7 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Litopenaeus vannamei (Boone 1931) Udang vaname termasuk krustase dalam ordo dekapoda dimana di dalamnya juga termasuk udang, lobster dan kepiting. Klasifikasi udang vaname adalah sebagai berikut (Wyban & Sweeney 1991): Phylum :Anthropoda Subphylum : Krustase Class : Malacostraca Subclass : Eumalacostraca Superorder : Eucarida Order : Decapoda Suborder : Dendrobranchiata Super Family : Penaeidea Family : Penaeidae Genus : Litopenaeus Spesies : L. vannamei Nama umum udang vaname adalah Pasific white shrimp, West Coast white shrimp, Camaron blanco, Langostino. Nama FAO adalah whiteleg shrimp, Crevette pattes blanches, Camaron patiblanco (Elovaara 2001; Rosenberri 2006). Ciri-ciri udang vanameadalah rostrum bergigi, biasanya 2-4 (kadangkadang 5-8) pada bagian ventral yang cukup panjang dan pada udang muda melebihi panjang antennular peduncle (Gambar 2).Karapaks memiliki pronounced antenal dan hepatic spines. Pada udang jantan dewasa, petasma symmetrical, semi-open, dan tidak tertutup. Spermatofora sangat kompleks yang terdiri atas masa sperma yang dibungkus oleh suatu pembungkusyang mengandung berbagai struktur perlekatan (anterior wing, lateral flap, caudal flange, dorsal plate) maupun bahan-bahan adhesif dan glutinous. Udang betina dewasa memiliki open thelycumdan sternit ridges, yang merupakan pembeda utama udang vaname betina (Elovaara 2001). 8 Gambar 2 Morfologi Litopenaeus vannamei (Sumber: Wyban & Sweeney 1991) Udang vaname memiliki 6 fase nauplii, 3 fase protozoea dan 3 fase mysis dalam siklus hidupnya. Fase larva (panjang karapaks 1,95 – 2,73 mm) dapat dikenal melalui kurangnya spine pada sternit ke 7, dan panjang rostrum relatif terhadap panjang mata termasuk tangkai mata.Ciri morfologi yang paling dapat dikenal adalah perkembangan supraorbital spine pada fase zoea ke 2 dan ke 3. Tubuh berwarna putih transparan sehingga lebih umum dikenal sebagai “white shrimp”. Tubuh sering berwarna kebiruan karena lebih dominannya kromatofor biru. Panjang tubuh dapat mencapai 23 cm. Udang vaname dapat dibedakan dengan spesies lainnya berdasarkan pada eksternal genitalnya. Distribusi Udang vaname tersebar di bagian timur pantai Pasifik Amerika Tengah dan Selatan dari Mexico sampai Peru(Elovaara 2001; Rosenberry 2006), dimana daerah-daerah tersebut memiliki temperatur di atas 20oC sepanjang tahun (Wyban 9 & Sweeney 1991). Karena spesies ini relatif mudah dibudidayakan, maka udang ini telah tersebar keseluruh dunia. Habitat Di alam udang ini menyukai dasar berlumpur pada kedalaman dari garis pantai sampai sekitar 72 m. Hewan ini juga telah ditemukan menempati daerah mangrove yang masih belum terganggu. Udang ini nampaknya dapat beradaptasi dengan perubahan temperatur dan tekanan di alam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa udang vanamedapat beradaptasi dengan baik pada level salinitas yang sangat rendah sehingga menjadikan udang ini sebagai udang yang paling banyak dibudidayakan di kolam air tawar (salinitas sangat rendah dimana udang ini dapat beradaptasi (Elovaara 2001). Molting dan Pertumbuhan Pertumbuhan udang vaname, seperti halnya arthropoda lainnya, tergantung pada dua faktor yaitu frekuensi molting (waktu antara molting) dan pertumbuhan yaitu berapa besar pertumbuhan pada setiap molting baru (Wyban & Sweeney 1991). Karena tubuh udang ditutupi oleh karapaks yang keras, maka untuk tumbuh, karapaks yang lama harus dilepas dan diganti dengan yang baru dan lebih besar. Saat molting, terjadi pemisahan kulit antara karapaks dan intercalary