China Incar Sektor Perikanan HARIAN SINDO, Monday, 04 October 2010 KETIKA pertama kali perjanjian kawasan perdagangan bebas antara ASEAN dan China (ASEAN China Free Trade Area/ACFTA) diberlakukan awal tahun lalu,Negeri Tirai Bambu dengan pertumbuhan ekonomi terbesar di dunia saat ini dipersepsikan sebagai harimau lapar yang siap menerkam para pengusaha Indonesia. Hanya segelintir pengusaha nasional yang masih menaruh optimisme untuk menjalin kerja sama ekonomi dengan China, terutama di kalangan pengusaha yang bergerak di sektor perikanan. Memang, tak bisa dimungkiri berbagai fakta di lapangan terutama untuk industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dan manufaktur lainnya terancam kehadiran produk-produk China dengan harga super miring. Namun, harus disadari posisi yang sama juga dialami oleh negara lain, jangankan Indonesia para pengusaha di negara-negara maju juga dibuat ketar-ketir oleh gebrakan China yang mampu memproduksi berbagai barang mulai dari automotif,elektronik sampai barang-barang kebutuhan sehari-hari dengan harga sangat kompetitif. Namun, di balik ancaman produk China yang sangat dikhawatirkan bisa menggulung industri nasional,ternyata masih terdapat peluang yang sangat menggiurkan melalui komoditi perikanan terutama udang dan ikan kerapu. Setiap tahun,seperti diungkapkan Dirjen Pengolahan,Pemasaran Hasil Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Martani Huseini, seusai membuka Indonesian Aquaculture, di Bandar lampung, kemarin,permintaan udang dari China setiap tahun terus meningkat. Kabarnya, sejumlah pengusaha dari Negeri Panda itu berminat mengimpor satu juta ton udang per tahun dari Indonesia. Namun, sungguh disayangkan permintaan tersebut tak bisa dipenuhi karena produksi udang nasional saat ini masih berada di kisaran 300.000 ton per tahun. Karena keterbatasan produksi nasional itu, pengusaha China malah tertantang untuk menggarap tambak udang di Indonesia. Permintaan tidak hanya didominasiolehudang, tetapi juga berbagai jenisikanterutamaikankerapu. Sehubungan itu, KKP mulai menggenjot produksi ikan kerapu yang diprediksi mencapai 400.000 ton tahun ini dan menjadi 699.000 ton pada 2014. Sejauh mana pemerintah menyikapi peluang yang sangat menantang itu? Mampukah program Minapolitan yang dicanangkan Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad menjawab kebutuhan para pengusaha China tersebut? Sesaat setelah dilantik sebagai orang nomor satu di KKP,Fadel langsung mendeklarasikan untuk menjadikan Indonesia sebagai produsen ikan terbesar di dunia pada 2015. Sekilas, konsep program Minapolitan bisa diterjemahkan sebagai strategi pembangunan perikanan yang berbasis kawasan. Minapolitan berasal dari dua kata yakni “mina”yang berarti ikan dan “politan”(polis) adalah kota sehingga bisa diartikan sebagai Kota Perikanan atau kawasan yang memiliki potensi perikanan yang bisa membawa kesejahteraan rakyat.Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 41 Tahun 2009, telah ditetapkan 41 lokasi percontohan pengembangan kawasan Minapolitan. Pemilihan daerah percontohan termasuk sangat ketat sebab kawasan yang dipilih harus memenuhi persyaratan khusus misalnya sumber daya lahan yang sesuai pengembangan komoditas perikanan,mulai dari pengadaan sarana dan prasarana perikanan, pengolahan, pemasaran,trans-portasi, hingga jaringan listrik yang memadai. Mungkin karena persyaratannya begitu berat, beberapa pemerintah daerah (pemda) yang semula begitu antusias menyambut program Minapolitan terpaksa harus melipat tangan. Tengok saja, untuk program Minapolitan ikan budi daya baru sekitar sembilan pemda menyelesaikan masterplan, pada ditargetkan sebanyak 24 kawasan percontohan. Kita berharap program Minapolitan yang menelan anggaran Rp564,877 miliar itu tahun depan bisa menjawab sebagian kebutuhan perikanan di China. Kita jangan hanya menjadi pasar bagi barang-barang China pascapemberlakuan perjanjian perdagangan bebas. Dan, pemerintah harus membuktikan Minapolitan itu bukan sekadar slogan. Masyarakat sudah bosan disuguhi slogan untuk menggenjot produksi perikanan,mulai dari slogan “Benua Maritim” zaman Presiden Habibie,“Gerbang Mina Bahari” pada era Presiden Megawati, dan istilah “Revolusi Biru” oleh penguasa sekarang.(*)