Studi komparasi antara hukum humaniter internasional dan hukum

advertisement
Studi komparasi antara hukum humaniter internasional dan hukum islam
mengenai perlakuan tawanan perang
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan diajukan untuk
Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh:
Rizki Bima Anggara
NIM:E.0004267
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2008
PERSETUJUAN
Penulisan Hukum (Skripsi) ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan
Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
Dosen Pembimbing Skripsi
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Prasetyo Hadi P,S.H.,M.S
NIP. 131 568 284
Agus Rianto,S.H,MHum
NIP. 131 842 682
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
STUDI KOMPARASI ANTARA HUKUM HUMANITER
INTERNASIONAL DAN HUKUM ISLAM MENGENAI PERLAKUAN
TAWANAN PERANG
Disusun oleh :
RIZKI BIMA ANGGARA
NIM : E.0004267
Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
pada :
Hari
: Selasa
Tanggal
: 5 februari 2008
TIM PENGUJI
1. Sri Lestari Rahayu,S.H.
Ketua
:.......................................................
2. Agus Rianto,S.H.M.Hum.
Sekretaris
:…………………………………..
3. Prasetyo Hadi P,S.H.,M.S
Anggota
:…………………………………..
Mengetahui,
Dekan
(Moh.Jamin, S.H,. M.Hum)
NIP. 131 570 154
MOTTO
Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang
Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya
kepada-Nya kamu menyembah.(Al-Quran surat Al-Baqarah [2] ayat 172).
Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam surga
yang penuh kenikmatan (Al-Quran surat Al-Infithar [82] ayat 13).
Kehidupan yang baik adalah kehidupan yang diilhami oleh cinta dan dibimbing
oleh pengetahuan. (Bertrand Russel)
Tidak ada terang pemahaman lebih banyak dalam diri seorang jenius
dibandingkan manusia-manusia jujur lainnya-hanya saja dia memiliki semacam
lensa khusus untuk memusatkan terang pemahaman ini pada sebuah titik bakar.
(Ludwing Wittgenstein)
Jadilah kamu sumber ilmu, lampu petunjuk, balkon rumah, penjaga malam, hati
yang baru, baju yang pantas, yang diketahui dari langit dan tidak diketahui oleh
penduduk bumi. (Abdullah Ibnu Mas’ud RA)
Tidak ada sesuatu pun pada hamba yang lebih bermanfaat daripada
kepercayaannya kepada Tuhannya dalam segala perkara dengan kepercayaan yang
kuat, sehingga dia mempercayainya dalam cita-cita dan perbuatannya. (Ibnu
Qayyim Al-Jauziyah)
Kewajiban kita lebih banyak dari waktu yang tersedia. (Hassan Al Banna)
Cukuplah Allah SWT menjadi Penolong kami. (Al-Quran surat Ali-Imran [3] ayat
173)
PERSEMBAHAN
Kepada pembawa Risalah Peradaban, Nabi Muhammad Saw.
Untuk ayahanda dan bundaku
Mas dodi, Mas olfa, Mbak Andan, Mbak nanda, Mbak dita
Ikhwah fillah dalam barisan perjuangan
KATA PENGANTAR
Segala kesyukuran hanya pantas terlantunkan untuk Allah, Rabb
penggenggam segala cinta yang senantiasa melimpahkan nikmat dan karunia-Nya
kepada kita semua. Shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpah kepada
qudwah kita yang telah membawa risalah peradaban, Rasulullah Saw beserta para
keluarga, sahabat, serta orang-orang yang selalu ber ittiba’ kepadanya. Amin.
Alhamdulillah atas terselesaikannya penulisan hukum (Skripsi) dengan
judul ”STUDI KOMPARASI ANTARA HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DAN HUKUM ISLAM MENGENAI PERLAKUAN TAWANAN
PERANG ”
Keberhasilan dan kesuksesan bukan hanya berasal dari kerja keras semata,
melainkan kekuatan do’a serta dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, dengan
segala kerendahan hati penulis menyampaikan terimakasih kepada :
1.
Bapak Moh.Jamin, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret.
2.
Bapak Sutedjo, S.H selaku pembimbing akademik.
3.
Bapak Prasetyo Hadi P,S.H.,M.S., selaku pembimbing Skripsi I yang telah
memberikan waktu dan bimbingannya.
4.
Bapak Agus Rianto,S.H.,M.Hum., selaku pembimbing II Skripsi yang telah
memberikan waktu dan bimbingannya.
5.
Bapak dan Ibu yang sangat aku sayangi yang telah menjadikanku seorang
hamba-Nya.
6.
Semua kakakku, mas dodi, mas olfa, mbak andan, mbak nanda, mbak dita,
mbak riris, mbak titik, dan mas arif yang telah mendukung dan mendoakan.
7.
Keponakanku tersayang tia, tata dan noufal yang kusayangi.
8.
Mas Imam Mas Arum yang telah membimbing dan mengajarkan berbagai hal
yang sangat bermanfaat dalam hidup ini.
9.
Saudaraku
tersayang,
almarhum
Bambang
Pamungkas
yang
memberikan berbagai nasehat dan ukhuwah yang sangat berarti bagiku.
telah
10. Saudara-saudaraku dalam lingkaran spiritual yang telah memberikan berbagai
ilmunya kepadaku.
11. Ustadz Ahmad Yani Al-Hafidz beserta keluarga besar Pesantren Mahasiswa
Ar-Royyan yang telah banyak memberi nasehat, dukungan, dan do’a.
12. Saudara-saudaraku seperjuangan Fakultas Hukum UNS, FOSMI FH UNS,
Just One, KAMMI Sholahuddin Al-Ayyubi, dan semua pejuang dakwah di
berbagai Lembaga Dakwah Fakultas di UNS yang telah bersama-sama
berjuang menuaikan amanah yang mulia ini.
13. Semua pihak yang telah banyak membantu sampai penulisan hukum (skripsi)
ini terselesaikan dengan baik.
Penulisan hukum (skripsi) ini masih belum sempurna namun demikian mudahmudahan dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.
Surakarta, 30 Januari 2008
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALMAN JUDUL………………………………………………………….. i
HALAMAN PERSETUJUAN......................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iii
HALAMAN MOTTO....................................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN....................................................................... v
KATA PENGANTAR....................................................................................... vi
DAFTAR ISI.....................................................................................................viii
DAFTAR BAGAN DAN TABEL.................................................................... xi
ABSTRAK......................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1
A.
Latar Belakang Maslah........................................................................1
B.
Perumusan Masalah.............................................................................5
C.
Tujuan Penelitian.................................................................................5
D.
Manfaat Penelitian...............................................................................6
E.
Metode Penelitian................................................................................7
F.
Sistematika Penulisan Hukum...........................................................11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................14
A.
Kerangka Teori..................................................................................14
1. Tinjauan Tentang Perbandingan Hukum.....................................14
a) Pengertian Tentang Perbandingan........................................14
b) Manfaat Perbandingan Hukum.............................................17
2. Tinjauan Hukum Humaniter Internasional..................................20
a) Tijauan Tentang Perang……………………………………20
b) Sejarah Perkembangan Hukum Humaniter
Internasional…………………………………………….... 23
c) Pengertian Hukum Humaniter Internasional…………...... 28
d) Sumber Hukum Humaniter Internasional………………... 31
e) Tujuan Hukum Humaniter Internasional…………………. 38
f) Asas-asas Hukum Humaniter Internasional………………. 38
g) Distinction Principle……………………………………… 39
3. Tinjauan Umum Tentang Hukum Islam…………………….... 41
a) Sejarah Hukum Islam……………………………………… 41
b) Definisi Hukum Islam…………………………………...... 64
c) Tujuan dan Sumber Hukum Islam………………………… 64
d) Asas-asas Hukum Islam…………………………………… 66
4. Kajian Perang dalam Hukum Islam……………………….........70
B.
Kerangka Pemikiran………………………………………………. 90
BAB III PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.............................................91
A.
Hasil Penelitian……………………………………………………. 91
1. Pengaturan Perlakuan Tawanan Perang dalam Hukum
Humaniter Internasional dan Hukum Islam………………….. 91
a) Pengaturan Perlakuan Tawanan Perang dalam Hukum
Hukum Humaniter Internasional…………………………. 91
b) Pengaturan Perlakuan Tawanan Perang dalam
Hukum Islam……………………………………………..182
2. Perbandingan Perlakuan Tawanan Perang dalam Hukum
Humaniter Internasional dan Hukum Islam………………….198
a) Persamaan Perlakuan Tawanan Perang dalam
Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam……..198
b) Perbedaan Perlakuan Tawanan Perang dalam Hukum
Humaniter Internasional dan Hukum Islam……………....202
B.
Pembahasan Penelitian…………………………………………... 211
1. Pengaturan Perlakuan Tawanan Perang dalam Hukum
Humaniter Internasional dan Hukum Islam…………..............211
a) Pengaturan Perlakuan Tawanan Perang dalam Hukum
Humaniter Internasional………………………………….211
b) Pengaturan Perlakuan Tawanan Perang dalam
Hukum Islam.......................................................................219
2.
Perbandingan Perlakuan Tawanan Perang Pada Hukum
Humaniter Internasional dan Hukum Islam…………………222
a) Persamaan Perlakuan Tawanan Perang Pada Hukum
Humaniter Internasional dan Hukum Islam……………...222
b) Perbedaan Perlakuan Tawanan Perang Pada Hukum
Humaniter Internasional dan Hukum Islam……………...225
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN
A.
Simpulan.........................................................................................238
B.
Saran-saran.....................................................................................239
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................240
DAFTAR BAGAN DAN TABEL
Halaman
Bagan 1. Kerangka Pemikiran Penelitian...................................................90
Tabel I. Tabel Persamaan Hukum Humaniter Internasional dan
Hukum Islam Mengenai Perlakuan Tawanan Perang...............233
Tabel II. Tabel Perbedaan Hukum Humaniter Internasional dan
Hukum Islam Mengenai Perlakuan Tawanan Perang...............235
ABSTRAK
Rizki Bima Anggara, 2008, STUDI KOMPARASI ANTARA HUKUM
HUMANITER INTERNASIONAL DAN HUKUM ISLAM MENGENAI
PERLAKUAN TAWANAN PERANG. Fakultas Hukum UNS.
Penelitian ini untuk mengkaji dan menjawab permasalahan mengenai
pengaturan dan perbandingan perlakuan tawanan perang pada Hukum Humaniter
Internasional dan Hukum Islam.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif. Jenis data yang
digunakan adalah data sekunder. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan
yaitu melalui studi kepustakaan. Teknik analisis data menggunakan teknik analisis
data komparatif.
Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa, pertama dalam konsep
Hukum Humaniter Internasional, pengaturan perlakuan tawanan perang dalam
diatur dalam Annex Konvenasi IV Den Haag 1907, Bab III Konvensi Jenewa
1949 pasal 4-121, Pasal 1-20, Pasal 11, 43, dan 44 Protokol Tambahan I 1977,
Pasal 165 San Remo Manual. Selanjutnya, dalam konsep Hukum Islam diatur
dalam Al-Quran, dan As-Sunah. Kedua, ternyata antara kedua konsep hukum
tersebut terdapat persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan.Persamaan
kedua konsep hukum tersebut yaitu mengenai perlindungan umum tawanan
perang, mematuhi peraturan negara penahan, sarana dan prasarana yang memadai,
penempatan tawanan perang, berbagai kegiatan yang diperlukan tawanan,sanksi,
proses peradilan, dan berakhirnya penawanan. Perbedaan kedua konsep hukum
tersebut yaitu tentang pengertian dan kriteria tawanan perang, keputusan untuk
melakukan penawanan, pangkat tawanan perang, penerapan peraturan disiplin,
tenaga kerja tawanan perang, wakil tawanan perang,proses peradilan dan
berakhirnya penawanan.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perang bukanlah sebuah kata yang asing bagi setiap manusia di muka
bumi ini.Tragedi pemboman WTC ( World Trade Center ) pada tanggal 11
September 2001 lalu, membangkitkan kembali ketegangan antara Amerika
dengan negara-negara timur tengah. Dunia mulai diguncangkan kembali
dengan berbagai perang yang sampai saat ini perang-perang tersebut belum
selesai dan telah menelan banyak korban, khususnya warga sipil yang tidak
bersalah sama sekali.
Perang baik dalam hukum Islam maupun Hukum Humaniter
Internasional, merupakan Ultimum Remedium (jalan terakhir) yang digunakan
untuk menyelesaikan suatu permasalahan setelah kedua belah pihak tidak
dapat menyelesaikan sengketa atau permasalahan mereka dengan jalur damai.
Hampir tidak mungkin menemukan bukti dokumenter kapan dan
dimana perang pertama kali dimulai. Geoffrey Best menyatakan “ No one can
tell how war began among men but there is evidence of it from earliest
times;evidence not just in the form of weapons meant for fighting and of
humans remains broken by weapons, which cannot of themselves signify
anything as serious as war, but of fighting by organized groups for collectives
purposes“ (Geoffrey Best, 1994:14).
Sejarah manusia hampir tidak pernah bebas daripada perperangan.
Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, bahwa adalah suatu kenyataan yang
menyedihkan bahwa selama 3400 tahun sejarah tertulis, umat manusia hanya
mengenal 250 tahun perdamaian. Perang hanya salah satu bentuk perwujudan
dari naluri untuk mempertahankan diri, yang berlaku baik dalam pergaulan
antar manusia, maupun dalam pergaulan antar bangsa. Sehingga, perang
merupakan salah satu hal yang sama tuanya dengan sejarah umat manusia
(Mochtar Kusumaatmadja, 1980 : 7).
Sedemikian tuanya sejarah perang, bahkan sebuah studi mengenai
perang yang pernah dilakukan oleh Quincy Wright, tidak dapat menemukan
dengan pasti kapan sebenarnya perang pertama kali itu ada. Dalam hal ini
Quincy Wright mengkategorikan empat tahapan perkembangan sejarah perang
yaitu (Fadillah Agus, 1997:1) :
1. Perang yang dilakukan oleh binatang (by animals).
2. Perang yang dilakukan oleh manusia primitif (by primitive men).
3. Perang yang dilakukan oleh manusia yang beradab (by civilized men).
4. Perang yang menggunakan teknologi modern (by men using modern
technology).
Satu hal yang sudah pasti bahwa perang merupakan sesuatu yang mau
tidak mau diterima sebagai fakta yang mewarnai sejarah manusia. Dengan
demikian mau tidak mau, harus diterima bahwa perang itu adalah suatu fakta
dalam bentuk hubungan antara manusia.
Pengaruh atau dampak yang ditimbulkan perang tidak hanya dirasakan
oleh pemerintah negara yang berperang, namun pengaruhnya sangat
berpengaruh bagi warga sipil kedua negara tersebut yang tidak tahu-menahu.
Dampak tersebut terdiri atas berbagai penderitaan seperti pembunuhan
membabi buta, penghancuran sarana dan prasarana publik maupun pribadi,
perampasan harta benda, ditawannya prajurit oleh pihak musuh, dan lain-lain.
Selain penduduk sipil, pihak yang sangat rentan terhadap berbagai
kekerasan yang terjadi di dalam perang yaitu para tentara kedua belah pihak.
Para tentara yang ikut berperang mempunyai beberapa risiko, yang pertama
tentara tersebut dapat menyelesaikan perang dengan selamat karena dia dapat
mempertahankan dirinya dari serangan musuh. Kedua, tentara tersebut tewas
karena terkena serangan musuh dan yang ketiga, tentara tersebut tertangkap
oleh pihak musuh dan menjadi tawanan yang disebut sebagai tawanan perang.
Dari ketiga kemungkinan di atas, kemungkinan ketiga menjadi suatu
permasalahan yang urgent. Para tawanan perang tersebut, sering mendapat
perlakuan yang melampaui batas-batas kewajaran. Perbuatan-perbuatan yang
melanggar HAM sudah menjadi hal biasa yang dialami para tawanan perang,
penyiksaan, pemukulan, pelecehan sexsual, pemerkosaan adalah contoh
perlakuan yang sering dialami oleh para tawanan perang.
Setelah meredanya perang antara Amerika dan pasukan Al-Qaeda,
terungkap telah terjadi berbagai perlakuan yang melanggar HAM para
tawanan yang ditahan oleh Amerika baik di penjara Abu Ghraib Irak,
Guantanamo Kuba dan penjara di Bagram, Afganistan. Hal ini terkuak setelah
diketemukannya dokumen-dokumen penyelidikkan militer AS oleh surat
kabar The New York Times (TNYT) dan The Washington Post ( http: // www.
pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0605/12/09.htm).
Pada pertengahan 2004, The Washington Post mengungkapan
dokumen setebal 3.000 halaman, berisi kasus-kasus penyiksaan tawanan di
Guantanamo Kuba, Irak, dan Afganistan. Di situ disebutkan, penyiksaan
terhadap para tawanan, sudah berlangsung tiga tahun (sejak invasi militer AS
ke Afganistan, Maret 2002). Dilakukan secara sistemik, direstai oleh para
pejabat berpangkat tinggi, dan dilaksanakan dalam suasana penuh kerahasiaan.
Fakta-fakta yang terdapat dalam dokumen, dikomentari oleh Amrit
Singh, pengacara bagi "Unit Kebebasan Sipil Amerika", sebagai amat
gegabah. Di situ terdapat uraian tentang batasan orang-orang yang dapat
"ditahan secara gegabah" (http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0605/
12/09.htm.).
Seorang warga sipil Irak yang ditemukan di dekat lokasi peledakan
bom yang menewaskan tentara AS, ditangkap, dibawa ke markas militer,
disuruh memegang senjata oleh tentara AS, agar dapat dijadikan alasan untuk
dibunuh. Di bagian lainnya, seorang tahanan remaja dan seorang tahanan
dewasa Irak, disuruh berlutut sambil mulutnya diisi peluru, mereka diancam
akan dieksekusi jika tidak menjawab pertanyaan yang diberikan oleh tentara
Amerika. Di bagian lainnya lagi, diungkapkan, seorang anak remaja pura-pura
dieksekusi di hadapan ayah dan saudara lelakinya, yang ditahan karena diduga
terlibat
penjarahan
(http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0605/12/09
.htm).
Selain itu, surat kabar The New York Times (TNYT) juga mendapat
bocoran dokumen laporan penyelidikan militer AS setebal 2.000 halaman
yang berisi kasus-kasus penyiksaan tawanan di Bagram, Afganistan. Pada
edisi Jumat 20 Mei 2005, surat kabar tersebut memberitakan kepada publik isi
dokumen laporan penyelidikan militer AS yang di dalam dokumen tersebut
secara jelas diceritakan tentang perlakuan para tawanan perang secara tidak
berperikemanusiaan. Bentuk penyiksaan, seperti tertulis dalam dokumen yang
dikutip "TNYT", para tahanan ditendangi, dipukul, dan digantung tangannya
di langit-langit sel selama empat hari. Jika masih hidup, dengan tangan terikat,
tahanan disuruh berguling-guling, mencium sepatu bot pemeriksa, dan
mengambil botol dari drum berisi kotoran dengan mulutnya. Dari beberapa
Tahanan ternyata ada dua orang yang menjadi korban, namun, kedua korban
tersebut bukan anggota pemberontak bersenjata atau teroris, melainkan sopir
taksi bernama Dilawar (22 tahun). Ia lewat ke dekat pangkalan udara Bagram
menjelang jam malam, sehingga ditangkap. Satu korban lainnya, Habibullah,
juga orang sipil, yang meninggal Desember 2002. Keduanya tewas sangat
mengenaskan (http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0605/ 12/09.htm).
Dalam laporan tahun 2005, Amnesti Internasional menyebutkan
Guantanamo telah menjadi tempat penyiksaan pada zaman modern sekarang
ini, ketika para tahanan dapat ditahan tanpa peradilan, dihina dan direndahkan
martabatnya serendah-rendahnya. Irene Khan (Sekjen Amnesti Internasional)
telah meminta AS menutup Guantanamo dan membebaskan para tahanan
(http://www.pikiran-rakyat.com/ cetak/2005/ 0605/07 /02.htm).
Perendahan martabat kemanusiaan oleh AS terungkap secara perlahan.
Tidak cuma di Guantanamo, tetapi juga di penjara Abu Ghraib Irak maupun
Afganistan, di mana para tahanan Muslim ditelanjangi, dihina martabat
keagamaannya,
dan
direndahkan
harga
dirinya
sebagai
manusia
(http://www.pikiran-rakyat.com/ cetak/2005/0605/07/02.htm).
Dari contoh-contoh di atas, terbukti bahwa pengaruh yang ditimbulkan
dari perang mempunyai dampak negatif yang lebih besar dari pada dampak
positifnya. Contoh-contoh di atas, menggambarkan bahwa penyiksaan
terhadap tawanan perang ibarat fenomena gunung es, hal tersebut membuat
peneliti merasa bahwa persoalan ini perlu dikaji secara mendalam walaupun
telah ada kajian mengenai hukum perang baik menurut Hukum Humaniter
Intenasional dan Hukum Islam. Dalam hal ini penulis mengkaji masalah
perlakuan tawanan perang dalam Hukum Humaniter Internasional dan Hukum
Islam karena penulis melihat masih adanya perbedaan konsep pengaturan
perlakuan tawanan perang dalam kedua peraturan hukum tersebut.
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti mengkaji perlakuan tawanan
perang menurut Hukum Humaniter Internasional maupun Hukum Islam yang
berlaku pada saat ini dalam bentuk penulisan hukum dengan judul :
“STUDI
KOMPARASI
ANTARA
HUKUM
HUMANITER
INTERNASIONAL DAN HUKUM ISLAM MENGENAI PERLAKUAN
TAWANAN PERANG”.
