BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Isu lingkungan hidup menjadi sebuah isu global dan mulai dilirik para penstudi hubungan internasional pasca perang dingin. Tepatnya pada akhir dekade 1990-an sekelompok pakar yang disebut “Copenhagen School” diantaranya Barry Buzan, Ole Waever dan Jaap de Wilde mencoba memperluas objek rujukan isu keamanan yang tidak lagi dimaknai keamanan “Negara” (tradisional) melainkan juga menyangkut keamanan “manusia” (human security).1 Adapun objek rujukan yang dimaksud sebagai bagian dari isu keamanan non-tradisional yaitu kerawanan pangan, kemiskinan, kesehatan, lingkungan hidup, perdagangan manusia, terorisme, dsb. Isu lingkungan hidup kini tidak hanya menjadi isu internal negara melainkan menjadi sebuah isu trans-boundaries (lintas batas negara). Isu lingkungan hidup yaitu kerusakan alam akibat ulah manusia (antrophogenic intervention) dirasakan dampaknya secara global. Adapun dampak kerusakan lingkungan hidup akibat aktivitas ekonomi manusia yang cenderung melihat alam hanya sebagai sumber materiil saja yaitu perubahan iklim. Fenomena perubahan iklim biasanya lebih dikenal dengan istilah pemanasan global (global warming). 1 Yulius P. Hermawan, 2007, Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional: Aktor, Isu dan Metodologi, Yogyakarta: Graha Ilmu, hal. 13 Definisi perubahan iklim menurut UNFCCC menunjuk pada adanya perubahan pada iklim yang disebabkan secara langsung atau tidak langsung oleh kegiatan manusia yang mengubah komposisi atmosfer global dan juga variabilitas iklim alami yang diamati selama periode waktu tertentu. Fenomena perubahan iklim ini utamanya disebabkan oleh peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer. Dampak yang ditimbulkannya pun dirasakan secara global sehingga mendorong upaya tingkat global dalam penyelesaiannya. Mengingat fenomena perubahan iklim ini mengancam keamanan manusia, maka upaya tingkat global pun berjalan. Organisasi Metereologi Dunia atau WMO dan Program Lingkungan PBB atau UNEP, yang keduanya dibawah naungan PBB membentuk sebuah panel antarpemerintah sejak tahun 1988. Panel ini dinamakan IPCC yang bertugas untuk melakukan kajian khusus dan regular terkait perubahan iklim global. Dalam laporan IPCC yang pertama ditahun 1990 dan kemudian diperkuat laporan tahun 2007, meramalkan bahwa ditahun 2100 nanti suhu rata-rata dunia cenderung mengalami peningkatan sebesar 2,2°C yaitu dari 1,8°C menjadi 4°C. Bahkan, jika tidak dilakukan upaya berarti untuk mestabilisasi GRK di atmosfer, maka suhu rata-rata bumi bisa mencapai 5°C.2 Pemanasan global akan membawa dampak serius pada berbagai sektor kehidupan manusia, flora dan fauna serta makhluk bumi lainnya. Ismid Hadad, “Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan: Sebuah Pengantar” dalam Jurnal Prisma, Volume 29 No. 2, April 2010, hal. 4 2 Mengacu pada laporan IPCC tersebut, pada Juni 1992, UNCED mengadakan KTT di Rio de Janeiro. Dalam KTT ini, para pemimpin dunia bersepakat untuk mengadopsi rencana besar terkait upaya konservasi lingkungan dan menyejahterakan manusia melalui pembangunan. Hasil yang diperoleh diantaranya sebuah dokumen yang mengikat secara hukum (legally binding) yaitu Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang perubahan iklim atau UNFCCC. Adapun lembaga pengambil keputusan tertinggi dalam UNFCCC yaitu Konferensi Para Pihak atau disebut COP. Dalam COP yang diadakan setiap tahunnya, barulah pada COP III, Desember 1997 di Kyoto, Jepang, negara pihak bersepakat untuk membuat suatu komitmen yang mengikat secara hukum. Adapun komitmen ini dituangkan dalam sebuah Protokol Kyoto sebagai kesepakatan operasional dari UNFCCC. Protokol ini menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca untuk negara-negara Annex I (KP Art.3 para 1).3 Negara-negara Annex I adalah negara-negara yang terdaftar sebagai Annex I dalam UNFCCC yang terdiri dari negara-negara industri maju, termasuk negara yang berada dalam tahap transisi ekonomi seperti Rusia dan negara-negara Eropa timur. Target nasional berkisar dari pengurangan 8 persen untuk Uni Eropa, 7 persen untuk AS, 6 persen untuk Jepang, 0 persen untuk Rusia, dan penambahan yang diizinkan sebesar 8 persen untuk Australia dan 10 persen untuk Islandia.4 Institute for Global Environmental Strategies (IGES), Februari 2011, “CDM dalam Bagan versi Hyperlink”, diakses dari www.dephut.go.id/INFORMASI/INTAG/cdm.htm pada 14 Februari 2012 4 Heri Murdianto, “Carbon Trading dalam Konteks Kepentingan Indonesia”, diakses dari http://umum.kompasiana.com/2009/06/22/carbon-trading-dalam-konteks-kepentingan-indonesia/ pada 14 Februari 2012 3 Negara-negara Annex I memiliki batas emisi GRK yang berbeda untuk periode 2008-2012 (periode komitmen pertama). Target penurunan emisi GRK kolektif negara Annex I berdasarkan protokol ini yaitu minimal 5,2 persen dari emisi tahun dasar (1990) dalam periode komitmen pertama, terhitung dari 2005.5 Hal yang harus dilakukan masyarakat dunia yaitu menurunkan emisi karbon hingga 80 persen pada tahun 2020 dari level emisi dasar tahun 1990. Di lain pihak, negara-negara kepulauan kecil di Samudera Pasifik yaitu AOSIS mencanangkan target kenaikan suhu maksimum 1,5°C dan konsentrasi CO2 di atmosfer tidak lebih dari 350 ppm pada tahun 2015.6 Jika suhu bumi dibiarkan mencapai 2°C pada tahun 2020, diperkirakan hampir setengah dari 40 negara kepulauan kecil akan tenggelam.7 Komitmen penurunan emisi GRK ini menjadi kewajiban negara-negara Annex I mengingat tanggung jawab historis sebagai negara-negara penghasil emisi terbesar sejak revolusi industri. Negara berkembang tidak memiliki kewajiban untuk menurunkan emisi pada periode tersebut, namun perlu menerapkan pola pembangunan berkelanjutan untuk mencegah kenaikan emisi GRK. Adapun jika negara berkembang tersebut ingin berpartisipasi maka sifatnya sukarela pada komitmen pertama. Hal ini berdasar pada prinsip UNFCCC yaitu common but differentiated responsibilities and respected capabilities. Prinsip ini menjelaskan semua negara memiliki tanggung jawab bersama mencegah perubahan iklim sesuai dengan kapasitas masing-masing dan prinsip keadilan. 5 Emil Salim, Juni 2010, Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hal 4 6 Ismid Hadad, op.cit., hal. 5 7 Ibid. Sebagai salah satu negara berkembang, Indonesia merasa perlu merespon cepat dampak perubahan iklim. Mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan yang akan merasakan dampak negatif langsung akibat kenaikan suhu permukaan bumi. Selain itu, Indonesia memiliki luas kawasan hutan sekitar 132,4 juta ha menurut Kementerian Kehutanan tahun 20098 yang berpotensi menjadi penyerap dan penyimpan CO2 (sink) atau sebagai pengemisi CO2 (source) dalam konteks perubahan iklim. Indonesia juga dikenal sebagai negara dengan hutan tropis terbesar ketiga dunia.9 Realitas yang terjadi bahwa hutan Indonesia diperhadapkan pada permasalahan besar yang turut andil terhadap peningkatan emisi GRK seperti degradasi hutan dan lahan, deforetasi akibat illegal logging, penjarahan hutan, alih fungsi lahan dan kebakaran hutan.10 Berdasarkan hasil studi IFCA tahun 2007, kandungan karbon hutan Indonesia pada kisaran 8-339 ton/ ha atau 24-1.017 ton CO2 per ha.11 Untuk itu, sebagai langkah keseriusannya, Indonesia kemudian meratifikasi UNFCCC melalui UU No.6/ 1994 dan Protokol Kyoto melalui UU No.17/ 2004. Nur Masripatin, “Hutan Indonesia: Penyerap atau Penyumbang Emisi Karbon?” dalam Jurnal Prisma, Volume 29 No. 2, April 2010, hal. 62 8 Icha Wulansari, “Deforestasi di Indonesia dan Mekanisme REDD” dalam Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional, Volume 6 No. 2, September 2010, hal. 55 9 10 Ibid. 11 Ibid., hal. 64 Dalam upaya penurunan emisi GRK tingkat global, berdasarkan Protokol Kyoto ada tiga mekanisme fleksibel12 yang dapat dilakukan diantaranya JI, CDM, dan ET. Selain mekanisme tersebut, terdapat mekanisme lain dalam kerangka UNFCCC yang termuat dalam Bali Action Plan yang merupakan hasil COP XIII 2007 di Bali yaitu skema REDD+. Skema ini merupakan mekanisme yang diadopsi UNFCCC sebagai upaya mitigasi untuk menurunkan emisi GRK di negara-negara berkembang. REDD+ merupakan kelanjutan dari REDD dimana dalam REDD+ ditambahkan peran konservasi, pengelolaan hutan secara lestari, serta peningkatan stok karbon hutan.13 Konsekuensi sebagai negara peratifikasi UNFCCC, kemudian menjadikan Indonesia ikut berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon 26-41 persen tahun 2020 dari arah BAU. Untuk mencapai target 26 persen penurunan emisi, Indonesia akan menggunakan sumber daya sendiri, baik dari sektor publik maupun swasta, serta pencapaian target 41 persen dengan bantuan luar negeri. Penurunan emisi Indonesia ini juga dapat digunakan negara-negara maju untuk mengompensasi penurunan emisi mereka. Setelah COP XIII di Bali, kecenderungan skema REDD+ menjadi pilihan untuk penurunan emisi GRK global di negara berkembang. Selain karena dapat menurunkan emisi GRK dari deforestasi dan degradasi, peran konservasi, pengelolaan hutan secara lestari juga sebagai penyimpanan stok karbon hutan di Kardono, September 2010, “Memahami Perdagangan Karbon” dalam Info Pustanling (Pusat Standarisasi dan Lingkungan Kementrian Kehutanan) Vol. 12, No. 1, hal. 2, diakses dari www.pustanling.files.wordpress.com/2011/04/info-pustan-2010.pdf pada 28 Februari 2012. 12 13 Nur Masripatin, op.cit., hal. 67 negara berkembang. Potensi ini cenderung menjadi model penerapan mekanisme offset carbon trading baru pasca 2012. Upaya pemenuhan komitmen Indonesia hingga tahun 2020 pun membutuhkan pendanaan yang besar, yang apabila Indonesia tidak mampu membiayai dari sumber penerimaan dalam negeri, maka potensi pendanaan dari bantuan luar negeri menjadi solusi pemerintah Indonesia. Hal ini ditunjang dengan peluang mendapatkan dana perubahan iklim yang juga semakin besar. Terlihat dari semakin bertambahnya donor baik negara maju, lembaga multilateral, maupun swasta yang bersedia mendanai program penurunan emisi termasuk skema REDD+. Namun hal ini dapat menjadi masalah ketika upaya penurunan emisi GRK global dibiayai oleh bantuan luar negeri dalam skema utang luar negeri. Berdasarkan rangkaian penjelasan di atas, penulis ingin mengetahui lebih lanjut implementasi dan dampak implementasi mekanisme carbon trading skema REDD+ sektor kehutanan di Indonesia periode 2008-2012. B. Batasan dan Rumusan Masalah UNFCCC merupakan konvensi internasional tentang perubahan iklim yang menyepakati mekanisme carbon trading sebagai solusi penurunan emisi GRK global dan mengikat secara hukum negara-negara yang telah meratifikasi. Indonesia meratifikasi UNFCCC dan sektor penurunan emisinya yaitu energi, kehutanan, pertanian atau peternakan, industri, dan limbah atau persampahan. Sektor yang penulis bahas yaitu kehutanan dengan mekanisme carbon trading skema REDD+. Skema REDD+ merupakan upaya penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, peran konservasi, pengelolaan hutan secara lestari, dan peningkatan stok karbon hutan. Penulis memilih implementasi sektor kehutanan di Indonesia karena Indonesia merupakan negara hutan tropis terbesar ketiga dunia dengan wilayah sekitar 75 persen hutan sehingga berpotensi sebagai wilayah implementasi skema REDD+. Selain itu, laju deforestasi dan degradasi hutan di negara berkembang berperan sebesar 17-20 persen terhadap emisi GRK global dan di Indonesia menyumbang 47 persen dari total emisi GRK nasional. Melalui skema ini juga mekanisme carbon trading dibolehkan antara negara maju dan negara berkembang yang hemat biaya serta mencakup peran alih teknologi dari negara maju ke negara berkembang. Skema ini juga cenderung akan dijadikan sebagai skema penurunan emisi global pasca 2012 melalui perdagangan karbon global. Indonesia meratifikasi UNFCCC melalui UU No. 6/ 1994 dan sebagai konsekuensinya turut mengambil peran dalam penurunan emisi GRK global. Indonesia kemudian berkomitmen menurunkan emisi GRK nasional sebesar 26-41 persen. Sumber pendanaannya berasal dari APBN dan kerjasama bilateral maupun multilateral, inisiatif swasta, serta ICCTF. Pembiayaan komitmen 26 persen berasal dari sumber dalam negeri dan komitmen 41 persen berupa bantuan luar negeri. Penulis kemudian membatasi implementasi mekanisme carbon trading skema REDD+ ini pada periode 2008-2012. Alasannya, dalam periode ini dapat dikatakan semakin bertambah donor bilateral, multilateral, maupun swasta yang bersedia membiayai upaya penurunan emisi di negara pemilik hutan tropis termasuk Indonesia. Dana ini untuk membiayai persiapan kesiapan Indonesia dalam mengimplementasikan REDD+. Selain itu, sebagai bentuk keseriusan Indonesia dalam mengurusi khususnya terkait pendanaan perubahan iklim ini, dibentuk Badan Kebijakan Fiskal Perubahan Iklim yaitu PKPPIM. Berdasarkan penjelasan di atas, penulis merumuskan dan membatasi fokus pembahasan dalam penelitian yaitu: 1. Bagaimana implementasi mekanisme carbon trading skema REDD+ di sektor kehutanan Indonesia periode 2008-2012? 2. Bagaimana dampak implementasi mekanisme carbon trading skema REDD+ di Indonesia periode 2008-2012 terhadap utang luar negeri Indonesia? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Dalam proses penelitian, penulis mengacu pada tujuan dan kegunaan penelitian yang ditetapkan. Adapun tujuan dan kegunaan penelitian tersebut, diantaranya: 1. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui implementasi mekanisme carbon trading skema REDD+ di sektor kehutanan Indonesia periode 2008-2012. b. Untuk mengetahui dampak implementasi mekanisme carbon trading skema REDD+ di Indonesia periode 2008-2012 terhadap utang luar negeri Indonesia. 2. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan: a. Dapat memberikan informasi bagi masyarakat umum mengenai implementasi mekanisme carbon trading skema REDD+ di sektor kehutanan Indonesia periode 2008-2012. b. Dapat memberikan informasi bagi masyarakat umum mengenai dampak implementasi mekanisme carbon trading skema REDD+ di Indonesia periode 2008-2012 terhadap utang luar negeri Indonesia. c. Dapat menjadi referensi bagi peneliti-peneliti selanjutnya yang tertarik untuk meneliti permasalahan yang sama. D. Kerangka Konseptual 1. Carbon Trading Konsep carbon trading pertama kali muncul setelah Protokol Kyoto di bawah naungan UNFCCC memiliki kekuatan mengikat secara hukum pada tahun 2005 bagi negara-negara yang meratifikasinya. Protokol ini mewajibkan negara-negara Annex I mengurangi emisi GRK mereka minimal 5,2 persen dibawah tahun emisi dasar (1990) dalam kurun waktu (2008-2012).14 Adapun mekanisme fleksibel berdasarkan Protokol Kyoto yang dapat digunakan sebagai mekanisme perdagangan karbon diantaranya Implementasi Bersama, Perdagangan Emisi dan Mekanisme Pembangunan Bersih. 14 Emil Salim, loc. cit. Melalui protokol ini juga pasar karbon bermunculan memenuhi bursa saham. Ada dua jenis pasar karbon yaitu pasar karbon wajib (compliance market) dan pasar karbon sukarela (voluntary carbon market). Sederhananya, laju emisi GRK yang dihasilkan dapat diturunkan melalui pembelian kredit karbon, membayar proyek yang mengurangi, menetralisir atau menyerap emisi GRK dengan lembaran sertifikat yang dihasilkan melalui mekanisme carbon trading di pasar karbon dunia. Karbon disini mengacu pada enam emisi GRK yang dianggap berperan besar dalam pemanasan global berdasarkan Protokol Kyoto diantaranya15 karbondioksida (CO2), hidrofluorokarbon metana (HFCs), (CH), nitrogen perfluorokarbon oksida (PFCs) dan (NO), sulfur hexaflourida (SF6). Mekanisme carbon trading merupakan mekanisme berbasis pasar. Ini dapat dilihat dalam beberapa pasal yang setidaknya tercantum dalam Protokol Kyoto. Diantaranya16 pasal 17 tentang perdagangan emisi (ET), pasal 4 yang membolehkan suatu wilayah politik memiliki target pembatasan dan pengurangan emisi secara berkelompok. Pasal 6 mengatur Implementasi Bersama dan pasal 12 mengatur mekanisme CDM. UNFCCC, “Kyoto Protocol to the UNFCCC”, diakses http://unfccc.int/methods_and_science/lulucf/items/4123.php pada 3 Maret 2012 15 16 Agus Sari, op. cit., hal. 95 dari Dalam perkembangan negosiasi COP UNFCCC, keberadaan hutan tropis dinilai penting berperan terhadap perubahan iklim, sehingga dihasilkanlah mekanisme carbon trading lain yaitu REDD dan REDD+. Melalui mekanisme ini pemberian insentif dilakukan bagi negara yang memiliki hutan tropis dan berhasil menjaga hutannya. Mekanisme ini memudahkan negara industri untuk membantu dalam pencapaian target penurunan emisi domestiknya. Mekanisme carbon trading melalui skema REDD ini menimbulkan sejumlah keprihatinan bahwa skema pencegahan deforestasi dapat mengalihkan perhatian dari prioritas yang lebih mendesak yaitu pengurangan tingkat konsumsi energi per kapita dari negara-negara maju serta pemangkasan tingkat emisi kolektif di negara berpenduduk besar seperti Cina dan India dimana kombinasi antara pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk yang besar telah melambungkan tingkat emisi GRK.17 Menurut masyarakat sipil Bali18, carbon trading telah digunakan sebagai suatu tindak penyamaran untuk mengelak dari peraturan dan menunda aksi mendesak yang diperlukan untuk mengurangi emisi dan mengembangkan solusi alternatif yang rendah karbon. Menurut penyelidikan Institute for Policy Studies19 yang berkedudukan di AS, Down To Earth (DTE), 2009, “Keadilan Iklim dan Penghidupan yang Berkelanjutan”. KIPPY Print Solution, hal. 51, diakses dari http://dte.gn.apc.org/CCcomp09.pdf pada 16 Februari 2012. 