sclerite, dimana sepalotoraks dan appendic anterior dikeluarkan. Karapaks baru pada awalnya lunak, tetapi akan mengeras kembali pada laju yang proporsional terhadap ukuran udang. Molting merupakan fungsi dari ukuran udang, jika udang tumbuh maka waktu antar molting meningkat. Pada fase larva, molting terjadi setiap 30-40 jam pada temperatur 28°C. Juvenil udang ukuran 1–5 gram akan molting setiap 4-6 hari, tetapi udang berukuran 15 gram akan molting setiap 2 minggu. Kondisi lingkungan dan faktor nutrisi juga mempengaruhi frekuensi molting. Pada temperatur yang lebih tinggi, frekuensi molting meningkat. Selama molting, absorpsi oksigen menjadi kurang efisien dan udang yang mati selama molting biasanya disebabkan olehkekurangan oksigen.Sesaat setelah 10 molting, karapaks masih lunak dan udang menjadi rentan terhadap predasi dari sesamanya. Udang yang baru molting dengan kulit yang masih lunak sering membenamkan diri dalam endapan detritus yang lunak. Reproduksi dan Siklus Hidup Karapaks udang vanameberwarna transparan sehingga memungkinkan untuk mengamati warna perkembangan ovari. Pada betina, gonad pertama-tama berwarna keputih-putihan, selanjutnya berkembang menjadi coklat emas atau coklat kebiru-biruan pada saat akan memijah (Rosenberry 2006). Udang jantan menyimpan spermatophora pada betina berkulit keras. Tingkah laku kawin dimulai pada sore hari dimana hal ini berkaitan dengan ketersediaan intensitas cahaya. Proses pemijahan dimulai dengan lompatan secara tiba-tiba dan udang betina aktif berenang. Seluruh proses pemijahan berakhir selama sekitar satu menit. Jumlah telur yang dapat dilepaskan seekor induk betina bervariasi menurut ukuran individu. Udang berukuran 30–45 gr dapat melepaskan 100000–250000 butir telur. Ukuran diameter telur sekitar 0.22 mm. Udang betina memiliki open thelycum dan inilah yang membedakannya dengan dengan udang penaeid lainnya (Elovaara 2001). Udang jantan melekatkan spermatophora berjeli (berisi sperma) pada open thelycum pada saat kawin. Perkawinan terjadi pada saat udang betina berada pada fase intermolt pada saat ovari telah mencapai kematangan. Pelepasan telur terjadi pada malam hari beberapa jam setelah perkawinan, biasanya kurang dari tiga jam. Proses pelepasan telur berlangsung selama 1-3 menit dimana selama proses pelepasan telur, induk betina melindungi telur yang baru dilepaskan. Hal ini memungkinkan sperma untuk membuahi telur sebanyak mungkin. Segera setelah semua bahan genetik dari jantan maupun betina bersatu maka pembuahanpun selesai. Telur akan menetas menjadi nauplii dalam waktu sekitar 16-17 jam setelah pembuahan. Jika diamati di bawah mikroskop,nauplii secara fisik nampak seperti laba-laba air. Selama beberapa hari nauplii makan dari makanan cadangan dari telur sampai nauplii bermetamorfosa menjadi zoeae sebagai tahap larva yang kedua. Zoaea makan mikroalga selama 3-5 hari sebelum berkembang menjadi 11 mysis. Pada fase mysis, larva sudah mulai nampak seperti bentuk udang dewasa. Selain mikro algae, mysis memakan diatom dan zooplankton, terutama di alam. Fase mysis berlangsung selama 4 hari sampai mysis bermetamorfosa kembali menjadi postlarva. Post larva telah berbentuk seperti udang dewasa, memakan zooplankton, detritus dan berbagai formula makanan buatan jika dipelihara dalam hatchery. Di alam, udang dewasa mencapai matang gonad, kawin dan bertelur di laut terbuka sampai pada kedalaman sekitar 70 m pada temperatur 26-28oC dan salinitas sekitar 35 ppt. Setelah menetas, larva berkembang di perairan lepas pantai ini dan setelah mencapai post larva, udang bermigrasi