B. Rumusan Masalah
Untuk memperjelas agar permasalahan yang ada nanti dapat dibahas
dengan lebih terarah dan sesuai dengan sasaran yang diharapkan, maka penulis
telah merumuskan permasalahan sebagai berikut.
1. Bagaimana pengaturan perlakuan tawanan perang dalam Hukum
Humaniter Internasional dan Hukum Islam ?
2. Bagaimana perbandingan perlakuan tawanan perang pada Hukum
Humaniter Internasional dan Hukum Islam ?
Dalam penelitian ini, peneliti hanya membatasi permasalahan pada konflik
sengketa bersenjata yang bersifat internasional, sehingga, diantara bahan
hukum primer yang peneliti pakai hanya menggunakan Protokol Tambahan I
tahun 1977 yang mengatur tentang korban pertikaian bersenjata internasional.
C. Tujuan Penelitian
Setiap penelitian pasti mempunyai tujuan yang jelas. Tujuan penelitian
ini yaitu :
1. Tujuan Objektif
Tujuan objektif yaitu tujuan penulisan dilihat dari tujuan umum
yang mendasari penulis dalam melakukan penulisan. Dalam penulisan ini,
tujuan objektif penulisan ini bertujuan sebagai berikut.
a. Untuk mengetahui pengaturan perlakuan tawanan perang dalam Hukum
Humaniter Internasional dan Hukum Islam.
b. Untuk mengetahui perbandingan perlakuan tawanan perang pada Hukum
Humaniter Internasional dan Hukum Islam.
2. Tujuan Subjektif
Tujuan subjektif yaitu tujuan penulisan dilihat dari tujuan pribadi
penulis yang mendasari penulis dalam melakukan penulisan. Dalam
penulisan ini, penulis bertujuan sebagai berikut.
a. Untuk menambah pengetahuan peneliti dibidang Hukum Humaniter
Internasional dan Hukum Islam dalam hal perlakuan tawanan perang.
b. Untuk melengkapi syarat-ayarat guna memperoleh derajat sarjana
dalam ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Salah satu faktor pemilihan masalah dalam penelitian ini bahwa hasil
penelitian ini dapat bermanfaat karena nilai dari sebuah penelitian ditentukan
oleh besarnya manfaat yang dapat diambil dari adanya penelitian tersebut.
Adapun menfaat yang penulis harapkan dari penelitian ini antara lain :
1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis yaitu manfaat dari penulisan hukum ini yang
bertalian dengan pengembangan ilmu hukum. Dalam penulisan ini,
manfaat teoritis dari penulisan ini sebagai berikut.
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan
ilmu pengetahuan dibidang ilmu hukum pada umumnya serta Hukum
Humaniter Internasional dan Hukum Islam pada khususnya.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan
literatur dalam dunia kepustakaan tentang perlakuan tawanan perang
dalam Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam.
c. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penelitianpenelitin sejenis untuk tahap berikutnya.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis yaitu manfaat dari penulisan hukum ini yang
berkaitan dengan pemecahan masalah. Dalam penulisan ini, manfaat
praktis dari penulisan ini sebagai berikut.
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai bahan
pertimbangan bagi pemerintah dalam hal perlakuan tawanan perang.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan
pemahaman pihak-pihak terkait yang interest terhadap persoalan yang
diangkat dalam penulisan hukum ini.
E. Metode Penelitian
Agar suatu penelitian ilmiah dapat berjalan dengan baik maka perlu
menggunakan suatu metode penelitian yang baik dan tepat. Metodologi
merupakan suatu unsur yang mutlak harus ada di dalam penelitian dan
pengembangan ilmu pengetahuan (Soerjono Soekanto, 1986 : 7). Metode
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah
penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara
meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier dari masingmasing hukum normatif. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis,
dikaji, kemudian dibandingkan dan ditarik suatu kesimpulan dalam
hubungannya dengan masalah yang diteliti.
Dalam hal kajian perbandingan hukum ini, peneliti akan mengkaji
perbandingan hukum sebagai salah satu bentuk dari penelitian hukum
normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Menurut Soerjono Soekanto
dan Sri Mamudji menyebutkan bahwa dalam penelitian hukum normatif
atau kepustakaan itu mencangkup (Soerjono Soekanto & Sri Mamudji,
2003:12):
a. Penelitian terhadap asas-asas hukum.
b. Penelitian terhadap sistematik hukum.
c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal.
d. Perbandingan hukum.
e. Sejarah hukum.
Apabila dikaitkan dengan pendapat Soerjono Soekanto tersebut,
maka penelitian ini termasuk penelitian perbandingan hukum (comparative
law) yang pada intinya adalah membandingkan sistem hukum. Sedangkan
menurut Black’s Law Dictionary, perbandingan hukum adalah “the study
of the legal science by the comparison of various system of law”, dari
perumusan
tersebut
menunjukkan
adanya
kecenderungan
untuk
mengklasifikasikan perbandingan hukum sebagai suatu metode (Soejono
Soekanto, 1986:258).
Pada hakekatnya yang dimaksud dengan perbandingan hukum yaitu
penelitian untuk mencari persamaan dan perbedaan antara dua macam
hukum yang berbeda yaitu Hukum Islam dan Hukum Humaniter
Internasional (Indianto S, 2005:8). Titik tolak penelitian ini adalah
perbandingan perlakuan tawanan perang yang diatur dalam Hukum
Humaniter Internasional dengan Hukum Islam.
Dari pengertian di atas, ditegaskan bahwa penelitian perbandingan
hukum bersasaran asas-asas hukum dengan metode komparasi (mencari
persamaan atau perbedaan serta penjelasan mengapa demikian) (Indianto
S, 2005:8). Kegunaan perbandingan hukum antara lain untuk memberikan
pengetahuan tentang persamaan dan perbedaan antara berbagai bidang tata
hukum dan pengertian dasar sistem hukum. Dengan demikian lebih mudah
dalam mengadakan unifikasi, kepastian hukum maupun penyederhanaan
hukum (Soedjono Soekanto,1986:263).
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian normatif sehingga tidak
memerlukan data lapangan secara langsung, data didapat melalui studi
kepustakaan. Lokasi penelitian ini adalah :
a. Perpustakaan Pusat UNS Surakarta.
b. Perpustakaan Fakultas Hukum UNS.
c. Perpustakaan Pribadi.
d. Internet atau Cyber Media.
3. Pendekatan Penelitian
Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan teknik analisis Pendekatan Perundang-undangan (Statute
Approach). Karena yang diteliti adalah berbagai aturan yang menjadi
fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian. Untuk itu peneliti harus
melihat hukum sebagai sistem tertutup yang mempunyai sifat-sifat sebagai
berikut.
a. Comprehensive artinya norma-norma hukum yang ada di dalamnya
terkait antara satu dengan lainnya secara logis;
b. All-inclusive bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu
menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak akan ada
kekurangan hukum;
c. Systematic bahwa di samping bertautan antara satu dengan lainnya,
norma-norma hukum tersebut disusun secara hireakis.
4. Jenis dan Sumber Data Penelitian
Jenis data yang akan digunakan dalam penulisan hukum ini adalah
data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka berupa
keterangan-keterangan yang secara tidak langsung diperoleh melalui studi
kepustakaan, bahan-bahan dokumenter, tulisan-tulisan ilmiah dan sumbersumber tertulis lainnya.
Adapun ciri-ciri umum data sekunder menurut Soerjono Soekanto
dan Sri Mamudji (2003 : 24) yaitu:
a. Data sekunder pada umumnya ada dalam keadaan siap terbuat (ready
made).
b. Bentuk maupun isi data sekunder telah dibentuk dan diisi oleh penelitipeneliti terdahulu.
c. Data sekunder dapat diperoleh tanpa terikat atau dibatasi oleh waktu
dan tempat.
Sumber data merupakan tempat data suatu penelitian dapat
diperoleh. Sumber data yang akan digunakan dalam penulisan hukum ini
adalah sumber data sekunder.
Dalam penelitian hukum,data sekunder dilihat dari kekuatan
mengikatnya digolongkan menjadi tiga yaitu :
a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan
terdiri atas :
1) Sumber-sumber Hukum Humaniter Internasional
a) Perjanjian Internasional.
(1) Annex Konvensi IV Den Haag 1907.
(2) Konvensi III Jenewa 1949.
(3) Protokol Tambahan I 1977
2) Sumber-sumber Hukum Islam
a) Al-Quran.
b) As-Sunnah (Al-Hadits).
(1) Hadits Riwayat Muslim.
(2) Hadits Riwayat Bukhari.
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, dalam penelitian ini peneliti
menggunakan buku teks baik dari buku-buku yang berhubungan
dengan Hukum Humaniter Internasional maupun buku-buku yang
berhubungan dengan. Hukum Islam dan San Remo Manual 1994.
c. Bahan hukum tersier, yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk
atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder,
seperti kamus hukum, ensiklopedia muslim (Minhajjul Muslim).
5. Teknik Pengumpulan Data
Kegiatan yang dilakukan dalam pengumpulan data dalam penelitian
ini yaitu Studi Pustaka dengan cara identifikasi isi. Alat pengumpulan data
dengan mengidentifikasi isi dari data sekunder diperoleh dengan cara
membaca, mengkaji, dan mempelajari bahan pustaka baik berupa
peraturan perundang-undangan, artikel dari internet, makalah seminar
nasional, jurnal, dokumen, dan data-data lain yang mempunyai kaitan
dengan data penelitian ini.
6. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian hukum normatif, maka pengolahan data pada
hakekatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap
bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti, membuat klasifikasi
terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut, untuk memudahkan
pekerjaan analisa dan kontruksi (Soerjono Soekanto,1986 : 251).
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian hukum ini
adalah menggunakan metode komparatif. Metode komparatif adalah cara
berfikir yang merupakan penyimpulan dan perbandingan antara ketentuan
hukum dengan ketentuan hukum yang lainnya, ketentuan hukum dengan
fakta, fakta dengan fakta lainnya sehingga dapat dibandingkan.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai keseluruhan isi,
penulisan hukum ini dibagi menjadi empat bab yaitu pendahuluan, tinjauan
pustaka, penelitian dan pembahasan, serta penutup dengan menggunakan
sistematika sebagai berikut.
Bab I
:
Pendahuluan
Bab ini memaparkan latar belakang perlunya dilakukan
perbandingan konsep pengaturan perlakuan tawanan perang
berdasarkan Hukum Humaniter Internasional dengan konsep
Hukum Islam dalam hal perlakuan tawanan perang.
Bab ini juga memaparkan perumusan masalah penelitian,
tujuan penelitian serta metode yang digunakan dalam melakukan
penelitian.
Bab II :
Tinjauan Pustaka
Bab ini akan memaparkan bahan kepustakaan yang
berupa teori-teori pendukung penelitian dan pembahasan masalah
yang menjadi dasar pijakan peneliti untuk meneliti masalah yang
diteliti agar penelitian bisa dipastikan validitasnya. Bab ini
disajikan menjadi dua bagian yaitu pemaparan dalam kerangka
teori dan pemaparan dalam kerangka pemikiran. Teori-teori
kepustakaan yang dipakai adalah mengenai :
2. Kerangka Teori
a. Tinjauan Tentang Perbandingan Hukum.
a) Pengertian Perbandingan Hukum.
b) Manfaat Perbandingan Hukum.
b. Tinjauan Umum Hukum Humaniter Internasional.
1) Tinjauan Tentang Perang
2) Sejarah
Perkembangan
Hukum
Humaniter
Internasional.
3) Pengertian Hukum Humaniter Internasional.
4) Sumber Hukum Humaniter Internasional.
5) Tujuan Hukum Humaniter Internasional.
6) Asas-asas Hukum Humaniter Internasional.
7) Distinction Principle.
c. Tinjauan Umum Hukum Islam.
a) Sejarah Hukum Islam.
b) Definisi Hukum Islam
c) Tujuan dan Sumber Hukum Islam.
d) Asas-asas Hukum Islam.
d. Kajian Perang dalam Hukum Islam.
2. Kerangka Berpikir.
Bab III :
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Bab ini akan memaparkan hasil penelitian berupa
pengaturan perlakuan tawanan perang dalam Hukum Humaniter
Internasional dan Hukum Islam dan perbandingan perlakuan
tawanan perang pada Hukum Humaniter Internasional dan
Hukum Islam. Hasil penelitian merupakan jawaban atas masalah
yang dirumuskan peneliti pada awal penelitian yaitu pengaturan
perlakuan
tawanan
perang
dalam
Hukum
Humaniter
Internasional dan Hukum Islam dan perbandingan perlakuan
tawanan perang pada Hukum Humaniter Internasional dan
Hukum Islam.
Bab IV :
Simpulan dan Saran
Bab ini akan memaparkan kesimpulan dari pengaturan dan
perbandingan
perlakuan
tawanan
perang
dalam
Hukum
Humaniter Internasional dan Hukum Islam. Selain kesimpulan,
bab ini juga akan memaparkan saran peneliti atas konsep
pengaturan perlakuan tawanan perang yang diharapkan dapat
menjadi suatu pertimbangan dilakukan penelitian yang lebih
mendalam dan penerapannya.
Daftar Pustaka
Berisi berbagai sumber pustaka yang dikutip dalam penulisan hukum ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Tentang Perbandingan Hukum
a. Pengertian Tentang Perbandingan Hukum
Terdapat berbagai istilah asing mengenai perbandingan hukum
antara lain Comparative Law, Comparative Jurisprudence, Foreign Law (Istilah
Inggris), Droit Compare (istilah perancis), Rechtsvergelijking (istilah Belanda)
dan Rechtsvergleichung atau Vergleichende Rechlehre (istilah Jerman). Di dalam
Black’s Dictionary, Istilah Perbandingan hukum terdapat di dalam bab mengenai
prinsip-prinsip ilmu hukum dimana perbandingan hukum diartikan dengan
melakukan perbandingan berbagai macam sistem hukum (the study of principles
of legal science by the comparison of various systems of law) (Barda Nawawi
Arief, 2003:3).
Apabila diamati istilah asingnya, comparative law dapat
diartikan bahwa, titik beratnya adalah pada perbandingannya atau comparative,
dalam hal ini kalimat comparative memberikan sifat kepada hukum (yang
dibandingkan). Istilah perbandingan hukum dengan demikian menitikberatkan
kepada segi perbandingannya, bukan kepada segi hukumnya. Inti sedalamnya dari
pengertian istilah perbandingan hukum adalah membandingkan sistem-sistem
hukum (Romli Atmasasmita,2000:7).
Berkaitan dengan pengertian perbandingan hukum, ada
beberapa pendapat para ahli yang mengemukakan pengertian perbandingan
hukum di antaranya sebagai berikut (Romli Atmasasmita,2000:7-10).
1) Rudolf B. Schlesinger, mengatakan bahwa perbandingan hukum
merupakan metode penyelidikan dengan tujuan untuk
memperoleh pengetahuan yang lebih dalam tentang bahan hukum
tertentu. Perbandingan hukum bukanlah perangkat peraturan dan
asas-asas hukum dan bukan suatu cabang hukum, melainkan
merupakan teknik untuk menghadapi unsur hukum asing dari
satu masalah hukum.
2) Winterton, mengemukakan bahwa perbandingan hukum adalah
suatu metode yang membandingkan sistem-sistem hukum dan
perbandingan tersebut menghasilkan data sistem hukum yang
dibandingkan.
3) Gutterdige, menyatakan bahwa perbandingan hukum tidak lain
merupakan suatu metode yaitu metode perbandingan yang dapat
digunakan dalam semua cabang ilmu.
4) Lemaire, mengemukakan perbandingan hukum sebagai cabang
ilmu pengetahuan (yang juga mempergunakan metode
perbandingan) mempunyai lingkup : (isi dari) kaidah-kaidah
hukum, persamaan dan perbedaannya, sebab-sebabnya dan dasardasar masyarakatnya.
5) Orucu mengemukakan Comparative law is a legal dicipline
aiming at ascertaining similiarities and differences and finding
out relationships between various legal systems, their essence
and style, looking at comparable, legal intitutions and concepts
and trying to determine solutions to certain problems in these
system with a definite goal in mind, such as law reform,
unification etc.
Perbandingan hukum merupakan suatu disiplin ilmu hukum yang
bertujuan menemukan persamaan dan perbedaan serta menemukan pula
hubungan-hubungan erat antara pelbagai sitem-sistem hukum; melihat
perbandingan lembaga-lembaga hukum dan konsep-konsep serta mencoba
menentukan suatu penyelesaian atas masalah-masalah tertentu dalam sistemsistem hukum dimaksud dengan tujuan seperti pembaharuan hukum, unifikasi
hukum dan lain-lain.
Soedjono Dirdjosisworo mengemukakan perbandingan hukum adalah
suatu metode studi hukum, yang mempelajari perbedaan sistem hukum antara
negara yang satu dengan yang lain. atau membanding-bandingkan sistem hukum
positif dari bangsa yang satu dengan yang lain (Soedjono Dirdjosisworo, 1983 :
60).
R.Soeroso menyimpulkan perbandingan hukum adalah suatu cabang
ilmu pengetahuan hukum yang menggunakan metode perbandingan dalam rangka
mencari jawaban yang tepat atas problema hukum yang konkret (R.Soeroso, 1999
: 8).
Berdasarkan pendapat atau definisi tentang perbandingan hukum yang
telah diuraikan di atas dapat dikemukakan bahwa ada dua kelompok definisi
perbandingan hukum yaitu
1) Pertama, kelompok yang menganggap perbandingan hukum
sebagai metode.
2) Kedua, kelompok yang menganggap perbandingan hukum sebagai
cabang ilmu hukum (science).
Kedua kelompok definisi di atas muncul atau dikemukakan
sesuai dengan masanya sehingga kedua model definisi tersebut ada kebenarannya.
Namun, demikian model definisi kedua sangat relevan dengan perkembangan
masyarakat kini karena perbandingan hukum tidak lagi semata-mata sebagai alat
untuk mengetahui persamaan dan perbedaan dua sistem hukum melainkan sudah
merupakan suatu studi tersendiri yang mempergunakan metode dan pendekatan
yang khas yaitu metoda perbandingan, sejarah dan sosiologis serta objek
pembahasan tersendiri yaitu sistem hukum asing tertentu. Kedudukan
perbandingan hukum terakhir ini cocok untuk dapat mengantisipasi
perkembangan kebutuhan hukum di dalam masyarakat yang sedang membangun.
Dalam hal ini, Romli Atmasasmita berpendapat bahwa perbandingan hukum
adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari secara sistematis hukum dari dua atau
lebih sistem hukum dengan mempergunakan metoda perbandingan (Romli
Atmasasmita, 2000 : 12).
Dalam hal kajian perbandingan hukum ini, peneliti mengkaji
perbandingan hukum sebagai salah satu bentuk dari penelitian hukum normatif
atau penelitian hukum kepustakaan ketika Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji
menyebutkan bahwa dalam penelitian hukum normatif atau kepustakaan itu
mencakup (Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2003:12) :
1) Penelitian terhadap asas-asas hukum.
2) Penelitian terhadap sistematik hukum.
3) Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal.
4) Perbandingan hukum.
5) Sejarah hukum.
b. Manfaat Perbandingan Hukum
Manfaat atau kegunaan dari perbandingan sistem hukum yaitu
seperti yang diungkapkan oleh beberapa ahli sebagai berikut (Ade Maman,
2004:17-19) :
1)
Menurut Sudarto
Kegunaan bersifat umum :
a)
Memberi kepuasaan bagi orang yang berhasrat ingin tahu
yang bersifat ilmiah.
b) Memperdalam pengertian tentang pranata masyarakat dan
kebudayaan sendiri.
c) Membawa sikap kritis terhadap sistem hukum sendiri.
2) Menurut Rene David dan Brierly
a) Berguna dalam penelitian hukum yang bersifat historis dan
filosofis.
b) Penting untuk memahami lebih baik dan untuk
mengembangkan hukum nasional kita sendiri .
c) Membantu dalam mengembangkan pemahaman terhadap
bangsa-bangsa lain dan oleh karena itu, memberikan
sumbangan untuk menciptakan hubungan atau suasana
yang baik bagi perkembangan hubungan internasional.
3) Menurut Tahir Tungadi
a) Berguna untuk unifikasi dan kodifikasi nasional, regional
maupun internasional.
b) Berguna untuk harmonisasi hukum, antara konvensi
internasional dengan peraturan perundangan nasional.
c) Untuk pembaharuan hukum yakni dapat memperdalam
pengetahuan tentang hukum nasional dan dapat secara
objektif melihat kebaikkan dan kekurangan hukum
nasional.
d) Untuk menentukan asas-asas umum dari hukum (terutama
bagi para hakim pengadilan internasional). Hal ini penting
dalam menentukan the general principles of law yang
merupakan sumber yang penting dari hukum publik
internasional.
e) Sebagai ilmu pembantu bagi hukum perdata internasional,
misalnya dalam hal ketentuan HPI suatu negara menunjuk
kepada ketentuan hukum asing yang harus diberlakukan
dalam suatu kasus.
f)
Diperlakukan dalam program pendidikan bagi penasehatpenasehat hukum pada lembaga perdagangan internasional
dan kedutaan-kedutaan misalnya untuk dapat melaksanakan
traktat-traktat internasional.
4) Menurut Ade Maman Suherman
Perbandingan sistem hukum ditujukan untuk memperoleh
suatu pemahaman yang comprehensive tentang semua sistem
hukum yang eksis secara global dan paling tidak diperoleh
manfaat :
a) Manfaat internal, dengan mempelajari perbandingan sistem
hukum dapat memahami potret budaya hukum negaranya
sendiri dan mengabdosi hal-hal yang positif dari sistem
hukum asing guna pembangunan hukum nasional.
b)
Manfaat eksternal baik individu, organisasi maupun negara
dapat mengambil sikap yang tepat dalam melakukan
hubungan hukum dengan negara lain yang berlainan sistem
hukumnya.
c) Untuk kepentingan harmonisasi hukum dalam
pembentukan hukum supranasional.