17 18 Ibid. 19 Ibid. mekanisme CDM dari Protokol Kyoto tidak berjalan sebagai solusi efektif untuk menurunkan emisi. Heidi Bachram, dkk dalam artikel “The Sky is not The Limit” TNI Briefing Series No. 2003/ 1 merefleksikan20 pesimistis beberapa golongan masyarakat diantaranya kalangan organisasi non-pemerintah yang menyatakan mekanisme carbon trading tidak lebih usaha kamuflase hijau. Kecenderungan pemerintah dan korporasi tidak bersungguh-sungguh dalam menangani perubahan iklim yang ternyata masih didominasi kepentingan ekonomi saja. Padahal nilai-nilai yang membentuk Protokol Kyoto didasari oleh semangat keberlanjutan ekonomi, sosial dan lingkungan. Organisasi Carbon Trade Watch21 memberikan argumen bahwa mekanisme carbon trading hanya akan memberikan penekanan yang salah terhadap isu perubahan iklim. Sebab, sesungguhnya yang harus dibenahi adalah gaya hidup individu dan sistem politik kolektif. Menurut Mick Kelly, Unit Riset Klimatik -Climatic Research Unit, University of East Anglia (2000) menyatakan penerimaan atas carbon trading dalam Protokol Kyoto menggambarkan pasal-pasal kepercayaan, kepercayaan atas 20 Muhammad Endro Sampurno, Lingkar Studi CSR, “Kritik atas Pelaksanaan Perdagangan Karbon”, 13 Agustus 2007, diakses dari http://www.csrindonesia.com/data/articles/20080208130011-a.pdf pada 3 Maret 2012 , 25 Juni 2009, “Sejarah Perdagangan Karbon”, diakses dari http://portal.djmbp.esdm.go.id/dbb2/index.php?option=com_content&view=article&id=125:artsej arah-perdagangan-karbon&catid=34:artdbb&Itemid=58 pada 1 Maret 2012 21 perdagangan bebas dan kepercayaan atas proses globalisasi serta semuanya berdiri pada satu sikap ideologi.22 Hal ini berarti konsep carbon trading berdasarkan pada mekanisme pasar sebagai solusi menurunkan emisi GRK. Oleh karena itu, pertanyaan mendasar bahwa mampukah program carbon trading ini mengurangi emisi GRK global, tanpa ada penurunan emisi dari negara-negara maju.23 Di lain pihak, CIFOR memaparkan carbon trading membutuhkan mekanisme baru dimana negara-negara industri dan negara penghasil polutan terbesar diberi kesempatan untuk melakukan kompensasi dengan cara membayar negara-negara berkembang untuk mencadangkan hutan tropis yang mereka miliki sehingga terjadi "sequestration" atau penyimpanan sejumlah besar karbon.24 Adapun WALHI dalam artikelnya “Perdagangan Karbon” memaparkan25 ada dua jenis perdagangan perdagangan karbon yaitu perdagangan emisi (emission trading) dan perdagangan kredit berbasis proyek (trading in project based credit). Seringkali dua kategori tersebut disatukan menjadi sistem perdagangan hibrida. Adapun perdagangan kredit berbasis proyek juga dikenal dengan istilah carbon offset. 22 Ibid. Abdul Razak, Kelayakan Kompensasi yang Ditawarkan Dalam Perdagangan Karbon. Makalah Manajemen Hutan Lanjutan, Program Pasca Sarjana/ S2, Program Studi Manajemen Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, UGM Yogyakarta 24 CIFOR, “Gagasan Perdagangan Karbon: Sanggupkah Memberikan Manfaat Bagi Hutan Tropis?”, diakses dari http://www.cifor.org/publications/Html/AR-98/Bahasa/Carbon.html pada 3 Maret 2012 25 WALHI Bali, 27 Agustus 2007, “Perdagangan Karbon” diakses dari http://walhibali.blogspot.com/2007/08/perdagangan-karbon.html pada 23 Februari 2012 23 Greenpeace dalam artikelnya “Greenpeace: Menolak Perdagangan Karbon” memaparkan26 mekanisme carbon offset tidak memberi keuntungan dalam penghentian perubahaan iklim karena tidak signifikan menurunkan emisi di negara maju. Dengan carbon offset negara maju bisa membeli karbon dari hutan-hutan tropis di negara berkembang dengan demikian negara berkembang harus menjaga hutannya sebagai cadangan karbon yang diperjualbelikan, sementara negara maju karena telah membeli karbon maka mereka akan tetap bebas melakukan emisi, padahal rata-rata emisi karbon global dihasilkan dari negara maju. 2. Perjanjian Internasional Perjanjian internasional pada hakekatnya merupakan suatu persetujuan atau agreement. Bentuk perjanjian internasional yang dilakukan antarbangsa maupun antarorganisasi internasional ini tidak harus berbentuk tertulis. Dalam perjanjian internasional terdapat istilah subjek dan obyek. Yang dimaksud subjek perjanjian internasional adalah semua subjek hukum internasional, terutama negara dan organisasi internasional. Sedangkan yang dimaksud dengan obyek hukum internasional adalah semua kepentingan yang menyangkut kehidupan masyarakat internasional, terutama kepentingan ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Greenpeace, “Kenapa Greenpeace Menolak Perdagangan Karbon?” diakses dari http://www.greenpeace.org/seasia/id/blog/kenapa-greenpeace-menolak-perdagangankarbon/blog/19236/ pada 12 Februari 2012. 26 Masalah definisi perjanjian internasional memang salah satu isu kontroversi dalam literatur hukum perjanjian internasional. Perdebatan sengit bahkan berlangsung pula dalam perumusan definisi ini pada Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional. Menurut Konvensi ini, perjanjian internasional adalah27: “An International Agreement concluded between States and International Organizations in written form and governed by International Law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation” Selanjutnya, definisi ini diadopsi oleh Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang merumuskan28 “setiap perjanjian di bidang hukum publik, yang diatur oleh hukum internasional, dan dibuat oleh pemerintah dengan negara, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain.” Adapun definisi lain menurut G. Schwarzenberger, perjanjian internasional adalah29: “Treaties are agreements between subject of International Law creating binding obligations in International Law. They may be bilateral (i.e. concluded between contracting parties) or multilateral (i.e. concluded more than contracting parties).” Damos Dumali Agusman. “Apa Perjanjian Internasional itu?: Beberapa Perkembangan Teori dan Praktek di Indonesia tentang Hukum perjanjian Internasional” diakses dari http://elibrary.kemlu.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=65%3Aapa-perjanjianinternasional-itu&catid=45%3Ae-resources&Itemid=76&lang=en pada 24 Februari 2012 27 28 Ibid. Rosmi Hasibuan, “Suatu Tinjauan Umum tentang Perjanjian Internasional” diakses dari http://library.usu.ac.id/download/fh/hukuminter-Rosmi5.pdf pada 24 Februari 2012 29 Dari definisi tersebut dapat diartikan, bahwa perjanjian internasional diartikan sebagai suatu persetujuan antara subyek-subyek hukum internasional yang menimbulkan kewajiban-kewajiban yang mengikat dalam hukum internasional. Persetujuan tersebut dapat berbentuk bilateral maupun multilateral. Adapun menurut Oppenheim-Lauterpacht, “International treaties are agreements of contractual charter between states, creating legal rights and obligations between the parties”30. Ditegaskan bahwa perjanjian adalah suatu persetujuan antar negara, yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak. Pendapat yang lebih luas lagi didefinisikan oleh Mochtar Kusumaatmadja31 bahwa “Perjanjian internasional adalah suatu perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa yang bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu”. Perjanjian internasional biasanya dituangkan dalam bentuk struktur perjanjian internasional yang lengkap dan dibuat melalui tiga tahap, yaitu tahap perundingan (negotiation), tahap penandatanganan (signature), dan tahap ratifikasi (ratification). Pengikatan diri pada suatu perjanjian internasional dimaksudkan pemberian persetujuan oleh negara-negara yang menjadi pihak pada perjanjian untuk mengikatkan diri pada 30 Muhammad Ashri, 2009, Perjanjian Internasional: Dari Pembentukan Hingga Akhir Berlakunya”, Makassar: PT Umitoha Ukhuwah Grafika, hal. 7 31 Ibid., hal. 3 perjanjian baik bilateral maupun multilateral yang pengaturannya terdapat dalam pasal 11-17 Konvensi Wina.32 3. Bantuan Luar Negeri Konsep bantuan luar negeri dalam ilmu hubungan internasional dapat dilihat melalui pandangan kaum realis dan liberalis. Kaum realis melihat bantuan internasional atau bantuan luar negeri (foreign aid) praktis hanya menjadi sebuah alat kebijakan untuk mencapai kepentingan nasional. Morgenthau mengatakan motivasi politik itulah menjadi hal yang dipertimbangkan oleh donor saat memberikan bantuan luar negeri. Realis sama sekali tidak menerima ide “melakukan pembangunan” dalam konteks foreign aid. Adapun kaum liberalis memiliki pandangan tentang bantuan luar negeri bahwa selain membawa nilai dan peran yang penting, dengan bantuan luar negeri menciptakan harapan untuk sukses dalam proses pembangunan. Istilah bantuan luar negeri (foreign aid) dapat diartikan sebagai tindakan-tindakan negara, masyarakat yang berada pada suatu negara tertentu yang memberikan bantuan berupa pinjaman, hibah, atau penanaman modal kepada pihak tertentu di negara lainnya.33 Dalam prakteknya, bantuan luar negeri tidak terlepas dari berbagai kepentingan ekonomi dan politik. Kebanyakan orang membincangkan proses bantuan itu berupa hubungan ekonomi dan politik secara timbal balik. 32 33 Ibid., hal. 63 Yanuar Ikbar, 2008, Ekonomi Politik Internasional 2: Implementasi Konsep dan Teori, Bandung: PT Refika Aditama, hal. 187 Michael Todaro memaparkan34 bahwa bantuan luar negeri mengalir ke negara dunia ketiga dengan beberapa kriteria, yaitu dari segi donor tujuan-tujuan itu haruslah non-komersil. Bantuan itu harus memenuhi syarat konsensional, dengan suku bunga dan jangka waktu pembayaran kembali modal secara lunak atau tidak memberatkan negara peminjam. Pinjaman komersial dengan suku bunga lunak dan jangka pengembalian pendek atau menengah. Dengan demikian menurut Yanuar Ikbar semakin jelas bahwa bantuan luar negeri meliputi sumber daya yang dimiliki suatu negara ke negara lain yang memerlukannya menurut negosiasi. Berdasarkan ini, bantuan luar negeri dapat dibagi menjadi35 bantuan berupa pemberian atau hibah (grant), pinjaman (utang luar negeri), dan investasi (penanaman modal) asing. Pinjaman luar negeri (foreign loan) dan bantuan luar negeri (foreign aid) sering dianggap memiliki konotasi yang sama. Adapun jenis pinjaman luar negeri diantaranya36 pinjaman terikat, pinjaman tidak terikat, pinjaman proyek, dan pinjaman program. Pinjaman dan hibah luar negeri diatur dalam mekanisme APBN. 34 Ibid., hal. 188 35 Ibid., hal. 189 Nur Utaminingsih, 2011, “Global Agriculture and Food Security Program (GAFSP) sebagai solusi penanganan krisi pangan negara berkembang (studi perspektif: Bangladesh dan Ethiopia)”, Skripsi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, FISIP Unhas, Makassar 36 Pengertian pinjaman luar negeri menurut Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 adalah: “Setiap penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan atau devisa yang dirupiahkan, rupiah maupun dalam bentuk barang dan atau jasa yang diperoleh dari Pemberi Pinjaman Luar Negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu.” Adapun definisi hibah luar negeri dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 adalah: “Setiap penerimaan negara baik dalam bentuk devisa atau devisa yang dirupiahkan, rupiah maupun dalam bentuk barang dan atau jasa yang diperoleh dari Pemberi Hibah Luar Negeri yang tidak perlu dibayar kembali.” Pinjaman luar negeri memiliki banyak macam. Diantaranya jika dilihat dari sumber dananya, pinjaman luar negeri dapat dibedakan menjadi Pinjaman Multilateral, Pinjaman Bilateral, dan Pinjaman Sindikasi. Dilihat dari segi persyaratannya, pinjaman luar negeri dapat dibedakan menjadi Pinjaman Lunak (Concessional Loan), Pinjaman setengah lunak (semi concessional loan), Pinjaman Komersial (Commercial Loan). E. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian Penelitian ini menggunakan tipe penelitian deskriptif eksplanatif. Penulis menggunakan penelitian deskriptif untuk menggambarkan implementasi mekanisme carbon trading skema REDD+ sektor kehutanan periode 2008-2012 di Indonesia dilanjutkan dengan menganalisis dampak implementasi skema tersebut selama periode 2008-2012 di Indonesia. 2. Jenis Data Jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan primer (wawancara). Adapun jenis data yang penulis maksud diantaranya; a. Dokumen United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dan Dokumen Protokol Kyoto; b. UU No. 6/1994 mengenai ratifikasi Indonesia terhadap UNFCCC; c. UU No. 17/ 2004 mengenai ratifikasi Indonesia terhadap Protokol Kyoto; d. Dokumen mengenai ICCTF (Indonesia Climate Change Trust Fund); e. Strategi nasional REDD+ di Indonesia; f. Data hibah dan utang luar negeri Indonesia sektor kehutanan skema REDD+; g. Wawancara dengan lembaga terkait carbon trading khususnya REDD+. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan ialah telaah pustaka dan wawancara. Yaitu cara pengumpulan data dengan menelaah sejumlah literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti baik berupa jurnal, buku, dokumen, laporan, makalah, majalah, surat kabar dan artikel. Adapun wawancara dilakukan dengan lembaga terkait. Data diperoleh melalui penelitian penulis ke beberapa tempat seperti: a. Perpustakaan Pusat Universitas Hasanuddin di Makassar; b. Kementerian Luar Negeri Indonesia di Jakarta; c. Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia di Jakarta; d. Kementerian Kehutanan Indonesia di Jakarta; e. Kementerian Keuangan di Jakarta; f. Perpustakaan BAPPENAS; g. Kantor Dewan Perubahan Iklim Indonesia di Jakarta; h. Perpustakaan Freedom Institute dan CSIS di Jakarta; i. Sekretariat WALHI dan Koalisi Anti Utang di Jakarta; j. Perpustakaan Himpunan Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional (HIMAHI) FISIP Unhas. 4. Teknik Analisis Data Penulis menggunakan teknik analisis data kualitatif dalam menganalisis data selama proses penelitian. Penulis kemudian membuat kerangka pikir untuk memperjelas alur penelitian. Berikut kerangka pikir yang penulis maksud: Gambar 1.1. Kerangka Pikir Penelitian UNFCCC (ratifikasi melalui UU No. 6/1994) Carbon Trading Energi Kehutanan (CDM A/R, REDD, REDD+) Limbah / Persampahan Pertanian Industri Komitmen Sukarela Indonesia (Penurunan emisi GRK nasional 26-41 persen tahun 2020) 2020) - APBN - Kerjasama Bilateral / Multiliteral Target 26 persen (Sumber Dalam Negeri) Inisiatif Swasta ICCTF (Bappenas) Target 41 persen (Bantuan Luar Negeri) Sehubungan dengan urgensitas dan dampak perubahan iklim secara global, upaya global pun lahir melalui UNFCCC sebagai konvensi kerangka kerja PBB tentang perubahan iklim yang mengikat secara hukum negara peratifikasi. Negosiasi UNFCCC menyepakati mekanisme carbon trading sebagai solusi penurunan emisi GRK global. Salah satu sektor implementasi mekanisme carbon trading adalah kehutanan. Mekanisme carbon trading sektor kehutanan dibawah naungan UNFCCC yang implementasinya dilakukan di negara berkembang yang berhasil menjaga hutannya dalam konteks perubahan iklim sebagai carbon sink (penyerap karbon), carbon storage (penyimpan karbon), dan carbon source (pengemisi karbon) adalah REDD+. Indonesia meratifikasi UNFCCC melalui UU No.6/ 1994. Konsekuensi sebagai negara peratifikasi UNFCCC yaitu komitmen penurunan emisi nasionalnya sebesar 26-41 persen hingga tahun 2020. Pemenuhan komitmen ini tentunya berdampak pada kebutuhan pendanaan dalam jumlah besar. Indonesia merencanakan sumber pendanaan untuk mencapai target komitmen 26 persen berasal dari sumber dalam negeri dan komitmen 41 persen dari bantuan luar negeri. Faktor pemenuhan pendanaan dalam jumlah besar ini menjadi peluang masuknya berbagai bantuan luar negeri baik bilateral, multilateral maupun swasta. 5. Metode Penulisan Metode penulisan yang digunakan pada penelitian ini adalah deduktif. Penulis terlebih dahulu memberikan gambaran umum permasalahan penelitian, kemudian secara khusus memaparkan setiap variabel penelitian, pengaruh dan keterkaitan antarvariabel. Selanjutnya, berdasarkan data-data yang diperoleh selama proses penelitian, penulis merumuskan simpulan atau hasil analisis. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Carbon Trading 1. Konsep Dasar Carbon Trading Secara historis, awal mulanya perdagangan karbon lebih sering diistilahkan dengan cap and trade. Konsep cap and trade ini untuk pertama kali didemonstrasikan tahun 1967 dan 1970 oleh National Air Pollution Control Administration (sekarang menjadi United States Environmental Protection Agency’s Office of Air and Radiation) menggunakan simulasi komputer ekonomi mikro. Tujuannya adalah untuk menghitung sumber emisi di beberapa kota, sehingga diperoleh perbandingan yang lebih efektif antara industri beralih ke teknologi rendah karbon atau mengatasi masalah emisi melalui jual beli di pasar karbon. Hasil yang diperoleh dari perhitungan ini yaitu pengurangan emisi dengan perdagangan karbon lebih efektif dan murah. Berawal dari sinilah konsep cap and trade lahir. Konsep ini kemudian menuai sejumlah kritik dari para aktivis lingkungan. Perdagangan karbon dinilai sekadar sebagai wadah berkembangnya sistem pasar bebas di ranah kebijakan lingkungan. Mereka juga mengatakan perdagangan karbon hanya akan memecahkan sebagian kecil masalah emisi, bahkan menjadikan negara yang menghasilkan sedikit emisi akan terdorong menjual konservasi alamnya kepada penawar tertinggi. Lebih luas, dalam ranah kebijakan internasional lingkungan khususnya terkait isu perubahan iklim, perdagangan karbon dijadikan suatu mekanisme internasional setelah lahirnya Protokol Kyoto. Protokol ini lahir melalui proses negosiasi COP37 III di bawah kerangka kerja UNFCCC38 dan mengikat secara hukum sejak tahun 2005. Protokol ini mewajibkan negara-negara Annex I39 mengurangi emisi GRK mereka minimal 5,2 persen dibawah tahun emisi dasar (1990) dalam kurun waktu (2008-2012). Latar belakang munculnya isu perdagangan karbon internasional ini, terkait upaya mitigasi40 dari dampak pemanasan global melalui pemberian konsesi carbon credit41 bagi upaya maupun langkah yang dilakukan oleh pemerintah dan sektor swasta dalam melaksanakan 37 Conference of Parties (COP) merupakan lembaga pengambil keputusan tertinggi dalam UNFCCC. COP ini diselenggarakan berkala setiap tahunnya sebagai wadah pertemuan negaranegara pihak UNFCCC. 38 UNFCCC merupakan konvensi yang lahir dalam suasana kebersamaan dan dilandasi prinsip-prinsip Dekralasi Rio (menekankan hubungan antara lingkungan dan pembangunan), diantaranya tanggung jawab umum yang sama, namun secara khusus harus dibedakan sesuai dengan kemampuannya (common but differentiated responsibilities). Konvensi ini mengikat para anggotanya dengan untuk mencapai tujuan utama yaitu menstabilkan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer pada tingkat tertentu dari kegiatan manusia yang membahayakan sistem iklim bumi. UNFCCC bekerja berdasarkan pertemuan sesi konvensi setahun sekali dan ditambah dengan berbagai pertemuan antara. Konvensi ini juga membahas masalah seperti mekanisme perdagangan karbon, program adaptasi, pendanaan perubahan iklim, transfer teknologi dan monitoring, serta observasi gejala perubahan iklim. 39 Negara-negara Annex I adalah negara-negara yang terdaftar sebagai Negara Annex I dalam UNFCCC. Diantaranya negara-negara maju termasuk didalamnya negara-negara yang berada dalam tahap transisi ekonomi seperti Rusia dan Negara-negara Eropa timur. 40 Mitigasi merupakan upaya mengatasi dan mengurangi risiko dan dampak pemanasan global serta perubahan iklim di masa depan. 41 Carbon credit merupakan hasil penurunan emisi karbon. Carbon credit ini diterbitkan setelah seluruh proses pelaksanaan suatu proyek penurunan emisi berhasil dilakukan dan diverifikasi. Setelah diterbitkan, carbon credit ini menjadi milik pihak yang mendanai proyek penurunan emisi tersebut dan dapat dijual di pasar karbon. pembangunan ramah lingkungan.42 Pemanasan global yang terjadi merupakan akibat dari peningkatan emisi GRK global dan juga berdampak secara global sehingga negara-negara menegosiasikan upaya yang dapat dilakukan untuk menekan peningkatan emisi tersebut. Adapun kesepakatan internasional yang diperoleh yaitu melalui mekanisme perdagangan karbon. Dewasa ini, perdagangan karbon telah dilakukan oleh aktor-aktor diantaranya negara, individu, IGO, dan perusahaan atau swasta. Bentuk perdagangan karbonnya pun dapat dilakukan secara bilateral, multilateral maupun regional. Dengan berkembang pesatnya perdagangan karbon ini, maka pasar perdagangan karbon pun semakin bermunculan. Hingga saat ini telah muncul beberapa pasar karbon regional diantaranya Chicago Climate Exchange, European Union Emissions Trading System, Japan Emissions Trading System, New South Wales GHG, Russian Joint Implementation. 42 Kajian Isu Perubahan Iklim 2010, Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK), Kementerian Luar Negeri RI, 2010, hal: 6 Beberapa penjelasan dan tanggapan mengenai perdagangan karbon, diantaranya: a. Mick Kelly, Climatic Research Unit, University of East Anglia, 200043, “Acceptance of [the carbon trading provisions of the Kyoto Protocol] represents an article of faith, faith in the free market and faith in the process of globalization. It rests on an ideological stance.” (Penerimaan atas carbon trading dalam Protokol Kyoto menggambarkan pasal-pasal kepercayaan, kepercayaan atas perdagangan bebas dan kepercayaan atas proses globalisasi. Semuanya itu berdiri pada satu sikap ideologi.) b. DNPI44 “Perdagangan karbon atau emisi sederhananya adalah perdagangan yang mana komoditi yang diperdagangkan adalah selisih antara ketika tidak melakukan suatu upaya mitigasi penurunan emisi dan ketika melakukan suatu upaya mitigasi penurunan emisi. Seperti contoh, tanpa melakukan upaya penurunan emisi dengan pembangkit listrik dari batubara menghasilkan emisi sebesar 1 ton MW/hour sedangkan dengan melakukan upaya penurunan emisi menggunakan pembangkit listrik geothermal dihasilkan emisi 0,7 ton MW/hour. Selisihnya yaitu 0,3 ton MW/hour inilah yang menjadi komoditi perdagangan karbon.” Larry Lohmann, “Carbon Trading: A Critical Conversation on Climate Change, Privatisation, and Power” dalam Development Dialogue, Nomor 48, September 2006, hal: 33 43 44 Berdasarkan hasil wawancara dengan Andi Samya, Ketua Unit Divisi Perdagangan Karbon DNPI pada tanggal 27 Juni 2012 di Jakarta c. Carbon Trade Watch (bagian dari Amsterdam based Transnational Institute)45, “Carbon trading is a complex system which sets itself a simple goal: to make it cheaper for companies and governments to meet emissions reduction targets– although, as we will show, emissions trading is designed in such a way that the targets can generally be met without actual reductions taking place.” (Perdagangan karbon adalah sistem yang kompleks dimana memiliki tujuan sederhana; yaitu agar perusahaan dan pemerintah mengeluarkan biaya yang lebih murah untuk memenuhi target pengurangan emisinya-meskipun seperti yang terlihat, perdagangan karbon yang ada pada umumnya berlangsung tanpa pengurangan emisi sebenarnya. Berdasarkan penjelasan dan tanggapan di atas mengenai carbon trading, dapat dirumuskan carbon trading merupakan suatu mekanisme berbasis pasar yang bertujuan untuk menurunkan emisi karbon global, yang mana aktornya adalah negara, individu, IGO, perusahaan/ swasta dan dilakukan pada tingkat nasional, bilateral, multilateral, serta regional. 2. Jenis-jenis Carbon Trading dan Pasar Karbon Dalam perdagangan tentunya terdapat pembeli, penjual, komoditi atau barang yang diperdagangkan, dan tempat untuk transaksi perdagangan, begitu pula dalam perdagangan karbon. Mekanisme perdagangan karbon merupakan mekanisme berbasis pasar. Pembeli dalam perdagangan karbon mengacu pada Protokol Kyoto adalah negara industri yang menghasilkan emisi karbon dan diwajibkan untuk menyeimbangkan emisi yang dikeluarkan melalui mekanisme sekuestrasi karbon. Tamra Gilbertson dan Oscar Reyes, “Carbon Trading: How It Works and Why It Fails”, dalam Critical Currents, Nomor 7, November 2009, hal: 9 45 Lain halnya dengan penjual adalah negara yang mampu mengelola hutan atau lahan pertaniannya, kemudian menjual kredit karbon yang dihasilkan berdasarkan akumulasi karbon yang terkandung dalam pepohonannya dalam hal ini negara pemilik. Selain itu, yang dapat dikategorikan sebagai penjual adalah negara yang mampu mengurangi emisi karbonnya, dan menjual kelebihan emisinya kepada negara emitor lain. Ini dapat terjadi karena setiap negara Annex I yang diwajibkan menurunkan emisi domestiknya diberikan standar penurunan emisi dalam periode yang telah ditetapkan Protokol Kyoto. Perdagangan karbon memiliki dua jenis sistem yang lazim dilakukan antarnegara, diantaranya46: a. Perdagangan dengan sistem cap and trade Sederhananya dalam sistem ini, emisi total suatu negara dibatasi (capped), dari emisi yang dibatasi inilah muncul kelebihan emisi yang tidak dipakai disebut allowances. Allowances ini boleh dijual kepada negara atau perusahaan lain yang tidak dapat menurunkan emisinya sesuai target dan ini disebut trade. Sebagai contoh, suatu negara A dibatasi emisinya sebesar 1 juta ton CO2. Target emisi ini dibagi pada perusahaan-perusahaan di negara tersebut. Misal, perusahaan A ditarget emisi 100.000 ton, padahal sebelumnya nilai emisinya mencapai 110.000 ton CO2. Perusahaan ini harus melakukan penurunan emisi 10.000 ton CO2 46 Kardono, loc. cit. sedangkan perusahaan ini mampu menurunkan emisinya hingga 20.000 ton CO2. Artinya terdapat kelebihan emisi 10.000 ton CO2. Di lain pihak perusahaan B (diberikan target penurunan dan nilai emisi yang dihasilkan sama dengan perusahaan A) memilih untuk tidak menurunkan emisinya dikarenakan biaya yang mahal. Perusahaan ini berhak membeli kelebihan emisi perusahaan A sebesar 10.000 ton CO2 dengan biaya yang lebih rendah. b. Perdagangan dengan sistem berbasis proyek (offset trading) Sistem offset trading merupakan sistem pemberian kompensasi kepada negara atau perusahaan yang berhasil melakukan upaya penyerapan karbon atau menghindari pelepasan emisi karbon oleh negara pengemisi. Dalam konteks negara, dengan sistem ini negara yang diwajibkan untuk menurunkan emisinya dianggap telah melakukan upaya penurunan emisi yang ditargetkan kepadanya dengan membiayai suatu proyek penurunan emisi di negara lain. Ilustrasinya sebagai berikut, perusahaan A mengemisi 110.000 ton CO2 pertahun. Pemerintah menginginkan masing-masing perusahaan untuk menurunkan emisinya menjadi 100.000 ton CO2. Kedua perusahaan tersebut diberikan alternatif. Apabila tidak menginginkan menurunkan emisinya, perusahaan tersebut dapat mendanai suatu proyek (benar adanya dan dapat dibuktikan) di tempat lain (boleh negara lain) yang dapat menurunkan emisi sebesar 10.000 ton. Perdagangan dengan sistem ini juga dikenal dengan sistem baseline47 and credit. Secara sederhana, dalam konteks upaya mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan, untuk sistem offset dapat dilakukan melalui penyerapan dan penyimpanan karbon di hutan-hutan tropis negara berkembang. Sistem offset menjadi pro bagi negara maju dan kontra bagi negara berkembang. Perdebatan mengenai sistem ini berkisar bahwa jika sistem ini diberlakukan maka yang tercapai hanya pencapaian target pengurangan emisi secara nominal saja, bukan pengurangan emisi domestik yang sebenarnya dari negaranegara emiter. Hal lain bahwa offset kemudian menjadi beban baru negara berkembang sehingga secara de facto, tanggung jawab upaya pengurangan emisi justru lebih banyak dilakukan oleh negara berkembang. Padahal secara historis, negara maju-lah yang memiliki tanggung jawab tersebut. Selain itu, negara maju juga dianggap lebih mampu dalam menurunkan emisi domestiknya dikarenakan dukungan kuat faktor finansial dan kemajuan iptek. 47 Baseline merupakan salah satu konsep dasar yang digunakan dalam offset carbon trading. Konsep Baseline menjelaskan skenario/ kondisi yang ada jika suatu proyek karbon tidak dilaksanakan. Baseline juga dikenal dengan keadaan bussiness as usual. Mekanisme perdagangan karbon yang berbasis pasar juga memiliki dua jenis pasar karbon yang berjalan hingga saat ini, diantaranya: a. Pasar karbon wajib (compliance/ mandatory market) Pasar karbon ini terbentuk diatur oleh peraturan penurunan emisi karbon baik bersifat nasional, regional, maupun internasional. Adapun beberapa contoh pasar karbon ini dengan sistem cap and trade yaitu perdagangan emisi dibawah Protokol Kyoto, Skema Perdagangan Emisi Uni Eropa (EU ETS), New South Wales GHG Abatement Scheme, Western Climate Initiative. Sedangkan pasar karbon berbasis proyek dalam sistem cap and trade adalah CDM, JI, dan The EU-ETS linking Directive. b. Pasar karbon sukarela (voluntary carbon market) Pasar ini terbentuk karena adanya upaya korporasi dan masyarakat di negara maju untuk mengurangi emisi karbon yang dihasilkannya. Pasar karbon ini juga memungkinkan negara, perusahaan, NGO, ataupun orang per orang untuk berperan dalam mengurangi emisi dunia dengan membeli offset karbon. Dalam pasar karbon ini tidak terdapat aturan maupun regulasi. 3. Mekanisme Carbon Trading dalam UNFCCC Protokol Kyoto (Hasil dari COP ke-3 UNFCCC di Kyoto, Jepang) yang merupakan petunjuk teknis dan mengikat hukum negara-negara yang meratifikasinya, menyediakan tiga mekanisme fleksibel penurunan emisi, sebagai berikut: a. Emission Trading (Perdagangan Emisi) Mekanisme perdagangan karbon ini berlangsung dengan sistem cap and trade. Mekanisme ini diatur dalam pasal 17 Protokol Kyoto. Mekanisme perdagangan karbon ini hanya berlangsung antarnegara maju yang telah dibatasi jumlah emisinya. Satuan emisi yang diperdagangkan disebut AAUs48. b. Joint Implementation (Implementasi Bersama) Mekanisme perdagangan karbon ini diatur dalam pasal 6 Protokol Kyoto. Seperti dengan emission trading, mekanisme ini hanya boleh digunakan dalam perdagangan karbon antarnegara maju. Melalui mekanisme ini, negara industri (Annex I) yang ditarget penurunan emisinya diperbolehkan untuk mendapatkan sertifikat satuan penurunan emisi yang disebut ERU (emission reduction unit). ERU ini didapatkan dari proyek penurunan atau penyerapan emisi di negara Annex I lain yang juga ditarget penurunan emisinya. Agus Sari, “Pasar Karbon dan Potensinya di Indonesia”, Jurnal Prisma, Volume 29, Nomor 2, April 2010, hal. 9 48 c. Clean Development Mechanism (Mekanisme Pembangunan Bersih) Mekanisme pembangunan bersih merupakan satu-satunya mekanisme yang memperbolehkan terjadinya perdagangan karbon antarnegara maju dan berkembang diantara tiga mekanisme yang diatur dalam Protokol Kyoto. Melalui mekanisme ini negara yang dibebani target penurunan emisi dibawah komitmen Protokol Kyoto bisa mengimplementasikan target tersebut dalam kegiatan penurunan emisi di negara berkembang. Adapun sertifikat karbon yang diterbitkan disebut Certified Emission Reduction (CER). Selain ketiga mekanisme fleksibel diatas yang telah diatur dalam Protokol Kyoto periode komitmen pertama (2008-2012), dalam perjalanan negosiasi internasional UNFCCC, muncul satu konsep yang dikenal dengan REDD/ REDD+. Konsep ini berawal dari pengajuan proposal yang diajukan oleh negara Papua Nugini dan Kosta Rika dalam forum negosiasi UNFCCC yaitu COP XI di Montreal, Kanada tahun 2005. Ditinjau secara historis, konsep REDD lahir diperkuat dengan munculnya laporan IV IPCC (2007)49, yang menyatakan sekitar 1,6 miliar ton gas karbon dioksida yang dilepaskan tiap tahunnya ke atmosfer akibat perubahan tata guna lahan, sebagian besarnya disumbangkan oleh deforestasi. Jumlah ini merupakan seperlima dari jumlah emisi global. 49 Mumu Muhajir, 2010, REDD di Indonesia, Ke mana Akan Melangkah?, Jakarta: Penerbit HuMa, hal. 4 Dengan munculnya hasil laporan ini, memperkuat dan mengharuskan konsep “avoided deforestation” menjadi pembahasan dalam forum negosiasi UNFCCC. Istilah REDD kemudian menjadi salah satu poin pembahasan yang terus diperbincangkan dalam forum negosiasi UNFCCC setelah Bali Action Plan diadopsi sebagai hasil COP XIII di Bali tahun 2007. Dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. 30 tahun 2009, REDD adalah50 “Semua upaya pengelolaan hutan dalam rangka pencegahan dan atau pengurangan penurunan kuantitas tutupan hutan dan stok karbon yang dilakukan melalui berbagai kegiatan untuk mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan.” Selanjutnya, dalam perkembangan forum negosiasi UNFCCC, penamaan REDD terus mengalami perkembangan. Pada awalnya REDD, hanya menyangkut pencegahan deforestasi dan degradasi hutan di negara berkembang, namun akhirnya dalam COP XIII di Bali diperkuat di COP XIV di Poznan, penamaan REDD ditambah dengan akhiran symbol “+” (baca: plus). Definisi REDD+ ini menurut Bali Action Plan atau keputusan COP 13 no.1 tahun 200751 adalah “kegiatan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD), peran konservasi, pengelolaan hutan secara lestari, dan peningkatan stok karbon hutan.” 