banyak pihak, tidak hanya mengatur kepentingan
pihak
yang
terlibat
dalam
perjanjian,
tetapi
juga
menyangkut kepentingan umum. Bersifat terbuka yaitu
memberi kesempatan bagi negara lain untuk ikut serta
dalam perjanjian itu.
c. Berdasarkan fungsinya
i. Law making treaties, adalah suatu perjanjian yang
meletakkan ketentuan-ketentuan umum bagi masyarakat
internasional secara keseluruhan (bersifat multilateral).
ii. Treaty contract atau perjanjian yang bersifat khusus, adalah
perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban dan hanya
mengikat bagi negara-negara yang mengadakan perjanjian
saja (bersifat bilateral).
Kedudukan perjanjian dianggap sangat penting karena lebih
menjamin kepastian hukum, diadakan secara tertulis, dan mengatur
kepentingan bersama diantara para subjek hukum internasional. Dalam
perjanjian internasional terdapat beberapa istilah yang digunakan, antara
lain:
a. Memorandum of understanding (MoU) adalah perjanjian
internasional yang berisi komitemn umum terhadap semua
bidang/ permasalahan . MoU juga megatur petunjuk teknis
operasional suatu perjanjian induk. Jenis perjanjian ini
umumnya langsung berlaku setelah penandatanganan, tanpa
melalui proses pengesahan.
b. Treaty (traktat), adalah perjanjian yang paling formal dan
merupakan persetujuan dua negara atau lebih.
c. Convention (konvensi), adalah persetujuan formal yang bersifat
multilateral dan melibatkan sejumlah besar negara sebagai
peserta perjanjian. Kovensi umumnya bersifat terbuka bagi
masyarakat internasional untuk berpartisipasi sebagai pihak.
d. Agreement (persetujuan), adalah perjanjian yang bersifat teknis
dan administratif. Sifatnya tidak seresmi traktat dan konvensi,
sehingga diratifikasi.
e. Charter, adalah suatu istilah yang digunakan dalam perjanjian
internasional untuk pendirian badan yang melakukan fungsi
administratif seperti organisasi internasional.
f. Protocol (protokol), suatu dikumen pelengkap instrumen
perjanjian internasional yang mengatur masalah-masalah
tambahan
seperti
penafsiran
klausul-klausul
tertentu.
Penggunaan protokol dibagi dalam berbagai bentuk75, yaitu:
i. Protocol of signature, merupakan perangkat tambahan
suatu perjanjian internasional yang dibuat oleh pihak yang
sama dalam perjanjian.
ii. Optional
protocol
dimaksudkan
untuk
memberikan
kesempatan bagi beberapa negara pihak pada perjanjian
dalam membentuk pengaturan lebih jauh dari perjanjian
induk tanpa memerlukan persetujuan seluruh negara pihak.
Additional
protocol
dibuat
untuk
melengkapi
dan
menambah ketentuan baru bagi perjanjian induk.
iii. Protocol based on a framework treaty, perangkat yang
mengatur kewajiban khusus dalam melaksanakan perjanjian
induk. Protokol ini umumnya dibuat untuk menjamin
proses pembuatan perjanjian agar berlangsung lebih cepat
dan sederhana, khususnya yang berkaitan dengan hukum
lingkungan.
iv. Protocol untuk mengubah beberapa perjanjian internasional
v. Protocol sebagai pelengkap perjanjian sebelumnya.
75
Muhammad Ashri, op.cit., hal.16
g. Declaration adalah perjanjian yang berisi ketentuan umum
dimana pihak pada deklarasi tersebut berjanji untuk melakukan
kebijaksanaan tertentu di masa yang akan datang.
h. Final Act (ketentuan penutup), adalah suatu ringkasan hasil
konvensi yang menyebutkan negara peserta, nama utusan yang
turut diundang, serta masalah yang disetujui konvensi.
i. Exchange of Notes, adalah perjanjian internasional yang
bersifat umum dan dilakukan dengan bertukar dua dokumen
yang ditandatangani oleh kedua belah pihak pada masingmasing dokumen.
j. Letter of Intent, adalah suatu kesepakatan yang berisikan
komitmen para pihak untuk melakukan persetujuan dalam
bidang tertentu di masa datang. Naskah ini biasanya dibuat
dengan cara tidak resmi dan tidak memerlukan prosedur
pengesahan.
3. Tahapan-tahapan Pembuatan Perjanjian Internasional
Prosedur atau tahapan dalam pembuatan perjanjian internasional
bergantung pada msing-masing negara berdasarkan konstitusi dan hukum
kebiasaan yang berlaku di negaranya. Namun, dalam praktek berbagai
negara umumnya melalui tahapan-tahapan berikut:
a. Negotiation (Perundingan)
Tahapan ini merupakan pembicaraan pendahuluan oleh
pihak berkepentingan. Dalam perundingan internasional ini
negara dapat diwakili oleh pejabat negara yang memiliki surat
kuasa penuh (full powers/ credentials). Perundingan dalam
rangka perjanjian internasional yang hanya melibatkan dua
pihak (bilateral) disebut pembicaraan (talk) sedangkan dalam
rangka perjanjian multilateral disebut konferensi diplomatik
(diplomatic conference). Perundingan secara tidak resmi
disebut corridor talk atau lobbying.
b. Signature (Penandatanganan)
Tahapan penandatanganan merupakan tahap penerimaan
naskah (adoption of text) dan pengesahan bunyi naskah
(authentication of text). Dalam praktek diplomatik fungsi
tandatangan adalah memberikan persetujuan terhadap teks
perjanjian dan belum merupakan suatu treaty yang mengikat
negara yang bertanda tangan.
Bila suatu negara yang telah ikut menandatangani suatu
perjanjian tetapi belum meratifikasinya berarti negara tersebut
secara yuridis belum merupakan peserta dalam perjanjian.
Dalam hal ini, negara tersebut berkewajiban untuk tidak
melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan objek dan
tujuan perjanjian selama negara tersebut belum meratifikasi.
c. Ratification (Ratifikasi)
Dalam pasal 2 Konvensi Wina 1969, ratifikasi didefiniskan
sebagai
tindakan
internasional
dimana
suatu
negaar
menyatakan kesediaannya atau melahirkan persetujuan untuk
diikat oleh suatu perjanjian internasional. Oleh karena itu,
ratifikasi tidak berlaku surut, melainkan mengikat sejak tanggal
penandatanganan ratifikasi.
Dalam arti internasional, ratifikasi adalah suatu kegiatan
berupa pertukaran atau pentimpanan dokumen ratifikasi (nota
ratifikasi), sejak tanggal pertukaran dokumen, yang kemudian
melahirkan kewajiban-kewajiban internasional sebagai efek
dari ratifikasi.
Ratifikasi perjanjian internasional memiliki tiga sistem
yaitu ratifikasi oleh badan eksekutif, ratifikasi oleh badan
legislatif, dan ratifikasi campuran (eksekutif dan legislatif).
Indonesia menganut sistem ratifikasi campuran.Dalam UU RI
No. 24 tahun 2000, ratifikasi perjanjian internasional
dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.
Ratifikasi di Indonesia dengan undang-undang harus
mendapatkan persetujuan presiden dan DPR secara bersamasama.
Ratifikasi
mengisyaratkan
dengan
adanya
keputusan
persetujuan
perjanjian internasional tersebut.
presiden
presiden
hanya
terhadap
BAB III
IMPLEMENTASI MEKANISME CARBON TRADING SKEMA REDD+ DI
INDONESIA PERIODE 2008-2012
A. Gambaran Umum Kondisi Hutan Indonesia
Indonesia memiliki luas wilayah daratan 187,8 juta hektar. Berdasarkan
tutupan lahan atau hutannya, dari luas daratan tersebut
tertutupi hutan (forest
cover) seluas 100.740 juta hektar.76 Dari luas wilayah daratan itu juga,
berdasarkan areal penggunaannya terbagi mnjadi kawasan hutan seluas 133,6 juta
hektar (71 persen) dan areal penggunaan lain (APL) seluas 55,4 juta hektar (29
persen).77 Dengan luas hutan meliputi 71 persen, tentunya kerusakan hutan
mengakibatkan gangguan yang cukup signifikan.
Kawasan hutan terluas berada di Papua (42,2 juta hektar), Kalimantan
(40,9 juta hektar), Sumatera (27,9 juta hektar), Sulawesi (12,5 juta hektar), dan
sisanya tersebar di berbagai pulau lainnya.78 Berdasarkan fungsinya, hutan yang
berada dalam kawasan hutan terbagi menjadi hutan produksi seluas 81,9 juta
hektar, hutan lindung seluas 31,6 juta, dan hutan konservasi seluas 19,9 juta
hektar.79
76
Draft Strategi Nasional REDD+, Bappenas, 2010, hal.11
77
Rancangan Strategi nasional REDD+ versi 18 November 2010, Bappenas, 2010, hal.34
78
Ibid.
79
Ibid.
Data dari WRI (1997) menyebutkan hingga awal abad 21, Indonesia telah
kehilangan 72% hutan asli.80 Penebangan hutan untuk industri (industrial logging)
yang tidak terkontrol selama puluhan tahun telah menyebabkan berkurangnya
hutan tropis dalam skala besar. Ini menjadi salah satu penyebab deforestasi81
hutan Indonesia. Laju deforestasi per tahun di Indonesia pun bervariasi dari
periode tahun satu ke berikutnya.
Data Ditjen Planologi Kehutanan (2010)82 mengemukakan, pada periode
tahun 1990-1996, rata-rata laju deforestasi adalah 1,87 juta hektar. Laju ini terus
meningkat dengan cepat pada periode 1996-2000 mencapai 3,51 juta hektar; salah
satu angka kerusakan hutan tertinggi di dunia. Laju ini kemudian menurun
sekitar83 1,08 juta hektar per tahun periode 2000-2003.