Johnny Ibrahim mengemukakan bahwa perbandingan hukum
merupakan salah satu cara yang digunakan dalam penelitian normatif untuk
membandingkan salah satu lembaga hukum (Legal Institutions) dari sistem
hukum yang satu dengan lembaga hukum (yang kurang lebih sama dari sistem
hukum) yang lain. Dari perbandingan tersebut dapat ditemukan unsur-unsur yang
persamaan dan perbedaan kedua sistem hukum tersebut. Persamaan-persamaan
akan menunjukan inti dari lembaga hukum yang diselidiki, sedangkan perbedaanperbedaan disebabakan oleh adanya perbedaan iklim, suasana, sejarah masingmasing bangsa yang bersangkutan dengan sistem hukum yang berbeda (Johnny
Ibrahim, 2005:313).
Menurut Sunaryati Hartono, dengan melakukan perbandingan
hukum dapat ditarik kesimpulan bahwa (Sunaryati Hartono,1991:1-2) :
1) Kebutuhan-kebutuhan yang universal (sama) akan menimbulkan
cara-cara pengaturan yang sama pula, dan
2) Kebutuhan-kebutuhan khusus berdasarkan perbedaan suasana
dan sejarah itu akan menimbulkan cara-cara yang berbeda pula.
Menurut Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa
kegunaan dari penerapan perbandingan hukum adalah antara lain bahwa penelitian
tersebut akan memberikan pengetahuan tentang persamaan dan perbedaan antara
pelbagai bidang tata hukum dan pengertian dasar sistem hukum. Dengan
pengetahuan tersebut, maka lebih mudah untuk mengadakan unifikasi, kepastian
hukum maupun penyederhanaan hukum. hasil-hasil perbandingan hukum akan
sangat bermanfaat bagi penerapan hukum disuatu masyarakat majemuk seperti
indonesia, terutama untuk mengetahui bidang-bidang mana yang dapat
diunifikasikan dan bidang manakah yang harus diatur dengan hukum antar tata
hukum (Soerjono Soekanto, 1986 : 263).
Dari uraian di atas tentang definisi dan manfaat dari
perbandingan hukum, peneliti berpendapat bahwa perbandingan hukum yaitu
salah satu metode yang dipakai untuk mengkaji ilmu hukum yang menitik
beratkan pada perbandingan antara dua sistem hukum yang berbeda untuk
mendapatkan suatu sistem hukum yang terbaik dan bermaslahat bagi kepentingan
manusia. Dalam hal ini, penulis membandingkan antara Hukum Humaniter
Internasional dan Hukum Islam mengenai perlakuan tawanan perang.
2. Tinjauan Hukum Humaniter Internasional
a.
Tinjauan Tentang Perang
1) Definisi Perang
Perang memiliki berbagai definisi jika dilihat dari berbagai
sudut pandang, namun dilihat dari segi hukum, beberapa ahli
hukum berpendapat (Haryomataram,1994 : 4-5) :
(a) Francois
Perang adalah keadaan hukum antara negara-negara yang
saling bertikai dengan menggunakan kekuatan militer. Supaya
ada perang dalam arti teknis, harus ada animus belligerendi
(niat untuk mengakhiri hubungan damai).
(b) Openheim
Perang adalah persengketaan antara dua negara dengan
maksud menguasai lawan dan membangun kondisi perdamaian
seperti yang diinginkan oleh yang menang. Ciri khas
(kharakteristik) perang :
(1) Pertikaian antara negara (contention between states).
(2) dengan menggunakan angkatan perang.
(3) tujuan adalah menguasai lawan.
(c) Mochtar Kusumaatmadja
Perang adalah suatu keadaan dimana suatu negara atau lebih
terlibat dalam suatu persengketaan bersenjata, disertai dengan
pernyataan niat salah satu pihak untuk mengakhiri hubungan
damai dengan pihak lain.
Menurut Prof.Mochtar yang merupakan pokok esensieel dari
perang adalah : adanya animus belligerendi, yaitu niat untuk
mengakhiri hubungan damai, jadi bukan penggunaan
kekerasan senjata.
(d) Mc.Nair
war is a state or condition of affairs, not a mere series of acts
of force. State of affairs terjadi karena :
(1) Apabila suatu negara menyatakan dengan tegas bahwa ada
perang.
(2) Apabila tanpa pernyataan tegas, suatu negara melakukan
tindakan kekerasan (senjata) terhadap negara lain, disertai
indikasi-indikasi adanya animus belligerendi.
(3) Apabila suatu negara melakukan tindakan kekerasan
(senjata), tidak disertai animus belligerendi, tetapi negara
yang dimusuhi menganggap perbuatan tersebut sebagai
perbuatan yang menimbulkan/menghasilkan state of war
(keadaan perang).
(e) Field Manual
War may be defined as a legal condition of armed hostility
between states.
(f) Syahmin A K
Perang merupakan salah satu bentuk perwujudan daripada
naluri untuk mempertahankan diri, yang berlaku baik dalam
pergaulan antar manusia, maupun dalam pergaulan antar
bangsa (Syahmin A K, 1985:6).
Selain itu, definisi perang juga diberikan oleh seorang ahli
Hukum Internasional, Quincy Wright di bawah ini. (Fadillah Agus,
1997: 3).
“War will be considered the legal condition which equally permits
two or more hostile groups to carry out a conflict by armec force.”
disamping itu juga Qincy Wright mengemukakan pengertian
perang dalam terminologi hukum dan dalam pengertian material.
perang dalam arti terminologi yaitu a condition or period of time
wich special rules permitting and regulating violence governments
are settled. Sedangkan, perang dalam arti material yaitu an act or a
series of act of violence by one government against another, or a
dispute between governments carried on by violence.
Pada perjalanannya, istilah perang tidak disukai semua
orang karena akibat yang ditimbulkan membawa trauma yang
sangat dalam bagi semua orang. suasana anti perang ini mempunyai
dampak pada berbagai bidang, salah satunya pada bidang hukum
perang itu sendiri. karena paradigma yang sudah tertanam kuat
dalam masyarakat akan istilah perang maka mereka meninggalkan
usaha untuk mempelajari atau menyempurnakan hukum perang.
Walaupun istilah atau pengertian dan hukum perang tidak
disukai, namun pertikaian bersenjata masih tetap ada. sehingga
timbulah kebingungan akan penyebutan pertikaian tersebut. Dalam
kondisi itu, muncul istilah baru dalam istilah perang yaitu laws of
armed conflict (sengketa bersenjata). Menurut Edward Kossoy,
seorang ahli Hukum Humaniter Internasional mengatakan
“On purely legal consideration the replacement of “war” by
“armed conflict” seems more justified and logical.”
Sedangkan dalam Commentary dikatakan bahwa:
“The Subtitute of this much more general expression for the word
“war” was deliberate.” (Haryomataram, 1984: 8-10 dan Fadillah
Agus, 1997: 3-4).
Menurut Karl Josef partsch, istilah international armed
conflict adalah lebih luas daripada istilah war (Rudolf
L.Binschelder, Encyclopedia of International Public International
Law, dalam Fadillah Agus,1997:4). Setelah itu, istilah armed
conflict ini banyak dipergunakan, baik dalam konsepsi-konsepsi
internasional maupun dalam resolusi-resolusi.
Dari semua defnisi di atas, perang yaitu persengketaan
bersenjata antara pihak-pihak bersengketa ketika salah satu pihak
tersebut berniat untuk mengakhiri perdamaian antara kedua pihak
tersebut. Persengketaan senjata tersebut terlebih dahulu dinyatakan
secara tegas di awal persengketaan oleh pihak yang berniat untuk
mengakhiri perdamaian antara kedua pihak tersebut dan
persengketaan bersenjata tersebut harus menggunakan senjata-
senjata yang diatur dalam hukum perang. Selain itu, istilah yang
lebih dapat diterima oleh masyarakat internasional adalah armed
conflict daripada war.
b. Sejarah Perkembangan Hukum Humaniter Internasional
Hukum perang merupakan bagian paling tua dari Hukum
Internasional dan hukum ini sama tuanya dengan perang itu sendiri, dan perang
sama tuanya dengan kehidupan manusia di Bumi. Sampai terbentuknya yang
sekarang, Hukum Humaniter Internasional telah mengalami perkembangan yang
sangat panjang. Dalam rentang waktu yang sangat panjang telah banyak upayaupaya yang telah dilakukan untuk memanusiawikan perang. Selama masa tersebut
terdapat usaha-usaha untuk memberikan perlindungan kepada orang-orang dari
kekejaman perang dan perlakuan semena-mena dari pihak-pihak yang terlibat
dalam perang.
Upaya-upaya tersebut tersebut dapat dibagi dalam tahapan-tahapan
perkembangan Hukum Humaniter berikut ini (Arlina Permanasari, 1999:13-17) :
1) Zaman Kuno
Pada masa ini para pemimpin militer memerintahkan pasukan
mereka untuk memperlakukan musuh yang tertangkap dengan
baik. Sebelum perang dimulai, maka pihak musuh akan diberi
peringatan dahulu. Lalu untuk menghindari luka yang berlebihan,
maka ujung panah tidak akan diarahkan ke hati. Dan segera setelah
ada yang terbunuh dan terluka, pertempuran akan berhenti selama
15 hari.
Jean Pictet menjelaskan bahwa upaya-upaya tersebut juga
berjalan pada peradaban-peradaban besar selama tahun 3000-1500
SM, antara lain sebagai berikut (Arlina Permanasari, 1999:13-15) :
a) Di antara bangsa-bangsa Sumeria, perang sudah terorganisir.
Ini ditandai dengan adanya pernyataan perang, kemungkinan
mengadakan arbitrase, kekebalan utusan musuh dan
perjanjian damai.
b) Kebudayaan Mesir kuno, sebagaimana disebutkan dalam
“seven works of true mercy”, yang menggambarkan adanya
perintah untuk memberikan makanan, minuman, pakaian dan
perlindungan kepada musuh; juga perintah untuk merawat
yang sakit dan menguburkan yang mati.
c) Dalam kebudayaan bangsa Hitite, perang dilakukan dengan
cara-cara yang sangat manusiawi. Hukum yang mereka miliki
didasarkan atas keadilan dan integritas.
d) Di India, peraturan perang yang mereka gunakan telah tertulis
dalam syair kepahlawanan Mahabrata dan undang-undang
Manu.
Dalam sejarah kehidupan masyarakat Indonesia juga dapat
ditemukan beberapa kebiasaan dan hukum perang yang
diberlakukan pada periode pra sejarah, periode klasik, maupun
periode Islam. salah satu contohnya dapat dilihat pada masa
kerajaan Gowa diketahui adanya perintah raja yang memerintahkan
perlakuan tawanan perang dengan baik.
2) Abad Pertengahan
Pada abad pertengahan Hukum Humaniter dipengaruhi oleh
ajaran-ajaran dari agama Kristen, Islam dan prinsip kesatriaan.
Ajaran agam Kristen misalnya memberikan sumbangan terhadap
konsep “perang yang adil” atau just war, Ajaran Islam tentang
perang antara lain bisa dilihat dalam Al-Quran surat Al-Baqarah
[2] ayat 190.
“ Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang
memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Sungguh, Allah
tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.“
Al-Quran surat. Al-Baqarah [2] ayat 191
”Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka,
dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu
(Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan,
dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidilharam, kecuali
jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka
memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka.
Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir.”
Adapun prinsip kesatrian yang berkembang pada abad
pertengahan ini misalnya mengerjakan tentang pentingnya
pengumuman perang dan larangan penggunaan senjata-senajata
tertentu.
3) Zaman Modern
Salah satu tonggak penting dalam perkembangan
Hukum Humaniter Internasional yaitu didirikannya organisasi
Palang Merah dan ditandatanganinya Konvensi Jenewa tahun
1864. Pada waktu yang hampir bersamaan di Amerika Serikat
Presiden Lincoln meminta Lieber, seorang pakar hukum imigran
Jerman, untuk menyusun aturan berperang. Hasilnya, adalah
Intructions for Government of Armies of the United States atau
disebut Lieber Code. (Masjhur Effendi, Moh. Ridwan, Muslich
Subandi, Pengantar dan Dasar-dasar Hukum Internasional, dalam
Arlina, 1999:16)
Dengan demikian, tidak seperti pada masa-masa
sebelumnya yang terjadi melalui proses hukum kebiasan, maka
pada masa ini perkembangan-perkembangan yang sangat penting
bagi Hukum Humaniter Internasional, dikembangkan melalui
traktat-traktat umum yang ditandatangani oleh mayoritas-mayoritas
negara-negara setelah tahun 1850.
Hukum Humaniter Internasional nampak sebagai hukum
yang dinamis dan selalu berkembang sesuai dengan perkembangan jaman. Namun
demikian, Menurut Kunz, hukum perang sekarang ini dalam keadaan kacau.
Banyak persoalan yang belum diatur, dan ketentuan-ketentuan yang telah ada
sudah ketinggalan jaman sehingga perlu direvisi.
Secara umum hukum perang dapat dibagi dua, yaitu :
1) Hukum yang mengatur cara berperang dan alat-alat yang boleh
dipakai untuk berperang; dan
2) Hukum yang melindungi kombatan, penduduk sipil dari akibat
perang.
Bagian pertama pada umumnya diatur dalam The Hague
Convention 1907, dan oleh karena itu sering disebut Hague Laws of War. Bagian
kedua diatur didalam Geneva Conventions 1949 dan oleh karena itu disebut juga
Geneva Laws of War. Hukum yang mengatur cara dan alat berperang dirumuskan
sekitar akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20. setelah itu peraturan atau
ketentuan itu hampir tidak pernah diperbaharui lagi. Mengingat usia peraturanperaturan tersebut, serta memperhatikan kemajuan pesat teknologi-terutama
teknologi pembuatan senjata-maka dapat diperkirakan bahwa bagian hukum
perang ini sudah sangat ketinggalan jaman atau out-of-date. Hague Law of War
belum disesuaikan dengan perubahan ini. Bagian ini memerlukan revisi. Usaha
revisi ini menghadapi beberapa kesulitan, antara lain (Haryomataram, 1994:2) :
1) Suasana saat ini- terutama suasana sesudah perang dunia ke-2
kurang menguntungkan. Orang sudah jemu berperang dan oleh
karena itu tidak mau diingatkan lagi pada “perang”. Pada tahun
1949 dibentuk Internaional Law Commission. Komisi ini menolak
memasukkan hukum perang sebagai salah satu topik antara lain
dengan alasan bahwa perang sudah dilarang, jadi tidak perlu lagi
membahas hukum perang. Apabila komisi membahas hukum
perang, maka seolah-olah komisi tidak percaya kemampuan akan
PBB untuk mempertahankan perdamaian.
2) Pembahasan atau revisi bagian hukum perang ini menyangkut
penggunaan senjata yang paling mutakhir. Hal ini tidak mungkin
dilihat dari segi hukum saja. Faktor politis, terutama politik
pertahanan-keamanan, tidak dapat diabaikan.
Pandangan bahwa hukum perang sudah tidak perlu karena
perang sudah dihapuskan, kurang realistis, berbahaya dan merugikan. Meskipun
sudah ada Kellog-Briand dan Charter PBB, namun perang belum dapat
dihapuskan. Oleh karena itu, hukum perang yang up-to-date perlu ada. (A regulate
war is a lesser evil than a unregullated war).
Pada saat ini, terdapat kekurangan dan kelebihan pada hukum
Humaniter Internasional. Salah satu contoh kekurangannya yaitu seperti yang
telah di jelaskan uraian di atas. Sedangkan, contoh kelebihan yang ada yaitu sudah
baiknya peraturan hukum perang yang mengatur perlindungan korban perang,
baik kombatan maupun non-kombatan (Haryomataram, 1994 : 1-3).
Demikianlah keadaan hukum perang dewasa ini, dimana
harus selalu memperbaharui setiap peraturan yang berhubungan dengan perang
karena dari hari ke hari perang yang terjadi semakin berkembang baik dengan
menggunakan metode atau alat-alat yang digunakannya.
c. Pengertian Hukum Humaniter Internasional
1) Pengertian Umum
Istilah hukum humaniter merupakan suatu istilah yang relatif
baru sehingga hanya sebagian kecil masyarakat yang mengetahui
tentang hukum humaniter. Bahkan, kebanyakan para ahli hukum
juga belum paham apa yang dimaksud dengan hukum humaniter.
Istilah hukum humaniter atau lengkapnya disebut
International Humanitarian Law Applicable in Armed Confict
berawal dari istilah hukum perang (laws of war), yang kemudian
berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of armed
conflict), yang akhirnya pada saat ini biasa dikenal dengan istilah
hukum humaniter.
Semula istilah yang digunakan adalah hukum perang. Tetapi
karena istilah perang tidak disukai, yang terutama disebabkan oleh
trauma Perang Dunia II yang menelan banyak korban, maka istilah
laws of war diganti menjadi laws of armed conflict (Hukum
Sengketa Bersenjata). Dalam perkembangannya, yaitu pada
permulaan abad ke-20, diusahakan untuk mengatur cara berperang,
yang konsepsi-konsepsinya banyak dipengaruhi oleh asas
kemanusiaan (humanity pinciple), maka istilah hukum sengketa
bersenjata diganti dengan istilah International Humanitarian Law
Applicable In Armed Conflict (Hukum Humaniter yang berlaku
dalam sengketa bersenjata) atau biasa disebut Hukum Humaniter
Internasional. Maksudnya yaitu untuk mengingatkan para peserta
perang supaya mereka melakukan perang secara manusia.
Kemudian istilah itu disebut dengan International Humanitarian
Law (Hukum Humaniter Internasional) (Arlina Permatasari, 1999 :
6-8).
Meskipun istilah Hukum Humaniter Internasional pernah
mengalami perubahan, tetapi tetap mempunyai inti dan tujuan yang
sama, yaitu mengatur tentang cara berperang serta perlindungan
terhadap berbagai pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata.
2) Pengertian Hukum Humaniter Internasional
Pengertian dari Hukum Humaniter Internasional yaitu seperti
yang diberikan oleh para ahli di bawah ini (Haryomataram, 1994 :
7) :
a) Menurut Nagendra Singh
“ The fundamental basis of the laws of war and their main
purpose is to limit the use of forcel violence to that which, an
according to all accepted canons, is the submission of the
enemy to terms” (page 70).
b) Menurut Oppeiheim
“Laws of war are the rules of the Law of Nations respecting
warfare” (page 226).
c) Dari buku : International Law-USSR
“Laws and customs of war = regulations governing the
relations on the one hand between belligerents, and on the
other hand berween bellgerents and neutrals” (page 405).
d) Menurut Starke
“Laws of war consists of the limits set by international law
within which the force reguird to overpower the enemy may be
used” (page.552).
Selain itu, definisi Hukum Humaniter Internasional juga
diberikan oleh para ahli di bawah ini. (Arlina Permatasari, 1999 :
9).
e) Menurut Jean Pictet
International humanitarian law in the wide sense is
constitutional legal provition, whether written or customary,
ensuring respect and individual and his well being.
f) Geza Herzegh merumuskan Hukum Humaniter Internasional
sebagai berikut
Part of the rules of the public international law which serve as
the protection of individuals in time of armed conflict. its place
a beside the norm of warfare it is closely related to them but
must be clearly distinguish from these its purpose and spirit
being different.
g) Menurut Mochtar Kusumaatdja
“Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan
perlindungan korban perlindungan, berlainan dengan hukum
perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu
yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri.”
h) Panitia Tetap Humaniter, Departemen Hukum dan Perundangundangan
“ Hukum Humaniter sebagai keseluruhan asas, kaidah dan
ketentuan internasional baik tertulis maupun tidak tertulis yang
mencakup hukum perang dan hak asasi manusia, bertujuan
untuk menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat
seseorang.”
i) F.Sugeng Istanto
“ Keseluruhan ketentuan hukum yang merupakan bagian dari
hukum internasional publik yang mengatur tingkah laku
manusia dalam pertikaian bersenjata yang di dasarkan pada
pertimbangan kemanusiaan dengan tujuan melindungi
manusia.”
j) International Committe of the Red Cross (ICRC)
“ Hukum Humaniter Internasional sebagai ketentuan hukum
internasional yang terdapat dalam perjanjian internasional
maupun kebiasaan, yang dimaksudkan untuk mengatasi segala
masalah kemanusiaan yang timbul pada waktu pertikaian
bersenjata internasional atau non internasional. Ketentuan
tersebut membatasi, atas dasar kemanusian, hak pihak-pihak
yang terlibat dalam pertikaian untuk menggunakan senjata dan
metode perang dalam melindungi orang maupun harta benda
yang terkena pertikaian bersenjata.
k) Esbjorn Rosenblad
Hukum Humaniter mengadakan pembedaan antara the law of
armed conflict, yang berhubungan dengan permulaan dan
berakhirnya pertikaian, pendudukan wilayah lawan, hubungan
pihak pertikaian dengan Negara netral. Sedangkan law of
walfare ini antara lain mencakup metode dan sarana berperang,
status kombatan, perlindungan yang sakit, kombatan dan orang
sipil.
Dari semua definisi yang telah dipaparkan di atas, dapat
ditarik sebuah kesimpulan bahwa Hukum Humaniter Internasional
yaitu :
a)
Suatu aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan hukum yang
timbul karena adanya kebiasaan-kebiasaan internasional atau
perjanjian –perjanjian internasional yang mengatur tentang
tata cara dan metode berperang serta perlindungan terhadap
korban perang (tawanan perang-orang luka dan sakit-orang
yang dilindungi dan sebagianya) baik konflik bersenjata yang
bersifat internasional ataupun non internasional.
b) Rangkaian ketentuan yang mengatur pemakaian kekuatan
bersenjata, yang meliputi pengaturan tentang tata cara dan
alat apa yang boleh dipakai.
d. Sumber Hukum Humaniter Internasional
Hukum perang merupakan bagian hukum internasional. Oleh
karena itu sumber hukum perang sama dengan sumber Hukum Internasional.
