PERAN NUKLEOTIDA SEBAGAI

advertisement
7
TINJAUAN PUSTAKA
Biologi Litopenaeus vannamei (Boone 1931)
Udang vaname termasuk krustase dalam ordo dekapoda dimana di
dalamnya juga termasuk udang, lobster dan kepiting. Klasifikasi udang vaname
adalah sebagai berikut (Wyban & Sweeney 1991):
Phylum
:Anthropoda
Subphylum
: Krustase
Class
: Malacostraca
Subclass
: Eumalacostraca
Superorder
: Eucarida
Order
: Decapoda
Suborder
: Dendrobranchiata
Super Family : Penaeidea
Family
: Penaeidae
Genus
: Litopenaeus
Spesies
: L. vannamei
Nama umum udang vaname adalah Pasific white shrimp, West Coast white
shrimp, Camaron blanco, Langostino.
Nama FAO adalah whiteleg shrimp,
Crevette pattes blanches, Camaron patiblanco (Elovaara 2001; Rosenberri 2006).
Ciri-ciri udang vanameadalah rostrum bergigi, biasanya 2-4 (kadangkadang 5-8) pada bagian ventral yang cukup panjang dan pada udang muda
melebihi
panjang
antennular
peduncle
(Gambar
2).Karapaks
memiliki
pronounced antenal dan hepatic spines. Pada udang jantan dewasa, petasma
symmetrical, semi-open, dan tidak tertutup. Spermatofora sangat kompleks yang
terdiri atas masa sperma yang dibungkus oleh suatu pembungkusyang
mengandung berbagai struktur perlekatan (anterior wing, lateral flap, caudal
flange, dorsal plate) maupun bahan-bahan adhesif dan glutinous. Udang betina
dewasa memiliki open thelycumdan sternit ridges, yang merupakan pembeda
utama udang vaname betina (Elovaara 2001).
8
Gambar 2 Morfologi Litopenaeus vannamei
(Sumber: Wyban & Sweeney 1991)
Udang vaname memiliki 6 fase nauplii, 3 fase protozoea dan 3 fase mysis
dalam siklus hidupnya. Fase larva (panjang karapaks 1,95 – 2,73 mm) dapat
dikenal melalui kurangnya spine pada sternit ke 7, dan panjang rostrum relatif
terhadap panjang mata termasuk tangkai mata.Ciri morfologi yang paling dapat
dikenal adalah perkembangan supraorbital spine pada fase zoea ke 2 dan ke 3.
Tubuh berwarna putih transparan sehingga lebih umum dikenal sebagai
“white shrimp”. Tubuh sering berwarna kebiruan karena lebih dominannya
kromatofor biru. Panjang tubuh dapat mencapai 23 cm. Udang vaname dapat
dibedakan dengan spesies lainnya berdasarkan pada eksternal genitalnya.
Distribusi
Udang vaname tersebar di bagian timur pantai Pasifik Amerika Tengah
dan Selatan dari Mexico sampai Peru(Elovaara 2001; Rosenberry 2006), dimana
daerah-daerah tersebut memiliki temperatur di atas 20oC sepanjang tahun (Wyban
9
& Sweeney 1991). Karena spesies ini relatif mudah dibudidayakan, maka udang
ini telah tersebar keseluruh dunia.
Habitat
Di alam udang ini menyukai dasar berlumpur pada kedalaman dari garis
pantai sampai sekitar 72 m. Hewan ini juga telah ditemukan menempati daerah
mangrove yang masih belum terganggu. Udang ini nampaknya dapat beradaptasi
dengan perubahan temperatur dan tekanan di alam. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa udang vanamedapat beradaptasi dengan baik pada level salinitas yang
sangat rendah sehingga menjadikan udang ini sebagai udang yang paling banyak
dibudidayakan di kolam air tawar (salinitas sangat rendah dimana udang ini dapat
beradaptasi (Elovaara 2001).
Molting dan Pertumbuhan
Pertumbuhan udang vaname, seperti halnya arthropoda lainnya, tergantung
pada dua faktor yaitu frekuensi molting (waktu antara molting) dan pertumbuhan
yaitu berapa besar pertumbuhan pada setiap molting baru (Wyban & Sweeney
1991).