50 BPPK Kemlu RI, op.cit., hal.2 51 Nur Masripatin, op. cit., hal.67 Secara sederhana, perjalanan negosiasi REDD+ dan perubahan iklim dalam forum negosiasi UNFCCC dapat dilihat melalui gambar52 berikut: Gambar 2.1. Peta Perjalanan Negosiasi REDD+ dan Perubahan Iklim Sumber: Doddy S. Sukardi, DNPI Dari gambar di atas, dapat dilihat bahwa perjalanan negosiasi perubahan iklim dan REDD+ telah dimulai sejak terbentuknya UNFCCC tahun 1992. Perjalanan negosiasi UNFCCC melalui forum COP yang diadakan tiap tahunnya, barulah konsep avoided deforestation diperbincangkan hingga lahirlah inisiatif RED, kemudian berkembang menjadi REDD, hingga akhirnya menjadi REDD+. Pada COP tahun 2010, melalui Cancun Agreement, fase-fase pelaksanaan REDD+ ini dijabarkan. Adapun fase-fase REDD+ dapat dilihat melalui tabel berikut53: Presentasi Doddy S. Sukardi, DNPI, “Koordinasi Kelembagaan dan Kebijakan REDD+”, disampaikan dalam rangka Pelatihan Mekanisme Pembayaran REDD+ pada 21 Desember 2011 di Hotel Grand USSU, Cisarua 53 Presentasi Hadi Daryanto, Sekjen Kementerian Kehutanan, “Kemajuan dan Keberlanjutan Demonstrative Activities REDD+ di Provinsi: Komunikasi Publik dengan Tokoh Agama tentang REDD+” pada 15 Juni 2011, Balitbang Kemenhut dan UN-REDD 52 Tabel 2.1. Fase-fase Pelaksanaan REDD+ dalam Cancun Agreement Fase I Fase II Fase III Fase IV Pengembangan Strategi Nasional REDD+ Membangun Kelembagan REDD+ yang sejalan dengan Perkembangan Negosiasi REDD+ Mengembangkan Metodologi REDD+ di Indonesia diantaranya Penetapan REL dan MRV serta Mekanisme Pendanaan dan Distribusi Manfaat Menetapkan Provinsi Prioritas Pelaksanaan REDD+ dan Mendorong Result-based Demonstration Activities Sumber: Diolah dari Hadi Daryanto, Kementerian Kehutanan Skema REDD+, dari sisi negara berkembang, menjadi skema kedua setelah CDM yang memberikan tugas bagi negara berkembang untuk melakukan upaya mitigasi perubahan iklim. Secara historis, upaya mitigasi ini merupakan tanggung jawab negara industri maju yang sejak revolusi industri telah menyumbangkan peningkatan emisi di atmosfer. Dalam pelaksanaan REDD+ ini negara maju memberikan kompensasi atau bantuan insentif dana bagi negara berkembang (dalam hal ini negara pemilik hutan tropis) yang mampu menjaga hutannya. Jika ditinjau dari konsep REDD+ ini, ide dasarnya 54 adalah negaranegara utara membayar negara-negara selatan untuk mengurangi penggundulan hutan dalam wilayah negara mereka. Salah satunya dengan memberikan bantuan keuangan dengan kepentingan tersebut. Penafsiran lain yaitu negara-negara selatan dibawah sistem global perdagangan Tom Griffiths, Juni 2007, “RED”: AWAS? “Pencegahan Deforestasi” dan Hak-hak Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal, diterjemahkan oleh Ima Susilowati, Forest Peoples Programme, hal. 3 54 karbon, menjual stok akrbon yang tersimpan di hutannya kepada negaranegara utara sehingga industri-industri di utara masih tetap dapat mengemisi, dikarenakan telah memberikan kompensasi. Sampai saat ini, sebenarnya skema REDD+ masih dalam tahap negosiasi COP untuk menentukan seperti apa aspek teknis atau metodologis, serta mekanisme pendanaan ke depan ketika inisiatif ini diadopsi pasca 2012 (berakhirnya periode Protokol Kyoto komitmen I) sebagai mekanisme wajib bagi negara pihak dalam kesepakatan UNFCCC. Dengan demikian, jika terdapat perdagangan karbon dengan skema REDD+ ini, itu melalui pasar sukarela. UCS (2008) memperkirakan akan ada tiga macam pendekatan pendanaan REDD+55, yakni: a. Direct Carbon Market, perusahaan di negara annex I membeli kredit REDD+ untuk emissions allowance dalam sistem cap and trade di negaranya. Dengan REDD+, perusahaan ini diperbolehkan mengemisi lebih dari kuota di dalam negaranya dan dikompensasi dengan pencegahan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di negara berkembang. b. Market Linked. Pendekatan ini menciptakan pendanaan melalui pelelangan pendapatan atau alokasi allowance untuk REDD+ dari sistem cap and trade. Nur Masripatin, “Apa itu REDD?: Working Group on Forest Land Tenure” dalam Warta Tenure, Nomor 6, September 2008, hal. 7 55 c. Voluntary. Pendanaan sukarela yang berasal dari individu atau negara serta tidak dikaitkan dengan sistem cap and trade di negaranya. Selanjutnya, dalam negosiasi UNFCCC sendiri, berkembang dua usulan mekanisme pendanaan untuk REDD+56, yaitu: a. Public Fund; Melalui mekanisme ini pendanaan bersumber dari dana publik yng dikumpulkan dari berbagai negara melalui proses tertentu oleh suatu institusi dalam UNFCCC. Dana tersebut dialokasikan kepada negara-negara pemilik hutan melalui syarat-syarat tertentu. Relasi pendanaan ini bersifat G to G (Government to Government). Skema ini diusulkan Brasil dan sebagian besar didukung oleh negara-negara Amerika Latin. Dana melalui mekanisme ini akan diatur oleh pemerintah dan dialokasikan kepada komunitas yang merupakan pemilik hutan serta mengau pada daftar prioritas kepentingan dalam negeri. b. Pendanaan melalui mekanisme pasar; Skema pendanaan ini diusulkan oleh Bank Dunia dan sebagian besar negara maju. Muncul anggapan skeptis bahwa penggalangan dana publik akan mampu memenuhi target jumlah dana yang diperlukan agar skema REDD+ bisa efektif. Tata kelola pemerintahan negar berkembang yang masih buruk juga menjadi alasan untuk 56 Mumu Muhajir, op. cit.,hal. 83 memindahkan peran negara ke swasta. Dari segi akumulasi dana, pasar memiliki peluang tak terbatas untuk memenuhi kebutuhan pendanaan. Selain itu, menurut negara maju, skema ini akan menguntungkan lebih banyak pihak, utamanya swasta. Relasi pendanaannya bersifat P to P (Private to Private). B. Bantuan Luar Negeri 1. Konsep Dasar Bantuan Luar Negeri Bantuan luar negeri dalam sejarah hubungan internasional mulai terlihat pada fenomena pemberian bantuan ekonomi yang dilakukan oleh Amerika Serikat pasca Perang Dunia II. Fenomena bantuan luar negeri yang utama dimasa itu adalah bantuan luar negeri Amerika Serikat kepada Eropa barat melalui program Marshall Plan57. Pemberian bantuan luar negeri ini diharapkan mampu menciptakan pasar bagi produk Amerika Serikat dan membantu Eropa dalam menghadapi ancaman komunis. Selanjutnya, dua dekade pasca Perang Dunia II, ditandai dengan banyaknya negara merdeka dari jajahan Eropa, khususnya di Asia dan Afrika, Amerika Serikat kembali memberikan bantuan luar negeri bagi negara-negara di kawasan tersebut. Bantuan ini diberikan utamanya bagi negara-negara yang telah siap dengan rencana pembangunannya. Inilah 57 Marshall Plan merupakan program bantuan luar negeri AS kepada Eropa barat yang bertujuan untuk merehabilitasi kehancuran negara-negara di kawasan tersebut akibat Perang Dunia II baik disektor sosial, ekonomi, maupun infrastruktur politik masyarakat. yang menjadi titik awal pemberian bantuan luar negeri negara maju kepada negara berkembang. Tentunya, pemberian bantuan luar negeri oleh negara donor seperti Amerika Serikat memiliki motivasi atau tujuan tersendiri. Seperti yang dikemukakan oleh Edward S. Mason bahwa “bantuan luar negeri merupakan instrumen kebijakan luar negeri dari suatu negara.”58 Hal ini berarti setiap bantuan luar negeri oleh negara donor perlu diwaspadai karena terdapat tujuan tertentu negara ini yang ingin dicapai pada negara penerima. Tidak hanya itu, dalam perspektif Neo Marxis atau radikal melihat bantuan luar negeri sebagai alat imperialisme dan kontrol sosial yang ditujukan untuk menghancurkan kebebasan negara-negara berkembang. Selain itu, bantuan luar negeri dinilai memiliki arti strategis untuk mempengaruhi kebijakan nasional negara penerima bantuan. Motivasi-motivasi lain negara donor dalam pemberian bantuan luar negeri selain pandangan neo-marxis di atas, terdapat pandangan lain, diantaranya59: a. Motif kemanusiaan yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan di negara dunia ketiga melalui dukungan kerjasama ekonomi; 58 Edward S. Mason, 1964, Foreign Aid Policy, New York: Harper & Row Publishers, hal. 8 59 Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani, September 2006, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, hal. 84 b. Motif politik, bertujuan untuk meningkatkan image negara donor; c. Motif keamanan nasional, mendasarkan pada asumsi bahwa bantuan luar negeri dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang akan mendorong stabilitas politik dan keuntungan pada kepentingan negara donor. Dengan kata lain, motif keamanan memiliki sisi ekonomi; d. Motif yang berkaitan dengan kepentingan nasional negara donor. Selanjutnya dalam melihat bantuan luar negeri, Pearson dan Payasilian mengemukakan empat teori60, yaitu: a. Aliran realis menyatakan tujuan utama bantuan luar negeri bukan untuk menunjukkan idealisme abstrak aspirasi kemanusiaan tetapi untuk proyeksi power nasional. Bantuan luar negeri merupakan komponen penting bagi kebijakan keamanan internasional; b. Aliran moralis atau idealis menyatakan bantuan luar negeri secara esensial merupakan gerakan kemanusiaan yang menunjukkan nilai-nilai kemanusiaan internasional. Aliran moralis menyatakan negara-negara yang lebih kaya memiliki tanggung jawab moral kepada negara miskin. Berangkat dari hal tersebut, aliran moralis menyatakan bantuan luar negeri 60 Ibid., hal. 81-82 mendorong dukungan yang saling menguntungkan sejalan dengan pembangunan ekonomi dan hak asasi manusia, hukum dan ketertiban internasional. c. Teori bureaucratic incrementalist menyatakan bantuan luar negeri sebagai kebijakan publik, produk dari politik domestik yang melibatkan opini publik, kelompok kepentingan, dan institusi pemerintah yang secara langsung terlibat dalam proses pembuatan kebijakan yang mempromosikan kepentingan nasional melalui agenda politik. d. Teori ketergantungan (dependensia) menyatakan bantuan luar negeri digunakan negara kaya untuk mempengaruhi hubungan domestik dan luar negeri negara penerima bantuan, merangkul elit politik lokalnya untuk tujuan komersil dan keamanan nasional. Selanjutnya, melalui jaringan internasional, keuangan internasional dan struktur produksi, bantuan luar negeri ada untuk mengeksploitasi sumber daya alam negara penerima bantuan. Yang pada akhirnya bantuan luar negeri dapat digunakan sebagai instrumen untuk perlindungan dan ekspansi negara kaya ke negara miskin untuk mengekalkan sistem ketergantungan. Lain halnya dengan OECD61, melalui DAC62, mendefinisikan bantuan luar negeri sebagai bantuan pembangunan secara resmi yang terdiri dari dana yang disediakan oleh pemerintah atas persyaratan konsensional terutama digunakan untuk kesejahteraan negara berkembang. Dalam bantuan luar negeri, berlangsung pola hubungan donor dan negara penerima untuk pengelolaan bantuan. Dikarenakan aliran bantuan luar negeri terus meningkat, menjadi keharusan dalam pengelolaan bantuan agar transparan, dapat dipertanggungjawabkan, dan dikelola efektif antara keduabelah pihak. Berdasar dari hal ini, lahirlah Paris Declaration on Aid Effectiveness sebagai komitmen global antara donor dan negara penerima untuk mengelola bantuan luar negeri. Pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip kepemilikan (ownership), keselarasan (alignment), harmonisasi (harmonization), dan berorientasi pada pengelolaan dengan hasil yang terukur (managing for result), serta pertanggungjawaban bersama (mutual accountability).63 61 Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) merupakan wadah perkumpulan negara-negara maju untuk menyalurkan bantuan pembangunan kepada negara berkembang. Organisasi ini berdiri pada tahun 1961 dan berkedudukan di Paris. 62 Development Assistance Committee (DAC) merupakan salah satu panitia dari OECD yang bertugas merumuskan segala sesuatu yang berkaitan dengan bantuan luar negeri kepada negara berkembang. Definisi mengenai bantuan luar negeri diatas perumusannya dihasilkan pada tahun 1971 oleh DAC. 63 Endah Bayu Purnawati, “Tinjauan terhadap Upaya Pengefektifan Bantuan Luar Negeri di Indonesia”, dalam Analisis CSIS, Volume 40, Nomor 4, Desember 2011, hal. 567 2. Jenis-jenis dan Pengelompokan Bantuan Luar Negeri Dalam interaksi internasional, bantuan luar negeri dapat juga berupa pinjaman luar negeri. Pinjaman luar negeri juga biasa disebut utang luar negeri. Pinjaman luar negeri merupakan bentuk bantuan luar negeri yang harus dikembalikan dan dibayar kembali beserta bunga pinjaman dalam jangka waktu tertentu. Bantuan luar negeri juga dapat berupa hibah. Holsti mengelompokkan program bantuan luar negeri dalam empat jenis64 diantaranya bantuan teknik, bantuan militer, Grant dan program komoditi impor, serta pinjaman pembangunan. Bantuan luar negeri seperti yang penulis sebutkan sebelumnya, dapat berupa pinjaman atau utang, juga memiliki banyak jenis dan pengelompokan seperti: a. Berdasarkan persyaratan pinjaman65 i. Pinjaman lunak (concessional loan) Pinjaman ini berasal dari lembaga multilateral dan negara bilateral dengan tujuan untuk peningkatan pembangunan. Tingkat suku bunga rendah (maksimal 3%), jangka waktu pengembalian minimal 25 tahun 64 K. J. Holsti, 1995, Politik Internasional: Kerangka Analisis, New Jersey: Prantice Hall, hal. 182 65 Diana Yumanita, dkk, 2001, Profil Pinjaman Luar Negeri Indonesia dan Permasalahannya, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank Indonesia dengan masa tenggang 8 tahun, mengandung hibah (grant element) di atas 25% dari total pinjaman.66 ii. Pinjaman setengah lunak (semi-concessional loan) Pinjaman ini memiliki persyaratan pinjaman sebagian lunak dan komersil. Contohnya adalah fasilitas kredit ekspor dan purchasing installment sales agreement (PISA). iii. Pinjaman komersial (commercial loan) Pinjaman yang sumbernya dari bank atau lembaga keuangan dengan persyaratan yang berlaku di pasar internasional. Pinjaman atau utang diterima berupa dana (berbentuk uang), barang, dan jasa (berbentuk technical assistance). Adapun data utang luar negeri ini ada tiga jenis yakni: a. Long term debt outstanding (DO), penjumlahan utang yang telah dan belum dicairkan dengan melihat posisi total obligasi eksternal negara peminjam pada akhir tahun; b. Long term disbursement (DD), yaitu utang luar negeri yang telah dicairkan berdasarkan komitmen yang disepakati kreditor dan debitor; c. Long term net transfer on debt (DT), selisih antara neto67 dan bungan yang dibayarkan oleh negara pengutang. 66 Syarat kategori pinjaman lunak ini berdasarkan ketentuan pemberian bantuan luar negeri melalui mekanisme dana pembangunan resmi. Syarat konsensional ini diatur dalam New DAC Term. PP No. 2 tahun 2006 mengenai struktur komponen pinjaman dari pemerintah Indonesia terdiri atas: a. Pinjaman komersil Pinjaman luar negeri pemerintah yang diperoleh dengan persyaratan di pasar dan tanpa adanya penjaminan dari lembaga penjamin kredit ekspor. b. Fasilitas kredit ekspor Berupa pinjaman komersial yang diberikan oleh lembaga keungan atau non-keuangan di negara pengekspor dengan jaminan dari lembaga penjamin kredit ekspor. Fasilitas ini biasanya digunakan untuk pembelian senjata di luar negeri. c. Komponen pinjaman lunak Pinjaman yang masuk kategori ODA loan atau concessional loan, berasal dari negara atau lembaga multilateral dengan tujuan pembangunan ekonomi atau peningkatan kesejahteraan sosial negara penerima. d. Pinjaman program merupakan pinjaman luar negeri dalam valuta asing yang dapat dirupiahkan dan digunakan untuk pembiayaan APBN. e. Pinjaman proyek merupakan pinjaman luar negeri yang digunakan untuk membiayai kegiatan pembangunan tertentu. 67 Neto yang dimaksud penulis adalah selisih antara utang yang telah dicairkan dan pembayaran cicilan pokok Lebih jelasnya, ketentuan mengenai persyaratan pinjaman (term and conditions) penggunaan ODA baik bersifat bilateral maupun multilateral di Indonesia didasarkan pada Inpres No. 8 tahun 1984 tentang Penggunaan Kredit Ekspor Luar Negeri yang disempurnakan melalui PP No. 2 tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/ atau Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/ Hibah Luar Negeri. Yang dapat diklasifikasikan pinjaman lunak harus memenuhi unsur-unsur: a. Jangka waktu pengembalian utang 25 tahun atau lebih; b. Masa tenggang (grace period) pembayaran pokok pinjaman selama tujuh sampai sepuluh tahun; c. Tingkat bunga pinjaman berkisar dua sampai tiga persen; d. Dalam pinjaman yang diberikan terdapat unsur hibah (grant element) sebesar 35%. Bentuk bantuan luar negeri yang lain yaitu pemberian atau hibah (grant). Hibah juga memiliki pengelompokan seperti68: a. Hibah menurut skema atau bentuknya 1. Hibah dalam bentuk cash Hibah ini sangat terbatas dan diberikan kepada negara sangat miskin (pendapatan per kapita per tahun kurang dari USD 200). 