Menurut Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional sumber hukum Humaniter
Internasional adalah (Boer Mauna, 2005 : 7-11)
1) Perjanjian Internasional (International Convention), baik yang
bersifat umum maupun khusus
Konvensi-konvensi atau perjanjian-perjanjian Internasional merupakan sumber utama Hukum Internasional. Konvensikonvensi itu dapat berbentuk bilateral, regional dan multilateral.
Konvensi-konvensi internasioanal yang merupakan sumber
utama Hukum Internasional adalah konvensi yang berbentuk
law-making treaties yaitu perjanjian-perjanjian internasional
yang berisikan prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan yang
berlaku secara umum.
2) Kebiasaan Internasional (International Custom)
Kebiasaan merupakan sumber hukum yang asli bagi
hukum internasional. Dan kebiasaan dipandang sebagai sumber
yang paling tua. Akan tetapi, pada saat ini kebiasaan tidak lagi
dominan sebagaimana pada masa sebelumnya. Hal ini
disebabkan oleh karena makin tingginya aktivitas Komisi Hukum
Internasional (ILC) dalam pembentukan traktat multilateral.
Kebiasaan merupakan hukum yang mengikat yang berasal dari
praktek-praktek yang telah dilakukan oleh negara-negara.
3)
Prinsip-Prinsip Umum Hukum (General Principles of Law) yang
Diakui Oleh Negara-Negara Beradab
Sumber ketiga Hukum Internasional adalah prinsipprinsip umum yang berlaku dalam seluruh atau sebagian besar
hukum nasional negara-negara. Walaupun hukum nasional
berbeda dari satu negara ke negara lain namun prinsip-prinsip
pokoknya tetap sama. Prinsip-prinsip umum yang diambil dari
sistem-sistem nasional ini dapat mengisi kekosongan yang terjadi
dalam hukum internasional. Prinsip-prinsip hukum administrasi
dan perdagangan, ganti rugi dan kontrak kerja diambil dari
sistem nasional untuk mengatur kegiatan yang sama dalam
kerangka Hukum Internasional.
4) Keputusan pengadilan (Judicial decision) dan pendapat para ahli
yang telah diakui kepakarannya (teachings of the most highly
qualified publicists) merupakan sumber tambahan hukum
internasional.
Dari sekian banyak sumber hukum internasional di atas, maka
yang sangat penting bagi hukum perang adalah perjanjian internasional. Berikut
ini adalah beberapa perjanjian yang penting dalam hukum perang (Haryomataram,
1994:12-13 dan Arlina, 1999:43-49):
1)
1856 Deklarasi Paris mengenai cara berperang di laut.
2) 1864 Konvensi Jenewa yang mengatur tentang perbaikan
keadaan anggota angkatan bersenjata yang terluka di
medan pertempuran darat.
3) 1868 Deklarasi St. Petersburg yang mengatur tentang
pelarangan penggunaan proyektil jenis tertentu pada
waktu perang.
4) 1874 Konferensi Diplomatik diselenggarakan di Brussels atas
inisiatif Kaisar Alexander II dari Rusia, mengadopsi
sebuah Deklarasi Internasional mengenai hukum-hukum
dan kebiasaan perang. Naskahnya tidak diratifikasi,
bagaimana pun juga, karena beberapa negara yang hadir
merasa berat untuk terikat dalam sebuah perjanjian.
Walaupun demikian, Rancangan Brussels menandai
sebuah tahap penting pengkodifikasian hukum perang.
5) 1899 Konvensi Deen Haag yang mengatur tentang
penghormatan terhadap kebiasaan dan hukum perang di
darat dan penyesuaian tata cara berperang di laut menurut
prinsip Konvensi Jenewa 1864.
6) 1899 Deklarasi Den Haag, mengenai peluru dum-dum.
7) 1899 Deklarasi Den Haag, mengenai peluru dan bahan peledak
yang dilemparkan dari balon.
8) 1899 Deklarasi Den Haag, mengenai peluru yang menyebar gas
cekik.
9) 1899 Dalam Pembukaan Konvensi Den Haag Ke-II, terdapat
Klausula Martens yang menerangkan bahwa apabila
10) 1906
11) 1907
12) 1907
13) 1907
14) 1907
15) 1907
16) 1923
17) 1925
18) 1929
19) 1936
20) 1949
21) 1954
Hukum Humaniter belum mengatur suatu ketentuan
hukum mengenai masalah-masalah tertentu, maka
ketentuan yang dipergunakan harus mengacu pada
prinsip-prinsip hukum internasional yang terjadi dari
kebiasaan yang terbentuk di antara negara-negara yang
beradab {mengacu pada established custom dalam pasal 1
ayat (2) Protokol I} ;dari hukum kemanusiaan {mengacu
kepada principles of humanity dalam Pasal 1 ayat (2)};
serta dari pendapat public (public consience) {mengacu
pada ungkapan the dictates of public conscience dalam
Pasal I ayat (2)}.
Peninjauan kembali dan pengembangan Konvensi Jenewa
1864.
Peninjauan kembali Konvensi Den Haag 1899 dan
pengapdosian Konvensi baru.
Konvensi Den Haag, tentang permulaan perang.
Konvensi Den Haag, tentang penembakan oleh angkatan
laut dalam waktu perang.
Konvensi Den Haag, tentang hak dan kewajiban negara
netral dalam perang di darat.
Konvensi Den Haag, tentang hukum dan kebiasaan
perang di darat, dengan annex : Hage Regulations (Hage
Regulations ini sangat penting bagi para prajurit,
sehingga disebut : modern soldier’s vademecum).
The Hague Airwaves Rules.
Protokol Jenewa yang mengatur tentang pelarangan
penggunaan gas pencekik, beracun ataupun jenis gas
lainnya dan juga cara berperang biologis yang
menggunakan bakteri untuk kepentingan perang.
Konvensi Jenewa, tentang perlakuan terhadap orang sakit,
luka-luka dan tawanan perang.
London Protocol, tentang pemakaian kapal selama
melawan kapal dagang.
Empat Konvensi Jenewa yang mengatur tentang
a) Perbaikan keadaan anggota angkatan bersenjata yang
terluka dan sakit.
b) Perbaikan keadaan anggota angkatan bersenjata di
laut yang terluka, sakit dan korban karam.
c) Perlakuan terhadap tawanan perang.
d) Perlindungan terhadap penduduk sipil pada waktu
perang.
Kovensi Den Haag yang mengatur tentang mengenai
perlindungan terhadap benda-benda budaya pada waktu
konflik bersenjata.
22) 1972
Konvensi tentang pelanggaran, pengembangan,
pembuatan, dan penimbunan senjata biologis atau
bakteriologis dan beracun, dan tentang pemusnahannya.
23) 1977 Dua protokol tambahan terhadap empat konvensi Jenewa
1949, yang memperkuat perlindungan bagi korban
konflik bersenjata internasional (Protokol I) dan konflik
bersenjata non internasional (Protokol II).
24) 1980 Konvensi tentang larangan atau pembatasan penggunaan
senjata konvensional tertentu yang dianggap dapat
mengakibatkan luka yang berlebihan atau dapat
memberikan efek tidak pandang bulu (Konvensi Senjata
Konvensional / Certain Conventional Weapons
Conventioan / CCW), yang termasuk :
a) Protokol (I) tentang fragmen (kepingan logam) yang
tidak terdektesi.
b) Protokol (II) tentang larangan dan pembatasan
penggunaan ranjau darat, booby trap, dan alat-alat
lain.
c) Protikol (III) tentang larangan dan pembatasan
penggunaan senjata-senjata pembakar.
25) 1993 Konvensi tentang larangan dan pembatasan
pengembangan, pembuatan, penimbunan dan penggunaan
senjata kimia dan tentang pemusnahnya.
26) 1995 Protokol yang berkaitan dengan senjata laser yang dapat
menyebabkan kebutaan permanen (Protokol IV untuk
Konvensi 1980).
27) 1997 Konvensi tentang larangan penggunaan, penyimapanan,
serta pembuatan dan pengiriman ranjau anti personil dan
tentang pemusnahannya.
28) 1998 Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional
(Internastional Criminal Court).
29) 1999 Protokol pilihan untuk Konvensi tentang hak anak-anak
dalam konflik bersenjata.
30) 2001 Amandemen terhadap Pasal I dari Konvensi Senjata
Konvensional / CCW.
Menurut Prof. Mochtar, hukum dari Hukum Humaniter
Internasional dapat dibagi menjadi dua (Mochtar Kusumaatmadja, Hukum
Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan dan Penerapannya di Indonesia,
dalam Haryomataram, 1984:18) :
1) Jus ad Bellum yaitu Hukum tentang perang, mengatur tentang
dalam hal bagaimana negara dibenarkan dalam menggunakan
senjata.
2) Jus in bello yaitu Hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi
menjadi dua, yaitu
a) Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (conduct of
war). bagian ini disebut The Hague Laws.
b) Hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang
menjadi korban perang. bagian ini disebut dengan The
Geneva Laws.
Haryomataram membagi hukum humaniter menjadi dua aturan
– aturan pokok, yaitu (Haryomataram, 1994:1) :
1) Hukum perang yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh
dipakai untuk berperang (Hukum Den Haag / The Hague Laws).
2) Hukum yang mengatur mengenai perlindungan terhadap
kombatan dan penduduk sipil dari akibat perang (Hukum Jenewa/
The Geneva Laws).
Dengan demikian berdasarkan pendapat dua pakar hukum
humaniter di atas, maka sumber Hukum Humaniter Internasional terdiri dari
konvensi Den Haag dan Konvensi Jenewa. Hukum Den Haag mengatur mengenai
cara dan alat berperang, sedangkan Hukum Jenewa mengatur perlindungan
terhadap korban perang dimana salah satunya mengatur perlindungan tawanan
perang yang diatur di dalam Konvensi III Jenewa 1949. Kedua ketentuan hukum
tersebut merupakan sumber hukum humaniter yang utama, selain konvensikonvensi lain yang telah disebutkan di atas.
Pada tahun 1977, Konvensi Jenewa dilengkapi dengan dengan
dua protocol yang disebut dengan Protokol Tambahan 1977 :
1. Protocol Additional to Geneva Convention of 12 August 1949, and
Relating to The Protections of victims of International Armed
Conflict (Protocol I).
2. Protocol Additional to Geneva Convention of 12 August 1949, And
Relating to The Protections of victims of Non International Armed
Conflict (Protocol II).
Protokol 1 tahun 1977 mengatur tentang korban pertikaian
bersenjata internasional, sedangkan Protokol II tahun 1977 mengatur tentang
korban pertikaian bersenjata non-internasional.
e. Tujuan Hukum Humaniter Internasional
Ada beberapa tujuan Hukum Humaniter Internasional, yaitu
(Arlina Permanasari,dkk,1999:12 dan Haryomataram, 1994:9) :
1) Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk
sipil dari penderitaan yang tidak perlu.
2) Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka
yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan
musuh harus dilindungi dan dirawat serta berhak diperlakukan
sebagai tawanan perang.
3) Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal
batas, di sini yang terpenting yaitu asas perikemanusiaan.
Jadi tujuan dari Hukum Humaniter Internasional adalah
untuk memberikan perlindungan kepada korban perang, menjamin akan
perlindungan hak asasi manusia dan mencegah dilakukannya perang yang tidak
berperikemanusiaan .
f. Asas-asas Hukum Humaniter Internasional
Dalam Hukum Humaniter Internasional dikenal terdapat tiga
asas utama, yaitu (Arlina dkk, 1999:11) :
1) Asas Kepentingan Militer
Berdasarkan asas ini maka pihak yang bersengketa dibenarkan
menggunakan untuk menundukkan lawan demi tercapainya tujuan
dan keberhasilan perang.
2) Asas Perikemanusiaan
Berdasarkan asas ini, maka pihak yang bersengketa diharuskan
untuk memperhatikan perikemanusiaan, dimana mereka dilarang
untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang
berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu.
3) Asas Kesatriaan
Asas ini mengandung arti bahwa dalam perang, kejujuran harus
diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat, bebagai
macam tipu muslihat dan cara-cara yang bersifat khianat dilarang.
Dalam penerapannya, ketiga asas tersebut harus dilaksanakan
secara seimbang sehingga perang yang dilakukan tidak menimbulkan penderitaan
yang berlebihan bagi pihak yang dikalahkan dan terkhususnya tawanan perang
yang ditawan oleh Negara penawan dapat diperlakukan dengan baik dan
manusiawi.
g. Distinction Prinsiple
Prinsip pembedaan atau distinction Principle merupakan salah
satu prinsip penting dalam Hukum Humaniter Internasional. Prinsip ini
membedakan atau membagi penduduk dari suatu Negara yang sedang berperang
atau sedang terlibat dalam konflik bersenjata ke dalam dua golongan, yaitu
kombantan (combantant) dan penduduk sipil (civilian).
Kombantan adalah golongan orang yang turut serta secara aktif
dalam permusuhan, sedangkan penduduk sipil adalah golongan orang yang tidak
turut serta dalam permusuhan (Arlina permanasri dkk, 1999:73). Latar belakang
belakang diadakan prinsip pembedaan ini yaitu: (Haryomataram, 1984:64-65)
1) Untuk mengetahui siapa yang boleh turut dalam permusuhan dan
siapa tidak.
2) Untuk menentukan siapa yang dapat / boleh dijadikan objek
kekerasan dan siapa yang harus dilindungi.
Pada perkembangan pengaturannya Distinction Prinsiple atau
prinsip pembeda diatur dalam Konvensi Den Haag 1907, Konvensi Jenewa 1949,
dan Protokol Tambahan 1977. Pada Konvensi Den Haag 1907, walaupun prinsip
pembeda ini tidak secara eksplisit dapat ditemukan pada Konvensi Den Haag
1907, namun secara implisit prinsip pembeda ini terdapat di dalam Konvensi den
Haag IV (Konvensi mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat), khususnya
3.
dalam lampiran atau Annex-nya yang diberi judul Regulations Respecting Laws
and Custom of War. (Haryomataram, 1984:66-67).
Pada Konvensi Jenewa1949, pada konvensi ini prinsip pembeda
tidak dengan tegas disebutkan adanya penggolongan kombantan dan penduduk
sipil, namun isi dari Pasal 13 Konvensi I dan II, serta Pasal IV Konvensi IV pada
dasarnya dimaksudkan untuk diberlakukan sebagai kombantan. di samping itu,
ketentuan dalam Konvensi-konvensi juga memasukkan satu kategori baru ke
dalam golongan kombantan, yaitu golongan penduduk yang dinamakan
Organized Resistance Movement, mereka adalah penduduk yang merupakan
bagian dari pihak yang bertikai yang melakukan operasinya baik di dalam maupun
di luar wilayah mereka walaupun wilayah mereka telah di duduki. (Arlina,
1999:81)
Pada Protokol Tambahan, istilah kombantan dinyatakan secara
eksplisit di dalam Bab II yang berjudul Combantant dan Prisoner of War Status.
Hal yang terpenting dari pengaturan prinsip pembeda dalam Protokol Tambahan 1
tahun 1977 ini adalah bahwa dalam protokol tambahan ini telah mengalami
perkembangan karena dalam protocol ini tidak lagi dibedakan antara regular
troops (tentara reguler) dan irregular troops (tentara yang bukan tergolong tentara
reguler), sebagaimana dikenal baik dalam konvensi Den Haag 1907 dan Konvensi
Jenewa 1949. (Haryomataram, 1984:79-80)
Dari uraian di atas, diketahui bahwa pembedaan prinsip
distinction Principle ini, para pihak yang terlibat dalam sengketa bersenjata dapat
mengetahui orang-orang yang termasuk Kombantan dan orang-orang yang tidak
termasuk ke dalam Kombantan. Hal ini berkaitan pula dengan orang-orang mana
saja yang dapat ditawan oleh para pihak yang bersengketa. Selain itu, terilihat
perkembangan yang sangat signifikan pada prinsip pembeda yang diatur pada
sumber hukum Humaniter tersebut.
Tinjauan Umum Tentang Hukum Islam
a.
Sejarah Hukum Islam
Pada pembahasan ini, ada dua pandangan mengenai sejarah
Hukum Islam, yaitu :
1) Menurut Mohammad Daud Ali, terdapat lima tahap pertumbuhan
dan perkembangan Hukum Islam, yaitu (untuk lebih lengkapnya
baca Mohammad Daud Ali, 1999:139-178) :
a) Masa Nabi Muhammad SAW (610M-632M)
Pada masa ini, Nabi Muhammad SAW diutus oleh
Allah SWT. untuk menyampaikan wahyu kepada umat
manusia. Dakwah Rasulullah dalam menyebarkan ajaranajaran agama Islam dimulai di semenanjung Arab yang
kemudian menyebar luas ke berbagai belahan dunia. Wahyu
yang disampaikan Nabi Muhammad SAW. terdapat ayat-ayat
hukum. Ayat-ayat hukum mengenai soal-soal ibadah
jumlahnya 140 dalam Al-Quran, ayat-ayat ibadah ini
berkenaan dengan salat, zakat, puasa, dan haji. Sedang ayatayat hukum mengenai muamalah jumlahnya 228, lebih
kurang 3% dari jumlah seluruh ayat-ayat yang terdapat dalam
Al-Quran. Klasifikasi 228 ayat hukum yang terdapat dalam
Al-Quran menurut penelitian Prof. Abdul Wahab Khallaf
adalah sebagai berikut :
(1) Hukum Keluarga yang terdiri dari hukum perkawinan dan
hukum kewarisan sebayak 70 ayat.
Mengenai hukum perkawinan misalnya (hanya diambil
sebagian contoh), terdapat dalam Al-Quran surat AlBaqarah [2] ayat 221,230,dan 235. surat An-Nisa [4] ayat
3,4,22,23,24,25,dan 129; surat An-Nuur [24] ayat 32,dan
33; surat Al-Mumtahanah [60] ayat 10 dan 11; surat Attalaq [65] ayat 1 dan2.
Mengenai hukum kewarisan terdapat dalam beberapa
ayat Al-Quran , misalnya dalam surat Al-Baqarah [2]
ayat 180 dan 240; surat An-Nisa [4] ayat 7 sampai
dengan 12,32,33,dan 176; surat Al-Ahzab [33] ayat 6.
(2) Mengenai Hukum Perdata lainnya, diantaranya hukum
perjanjian (perikatan) terdapat 70 ayat. Contohnya dalam
surat Al-Baqarah [2] ayat 280,282,283; surat Al-Anfaal
[8] ayat 56 dan 58.
(3) Mengenai Hukum Ekonomi Keuangan termasuk Hukum
Dagang terdiri dari 10 ayat antara lain dalam surat AlBaqarah [2] ayat 275,282,284; surat Ali-Imran [3] ayat
130; surat An-Nisa [4] ayat 29; surat Al-Mutaffifiin [83]
ayat 1-3.
(4) Hukum Pidana terdiri 30 ayat antara lain terdapat dalam
surat Al-Baqarah [2] ayat 178 dan 179; surat An-Nisa [4]
ayat 92 dan 93; surat Al-Maidah [5] ayat 33,38,dan 39;
surat Asy Syuraa [42] ayat 40.
(5) Hukum Tata Negara terdapat 10 ayat antara lain terdapat
dalam surat Ali Imran [3] ayat 104,110,159; surat Annisa [4] ayat 59; surat Asy Syuraa [42] ayat 38.
(6) Hukum Internasional terdapat 25 ayat antara lain terdapat
dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 190 sampai dengan 193;
surat Al-Anfaal [8] ayat 39 dan 41; surat At-Taubah [9]
ayat 29 dan 123 ; surat Al-Mukminuun [22] ayat 39 dan
40.
(7) Hukum acara dan Peradilan terdapat 13 ayat antara lain
terdapat dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 282; surat AnNisa [4] ayat 65 dan 105; surat Al-Maidah [5] ayat 8;
surat Shaad [38] ayat 26.
Ayat-ayat hukum ini pada umumnya berupa prinsipprinsip saja yang harus dikembangkan lebih lanjut. Waktu
Nabi Muhammad SAW masih hidup, tugas untuk
mengembangkan dan menafsirkan ayat-ayat hukum ini
terletak pada diri Beliau sendiri melalui ucapan, perbuatan,
dan sikap diam Beliau yang disebut dengan sunnah yang kini
terdapat dalam kitab-kitab hadis. Dengan mempergunakan
Al-Quran sebagai norma dasar, Nabi Muhammad SAW.
memecahkan setiap masalah yang timbul pada masa-masanya
dengan sebaik mungkin.
b) Masa Khulafa Rasyidin (632 M – 662)
Masa pemerintahan khulafa Rasyidin ini sangat
penting dilihat bagi perkembangan Hukum Islam karena
dapat dijadikan model atau contoh oleh generasi-generasi
berikutnya, terutama generasi ahli Hukum Islam di zaman
mutakhir ini, tentang cara mereka menemukan dan
menerapkan Hukum Islam pada waktu itu.
(1) Abu Bakar Ash-Siddiq, Beliau adalah ahli hukum yang
tinggi mutunya. Ia memerintah dari tahun 632 M sampai
634 M, banyak tindakannya yang berpengaruh pada
perkembangan Hukum Islam, antara lain :
(a) Pidato pelantikannya yang intinya menyebutkan
bahwa bila Abu Bakar Ash-shiddiq melakukan
kebenaran maka ikutilah, namun jika ia melakukan
kesalahan, jangan takut untuk menegurnya. Katakata Abu Bakar ini sangat penting artinya dipandang
dari sudut Hukum Ketatanegaraan dan pemikiran
politik Islam, sebab kata-katanya dapat dijadikan
dasar dalam menentukkan hubungan antara rakyat
dengan penguasa.