Hasil perhitungan luas deforestasi menurut Kementerian Kehutanan
(2008)84 diperoleh angka bahwa luas deforestasi seluruh
daratan Indonesia
selama periode 2000-2006 adalah 3,52 juta hektar atau dengan angka deforestasi
tahunan rata-rata sebesar 1,17 juta hektar. Dari seluruh data tersebut, maka laju
deforestasi di Indonesia dapat diproyeksi sekitar 1,1 juta hektar per tahun.
Berry Nahdian Forqan, “Hutan Indonesia Diantara Pertarungan Global” dalam Jurnal
Diplomasi, Volume 1, Nomor 3, Desember 2009, hal. 59
80
81
Menurut FAO, deforestasi adalah pengalihan hutan menjadi lahan dengan tujuan atau
pengurangan tajuk pohon dibawah ambang batas minimum 10 persen untuk jangka panjang
dengan tinggi pohon minimum 5 m dan areal minimum 0,5 hektar.
82
Bappenas, op. cit, hal.35
83
Bappenas, op. cit, hal.12
84
Bappenas, op. cit, hal.34
Sementara itu, degradasi85 secara rata-rata yang disebabkan oleh aktivitas logging
adalah 0,626 juta hektar per tahun.
Deforestasi hutan yang terjadi menjadi salah satu faktor peningkatan emisi
gas rumah kaca, menurunkan keanekaragaman hayati dan sistem pendukung
lainnya. Hutan yang dalam konteks perubahan iklim memiliki peran sebagai
carbon sink (penyerap karbon), carbon storage (penyimpan karbon), dan carbon
source (pengemisi karbon).86 Deforestasi dan degradasi hutan bisa meningkatkan
source sedangkan aforestasi87, reforestasi88, dan kegiatan penanaman lainnya
meningkatkan sink dan storage.
Dalam kesepakatan UNFCCC, salah satu penyebab peningkatan emisi
GRK adalah sektor LULUCF. Di Indonesia, berdasarkan data SNC89, kontribusi
emisi dari perubahan tata guna lahan dan kehutanan sebesar 47 persen atau 0,65
85
Menurut FAO dan Submisi Indonesia ke sekretariat UNFCCC (Maret 2008)
menyebutkan degradasi adalah perubahan di dalam hutan yang berdampak negatif terhadap
struktur atau fungsi tegakan atau lahan hutan sehingga menurunkan kemampuan hutan dalam
menyediakan jasa atau produk hutan. Dalam konteks REDD+, degradasi dapat diartikan sebagai
penurunan stok karbon hutan.
86
Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim, Kementerian Negara
Lingkungan Hidup RI, November 2007, hal. 13
87
Menurut Marrakech Accord, aforestasi adalah aktivitas langsung yang dilakukan oleh
manusia dalam mengubah area yang minimal selama 50 tahun bukan merupakan wilayah hutan
menjadi hutan dengan tindakan-tindakan seperti penanaman, pembibitan, dan/atau aktivitas
lainnya yang mempromosikan sumber-sumber pembibitan alam.
88
Reforestasi menurut Marrakech Accord adalah aktivitas langsung yang dilakukan oleh
manusia dalam mengubah area bukan hutan menjadi area hutan melalui penanaman, pembibitan,
dan/atau aktivitas lainnya yang mempromosikan sumber-sumber pembibitan alam, di area yang
pada awalnya merupakan wilayah hutan namun mengalami perubahan menjadi wilayah bukan
hutan.
89
SNC merupakan laporan yang wajib diberikan oleh setiap negara berkembang dan
negara anggota UNFCCC (setelah meratifikasi) mengenai kondisi GRK nasionalnya, dampak dan
upaya mitigasi yang dilakukan. Laporan ini diberikan kepada sekretariat UNFCCC.
Gton CO2e90 dari total emisi nasional sebesar 1,36 Gton CO2e. Bila dimasukkan
kebakaran lahan gambut, kontribusi LUCF bertambah menjadi sekitar 60 persen.91
Hasil studi IFCA (2007)92, kandungan karbon hutan Indonesia pada
kisaran 8-339 ton/hektar atau 24-1017 ton CO2e per hektar. Pulau Sumatera
menyumbangkan emisi (56 persen), Kalimantan (26 persen), Papua (7 persen),
Sulawesi (4 persen), Maluku (2 persen). Berdasarkan data dari Departemen
Kehutanan (2008)93 menyebutkan sumber emisi terbesar berasal dari hutan lahan
kering (62 persen) disusul hutan rawa gambut (27 persen).
Kenyataannya, hingga saat ini kondisi hutan Indonesia termasuk kategori
mengkhawatirkan. Pada tahun 2008, kondisi kerusakan hutan Indonesia tercatat
dalam rekor dunia sebagai negara dengan tingkat kerusakan hutan yang paling
cepat diantara 44 negara paru-paru dunia.94 Berdasarkan hasil analisis FWI dan
GFW, selama kurun waktu 50 tahun luas hutan Indonesia menyusut hingga lebih
dari 40 persen.95 Padahal Indonesia adalah negara kedua dengan jumlah hutan
tropis terluas setelah Brasil.96 Perkiraan WRI bahwa sebagian besar (74 persen)
90
CO2e atau CO2 ekuivalen merujuk pada tingkat konsentrasi berbagai macam gas rumah
kaca secara komposit yang sepadan. Gas rumah kaca seperti karbon dioksida, gas metana.
91
Nur Masripatin, op. cit, hal. 64
92
Ibid.
93
Ibid.
Hariyadi, 2010, “Peran Subnasional dalam Pengurangan Emisi GRK melalui Skema
REDD,” dalam Poltak Partogi Nainggolan (ed.), Pemanasan Global dan Perubahan Iklim, Jakarta:
Pusat Pengkajian dan Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI, hal. 10
94
95
Ibid.
96
Indonesia dan Perubahan Iklim: Status Terkini dan Kebijakannya, 2007, PEACE dan
Department for International Development (DFID) Indonesia, hal. 13
emisi karbon sektor kehutanan Indonesia berasal dari kerusakan hutan dan
pengalihan lahan (LUCF).97
B. Gambaran Umum Skema REDD+
Dalam kesepakatan UNFCCC disebutkan pengurangan emisi global
ditargetkan akan mencapai 20-40 persen pada tahun 2012 dibandingkan dengan
tahun 1990. Dari total target tersebut, 10 persen diharapkan akan dicapai melalui
strategi REDD+.98 Indonesia merupakan salah satu negara pihak UNFCCC.
Keanggotaan Indonesia sebagai negara pihak UNFCCC, negara yang
meratifikasi konvensi UNFCCC, memiliki konsekuensi untuk ikut mencapai
tujuan konvensi. Tujuan konvensi ini untuk menurunkan emisi global. Salah
satunya emisi yang bersumber dari sektor kehutanan. Kemudian dalam negosiasi
UNFCCC, REDD+ hadir sebagai suatu mekanisme internasional untuk
menurunkan emisi global di sektor kehutanan.
Meskipun REDD+ masih dalam tahap negosiasi dan belum menjadi suatu
ketetapan yang diadopsi UNFCCC pasca 2012, mekanisme ini telah diujicobakan
di beberapa negara pemilik hutan tropis termasuk Indonesia secara sukarela.
Kesiapan implementasi di Indonesia pun harus mengikuti syarat keharusan. Ini
bersumber baik dari mekanisme yang disepakati di tingkat internasional maupun
situasi dan kondisi internal Indonesia. Indonesia melaksanakan REDD+ dengan
pendekatan nasional namun implementasi pada tingkat sub-nasional.
97
Ibid., hal. 15
98
Dani Setiawan dan Agustinus Prasetyantoko, Maret 2011, Pendanaan Iklim, Antara
Kebutuhan dan Keselamatan Rakyat, Jakarta: WALHI, hal. 38
Studi IFCA (2007), perkembangan negosiasi dan kebijakan nasional99
merekomendasikan tiga hal pokok yng diperlukan dalam penerapan REDD+ di
Indonesia, yaitu pemenuhan kondisi pemungkin sinergisme pembangunan lintas
sektor, reformasi pembangunan sektor-sektor berbasis penggunaan lahan, dan
pembangunan infrastruktur pendukung pelaksanaan REDD+.
Selain tiga hal pokok diatas terdapat beberapa syarat lain pelaksanaan
REDD+ yang harus disiapkan, diantaranya:
1. Tingkat emisi referensi yang digunakan;
2. Penanganan pengalihan emisi (displacement of emission);
3. Sistem
pemantauan,
pelaporan,
dan
verifikasi
(MRV);
Measurement (M) maksudnya pengukuran jumlah karbon yang
dapat diserap (Additionality), dilepaskan (Leakage) dan
disimpan (Permanence) karena adanya tutupan hutan.
Reporting (R) maksudnya perkembangan jumlah karbon yang
dapat diserap, yang terlepas, dan masih dapat dipertahankan
dalam kurun waktu tertentu.
Verification (V) maksudnya jumlah perhitungan Additionality,
Leakage, dan Permanence yang diverfikasi oleh lembaga
independen.
4. Mekanisme distribusi manfaat atau insentif dan tanggung
jawab.
99
Bappenas, op. cit., hal. 52
Dengan dasar komitmen yang telah dibuat Presiden SBY dalam pertemuan
COP XV di Copenhagen, Denmark, maka Pemerintah Indonesia, melalui
Bappenas, menyusun suatu strategi nasional terkait penerapan REDD+. Presiden
SBY berkomitmen bahwa Indonesia akan menurunkan emisi GRK secara nasional
sebesar 26 persen (melalui upaya sendiri, dana nasional dari APBN) hingga 41
persen (melalui bantuan luar negeri) pada tahun 2020.