2. Hibah berbentuk barang dan jasa dalam rangka bantuan proyek atau kerja sama keuangan Kurniawan Ariadi, “Hibah Luar Negeri, APBN, dan Grant Trap”, Majalah Perencanaan Pembangunan, Edisi 23, 2001, hal. 4-7 68 i. Hibah berbentuk barang dan jasa yang berdiri sendiri; Hibah dalam skema ini sama dengan pinjaman luar negeri untuk proyek pembangunan. Sumber dananya tidak perlu dikembalikan. ii. Hibah berbentuk barang dan jasa untuk mendukung atau sebagai bagian project assistance yang dibiayai pinjaman; Hibah seperti ini berupa dana dan diberikan bersama dengan pinjaman untuk pembiayaan suatu proyek pengadaan barang dan jasa. 3. Hibah dalam rangka bantuan atau kerja sama teknik i. Hibah untuk mendukung proyek-proyek yang dibiayai pinjaman Hibah bentuk ini umumnya berupa studi untuk persiapan, apparsial ataupun monitoring proyek-proyek pengadaan barang dan jasa yang dibiayai pinjaman. Pihak pemberi dana menyediakan tenaga ahli dan membiayai seluruh kegiatan yang dilakukan tenaga ahli. Penerima hibah hanya memfasilitasi kegiatan tenaga ahli dan menerima hasil studi, apparsial ataupun monitoring. ii. Hibah dalam rangka technical assistance yang berdiri sendiri Hibah dalam skema ini pada dasarnya berupa penyediaan tenaga ahli dan atau konsultan untuk melaksanakan suatu proyek atau kegiatan tertentu. iii. Beasiswa dan pelatihan 4. Hibah dalam rangka kemanusiaan Hibah ini sifatnya lebih pada bantuan darurat. Perwakilan negara donor umumnya memiliki alokasi dana khusus untuk bantuan-bantuan kemanusiaan. b. Hibah menurut peruntukan dan penyalurannya 1. Hibah untuk pemerintah 2. Hibah untuk non-pemerintah 3. Trust fund dan partnership Trust fund adalah suatu mekanisme dimana beberapa donor (umumnya bilateral) menyalurkan hibahnya melalui satu donor lembaga multilateral (internasional atau regional) yang bertindak sebagai pengelola seperti UNDP dan Uni Eropa. Hibah baik berupa dana maupun tenaga ahli dipercayakan oleh pemberi hibah kepada lembaga pengelola untuk membiayai atau mendukung program yang telah disusun oleh lembaga bersangkutan. Dana dan tenaga ahli ini bekerja dibawah naungan lembaga pengelola. Trust fund jug memiliki jenis-jenis diantaranya69: a. Endowment Fund (Dana Abadi); Dana yang diserahkan untuk dikelola secara abadi, tanpa batasan waktu. Dana yang bisa digunakan adalah dana hasil investasi dari dana abadi tersebut. b. Revolving Fund (Dana Bergulir); Dana yang diserahkan untuk dikelola secara bergulir . Umumnya digunakan untuk pinjaman atau modal usaha. c. Sinking Fund (Dana Menurun); Dana yang diserahkan untuk dikelola bagi pengelolaan program dan diamanatkan untuk digunakan sesuai dengan anggaran yang disepakati. Dana diharapkan diserap habis. d. Mixed Trust Fund; Kombinasi antara tiga bentuk trust fund di atas. Dengan menggunakan model trust fund, beberapa bentuk program atau proyek bantuan luar negeri berusaha menyederhanakan prosedur dan implementasi kegiatan. Keuntungan yang diperoleh dengan model ini adalah dari segi kecepatan pembiayaan program tanpa perlu mengikuti prosedur birokrasi. 69 Presentasi Basah Hernowo, Direktur Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air, Bappenas, “Peran Lembaga Trust Fund dalam REDD+” disampaikan dalam Workshop Pendanaan dan Mekanisme Distribusi Insentif REDD+ pada 28 April 2011 di Jakarta Selain itu, pemerintah selaku pengelola kegiatan cukup membuat satu laporan pertanggungjawaban dalam format yang telah disepakati, meskipun terdapat lebih dari satu donor yang terlibat. Selain pengelompokan jenis hibah di atas, umumnya jenis-jenis hibah yang dapat diterima di Indonesia yaitu: a. Donasi atau hibah bebas yaitu secara sukarela tanpa persyaratan apapun; b. Hibah dengan syarat (techincal assistance) yaitu bantuan yang tidak perlu dibayar kembali namun dalam pelaksanaannya menuntut persyaratan yang dituangkan dalam kesepakatan; c. Hibah bagian dari pinjaman adalah komponen hibah dari suatu proyek yang sebagian pendanaannya berasal dari pinjaman. C. Perjanjian Internasional 1. Konsep Dasar Perjanjian Internasional Dalam ilmu hubungan internasional, interkasi antaraktor atau pelaku hubungan internasional terikat oleh suatu hukum internasional. Aktor atau pelaku hubungan internasional dalam hukum internasional disebut subjek hukum internasional.70 Apabila subjek-subjek hukum internasional ini dalam interaksinya melakukan suatu perjanjian, inilah 70 Subjek hukum internasional adalah orang atau lembaga yang dianggap mampu melakukan perbuatan atau tindakan hukum yang diatur dalam hukum internasional dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum internasional atas perbuatannya tersebut. Subjek hukum internasional seperti negara, organisasi internasional, pihak yang bersengketa, perusahaan internasional, tahta suci, dan individu. disebut perjanjian internasional. Perjanjian internasional pada hakekatnya merupakan suatu persetujuan atau agreement. Dalam perjanjian internasional terdapat istilah subjek dan obyek. Yang dimaksud subjek perjanjian internasional adalah semua subjek hukum internasional. Sedangkan yang dimaksud dengan objek hukum internasional adalah semua kepentingan yang menyangkut kehidupan masyarakat internasional, terutama kepentingan ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Definisi perjanjian internasional pun dalam literatur hukum perjanjian internasional memiliki banyak definisi, diantaranya: a. Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional71 “An International Agreement concluded between States and International Organizations in written form and governed by International Law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation.” (Perjanjian internasional mencakup suatu perjanjian yang dibuat antara satu atau lebih negara dan organisasi internasional dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, yang bertujuan untuk mengadakan akibat-akibat hukum tertentu) b. G. Schwarzenberger72 “Treaties are agreements between subject of International Law creating binding obligations in International Law. They may be bilateral (i.e. concluded between contracting parties) or multilateral (i.e. concluded more than contracting parties).” (Perjanjian internasional diartikan sebagai suatu persetujuan antara subjek-subjek hukum internasional yang menimbulkan kewajiban-kewajiban yang mengikat dalam hukum internasional. Persetujuan tersebut dapat berbentuk bilateral maupun multilateral.) 71 Damos Dumali Agusman, loc. cit. 72 Rosmi Hasibuan, loc. cit. c. Oppenheim-Lauterpacht “International treaties are agreements of contractual charter between states, creating legal rights and obligations between the parties”.73 (Perjanjian adalah suatu persetujuan antar negara, yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak-pihak.) d. Mochtar Kusumaatmadja74 “Perjanjian internasional adalah suatu perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa yang bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu”. Dari beberapa definisi di atas mengenai perjanjian internasional, penulis menyimpulkan perjanjian internasional adalah perjanjian yang dilakukan antara subjek hukum internasional, yang menimbulkan suatu hak dan kewajiban yang mengikat diantaranya dan diatur oleh hukum internasional. 2. Jenis-jenis dan Pengelompokan Perjanjian Internasional Perjanjian internasional merupakan sumber formal hukum internasional. Perjanjian internasional pun memiliki banyak jenis, sebagai berikut: a. Berdasarkan proses atau tahapan pembuatannya i. perjanjian bersifat penting yang dibuat melalui proses perundingan, penandatanganan, dan ratifikasi. ii. perjanjian sederhana yang dibuat melalui dua tahap yakni perundingan dan penandatanganan. 73 Muhammad Ashri, loc. cit. 74 Mochtar Kusumaatmadja, April 1999, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta: Penerbit Putra A.Bardin, hal. 84 b. Berdasarkan pihak-pihak yang terlibat i. perjanjian bilateral, adalah perjanjian yang diadakan oleh dua pihak. Perjanjian ini bersifat khusus (treaty contract) karena hanya menyangkut kepentingan dua negara saja. Bersifat tertutup, yaitu menutup kemungkinan pihak lain untuk ikut dalam perjanjian. ii. perjanjian multilateral, adalah perjanjian yang diadakan oleh banyak pihak, tidak hanya mengatur kepentingan pihak yang terlibat dalam perjanjian, tetapi juga menyangkut kepentingan umum. Bersifat terbuka yaitu memberi kesempatan bagi negara lain untuk ikut serta dalam perjanjian itu. c. Berdasarkan fungsinya i. Law making treaties, adalah suatu perjanjian yang meletakkan ketentuan-ketentuan umum bagi masyarakat internasional secara keseluruhan (bersifat multilateral). ii. Treaty contract atau perjanjian yang bersifat khusus, adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban dan hanya mengikat bagi negara-negara yang mengadakan perjanjian saja (bersifat bilateral). Kedudukan perjanjian dianggap sangat penting karena lebih menjamin kepastian hukum, diadakan secara tertulis, dan mengatur kepentingan bersama diantara para subjek hukum internasional. Dalam perjanjian internasional terdapat beberapa istilah yang digunakan, antara lain: a. Memorandum of understanding (MoU) adalah perjanjian internasional yang berisi komitemn umum terhadap semua bidang/ permasalahan . MoU juga megatur petunjuk teknis operasional suatu perjanjian induk. Jenis perjanjian ini umumnya langsung berlaku setelah penandatanganan, tanpa melalui proses pengesahan. b. Treaty (traktat), adalah perjanjian yang paling formal dan merupakan persetujuan dua negara atau lebih. c. Convention (konvensi), adalah persetujuan formal yang bersifat multilateral dan melibatkan sejumlah besar negara sebagai peserta perjanjian. Kovensi umumnya bersifat terbuka bagi masyarakat internasional untuk berpartisipasi sebagai pihak. d. Agreement (persetujuan), adalah perjanjian yang bersifat teknis dan administratif. Sifatnya tidak seresmi traktat dan konvensi, sehingga diratifikasi. e. Charter, adalah suatu istilah yang digunakan dalam perjanjian internasional untuk pendirian badan yang melakukan fungsi administratif seperti organisasi internasional. f. Protocol (protokol), suatu dikumen pelengkap instrumen perjanjian internasional yang mengatur masalah-masalah tambahan seperti penafsiran klausul-klausul tertentu. Penggunaan protokol dibagi dalam berbagai bentuk75, yaitu: i. Protocol of signature, merupakan perangkat tambahan suatu perjanjian internasional yang dibuat oleh pihak yang sama dalam perjanjian. ii. Optional protocol dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi beberapa negara pihak pada perjanjian dalam membentuk pengaturan lebih jauh dari perjanjian induk tanpa memerlukan persetujuan seluruh negara pihak. Additional protocol dibuat untuk melengkapi dan menambah ketentuan baru bagi perjanjian induk. iii. Protocol based on a framework treaty, perangkat yang mengatur kewajiban khusus dalam melaksanakan perjanjian induk. Protokol ini umumnya dibuat untuk menjamin proses pembuatan perjanjian agar berlangsung lebih cepat dan sederhana, khususnya yang berkaitan dengan hukum lingkungan. iv. Protocol untuk mengubah beberapa perjanjian internasional v. Protocol sebagai pelengkap perjanjian sebelumnya. 75 Muhammad Ashri, op.cit., hal.16 g. Declaration adalah perjanjian yang berisi ketentuan umum dimana pihak pada deklarasi tersebut berjanji untuk melakukan kebijaksanaan tertentu di masa yang akan datang. h. Final Act (ketentuan penutup), adalah suatu ringkasan hasil konvensi yang menyebutkan negara peserta, nama utusan yang turut diundang, serta masalah yang disetujui konvensi. i. Exchange of Notes, adalah perjanjian internasional yang bersifat umum dan dilakukan dengan bertukar dua dokumen yang ditandatangani oleh kedua belah pihak pada masingmasing dokumen. j. Letter of Intent, adalah suatu kesepakatan yang berisikan komitmen para pihak untuk melakukan persetujuan dalam bidang tertentu di masa datang. Naskah ini biasanya dibuat dengan cara tidak resmi dan tidak memerlukan prosedur pengesahan. 3. Tahapan-tahapan Pembuatan Perjanjian Internasional Prosedur atau tahapan dalam pembuatan perjanjian internasional bergantung pada msing-masing negara berdasarkan konstitusi dan hukum kebiasaan yang berlaku di negaranya. Namun, dalam praktek berbagai negara umumnya melalui tahapan-tahapan berikut: a. Negotiation (Perundingan) Tahapan ini merupakan pembicaraan pendahuluan oleh pihak berkepentingan. Dalam perundingan internasional ini negara dapat diwakili oleh pejabat negara yang memiliki surat kuasa penuh (full powers/ credentials). Perundingan dalam rangka perjanjian internasional yang hanya melibatkan dua pihak (bilateral) disebut pembicaraan (talk) sedangkan dalam rangka perjanjian multilateral disebut konferensi diplomatik (diplomatic conference). Perundingan secara tidak resmi disebut corridor talk atau lobbying. b. Signature (Penandatanganan) Tahapan penandatanganan merupakan tahap penerimaan naskah (adoption of text) dan pengesahan bunyi naskah (authentication of text). Dalam praktek diplomatik fungsi tandatangan adalah memberikan persetujuan terhadap teks perjanjian dan belum merupakan suatu treaty yang mengikat negara yang bertanda tangan. Bila suatu negara yang telah ikut menandatangani suatu perjanjian tetapi belum meratifikasinya berarti negara tersebut secara yuridis belum merupakan peserta dalam perjanjian. Dalam hal ini, negara tersebut berkewajiban untuk tidak melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan objek dan tujuan perjanjian selama negara tersebut belum meratifikasi. c. Ratification (Ratifikasi) Dalam pasal 2 Konvensi Wina 1969, ratifikasi didefiniskan sebagai tindakan internasional dimana suatu negaar menyatakan kesediaannya atau melahirkan persetujuan untuk diikat oleh suatu perjanjian internasional. Oleh karena itu, ratifikasi tidak berlaku surut, melainkan mengikat sejak tanggal penandatanganan ratifikasi. Dalam arti internasional, ratifikasi adalah suatu kegiatan berupa pertukaran atau pentimpanan dokumen ratifikasi (nota ratifikasi), sejak tanggal pertukaran dokumen, yang kemudian melahirkan kewajiban-kewajiban internasional sebagai efek dari ratifikasi. Ratifikasi perjanjian internasional memiliki tiga sistem yaitu ratifikasi oleh badan eksekutif, ratifikasi oleh badan legislatif, dan ratifikasi campuran (eksekutif dan legislatif). Indonesia menganut sistem ratifikasi campuran.Dalam UU RI No. 24 tahun 2000, ratifikasi perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden. Ratifikasi di Indonesia dengan undang-undang harus mendapatkan persetujuan presiden dan DPR secara bersamasama. Ratifikasi mengisyaratkan dengan adanya keputusan persetujuan perjanjian internasional tersebut. presiden presiden hanya terhadap BAB III IMPLEMENTASI MEKANISME CARBON TRADING SKEMA REDD+ DI INDONESIA PERIODE 2008-2012 A. Gambaran Umum Kondisi Hutan Indonesia Indonesia memiliki luas wilayah daratan 187,8 juta hektar. Berdasarkan tutupan lahan atau hutannya, dari luas daratan tersebut tertutupi hutan (forest cover) seluas 100.740 juta hektar.76 Dari luas wilayah daratan itu juga, berdasarkan areal penggunaannya terbagi mnjadi kawasan hutan seluas 133,6 juta hektar (71 persen) dan areal penggunaan lain (APL) seluas 55,4 juta hektar (29 persen).77 Dengan luas hutan meliputi 71 persen, tentunya kerusakan hutan mengakibatkan gangguan yang cukup signifikan. Kawasan hutan terluas berada di Papua (42,2 juta hektar), Kalimantan (40,9 juta hektar), Sumatera (27,9 juta hektar), Sulawesi (12,5 juta hektar), dan sisanya tersebar di berbagai pulau lainnya.78 Berdasarkan fungsinya, hutan yang berada dalam kawasan hutan terbagi menjadi hutan produksi seluas 81,9 juta hektar, hutan lindung seluas 31,6 juta, dan hutan konservasi seluas 19,9 juta hektar.79 76 Draft Strategi Nasional REDD+, Bappenas, 2010, hal.11 77 Rancangan Strategi nasional REDD+ versi 18 November 2010, Bappenas, 2010, hal.34 78 Ibid. 79 Ibid. Data dari WRI (1997) menyebutkan hingga awal abad 21, Indonesia telah kehilangan 72% hutan asli.80 Penebangan hutan untuk industri (industrial logging) yang tidak terkontrol selama puluhan tahun telah menyebabkan berkurangnya hutan tropis dalam skala besar. Ini menjadi salah satu penyebab deforestasi81 hutan Indonesia. Laju deforestasi per tahun di Indonesia pun bervariasi dari periode tahun satu ke berikutnya. Data Ditjen Planologi Kehutanan (2010)82 mengemukakan, pada periode tahun 1990-1996, rata-rata laju deforestasi adalah 1,87 juta hektar. Laju ini terus meningkat dengan cepat pada periode 1996-2000 mencapai 3,51 juta hektar; salah satu angka kerusakan hutan tertinggi di dunia. Laju ini kemudian menurun sekitar83 1,08 juta hektar per tahun periode 2000-2003. Hasil perhitungan luas deforestasi menurut Kementerian Kehutanan (2008)84 diperoleh angka bahwa luas deforestasi seluruh daratan Indonesia selama periode 2000-2006 adalah 3,52 juta hektar atau dengan angka deforestasi tahunan rata-rata sebesar 1,17 juta hektar. Dari seluruh data tersebut, maka laju deforestasi di Indonesia dapat diproyeksi sekitar 1,1 juta hektar per tahun. Berry Nahdian Forqan, “Hutan Indonesia Diantara Pertarungan Global” dalam Jurnal Diplomasi, Volume 1, Nomor 3, Desember 2009, hal. 59 80 81 Menurut FAO, deforestasi adalah pengalihan hutan menjadi lahan dengan tujuan atau pengurangan tajuk pohon dibawah ambang batas minimum 10 persen untuk jangka panjang dengan tinggi pohon minimum 5 m dan areal minimum 0,5 hektar. 82 Bappenas, op. cit, hal.35 83 Bappenas, op. cit, hal.12 84 Bappenas, op. cit, hal.34 Sementara itu, degradasi85 secara rata-rata yang disebabkan oleh aktivitas logging adalah 0,626 juta hektar per tahun. Deforestasi hutan yang terjadi menjadi salah satu faktor peningkatan emisi gas rumah kaca, menurunkan keanekaragaman hayati dan sistem pendukung lainnya. Hutan yang dalam konteks perubahan iklim memiliki peran sebagai carbon sink (penyerap karbon), carbon storage (penyimpan karbon), dan carbon source (pengemisi karbon).86 Deforestasi dan degradasi hutan bisa meningkatkan source sedangkan aforestasi87, reforestasi88, dan kegiatan penanaman lainnya meningkatkan sink dan storage. Dalam kesepakatan UNFCCC, salah satu penyebab peningkatan emisi GRK adalah sektor LULUCF. Di Indonesia, berdasarkan data SNC89, kontribusi emisi dari perubahan tata guna lahan dan kehutanan sebesar 47 persen atau 0,65 85 Menurut FAO dan Submisi Indonesia ke sekretariat UNFCCC (Maret 2008) menyebutkan degradasi adalah perubahan di dalam hutan yang berdampak negatif terhadap struktur atau fungsi tegakan atau lahan hutan sehingga menurunkan kemampuan hutan dalam menyediakan jasa atau produk hutan. Dalam konteks REDD+, degradasi dapat diartikan sebagai penurunan stok karbon hutan. 