(b) Cara yang dilakukan oleh Abu Bakar dalam
memecahkan persoalan hukum yang timbul dalam
masyarakat yaitu dicari di dalam Al-Quran,
kemudian bila tidak ada, Beliau mencarinya di
dalam Hadis. Bila tidak ditemukan juga, Beliau
mengumpulkan para sahabat Nabi untuk melakukan
ijtihad bersama.
(c) atas anjuran Umar, dibentuk panitia khusus yang
bertugas mengumpulkan catatan ayat-ayat Al-Quran
yang telah ditulis di zaman Nabi pada pelepahpelepah kurma, tulang-tulang unta dan sebagainya
dan menghimpunnya ke dalam satu naskah.
(2) Umar bin Khattab, pemerintahannya berlangsung dari
tahun 634 sampai tahun 644 M. Tindakannya yang
berpengaruh pada perkembangan Hukum Islam, antara
lain :
(a) Beliau turut aktif menyiarkan agama Islam, Ia
melanjutkan usaha Abu Bakar meluaskan daerah
Islam sampai Palestina, Sirya, Irak, dan Persia di
sebelah utara serta ke Mesir di barat daya.
(b) Ia menetapkan tahun Islam yang terkenal dengan
tahun Hijriyah berdasarkan peredaran bulan
(Qamariyah). Penetapan tahun Hijriayah dilakukan
Umar pada tahun 638 M dengan bantuan para ahli
ilmu hisab (hitung). Dimulai sejak Nabi Muhammad
SAW hijrah ke Madinah.
(c) Ia menetapkan salat at-tarawih yaitu salat sunnat
malam yang dilakukan setelah salat isya, selama
bulan Ramadhan.
(d) Ia sering melakukan ijtihad demi kemaslahatan
umat.
(3) Ustman bin Affan, pemerintahannya berlangsung dari
tahun 644 sampai tahun 656. Tindakannya yang
berpengaruh pada perkembangan Hukum Islam, yaitu ia
melakukan standarisasi Al-Quran karena, pada masa
pemerintahannya wilayah Islam telah sangat luas dan
didiami oleh berbagai suku bangsa dengan berbagai
bahasa dan dialek yang tidak sama.
(4) Ali bin Abi Thalib, pemerintahannya berlangsung dari
tahun 656 sampai 662 M. Semasa pemerintahannya, Ali
tidak banyak dapat berbuat untuk mengembangkan
Hukum Islam, karena keadaan negara tidak stabil bahkan
terjadi perpecahan antara umat Islam.
c) Masa Pembinaan, Pengembangan dan Pembukuan (abad VII
M abad X M)
Periode ini berlangsung lebih kurang dua ratus lima
puluh tahun lamanya, dimulai pada bagian awal abad VII
sampai dengan abad X Masehi. Dilihat dari kurun waktunya,
pembinaan dan pengembangan Hukum Islam dilakukan pada
masa pemerintahan Khalifah Ummayah (662-750) dan
Khalifah Abbasiyah (750-1258).
Hukum Islam mencapai puncak perkembangannya
di zaman Khalifah Abbasiyah yang memerintah selama lebih
kurang lima ratus tahun. Di masa inilah (1) lahir para ahli
Hukum Islam yang merumuskan garis-garis Hukum Islam
serta (2) muncul berbagai teori hukum yang masih dianut dan
dipergunakan oleh ummat Islam sampai sekarang.
Banyak faktor yang memungkinkan pembinaan dan
pengembangan Hukum Islam pada periode ketiga ini. Di
antara faktor-faktor yang mendorong orang menetapkan
hukum dan merumuskan garis-garis hukum adalah :
(1) Wilayah Islam sudah sangat luas, terbentang dari
perbatasan India-Tiongkok di Timur sampai ke Spayol
(Eropa) di sebelah Barat.
(2)
Telah ada karya-karya tulis tentang hukum yang dapat
dipergunakan sebagai bahan landasan untuk
membangun serta mengembangkan hukum fikih Islam.
(3) Telah tersedia pula para ahli yang mampu berijtihad
memecahkan berbagai masalah hukum dalam
masyarakat.
Dalam periode inilah timbul para mujtahid atau
imam, dulu jumlahnya banyak, tetapi kini yang masih
mempunyai pengikut adalah empat, yakni :
(1) Imam Abu Hanifah (al-Nukman ibn Tsabit):700-767M.
(2)
Ia hidup di Kufah, Irak dimana tempatnya sangat
jauh dengan Madinah yang merupakan tempat Nabi
Muhammad saw. karena letaknya yang jauh itu
menyebabkan beberapa perbedaan antara lain :
(a) Tidak banyak orang yang mengetahui sunnah Nabi.
(b) Di Madinah penduduknya homogen. Sedangkan, di
kufa penduduknya bersifat heterogen, hidup dalam
suasana kota yang terdiri dari berbagai suku
bangsa, menyebabkan perbedaan masalah yang
timbul dalam masyarakat dan penyelesaiannya pun
menjadi berbeda.
(c) Di kufah, karena mereka tidak banyak mengetahui
tentang sunnah Nabi Muhammad, untuk memecah
kan masalah masyarakat mereka relatif lebih kompleks dari itu, mereka lebih banyak menggunakan
pendapat atau pemikiran sendiri dengan qiyas atau
analogi sebagai alatnya.
Perbedaan intensitas dalam mempergunakan
sumber-sumber Hukum ini, menyebabkan perbedaanperbedaan pendapat yang akhirnya menimbulkan
aliran-aliran pemikiran dalam Hukum fiqih Islam.
Karena Abu Hanifah (dan kemudian murid-muridnya)
banyak mempergunakan pikiran atau ra’yu dalam
memecahkan masalah hukum, dalam kepustakaan,
mazhab Hanafi dikenal dengan sebutan ahlur ra’yu.
Mazhab ini dianut sekarang di turki,Syria,Irak,
Afganistan,Pakistan,India,Cina dan Uni Soviet.
Di beberapa negeri Islam,seperti Syria,Libanon
dan Mesir, Mazhab Hanafi menjadi Mazhab hukum
resmi. Sumber hukum yang mereka pergunakan yaitu
Al-quran, Sunnah dan Ra’yu.
Imam Malik bin Anas: 713-795
Malik bin Anas hidup dan mengembangkan
pahamnya di Medinah di mana banyak orang yang
mengetahui sunnah Nabi. Oleh karena itu, Malik
(3)
banyak mempergunakan sunnah dalam memecahkan
persoalan hukum. Malik sendiri menjadi pengumpul
Sunnah Nabi, ia menyusunnya dalam kitab Hadis yang
terkenal dengan nama al-Muwaththa’. Namun,
walaupun Ia telah mengumpulkan berbagai Sunnah
Nabi tetapi ia tetap menghargai keanekaragaman
sumber hukum dalam pemecahan masalah pada situasi
dan kondisi yang berbeda.
Mazhab ini sekarang dianut di Maroko, Aljazair,
Libya, Mesir selatan, Sudan, Bahrain dan Kuwait.
Sumber hukumnya yaitu Al-Quran, Sunnah Nabi,
dengan ijmak penduduk Medinah ,Qiyas dan Masalih
al-mursalah (kemaslahatan atau kepentingan umum).
Imam Muhammad Idris As-Syafi’i: 767-820 M
(4)
Ia belajar Hukum Fiqih Islam dari para mujtahid
mazhab hanafi dan Malik bin Anas. Karena itu pula ia
mengenal baik kedua aliran hukum itu baik tentang
sumber hukum maupun metode yang mereka
pergunakan. Karena itu pula ia dapat menyatukan
kedua aliran itu dan merumuskan sumber-sumber
hukum (fiqih) Islam (baru).
Ia disebut sebagai ahli Hukum Islam pertama
yang menyusun ilmu usl al-fiqh (usul fiqih) yakni ilmu
tentang sumber-sumber Hukum Fiqih Islam dalam
bukunya yang terkenal ar-Risalah (Pengantar Dasardasar Hukum Islam). Sumber Hukum Islam yaitu AlQuran, Sunnah Nabi, ijmak dan qiyas.
Mazhab Syafi’i sekarang diikuti di Mesir,
Palestina, (juga di beberapa tempat di Syria, dan
Libanon, Irak dan India), Muangthai, Filiphina,
Malaysia dan Indonesia. Sumber hukumnya yaitu AlQuran, Sunnah Nabi, Ijmak, Qiyas, dan Istishab
(penerusan berlakunya ketentuan hukum yang telah
ada, karena tidak terlihatnya dalil yang mengubah
ketentuan hukum tersebut).
Imam Ahmad bin Hambal (Hambali): 781-855 M
Ia belajar dari beberapa ahli, termasuk syafi’i, di
beberapa tempat. Selain ahli hukum ia ahli pula dalam
bidang hadis Nabi. Berdasarkan keahliannya itu, ia
menyusun sebuah kitab hadis terkenal dengan nama almusnad atau al-masnad. Pendapat Ahmad bin Hambal
ini menjadi pendapat resmi (negara) di Saudi Arabia
(sekarang). Dibandingkan dengan aliran-aliran hukum
tersebut di atas Mazhab Hambali ini yang paling sedikit
penganutnya. Sumber hukumnya yaitu sama dengan
Syafi’i dengan menekankan atau mengutamakan AlQuran dan Sunnah.
Dalam periode ini pulalah lahir teori penilaian
mengenai baik-buruknya suatu perbuatan yang
dilakukan oleh manusia yang terkenal dengan nama alhakam al-khamsah (hukum taklifi).
d) Masa Kelesuan Pemikiran (Abad X M-XIX M)
Sejak permulaan abad ke-4 Hijriyah atau abad ke
10-11 Masehi, ilmu Hukum Islam mulai berhenti
berkembang. Ini terjadi di akhir (penghujung) pemerintahan
atau dinasti Abbasiyah. Pada masa ini para ahli hukum hanya
membatasi diri mempelajari pikiran-pikiran para ahli
sebelumnya yang telah dituangkan ke dalam buku sebagai
mazhab. Yang dipermasalahkan tidak lagi soal-soal dasar
atau soal-soal pokok tetapi soal-soal kecil yang biasa disebut
dengan istilah furu’ (ranting).
Dengan kata lain, yang menjadi ciri umum
pemikiran hukum dalam periode ini adalah ahli hukum tidak
lagi memusatkan usahanya untuk memahami prinsip-prinsip
atau ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Quran dan AsSunah Nabi Muhammad SAW, tetapi pikirannya di
tumpukkan pada pemahaman perkataan-perkataan, pikiranpikiran hukum para imam-imamnya saja.
Di antara faktor-faktor atau keadaan yang
menyebabkan “kemunduran” atau kelesuan pemikiran
Hukum Islam di masa itu adalah:
(1) Kesatuan wilayah Islam yang luas, telah retak dengan
munculnya beberapa negara baru, baik di Eropa
(Spanyol), Afrika Utara, di kawasan Timur Tengah dan
Asia. Munculnya negara-negara baru itu membawa
ketidakstabilan politik.
(2) Ketidakstabilan politik menyebabkan pula
ketidakstabilan kebebasan berpikir, maksudnya orang
tidak bebas mengutarakan pendapatnya.
(3) Pecahnya kesatuan kenegaraan/pemerintahan itu
menyebabkan merosotnya pula kewibawaan
pengendalian perkembangan hukum. Dan muncul
orang-orang yang sebenarnya tidak mempunyai
kelayakan untuk berijtihad, namun mengeluarkan
berbagai garis hukum dalam bentuk fatwa yang
membingungkan masyarakat.
(4) Timbullah gejala kelesuan berpikir dimana-mana,
karena kelesuan berpikir itu, para ahli tidak mampu lagi
menghadapi perkembangan keadaan dengan
mempergunakan akal pikiran mereka yang merdeka dan
bertanggung jawab.
e) Masa Kebangkitan Kembali (abad XIX sampai dengan
sekarang)
Setelah mengalami kelesuan, kemunduran beberapa
abad lamanya, pemikiran Islam kembali lagi. Ini terjadi pada
bagian kedua abad ke-19. kebangkitan kembali pemikiran
Islam timbul sebagai reaksi terhadap sikap taqlid yang telah
membawa kemunduran Hukum Islam. Munculah gerakangerakan baru di antara gerakan para ahli hukum yang
menyarankan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah.
Gerakan ini, dalam kepustakaan disebut gerakan salaf
(salafiyah) yang ingin kembali kepada kemurnian ajaran
Islam di zaman salaf (= permulaan), generasi awal dahulu.
2) Sejarah Hukum Islam menurut Nurcholis Majid yaitu :
(http://www.geocities.com/Pentagon/ Quarters/ 1246/hukum
.html)
Dalam bidang fiqh seperti juga dalam bidangbidang yang lain masa Tabi'in adalah masa peralihan dari
masa sahabat Nabi dan masa tampilnya imam-imam
madzhab. Di satu pihak masa itu bisa disebut sebagai
kelanjutan wajar masa sahabat Nabi, di lain pihak pada masa
itu juga mulai disaksikan munculnya tokoh-tokoh dengan
sikap yang secara nisbi lebih mandiri, dengan penampilan
kesarjanaan di bidang keahlian yang lebih mengarah pada
spesialisasi.
Yang disebut "para pengikut" (makna kata Tabi'in)
ialah kaum Muslim generasi kedua (mereka menjadi Muslim
ditangan para Sahabat Nabi). Dalam pandangan keagamaan
banyak ulama masa Tabi'in itu, bersama dengan masa para
Sahabat sebelumnya dan masa Tabi'in al-Tabi'in ("para
pengikut dari para pengikut" yakni, kaum Muslim generasi
ketiga), dianggap sebagai masa-masa paling otentik dalam
sejarah Islam, dan ketiga masa itu sebagai kesatuan
suasana yang disebut salaf (Klasik).
Walaupun begitu tidaklah berarti masa generasi
kedua ini bebas dari persoalan dan kerumitan. Justru
sifat transisional masa ini ditandai berbagai gejala
kekacauan pemahaman keagamaan tertentu, yang bersumber
dari sisa dan kelanjutan berbagai konflik politik, terutama
yang terjadi sejak peristiwa pembunuhan 'Utsman, Khalifah
III. Tumbuhnya partisan-partisan politik yang berjuang
keras memperoleh pengakuan dan legitimasi bagi klaimklaim mereka, seperti Khawarij, Syi'ah, Umawiyyah, dan
sebagainya, telah mendorong berbagai pertikaian paham. Dan
pertikaian itu antara lain menjadi sebab bagi berkecamuk-
nya praktek pemalsuan hadits atau penuturan dan cerita
tentang Nabi dan para sahabat.
Melukiskan keadaan yang ruwet itu Musthafa alSiba'I mengetengahkan keterangan di bawah ini. Tahun
empat puluh Hijriah adalah batas pemisah antara kemurnian
Sunnah dan kebebasannya dari kebohongan dan pemalsuan
di satu pihak,dan ditambah-tambahnya Sunnah itu serta
digunakannya sebagai alat melayani berbagai kepentingan
politik dan perpecahan internal Islam. Khususnya setelah
perselisihan antara 'Ali dan Mu'awiyah berubah menjadi
peperangan dan yang banyak menumpahkan darah dan
mengorbankan jiwa, serta setelah orang-orang Muslim
terpecah-pecah menjadi berbagai kelompok. Sebagian besar
orang-orang Muslim memihak 'Ali dalam perselisihannya
dengan Mu'awiyah, sedangkan kaum Khawarij menaruh
dendam terhadap 'Ali dan Mu'awiyah sekaligus setelah
mereka itu sendiri sebelumnya merupakan pendukung 'Ali
yang bersemangat.
Setelah 'Ali r.a. wafat dan Mu'awiyah habis
masa kekhilafahannya (juga wafat) anggota rumah tangga
Nabi (Ahlal-Bayt) bersama sekelompok orang-orang Muslim
menuntut hak mereka akan kekhalifahan,serta meninggalkan
keharusan taat pada Dinasti Umayyah.
Begitulah,peristiwa-peristiwa politik menjadi sebab
terpecahnya kaum Muslim dalam berbagai golongan dan
partai. Disesalkan, pertentangan ini kemudian mengambil
bentuk sifat keagamaan, yang kelak mempunyai pengaruh
yang lebih jauh bagi tumbuhnya aliran-aliran keagamaan
dalam Islam. Setiap partai berusaha menguatkan posisinya
dengan Al-Qur'an dan Sunnah, dan wajarlah bahwa AlQur'an dan Sunnah itu untuk setiap kelompok tidak selalu
mendukung klaim-klaim mereka. Maka sebagian golongan
itu melakukan interpretasi Al-Qur'an tidak menurut hakikatnya dan membawa nash-nash Sunnah pada makna yang tidak
dikandungnya. Sebagian lagi meletakkan pada lisan Rasul
hadits-hadits yang menguatkan klaim mereka, setelah hal
itu tidak mungkin mereka lakukan terhadap Al-Qur'an karena
ia sangat terlindung (terpelihara) dan banyaknya orang
Muslim yang meriwayatkan dan membacanya.
Dari situlah mulai pemalsuan Hadits dan pencampuradukan yang sahih dengan yang palsu. Sasaran pertama
yang dituju para pemalsu hadits itu ialah sifat-sifat utama
para tokoh. Maka mereka palsukanlah banyak hadits tentang
kelebihan imam-imam mereka dan para tokoh kelompok
mereka. Ada yang mengatakan bahwa yang pertama
melakukan hal itu ialah kaum Syi'ah -dengan perbedaan
berbagai kelompok mereka sebagaimana dituturkan Ibn Abi
al-Hadid dalam Syarh Nahj al-Balaghah,"Ketahuilah bahwa
pangkal kebohongan dalam hadits-hadits tentang keunggulan
(tokoh-tokoh) muncul dari arah kaum Syi'ah." Tapi kemudian diimbangi orang-orang bodoh dari kalangan Ahl al-Sunnah
dengan perbuatan pemalsuan juga.
Dihadapkan keruwetan itu, para Tabi'in dengan
dipimpin tokoh-tokoh yang mulai tumbuh dengan penam pilan kesarjanaan mencoba melakukan sesuatu yang amat
berat namun kemudian membuahkan hasil yang agung, yaitu
penyusunan dan pembakuan Hukum Islam melalui fiqh atau
"proses pemahaman" yang sistimatis. Dari uraian di atas
perkembangan Hukum Islam dibagi menjadi tiga masa yaitu :
a) Pada Masa Wawasan Hukum Zaman Tabi'in
Antara Islam sebagai agama dan Hukum terdapat
kaitan langsung yang tidak mungkin diingkari. Meskipun
baru setelah tinggal menetap di Madinah Nabi saw.
melakukan kegiatan legislasi, namun ketentuan-ketentuan
yang bersifat kehukuman telah ada sejak di Makkah,
bahkan justru dasar-dasarnya telah diletakkan dengan
kokoh dalam periode pertama itu.
Dasar - dasar itu memang tidak semuanya langsung bersifat kehukuman atau legalistik, sebab selalu dikaitkan dengan ajaran moral dan etika. Maka sejak di
Makkah, Nabi mengajarkan tentang cita-cita keadilan
sosial yang antara lain mendasari konsep-konsep tentang
harta yang halal dan yang haram (semua harta yang
diperoleh melalui penindasan adalah haram), keharusan
menghor- mati hak milik sah orang lain,kewajiban
mengurus harta anak yatim secara benar, perlindungan
terhadap kaum wanita dan janda, dan seterusnya.
Itu semua tidak akan tidak melahirkan sistem
hukum, sekalipun keadaan di Makkah belum mengizinkan
bagi Nabi untuk melaksanakannya. Maka tindakan Nabi
dan kebijaksanaannya di Madinah adalah kelanjutan yang
sangat wajar dari apa yang telah dirintis pada periode
Makkah itu.
Pada masa para sahabat yang kemudian disusul
masa para Tabi'in, prinsip-prinsip yang diwariskan Nabi
itu berhasil digunakan, menopang ditegakkannya kekuasaan politik Imperium Islam yang meliputi daerah antara
Nil sampai Amudarya, kemudian segera melebar dan
meluas sehingga membentang dari semenanjung Iberia
sampai lembah sungai Indus. Daerah-daerah itu, yang
dalam wawasan geopolitik Yunani kuno dianggap sebagai
heatland Oikoumene (Daerah Berperadaban - Arab:al -
Da'irat al-Ma'murah) telah mempunyai tradisi sosialpolitik yang sangat mapan dan tinggi, termasuk tradisi
kehukumannya.Di sebelah Barat tradisi itu merupakan
warisan Yunani-Romawi, dan Indo-Iran umumnya.
Karena itu mudah dipahami jika timbul semacam tuntutan
intelek- tual untuk berbagai segi kehidupan masyarakat
yang harus dijawab para penguasa yang terdiri dari kaum
Muslim Arab itu.
Tuntutan intelektual itu mendorong tumbuhnya
suatu kegiatan ilmiah yang sangat khas Islam, bahkan
Arab, yaitu Ilmu Fiqh. Tapi sebelum ilmu itu tumbuh
secara utuh, agaknya yang telah terjadi pada masa tabi'in
itu ialah semacam pendekatan ad hoc dan praktispragmatis
terhadap persoalan-persoalan hukum, dengan menggunakan prinsip-prinsip umum yang ada dalam Kitab Suci, dan
dengan melakukan rujukan pada Tradisi Nabi dan para
Sahabat serta masyarakat lingkungan mereka yang secara
ideal terdekat, khususnya masyarakat Madinah.