Karena tubuh udang ditutupi oleh karapaks yang keras, maka untuk
tumbuh, karapaks yang lama harus dilepas dan diganti dengan yang baru dan lebih
besar. Saat molting, terjadi pemisahan kulit antara karapaks dan intercalary
sclerite, dimana sepalotoraks dan appendic anterior dikeluarkan. Karapaks baru
pada awalnya lunak, tetapi akan mengeras kembali pada laju yang proporsional
terhadap ukuran udang.
Molting merupakan fungsi dari ukuran udang, jika udang tumbuh maka
waktu antar molting meningkat. Pada fase larva, molting terjadi setiap 30-40 jam
pada temperatur 28°C. Juvenil udang ukuran 1–5 gram akan molting setiap 4-6
hari, tetapi udang berukuran 15 gram akan molting setiap 2 minggu.
Kondisi lingkungan dan faktor nutrisi juga mempengaruhi frekuensi
molting.
Pada temperatur yang lebih tinggi, frekuensi molting meningkat.
Selama molting, absorpsi oksigen menjadi kurang efisien dan udang yang mati
selama molting biasanya disebabkan olehkekurangan oksigen.Sesaat setelah
10
molting, karapaks masih lunak dan udang menjadi rentan terhadap predasi dari
sesamanya. Udang yang baru molting dengan kulit yang masih lunak sering
membenamkan diri dalam endapan detritus yang lunak.
Reproduksi dan Siklus Hidup
Karapaks udang vanameberwarna transparan sehingga memungkinkan
untuk mengamati warna perkembangan ovari. Pada betina, gonad pertama-tama
berwarna keputih-putihan, selanjutnya berkembang menjadi coklat emas atau
coklat kebiru-biruan pada saat akan memijah (Rosenberry 2006). Udang jantan
menyimpan spermatophora pada betina berkulit keras. Tingkah laku kawin
dimulai pada sore hari dimana hal ini berkaitan dengan ketersediaan intensitas
cahaya. Proses pemijahan dimulai dengan lompatan secara tiba-tiba dan udang
betina aktif berenang. Seluruh proses pemijahan berakhir selama sekitar satu
menit. Jumlah telur yang dapat dilepaskan seekor induk betina bervariasi menurut
ukuran individu. Udang berukuran 30–45 gr dapat melepaskan 100000–250000
butir telur. Ukuran diameter telur sekitar 0.22 mm.
Udang betina memiliki open thelycum dan inilah yang membedakannya
dengan dengan udang penaeid lainnya (Elovaara 2001). Udang jantan melekatkan
spermatophora berjeli (berisi sperma) pada open thelycum pada saat kawin.
Perkawinan terjadi pada saat udang betina berada pada fase intermolt pada saat
ovari telah mencapai kematangan.
Pelepasan telur terjadi pada malam hari
beberapa jam setelah perkawinan, biasanya kurang dari tiga jam. Proses pelepasan
telur berlangsung selama 1-3 menit dimana selama proses pelepasan telur, induk
betina melindungi telur yang baru dilepaskan. Hal ini memungkinkan sperma
untuk membuahi telur sebanyak mungkin. Segera setelah semua bahan genetik
dari jantan maupun betina bersatu maka pembuahanpun selesai.
Telur akan menetas menjadi nauplii dalam waktu sekitar 16-17 jam setelah
pembuahan. Jika diamati di bawah mikroskop,nauplii secara fisik nampak seperti
laba-laba air. Selama beberapa hari nauplii makan dari makanan cadangan dari
telur sampai nauplii bermetamorfosa menjadi zoeae sebagai tahap larva yang
kedua. Zoaea makan mikroalga selama 3-5 hari sebelum berkembang menjadi
11
mysis. Pada fase mysis, larva sudah mulai nampak seperti bentuk udang dewasa.
Selain mikro algae, mysis memakan diatom dan zooplankton, terutama di alam.
Fase mysis berlangsung selama 4 hari sampai mysis bermetamorfosa kembali
menjadi postlarva. Post larva telah berbentuk seperti udang dewasa, memakan
zooplankton, detritus dan berbagai formula makanan buatan jika dipelihara dalam
hatchery.