86 Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim, Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI, November 2007, hal. 13 87 Menurut Marrakech Accord, aforestasi adalah aktivitas langsung yang dilakukan oleh manusia dalam mengubah area yang minimal selama 50 tahun bukan merupakan wilayah hutan menjadi hutan dengan tindakan-tindakan seperti penanaman, pembibitan, dan/atau aktivitas lainnya yang mempromosikan sumber-sumber pembibitan alam. 88 Reforestasi menurut Marrakech Accord adalah aktivitas langsung yang dilakukan oleh manusia dalam mengubah area bukan hutan menjadi area hutan melalui penanaman, pembibitan, dan/atau aktivitas lainnya yang mempromosikan sumber-sumber pembibitan alam, di area yang pada awalnya merupakan wilayah hutan namun mengalami perubahan menjadi wilayah bukan hutan. 89 SNC merupakan laporan yang wajib diberikan oleh setiap negara berkembang dan negara anggota UNFCCC (setelah meratifikasi) mengenai kondisi GRK nasionalnya, dampak dan upaya mitigasi yang dilakukan. Laporan ini diberikan kepada sekretariat UNFCCC. Gton CO2e90 dari total emisi nasional sebesar 1,36 Gton CO2e. Bila dimasukkan kebakaran lahan gambut, kontribusi LUCF bertambah menjadi sekitar 60 persen.91 Hasil studi IFCA (2007)92, kandungan karbon hutan Indonesia pada kisaran 8-339 ton/hektar atau 24-1017 ton CO2e per hektar. Pulau Sumatera menyumbangkan emisi (56 persen), Kalimantan (26 persen), Papua (7 persen), Sulawesi (4 persen), Maluku (2 persen). Berdasarkan data dari Departemen Kehutanan (2008)93 menyebutkan sumber emisi terbesar berasal dari hutan lahan kering (62 persen) disusul hutan rawa gambut (27 persen). Kenyataannya, hingga saat ini kondisi hutan Indonesia termasuk kategori mengkhawatirkan. Pada tahun 2008, kondisi kerusakan hutan Indonesia tercatat dalam rekor dunia sebagai negara dengan tingkat kerusakan hutan yang paling cepat diantara 44 negara paru-paru dunia.94 Berdasarkan hasil analisis FWI dan GFW, selama kurun waktu 50 tahun luas hutan Indonesia menyusut hingga lebih dari 40 persen.95 Padahal Indonesia adalah negara kedua dengan jumlah hutan tropis terluas setelah Brasil.96 Perkiraan WRI bahwa sebagian besar (74 persen) 90 CO2e atau CO2 ekuivalen merujuk pada tingkat konsentrasi berbagai macam gas rumah kaca secara komposit yang sepadan. Gas rumah kaca seperti karbon dioksida, gas metana. 91 Nur Masripatin, op. cit, hal. 64 92 Ibid. 93 Ibid. Hariyadi, 2010, “Peran Subnasional dalam Pengurangan Emisi GRK melalui Skema REDD,” dalam Poltak Partogi Nainggolan (ed.), Pemanasan Global dan Perubahan Iklim, Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI, hal. 10 94 95 Ibid. 96 Indonesia dan Perubahan Iklim: Status Terkini dan Kebijakannya, 2007, PEACE dan Department for International Development (DFID) Indonesia, hal. 13 emisi karbon sektor kehutanan Indonesia berasal dari kerusakan hutan dan pengalihan lahan (LUCF).97 B. Gambaran Umum Skema REDD+ Dalam kesepakatan UNFCCC disebutkan pengurangan emisi global ditargetkan akan mencapai 20-40 persen pada tahun 2012 dibandingkan dengan tahun 1990. Dari total target tersebut, 10 persen diharapkan akan dicapai melalui strategi REDD+.98 Indonesia merupakan salah satu negara pihak UNFCCC. Keanggotaan Indonesia sebagai negara pihak UNFCCC, negara yang meratifikasi konvensi UNFCCC, memiliki konsekuensi untuk ikut mencapai tujuan konvensi. Tujuan konvensi ini untuk menurunkan emisi global. Salah satunya emisi yang bersumber dari sektor kehutanan. Kemudian dalam negosiasi UNFCCC, REDD+ hadir sebagai suatu mekanisme internasional untuk menurunkan emisi global di sektor kehutanan. Meskipun REDD+ masih dalam tahap negosiasi dan belum menjadi suatu ketetapan yang diadopsi UNFCCC pasca 2012, mekanisme ini telah diujicobakan di beberapa negara pemilik hutan tropis termasuk Indonesia secara sukarela. Kesiapan implementasi di Indonesia pun harus mengikuti syarat keharusan. Ini bersumber baik dari mekanisme yang disepakati di tingkat internasional maupun situasi dan kondisi internal Indonesia. Indonesia melaksanakan REDD+ dengan pendekatan nasional namun implementasi pada tingkat sub-nasional. 97 Ibid., hal. 15 98 Dani Setiawan dan Agustinus Prasetyantoko, Maret 2011, Pendanaan Iklim, Antara Kebutuhan dan Keselamatan Rakyat, Jakarta: WALHI, hal. 38 Studi IFCA (2007), perkembangan negosiasi dan kebijakan nasional99 merekomendasikan tiga hal pokok yng diperlukan dalam penerapan REDD+ di Indonesia, yaitu pemenuhan kondisi pemungkin sinergisme pembangunan lintas sektor, reformasi pembangunan sektor-sektor berbasis penggunaan lahan, dan pembangunan infrastruktur pendukung pelaksanaan REDD+. Selain tiga hal pokok diatas terdapat beberapa syarat lain pelaksanaan REDD+ yang harus disiapkan, diantaranya: 1. Tingkat emisi referensi yang digunakan; 2. Penanganan pengalihan emisi (displacement of emission); 3. Sistem pemantauan, pelaporan, dan verifikasi (MRV); Measurement (M) maksudnya pengukuran jumlah karbon yang dapat diserap (Additionality), dilepaskan (Leakage) dan disimpan (Permanence) karena adanya tutupan hutan. Reporting (R) maksudnya perkembangan jumlah karbon yang dapat diserap, yang terlepas, dan masih dapat dipertahankan dalam kurun waktu tertentu. Verification (V) maksudnya jumlah perhitungan Additionality, Leakage, dan Permanence yang diverfikasi oleh lembaga independen. 4. Mekanisme distribusi manfaat atau insentif dan tanggung jawab. 99 Bappenas, op. cit., hal. 52 Dengan dasar komitmen yang telah dibuat Presiden SBY dalam pertemuan COP XV di Copenhagen, Denmark, maka Pemerintah Indonesia, melalui Bappenas, menyusun suatu strategi nasional terkait penerapan REDD+. Presiden SBY berkomitmen bahwa Indonesia akan menurunkan emisi GRK secara nasional sebesar 26 persen (melalui upaya sendiri, dana nasional dari APBN) hingga 41 persen (melalui bantuan luar negeri) pada tahun 2020. Strategi nasional REDD+ Indonesia mengacu pada prinsip-prinsip dalam UNFCCC, yakni pengurangan emisi dari BAU tahun 2020 yang dilaksanakan sejalan dengan upaya mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar rata-rata 67 persen. Strategi nasional ini mengkombinasikan antara target nasional tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar rata-rata 67 persen atau 7 persen per tahun dan komitmen Indonesia menurunkan emisi sebesar 26-41 persen. Adapun strategi nasional REDD+100 dalam gambar berikut: Tabel 3.1. Kerangka Strategi Nasional REDD+ dengan 5 Pilar Utama Pilar Utama Target Pilar Utama I. Kelembagaan dan Proses 1. Lembaga REDD+ 2. Instrumen Pendanaan 3. Institusi MRV (Pengukuran, Pelaporan, dan Verifikasi) 1. Meninjau hak-hak atas lahan dan mempercepat pelaksanaan tata ruang 2. Meningkatkan penegakan hukum dan mencegah korupsi II. Kerangka Hukum dan Peraturan 100 Capaian Keseluruhan Strategi Nasional REDD+ melalui Kelima Pilar 1. Reduksi Emisi 2. Cadangan Karbon Hutan Meningkat Strategi Nasional REDD+, Juni 2012, Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+, Jakarta, Indonesia III. Programprogram Strategis IV. Perubahan Paradigma dan Budaya Kerja 3. Menangguhkan ijin baru untuk hutan dan lahan gambut selama dua tahun 4. Memperbaiki data tutupan dan perijinan di hutan dan lahan gambut 5. Memberikan insentif untuk sektor swasta 1. Konservasi dan rehabilitasi; a. Memantapkan fungsi kawasan lindung b. Mengendalikan konversi hutan dan lahan gambut c. Restorasi hutan dan rehabilitasi gambut 2. Pertanian, Kehutanan, dan pertambangan yang berkelanjutan; a. Meningkatkan produktivitas pertanian dan perkebunan b. Mengelola hutan secara lestari c. Mengendalikan dan mencegah kebakaran hutan dan lahan d. Mengendalikan konversi lahan untuk tambang terbuka 3. Pengelolaan lanskap yang berkelanjutan; a. Perluasan alternatif lapangan kerja yang berkelanjutan b. Mempromosikan industri hilir dengan nilai tambah tinggi c. Pengelolaan lanskap multi-fungsi 1. Penguatan tata kelola kehutanan dan penggunaan lahan 2. Pemberdayaan ekonomi lokal dengan prinsip berkelanjutan 3. Keanekaragaman Hayati dan Jasa Lingkungan Terpelihara 4. Pertumbuhan Ekonomi 3. Kampanye nasional untuk aksi “penyelamatan hutan Indonesia” 1. Melakukan interaksi dengan V. Pelibatan Para berbagai kelompok Pihak (pemerintah regional, sektor swasta, organisasi non pemerintah, masyarakat adat/ lokal, dan internasional 2. Mengembangkan sistem pengaman (safeguards) sosial dan lingkungan Sumber: Diolah dari Strategi3.Nasional REDD+, Satgas Persiapan Kelembagaan REDD+ Mengusahakan pembagian Indonesia, Juni 2012, hal. 10 manfaat (benefit sharing) secara adil Penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD) juga merupakan cakupan REDD+, untuk implementasi REDD di Indonesia dilakukan secara bertahap (phased-approach) yang terbagi atas Tahap Persiapan (Preparation Phase),Tahap Kesiapan (Readiness Phase), dan Tahap Implementasi Penuh (Full Implementation). Tabel 3.2. Tahapan-tahapan Pelaksanaan REDD Indonesia Tahap-tahap REDD Tahap I (2007-2008)) Persiapan Tahap 2 (2009-2012) Kesiapan (Readiness) Kegiatan IFCA melaksanakan quick studies untuk mengetahui status kesiapan Indonesia melaksanakan REDD baik dari aspek metodologi, institusi, peraturan perundangan, kapasitas SDM. a. Penyusunan rencana strategis REDD+ b. Pembentukan kelembagaan REDD+ c. Pembentukan lembaga MRV dan pengembangan kapasitas MRV untuk REDD+ d. Pengaturan mekanisme pendanaan REDD+ Tahap 3 (Mulai 2013) a. Pembayaran kompensasi berbasis hasil b. Monitoring dan registry secara kontinue Implementasi Sumber: Diolah dari Doddy S. Sukardi, DNPI Adapun penjabaran khusus implementasi REDD+ dari strategi nasional REDD+ Indonesia dibagi dalam tiga tahap penting, yakni formulasi strategi nasional dan rencana aksi REDD+, persiapan dan aktivitas pendahuluan, dan implementasi REDD+. Selengkapnya lihat tabel berikut: Tabel 3.3. Tahapan-tahapan REDD+ di Indonesia 2010 RPJMN (2010-2014) RPJMN (2015-2019) Strategi: ï‚· Penyusunan Strategi Nasional REDD+ ï‚· Penyusunan RAN REDD+ Kesiapan dari kegiatan awal: ï‚· Pembangunan infrastruktur prasyarat REDD+ ï‚· Pemenuhan kondisi pemungkin REDD+ ï‚· Pelaksanaan kegiatan-kegiatan awal (demonstrative activities) Implementasi: ï‚· Integrasi ke dalam RPJM ï‚· Pelaksanaan REDD+ secara penuh Sumber: Diolah dari Strategi Nasional REDD+, Bappenas dalam Dani Setiawan dan Agustinus Prasetyantoko, Walhi, 2011, hal. 45-46 Berdasarkan tahapan-tahapan pelaksanaan REDD+ Indonesia seperti yang disebutkan diatas, salah satu tahapannya adalah pelaksanaan demonstrative activities. Pelaksanaan DA ini sebagai wadah pembelajaran dan uji coba penerapan perangkat metodologi dan kelembagaan yang dibangun untuk REDD+. Sejak tahun 2008, Indonesia melalui bantuan luar negeri dari mitra bilateral dan multilateral telah membangun kegiatan DA REDD+ di beberapa wilayah Indonesia yang bertujuan untuk avoid deforestation (AD), aforestasi (AF), avoid degradation (Adg), reforestasi (RS), seperti dalam tabel berikut: Tabel 3.4. Proyek Demonstrative Activities REDD+ di Indonesia (Pembaharuan Data Juni 2012) No. Nama Proyek 1. Proyek REDD Ekosistem Leuser Provinsi Lembaga yang terlibat Tujuan Aceh Global EcoRescue / Government of Aceh AD 2. Pengurangan emisi karbon dari deforestasi di Ekosistem Ulu Masen Aceh Pemerintah daerah Propinsi Aceh, Carbon Conservation, FFI AD, Adg 3. Kampar Ring A Sustainable Development Model Based on Responsible Peatland Management Riau APRIL AD, Adg, RS 4. Tesso Nilo Pilot Project – REDD Riau WWF AD, Adg, RS, AF 5. The Kampar Carbon Reserve Riau APP, Carbon ConservationAD AD 6. Berbak Carbon Value Initiative Jambi ZSL / DEFRA / LIPI / Berbak National Park / US Fish and Wildlife Service AD 7. Sumatra Forest Carbon Jambi Partnership between Australian and Indonesian Partnership governments 8. Global Green Ecosystem Restoration Project Sumatera barat Global Green AD, Adg, RS, AF 9. Merang REDD Pilot Project (MRPP) Sumatera selatan GTZ AD, Adg, RS 10. Meru Betiri National Park Jawa timur ITTO / Forestry Research and Development Agency AD, Adg, RS Avoided Conversion of the Danau Siawan-Belida peat swamp forest PT. Wana Hijau Nusantara in collaboration with Fauna & Kalimantan Flora barat International/BioCarbon Group Pte. Limited AD, Adg, RS 12. Rehabilitation of the Sungai Putri peat swamp forest, Ketapang, Kalimantan Kalimantan FFI/ Macquarie Bank barat AD, Adg, RS 13. West Kalimantan Community Carbon Pool Kalimantan FFI/ David and Lucile barat Packard Foundation AD, Adg, RS 14. FORCLIME Kapuas Hulu Demonstration Activity KfW, GTZ, MoF, GFA, Kalimantan district government, barat provincial government AD, Adg, REDD+ 11. 15. Kalimantan Forest and Climate Partnership Australian Government partnering w GOI. Kalimantan Implementation partners are tengah CARE, BOS, Wetlands International AD, Adg, RS, AF 16. Katingan Conservation Area: A Global Peatland Capstone Project Kalimantan Starling Resources tengah AD, Adg, RS, AF 17. Lamandau Kalimantan RARE / YAYORIN / Clinton tengah Foundation AD, Adg, RS 18. REDD in Sebangau National Park Kalimantan WWF / Sebangau National tengah Park RS,AD 19. The Rimba Raya Biodiversity Reserve Project Kalimantan Infinite Earth / Orangutan tengah Foundation International AD, Adg, RS 20. Berau, Indonesia Climate Action Project; Kabupaten Berau Forest Carbon Program TNC / ICRAF / Sekala / Kalimantan University Mulawarman / timur Winrock Int'l / University of Queensland AD, Adg, RS, AF 21. Global Green in East Kalimantan Kalimantan Global Green timur AD, Adg, RS 22. Hutan Lestari untuk Orangutan PT. RHOI (Restorasi Habitat Kalimantan Orangutan Indonesia) formed timur by BOS AD, Adg 23. Kutai Barat, HKM: Heart of Kalimantan WWF timur AD Borneo 24. Malinau Avoided Deforestation Project GER / PT Inhuntani II / Malinau Regency / KfW / FFI / District Governemnt / Kalimantan GTZ / Tropenbos timur International / Global Eco Rescue / Borneo Tropical Rainforest Foundation Adg 25. FORCLIME Malinau Demonstration Activity KfW, GTZ, MoF, GFA, Kalimantan district government, timur provincial government AD, Adg, REDD+ 26. FORCLIME Berau Demonstration Activity KfW, GTZ, MoF, GFA, Kalimantan district government, timur provincial government AD, Adg, REDD+ 27. Mamuju Habitat Sulawesi barat PT Inhutani I AD, Adg, RS, AF 28. Gorontalo: Establishment & Management of Gorontalo Nantu National Park Gorontalo University / YANI - Yayasan Adudu Nantu Internasional AD 29. Korea-Indonesia Joint Project for Adaptation and Mitigation of Climate Change in Forestry Nusa Tenggara Barat, Lombok Tengah KIPCCF – KOICA AD, Adg, RS, AF 30. TEBE Project (Towards Enabling Mitigation of Climate Change Through Nusa Tenggara Timur KYEEMA Foundation/ AusAID/ Yasan Peduli Sanlima (SANLIMA)/ Yayasan Timor Membangun (YTM AD Promotion of CommunityBased Economic Growth) 31. 32. Perpetual Finance for Carbon Benefits UN-REDD Programme Indonesia Papua New Forests Asset Management / PT Emerald Planet AD Sulawesi tengah Kemenhut RI, FAO, UNDP, UNEP, Pemerintah Norwegia, Bappenas, Satgas REDD+, UKP4, Kemenkeu, DKN, DNPI, Pemda Provinsi Sulawesi tengah, LSM, Organisasi masyarakat adat, Pokja Perubahan Iklim Kemnhut, RECOFTC, ASFN AD (Pembangunan kapasitas) Sumber: Diolah dari Website REDD Indonesia, Kementerian Kehutanan RI, http://www.reddindonesia.org/index.php?option=com_content&view=article&id=205&Itemid=57 , tanggal 21 November 2012 Salah satu faktor penunjang keberhasilan REDD+ adalah mekanisme pendanaan. Mengenai mekanisme pendanaan REDD+ sendiri, hingga saat ini, melalui komitmen sukarela Indonesia dalam pemenuhan target mengurangi emisi GRK nasionalya, berkembang mekanisme pendanaan kembar yaitu swasta dan pemerintah. Secara umum mekanisme pendanaan yang ada di Indonesia hingga saat ini untuk skema REDD+ terlihat dalam gambar berikut: Gambar 3.1. Mekanisme Pendanaan Kembar REDD+ di Indonesia Sumber: IIED Briefing dalam Dani Setiawan dan Agustinus Prasetyantoko, Walhi, 2011, hal. 35 Dari gambar di atas, pada prinsipnya mekanisme pendanaan REDD+ menggabungkan mekanisme pemerintah dan swasta. Mekanisme pendanaan model inilah yang hingga saat ini terlihat berlangsung di Indonesia. Dari gambar tersebut terlihat target akhir dari program ini yaitu menurunkan deforestasi, pengurangan kemiskinan, dan pembangunan berkelanjutan. Mekanisme pemerintah (G to G) atau dana publik bersumber dari bantuan luar negeri dari negara maju ataupun dalam bentuk dana bantuan pembangunan atau ODA. Melalui mekanisme pemerintah ini, terkait implementasi REDD+, Indonesia telah mendapatkan bantuan luar negeri yang sifatnya ODA (dalam mekanisme utang luar negeri maupun hibah secara bilateral maupun multilateral dari negara maju). Mekanisme swasta (private) lebih dikenal dengan mekanisme pasar. Pada dasarnya, pelaku swasta dari negara-negara maju (Annex I) diperbolehkan terlibat dalam program pengurangan emisi karbon di negara berkembang. Pelaku swasta meliputi investor, perbankan, bank investasi yang prinsipnya mengelola sejumlah uang untuk kepentingan investasi. Mekanisme ini dalam hal pendanaan REDD+ di Indonesia juga berlangsung. Salah satunya, Indonesia mendapatkan bantuan dana terkait REDD+ dari Bank Dunia dan ADB dalam bentuk utang luar negeri. C. Regulasi Nasional terkait Skema REDD+ Kemampuan Indonesia dalam mengurangi emisi nasional serta metodologi pengurangan emisi yang dilakukan melalui sektor-sektor prioritas diantaranya sektor kehutanan adalah masalah kebijakan. Seperti dalam strategi nasional REDD+, keberadaan perangkat atau kebijakan hukum (legal policy), menjadi faktor penting implementasi REDD+ ini. Dalam mendukung pelaksanaan REDD di Indonesia, telah dikelurkan beberapa peraturan dan gagasan 101 yang secara langsung dan tidak langsung: a. Permenhut No.P.68 tahun 2008 tentang penyelenggaraan demonstrative activities pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan; Peraturan ini menjadi pembuka jalan dilaksanakannya REDD yang masih dalam tahap persetujuan dalam negosiasi UNFCCC, yang disebut demonstrative activities. Ini dilakukan sebagai cara untuk menguji dan mengembangkan metodologi, teknologi, dan institusi pengelolaan hutan secara berkelanjutan untuk mengurangi emisi karbon melalui pengendalian deforestasi dan degradasi hutan. Pelaksanaan DA harus mendapatkan persetujuan Menteri Kehutanan. 