Pendekatan ini dimungkinkan karena watak dasar
Hukum Islam yang lapang dan luwes, sehingga mampu
menampung setiap perkembangan yang terjadi. Berkenaan
dengan hal ini al-Sayyid Sabiq menjelaskan, bahwa halhal yang tidak berkembang menurut perkembangan zaman
dan tempat, seperti 'aqa'id dan 'ibadat, diberikan secara
sepenuhnya terperinci, dengan dijelaskan oleh nash-nash
yang bersangkutan;maka tidak seorang pun dibenarkan
menambah atau mengurangi. Tetapi yang berkembang
menurut perkembangan zaman dan tempat, seperti berba
-gai kepentingan kemasyarakatan (al-mashalih al-madani
-yyah), urusan politik dan peperangan, diberikan secara
garis besar, agar bersesuaian dengan kepentingan manusia di semua zaman dan agar dapat dipedomani oleh para
pemegang wewenang (ulual-amr) dalam menegakkan
keadilan dan kebenaran.
Para ahli hukum Islam sudah terbiasa mengatakan
secara benar bahwa letak kekuatan Islam ialah sifatnya
yang akomodatif terhadap setiap perkembangan zaman
dan peralihan tempat (shalih li kull zaman wa makansesuai untuk setiap zaman dan tempat). Untuk mengerti
masalah ini sangat menarik mengutip lebih lanjut
keterangan al-Sayyid Sabiq, Penetapan Hukum (al-tasyri')
Islam merupakan salah satu dari berbagai segi yang amat
penting yang disusun oleh tugas suci Islam dan yang
memberi gambaran segi ilmiah dari tugas suci itu.
Penetapan hukum keagamaan murni, seperti hukumhukum ibadat, tidak pernah timbul kecuali dari wahyu
Allah kepada Nabi-Nya s.a.w., baik dari Kitab ataupun
Sunnah, atau dengan suatu ijtihad yang disetujuinya.Dan
tugas Rasul tidak keluar dari lingkaran tugas menyampai kan (tabligh) dan menjelaskan (tabyin). "Tidaklah ia
(Nabi) berbicara atas kemauan sendiri; tidak lain itu
adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya." (Al-Quran
surat Al-Najm [53] ayat 34).
Adapun penetapan hukum yang berkaitan dengan
perkara duniawi bersifat kehakiman,politik dan perang,
maka Rasul saw. diperintahkan bermusyawarah mengenai
itu semua. Dan Nabi pernah mempunyai suatu pendapat,
tapi ditinggalkannya dan menerima pendapat para sahabat,
sebagaimana terjadi pada waktu perang Badar dan Uhud.
Dan para Sahabat ra. pun selalu meruduk kepada Nabi
saw., guna menanyakan apa yang tidak mereka ketahui,
dan meminta tafsiran tentang makna-makna berbagai nash
yang tidak jelas bagi mereka.Mereka juga mengemukakan
kepada Nabi pemahaman mereka tentang nash-nash itu,
sehingga Nabi kadang-kadang membenarkan pemahaman
mereka itu,dan kadang-kadang beliau menerangkan letak
kesalahan dalam pendapat mereka itu.
Sudah tentu keluasan dan fleksibilitas semangat
umum Hukum Islam itu dipertahankan, dan bertahan,
melewati zaman Nabi sendiri, kemudian zaman para
Sahabat, dan diteruskan ke zaman para Tabi'in. Tapi jika
pada zaman Nabi tempat rujukannya ialah Nabi sendiri,
dengan otoritas yang diakui semua.Pada zaman para
sahabat Nabi itu diwarisi banyak tokoh,yang kemudian
bertindak sebagai tempat rujukan.Tapi sejak pertikaian
politik pada partengahan kedua kekhalifahan 'Utsman,
tanda-tanda menyebarnya, dan kemudian berselisihnya,
tempat rujukan itu sudah mulai nampak.
Seperti dilukiskan Siba'I yang telah dikutip di atas,
penyebaran dan perselisihan otoritas itu memuncak pada
sekitar sesudah 40H. ketika banyak partisan mulai
berusaha keras memperebutkan legitimasi untuk klaimklaim mereka. Ini terjadi tanpa peduli dengan sambutan
sebagian besar umat Islam kepada tahun 41 Hijri sebagai
"Tahun Persatuan" atau "Tahun Solidaritas" ('Am alJama'ah), sebab "persatuan" dan "solidaritas" itu agaknya
hanya terbatas pada kenyataan kembalinya kesatuan
politik (formal) umat Islam di bawah Khalifah Mu'awiyah
ibn Abi Sufyan di Damaskus.
b) Pada Masa Dua Kubu Orientasi Fiqh: Hijaz Dan Irak
Di bawah pimpinan Khalifah Mu'awiyah (yang masa
kekhalifahannya disebut Ibn Taymiyyah sebagai permu-
laan masa "kerajaan dengan rahmat" -al-mulk bi al-rah
mah) kaum Muslim dapat dikatakan kembali pada keadaan
seperti zaman Abu Bakar dan 'Umar (zaman al-Syaykhani,
"Dua Tokoh") yang amat dirindukan orang banyak,
termasuk para "aktivis militan" yang membunuh 'Utsman
(dan yang kemudian [ikut] mensponsori pengangkatan 'Ali
namun akhirnya berpisah dan menjadi golongan
Khawarij).Apa pun kualitas kekhalifahan Mu'awiyah itu,
namun dalam hal masalah penegakan hukum mereka tetap
sedapat mungkin berpegang dan meneruskan tradisi para
Khalifah di Madinah dahulu, khususnya tradisi 'Umar.
Karena itu ada semacam "koalisi" antara Damaskus dan
Madinah (tapi suatu koalisi yang tak pernah sepenuh hati,
akibat masalah keabsahan kekuasaan Bani Umayyah
itu).Tapi "koalisi"itu mempunyai akibat cukup penting
dalam bidang fiqh, yaitu tumbuhnya orientasi kehukuman
(Islam) kepada Hadits atau Tradisi (dengan "T" besar)
yang berpusat di Madinah dan Makkah serta mendapat
dukungan langsung atau tak langsung dari rezim
Damaskus.
Sementara banyak tokoh Madinah sendiri tetap
mempertanyakan keabsahan rezim Umayyah itu, Irak
dengan kota-kota Kufah dan Basrah adalah kawasan yang
selalu potensial menentang Damaskus secara efektif. Ini
kemudian berdampak tumbuhnya dua orientasi dengan
perbedaan yang cukup penting:Hijaz (Makkah-Madinah)
dengan orientasi Haditsnya, dan Irak (Kufah-Basrah)
dengan orientasi penalaran pribadi (ra'y)-nya.Penjelasan
menarik tentang hal ini diberikan oleh Syaykh 'Ali alKhafif.
Pada zaman itu (zaman Tabi'in), dalam ifta' (pembe rian fatwa) ada dua aliran: aliran yang cenderung pada
kelonggaran dan bersandar atas penalaran, kias, penelitian
tentang tujuan-tujuan hukum dan alasan-alasannya,sebagai
dasar ijtihad. Tempatnya ialah Irak.Dan aliran yang cenderung tidak kepada kelonggaran dalam hal tersebut, dan
hanya bersandar kepada bukti-bukti atsar (peninggalan
atau "petilasan," yakni, tradisi atau Sunnah) dan nashnash.Tempatnya ialah Hijaz.Adanya dua aliran itu
merupakan akibat yang wajar dari situasi masing-masing
Hijaz dan Irak.
Hijaz adalah tempat tinggal kenabian. Di situ Rasul
menetap,menyampaikan seruannya,kemudian para
Sahabat beliau menyambut, mendengarkan, memelihara
sabda-sab da beliau dan menerapkannya. Dan (Hijaz) tetap
menjadi tempat tinggal banyak dari mereka (para
Sahabat) yang datang kemudian sampai beliau wafat.
Kemudian mereka ini mewariskan apa saja yang mereka
ketahui kepada penduduk (berikut)-nya, yaitu kaum
Tabi'in yang bersema- ngat untuk tinggal di sana.
Sedangkan Irak telah mempunyai peradabannya
sendiri,system pemerintahannya,kompleksitas kehidupan –
nya, dan tidak mendapatkan bagian dari Sunnah kecuali
melalui para Sahabat dan Tabi'in yang pindah kesana. Dan
yang dibawa pindah oleh mereka itu pun masih lebih
sedikit daripada yang ada di Hijaz. Padahal peristiwaperistiwa (hukum) di Irak itu, disebabkan masa lampaunya,adalah lebih banyak daripada yang ada di Hijaz;
begitu pula kebudayaan penduduknya dan terlatihnya
mereka itu kepada penalaran,adalah lebih luas dan lebih
banyak. Karena itulah keperluan mereka kepada penalaran
lebih kuat terasa,dan penggunaannya juga lebih banyak.
Penyandaran diri kepadanya juga lebih jelas nampak,
mengingat sedikitnya Sunnah pada mereka itu tidak
memadai untuk semua tuntutan mereka.Ini masih ditam bah dengan kecenderungan mereka untuk banyak
membuat asumsi-asumsi dan perincian karena keinginan
mendapatkan tambahan pengetahuan ,penalaran mendalam
dan pelaksanaan yang banyak.
Jika dikatakan bahwa orang-orang Hijaz adalah Ahl
al-Riwayah ("Kelompok Riwayat," karena mereka banyak
berpegang kepada penuturan masa lampau, seperti Hadits,
sebagai pedoman) dan orang-orang Irak adalah Ahl al-Ra'y
("Kelompok Penalaran" ,dengan isyarat tidak banyak
mementingkan "riwayat"), sesungguhnya itu hanya karak
teristik gaya intelektual masing-masing daerah itu.
Sedangkan pada peringkat individu, cukup banyak dari
masing-masing daerah yang tidak mengikuti karakteristik
umum itu. Maka di kalangan orang-orang Hijaz terdapat
seorang sarjana bernama Rabi'ah yang tergolong "Kelom pok Penalaran," dan di kalangan para sarjana Irak, kelak,
tampil seorang penganut dan pembela "Kelompok
Riwayat" yang sangat tegar, yaitu Ahmad ibn Hanbal.
Disamping itu, membuat generalisasi bahwa sesuatu
kelompok hanya melakukan satu metode penetapan
hukum atau tasry', apakah itu penalaran atau penuturan
riwayat, adalah tidak tepat. Terdapat persilangan antara
keduanya,meskipun masing-masing tetap dapat dikenali
ciri utamanya dari kedua katagori tersebut.Ini semakin
memperkaya pemikiran hukum zaman Tabi'in.
c) Pada Masa Ijtihad Tabi'in Sebagai Pendahulu
Madzhab-Madzhab
Menurut 'Ali al-Khafifi, seorang anggota Majma'
al-Buhuts al-Islamiyyah (Badan Riset Islam) Universitas
al-Azhar,Kairo, Ijtihad yang terjadi di zaman Tabi'in
adalah ijtihad mutlak. Yaitu ijtihad yang dilakukan tanpa
ikatan pendapat seorang mujtahid yang terlebih dahulu,
dan yang secara langsung diarahkan membahas, meneliti
dan memahami yang benar.Ikatan hanya terjadi jika
ditemukan sebuah pendapat seorang Sahabat Nabi, yang
diduga bersandar kepada Sunnah yang karena beberapa
sebab Sunnah itu tidak muncul sebelumnya, kemudian
pada zaman Tabi'in itu, lebih-lebih zaman Tabi'in alTabi'in, suasana lebih mengizinkan untuk muncul.
Misalnya, perubahan situasi politik, dengan perpindahan
kekuasaan dari kaum Umawi ke kaum 'Abbasi, telah
membawa perubahan penting dalam sikap keagamaan.
Meskipun sesungguhnya kaum 'Abbasi akhirnya banyak
meneruskan wawasan hukum keagamaan kaum Umawi
sebagai pendukung Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah (yang
sebagaimana telah disinggung, berkenaan dengan hukum,
banyak berorientasi kepada preseden-preseden para khalifah Madinah, khususnya Umar), kaum 'Abbasi lebih
banyak dan lebih tulus perhatian mereka kepada
masalah-masalah keagamaan dari pada kaum Umawi.
Sikap berpegang kepada syari'ah ini bagi kaum
'Abbasi berarti pengukuhan legitimasi politik dan
kekuasaan mereka (dibandingkan dengan kedudukan
kaum Umawi,dan dihadapkan kepada oposisi kaum Syi'ah
dan Khawarij). Tapi disamping itu, sikap tersebut
menciptakan suasana yang lebih mendukung bagi
perkembangan kajian agama, dan ini pada urutannya
memberi peluang lebih baik pada para sarjana untuk
menyatakan pendapatnya, termasuk menuturkan riwayat
dan Hadits.Usaha secara resmi pembakuan Sunnah (yang
kemudian menjadi sejajar dengan Hadits) telah mulai
tumbuh sejak jaman 'Umar ibn 'Abd-al'Aziz menjelang
akhir kekuasaan Umawi. Kini usaha ini memperoleh
dorongan baru,dan merangsang tumbuhnya berbagai
aliran pemikiran keagamaan, baik yang bersangkutan
dengan bidang politik, teologi dan hukum,maupun yang
lain.
Semua kegiatan itu juga terpengaruh kenyataan
sosialpolitik, berupa semakin beragamnya latar belakang
etnis, cultural dan geografi anggota masyarakat Islam,
disebabkan banyaknya orang-orang bukan Arab (Syiria,
Mesir,Persi,dan sebagainya) yang masuk Islam. Maka
zaman itu kita menyaksikan tampilnya tokoh-tokoh kesar -
janaan dengan bidang kajian ilmu yang lebih terspesialisasi, khususnya, bidang kajian hukum Islam atau fiqh.
Merekalah para pendahulu imam –imam madzhab, bahkan
guru-guru para calon imam madzhab itu.
Suatu hal yang amat penting diperhatikan ialah
adanya kaitan suatu aliran pikiran (yakni,madzhab,school
of thought) dengan tempat. Telah disebutkan adanya dua
aliran pokok: Irak dan Hijaz. Namun diantara keduanya,
dan dalam diri masing-masing aliran besar itu, terdapat
nuansa yang cukup berarti, dan cukup penting diper hatikan.Nuansa-nuansa itu tercermin dalam ketokohan
sarjana atau 'ulama' yang mendominasi suasana intelek tual suatu tempat,seperti dituturkan al-Syaykh Muhammad
al-Hudlari Beg dalam kitabnya, Tarikh al-Tasyri' alIslami. Di Madinah tampil cukup banyak sarjana, antara
lain:
(1) Sa'id ibn al Musayyib al-Makhzumi. Lahir dua tahun
kekhalifahan 'Umar, dan sempat belajar dari para
pembesar Sahabat Nabi. Banyak meriwayatkan Hadist
yang bersambung dengan Abu Hurayrah. Al-Hasan
al-Bashri banyak berkonsultasi dengannya. Wafat
pada tahun 94 H.
(2) 'Urwah ibn al-Zubayr ibn al-'Awwam. Lahir dimasa
kekhali -fahan 'Utsman. Banyak belajar dari bibinya,
Aisyah, istri Nabi saw. wafat pada 94 H.
(3) Abu Bakr ibn 'Abd-al-Rahman ibn al-Harits ibn
Hisyam al-Makhzumi. Lahir di masa kekhalifahan
'Umar. Terkenal sangat saleh sehingga digelari
"pendeta Quraysy" (rahib Quraysy). Wafat pada 94 H.
(4) 'Ali ibn al-Husayn ibn 'Ali ibn Abi Thalib al-Hasyimi.
Dia adalah imam keempat kaum Syi'ah Imamiyyah,
dan dikenal dengan Zayn al-'Abidin. Ia belajar dari
ayahnya dan dari pamannya, al-Hasan ibn 'Ali,
'Aisyah, ibn 'Abbas, dan lain-lain. Ia terkenal sangat
'alim (terpelajar), tapi tidak banyak meriwayatkan
Hadits. Wafat pada 94 H.
(5) 'Ubayd-Allah ibn 'Abd-Allah ibn 'Utbah ibn
Mas'ud.Belajar dari'Aisyah
Dari kedua pendapat pakar mengenai sejarah Hukum
Islam, menyatakan bahwa dalam perkembangannya
banyak bermuculan aliran-aliran yang disebabkan karena
perbedaan letak geografis antara kelompok yang satu
dengan kelompok yang lain sehingga sumber Hukum
Islam yang mereka pergunakan juga berbeda. Tetapi hal
perbedaan geografis dan faktor-faktor lainnya tidak dapat
menyatakan bahwa umat Muslim tidak boleh hanya
menggunakan salah satu sumber yang ada karena hal
tersebut akan menimbulkan kesalahan yang fatal.
Sehingga, dalam melihat suatu permasalahan harus dilihat
dari semua sumber Hukum Islam yang sah yaitu AlQuran, Sunnah, Ra’yu (ijmak, Qiyas, Istidal, Masalih al
Mursalah, Istihsan, Istishab dan Urf).
b. Definisi Hukum Islam
Hukum Islam baik dalam pengertian syariat maupun fiqih
dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu ibadah (mahdah) dan bidang muamalah
(ghoiru mahdah). Ibadah (mahdah) adalah tata cara dan upacara yang wajib
dilakukan seorang muslim dalam berhubungan dengan Allah seperti menjalankan
sholat, membayar zakat, menjalankan ibadah haji. Tata cara dan upacara ini tetap
tidak dapat ditambah-tambah maupun dikurangi dimana ketentuannya telah diatur
dengan pasti oleh Allah dan dijelaskan oleh Rosul-Nya. Dengan demikian tidak
mungkin ada proses yang membawa perubahan dan perombakan secara asasi
mengenai hukum, susunan, cara dan tata cara ibadat. Yang mungkin berubah
adalah penggunaan alat-alat modern dalam pelaksanaannya. Adapun muamalat
(ghoiru mahdah) dalam pengertian yang luas yakni ketetapan Allah yang
langsung berhubungan dengan kehidupan sosial manusia walaupun ketetapan
tersebut terbatas pada yang pokok-pokok saja. Karena itu sifatnya terbuka untuk
dikembangkan melalui ijtihad manusia yang memenuhi syarat untuk melakukan
usaha itu (Mohammad Daud Ali, 1999 : 48-49).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa Hukum Islam adalah
Hukum yang berasal dari Allah yang mengatur setiap sendi-sendi kehidupan
manusia baik yang menyangkut hubungan manusia dengan sesama manusia
maupun hubungan manusia dengan Tuhannya. Sumber dari Hukum Islam itu
berasal dari Al-Quran, Hadis, dan Ijtihad.
c. Tujuan dan Sumber Hukum Islam
Tujuan hukum Islam secara umum adalah untuk mencegah
kerusakan pada manusia dan mendatangkan kemaslahatan bagi mereka,
mengarahkan mereka kepada kebenaran untuk mencapai kebahagiaan hidup
manusia di dunia dan akhirat, dengan jalan mengambil segala manfaat dan
mencegah atau menolak yang mudharat, yakni yang tidak berguna bagi hidup dan
kehidupan manusia. Sedangkan Abu Ishaq as Shatibi merumuskan lima tujuan
hukum Islam yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta yang
disebut “maqosid al-khomsah” (M.Farkhan M, 2006:56). Adapun sumber huku
Islam yaitu :
1) Al-Quran
Al-Quran adalah sumber hukum Islam pertama dan utama.
Ia membuat kaidah-kaidah hukum fundamental (asasi) yang perlu
dikaji dengan teliti dan dikembangkan lebih lanjut.
2) As-Sunnah (Al-Hadits)
As-Sunnah (Al-Hadits) adalah sumber hukum Islam kedua
setelah Al-Qur’an, berupa perkataan (sunnah qauliyah),
perbuatan (sunnah fi’liyah), dan sikap diam (sunnah taqririyah
atau sunnah sukutiyah) Rosulullah yang tercatat (sekarang)
dalam kitab-kitab hadits. Ia merupakan penafsiran serta
penjelasan otentik tentang Al-Quran.
3) Akal Pikiran (Ra’yu)
Sumber hukum Islam yang ketiga adalah akal pikiran
(ra’yu) manusia yang memenuhi syarat untuk berusaha, beriktiar
dengan seluruh kemampuan yang ada padanya, memahami
kaidah-kaidah hukum yang fundamental yang terdapat dalam AlQuran, kaidah-kaidah hukum yang bersifat umum yang terdapat
dalam sunnah Nabi dan merumuskannya menjadi garis-garis
hukum yang dapat diterapkan pada suatu kasus tertentu. Atau
berusaha merumuskan garis-garis atau kaidah hukum yang
pengaturannya tidak terdapat di dalam Al-Quran dan Al-Hadits.