ke perairan pantai dan menetap di dasar estuari yang dangkal. Setelah beberapa bulan di daerah estuari, udang dewasa kembali bermigrasi ke perairan laut terbuka dimana selanjutnya terjadi kematangan gonad, perkawinan, dan pemijahan (Gambar 3). mysis postlarva Zoea juvenil nauplius Udang muda Telur dibuahi dewasa Gambar 3Siklus hidup Litopenaeus vannamei (Sumber: diadaptasikan dari Braak 2002) 12 Makanan dan Kebiasaan Makan Di alam, udang penaeid bersifat karnivor yang memangsa krustase kecil, ampipoda, polikaeta. Namun dalam tambak, udang ini makan makanan tambahan atau detritus. Udang vanamebersifat nokturnal. Udang muda tetap membenamkan diri dalam substrat selama siang hari dan tidak makan atau tidak mencari makanan. Tingkah laku makan ini dapat diubah dengan pemberian pakan ke dalam tambak. Hasil penelitian di Ocean Institute Honolulu menunjukkan bahwa udang yang diberi pakan beberapa kali sehari tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan udang yang hanya diberi pakan sekali dalam satu hari (Wyban & Sweeney 1991). Respon Imun Krustase Krustase tidak memiliki respon imune spesifik (adaptive) dan nampak bergantung pada berbagai respon imun nonspesifik (innate). Meskipun dianggap tidak begitu memuaskan, respon imun nonspesifik mampu dengan cepat dan efisien mengenal dan menghancurkan material asing, termasuk patogen (VargasAlbores & Yepiz-Plascencia 2000;Witteveldt et al. 2003). Respon imun nonspesifik terdiri atas respon selular dan respon humoral. Respon Selular Hemositkrustase, dan invertebrata lain, memainkan peranan penting dalam sistem pertahanan tubuh terhadap patogen seperti virus, bakteri, fungi, protozoa, dan metazoa (Johansson et al. 2000; Sindermann 1990; Rodriquez & Le Moullac 2000). Pertama, hemosit mengeluarkan partikel asing dalam hemocoel melalui fagositosis, enkapsulasi dan aggregasi nodular. Kedua, hemosit berperan dalam penyembuhan luka melalui cellular clumpingserta membawa dan melepaskan prophenoloxidase system (proPO). Hemosit juga berperan dalam sintesa dan pelepasan molekul penting hemolim seperti α 2 -macroglubulin (α 2 M), agglutinin, danpeptidaantibakteri(Rodriquez & Le Moullac 2000). Klasifikasi tipe hemositkrustase terutama didasarkan pada keberadaan granula sitoplasma, yaitu sel hyalin, semigranular, dan granular (Johansson et al. 2000; Le Moullac & Haffner 2000). Sel hyalin merupakan tipe sel yang paling 13 kecil dengan ratio nukleus sitoplasma tinggi dan tanpa atau hanya sedikit granula sitoplasma; sel granular merupakan tipe sel paling besar dengan nukleus yang lebih kecil dan terbungkus dengan granula; sel semi granular merupakan tipe sel diantara hyalin dan granular. Masing-masing tipe sel aktif dalam reaksi kekebalan tubuh, sebagai contoh, sel hyalin terlibat dalam fagositosis, sel semigranular aktif dalam enkapsulasi, sel granular aktif dalam penyimpanan dan pelepasan proPO system dan sitotoksisiti. Jumlah hemosit dapat sangat bervariasi berdasarkan spesies, respon terhadap infeksi, stres lingkungan, aktivitas endokrin selama siklus molting (Johansson et al. 2000), seks, fase perkembangan, status reproduksi dan nutrisi (Song et al. 2003). Pada kuruma shrimp (Marsupenaeus japonicus), total hemocyte count (THC) sebanyak 1.7x107 sel ml-1, pada L. stylirostris 1.84x107 sel ml-1, P. monodon berkisar 2.10x107 sel ml-1 (flow cytometry) sampai 2.33x107 sel.ml-1 (hemacytometer). Hasil penelitian Song et al. (2003) menunjukkan bahwa setelah 3-5 hari diinfeksi dengan Taura Syndrome Virus (TSV), THC L. vannamei berukuran 10-20 g mengalami penurunan sebesar 