101 Bappenas, op. cit., hal.54 b. Permenhut No.P.30 tahun 2009 tentang tata cara pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan; Dalam pasal peralihan pada Permenhut ini, REDD baru akan dilaksanakan setelah ada persetujuan internasional tentang REDD. Sebelum ada, REDD dilaksanakan dalam bentuk DA, peningkatan dan transfer teknologi, serta perdagangan karbon sukarela. Ini berarti, REDD di Indonesia dilakukan dengan dua jalur, melalui jalur DA dan jalur perdagangan karbon sukarela atau peningkatan kapasitas dan transfer teknologi. Adapun dimensi REDD dalam Permenhut ini juga dikaitkan dengan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam bentuk pengentasan kemiskinan. Salah satu kriteria pemilihan lokasi yang dimasukkan dalam proposal REDD adalah ada tidaknya rencana pengentasan kemiskinan di daerah sekitar lokasi REDD. Ini juga menjadi salah satu dasar pemberian rekomendasi pemerintah daerah yakni kesesuaian proyek REDD dengan prioritas pembangunan berupa program pengentasan kemiskinan. Jembatan penghubung antara proyek REDD dan pengentasan kemiskinan adalah dalam bentuk distribusi insentif yang diterima oleh pemerintah sebagai PNPB. c. Permenhut No.P.36 tahun 2009 tentang tata cara perijinan usaha pemanfaatan penyerapan dan/atau penyimpanan karbon pada hutan produksi dan hutan lindung; d. Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation in Indonesia (REDDI): Readiness Strategy 2009-2012; Strategi ini dimaksudkan untuk memberikan panduan tentang intevensi kebijakan yang diperlukan dalam menangani akar masalah deforestasi dan degradasi hutan, dan infrastruktur yang perlu disiapkan. Strategi ini juga mengintegrasikan semua aksi terkait REDD+ termasuk kegiatan yang didanai dari bantuan luar negeri. e. Keputusan Menteri Kehutanan No. SK 64 tahun 2010 tentang pembentukan kelompok kerja hutan dan perubahan iklim, yang bertugas memberikan input kebijakan dan memfasilitasi proses penyiapan perangkat implementasi REDD+; f. Roadmap pengarusutamaan isu perubahan iklim dalam perencanaan pembangunan nasional: penanganan perubahan iklim sektor kehutanan atau dikenal dengan ICCSR; Ini merupakan “peta jalan” bagi sembilan sektor pembangunan yang terkait mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. g. Strategi REDD+ Kehutanan nasional yang disusun Badan Litbang Kehutanan yang diserahkan kepada Bappenas; h. Dokumen Rencana Aksi Nasional Penurunan Gas Rumah Kaca (RANGRK) 2010-2020 yang diterbitkan oleh Bappenas; Dokumen RANGRK nasional ini kemudian menjadi panduan untuk penyusunan RANGRK tingkat sub-nasional. i. Dokumen bertajuk Green Paper on Economic and Fiscal Policy and Strategy for Climate Change in Indonesia oleh Menteri Keuangan pada akhir Oktober 2009; Dokumen ini menguraikan konsep dan kerangka kebijakan fiskal, anggaran dan keuangan negara dalam menunjang tercapainya tujuan mitigasi perubahan iklim yang ditentukan Pemerintah Indonesia serta Yellow Book yang diterbitkan oleh Bappenas.102 j. UU lingkungan hidup diantaranya UU No. 6 tahun 1994 tentang ratifikasi UNFCCC, UU No. 17 tahun 2004 tetang Protokol Kyoto, dan UU No. 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. k. Perpres No.71 tahun 2011 tentang Inventarisasi GRK nasional. D. Lembaga Nasional terkait Skema REDD+ Mengenai pembentukan lembaga yang mengurus perihal perubahan iklim khususnya dalam upaya mitigasi sektor kehutanan (skema REDD+), Indonesia telah berjalan jauh. Kementerian Lingkungan Hidup RI tentunya menjadi pionir. Kementerian ini ditunjuk sebagai national focal point atau perwakilan nasional Indonesia dalam negosiasi UNFCCC. Dalam Kementerian ini terdapat Unit Perubahan Iklim yang berada dibawah Deputi Perlindungan Lingkungan Hidup. REDD+ yang merupakan upaya mitigasi sektor kehutanan, tentunya Kementerian Kehutanan juga mengambil peran penting. Di dalam Kementerian 102 Ismid Hadad, op. cit., hal. 17 Kehutanan, pemberdayaan fungsi-fungsi kelembagaan untuk mendukung pelaksanaan REDD+ di Indonesia seperti Dirjen Bina Produksi Kehutanan, Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Dirjen PHKA dan Baplan serta Balitbang Kemenhut. Selain itu, Kemenhut juga membentuk beberapa lembaga ad-hoc seperti: 1. IFCA; Kemenhut membentuk IFCA pada Juli 2007. IFCA dimaksudkan sebagai forum komunikasi atau koordinasi para stakeholder serta meberikan fasilitasi substansi dalam membahas isuisu REDD. Lembaga ini berada dibawah Badan Litbang Kehutanan. 2. Komisi REDD; Komisi ini dibentuk oleh Menteri Kehutanan dan bertugas dalam pengurusan pelaksanaan REDD. 3. Kelompok Kerja Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi; Pokja ini berada dibawah Balitbang Kemenhut untuk membantu balitbang sebagai badan yang meberikan rekomendasi-rekomendasi teknis-scientific berkaitan dengan rencana implementasi REDD. 4. Kelompok Kerja Perubahan Iklim Kementerian Kehutanan; Pokja ini bertugas membantu Menteri Kehutanan dalam menilai kelayakan permohonan DA REDD. Selanjutnya, juga sebagai bukti keseriusan Indonesia dalam menanggapi isu perubahan iklim, maka dibentuklah DNPI. Tugas DNPI adalah mengkoordinasikan pelaksanaan pengendalian perubahan iklim dan memperkuat posisi Indonesia di forum internasional dalam pengendalian perubahan iklim. Dalam struktur kelembagaan, DNPI adalah lembaga setingkat kementerian yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden, dan Presiden sebagai ketua DNPI. Namun, ketua pelaksana harian DNPI hingga saat ini adalah Rahmat Witoelar. Selain KLH dan Kemenhut, Kementerian yang juga terkait dengan implementasi REDD+ yaitu Kemenko Perekonomian dan Kemenkeu. Melalui Inpres No.5 tahun 2008, Presiden menginstruksikan Kemenko Perekonomian untuk mengeluarkan peraturan-peraturan tentang REDD+. Adapun tanggung jawab Kemenkeu yaitu menyetujui semua kegiatan pembiayaan bilateral dan multilateral serta memastikan adanya proses penetapan konsultasi sebelum penandatangan terkait REDD+. Tidak hanya lembaga di atas, Bappenas juga memiliki peranan penting dalam pelaksanaan REDD+ di Indonesia. Mengingat, dalam strategi nasional REDD+ Indonesia, pelaksanaan REDD+ juga diikuti dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi yang terkait masalah pembangunan nasional berkelanjutan. Kemudian dalam hal pengelolaan dana perubahan iklim di Indonesia, Bappenas membentuk ICCTF. ICCTF merupakan lembaga trust fund yang bertujuan membiayai kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Lembaga ini dikelola oleh Direktorat Lingkungan Bappenas dan didukung oleh UNDP. ICCTF ditempatkan sebagai103 wadah untuk memfasilitasi dan mempercepat investasi dalam pengelolaan hutan berkelanjutan, konservasi dan mengurangi kerentanan wilayah pesisir, pertanian dan air serta investasi dalam energi terbarukan. 103 Dani Setiawan dan Agustinus Prasetyantoko, op. cit., hal. 98 ICCTF terdiri dari dua tahap dan jenis dana. Tahap pertama dinamakan “Tahap Inovasi”. Di tahap ini akan disalurkan dana hibah untuk kegiatan-kegiatan sosio-ekonomi yang tidak menghasilkan laba. Sumber dana tahap ini berasal dari lembaga donor negara sahabat dan institusi multilateral dan disebut “Dana Inovasi”. Mulai dioperasionalkan akhir tahun 2010.104 Tahap kedua, ICCTF menyediakan mekanisme pembiayaan “Dana Transformasi” yang bersumber dari kerjasama pemerintah swasta (Public-Private Partnership), utang, dan pasar keuangan. Dana tersebut disalurkan untuk berbagai kegiatan yang berkontribusi dalam penurunan tingkat emisi. Dana ini dioperasionalkan pada tahun 2013.105 Hingga saat ini negara donor ICCTF yaitu Australia, Inggris, dan Swedia. Terakhir, lembaga terkait yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia untuk pelaksanaan REDD+ adalah satgas REDD+. Pembentukan satgas REDD+ ini berangkat dari kesepakatan kerja sama Letter of Intent Indonesia-Norwegia tahun 2010. Melalui Keppres RI No.19 tahun 2010, terbentuklah satuan tugas persiapan pembentukan kelembagaan REDD+, yang berakhir masa tugasnya 30 Juni 2011.106 Kinerja Satgas REDD+ pertama telah menghasilkan dokumen strategi nasional REDD+, Inpres No.10 tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut 104 Ibid., hal.99 105 Ibid. 106 Booklet REDD+ dan Satgas Kelembagaan REDD+: Sebuah Pengantar, 2011, Satuan Tugas REDD+ Persiapan Kelembagaan, hal. 10 serta diseleksi dan disiapkannya Provinsi Kalimantan Barat sebagai Provinsi pilot REDD+ yang pertama di Indonesia. Mandat satgas REDD+ diperbaharui melalui Perpres No.25 tahun 2011, yang kini diketuai oleh oleh kepala UKP4, Kuntoro Mangkusubroto.107 E. Bantuan Luar Negeri terkait Skema REDD+ Komitmen Pemerintah Indonesia melalui Presiden SBY secara sukarela yaitu menargetkan penurunan emisi GRK nasional sebesar 26-41 persen hingga tahun 2020, membawa konsekuensi modal pendanaan tambahan dan baru dalam jumlah besar. Dalam mencapai target penurunan emisi sebesar 26 persen sumber pendanaan berasal dari APBN sedangkan 41 persen dengan bantuan luar negeri. Adapun penurunan emisi GRK ini dilakukan melalui upaya mitigasi perubahan iklim, salah satunya di sektor kehutanan. REDD+ kemudian hadir sebagai inisiatif mitigasi di sektor kehutanan. Berdasar pada kebutuhan pendanaan besar, maka dalam pemenuhan target tersebut, di sektor mitigasi kehutanan khususnya melalui skema REDD+, pemerintah Indonesia telah menerima bantuan luar negeri. Bantuan ini datang dari donor bilateral maupun multilateral. Mekanisme bantuan ini mengikuti mekanisme yang berlaku yang dibawah prosedur dan aturan UNFCCC maupun bantuan dana pembangunan atau ODA. Bentuk bantuannya berupa hibah maupun utang luar negeri. 107 Ibid., hal. 11 Bantuan luar negeri skema REDD+ resmi di Indonesia diterima dari donor bilateral diantaranya Norwegia, Australia, Jepang, Perancis, Inggris, dan Jerman. Adapun donor multilateral dari Bank Dunia, IFC, dan ADB. Bantuan ini diterima sejak tahun 2008. Adapun penulis akan membatasi bantuan luar negeri ini dalam periode 2008-2012. Indonesia telah menerima bantuan ini secara langsung dalam periode batasan penulis maupun masih dalam bentuk komitmen yang pencairannya diluar periode batasan penulis. Bantuan dalam skema REDD+ yang diterima Indonesia pada umumnya memiliki tiga tipe utama pendanaan108 yaitu: 1. Implementasi langsung demonstrative activities, biasanya dikelola langsung oleh donor bilateral; 2. Dukungan teknis (techincal assistance) untuk peningkatan kapasitas, pengembangan analisis dan kebijakan; 3. Dukungan keuangan, dalam bentuk pinjaman lunak dan hibah, yang diperuntukkan langsung untuk pemerintah Indonesia; Pemanfaatan bantuan ini sebenarnya dapat dikatakan untuk mendukung kesiapan Indonesia menuju pasar karbon. 108 Peter Wood, Mei 2010, Studi Pendahuluan atas Kebijakan Pengaman (Safaguard) Donor-donor Bilateral untuk Program REDD di Indonesia: Sebuah Studi untuk Indonesian Civil Society Forum for Climate Justice, diterjemahkan oleh Bernadinus Steni, dkk, didukung oleh Rainforest Foundation Norway, Samdhana Institute, dan the Danida-IUCN Pro-Poor REDD Project, Jakarta: HuMa, hal.9 Mengenai penjabaran lebih lanjut terkait bantuan luar negeri REDD+ ini, penulis akan menjelaskan poin per poin dari donor-donor (bilateral dan multilateral) resmi tersebut, sebagai berikut: 1. Norwegia Indonesia dan Norwegia mendatangani perjanjian kerja sama untuk REDD untuk mengatasi emisi gas rumah kaca dari deforestasi, degradasi hutan dan konversi lahan gambut melalui Inisiatif Iklim dan Hutan Internasional. Dalam kerja sama ini pemerintah Norwegia melalui Letter of Intent berjanji memberikan dukungan dana hibah hingga USD 1 miliar109 kepada pemerintah Indonesia. Pelaksanaan hibah ini dibagi dalam tiga fase terkait reformasi kebijakan, pengembangan strategi, dan pengurangan emisi. Hibah dari Norwegia ini akan dicairkan dalam periode 7-8 tahun ke depan dan sebagian besar dana berhubungan dengan pengurangan emisi oleh Indonesia yang telah diverifikasi. Dana yang diberikan berdasarkan hasil dan dicairkan melalui mekanisme keuangan yang telah disetujui. Meskipun dicairkan dalam beberapa tahun ke depan setelah penandatanganan LoI, dana ini telah digunakan salah satunya untuk menyelesaikan strategi nasional REDD Indonesia tahun 2010. Selain itu, Kalimantan tengah juga dijadikan provinsi percontohan REDD+ berdasarkan LoI ini. 109 Ibid., hal. 8 Pemerintah Norwegia bekerja sama dengan PBB meluncurkan suatu program untuk penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di negara-negara berkembang yang dikenal dengan UN-REDD. Dalam pelaksanaan UN-REDD ini, Norwegia menjadi negara donor di dalamnya. Dan Indonesia menjadi salah satu dari sembilan negara berkembang contoh untuk awal program ini. Indonesia mendapatkan hibah sebesar USD 5,6 juta melalui UNREDD. Periode pelaksanaan proyek ini tahun 2009-2011. Adapun program UN-REDD ini ditujukan untuk menyediakan suatu contoh Referensi Level Emisi (REL), sistem pengukuran, pelaporan, dan verifikasi (MRV), dan sistem pembayaran adil pada level provinsi.110 Selain itu, juga dilaksanakan demonstrative activities di Sulawesi Tengah dalam bentuk bantuan teknis. 