Adapun jalan atau cara yang digunakan di antaranya yaitu
(Muhammad Daud Ali, 1999 : 100-111) :
a)
Ijmak yaitu persetujuan atau kesesuaian
pendapat para ahli mengenai suatu masalah pada suatu
tempat di suatu masa.
b)
Qiyas yaitu menyamakan hukum suatu hal
yang tidak terdapat ketentuannya di dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah atau Al-Hadits dengan hal (lain) yang
hukumnya disebut dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rosul
(yang terdapat dalam kitab-kitab hadits) karena persamaan
illat (penyebab atau alasan).
c)
Istidal yaitu menarik kesimpulan dari dua
hal yang berlainan.
d)
Masalih al mursalah yaitu cara menemukan
hukum sesuatu hal yang tidak terdapat ketentuannya baik
dalam Al-Qur’an maupun kitab-kitab hadits berdasarkan
pertimbangan kemaslahatan masyarakat atau kepentingan
umum.
e)
Istihsan yaitu cara menemukan hukum
dengan jalan menyimpang dari ketentuan yang sudah ada
demi keadilan dan kepentingan sosial.
f)
Istishab yaitu menetapkan hukum sesuatu
hal menurut keadaanyang terjadi sebelumnya, sampai ada
dalil yang mengubahnya.
g)
Adat istiadat atau Urf yang tidak
bertentangan dengan hukum Islam dapat dikukuhkan tetap
berlaku bagi masyarakat yang bersangkutan.
d. Asas-Asas Hukum Islam
Saidus Syahar menyatakan bahwa asas-asas Hukum Islam
merupakan teori Hukum Islam, yakni dalil-dalil ushulu fiqih (dasar, basis, pondasi
Hukum), dasar dan tujuan syariat. (Saidus Syahar, 1994:4). Jika kata asas
dihubungkan dengan hukum, yang dimaksud dengan asas yaitu kebenaran yang
dipergunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan pendapat, terutama, dalam
penegakkan dan pelaksanaan hukum. Asas Hukum Islam berasal dari sumber
Hukum Islam terutama Al-Quran dan Hadis yang dikembangkan oleh akal pikiran
orang yang memenuhi syarat untuk berijtihad. Asas-asas Hukum Islam banyak,
disamping asas-asas yang berlaku umum, masing-masing bidang dan lapangan
mempunyai asas-asas sendiri. Berikut merupakan sebagian asas-asas Hukum
Islam, yaitu (Mohammad Daud, 1998:115-125) :
1) Asas-asas Umum
Asas-asas umum Hukum Islam yang meliputi semua
bidang dan segala lapangan Hukum Islam adalah :
(a) Asas Keadilan, merupakan asas yang sangat penting dalam
Hukum Islam. Demikian pentingnya, sehingga ia dapat
disebutkan sebagai asas semua asas Hukum Islam. Asas ini
terdapat dalam berbagai surat dan ayat Al-Quran, surat Sad
[38] ayat 26, surat An-Nisa [4] ayat 135, surat Al-Maidah [5]
ayat 8.
(b) Asas Kepastian Hukum, menyatakan bahwa tidak ada satu
perbuatan pun yang dapat dihukum kecuali atas kekuatan
ketentuan hukum atau perundang-undangan yang ada dan
berlaku untuk perbuatan itu. Asas ini terdapat dalam berbagai
surat dan ayat Al-Quran surat Al-Isra’ [17] ayat 15, surat AlMaidah [5] ayat 95.
(c) Asas Kemanfaatan, yaitu asas yang mengiringi asas keadilan
dan kepastian hukum tersebut di atas. Asas ini ditarik dari AlQuran surat Al-Baqarah [2] ayat 178.
2) Asas Hukum Pidana
Di lapangan Hukum Pidana juga terdapat asas-asas
Hukum Islam. Di antaranya adalah:
(a) Asas Legalitas, yaitu asas yang menyatakan bahwa tidak ada
pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undangundang yang mengaturnya. Asas ini terdapat dalam berbagai
surat dan ayat Al-Quran, surat Al-Isra’ [17] ayat 5, surat AlAn’am [6] ayat 19).
(a) Asas larangan memindahkan kesalahan pada orang lain,
maksudnya yaitu bahwa orang tidak dapat diminta memikul
tanggung jawab mengenai kejahatan atau kesalahan yang
dilakukan oleh orang lain. Karena pertanggung jawaban
pidana itu individual sifatnya, kesalahan orang lain tidak
dapat dipindahkan kepada orang lain.Asas ini terdapat dalam
berbagai surat dan ayat Al-Quran, surat Al-An’am [6] ayat
16, surat Faathir [35] ayat 18, surat Az-Zumar [39] ayat 7,
surat An Najm [53] ayat 38, surat Al-Muddatsir [74] ayat 38).
(b)
Asas praduga tak bersalah, maksudnya bahwa seseorang yang
dituduh melakukan suatu kejahatan harus dianggap tidak
bersalah
sebelum
hakim
dengan
bukti-bukti
yang
meyakinkan menyatakan dengan tegas kesalahan orang itu.
2) Asas-asas Hukum Perdata
Di lapangan Hukum Perdata terdapat asas-asas Hukum Islam
yang menjadi tumpuan atau landasan untuk melindungi
kepentingan pribadi seseorang. Di antaranya adalah:
(a) Asas kebolehan atau mubah, asas ini menunjukkan kebolehan
melakukan semua hubungan perdata (sebagian dari hubungan
muamalah) sepanjang hubungan itu tidak dilarang oleh AlQuran dan As-Sunah. Asas ini terdapat dalam surat AlBaqarah [2] ayat 185,286.
(b)
Asas Kemasalahatan hidup, yaitu asas yang mengandung
makna bahwa hubungan perdata apa pun juga dapat
dilakukan asal hubungan itu dapat mendatangkan kebaikan,
berguna serta berfaedah bagi kehidupan manusia pribadi dan
masyarakat, kendatipun tidak terdapat dalam Al-Quran dan
As-Sunah.
(c)
Asas Kebebasan dan Kesukarelaan, maksudnya bahwa setiap
hubungan perdata harus dilakukan secara bebas dan sukarela.
Asas ini bersumber dari Al-Quran surat An-Nisa [4] ayat 29.
(d)
Asas Menolak Mudharat dan Mengambil Manfaat.
(e)
Asas
Kebajikan
(kebaikan),maksudnya
bahwa
setiap
hubungan perdata seyogyanya mendatangkan kebajikan bagi
kedua belah pihak dan pihak ketiga dalam masyarakat. Asas
ini bersumber dari Al-Quran surat A-Maidah [5] ayat 90.
(f)
Asas Kekeluargaan atau Asas Kebersamaan yang Sederajat,
yaitu asas hubungan perdata yang disandarkan pada hormat
menghormati, kasih mengasihi serta tolong-menolong dalam
mencapai tujuan bersama. Asas ini bersumber dari Al-Quran
surat Al-Maidah [5] ayat 2.
(g)
Asas Adil dan Berimbang.
(h)
Asas Mendahulukan Kewajiban dari Hak.
(i)
Asas Larangan Merugikan Diri Sendiri dan Orang Lain.
(j)
Asas Kemampuan Berbuat atau Bertindak.
(k)
Asas Kebebasan Berusaha.
(l)
Asas Mendapatkan Hak Karena Usaha dan Jasa.
(m) Asas Perlindungan Hak.
(n)
Asas Hak Milik Berfungsi Sosial.
(o)
Asas yang Beritikad Baik harus dilindungi.
(p)
Asas Risiko Dibebankan pada Harta, tidak pada pekerja.
(q)
Asas Mengatur dan Memberi Petunjuk.
(r)
Asas Tertulis atau Diucapkan di depan saksi.
Selain itu, asas dari Hukum Islam yaitu manusia berhak
melakukan sesuatu bagi memenuhi kegemaran dan hajat dirinya,
dan berusaha untuk mencapai kemanfaatan bagi peribadinya
mengikut cara yang dikehendakinya. Tetapi, serentak dengan itu ia
mempunyai kewajiban, bahwa ia tidak boleh menikmati hak ini
melainkan tanpa menyinggung hak orang lain kerana kebodohan
atau nafsu jahatnya. Bahkan sewajarnya ia menolong mereka,
bantu membantu dengan mereka, mengikut kadar kesanggupannya
(http://noradila.tripod.com/skimat arbiyyahipij/id136.html).
4. Kajian Perang Dalam Hukum Islam
a.
Pengertian Perang dalam Hukum Islam
Abdul Baqi Ramdhun mendifinisikan Perang atau yang
lebih dikenal dengan jihad menjadi dalam dua pengertian, yaitu Jihad menurut
bahasanya bersal dari kata Jaahada – Yujaahidu – Mujaahadatun – wa Jihaadan
dengan makna mengarahkan dan mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan
dalam wujud perkataan atau perbuatan dalam perang. Dan juga dari kata Al-jahdu
dan Al-juhdu : Kekuatan dan kemampuan. Dan dari asal kata ‘Jahada – yajhadu –
Juhdan” serta “Ijtahada”, keduanya bermakna Jadda (bersungguh-sungguh)
(Abdul Baqi Ramdhun, 2005:15).
Menurut istilahnya, apabila kata jihad fi sabilillah
disebutkan secara mutlak, maka ia bermakna “Memerangi orang-orang kafir
untuk meninggikan kalimat Allah, mengadakan persiapan untukNya dan bekerja
pada jalanNya.”
Majid Khadduri menyatakan bahwa jihad dalam arti luas,
tidak selalu berkmana perang atau mengorbankan pertempuran, sebab melangkah
di jalan Allah bisa dicapai dengan cara damai ataupun tindak kekerasan. Jihad
dianggap sebagai suatu bentuk propaganda religius yang dilakukan melakukan
persuasif ataupun pedang. Pada awal turunnya wahyu di Mekkah, penekanan
subtansi wahyu tersebut banyak menyinggung tindakan yang bersifat persuasif
(Majid Khadduri, 2002:46-47).
Muhammad, yang mengemban segenap fungsi
kenabiannya, yaitu memperingatkan orang-orang yang menyembah berhala
sekaligus mengajak mereka untuk menyembah Allah. Ini ditunjukan oleh ayat AlQur’an berikut ini “ Dia berusaha sekuat tenaga (jahada), berusaha dengan
segenap hatinya ” (dalam Al-Quran surat Al-Ankabut [29] ayat 6). Ayat ini
mencerminkan jihad ditempatkan sebagai upaya penyelamatan kalbu dari pada
berusaha meng-Islamkan orang lain (Syafi’i, kitab al-Umm dalam Majid
Khadduri, 2002:47).
Penulis berpendapat bahwa yang dimaksud dengan jihad
yaitu menegakkan kalimat Allah dimuka bumi ini dimana dalam hal tataran
pelaksanaannya, jihad tidak hanya dilakukan dengan perang karena banyak cara
yang dapat dilakukan oleh umat Muslim untuk meninggikan kalimat Allah SWT.
Dan cara-cara itu dipergunakan sesuai dengan tempat dan kondisinya yang tepat
dimana jihad itu dibutuhkan.
b. Tujuan Jihad.
Sebenarnya tujuan jihad bukanlah mengalirkan darah,
merampas harta dan merusak negeri, tetapi tujuan utamanya adalah demi
melindungi orang-orang lemah yang tertindas di muka bumi ini serta
melenyapkan kezhaliman dan mengamankan jalannya da’wah Islamiyah. Allah
SWT berfirman :
“Dan sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian
manusia terhadap sebagian yang lain, tentu dirobohkanlah biara-biara nasrani,
gereja-gereja, rumah-rumah ibadat yahudi dan masjid-masjid yang di dalamnya
banyak disebut asma Allah SWT; sesungguhnya Allah pasti akan menolong
agama-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.”
(Al-Quran surat Al-Hajj [22] ayat 40)
Imam Muslim meriwayatkan dalam shahihnya, bahwa
Rasulullah saw. apabila mengangkat seseorang panglima perang, maka beliau
berpesan (yang isinya): agar bertaqwa kepada Allah SWT. (khususnya pesan itu
ditujukan kepada dirinya sendiri dan kaum Muslimin bersamanya) kemudian
Beliau bersabda :
“Berperanglah di jalan Allah SWT dengan nama Allah
(ikhlas). Perangilah orang yang kufur kepada Allah (yang melakukan tindakan
kejahatan kepada kaum Muslimin)! Perangilah (mereka), janganlah kamu
berkhianat, janganlah kamu menipu, janganlah kamu mencincang (korban) dan
janganlah kamu membunuh anak-anak!”
Begitu pula apa yang dilakukan oleh Khulafa Rasyidin; wasiat
Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. kepada Usamah bin Zaid tatkala ia diutus (menyerbu)
ke syam (Syria). (Muhammad Ali Ash-Shabuni, 2003:93):
“Janganlah kamu berkhianat, jangan menipu, jangan
mencincang dan jangan membunuh anak kecil, jangan membunuh orang tua dan
jangan membunuh perempuan, dan janganlah menebang pohon-pohon kurma dan
jangan pula membakarnya, janganlah kamu menebang pohon yang berbuah dan
janganlah menyembelih kambing, lembu atau onta kecuali untuk dimakan! Nanti
kamu akan melewati kaum-kaum yang akan mengabdikan diri di gereja-gereja
yaitu para pendeta maka biarkanlah mereka beserta pengabdian mereka itu”
c.
Kewajiban Jihad
Jihad merupakan salah satu ibadah yang memiliki
keutamaan disisi Allah SWT. bagi setiap hambanya yang melakukannya dengan
niatan hanya untuk mengharap ridha Allah ta’ala. Namun, dalam pelaksanaannya
tidak setiap muslim mempunyai kewajiban untuk melaksanakan jihad. Setiap
Muslim wajib mngetahui hal-hal apa saja yang diwajibkan untuk dirinya. Ada
beberapa pendapat dari ahli hukum Islam yang menerangkan akan kewajiban
jihad, para ahli hukum Islam tersebut adalah sebagai berikut :
1) Majid Khadduri
Beliau menyatakan bahwa pembebanan kewajiban Jihad
sebagai kewajiban umat pada masing-masing individu sangat
tepat dan ini setidaknya menyangkut dua hal penting yaitu (Majid
Khadduri,2002:50) :
a) Pertama, kewajiban ini berarti dilakukan oleh seluruh umat
tanpa kecuali. Ajakan kepada seluruh umat untuk menjadi
prajurit, bukan sekedar anjuran semata (dalam Al-Quran surat
At-Taubah [9] ayat 123). Sebagian umat diperlukan untuk
menyiapkan makanan dan persenjataan, antara lain orang
yang cacat, buta dan sakit, atau tidak memenuhi syarat untuk
menjadi prajurit (dalam Al-Quran surat An-Nuur [24] ayat
61). Kaum wanita maupun anak-anak merupakan suatu
pengecualian, meskipun banyak kaum wanita yang secara
tidak langsung membantu perang (dalam Al-Quran Ali-Imran
[3] ayat 163).
b) Kedua, pembebanan kewajiban kepada umat daripada kepada
individu menjadikan jihad sebagai kewajiban umat dan
sebagai konsekuensinya, jihad merupakan instrumen negara,
dan sebagai kontrolnya, adalah negara, bukan tanggung
jawab individu. Sehingga, kepala negara dapat lebih efektif
melayani
kelompok-kelompok
kepentingan
masyarakat
dibanding jika persoalan tersebut dibebankan kepada
individu.
2) Abdul Baqi Ramdun
Beliau menyatakan bahwa kewajiban melaksanakan jihad
bagi kaum muslimin turun dalam beberapa fase, fase-fase tersebut
yaitu (Abdul baqi Ramdhun, 2005 : 21-40) :
a) Jihad Dakwah Tanpa Pedang
Jihad pada awal mulanya yaitu mendakwahi manusia
untuk menerima Dienul Islam, mendekatkan Islam ke dalam
akal dan pemikiran mereka, membuat hati dan dada cinta
kepadanya, serta mengokohkannya ke dalam jiwa dan
sanubari. Untuk mewujudkan hal tersebut adalah melalui
jalan hujjah dan penjelasan, tutur kata yang bijak dan nasehat
yang baik, serta bantahan cara yang baik.
Mengangkat pedang memiliki bahaya yang lebih
besar daripada manfaatnya, sebab tindakan itu boleh jadi bisa
mengakibatkan binasanya kaum Muslimin dan kemusnahan
mereka semua, atau boleh jadi bisa mengakibatkan
terbunuhnya Rasul dan menggagalkan risalah secara total dan
seterusnya. karena pada saat itu, orang-orang yang beriman
dengan dakwah Islam masih relatif singkat masa
keimanannya, mereka adalah kelompok kecil yang terkurung
dalam kota Mekkah, sementara mayoritas di antara mereka
adalah kaum kafir dan miskin.
Inilah sebagian ayat-ayat dan hadits-hadits serta
peristiwa-peristiwa yang menerangkan bentuk jihad yang
berlangsung dengan jalan damai.
Allah SWT berfirman
“ Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah
dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara
yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan
Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk” (Al-Quran surat An-nahl [16] ayat 125).
Allah SWT berfirman
“Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan
jauhilah mereka dengan cara yang baik. Dan biarkanlah Aku
(saja) bertindak terhadap orang-orang yang mendustakan itu,
orang-orang yang mempunyai kemewahan dan beri
tangguhlah mereka barang sebentar” (Al-Quran surat AlMuzzammil [73] ayat 10-11).
Allah SWT
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan
yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang
bodoh” (Al-Quran surat Al-A’raf [7] ayat 199).
Sering dengan datangnya segala macam bentuknya
penindasan, penyiksaan, penimpaan bencana dan cobaan
yang menimpa orang-orang yang memeluk agama Islam,
wahyu turun memerintahkan agar mereka mencegah diri dari
perang, bersabar terhadap cobaan, teguh dalam memegang
iman, mengekang diri dan menabahkan hati, tidak
menghunus pedang, tidak melakukan perang dan tidak
melakukan pertempuran dengan senjata.
(1) Jihad dalam fase ini adalah jihad melawan hawa nafsu :
dengan jalan meluruskannya, mensucikannya dan
membersihkannya serta memperbaiki hingga ia menjadi
kuat dan tetap dalam keadaan beriman, tenang, ridha dan
diridhai, kuat imannya dan mantap keyakinannya.
(2) Jihad dalam fase ini adalah jihad dakwah dengan jalan
mempelajari dan mengajarkannya, menerapkan dan
menjelaskannya, menyebarkan dan menyiarkan kepada
manusia.
(3) Jihad dalam fase ini adalah jihad kesabaran dalam
menghadapi bencana, kesempitan, kesusahan dan
cobaan. serta berpaling dari mereka dengan cara yang
baik, memberikan maaf, tidak membalas dendam, dan
tidak menghunus pedang dan menyatakan api perang.
(4) Adalah Al-Quranul karim berjihad dengan Mu’jizatnya,
kekuatan penjelasan dan dalilnya, sedangkan Rasulullah
SAW berjihad dengan budi pekerti, kebijakan dan cara
perencanaan dan pengaturan yang baik. Para sahabat
berjihad dengan kebenaran, kesabaran dan keteguhan
hati mereka. Semuanya itu merupakan tiang-tiang
penopang jihad, fondasi, alat dan perlengkapannya pada
masa itu.
b) Kewajiban Jihad Difa’iy
Perang difa’iy (mempertahankan diri) yaitu perang
dimana kaum Muslimin bukan yang memulai perang terlebih
dahulu, peperangan ini semata-mata hanya untuk
mempertahankan diri, menolak serangan dan mematahkan
serbuan saja. Jihad difa’iy disyariatkan agar supaya kaum
Muslimin tidak dibantai sampai keakar-akarnya, dan tidak
dituntas secara total lantaran sedikit dan lemahnya keadaan
mereka dan agar supaya orang-orang kafir tidak tambah
sewenang-wenang terhadap kaum Muslimin.
Rasulullah SAW bersabda :
“Aku dipernitah untuk memerangi manusia sampai mereka
bersaksi bahwa tiada illah (yang berhak untuk disembah)
kecuali Allah dan sesungguhnya aku adalah Rasulullah.Jika
mereka telah mengucapkannya, maka terlindunglah harta dan
harta mereka dariku kecuali dengan haknya, dan perhitungan
mereka terserah kepada Allah” (HR. Al-Bukhari Muslim,
Abu Daud, Tirmidzi, An-nasa’i dan Ibnu Majah—shahih
mutawatir--).
Maka jadi tetaplah perintah yang mewajibkan jihad
terhadap orang-orang musyrik, dan ia merupakan kewajiban
yang terus berlaku sampai hari kiamat. Nabi bersabda
“Jihad itu terus berlangsung sejak Allah SWT mengutusku
sampai kelompok yang terakhir umatku memerangi Dajjal”
(HR.Ahmad, Abu Ya’la dan Ath-Thabrani).
c) Kewajiban Jihad Hujumy
Perang Hujumy yaitu perang dimana pasukan muslim
sudah diperbolehkan untuk memerangi orang-orang kafir dan
melakukan peperangan terhadap mereka. Sama saja apakah
mereka yang memulai perang atau tidak. Yang demikian itu
ketika orang-orang kafir terus-menerus dalam tindak
kezhaliman dan kesewenang-wenangannya, telah memuncak
kebengisan dan kekejamannya, dan tidak bergeming dari
kekafiran dan kesombongannya, serta telah jauh melampaui
batas perbuatan mereka. Ayat tersebut berisi izin dari Allah
SWT untuk berperang bukan kewajiban dari-Nya. Allah
SWT berfirman :
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang
diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan
sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong
mereka itu. (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari
kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali
karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". Dan
sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia
dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biarabiara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang
Yahudi dan mesjid-mesjid, yang di dalamnya banyak disebut
nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang
menolong (agama) -Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar
Maha Kuat lagi Maha Perkasa “ (Al-Quran surat Al-Hajj [22]
ayat 39-40).
d) Kewajiban Jihad Secara Mutlak
Jihad secara mutlak yaitu perang yang diperbolehkan
bagi kaum Muslimin, untuk memerangi orang-orang kafir,
baik mempertahankan diri ataupun menyerang dengan tujuan
meninggikan kalimat Allah SWT, menyebarkan dakwah-Nya
dan memberlakukan syariat-Nya di seluruh muka bumi dan
kepada seluruh manusia. sebagaimana perintah tersebut jelas
terlihat dalam ayat-ayat Al-Qur’an berikut ini :
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu
adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci
sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula)
kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu;
Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui “ (AlQuran surat Al-Baqarah [2] ayat 216).
Ayat-ayat Al-Qur’an yang menerangkan hal tersebut
sangatlah banyak.Adapun hadits-haditsnya antara lain:
Rasulullah SAW bersabda
“Dien ini akan senantiasa tegak, akan berperang karenanya
segolongan kaum Muslimin hingga datangnya hari kiamat.”
(HR.Muslim dan Abu Daud—shahih--).