Di alam, udang dewasa mencapai matang gonad, kawin dan bertelur di laut
terbuka sampai pada kedalaman sekitar 70 m pada temperatur 26-28oC dan
salinitas sekitar 35 ppt. Setelah menetas, larva berkembang di perairan lepas
pantai ini dan setelah mencapai post larva, udang bermigrasi ke perairan pantai
dan menetap di dasar estuari yang dangkal. Setelah beberapa bulan di daerah
estuari, udang dewasa kembali bermigrasi ke perairan laut terbuka dimana
selanjutnya terjadi kematangan gonad, perkawinan, dan pemijahan (Gambar 3).
mysis
postlarva
Zoea
juvenil
nauplius
Udang muda
Telur
dibuahi
dewasa
Gambar 3Siklus hidup Litopenaeus vannamei
(Sumber: diadaptasikan dari Braak 2002)
12
Makanan dan Kebiasaan Makan
Di alam, udang penaeid bersifat karnivor yang memangsa krustase kecil,
ampipoda, polikaeta. Namun dalam tambak, udang ini makan makanan tambahan
atau detritus. Udang vanamebersifat nokturnal. Udang muda tetap membenamkan
diri dalam substrat selama siang hari dan tidak makan atau tidak mencari
makanan. Tingkah laku makan ini dapat diubah dengan pemberian pakan ke
dalam tambak. Hasil penelitian di Ocean Institute Honolulu menunjukkan bahwa
udang yang diberi pakan beberapa kali sehari tumbuh lebih cepat dibandingkan
dengan udang yang hanya diberi pakan sekali dalam satu hari (Wyban & Sweeney
1991).
Respon Imun Krustase
Krustase tidak memiliki respon imune spesifik (adaptive) dan nampak
bergantung pada berbagai respon imun nonspesifik (innate). Meskipun dianggap
tidak begitu memuaskan, respon imun nonspesifik mampu dengan cepat dan
efisien mengenal dan menghancurkan material asing, termasuk patogen (VargasAlbores & Yepiz-Plascencia 2000;Witteveldt et al. 2003).
Respon imun
nonspesifik terdiri atas respon selular dan respon humoral.
Respon Selular
Hemositkrustase, dan invertebrata lain, memainkan peranan penting dalam
sistem pertahanan tubuh terhadap patogen seperti virus, bakteri, fungi, protozoa,
dan metazoa (Johansson et al. 2000; Sindermann 1990; Rodriquez & Le Moullac
2000). Pertama, hemosit mengeluarkan partikel asing dalam hemocoel melalui
fagositosis, enkapsulasi dan aggregasi nodular. Kedua, hemosit berperan dalam
penyembuhan luka melalui cellular clumpingserta membawa dan melepaskan
prophenoloxidase system (proPO).
Hemosit juga berperan dalam sintesa dan
pelepasan molekul penting hemolim seperti α 2 -macroglubulin (α 2 M), agglutinin,
danpeptidaantibakteri(Rodriquez & Le Moullac 2000).
Klasifikasi tipe hemositkrustase terutama didasarkan pada keberadaan
granula sitoplasma, yaitu sel hyalin, semigranular, dan granular (Johansson et al.
2000; Le Moullac & Haffner 2000). Sel hyalin merupakan tipe sel yang paling
13
kecil dengan ratio nukleus sitoplasma tinggi dan tanpa atau hanya sedikit granula
sitoplasma; sel granular merupakan tipe sel paling besar dengan nukleus yang
lebih kecil dan terbungkus dengan granula; sel semi granular merupakan tipe sel
diantara hyalin dan granular. Masing-masing tipe sel aktif dalam reaksi kekebalan
tubuh, sebagai contoh, sel hyalin terlibat dalam fagositosis, sel semigranular aktif
dalam enkapsulasi, sel granular aktif dalam penyimpanan dan pelepasan proPO
system dan sitotoksisiti.
Jumlah hemosit dapat sangat bervariasi berdasarkan spesies, respon
terhadap infeksi, stres lingkungan, aktivitas endokrin selama siklus molting
(Johansson et al. 2000), seks, fase perkembangan, status reproduksi dan nutrisi
(Song et al. 2003). Pada kuruma shrimp (Marsupenaeus japonicus), total
hemocyte count (THC) sebanyak 1.7x107 sel ml-1, pada L. stylirostris 1.84x107
sel ml-1, P. monodon berkisar 2.10x107 sel ml-1 (flow cytometry) sampai 2.33x107
sel.ml-1 (hemacytometer). Hasil penelitian Song et al. (2003) menunjukkan bahwa
setelah
3-5 hari
diinfeksi dengan Taura Syndrome Virus (TSV),
THC L.
vannamei berukuran 10-20 g mengalami penurunan sebesar 70%
menjadi
7
0.345x10 sel ml
-1
7
-1
dibandingkan dengan kontrol 1.64x10 sel.ml ,
dengan
mortalitas mencapai 80%. Dalam kondisi hypoxia, THC L. styloristris turun
menjadi rendah serta udang menjadi lebih sensitif terhadap infeksi V.
aglinolyticus. Differential hemosit count (DHC) juga berubah (sel granular, semi
granular, dan hyalin) dengan perubahan besar terjadi pada sel hyalindan
semigranular (Le Moulac et al. 1998).