70% menjadi 7 0.345x10 sel ml -1 7 -1 dibandingkan dengan kontrol 1.64x10 sel.ml , dengan mortalitas mencapai 80%. Dalam kondisi hypoxia, THC L. styloristris turun menjadi rendah serta udang menjadi lebih sensitif terhadap infeksi V. aglinolyticus. Differential hemosit count (DHC) juga berubah (sel granular, semi granular, dan hyalin) dengan perubahan besar terjadi pada sel hyalindan semigranular (Le Moulac et al. 1998). Pada M. japonicus dan L. stylirostris, jumlah hemosit terbesar ditemukan pada fase postmoult dan terendah pada fase intermoult. Sel granular tertinggi dilepaskan pada fase postmoult pada L. stylirostris dan S. ingentis sedangkan sel hyalinmencapai puncak selama proses ganti kulit pada S. ingentis dan M. japonicus. Adanya sel hyalin yang tinggi selama proses ganti kulit nampaknya penting sebab mereka mengawali koagulasi dan mungkin terlibat dalam pembentukan kulit. Konsentrasi sel granular yang tinggi dalam hemolimL. stylirostris selama fase intermoult berhubungan dengan aktivitasphenoloxidase (PO) yang tinggi dan resistensi terhadap vibriosis (Le Moullac et al. 1997) 14 Fagositosis merupakan reaksi yang paling umum dalam pertahanan selular udang. Proses fagositosis dimulai dengan perlekatan (attachment) dan penelanan (ingestion) partikel mikroba ke dalam sel fagosit. membentuk vacuola pencernaan (digestive Sel fagosit kemudian vacuola) yang disebut fagosom(Rodriquez & Le Moullac 2000). Lisosom(granula dalam sitoplasma fagosit) kemudian menyatu dengan fagosom membentuk fagolisosom. Mikroorganisme selanjutnya dihancurkan dan debris mikroba dikeluarkan dari dalam sel melalui proses egestion (Gambar 4). Pemusnahan partikel mikroba yang difagosit melibatkan pelepasan enzim ke dalam fagosom dan produksi ROI (reactive oxygen intermediate) yang kini disebut respiratory burst (Rodriquez & Le Moullac 2000; Sindermann 1990). Gambar 4 Proses fagositosis (Sumber:http://www.cliffsnotes.com/WileyCDA/CliffsReviewTopic/P hagocytosis.topicArticleId-8524) Hemosit berfungsi dalam enkapsulasi. Hal ini terjadi pada organisme yang memiliki tubuh terlalu besar untuk fagositosis. Pada saat hemosit mengelilingi tubuh benda asing yang besar, bagian sel terluar dari hemosit tetap berbentuk oval atau bulat sedangkan bagian tengah sel menjadi datardan pada fase berikutnya dilisis membentuk kapsul tebal berwarna coklat dan keras. Kapsul 15 tersebut tidak diserap kembali dan tetap sebagai tanda enkapsulasi meskipun sudah tidak ada hemosit yang dikenal disitu. Hemosit juga berfungsi dalam formasi melanin pada fase akhir penyembuhan atau perbaikan luka. Enzim yang terlibat dalam formasi melanin adalah phenoloxidase (PO) dan telah ditemukan terdapat dalam hemolim dan kulit arthropoda (Sritunyalucksana & Söderhäll 2000). Respon Humoral Proses imun pertama pada krustase adalah pengenalan mikroorganisme penyerang yang dimediasi oleh hemosit dan plasma protein (Bachere 2000). Beberapa tipe modulator protein telah diketahui dapat mengenal komponen dinding sel mikroorganisme seperti β-1,3-glucan-binding protein (BGBP), lipopolysaccharide-binding protein (LPS-BP), hemosit receptor yang mengikat plasmatic glucan-binding protein (PGBP) setelah PGBP bereaksi dengan β-1,3glukan; peptidoglycan recognition protein yang mampu mengaktifkan phenoloxidase. Enzim phenoloxidase (PO) terdapat dalam hemolim sebagai inactive proenzyme yang disebut proPO. Transformasi proPO menjadi PO melibatkan beberapa reaksi dikenal sebagai proPO activating system (sistem aktivasi proPO). Sistem ini terutama diaktifkan oleh beta glukan, dinding sel bakteri dan