Strategi nasional REDD+ Indonesia mengacu pada prinsip-prinsip dalam
UNFCCC, yakni pengurangan emisi dari BAU tahun 2020 yang dilaksanakan
sejalan dengan upaya mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar rata-rata 67
persen. Strategi nasional ini mengkombinasikan antara target nasional tingkat
pertumbuhan ekonomi sebesar rata-rata 67 persen atau 7 persen per tahun dan
komitmen Indonesia menurunkan emisi sebesar 26-41 persen. Adapun strategi
nasional REDD+100 dalam gambar berikut:
Tabel 3.1. Kerangka Strategi Nasional REDD+ dengan 5 Pilar Utama
Pilar Utama
Target Pilar Utama
I. Kelembagaan
dan Proses
1. Lembaga REDD+
2. Instrumen Pendanaan
3. Institusi MRV (Pengukuran,
Pelaporan, dan Verifikasi)
1. Meninjau hak-hak atas lahan
dan mempercepat pelaksanaan
tata ruang
2. Meningkatkan penegakan
hukum dan mencegah korupsi
II. Kerangka
Hukum dan
Peraturan
100
Capaian Keseluruhan
Strategi Nasional
REDD+ melalui Kelima
Pilar
1. Reduksi Emisi
2. Cadangan Karbon
Hutan Meningkat
Strategi Nasional REDD+, Juni 2012, Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+,
Jakarta, Indonesia
III. Programprogram
Strategis
IV. Perubahan
Paradigma dan
Budaya Kerja
3. Menangguhkan ijin baru
untuk hutan dan lahan gambut
selama dua tahun
4. Memperbaiki data tutupan dan
perijinan di hutan dan lahan
gambut
5. Memberikan insentif untuk
sektor swasta
1. Konservasi dan rehabilitasi;
a. Memantapkan fungsi
kawasan lindung
b. Mengendalikan konversi
hutan dan lahan gambut
c. Restorasi hutan dan
rehabilitasi gambut
2. Pertanian, Kehutanan, dan
pertambangan yang
berkelanjutan;
a. Meningkatkan
produktivitas pertanian
dan perkebunan
b. Mengelola hutan secara
lestari
c. Mengendalikan dan
mencegah kebakaran
hutan dan lahan
d. Mengendalikan konversi
lahan untuk tambang
terbuka
3. Pengelolaan lanskap yang
berkelanjutan;
a. Perluasan alternatif
lapangan kerja yang
berkelanjutan
b. Mempromosikan industri
hilir dengan nilai tambah
tinggi
c. Pengelolaan lanskap
multi-fungsi
1. Penguatan tata kelola
kehutanan dan penggunaan
lahan
2. Pemberdayaan ekonomi lokal
dengan prinsip berkelanjutan
3. Keanekaragaman
Hayati dan Jasa
Lingkungan
Terpelihara
4. Pertumbuhan
Ekonomi
3. Kampanye nasional untuk
aksi “penyelamatan hutan
Indonesia”
1. Melakukan interaksi dengan
V. Pelibatan Para
berbagai kelompok
Pihak
(pemerintah regional, sektor
swasta, organisasi non
pemerintah, masyarakat adat/
lokal, dan internasional
2. Mengembangkan sistem
pengaman (safeguards) sosial
dan lingkungan
Sumber: Diolah dari Strategi3.Nasional
REDD+, Satgas
Persiapan Kelembagaan REDD+
Mengusahakan
pembagian
Indonesia, Juni 2012, hal. 10
manfaat (benefit sharing)
secara adil
Penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD) juga
merupakan cakupan REDD+, untuk implementasi REDD di Indonesia dilakukan
secara bertahap (phased-approach) yang terbagi atas Tahap Persiapan
(Preparation Phase),Tahap Kesiapan (Readiness Phase), dan Tahap Implementasi
Penuh (Full Implementation).
Tabel 3.2. Tahapan-tahapan Pelaksanaan REDD Indonesia
Tahap-tahap REDD
Tahap I (2007-2008))
Persiapan
Tahap 2 (2009-2012)
Kesiapan (Readiness)
Kegiatan
IFCA melaksanakan quick studies untuk
mengetahui status kesiapan Indonesia
melaksanakan REDD baik dari aspek metodologi,
institusi, peraturan perundangan, kapasitas SDM.
a. Penyusunan rencana strategis REDD+
b. Pembentukan kelembagaan REDD+
c. Pembentukan lembaga MRV dan
pengembangan kapasitas MRV untuk REDD+
d. Pengaturan mekanisme pendanaan REDD+
Tahap 3 (Mulai 2013)
a. Pembayaran kompensasi berbasis hasil
b. Monitoring dan registry secara kontinue
Implementasi
Sumber: Diolah dari Doddy S. Sukardi, DNPI
Adapun penjabaran khusus implementasi REDD+ dari strategi nasional
REDD+ Indonesia dibagi dalam tiga tahap penting, yakni formulasi strategi
nasional dan rencana aksi REDD+, persiapan dan aktivitas pendahuluan, dan
implementasi REDD+. Selengkapnya lihat tabel berikut:
Tabel 3.3. Tahapan-tahapan REDD+ di Indonesia
2010
RPJMN (2010-2014)
RPJMN (2015-2019)
Strategi:
 Penyusunan Strategi Nasional REDD+
 Penyusunan RAN REDD+
Kesiapan dari kegiatan awal:
 Pembangunan
infrastruktur
prasyarat
REDD+
 Pemenuhan kondisi pemungkin REDD+
 Pelaksanaan
kegiatan-kegiatan
awal
(demonstrative activities)
Implementasi:
 Integrasi ke dalam RPJM
 Pelaksanaan REDD+ secara penuh
Sumber: Diolah dari Strategi Nasional REDD+, Bappenas dalam Dani Setiawan dan
Agustinus Prasetyantoko, Walhi, 2011, hal. 45-46
Berdasarkan tahapan-tahapan pelaksanaan REDD+ Indonesia seperti yang
disebutkan diatas, salah satu tahapannya adalah pelaksanaan demonstrative
activities. Pelaksanaan DA ini sebagai wadah pembelajaran dan uji coba
penerapan perangkat metodologi dan kelembagaan yang dibangun untuk REDD+.
Sejak tahun 2008, Indonesia melalui bantuan luar negeri dari mitra bilateral dan
multilateral telah membangun kegiatan DA REDD+ di beberapa wilayah
Indonesia yang bertujuan untuk avoid deforestation (AD), aforestasi (AF), avoid
degradation (Adg), reforestasi (RS), seperti dalam tabel berikut:
Tabel 3.4. Proyek Demonstrative Activities REDD+ di Indonesia
(Pembaharuan Data Juni 2012)
No.
Nama Proyek
1.
Proyek REDD
Ekosistem
Leuser
Provinsi
Lembaga yang terlibat
Tujuan
Aceh
Global EcoRescue /
Government of Aceh
AD
2.
Pengurangan
emisi karbon
dari deforestasi
di Ekosistem
Ulu Masen
Aceh
Pemerintah daerah Propinsi
Aceh, Carbon Conservation,
FFI
AD, Adg
3.
Kampar Ring A Sustainable
Development
Model Based on
Responsible
Peatland
Management
Riau
APRIL
AD, Adg, RS
4.
Tesso Nilo Pilot
Project – REDD
Riau
WWF
AD, Adg, RS,
AF
5.
The Kampar
Carbon Reserve
Riau
APP, Carbon
ConservationAD
AD
6.
Berbak Carbon
Value Initiative
Jambi
ZSL / DEFRA / LIPI /
Berbak National Park / US
Fish and Wildlife Service
AD
7.
Sumatra Forest
Carbon
Jambi
Partnership between
Australian and Indonesian
Partnership
governments
8.
Global Green
Ecosystem
Restoration
Project
Sumatera
barat
Global Green
AD, Adg, RS,
AF
9.
Merang REDD
Pilot Project
(MRPP)
Sumatera
selatan
GTZ
AD, Adg, RS
10.
Meru Betiri
National Park
Jawa timur
ITTO / Forestry Research
and Development Agency
AD, Adg, RS
Avoided
Conversion of
the Danau
Siawan-Belida
peat swamp
forest
PT. Wana Hijau Nusantara in
collaboration with Fauna &
Kalimantan
Flora
barat
International/BioCarbon
Group Pte. Limited
AD, Adg, RS
12.
Rehabilitation
of the Sungai
Putri peat
swamp forest,
Ketapang,
Kalimantan
Kalimantan
FFI/ Macquarie Bank
barat
AD, Adg, RS
13.
West
Kalimantan
Community
Carbon Pool
Kalimantan FFI/ David and Lucile
barat
Packard Foundation
AD, Adg, RS
14.
FORCLIME Kapuas Hulu
Demonstration
Activity
KfW, GTZ, MoF, GFA,
Kalimantan
district government,
barat
provincial government
AD, Adg,
REDD+
11.
15.
Kalimantan
Forest and
Climate
Partnership
Australian Government
partnering w GOI.
Kalimantan
Implementation partners are
tengah
CARE, BOS, Wetlands
International
AD, Adg, RS,
AF
16.
Katingan
Conservation
Area: A Global
Peatland
Capstone
Project
Kalimantan
Starling Resources
tengah
AD, Adg, RS,
AF
17.
Lamandau
Kalimantan RARE / YAYORIN / Clinton
tengah
Foundation
AD, Adg, RS
18.