Pada M. japonicus dan L. stylirostris, jumlah hemosit terbesar ditemukan
pada fase postmoult dan terendah pada fase intermoult. Sel granular tertinggi
dilepaskan pada fase postmoult pada L. stylirostris dan S. ingentis sedangkan sel
hyalinmencapai puncak selama proses ganti kulit pada S. ingentis dan M.
japonicus. Adanya sel hyalin yang tinggi selama proses ganti kulit nampaknya
penting sebab mereka mengawali koagulasi dan mungkin terlibat dalam
pembentukan kulit.
Konsentrasi sel granular yang tinggi dalam hemolimL.
stylirostris selama fase intermoult berhubungan dengan aktivitasphenoloxidase
(PO) yang tinggi dan resistensi terhadap vibriosis (Le Moullac et al. 1997)
14
Fagositosis merupakan reaksi yang paling umum dalam pertahanan selular
udang. Proses fagositosis dimulai dengan perlekatan (attachment) dan penelanan
(ingestion) partikel mikroba ke dalam sel fagosit.
membentuk
vacuola
pencernaan
(digestive
Sel fagosit kemudian
vacuola)
yang
disebut
fagosom(Rodriquez & Le Moullac 2000). Lisosom(granula dalam sitoplasma
fagosit)
kemudian
menyatu
dengan
fagosom
membentuk
fagolisosom.
Mikroorganisme selanjutnya dihancurkan dan debris mikroba dikeluarkan dari
dalam sel melalui proses egestion (Gambar 4). Pemusnahan partikel mikroba
yang difagosit melibatkan pelepasan enzim ke dalam fagosom dan produksi ROI
(reactive oxygen intermediate) yang kini disebut respiratory burst (Rodriquez &
Le Moullac 2000; Sindermann 1990).
Gambar 4 Proses fagositosis
(Sumber:http://www.cliffsnotes.com/WileyCDA/CliffsReviewTopic/P
hagocytosis.topicArticleId-8524)
Hemosit berfungsi dalam enkapsulasi. Hal ini terjadi pada organisme
yang memiliki tubuh terlalu besar untuk fagositosis. Pada saat hemosit
mengelilingi tubuh benda asing yang besar, bagian sel terluar dari hemosit tetap
berbentuk oval atau bulat sedangkan bagian tengah sel menjadi datardan pada fase
berikutnya dilisis membentuk kapsul tebal berwarna coklat dan keras. Kapsul
15
tersebut tidak diserap kembali dan tetap sebagai tanda enkapsulasi meskipun
sudah tidak ada hemosit yang dikenal disitu. Hemosit juga berfungsi dalam
formasi melanin pada fase akhir penyembuhan atau perbaikan luka. Enzim yang
terlibat dalam formasi melanin adalah phenoloxidase (PO) dan telah ditemukan
terdapat dalam hemolim dan kulit arthropoda (Sritunyalucksana & Söderhäll
2000).
Respon Humoral
Proses imun pertama pada krustase adalah pengenalan mikroorganisme
penyerang yang dimediasi oleh hemosit dan plasma protein (Bachere 2000).
Beberapa tipe modulator protein telah diketahui dapat mengenal komponen
dinding sel mikroorganisme seperti β-1,3-glucan-binding protein (BGBP),
lipopolysaccharide-binding protein (LPS-BP), hemosit receptor yang mengikat
plasmatic glucan-binding protein (PGBP) setelah PGBP bereaksi dengan β-1,3glukan;
peptidoglycan
recognition
protein
yang
mampu
mengaktifkan
phenoloxidase.
Enzim phenoloxidase (PO) terdapat dalam hemolim sebagai inactive proenzyme yang disebut proPO.
Transformasi proPO menjadi PO melibatkan
beberapa reaksi dikenal sebagai proPO activating system (sistem aktivasi proPO).