LPS. Sistem aktivasi proPO dipertimbangkan sebagai bagian dari sistem imun yang mungkin bertanggung jawab terhadap proses pengenalan benda asing dalam sistem pertahanan krustase dan insekta. Sistem proPO dapat digunakan sebagai marker kesehatan udang dan lingkungan karena perubahan sistemproPO berkorelasi dengan tahap infeksi dan variasi lingkungan. Enzim phenoloxidase (PO) bertanggung jawab terhadap proses melanisasi pada artropoda (Rodriquez & Le Moullac 2000). Enzim ini mengkatalis hidroksilasi monophenol dan oksidasi phenol menjadi quinones yang diperlukan untuk proses melanisasi sebagai respon terhadap penyerang asing dan selama proses penyembuhan (Sritunyalucksana & Söderhäll 2000; Vargas-Albores & Yepiz-Plascencia 2000). Quinone selanjutnya diubah melalui suatu reaksi non- 16 enzymatic menjadi melanin dan sering dideposit pada benda yang dienkapsulasi, dalam nodulhemosit, dan pada daerah kulit yang terinfeksi jamur. Produksi reactive oxygen species seperti superoxide anion dan hydroxyl radical selama pembentukan quonoid juga memainkan peranan penting sebagai antimikroba. Reaksi biologi seperti fagositosis, enkapsulasi dan nodulasi juga diaktifkan. Vaksinasi mungkin dapat meningkatkan aktivitashemosit, fagositosis dan aktivitas opsonin. Pada invertebrata yang tidak memiliki antibodi, lektin berfungsi sebagai molekul pengenal (recognition molecules) untuk aktivitas pertahanan seperti agregasi dan opsonisasi (Wittevelt et al. 2003). Lektin merupakan suatu set protein yang secara spesifik mengikat pada molekul gula termasuk glikoprotein dan glikolipid. Hasil uji coba Namikoshi et al. (2004) menunjukkan bahwa penggunaan formalin-inactivatedWSSV vaksin dapat meningkatkan resistensi P. japonicus terhadap WSSV sepuluh hari setelah divaksinasi dengan metoda vaksinasi intramuskular. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wittevelt et al. (2003) juga memperlihatkan bahwa penggunaan WSSV subunit vaksin dapat meningkatkan resistensi udang windu terhadap WSSV meskipun udang tidak memiliki respon imun spesifik. Imunostimulan Sejumlah substan biologi dan sintetik telah ditemukan dapat meningkatkan sistemimun nonspesifik ikan. Bahan tersebut dapat meningkatkan resistensi ikan dan udang terhadap infeksi sejumlah patogen secara simultan(Kumari et al. 2003; Raa et al. 1992). Oleh karena itu maka imunostimulan sangat penting untuk digunakan dalam kontrol penyakit karena menawarkan suatu alternatif terhadap penggunaan antibiotik yang saat ini banyak digunakan dalam budidaya ikan dan krustase (Cook et al. 2003; Yin et al. 2006), serta tanpa efek samping (Yin et al. 2006). Secara sederhana, imunostimulan merupakan suatu substan yang merangsang atau meningkatkan sistem imun dengan berinteraksi secara langsung dengan sel-sel yang mengaktifkan sistem imun (Gannam & Schrok 2001). Mekanisme kerja imunostimulan dalam merangsang sistem imun tubuh adalah 17 dengan cara meningkatkan aktivitas sel-sel fagosit(Yin et al. 2006). Jadi imunostimulan meningkatkan resistensi ikan atau udang terhadap patogensecara simultan dengan cara merangsang respon imun nonspesifik (Gannam & Schrok 2001). Imunostimulan dapat berupa bakteri dan produk bakteri, yeast, kompleks karbohidrat, faktor nutrisi, ekstrak hewan, ektrak tumbuhan, dan obat-obatan sintetik (Cook et al. 2003; Sakai 1999; Sealey & Gatlin 2001). Nukleotida merupakan nutrien semi esensial bagi ikan dan krustase. Nukleotida memiliki peranan penting dalam fisiologi dan biokimia seperti penandaan (encoding) dan penerusan informasi genetik, memediasi energi metabolisme dan cell