REDD in
Sebangau
National Park
Kalimantan WWF / Sebangau National
tengah
Park
RS,AD
19.
The Rimba
Raya
Biodiversity
Reserve Project
Kalimantan Infinite Earth / Orangutan
tengah
Foundation International
AD, Adg, RS
20.
Berau,
Indonesia
Climate Action
Project;
Kabupaten
Berau Forest
Carbon Program
TNC / ICRAF / Sekala /
Kalimantan University Mulawarman /
timur
Winrock Int'l / University of
Queensland
AD, Adg, RS,
AF
21.
Global Green in
East Kalimantan
Kalimantan
Global Green
timur
AD, Adg, RS
22.
Hutan Lestari
untuk
Orangutan
PT. RHOI (Restorasi Habitat
Kalimantan
Orangutan Indonesia) formed
timur
by BOS
AD, Adg
23.
Kutai Barat,
HKM: Heart of
Kalimantan
WWF
timur
AD
Borneo
24.
Malinau
Avoided
Deforestation
Project
GER / PT Inhuntani II /
Malinau Regency / KfW /
FFI / District Governemnt /
Kalimantan
GTZ / Tropenbos
timur
International / Global Eco
Rescue / Borneo Tropical
Rainforest Foundation
Adg
25.
FORCLIME Malinau
Demonstration
Activity
KfW, GTZ, MoF, GFA,
Kalimantan
district government,
timur
provincial government
AD, Adg,
REDD+
26.
FORCLIME Berau
Demonstration
Activity
KfW, GTZ, MoF, GFA,
Kalimantan
district government,
timur
provincial government
AD, Adg,
REDD+
27.
Mamuju Habitat
Sulawesi
barat
PT Inhutani I
AD, Adg, RS,
AF
28.
Gorontalo:
Establishment &
Management of Gorontalo
Nantu National
Park
Gorontalo University / YANI
- Yayasan Adudu Nantu
Internasional
AD
29.
Korea-Indonesia
Joint Project for
Adaptation and
Mitigation of
Climate Change
in Forestry
Nusa
Tenggara
Barat,
Lombok
Tengah
KIPCCF – KOICA
AD, Adg, RS,
AF
30.
TEBE Project
(Towards
Enabling
Mitigation of
Climate Change
Through
Nusa
Tenggara
Timur
KYEEMA Foundation/
AusAID/ Yasan Peduli
Sanlima (SANLIMA)/
Yayasan Timor Membangun
(YTM
AD
Promotion of
CommunityBased
Economic
Growth)
31.
32.
Perpetual
Finance for
Carbon Benefits
UN-REDD
Programme
Indonesia
Papua
New Forests Asset
Management / PT Emerald
Planet
AD
Sulawesi
tengah
Kemenhut RI, FAO, UNDP,
UNEP, Pemerintah
Norwegia, Bappenas, Satgas
REDD+, UKP4, Kemenkeu,
DKN, DNPI, Pemda Provinsi
Sulawesi tengah, LSM,
Organisasi masyarakat adat,
Pokja Perubahan Iklim
Kemnhut, RECOFTC, ASFN
AD
(Pembangunan
kapasitas)
Sumber: Diolah dari Website REDD Indonesia, Kementerian Kehutanan RI, http://www.reddindonesia.org/index.php?option=com_content&view=article&id=205&Itemid=57 , tanggal 21
November 2012
Salah satu faktor penunjang keberhasilan REDD+ adalah mekanisme
pendanaan. Mengenai mekanisme pendanaan REDD+ sendiri, hingga saat ini,
melalui komitmen sukarela Indonesia dalam pemenuhan target mengurangi emisi
GRK nasionalya, berkembang mekanisme pendanaan kembar yaitu swasta dan
pemerintah. Secara umum mekanisme pendanaan yang ada di Indonesia hingga
saat ini untuk skema REDD+ terlihat dalam gambar berikut:
Gambar 3.1. Mekanisme Pendanaan Kembar REDD+ di Indonesia
Sumber: IIED Briefing dalam Dani Setiawan dan Agustinus Prasetyantoko, Walhi, 2011, hal. 35
Dari gambar di atas, pada prinsipnya mekanisme pendanaan REDD+
menggabungkan mekanisme pemerintah dan swasta. Mekanisme pendanaan
model inilah yang hingga saat ini terlihat berlangsung di Indonesia. Dari gambar
tersebut terlihat target akhir dari program ini yaitu menurunkan deforestasi,
pengurangan kemiskinan, dan pembangunan berkelanjutan.
Mekanisme pemerintah (G to G) atau dana publik bersumber dari bantuan
luar negeri dari negara maju ataupun dalam bentuk dana bantuan pembangunan
atau ODA. Melalui mekanisme pemerintah ini, terkait implementasi REDD+,
Indonesia telah mendapatkan bantuan luar negeri yang sifatnya ODA (dalam
mekanisme utang luar negeri maupun hibah secara bilateral maupun multilateral
dari negara maju).
Mekanisme swasta (private) lebih dikenal dengan mekanisme pasar. Pada
dasarnya, pelaku swasta dari negara-negara maju (Annex I) diperbolehkan terlibat
dalam program pengurangan emisi karbon di negara berkembang. Pelaku swasta
meliputi investor, perbankan, bank investasi yang prinsipnya mengelola sejumlah
uang untuk kepentingan investasi. Mekanisme ini dalam hal pendanaan REDD+
di Indonesia juga berlangsung. Salah satunya, Indonesia mendapatkan bantuan
dana terkait REDD+ dari Bank Dunia dan ADB dalam bentuk utang luar negeri.
C. Regulasi Nasional terkait Skema REDD+
Kemampuan Indonesia dalam mengurangi emisi nasional serta metodologi
pengurangan emisi yang dilakukan melalui sektor-sektor prioritas diantaranya
sektor kehutanan adalah masalah kebijakan. Seperti dalam strategi nasional
REDD+, keberadaan perangkat atau kebijakan hukum (legal policy), menjadi
faktor penting implementasi REDD+ ini. Dalam mendukung pelaksanaan REDD
di Indonesia, telah dikelurkan beberapa peraturan dan gagasan 101 yang secara
langsung dan tidak langsung:
a. Permenhut
No.P.68
tahun
2008
tentang
penyelenggaraan
demonstrative activities pengurangan emisi dari deforestasi dan
degradasi hutan; Peraturan ini menjadi pembuka jalan dilaksanakannya
REDD yang masih dalam tahap persetujuan dalam negosiasi
UNFCCC, yang disebut demonstrative activities. Ini dilakukan sebagai
cara untuk menguji dan mengembangkan metodologi, teknologi, dan
institusi pengelolaan hutan secara berkelanjutan untuk mengurangi
emisi karbon melalui pengendalian deforestasi dan degradasi hutan.
Pelaksanaan DA harus mendapatkan persetujuan Menteri Kehutanan.
101
Bappenas, op. cit., hal.54
b. Permenhut No.P.30 tahun 2009 tentang tata cara pengurangan emisi
dari deforestasi dan degradasi hutan; Dalam pasal peralihan pada
Permenhut ini, REDD baru akan dilaksanakan setelah ada persetujuan
internasional tentang REDD. Sebelum ada, REDD dilaksanakan dalam
bentuk DA, peningkatan dan transfer teknologi, serta perdagangan
karbon sukarela.
Ini berarti, REDD di Indonesia dilakukan dengan dua jalur, melalui
jalur DA dan jalur perdagangan karbon sukarela atau peningkatan
kapasitas dan transfer teknologi. Adapun dimensi REDD dalam
Permenhut
ini
juga
dikaitkan
dengan
upaya
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dalam bentuk pengentasan kemiskinan.
Salah satu kriteria pemilihan lokasi yang dimasukkan dalam proposal
REDD adalah ada tidaknya rencana pengentasan kemiskinan di daerah
sekitar lokasi REDD. Ini juga menjadi salah satu dasar pemberian
rekomendasi pemerintah daerah yakni kesesuaian proyek REDD
dengan
prioritas
pembangunan
berupa
program
pengentasan
kemiskinan. Jembatan penghubung antara proyek REDD dan
pengentasan kemiskinan adalah dalam bentuk distribusi insentif yang
diterima oleh pemerintah sebagai PNPB.
c. Permenhut No.P.36 tahun 2009 tentang tata cara perijinan usaha
pemanfaatan penyerapan dan/atau penyimpanan karbon pada hutan
produksi dan hutan lindung;
d. Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation in
Indonesia (REDDI): Readiness Strategy 2009-2012; Strategi ini
dimaksudkan untuk memberikan panduan tentang intevensi kebijakan
yang diperlukan dalam menangani akar masalah deforestasi dan
degradasi hutan, dan infrastruktur yang perlu disiapkan. Strategi ini
juga mengintegrasikan semua aksi terkait REDD+ termasuk kegiatan
yang didanai dari bantuan luar negeri.
e. Keputusan Menteri Kehutanan No. SK 64 tahun 2010 tentang
pembentukan kelompok kerja hutan dan perubahan iklim, yang
bertugas memberikan input kebijakan dan memfasilitasi proses
penyiapan perangkat implementasi REDD+;
f. Roadmap pengarusutamaan isu perubahan iklim dalam perencanaan
pembangunan nasional: penanganan perubahan iklim sektor kehutanan
atau dikenal dengan ICCSR; Ini merupakan “peta jalan” bagi sembilan
sektor pembangunan yang terkait mitigasi dan adaptasi perubahan
iklim.
g. Strategi REDD+ Kehutanan nasional yang disusun Badan Litbang
Kehutanan yang diserahkan kepada Bappenas;
h. Dokumen Rencana Aksi Nasional Penurunan Gas Rumah Kaca (RANGRK) 2010-2020 yang diterbitkan oleh Bappenas; Dokumen RANGRK nasional ini kemudian menjadi panduan untuk penyusunan RANGRK tingkat sub-nasional.
i. Dokumen bertajuk Green Paper on Economic and Fiscal Policy and
Strategy for Climate Change in Indonesia oleh Menteri Keuangan
pada akhir Oktober 2009; Dokumen ini menguraikan konsep dan
kerangka kebijakan fiskal, anggaran dan keuangan negara dalam
menunjang tercapainya tujuan mitigasi perubahan iklim yang
ditentukan Pemerintah Indonesia serta Yellow Book yang diterbitkan
oleh Bappenas.102
j. UU lingkungan hidup diantaranya UU No. 6 tahun 1994 tentang
ratifikasi UNFCCC, UU No. 17 tahun 2004 tetang Protokol Kyoto, dan
UU No. 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.
k. Perpres No.71 tahun 2011 tentang Inventarisasi GRK nasional.