Sistem ini terutama diaktifkan oleh beta glukan, dinding sel bakteri dan LPS.
Sistem aktivasi proPO dipertimbangkan sebagai bagian dari sistem imun yang
mungkin bertanggung jawab terhadap proses pengenalan benda asing dalam
sistem pertahanan krustase dan insekta. Sistem proPO dapat digunakan sebagai
marker kesehatan udang dan lingkungan karena perubahan sistemproPO
berkorelasi dengan tahap infeksi dan variasi lingkungan.
Enzim phenoloxidase (PO) bertanggung jawab terhadap proses melanisasi
pada artropoda (Rodriquez & Le Moullac 2000).
Enzim ini mengkatalis
hidroksilasi monophenol dan oksidasi phenol menjadi quinones yang diperlukan
untuk proses melanisasi sebagai respon terhadap penyerang asing dan selama
proses penyembuhan (Sritunyalucksana & Söderhäll 2000; Vargas-Albores &
Yepiz-Plascencia 2000). Quinone selanjutnya diubah melalui suatu reaksi non-
16
enzymatic menjadi melanin dan sering dideposit pada benda yang dienkapsulasi,
dalam nodulhemosit, dan pada daerah kulit yang terinfeksi jamur.
Produksi
reactive oxygen species seperti superoxide anion dan hydroxyl radical selama
pembentukan quonoid juga memainkan peranan penting sebagai antimikroba.
Reaksi biologi seperti fagositosis, enkapsulasi dan nodulasi juga diaktifkan.
Vaksinasi mungkin dapat meningkatkan aktivitashemosit, fagositosis dan
aktivitas opsonin.
Pada invertebrata yang tidak memiliki antibodi, lektin
berfungsi sebagai molekul pengenal (recognition molecules) untuk aktivitas
pertahanan seperti agregasi dan opsonisasi (Wittevelt et al. 2003). Lektin
merupakan suatu set protein yang secara spesifik mengikat pada molekul gula
termasuk glikoprotein dan glikolipid. Hasil uji coba Namikoshi et al. (2004)
menunjukkan bahwa penggunaan formalin-inactivatedWSSV vaksin dapat
meningkatkan resistensi P. japonicus terhadap WSSV sepuluh hari setelah
divaksinasi dengan metoda vaksinasi intramuskular. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Wittevelt et al. (2003) juga memperlihatkan bahwa penggunaan
WSSV subunit vaksin dapat meningkatkan resistensi udang windu terhadap
WSSV meskipun udang tidak memiliki respon imun spesifik.
Imunostimulan
Sejumlah substan biologi dan sintetik telah ditemukan dapat meningkatkan
sistemimun nonspesifik ikan. Bahan tersebut dapat meningkatkan resistensi ikan
dan udang terhadap infeksi sejumlah patogen secara simultan(Kumari et al. 2003;
Raa et al. 1992). Oleh karena itu maka imunostimulan sangat penting untuk
digunakan dalam kontrol penyakit karena menawarkan suatu alternatif terhadap
penggunaan antibiotik yang saat ini banyak digunakan dalam budidaya ikan dan
krustase (Cook et al. 2003; Yin et al. 2006), serta tanpa efek samping (Yin et al.
2006).
Secara sederhana, imunostimulan merupakan suatu substan yang
merangsang atau meningkatkan sistem imun dengan berinteraksi secara langsung
dengan sel-sel yang mengaktifkan sistem imun (Gannam & Schrok 2001).
Mekanisme kerja imunostimulan dalam merangsang sistem imun tubuh adalah
17
dengan cara meningkatkan aktivitas sel-sel fagosit(Yin et al. 2006). Jadi
imunostimulan meningkatkan resistensi ikan atau udang terhadap patogensecara
simultan dengan cara merangsang respon imun nonspesifik (Gannam & Schrok
2001). Imunostimulan dapat berupa bakteri dan produk bakteri, yeast, kompleks
karbohidrat, faktor nutrisi, ekstrak hewan, ektrak tumbuhan, dan obat-obatan
sintetik (Cook et al. 2003; Sakai 1999; Sealey & Gatlin 2001).
Nukleotida merupakan nutrien semi esensial bagi ikan dan krustase.