signalling serta sebagai komponen koensim, allosteric effectors, dan cellular agonist (Li & Galtin 2006). Nukleotida terdiri atas basa purin atau pirimidin,ribosa atau 2’-deoksiribosa dan satu atau lebih grup fosfat. Basa purin yang utama terdiri atas adenin, guanin, hiposantin dan santin. Nukleosida purinmengandung ribosa atau 2-deoksiribosa yang berikatan dengan cicin purin melalui ikatan glikosidik (glycosidic bond) pada N-9. Nukleotida merupakan fosfat ester dari nukleosida. Basa pirimidinyang utama terdiri atas urasil, timin, dan sitosin. Urasil dan sitosin merupakan komponen pirimidin utama dari RNA.Nukleosida pirimidin atau nukleotida mengandungribosa atau 2’deoksiribosayang berikatan dengan pirimidin melalui ikatan glikosidik pada N-1. Fosfat esterdari nukleosida pirimidin adalah UMP, CMP, dan TMP (Devlin 2002; Li & Galtin 2006).Secara alami nukleotida terdapat dalam semua makanan yang berasal dari hewan dan tumbuhan dalam bentuk nukleotida bebas dan asam nukleat. Purin dan pirimidin disintesa dari de novo pathway atau diperoleh dari salvage pathway.Purin disintesa dalam sitosol sel mamalia dari glycine, aspartate, glutamine, turunan tetrahydrofolate dan CO 2 dengan input energi yang besar. Pirimidin disintesa dari aspartate, glutamine, dan CO 2 dalam sitosol dan mitokondria sel mamalia. Jalur sintesa ini mungkin juga terjadi pada ikan. Kebutuhan nukleotida untuk fungsi fiosiologi hewan dapat dipenuhi dari sintesa de novo. Namun demikian, suplai nukleotida dari sintesa tersebut tidak cukup untuk menjalankan fungsi fisiologi secara optimal terutama pada 18 sistemimun pada saat berada dalam kondisi stres (Li et al. 2004). akuakultur, stres akibat penanganan (handling), penyortiran Dalam (grading), pengangkutan, kepadatan tinggi, penyakit, dan kualitas air yang kurang baik merupakan masalah yang umum terjadi dan karenanya penambahan nukleotida dalam pakan mungkin diperlukan (Burrells et al. 200; Li et al. 2004). Hasil-hasil penelitian pada manusia dan hewan ternak memperlihatkan bahwa penambahan nukleotida dalam pakan dapat meningkatkan cell-mediated immunity(CMI), proliferasi limfosit, interleukin-2, dan meningkatkan resistensi terhadap infeksi bakteri (Li et al. 2004). Sebaliknya, hewan yang diberi pakan yang tidak mengandung nukleotida menderita gangguan pada fungsi imun selular dan humoral seperti penurunan aktivitasNK-cell dan makrofag, produksi sitokin rendah, penurunan produksi antibodi, dan suseptibilitas terhadap infeksi meningkat (Field et al. 2002). Penambahan nukleotida dalam pakan dapat memperbaiki kondisi tersebut. Pada bayi yang diberi susu ibu atau makanan yang ditambahkan nukleotida memiliki aktivitasNK-cell dan produksi IL-2 yang lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang diberi makanan tanpa suplementasi nukleotida. Makanan anak-anak yang tersedia saat ini umumnya telah ditambahkan nukleotida. Bagaimana mekanisme nukleotida dalam meningkatkan fungsi imun belum diketahui dan perlu diteliti lebih lanjut. Perhatian terhadap suplementasi nukleotida sebagai imunostimulan pada pakan ikan mulai meningkat sejak adanya laporan Burrels et al. (2001) yang memperlihatkan bahwa pakan yang ditambahkan nukleotida dapat meningkatkan resistensi ikan terhadap infeksi virus, bakteri dan parasit. Nukleotida dapat juga meningkatkan pertumbuhan serta meningkatkan toleransi ikan terhadap stres. Pada udang, nukleotida merupakan nutrient kunci (key nutrient) bagi sistem imun udang dan pemberian nukleotida seperti yeast atau ekstrak yeast dapat meningkatkan resistensi dan pertumbuhan udang.