D. Lembaga Nasional terkait Skema REDD+
Mengenai pembentukan lembaga yang mengurus perihal perubahan iklim
khususnya dalam upaya mitigasi sektor kehutanan (skema REDD+), Indonesia
telah berjalan jauh. Kementerian Lingkungan Hidup RI tentunya menjadi pionir.
Kementerian ini ditunjuk sebagai national focal point atau perwakilan nasional
Indonesia dalam negosiasi UNFCCC. Dalam Kementerian ini terdapat Unit
Perubahan Iklim yang berada dibawah Deputi Perlindungan Lingkungan Hidup.
REDD+ yang merupakan upaya mitigasi sektor kehutanan, tentunya
Kementerian Kehutanan juga mengambil peran penting. Di dalam Kementerian
102
Ismid Hadad, op. cit., hal. 17
Kehutanan,
pemberdayaan
fungsi-fungsi
kelembagaan
untuk
mendukung
pelaksanaan REDD+ di Indonesia seperti Dirjen Bina Produksi Kehutanan, Dirjen
Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Dirjen PHKA dan Baplan serta
Balitbang Kemenhut. Selain itu, Kemenhut juga membentuk beberapa lembaga
ad-hoc seperti:
1. IFCA; Kemenhut membentuk
IFCA pada
Juli
2007. IFCA
dimaksudkan sebagai forum komunikasi atau koordinasi para
stakeholder serta meberikan fasilitasi substansi dalam membahas isuisu REDD. Lembaga ini berada dibawah Badan Litbang Kehutanan.
2. Komisi REDD; Komisi ini dibentuk oleh Menteri Kehutanan dan
bertugas dalam pengurusan pelaksanaan REDD.
3. Kelompok Kerja Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi;
Pokja ini berada dibawah Balitbang Kemenhut untuk membantu
balitbang sebagai badan yang meberikan rekomendasi-rekomendasi
teknis-scientific berkaitan dengan rencana implementasi REDD.
4. Kelompok Kerja Perubahan Iklim Kementerian Kehutanan; Pokja ini
bertugas membantu Menteri Kehutanan dalam menilai kelayakan
permohonan DA REDD.
Selanjutnya, juga sebagai bukti keseriusan Indonesia dalam menanggapi
isu
perubahan
iklim,
maka
dibentuklah
DNPI.
Tugas
DNPI
adalah
mengkoordinasikan pelaksanaan pengendalian perubahan iklim dan memperkuat
posisi Indonesia di forum internasional dalam pengendalian perubahan iklim.
Dalam struktur kelembagaan, DNPI adalah lembaga setingkat kementerian yang
bertanggung jawab langsung kepada Presiden, dan Presiden sebagai ketua DNPI.
Namun, ketua pelaksana harian DNPI hingga saat ini adalah Rahmat Witoelar.
Selain KLH dan Kemenhut, Kementerian yang juga terkait dengan
implementasi REDD+ yaitu Kemenko Perekonomian dan Kemenkeu. Melalui
Inpres No.5 tahun 2008, Presiden menginstruksikan Kemenko Perekonomian
untuk mengeluarkan peraturan-peraturan tentang REDD+. Adapun tanggung
jawab Kemenkeu yaitu menyetujui semua kegiatan pembiayaan bilateral dan
multilateral serta memastikan adanya proses penetapan konsultasi sebelum
penandatangan terkait REDD+.
Tidak hanya lembaga di atas, Bappenas juga memiliki peranan penting
dalam pelaksanaan REDD+ di Indonesia. Mengingat, dalam strategi nasional
REDD+ Indonesia, pelaksanaan REDD+ juga diikuti dengan peningkatan
pertumbuhan ekonomi yang terkait masalah pembangunan nasional berkelanjutan.
Kemudian dalam hal pengelolaan dana perubahan iklim di Indonesia, Bappenas
membentuk ICCTF.
ICCTF merupakan lembaga trust fund yang bertujuan membiayai kegiatan
adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Lembaga ini dikelola oleh Direktorat
Lingkungan Bappenas dan didukung oleh UNDP. ICCTF ditempatkan sebagai103
wadah untuk memfasilitasi dan mempercepat investasi dalam pengelolaan hutan
berkelanjutan, konservasi dan mengurangi kerentanan wilayah pesisir, pertanian
dan air serta investasi dalam energi terbarukan.
103
Dani Setiawan dan Agustinus Prasetyantoko, op. cit., hal. 98
ICCTF terdiri dari dua tahap dan jenis dana. Tahap pertama dinamakan
“Tahap Inovasi”. Di tahap ini akan disalurkan dana hibah untuk kegiatan-kegiatan
sosio-ekonomi yang tidak menghasilkan laba. Sumber dana tahap ini berasal dari
lembaga donor negara sahabat dan institusi multilateral dan disebut “Dana
Inovasi”. Mulai dioperasionalkan akhir tahun 2010.104
Tahap kedua, ICCTF menyediakan mekanisme pembiayaan “Dana
Transformasi” yang bersumber dari kerjasama pemerintah swasta (Public-Private
Partnership), utang, dan pasar keuangan. Dana tersebut disalurkan untuk berbagai
kegiatan yang berkontribusi dalam penurunan tingkat emisi. Dana ini
dioperasionalkan pada tahun 2013.105 Hingga saat ini negara donor ICCTF yaitu
Australia, Inggris, dan Swedia.
Terakhir, lembaga terkait yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia untuk
pelaksanaan REDD+ adalah satgas REDD+. Pembentukan satgas REDD+ ini
berangkat dari kesepakatan kerja sama Letter of Intent Indonesia-Norwegia tahun
2010. Melalui Keppres RI No.19 tahun 2010, terbentuklah satuan tugas persiapan
pembentukan kelembagaan REDD+, yang berakhir masa tugasnya 30 Juni
2011.106
Kinerja Satgas REDD+ pertama telah menghasilkan dokumen strategi
nasional REDD+, Inpres No.10 tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin
Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut
104
Ibid., hal.99
105
Ibid.
106
Booklet REDD+ dan Satgas Kelembagaan REDD+: Sebuah Pengantar, 2011, Satuan
Tugas REDD+ Persiapan Kelembagaan, hal. 10
serta diseleksi dan disiapkannya Provinsi Kalimantan Barat sebagai Provinsi pilot
REDD+ yang pertama di Indonesia. Mandat satgas REDD+ diperbaharui melalui
Perpres No.25 tahun 2011, yang kini diketuai oleh oleh kepala UKP4, Kuntoro
Mangkusubroto.107
E. Bantuan Luar Negeri terkait Skema REDD+
Komitmen Pemerintah Indonesia melalui Presiden SBY secara sukarela
yaitu menargetkan penurunan emisi GRK nasional sebesar 26-41 persen hingga
tahun 2020, membawa konsekuensi modal pendanaan tambahan dan baru dalam
jumlah besar. Dalam mencapai target penurunan emisi sebesar 26 persen sumber
pendanaan berasal dari APBN sedangkan 41 persen dengan bantuan luar negeri.
Adapun penurunan emisi GRK ini dilakukan melalui upaya mitigasi perubahan
iklim, salah satunya di sektor kehutanan. REDD+ kemudian hadir sebagai inisiatif
mitigasi di sektor kehutanan.
Berdasar pada kebutuhan pendanaan besar, maka dalam pemenuhan target
tersebut, di sektor mitigasi kehutanan khususnya melalui skema REDD+,
pemerintah Indonesia telah menerima bantuan luar negeri. Bantuan ini datang dari
donor bilateral maupun multilateral. Mekanisme bantuan ini mengikuti
mekanisme yang berlaku yang dibawah prosedur dan aturan UNFCCC maupun
bantuan dana pembangunan atau ODA. Bentuk bantuannya berupa hibah maupun
utang luar negeri.
107
Ibid., hal. 11
Bantuan luar negeri skema REDD+ resmi di Indonesia diterima dari donor
bilateral diantaranya Norwegia, Australia, Jepang, Perancis, Inggris, dan Jerman.
Adapun donor multilateral dari Bank Dunia, IFC, dan ADB. Bantuan ini diterima
sejak tahun 2008. Adapun penulis akan membatasi bantuan luar negeri ini dalam
periode 2008-2012. Indonesia telah menerima bantuan ini secara langsung dalam
periode batasan penulis maupun masih dalam bentuk komitmen yang
pencairannya diluar periode batasan penulis.
Bantuan dalam skema REDD+ yang diterima Indonesia pada umumnya
memiliki tiga tipe utama pendanaan108 yaitu:
1. Implementasi langsung demonstrative activities, biasanya dikelola
langsung oleh donor bilateral;
2. Dukungan teknis (techincal assistance) untuk peningkatan kapasitas,
pengembangan analisis dan kebijakan;
3. Dukungan keuangan, dalam bentuk pinjaman lunak dan hibah, yang
diperuntukkan langsung untuk pemerintah Indonesia; Pemanfaatan
bantuan ini sebenarnya dapat dikatakan untuk mendukung kesiapan
Indonesia menuju pasar karbon.