2. Jepang dan Perancis Penulis menggabungkan kedua negara ini karena bantuan luar negeri terkait REDD+ di Indonesia melalui pendanaan bersama. Jepang dan Perancis mendanai kegiatan perubahan iklim termasuk yang terkait REDD+ di Indonesia melalui Pinjaman Program Perubahan Iklim atau CCPL dalam mekanisme bantuan dana pembangunan atau ODA. Bantuan yang dalam bentuk pinjaman tunai, lebih dikenal dengan pinjaman program, merupakan pinjaman yang digunakan untuk pembiayaan defisit yang syarat pencairannya melalui pemenuhan matriks UN-REDD Programme, “UN-REDD di Indonesia”, diakses dari www.un-redd.or.id pada tanggal 20 April 2012 110 kebijakan (policy matrix) atau terlaksananya kegiatan tertentu. Policy matrix ini merupakan program reformasi yang harus dilakukan oleh pemerintah pada bidang-bidang tertentu sesuai dengan arahan pihak kreditor. Ruang lingkup utama dari bantuan ini mencakup proyek-proyek dan program yang berkontribusi terhadap mitigasi perubahan iklim dan di berbagai sektor diantaranya konservasi hutan dan penghijauan. Utang program perubahan iklim (CCPL) untuk Indonesia adalah kasus pertama untuk memanfaatkan skema ODA Jepang dibawah mekanisme bantuan keuangan (Climate Change Japanese ODA Loan) untuk program mitigasi perubahan iklim.111 Fasilitas pinjaman Jepang untuk Indonesia dibawah skema tersebut merupakan bentuk pinjaman lunak yang tidak mengikat dengan bunga 0,15%. Tempo pembayaran selama 15 tahun dan grace periode selama 5 tahun.112 Persyaratan ini relatif cukup mahal dari sisi waktu pembayaran jika merujuk pada standar penggunaan term and condition “Climate Change Japanese ODA Loan” dengan suku bunga 0,30% dan tempo pembayaran 40 tahun dengan grace periode selama 10 tahun. Adapun total utang program dari Jepang sebesar USD 900 juta.113 111 Dani Setiawan dan Agustinus Prasetyantoko, op.cit., hal. 74 112 Ibid., hal 75 Koalisi Anti Utang, op.cit., hal. 8 113 Pemerintah Perancis melalui AFD bersama dengan Jepang, juga dalam CCPL terlibat memberikan pendanaan selama 2008-2010 sebesar USD 800 juta kepada Indonesia. Syarat pencairan dana ini pun melalui policy matrix. Ini memuat reformasi dan kebijakan publik yang diimplementasi oleh pemerintah untuk memerangi perubahan iklim melalui penerbitan undang-undang dan keputusan, peluncuran proyek percontohan, penetapan rencana induk.114 Pinjaman lunak jangka panjang ini disalurkan melalui APBN Indonesia. Pencairan pinjaman ini dilakukan dalam tiga tahap, yang selengkapnya melalui tabel berikut: Tabel 3.5. Rincian Pinjaman Program Perubahan Iklim atau CCPL dari Perancis Program Jumlah Rujukan/ Catatan Program perubahan USD 200 juta Dicairkan 2008, didanai iklim pinjaman tahap (pinjaman lunak) bersama dengan JICA pertama (Jepang) Program perubahan USD 300 juta Dicairkan Agustus iklim pinjaman tahap (pinjaman lunak) 2009, didanai bersama kedua dengan JICA (Jepang) Program perubahan USD 300 juta Ditandatangani Juni iklim pinjaman tahap (pinjaman lunak) 2010, didanai secara ketiga bersama JICA (Jepang) dan Bank Dunia Sumber: Diolah dari Peter Wood, HuMa, Mei 2010, hal. 54 114 AFD dan Indonesia: Kemitraan untuk Iklim, AFD Perancis Document, hal. 3 Policy matrix yang memuat beberapa agenda kegiatan yang harus dilakukan oleh negara penerima, dijadikan sebagai acuan prioritas yang harus dilakukan pada masa tahun fiskal yang tertera dalam dokumen perjanjian utang. Berikut gambaran singkat mengenai output dalam policy matrix CCPL khusus sektor kehutanan melalui tabel berikut: Tabel 3.6. Gambaran Singkat Policy Matrix untuk CCPL sektor kehutanan di Indonesia Program Climate Change Program Loan Lender JICA, AFD Trigger atau Output Kehutanan a. Evaluasi dan meningkatkan mekanisme transfer untuk membiayai aktivitas kehutanan pemerintah daerah pada 2012. b. Memerkuat implementasi regulasi pemerintah dalam masalah perkayuan dengan melakukan monitoring and evaluation secara berkala. c. Mengeluarkan peraturan yang didalamnya terdapat implementasi khusus untuk konservasi dan manajemen air untuk meminimalisasi emisi karbon. d. Membentuk pencatatan nasional dari implementasi aktivitas REDD dan pembayaran sehubungan emisi karbon. e. Merancang sistem monitoring dari program penghutanan yang pelaksanaan secara penuh diharapkan dapat dilaksanakan pada 2012. Sumber: Diolah dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan RI Sesuai dengan policy matrix juga, pemerintah Indonesia telah menghasilkan beberapa kebijakan dan peraturan terkait dengan agenda mitigasi kehutanan khusus menunjang kesiapan implementasi REDD+ di Indonesia, dapat dilihat melalui tabel berikut: Tabel 3.7. Peraturan dan Kebijakan yang Dihasilkan dari CCPL Area Kebijakan atau Sektor Kebijakan (20072010) Tindak lanjut (20112012) 1. MITIGASI Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2008 Peatland tentang Rencana Induk Conservation Rehabilitasi dan (Konservasi Lahan Konservasi Kawasan Gambut) Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah Menerbitkan peraturan presiden yang mencakup langkahlangkah khusus untuk konservasi lahan gambut dan pengelolaan lahan gambut basah untuk mengurangi emisi karbon. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.68/Menhut-II/2008 tanggal 11 Desember 2008 tentang Penyelenggaraan Demonstration Activities Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan Melengkapi Keputusan Menteri tentang Mekanisme dan Tata Cara REDD yang mendefinisikan peran dan tanggung jawab instansi pemerintah, daerah masyarakat, dan sektor swasta dalam mengelola aset karbon. Reduced Emissions from Deforestation and Degradation (REDD)Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.36/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi hutan (REDD) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.36/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/ atau Penyimpanan Karbo pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung Forest Management and Governance (Manajemen Kehutanan dan Pemerintah) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2009 tanggal 12 Juni 2009 tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu 2. LINTAS SEKTORAL DAN KELEMBAGAAN Mainstreaming Climate Change in the National Development Program (Rujukan dalam Program Pembangunan Nasional terkait Perubahan Iklim) Menyetujui tindakan mitigasi dan beberapa komitmen di bawah Copenhagen Accord (Januari 2010) Mengeluarkan “Development Planning Response to Climate Change” (2008) dan Memformalkan mekanisme transfer antarpemerintah untuk membiayai dan meningkatkan insetif bagi pemerintah daerah untuk memperkuat kegiatan pengelolaan hutan terhadap pengurangan emisi. diperbaharui Maret 2010 pada Menyelesaikan “Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap” (ICCSR) pada Maret 2010 Mengeluarkan RAN Mitigasi dan Adaptasi Policy Perubahan Iklim Coordination and (Desember 2007) Financing Scheme for Climate Change Peraturan Presiden (Koordinasi Nomor 46 tahun 2008 Kebijakan dan tentang Pembentukan Skema Pendanaan Dewan Nasional Perubahan Iklim) Perubahan Iklim Pembentukan ICCTF Sumber: Diolah dari Dani Setiawan dan Agustinus Prasetyantoko, Walhi, 2011, hal. 79 3. Australia Pemerintah Australia menyalurkan bantuan yang terkait dengan hutan dan perubahan iklim melalui IFCI. Kerjasama Indonesia dan Australia terkait kesiapan REDD+ yaitu Kemitraan Karbon Hutan Indonesia-Australia (IAFCP). Dalam kinerja untuk melakukan tindakan praktis tentang REDD melalui IAFCP ini, menurut IFCI ada beberapa tindakan-tindakan utama115, diantaranya: a. Menguji-coba pendekatan untuk melaksanakan REDD dan meningkatkan penghidupan lokal; 115 Peter Wood, op. cit., hal. 37 b. Mendukung pengembangan kerangka kerja pengaturan, tata kelola dan penegakan hukum untuk REDD; c. Membantu pengembangan sistem pemantauan karbon nasional; d. Bekerja untuk mendukung pengembangan pasar REDD, termasuk melalui UNFCCC dan dengan dukungan terhadap FCPF dan FIP. IAFCP ditandatangani oleh Perdana Menteri Autralia dan Presiden Indonesia tanggal 13 Juni 2008. Adapun sasaran dari IAFCP116 ini adalah: a. Kerjasama kebijakan di bawah UNFCCC dan dukungan peningkatan kapasitas (dialog kebijakan strategis tentang perubahan iklim); b. Dukungan teknis untuk meningkatkan karbon hutan Indonesia; c. Pengukuran kapasitas dan melakukan identifikasi serta melaksanakan kegiatan REDD yang praktis dan berbasis insentif. Indonesia memperoleh total bantuan dana dalam bentuk hibah melalui IAFCP sebesar AUD 70 juta. Berikut tabel rincian kegiatan IAFCP terkait REDD+ di Indonesia: Tabel 3.8. Kegiatan-kegiatan IAFCP terkait REDD+ di Indonesia Kegiatan Tujuan Kegiatan Alokasi Dana Kegiatan Kalimantan Forest Menguji coba REDD AUD 30 juta Carbon Partnership (demonstrative 116 Ibid., hal. 44 (Kemitraan Karbon activities) di lahan Hutan Kalimantan) gambut seluas 120.000 hektar di Kalimantan tengah Sumatera Forest Menguji coba Carbon Partnership (demonstrative (Kemitraan Karbon activities) REDD+ di Sumatera) Jambi Dukungan terhadap Pembangunan pengembangan pengukuran sistem kebijakan hutan dan karbon: Sitem karbon di Indonesia Perhitungan Karbon Nasional, Sistem Informasi Sumber Daya Hutan, Sistem Pemantauan Kebakaran Hutan Mengembangkan Strategi multi-fase pemetaan jalur akses membantu Indonesia terhadap Pasar mengembangkan praKarbon Internasional syarat teknis, sistem dan keuangan untuk berpartisipasi dalam pasar karbon internasional untuk REDD di masa depan AUD 20 juta, diresmikan 2 Maret 2010 AUD 10 juta Disetujui oleh para Kepala Negara pada Juni 2008. Diresmikan oleh para Menteri pada November 2008. Implikasi pendanaan belum jelas. Sumber: Diolah dari Peter Wood, HuMa, Mei 2010, hal. 44-45 4. Inggris Bantuan Inggris terkait REDD+ di Indonesia disalurkan melalui DFID. Dari tahun 2008-2011, ada tiga tujuan utama program DFID Indonesia, salah satu diantaranya membantu Indonesia memerangi perubahan iklim. Pada Januari 2010, DFID menyediakan dana 50 juta Poundsterling untuk penanaman pohon, pembangunan ekonomi berdasarkan pada pertumbuhan rendah karbon, dan pengurangan Tabel 3.9.1. Kegiatan atau Proyek DFID terkait REDD+ di Indonesia kerentanan masyarakat miskin Indonesia terhadap perubahan iklim.Selain itu, juga membantu membatasi penghancuran lahan gambut Indonesia. Sumber Proyek yang Didanai Jumlah (USD) Proyek 2,4 juta Pertumbuhan Rendah Karbon (Dukungan untuk Dana Investasi Hijau Indonesia, IGIF) Dana 7,5 juta Perwalian ICCTF DFID Dukungan 2,5 juta untuk Progrm Perubahan Iklim Program 7,9 juta Kehutanan Multistakeholder Lama Pendanaan (tahun) 2010-2011 2010-2011 Uraian Dukungan dari ICCTF yang menyetujui program REDD 2009-2011 2007-2011 Mendukung reformasi hukum dan kelembagaan untuk mencapai Pengelolaan Hutan yang Berkelanjutan (SFM) tahun 2011, pengentasan kemiskinan serta adapatasi dan mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan. Sumber: Diolah dari Brown and Peskett, ODI, 2011 dalam Peter Wood, HuMa, Mei 2010, lampiran vii hal. 3 Selain bantuan yang sedang berlangsung di atas, DFID juga merencakan bentuk dukungan serupa terkait REDD+. Rencana dukungan bantuan ini sebagai bagian dari kerjasama bilateral di bidang perubahan iklim. Kerjasama ini berlangsung dalam Kemitraan Inggris-Indonesia. Adapun lama pendanaan bantuan ini lima tahun, yang dimaksudkan untuk dimulai tahun 2010 dengan jumlah dukungan sebesar USD 80 juta. 5. Jerman Bantuan luar negeri Jerman di Indonesia terkait perubahan iklim ditangani oleh Kemitraan Strategis Indonesia-Jerman yang disepakati tahun 2007. Bantuan ini dalam bentuk hibah yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh lembaga GTZ atau Badan Kerjasama Teknis Jerman dan KfW atau Bank Pembangunan Jerman. Alokasi dana ini berasal dari anggaran federal 2009 BMU117 dan BMZ118 yang disalurkan melalui dana Inisiatif Iklim Internasional atau ICI. Tabel 3.9.2 Kegiatan atau Proyek Jerman terkait REDD+ di Indonesia Sumber Jerman Proyek yang Didanai Program Lama Jumlah Uraian Pendanaan (USD) (tahun) 28 juta 2010-2015 Pelaksanaan 117 BMU merupakan Kementerian Federal untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi Jerman untuk mitigasi dan adaptasi. 118 BMZ merupakan Kementerian Federal untuk Lingkungan, Konservasi Alam dan Keselamatan Nuklir Jerman. (KfW) Kehutanan dan Perubahan IklimFORCLIME (hibah kerjasama finansial) Jerman (GTZ) Program 10 juta Kehutanan dan Perubahan IklimFORCLIME (hibah kerjasama teknis) Program 32 juta Kehutanan II Jerman (KfW) Jerman (KfW) Jerman (ICI) Teknologi 2 juta pengurangan emisi sektor swasta- bantuan teknis Konservasi 2 juta Keanekaragaman Hayati melalui tindakan persiapan untuk menghindari deforestasi strategi REDD; penetapan REL dan pengembangan sistem MRV di tingkar kabupaten; memfasilitasi pengembangan skema distribusi insentif REDD. 2010-2015 Bukti kelayakan teknis dan ekonomi dari pendekatan REDD yang berpihak kepada rakyat miskin di kabupatenkabupaten terpilih di Kalimantan 2008-2011 Jerman (ICI) Menjamin 1,2 juta 2009-2011 penyerapan (hibah) karbon di Borneo (hibah untuk Wetlands Intl, BOS, etc) Perlindungan atau penggunaan secara berkelanjutan serapan karbon alam dengan relevansi REDD, peningkatan kapasitas, pengembangan kebijakan Jerman (ICI) Hutan Hujan 10 juta 2010-2013 Harapan(hibah) Percontohan pemulihan hutan yang terdegradasi di Sumatera Perlindungan atau penggunaan secara berkelanjutan serapan karbon alam dengan relevansi REDD, investasi Jerman (ICI) Konservasi Keanekaragaman Hayati melalui Tindakan Persiapan untuk REDD di hutan gambut Merang Pengelolaan hutan yang dibiayai kabon pada warisan hutan hujan tropis Sumatera Jerman (ICI) 2,98 juta (hibah) 2009-2011 Langkah-langkah persiapan untuk REDD di hutan gambut Merang, Sumatera Selatan 0,89 juta 2009-2011 Perlindungan atau penggunaan secara berkelanjutan serapan karbon alam dengan relevansi REDD, investasi Sumber: Diolah dari Brown and Peskett, ODI, 2011 dalam Peter Wood, HuMa, Mei 2010, lampiran vii hal. 3-4 6. Bank Dunia, ADB, dan IFC Dalam upaya mitigasi kehutanan terkait REDD+ di Indonesia, Bank Dunia memberikan bantuan dalam bentuk hibah maupun utang luar negeri. Terdapat beberapa proyek maupun kemitraan dari Bank Dunia terkait bantuan untuk persiapan kesiapan REDD+ di Indonesia, sebagai berikut: a. FCPF (Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan) Salah satu bantuan dalam bentuk hibah yang disalurkan Bank Dunia ke Indonesia yaitu FCPF. Kemitraan ini ditujukan untuk memberikan pengalaman dan kesiapan bagi negara berkembang dalam menerapkan REDD utamanya dari segi kebijakan, aktivitas pilot project di tingkat lokal, hingga mekanisme insentif keuangan.119 FCPF merupakan kemitraan yang jangka waktu pelaksanaan proyeknya dari tahun 2011-2013. Adapun dukungan dana hibah ini sebesar USD 3,6 juta. Secara spesifik, FCPF membantu negara-negara menyusun skenario acuan nasional untuk emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, mengadopsi dan menyempurnakan strategi nasional untuk REDD, serta merancang sistem MRV nasional. Kegiatan- Fitrian Ardiansyah, “Strategi Kemitraan Internasional: Upaya Penguatan Aktivitas Kehutanan-Perubahan Iklim di Indonesia” dalam Jurnal Luar Negeri, Volume 24, Nomor 2, MeiAgustus 2007, hal. 22 119 kegiatan ini disebut “Kesiapan REDD+” dan didukung sebagian oleh Dana Kesiapan FCPF.120 Program FCPF memiliki empat komponen utama yaitu kegiatan analisis, dukungan bagi proses kesiapan termasuk penyelesaian SESA121 dan ESMF122, kajian dan pengukuran dampak perubahan tata guna lahan terhadap emisi GRK, serta pengumpulan data dan peningkatan kapasitas daerah.123 SESA dan ESMF memiliki nilai yang sangat strategis karena secara langsung mempengaruhi kerangka kebijakan REDD+ maupun proyek-proyek REDD+ di masa datang.124 b. Program Investasi Kehutanan atau FIP Program Investasi Kehutanan di Indonesia memiliki kombinasi pendanaan dari hibah FIP dan pembiayaan pinjaman lunak. FIP ini didukung oleh tiga bank pembangunan multilateral (MDB) yaitu Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia atau ADB, dan IFC. Proyek yang didukung oleh ADB dan Bank Dunia bersifat hibah murni, sedangkan yang didukung 120 Catatan Kajian Proposal Persiapan Kesiapan (Readiness) atas Usulan Hibah senilai USD 3,6 juta kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk Dukungan Persiapan Kesiapan REDD+, 3 Februari 2011, Dokumen Bank Dunia, hal. 3 121 SESA merupakan kajian lingkungan hidup dan sosial strategis. SESA ini bagian dari subkomponen konsultasi dan sosialisasi bagi proses kesiapan REDD+ di Indonesia yang dibiayai dari hibah FCPF Bank Dunia. 122 ESMF merupakan kerangka pengelolaan lingkungan hidup dan sosial. ESMF juga sama seperti SESA. 123 Ibid., hal. 14 124 Ibid., hal. 19 IFC menggunakan pinjaman lunak dengan dana tambahan pendanaan hibah FIP.125 Dukungan dana dalam bentuk hibah sebesar USD 37,5 juta dan pinjaman lunak sebesar USD 32,5 juta. Tujuan utama dari FIP ini adalah untuk menyediakan pendanaan penghubung awal untuk kesiapan reformasi investasi publik dan swasta melalui kesiapan REDD nasional serta mengatasi hambatan dalam pengelolaan dan konservasi hutan.126 Adapun bentuk kegiatan dan investasi FIP Indonesia ini harus dapat memberikan keuntungan bersama termasuk pengentasan kemiskinan pada masyarakat yang bergantung pada hutan.127 Pelaksanaan Rencana Investasi Kehutanan Indonesia juga memiliki bidang intervensi dan tiga kelompok intervensi. Intervensi dirancang berdasarkan konsultasi yang dilakukan selama 2010-2011. Berikut tiga kelompok intervensi dalam FIP Indonesia128: 1. Menguji dan mengembangkan upaya REDD+ subnasional dengan mendukung rencana aksi REDD+ di provinsi Kalimatan Barat. (Kelompok intervensi ini didukung oleh ADB); 125 Ringkasan Eksekutif Program Investasi Kehutanan: Rencana Investasi Kehutanan Indonesia, Februari 2012, Republik Indonesia, hal. xvi 126 Ibid., hal.vi 127 Ibid., hal. xvi 128 Ibid., hal. vi 2. Mendorong pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat yang lestari dan pengembangan institusional. (Kelompok intervensi ini didukung oleh Bank Dunia); 3. Memperkuat peran sektor swasta untuk menanggapi insentif REDD+, terutama usaha perhutanan skala kecil, dengan memperkuat skema pengelolaan hutan lestari dengan manfaat penghasilan dari karbon hutan. (Kelompok intervensi ini didukung oleh IFC); c. Climate Change Development Programme Loan atau CCDPL (Pinjaman Program Pembangunan Perubahan Iklim) Pinjaman Program Bank Dunia ini dimulai tahun 2010. Pinjaman ini sama seperti pinjaman seperti CCPL Perancis dan Jepang yang dikategorikan pinjaman lunak dan mensyaratkan adanya policy matrix. CCDPL ini ditujukan untuk mendukung reformasi kebijakan guna menghadapi berbagai isu perubahan iklim melalui sasaran kegiatan yang ada dalam kerangka tiga tahunan policy matrix mencakup diantaranya bidang mitigasi kehutanan. Pendekatan reformasi kebijakan dalam pinjaman Bank Dunia ini menggunakan policy matrix yang terlebih dahulu digunakan antara pemerintah Indonesia-Jepang-Perancis dalam skema CCPL. Dengan beberapa penekanan di sektor diantaranya lahan gambut dan kehutanan. Bank Dunia menegaskan skema CCDPL memiliki kaitan langsung maupun tidak langsung dengan berbagai proyek atau program yang berjalan termasuk keterkaitan dengan program demonstrative activities dalam konteks REDD.129 Pembuatan policy matrix didasarkan pada RAN Perubahan Iklim Indonesia dan dokumen “National Development Planning: Response to Climate Change” (Yellow Book). Adapun total pinjaman program ini sebesar USD 200 juta tahun 2010 dan USD 200 juta tahun 2011.130 129 Dani Setiawan dan Agustinus Prasetyantoko, op. cit., hal. 76 130 Peter Wood, op. cit., lampiran vii hal. 1