Nukleotida memiliki peranan penting dalam fisiologi dan biokimia seperti
penandaan (encoding) dan penerusan informasi genetik, memediasi energi
metabolisme dan cell signalling serta sebagai komponen koensim, allosteric
effectors, dan cellular agonist (Li & Galtin 2006). Nukleotida terdiri atas basa
purin atau pirimidin,ribosa atau 2’-deoksiribosa dan satu atau lebih grup fosfat.
Basa purin yang utama terdiri atas adenin, guanin, hiposantin dan santin.
Nukleosida purinmengandung ribosa atau 2-deoksiribosa yang berikatan dengan
cicin purin melalui ikatan glikosidik (glycosidic bond) pada N-9. Nukleotida
merupakan fosfat ester dari nukleosida. Basa pirimidinyang utama terdiri atas
urasil, timin, dan sitosin. Urasil dan sitosin merupakan komponen pirimidin utama
dari RNA.Nukleosida pirimidin atau nukleotida mengandungribosa atau 2’deoksiribosayang berikatan dengan pirimidin melalui ikatan glikosidik pada N-1.
Fosfat esterdari nukleosida pirimidin adalah UMP, CMP, dan TMP (Devlin 2002;
Li & Galtin 2006).Secara alami nukleotida terdapat dalam semua makanan yang
berasal dari hewan dan tumbuhan dalam bentuk nukleotida bebas dan asam
nukleat.
Purin dan pirimidin disintesa dari de novo pathway atau diperoleh dari
salvage pathway.Purin disintesa dalam sitosol sel mamalia dari glycine, aspartate,
glutamine, turunan tetrahydrofolate dan CO 2 dengan input energi yang besar.
Pirimidin disintesa dari aspartate, glutamine, dan CO 2 dalam sitosol dan
mitokondria sel mamalia. Jalur sintesa ini mungkin juga terjadi pada ikan.
Kebutuhan nukleotida untuk fungsi fiosiologi hewan dapat dipenuhi dari
sintesa de novo. Namun demikian, suplai nukleotida dari sintesa tersebut tidak
cukup untuk menjalankan fungsi fisiologi secara optimal terutama pada
18
sistemimun pada saat berada dalam kondisi stres (Li et al. 2004).
akuakultur,
stres
akibat
penanganan
(handling),
penyortiran
Dalam
(grading),
pengangkutan, kepadatan tinggi, penyakit, dan kualitas air yang kurang baik
merupakan masalah yang umum terjadi dan karenanya penambahan nukleotida
dalam pakan mungkin diperlukan (Burrells et al. 200; Li et al. 2004).
Hasil-hasil penelitian pada manusia dan hewan ternak memperlihatkan
bahwa penambahan nukleotida dalam pakan dapat meningkatkan cell-mediated
immunity(CMI), proliferasi limfosit, interleukin-2, dan meningkatkan resistensi
terhadap infeksi bakteri (Li et al. 2004). Sebaliknya, hewan yang diberi pakan
yang tidak mengandung nukleotida menderita gangguan pada fungsi imun selular
dan humoral seperti penurunan aktivitasNK-cell dan makrofag, produksi sitokin
rendah, penurunan produksi antibodi, dan suseptibilitas terhadap infeksi
meningkat (Field et al.
2002).
Penambahan nukleotida dalam pakan dapat
memperbaiki kondisi tersebut. Pada bayi yang diberi susu ibu atau makanan yang
ditambahkan nukleotida memiliki aktivitasNK-cell dan produksi IL-2 yang lebih
tinggi dibandingkan dengan bayi yang diberi makanan tanpa suplementasi
nukleotida. Makanan anak-anak yang tersedia saat ini umumnya telah
ditambahkan nukleotida. Bagaimana mekanisme nukleotida dalam meningkatkan
fungsi imun belum diketahui dan perlu diteliti lebih lanjut.
Perhatian terhadap suplementasi nukleotida sebagai imunostimulan pada
pakan ikan mulai meningkat sejak adanya laporan Burrels et al. (2001) yang
memperlihatkan bahwa pakan yang ditambahkan nukleotida dapat meningkatkan
resistensi ikan terhadap infeksi virus, bakteri dan parasit. Nukleotida dapat juga
meningkatkan pertumbuhan serta meningkatkan toleransi ikan terhadap stres.
Pada udang, nukleotida merupakan nutrient kunci (key nutrient) bagi sistem imun
udang dan pemberian nukleotida seperti yeast atau ekstrak yeast dapat
meningkatkan resistensi dan pertumbuhan udang.
Download