108
Peter Wood, Mei 2010, Studi Pendahuluan atas Kebijakan Pengaman (Safaguard)
Donor-donor Bilateral untuk Program REDD di Indonesia: Sebuah Studi untuk Indonesian Civil
Society Forum for Climate Justice, diterjemahkan oleh Bernadinus Steni, dkk, didukung oleh
Rainforest Foundation Norway, Samdhana Institute, dan the Danida-IUCN Pro-Poor REDD
Project, Jakarta: HuMa, hal.9
Mengenai penjabaran lebih lanjut terkait bantuan luar negeri REDD+ ini,
penulis akan menjelaskan poin per poin dari donor-donor (bilateral dan
multilateral) resmi tersebut, sebagai berikut:
1. Norwegia
Indonesia dan Norwegia mendatangani perjanjian kerja sama untuk
REDD untuk mengatasi emisi gas rumah kaca dari deforestasi, degradasi
hutan dan konversi lahan gambut melalui Inisiatif Iklim dan Hutan
Internasional. Dalam kerja sama ini pemerintah Norwegia melalui Letter
of Intent berjanji memberikan dukungan dana hibah hingga USD 1
miliar109 kepada pemerintah Indonesia. Pelaksanaan hibah ini dibagi dalam
tiga fase terkait reformasi kebijakan, pengembangan strategi, dan
pengurangan emisi.
Hibah dari Norwegia ini akan dicairkan dalam periode 7-8 tahun ke
depan dan sebagian besar dana berhubungan dengan pengurangan emisi
oleh Indonesia yang telah diverifikasi. Dana yang diberikan berdasarkan
hasil dan dicairkan melalui mekanisme keuangan yang telah disetujui.
Meskipun
dicairkan
dalam
beberapa
tahun
ke
depan
setelah
penandatanganan LoI, dana ini telah digunakan salah satunya untuk
menyelesaikan strategi nasional REDD Indonesia tahun 2010. Selain itu,
Kalimantan tengah juga dijadikan provinsi percontohan REDD+
berdasarkan LoI ini.
109
Ibid., hal. 8
Pemerintah Norwegia bekerja sama dengan PBB meluncurkan
suatu program untuk penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan
di negara-negara berkembang yang dikenal dengan UN-REDD. Dalam
pelaksanaan UN-REDD ini, Norwegia menjadi negara donor di dalamnya.
Dan Indonesia menjadi salah satu dari sembilan negara berkembang
contoh untuk awal program ini.
Indonesia mendapatkan hibah sebesar USD 5,6 juta melalui UNREDD. Periode pelaksanaan proyek ini tahun 2009-2011. Adapun
program UN-REDD ini ditujukan untuk menyediakan suatu contoh
Referensi Level Emisi (REL), sistem pengukuran, pelaporan, dan
verifikasi (MRV), dan sistem pembayaran adil pada level provinsi.110
Selain itu, juga dilaksanakan demonstrative activities di Sulawesi Tengah
dalam bentuk bantuan teknis.
2. Jepang dan Perancis
Penulis menggabungkan kedua negara ini karena bantuan luar
negeri terkait REDD+ di Indonesia melalui pendanaan bersama. Jepang
dan Perancis mendanai kegiatan perubahan iklim termasuk yang terkait
REDD+ di Indonesia melalui Pinjaman Program Perubahan Iklim atau
CCPL dalam mekanisme bantuan dana pembangunan atau ODA.
Bantuan yang dalam bentuk pinjaman tunai, lebih dikenal dengan
pinjaman
program,
merupakan
pinjaman
yang
digunakan
untuk
pembiayaan defisit yang syarat pencairannya melalui pemenuhan matriks
UN-REDD Programme, “UN-REDD di Indonesia”, diakses dari www.un-redd.or.id
pada tanggal 20 April 2012
110
kebijakan (policy matrix) atau terlaksananya kegiatan tertentu. Policy
matrix ini merupakan program reformasi yang harus dilakukan oleh
pemerintah pada bidang-bidang tertentu sesuai dengan arahan pihak
kreditor.
Ruang lingkup utama dari bantuan ini mencakup proyek-proyek
dan program yang berkontribusi terhadap mitigasi perubahan iklim dan di
berbagai sektor diantaranya konservasi hutan dan penghijauan. Utang
program perubahan iklim (CCPL) untuk Indonesia adalah kasus pertama
untuk memanfaatkan skema ODA Jepang dibawah mekanisme bantuan
keuangan (Climate Change Japanese ODA Loan) untuk program mitigasi
perubahan iklim.111
Fasilitas pinjaman Jepang untuk Indonesia dibawah skema
tersebut merupakan bentuk pinjaman lunak yang tidak mengikat dengan
bunga 0,15%. Tempo pembayaran selama 15 tahun dan grace periode
selama 5 tahun.112 Persyaratan ini relatif cukup mahal dari sisi waktu
pembayaran jika merujuk pada standar penggunaan term and condition
“Climate Change Japanese ODA Loan” dengan suku bunga 0,30% dan
tempo pembayaran 40 tahun dengan grace periode selama 10 tahun.
Adapun total utang program dari Jepang sebesar USD 900 juta.113
111
Dani Setiawan dan Agustinus Prasetyantoko, op.cit., hal. 74
112
Ibid., hal 75
Koalisi Anti Utang, op.cit., hal. 8
113
Pemerintah Perancis melalui AFD bersama dengan Jepang, juga
dalam CCPL terlibat memberikan pendanaan selama 2008-2010 sebesar
USD 800 juta kepada Indonesia. Syarat pencairan dana ini pun melalui
policy matrix. Ini memuat reformasi dan kebijakan publik yang
diimplementasi oleh pemerintah untuk memerangi perubahan iklim
melalui penerbitan undang-undang dan keputusan, peluncuran proyek
percontohan, penetapan rencana induk.114
Pinjaman lunak jangka panjang ini disalurkan melalui APBN
Indonesia. Pencairan pinjaman ini dilakukan dalam tiga tahap, yang
selengkapnya melalui tabel berikut:
Tabel 3.5. Rincian Pinjaman Program Perubahan Iklim atau CCPL dari
Perancis
Program
Jumlah
Rujukan/ Catatan
Program
perubahan USD
200
juta Dicairkan 2008, didanai
iklim pinjaman tahap (pinjaman lunak)
bersama dengan JICA
pertama
(Jepang)
Program
perubahan USD
300
juta Dicairkan
Agustus
iklim pinjaman tahap (pinjaman lunak)
2009, didanai bersama
kedua
dengan JICA (Jepang)
Program
perubahan USD
300
juta Ditandatangani
Juni
iklim pinjaman tahap (pinjaman lunak)
2010, didanai secara
ketiga
bersama JICA (Jepang)
dan Bank Dunia
Sumber: Diolah dari Peter Wood, HuMa, Mei 2010, hal. 54
114
AFD dan Indonesia: Kemitraan untuk Iklim, AFD Perancis Document, hal. 3
Policy matrix yang memuat beberapa agenda kegiatan yang harus
dilakukan oleh negara penerima, dijadikan sebagai acuan prioritas yang
harus dilakukan pada masa tahun fiskal yang tertera dalam dokumen
perjanjian utang. Berikut gambaran singkat mengenai output dalam policy
matrix CCPL khusus sektor kehutanan melalui tabel berikut:
Tabel 3.6. Gambaran Singkat Policy Matrix untuk CCPL sektor kehutanan di
Indonesia
Program
Climate
Change
Program
Loan
Lender
JICA, AFD
Trigger atau Output
Kehutanan
a. Evaluasi
dan
meningkatkan
mekanisme
transfer
untuk
membiayai aktivitas kehutanan
pemerintah daerah pada 2012.
b. Memerkuat implementasi regulasi
pemerintah
dalam
masalah
perkayuan
dengan
melakukan
monitoring and evaluation secara
berkala.
c. Mengeluarkan
peraturan
yang
didalamnya terdapat implementasi
khusus untuk konservasi dan
manajemen
air
untuk
meminimalisasi emisi karbon.
d. Membentuk pencatatan nasional
dari implementasi aktivitas REDD
dan pembayaran sehubungan emisi
karbon.
e. Merancang sistem monitoring dari
program
penghutanan
yang
pelaksanaan
secara
penuh
diharapkan dapat dilaksanakan pada
2012.
Sumber: Diolah dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan
RI
Sesuai dengan policy matrix juga, pemerintah Indonesia telah
menghasilkan beberapa kebijakan dan peraturan terkait dengan agenda
mitigasi kehutanan khusus menunjang kesiapan implementasi REDD+ di
Indonesia, dapat dilihat melalui tabel berikut:
Tabel 3.7. Peraturan dan Kebijakan yang Dihasilkan dari CCPL
Area Kebijakan atau
Sektor
Kebijakan (20072010)
Tindak lanjut (20112012)
1. MITIGASI
Peraturan
Menteri
Kehutanan
Nomor
P.55/Menhut-II/2008
Peatland
tentang Rencana Induk
Conservation
Rehabilitasi
dan
(Konservasi Lahan Konservasi Kawasan
Gambut)
Pengembangan Lahan
Gambut di Kalimantan
Tengah
Menerbitkan peraturan
presiden
yang
mencakup
langkahlangkah khusus untuk
konservasi
lahan
gambut
dan
pengelolaan
lahan
gambut basah untuk
mengurangi
emisi
karbon.
Peraturan
Menteri
Kehutanan
Nomor
P.68/Menhut-II/2008
tanggal 11 Desember
2008
tentang
Penyelenggaraan
Demonstration
Activities Pengurangan
Emisi Karbon dari
Deforestasi
dan
Degradasi Hutan
Melengkapi Keputusan
Menteri
tentang
Mekanisme dan Tata
Cara REDD yang
mendefinisikan peran
dan tanggung jawab
instansi
pemerintah,
daerah masyarakat, dan
sektor swasta dalam
mengelola aset karbon.
Reduced Emissions
from Deforestation
and
Degradation
(REDD)Pengurangan Emisi
dari Deforestasi dan
Degradasi
Peraturan
Menteri
Kehutanan
Nomor
P.36/Menhut-II/2009
tentang Tata Cara
Pengurangan
Emisi
dari Deforestasi dan
Degradasi
hutan
(REDD)
Peraturan
Menteri
Kehutanan
Nomor
P.36/Menhut-II/2009
tentang Tata Cara
Perizinan
Usaha
Pemanfaatan
Penyerapan dan/ atau
Penyimpanan Karbo
pada Hutan Produksi
dan Hutan Lindung
Forest Management
and
Governance
(Manajemen
Kehutanan
dan
Pemerintah)
Peraturan
Menteri
Kehutanan
Nomor
P.38/Menhut-II/2009
tanggal 12 Juni 2009
tentang Standar dan
Pedoman
Penilaian
Kinerja Pengelolaan
Hutan Produksi Lestari
dan
Verifikasi
Legalitas Kayu
2. LINTAS
SEKTORAL DAN
KELEMBAGAAN
Mainstreaming
Climate Change in
the
National
Development
Program (Rujukan
dalam
Program
Pembangunan
Nasional
terkait
Perubahan Iklim)
Menyetujui tindakan
mitigasi dan beberapa
komitmen di bawah
Copenhagen Accord
(Januari 2010)
Mengeluarkan
“Development
Planning Response to
Climate
Change”
(2008)
dan
Memformalkan
mekanisme
transfer
antarpemerintah untuk
membiayai
dan
meningkatkan insetif
bagi pemerintah daerah
untuk
memperkuat
kegiatan pengelolaan
hutan
terhadap
pengurangan emisi.
diperbaharui
Maret 2010
pada
Menyelesaikan
“Indonesia
Climate
Change
Sectoral
Roadmap”
(ICCSR)
pada Maret 2010
Mengeluarkan RAN
Mitigasi dan Adaptasi
Policy
Perubahan
Iklim
Coordination and (Desember 2007)
Financing Scheme
for Climate Change Peraturan
Presiden
(Koordinasi
Nomor 46 tahun 2008
Kebijakan
dan tentang Pembentukan
Skema Pendanaan Dewan
Nasional
Perubahan Iklim)
Perubahan Iklim
Pembentukan ICCTF
Sumber: Diolah dari Dani Setiawan dan Agustinus Prasetyantoko, Walhi, 2011, hal. 79
3. Australia
Pemerintah Australia menyalurkan bantuan yang terkait dengan
hutan dan perubahan iklim melalui IFCI. Kerjasama Indonesia dan
Australia terkait kesiapan REDD+ yaitu Kemitraan Karbon Hutan
Indonesia-Australia (IAFCP). Dalam kinerja untuk melakukan tindakan
praktis tentang REDD melalui IAFCP ini, menurut IFCI ada beberapa
tindakan-tindakan utama115, diantaranya:
a. Menguji-coba pendekatan untuk melaksanakan REDD dan
meningkatkan penghidupan lokal;
115
Peter Wood, op. cit., hal. 37
b. Mendukung pengembangan kerangka kerja pengaturan, tata
kelola dan penegakan hukum untuk REDD;
c. Membantu pengembangan sistem pemantauan karbon nasional;
d. Bekerja untuk mendukung pengembangan pasar REDD,
termasuk melalui UNFCCC dan dengan dukungan terhadap
FCPF dan FIP.
IAFCP ditandatangani oleh Perdana Menteri Autralia dan Presiden
Indonesia tanggal 13 Juni 2008. Adapun sasaran dari IAFCP116 ini adalah:
a. Kerjasama kebijakan di bawah UNFCCC dan dukungan
peningkatan kapasitas (dialog kebijakan strategis tentang
perubahan iklim);
b. Dukungan teknis untuk meningkatkan karbon hutan Indonesia;
c. Pengukuran kapasitas dan melakukan identifikasi serta
melaksanakan kegiatan REDD yang praktis dan berbasis
insentif.
Indonesia memperoleh total bantuan dana dalam bentuk hibah
melalui IAFCP sebesar AUD 70 juta. Berikut tabel rincian kegiatan
IAFCP terkait REDD+ di Indonesia:
Tabel 3.8. Kegiatan-kegiatan IAFCP terkait REDD+ di Indonesia
Kegiatan
Tujuan Kegiatan
Alokasi Dana
Kegiatan
Kalimantan
Forest Menguji coba REDD AUD 30 juta
Carbon Partnership (demonstrative
116
Ibid., hal. 44
(Kemitraan Karbon activities) di lahan
Hutan Kalimantan)
gambut seluas 120.000
hektar di Kalimantan
tengah
Sumatera
Forest Menguji
coba
Carbon Partnership (demonstrative
(Kemitraan Karbon activities) REDD+ di
Sumatera)
Jambi
Dukungan terhadap Pembangunan
pengembangan
pengukuran
sistem
kebijakan hutan dan karbon:
Sitem
karbon di Indonesia
Perhitungan
Karbon
Nasional,
Sistem
Informasi
Sumber
Daya Hutan, Sistem
Pemantauan Kebakaran
Hutan
Mengembangkan
Strategi
multi-fase
pemetaan jalur akses membantu Indonesia
terhadap
Pasar mengembangkan praKarbon Internasional syarat teknis, sistem
dan keuangan untuk
berpartisipasi
dalam
pasar
karbon
internasional
untuk
REDD di masa depan
AUD
20
juta,
diresmikan 2 Maret
2010
AUD 10 juta
Disetujui oleh para
Kepala Negara pada
Juni
2008.
Diresmikan oleh para
Menteri
pada
November
2008.
Implikasi pendanaan
belum jelas.
Sumber: Diolah dari Peter Wood, HuMa, Mei 2010, hal. 44-45
4. Inggris
Bantuan Inggris terkait REDD+ di Indonesia disalurkan melalui
DFID. Dari tahun 2008-2011, ada tiga tujuan utama program DFID
Indonesia, salah satu diantaranya membantu Indonesia memerangi
perubahan iklim. Pada Januari 2010, DFID menyediakan dana 50 juta
Poundsterling
untuk
penanaman
pohon,
pembangunan
ekonomi
berdasarkan pada pertumbuhan rendah karbon, dan pengurangan
Tabel 3.9.1. Kegiatan atau Proyek DFID terkait REDD+ di Indonesia
kerentanan masyarakat miskin Indonesia terhadap perubahan iklim.Selain
itu, juga membantu membatasi penghancuran lahan gambut Indonesia.
Sumber
Proyek yang
Didanai
Jumlah
(USD)
Proyek
2,4 juta
Pertumbuhan
Rendah
Karbon
(Dukungan
untuk
Dana
Investasi Hijau
Indonesia,
IGIF)
Dana
7,5 juta
Perwalian
ICCTF
DFID
Dukungan
2,5 juta
untuk Progrm
Perubahan
Iklim
Program
7,9 juta
Kehutanan
Multistakeholder
Lama
Pendanaan
(tahun)
2010-2011
2010-2011
Uraian
Dukungan
dari
ICCTF
yang
menyetujui program
REDD
2009-2011
2007-2011
Mendukung
reformasi
hukum
dan
kelembagaan
untuk
mencapai
Pengelolaan Hutan
yang Berkelanjutan
(SFM) tahun 2011,
pengentasan
kemiskinan
serta
adapatasi
dan
mitigasi perubahan
iklim
di
sektor
kehutanan.
Sumber: Diolah dari Brown and Peskett, ODI, 2011 dalam Peter Wood,
HuMa, Mei 2010, lampiran vii hal. 3
Selain bantuan yang sedang berlangsung di atas, DFID juga
merencakan bentuk dukungan serupa terkait REDD+. Rencana dukungan
bantuan ini sebagai bagian dari kerjasama bilateral di bidang perubahan
iklim. Kerjasama ini berlangsung dalam Kemitraan Inggris-Indonesia.
Adapun lama pendanaan bantuan ini lima tahun, yang dimaksudkan untuk
dimulai tahun 2010 dengan jumlah dukungan sebesar USD 80 juta.
5. Jerman
Bantuan luar negeri Jerman di Indonesia terkait perubahan iklim
ditangani oleh Kemitraan Strategis Indonesia-Jerman yang disepakati
tahun 2007. Bantuan ini dalam bentuk hibah yang dalam pelaksanaannya
dilakukan oleh lembaga GTZ atau Badan Kerjasama Teknis Jerman dan
KfW atau Bank Pembangunan Jerman. Alokasi dana ini berasal dari
anggaran federal 2009 BMU117 dan BMZ118 yang disalurkan melalui dana
Inisiatif Iklim Internasional atau ICI.
Tabel 3.9.2 Kegiatan atau Proyek Jerman terkait REDD+ di Indonesia
Sumber
Jerman
Proyek yang
Didanai
Program
Lama
Jumlah
Uraian
Pendanaan
(USD)
(tahun)
28 juta 2010-2015 Pelaksanaan
117
BMU merupakan Kementerian Federal untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi
Jerman untuk mitigasi dan adaptasi.
118
BMZ merupakan Kementerian Federal untuk Lingkungan, Konservasi Alam dan
Keselamatan Nuklir Jerman.
(KfW)
Kehutanan dan
Perubahan
IklimFORCLIME
(hibah kerjasama
finansial)
Jerman
(GTZ)
Program
10 juta
Kehutanan dan
Perubahan
IklimFORCLIME
(hibah kerjasama
teknis)
Program
32 juta
Kehutanan II
Jerman
(KfW)
Jerman
(KfW)
Jerman
(ICI)
Teknologi
2 juta
pengurangan
emisi
sektor
swasta- bantuan
teknis
Konservasi
2 juta
Keanekaragaman
Hayati melalui
tindakan
persiapan untuk
menghindari
deforestasi
strategi
REDD;
penetapan REL dan
pengembangan
sistem MRV di
tingkar kabupaten;
memfasilitasi
pengembangan
skema
distribusi
insentif REDD.
2010-2015
Bukti
kelayakan
teknis dan ekonomi
dari
pendekatan
REDD
yang
berpihak
kepada
rakyat miskin di
kabupatenkabupaten terpilih
di Kalimantan
2008-2011
Jerman
(ICI)
Menjamin
1,2 juta 2009-2011
penyerapan
(hibah)
karbon
di
Borneo (hibah
untuk Wetlands
Intl, BOS, etc)
Perlindungan atau
penggunaan secara
berkelanjutan
serapan
karbon
alam
dengan
relevansi
REDD,
peningkatan
kapasitas,
pengembangan
kebijakan
Jerman
(ICI)
Hutan
Hujan 10 juta 2010-2013
Harapan(hibah)
Percontohan
pemulihan hutan
yang
terdegradasi di
Sumatera
Perlindungan atau
penggunaan secara
berkelanjutan
serapan
karbon
alam
dengan
relevansi
REDD,
investasi
Jerman
(ICI)
Konservasi
Keanekaragaman
Hayati melalui
Tindakan
Persiapan untuk
REDD di hutan
gambut Merang
Pengelolaan
hutan
yang
dibiayai kabon
pada
warisan
hutan
hujan
tropis Sumatera
Jerman
(ICI)
2,98
juta
(hibah)
2009-2011
Langkah-langkah
persiapan
untuk
REDD di hutan
gambut
Merang,
Sumatera Selatan
0,89
juta
2009-2011
Perlindungan atau
penggunaan secara
berkelanjutan
serapan
karbon
alam
dengan
relevansi
REDD,
investasi
Sumber: Diolah dari Brown and Peskett, ODI, 2011 dalam Peter Wood,
HuMa, Mei 2010, lampiran vii hal. 3-4
6. Bank Dunia, ADB, dan IFC
Dalam upaya mitigasi kehutanan terkait REDD+ di Indonesia,
Bank Dunia memberikan bantuan dalam bentuk hibah maupun utang luar
negeri. Terdapat beberapa proyek maupun kemitraan dari Bank Dunia
terkait bantuan untuk persiapan kesiapan REDD+ di Indonesia, sebagai
berikut:
a. FCPF (Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan)
Salah satu bantuan dalam bentuk hibah yang disalurkan
Bank Dunia ke Indonesia yaitu FCPF. Kemitraan ini ditujukan
untuk memberikan pengalaman dan kesiapan bagi negara
berkembang dalam menerapkan REDD utamanya dari segi
kebijakan, aktivitas pilot project di tingkat lokal, hingga
mekanisme insentif keuangan.119
FCPF
merupakan
kemitraan
yang
jangka
waktu
pelaksanaan proyeknya dari tahun 2011-2013. Adapun
dukungan dana hibah ini sebesar USD 3,6 juta. Secara spesifik,
FCPF membantu negara-negara menyusun skenario acuan
nasional untuk emisi dari deforestasi dan degradasi hutan,
mengadopsi dan menyempurnakan strategi nasional untuk
REDD, serta merancang sistem MRV nasional. Kegiatan-
Fitrian Ardiansyah, “Strategi Kemitraan Internasional: Upaya Penguatan Aktivitas
Kehutanan-Perubahan Iklim di Indonesia” dalam Jurnal Luar Negeri, Volume 24, Nomor 2, MeiAgustus 2007, hal. 22
119
kegiatan ini disebut “Kesiapan REDD+” dan didukung
sebagian oleh Dana Kesiapan FCPF.120
Program FCPF memiliki empat komponen utama yaitu
kegiatan analisis, dukungan bagi proses kesiapan termasuk
penyelesaian SESA121 dan ESMF122, kajian dan pengukuran
dampak perubahan tata guna lahan terhadap emisi GRK, serta
pengumpulan data dan peningkatan kapasitas daerah.123 SESA
dan ESMF memiliki nilai yang sangat strategis karena secara
langsung mempengaruhi kerangka kebijakan REDD+ maupun
proyek-proyek REDD+ di masa datang.124
b. Program Investasi Kehutanan atau FIP
Program Investasi Kehutanan di Indonesia memiliki
kombinasi pendanaan dari hibah FIP dan pembiayaan pinjaman
lunak. FIP ini didukung oleh tiga bank pembangunan
multilateral (MDB) yaitu Bank Dunia, Bank Pembangunan
Asia atau ADB, dan IFC. Proyek yang didukung oleh ADB dan
Bank Dunia bersifat hibah murni, sedangkan yang didukung
120
Catatan Kajian Proposal Persiapan Kesiapan (Readiness) atas Usulan Hibah senilai
USD 3,6 juta kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk Dukungan Persiapan Kesiapan
REDD+, 3 Februari 2011, Dokumen Bank Dunia, hal. 3
121
SESA merupakan kajian lingkungan hidup dan sosial strategis. SESA ini bagian dari
subkomponen konsultasi dan sosialisasi bagi proses kesiapan REDD+ di Indonesia yang dibiayai
dari hibah FCPF Bank Dunia.
122
ESMF merupakan kerangka pengelolaan lingkungan hidup dan sosial. ESMF juga
sama seperti SESA.
123
Ibid., hal. 14
124
Ibid., hal. 19
IFC menggunakan pinjaman lunak dengan dana tambahan
pendanaan hibah FIP.125
Dukungan dana dalam bentuk hibah sebesar USD 37,5 juta
dan pinjaman lunak sebesar USD 32,5 juta. Tujuan utama dari
FIP ini adalah untuk menyediakan pendanaan penghubung
awal untuk kesiapan reformasi investasi publik dan swasta
melalui kesiapan REDD nasional serta mengatasi hambatan
dalam pengelolaan dan konservasi hutan.126 Adapun bentuk
kegiatan dan investasi FIP Indonesia ini harus dapat
memberikan keuntungan bersama termasuk pengentasan
kemiskinan pada masyarakat yang bergantung pada hutan.127
Pelaksanaan Rencana Investasi Kehutanan Indonesia juga
memiliki bidang intervensi dan tiga kelompok intervensi.
Intervensi dirancang berdasarkan konsultasi yang dilakukan
selama 2010-2011. Berikut tiga kelompok intervensi dalam FIP
Indonesia128:
1. Menguji dan mengembangkan upaya REDD+ subnasional dengan mendukung rencana aksi REDD+ di
provinsi Kalimatan Barat. (Kelompok intervensi ini
didukung oleh ADB);
125
Ringkasan Eksekutif Program Investasi Kehutanan: Rencana Investasi Kehutanan
Indonesia, Februari 2012, Republik Indonesia, hal. xvi
126
Ibid., hal.vi
127
Ibid., hal. xvi
128
Ibid., hal. vi
2. Mendorong pengelolaan sumber daya alam berbasis
masyarakat
yang
lestari
dan
pengembangan
institusional. (Kelompok intervensi ini didukung oleh
Bank Dunia);
3. Memperkuat peran sektor swasta untuk menanggapi
insentif REDD+, terutama usaha perhutanan skala kecil,
dengan memperkuat skema pengelolaan hutan lestari
dengan manfaat penghasilan dari karbon hutan.
(Kelompok intervensi ini didukung oleh IFC);
c. Climate Change Development Programme Loan atau CCDPL
(Pinjaman Program Pembangunan Perubahan Iklim)
Pinjaman Program Bank Dunia ini dimulai tahun 2010.
Pinjaman ini sama seperti pinjaman seperti CCPL Perancis dan
Jepang yang dikategorikan pinjaman lunak dan mensyaratkan
adanya policy matrix. CCDPL ini ditujukan untuk mendukung
reformasi kebijakan guna menghadapi berbagai isu perubahan
iklim melalui sasaran kegiatan yang ada dalam kerangka tiga
tahunan policy matrix mencakup diantaranya bidang mitigasi
kehutanan.
Pendekatan reformasi kebijakan dalam pinjaman Bank
Dunia ini menggunakan policy matrix yang terlebih dahulu
digunakan antara pemerintah Indonesia-Jepang-Perancis dalam
skema
CCPL.
Dengan
beberapa
penekanan
di
sektor
diantaranya lahan gambut dan kehutanan.
Bank Dunia menegaskan skema CCDPL memiliki kaitan
langsung maupun tidak langsung dengan berbagai proyek atau
program yang berjalan termasuk keterkaitan dengan program
demonstrative activities dalam konteks REDD.129 Pembuatan
policy matrix didasarkan pada RAN Perubahan Iklim Indonesia
dan dokumen “National Development Planning: Response to
Climate Change” (Yellow Book). Adapun total pinjaman
program ini sebesar USD 200 juta tahun 2010 dan USD 200
juta tahun 2011.130
129
Dani Setiawan dan Agustinus Prasetyantoko, op. cit., hal. 76
130
Peter Wood, op. cit., lampiran vii hal. 1
Download