3) Dr. Ali Abdul Halim Mahmud
Beliau berpendapat bahwa jihad fi Sabilillah untuk
meninggikan kalimat Allah itu terkadang berhukum fardu’ain dan
terkadang berhukum fardu khifayah. Pembagian hukum ini
merupakan hal yang terpenting dalam masalah jihad fi sabilillah.
Dengan demikian hukum jihad fi sabilillah terbagi menjadi dua,
yaitu (Ali Abdul Halim Mahmud, 2001 : 109-110) :
a) Fardu ‘ain
Jihad bersifat Fardu ‘ain yaitu buat setiap orang dari
kaum Muslimin yang mempunyai kemampuan untuk
melaksanakannya. Kewajiban ini sebatas kemampuan
masing-masing, dan bila ada seruan umum (untuk berjihad).
Dalilnya adalah firman Allah swt.,
“ Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan
ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan
dirimu di jalan Allah” (Al-Quran surat At-Taubah [9] ayat
41).
Jihad ini tidak disyariatkan mendapat izin dari kedua
orang tua, tuan (juragan), dan suami. Sebab jihad merupakan
fardhu ‘ain bagi setiap orang yang mempunyai kemampuan
untuk menuaikannya.
b) Fardhu kifayah
Jihad bersifat Fardhu kifayah yakni apabila sebagian
kaum Muslimin telah menunaikannya, maka gugurlah
kewajiban itu bagi yang lain, bila maksud dari kewajiban itu
telah terpenuhi, yaitu tumbangnya kekuatan musyrikin,
kokohnya (jayanya) agama Islam, terusirnya musuh, perang
terhadap musuh di kampung halamannya, dan terjaganya
perbatasan kaum muslimin. Sebab, bila seluruh kaum
Muslimin terlibat dalam jihad fi sabilillah maka tidak akan
dapat konsentrasi menunaikan kebutuhan duniawinya.
Karena itulah maka jihad berhukum fardhu. Bagian jihad ini
disyariatkan mendapatkan izin dari kedua orang tua,juragan
khifayah dan suami.
d. Jenis-jenis Jihad
Jihad yaitu menegakkan kalimat Allah SWT di muka bumi ini sampai
nilai-nilai Islam kembali mengakar dalam kehidupan setiap manusia di muka
bumi ini. Mengacu pada definisi di atas, jihad tidak hanya dimaknai sebagai
perjuangan umat Muslim dengan mengangkat pedang saja, namun jihad memiliki
makna yang luas dalam mewujudkan tujuan utama dari jihad itu sendiri. Terdapat
berbagai macam jenis jihad yang dapat dilakukan, ada beberapa pendapat dari
para ahli hukum Islam mengenai jenis-jenis jihad tersebut. Pendapat-pendapat itu
adalah sebagai berikut.
1) Majid Khadduri.
Beliau menyatakan bahwa jenis-jenis jihad yang dapat dilakukan
umat Muslim yaitu (Majid Khadduri, 2002 : 61) :
a) Jihad Melawan Kaum Musyrikin
Musyrikin yaitu orang yang melakukan syirik, sedangkan
syirik yaitu suatu perbuatan yang menyekutukan Allah SWT
dengan menyembah dan memohon selain kepada Allah SWT.
dalam beberapa perintah Al-Qur’an, “ Umat Islam berkewajiban memerangi kaum musyrikin dimanapun mereka berada”
(Al-Quran surat At-Taubah [9] ayat 5). “ Perangilah orangorang yang mendekatkanmu kepada kemusyrikan, dan biarkan
mereka mengikutimu” (Al-Quran surat At-Taubah [9] ayat
125), dan “Ketika engkau bertemu dengan orang-orang kafir,
penggal kepala mereka sampai engkau melenyapkan
mereka”(Al-Quran surat Muhammad [47] ayat 59).
b) Jihad Melawan Kemurtadan
Murtad adalah orang yang keluar dari agama Islam,
sesorang keluar dari agama Islam dilator belakangi berbagai
factor yang memaksa mereka keluar dari agama Islam. apabila
kemurtadan semakin merajalela dan menantang penguasa,
Imam bertanggung jawab untuk menyerukan jihad melawan
mereka. Para ahli hukum menyarankan negosiasi sebelum
berlangsung perang, sebab strategi ini mungkin saja berhasil
membujuk mereka kembali kepada ajaran Islam. Baik
kedamian, membayar upeti atau jizya bisa diterima mengingat
hukum tidak mentolerir orang yang keluar dari Islam. Orangorang murtad harus memilih untuk kembali kepada Islam atau
menerima tantangan Jihad. Pada kasus orang kafir, mereka
seharusnya diberitahu (tentunya dalam negosiasi) bahwa
perang tidak dapat dihindari. Aturan ini merupakan bagian dari
deklarasi Jihad.
c) Jihad Melawan Baghi
Baghi merupakan usaha penolakan. Jika kaum yang
menolak tersebut tidak mengakui kekuasaan Imam, mereka
tidak bisa diperangi dan diizinkan tinggal dalam dar al-Islam
(wilayah dimana hukum Allah dipergunakan). Imam
membujuk mereka untuk meninggalkan sikap menentang
mereka dan menyesuaikan diri dan tetap menganut paham
orthodoks, mereka menolak dan tidak mau tunduk kepada
hukum, maka mereka patut diperangi.
d) Jihad Melawan Pembangkang dan Perampok (Muharibin
Mufsidin)
Perampok adalah orang yang melakukan berbagai
tindakan kekerasan yang bertujuan untuk merampas hak
seseorang untuk memperoleh keuntungan pribadinya.
Perbuatan yang dilakukan kaum pembangkang dan perampok
disebut pencurian besar.
Hukum menaruh perhatian atas ancaman yang mereka
sebar ini sebenarnya terdapat pula dalam Al-Quran surat AlMaa’idah [5] ayat 33.
“ Taatilah Allah, Rasul dan kewenangan diantara kamu, jika
kaum muslimin berbeda pendapat dengan imam, bawalah
dihadapan Allah dan Rasul, jika kamu mempercayai Allah dan
hari akhir ”
Para pakar hukum sependapat, berdasar ayat Al-Quran
di atas dimana kaum pembangkang dan pemberontak
seharusnya dihukum oleh Imam, namun mereka tidak
sependapat pada tingkatan hukuman yang ditetapkan yang
kemudian timbul perbedaan pendapat antar berbagai
golongan. Perlawanan kelompok-kelompok seperti ini
mendorong imam harus memilih memerangi mereka dengan
cara seperti yang mereka perbuat seperti bughat
(tunggal:baghi) atau lebih bersikap lunak kepada mereka,
bergantung pada tingkat keseriusan perbuatan mereka.
Imam Ahmad ra dalam kitabnya yang berjudul Al
‘Uddah Syahrul-‘Umdah membagi perampok berdasarkan
sanksinya yaitu :
(1) Siapa yang membunuh di antara mereka dan merampas
harta mereka maka hukumannya adalah dibunuh dan
disalib hingga tersiar luas (beritanya), dan jenazahnya
diserahkan kepada keluarganya.
(2) Siapa yang membunuh di antara mereka namun tidak
mengambil hartanya, maka hukumannya adalah dibunuh
tapi tidak disalib.
(3) Siapa yang mengambil harta tapi tidak membunuh, maka
hukumannya adalah dipotong tangannya yang kanan dan
kakinya yang kiri pada satu keadaan waktu, dan tidak
dipotong tangan maupun kakinya melainkan siapa yang
mengambil harta dengan kadar yang mana seorang pencuri
dipotong tangan dia karenannya.
(4) Siapa yang menakut-nakuti orang yang melewati orang
jalan tidak membunuh dan tidak mengambil harta, maka ia
diusir dari dari negeri.
(5) Siapa yang bertaubat sebelum tertangkap, maka gugurlah
hukum-hukum had Allah SWT yang berlaku atasnya,
tetapi ia tetap diminta untuk mempertanggungjawabkan
dalam perkara yang berkaitan dengan hak-hak adami,
kecuali orang tersebut memaafkannya dari tuntutan
tersebut
e) Jihad Melawan Golongan Ahli Kitab
Golongan Ahli kitab yaitu (ahl al-Kitab) termasuk di
dalamnya umat Yahudi, Kristen, serta Sabian mempercayai
Allah, namun menurut kepercayaan Muslim, mereka
menyimpang dari kitab suci mereka dan menjauh dari rahmat
Allah. Mereka juga menyembunyikan kebenaran kitab yang
diturunkan kepada nabi mereka, kitab taurat dan kitab injil.
Jadi ahli kitab maksudnya yaitu orang yang bukan ahli dalam
kitab.
Ketika Allah mengutus rosul terakhir-Nya untuk
menyerukan mereka agar kembali ke jalan yang lurus, mereka
beriman kepada Allah, namun tidak mempercayai rasul-Nya
maupun Al-Quran. Oleh karena itu, golongan ahli kitab, seperti
halnya musyrikin yang harus dihukum, tetapi mengingat
mereka beriman kepada Allah, mereka pun hanya dikenakan
hukuman walaupun tidak sepenuhnya. Jihad memang
dikobarkan namun tidak seperti saat memerangi golongan
musyirikin.
Jika mereka masuk Islam, mereka berhak mendapat
perlindungan hukum kewarganegaraan sepenuhnya seperti
umat lainnya; jika mereka lebih suka memperingatkan.
f) Ribat
Ribat yaitu orang-orang yang menjaga perbatasan dar
al-Islam dengan meletakkan kekuatan baik di pelabuhan
maupun kota-kota di garis perbatasan (thughur) untuk tujuan
defensif.
2) Abdul Baqi Ramdhun
Beliau menyatakan bahwa jenis-jenis jihad menambahkan satu
golongan lagi yang perlu diperangi, yaitu (Abdul Baqi Ramdhan,
2005, 70-81):
a) Jihad Terhadap Golongan Munafik
Orang munafik yaitu orang-orang yang
menyembunyikan kekafiran yang ada di dalam dirinya di
depan kaum Muslimin atau dapat dikatakan bahwa orangorang tersebut melahirkan ke-Islaman dan kedekatannya
(dengan Islam) tetapi menyembunyikan kekafiran dan
permusuhannya (terhadap Islam).
Mereka adalah golongan yang paling berbahaya
terhadap Islam dan kaum Muslimin dari orang-orang kafir
lainnya. Itu ketidak nampakkan dan ketersembunyian perihal
mereka, dan keberadaan mereka di kalangan dan di tengahtengah umat Islam.
Allah SWT juga memerintahkan Nabi-Nya untuk
menerangkan kepada mereka pengajaran-pengajaran Islam,
yang diharapkan dengan pengajaran-pengajaran Islam tersebut
dapat memperbaiki jiwa mereka, dan semoga hati mereka bisa
tegak di atas kebenaran, kembali kepada kesadarannya dan
berhenti dari kesalahan dan kesesatannya. Perintah ini berlaku
umum, seluruh kaum Muslimin terkena di dalamnya.
Allah memerintahkan Nabi-Nya secara khusus di luar
umatnya supaya ia berpaling dan berlaku keras terhadap
mereka (golongan munafik), dan supaya tidak menshalati
jenazah salah seorang pun diantara mereka yang mati, dan agar
tidak berdiri di atas kubur Muslim, dan tidak memeritahkan
ampunan untuk mereka, dan tidak membawa keluar
bersamanya diantara mereka untuk berperang setelah perang
Tabuk, itu karena Allah SWT mengetahui hakekat dan pribadi
mereka. Allah SWT berfirman
“Maka jika Allah mengembalikanmu kepada satu golongan
dari mereka, kemudian mereka minta izin kepadamu untuk ke
luar (pergi berperang), maka katakanlah: "Kamu tidak boleh ke
luar bersamaku selama-lamanya dan tidak boleh memerangi
musuh bersamaku. Sesungguhnya kamu telah rela tidak pergi
berperang kali yang pertama. Karena itu duduklah (tinggallah)
bersama orang-orang yang tidak ikut berperang." Dan
janganlah kamu sekali-kali men-shalat-kan (jenazah) seorang
yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri
(mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir
kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan
fasik” (Al-Quran surat At-Taubah [9]ayat 83-84).
b) Jihad Terhadap Orang-orang Zhalim
Makna zhalim dilihat dari bahasa, berasal dari kata
zhalama-yazhlimu-zhulman-wa muzhlimatan yang berarti :
berlaku aniaya, melewati batas dan meletakkan sesuatu tidak
pada tempatnya. Adapun menurut syar’inya, maka ia adalah
menyimpang dari kebenaran yang syar’i kepada yang lain, baik
dengan ucapan atau dengan perbuatan atau dengan hukum.
Kezhaliman yang berkaitan dengan hukum dan para penguasa
dapat dikategorikan menjadi dua macam :
(1) Zhalim yang Mengkafirkan
Yakni zhalim yang mengkafirkan dan mengeluarkan
seseorang dari millah Islam, dan pelakunya telah murtad
dan zhalim kafir yang dimaksud adalah mengesampingkan
Hukum Islam dan memakai hukum lain yang berlawanan
dengannya disertai keyakinan dari si pemberlaku hukum
tersebut akan kebenaran hukumnya yang bertentangan dari
Hukum Allah swr, dan dia mengetahui perkara itu,
menolaknya dan tidak menerimanya.
(2) Zhalim Fasik
Adalah kezhaliman yang tidak mengeluarkan
seseorang dari millah Islam, sedangkan pelakunya
dianggap sebagai orang fasik dan pendosa.
Firman Allah swr
“...Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa
yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orangorang yang zhalim.” (Al-Quran surat Al-Maidah [5] ayat
45)
3) Menurut para fuqaha (ahli fiqih) jihad terbagi menjadi empat
macam, yaiu (Ali Abdul Halim Mahmud, 2001:47-62) :
a) Jihad Terhadap Jiwa
Para fuqaha mengatakan bahwa jihad terhadap jiwa itu dapat
dilakukan dalam empat medan, yaitu :
(1) Jihad terhadap jiwa dengan memaksakannya untuk
mempelajari agama dan mengenal Al-Haq. Sebab tiada
keberhasilan dan tiada keberuntungan di dunia ini
maupun di akhirat nanti, melainkan dengan pengetahuan
dan pengertian tersebut.
(2) Jihad terhadap jiwa dengan memaksanya untuk
mengamalkan apa yang telah diketahui dan dipahami.
Amal shalih yang disyariatkan dan diperintahkan oleh
Allah swr.
(3) Jihad terhadap jiwa dengan memaksanya untuk
mengajarkan ilmu dan amal yang telah diketahui dan
dipelajari kepada orang lain .
(4) Jihad terhadap jiwa untuk bersabar menghadapi
kesulitan dalam mengajarkan ilmu, berdakwah, dan
melakukan amar ma’ruf dan nahi mun’kar.
b) Jihad Terhadap Setan
Para ulama generasi pertama mengatakan bahwa jihad kepada
setan itu dapat dilakukan dalam dua bidang yaitu, yaitu :
(1) Jihad terhadap setan dengan menolak keragu-raguan dan
syubhat yang dihembuskan dalam jiwa manusia. Atau
dengan kata lain, mengusir bisikan setan yang
mengguncangkan keimanan. Sebab bisikan itu dapat
membuat manusia ragu-ragu tentang eksistensi Allah
swr. dan terkadang membuat manusia ragu akan keadilan
dan kekuasaan Allah swr atau membuatnya ragu akan
hari kebangkitan, penghabisan, pembalasan, dan
penyiksaan terhadap mereka.
(2) Jihad terhadap setan dengan meninggalkan segala hal
yang menghiasi penyimpangan dari manhaj Allah swr
serta pelanggaran terhadap perintah dan larangan-Nya.
Juga meninggalkan hal-hal yang menjadikan manusia
gemar memperturutkan syahwat.
c) Jihad Terhadap Pelaku Kezhaliman dan kemunkaran
Jihad terhadap pelaku kezhaliman dan bid’ah terdiri dari tiga
tingkatan yaitu :
(1) Jihad kepada mereka dengan menggunakan tangan dan
kekuatan
Jihad ini dilakukan bila ada kemampuan untuk itu
dan tidak menyebabkan terjadinya kerusakan yang lebih
besar, seperti mencegah orang dari memukul seseorang
dan lain-lain.
(2) Jihad kepada mereka dengan lisan dan pena
Terkadang karena kuatnya pelaku kezhaliman dan
kemunkaran atau karena kondisi tidak memungkinkan,
maka seorang mujahid tidak dapat melakukan jihad
dengan tangannya. Dalam kondisi seperti itu, jihad
dengan lisan dan pena adalah yang paling mugkin dapat
dilakukan. Saat itu jihad dengan lisan dan tulisan
menjadi kewajiban bagi orang yang mampu
melakukannya.
(3) Jihad kepada mereka dengan menggunakan hati
Makna jihad ini adalah mengingkari kemunkaran
yang dilakukan oleh manusia dengan hati dan tidak ridha
terhadapnya. Jihad ini merupakan selemah-lemahnya
keimanan.
d) Jihad Terhadap Musuh-musuh Allah
Musuh-musuh Allah swr. itu bermacam-macam, antara lain :
(1) Kaum musyrikin, yaitu orang-orang yang menyekutukan
Allah swr. dengan tuhan-tuhan lain dan menyembah
tuhan-tuhan selain Allah swr. tersebut.
(2) Kaum kafirin, yaitu orang-orang kufur (ingkar) kepada
Allah swr, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
rasul-rasul-Nya, dan rukun iman lainnya. Kekufuran
terbesar adalah mengingkari / kufur terhadap ke-Esa-an
Allha swr, syari’at Allah swr, dan kufur pada kenabian.
(3) Kaum Munafiqin, yaitu kaum yang menampakkan
kecintaan kepada kaum Muslimin dan menyembunyikan
kebencian serta permusuhan kepada mereka. Kaum
munafiqin ini merupakan kelompok yang lebih
berbahaya dibandingkan kaum musyrikin dan kaum
kafirin.
4) Para ulama salaf berpendapat, bahwa jihad terhadap mereka terdiri
dari empat tingkatan, yaitu :
a) Jihad terhadap mereka dengan hati.
b) Jihad terhadap mereka dengan lisan.
c) Jihad terhadap mereka degan harta.
d) Jihad terhadap mereka dengan jiwa.
B. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran merupakan bagan yang menggambarkan alur
berpikir dari peneliti yang dibuat secara ringkas dan langsung pada pokokpokok inti dari penelitian tersebut, sehingga memudahkan peneliti dalam
menyusun penelitiannya dan memudahkan pembaca dalam memahami alur
penelitian peneliti.
Pokok pembahasan utama dari penelitian ini yaitu mengenai perlakuan
tawanan perang. Dalam mempermudah penelitian ini, perlakuan tawanan
perang tersebut dikerucutkan menjadi tiga pembahasan yang terdiri atas
perlindungan umum, penawanan, dan berakhirnya penawanan.
Pengaturan ketiga sub pokok pembahasan tersebut dikaji dalam konsep
Hukum Humaniter Internasional dan konsep Hukum Islam. Setelah ketiga sub
pokok pembahasan tersebut dikaji, kemudian peneliti membandingkan
perlakuan tawanan perang (perlindungan umum, penawanan, dan berakhirnya
penawanan) yang diatur di dalam Hukum Humaniter Internasional dan
Hukum Islam. Perbandingan tersebut menghasilkan persamaan dan perbedaan
perlakuan tawanan perang yang diatur dalam Hukum Humaniter Internasional
dan Hukum Islam. Kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat dalam
bagan berikut ini.
Perlakuan tawanan
perang
·
·
·
Perlindungan Umum
Bagi Tawanan Perang.
Penawanan.
Berakhirnya penawanan.
Hukum Islam
H.Humaniter Internasional
Al-Qur’an,
As-sunnah,
Ijtihad
Konvensi
Persamaan & Perbedaan
Bagan.1. Kerangka Pemikiran
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Perlakuan tawanan perang diatur dalam berbagai peraturan, dalam
penerapannya jaman sekarang, hukum yang berlaku yaitu Hukum Humaniter
Internasional khususnya yaitu Konvensi III Jenewa 1949 yang mengatur
prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi tawanan perang.Selain itu,sumber
Hukum Humaniter Internasional yang penulis pergunakan yaitu Annex
Konvensi IV Den Haag 1907, Protokol Tambahan I 1977 dan San Remo
Manual.
Pada penulisan hukum ini, penulis akan membandingkan perlakuan
tawanan perang yang diatur dalam Hukum Humaniter Internasional dengan
konsep Hukum Islam. Sumber aturan Hukum Islam yang akan penulis pakai
yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebelum penulis membandingkan kedua
konsep peraturan tersebut, penulis akan memaparkan kedua konsep peraturan
perlakuan tawanan perang baik yang diatur dalam Hukum Humaniter
Internasional dan Hukum Islam sebagai berikut.
1. Pengaturan Perlakuan Tawanan Perang dalam Hukum Humaniter
Internasional dan Hukum Islam
a. Pengaturan Perlakuan Tawanan Perang dalam Hukum Humaniter
Internasional.
Pengaturan mengenai masalah perang telah diatur di dalam
Konvensi Jenewa 1949, Konvensi Jenewa 1949 sebagai instrumen
Hukum Humaniter Internasional dengan tegas telah membuat aturanaturan pokok yang harus ditaati oleh setiap negara yang terlibat dalam
konflik bersenjata. Lebih khusus Konvensi III Jenewa 1949 mengatur
prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi tawanan perang.
Di samping diatur dalam Konvensi-Konvensi Hukum Humaniter
Internasional (Annex Konvensi
IV Den Haag 1907, Konvensi III
Jenewa 1949, Protokol Tambahan I 1977), perlindungan terhadap
tawanan perang juga diatur secara tidak langsung dalam Konvensi AntiPenyiksaan (Convention Against Torture and Other Cruel Inhuman or
Degrading Treatment or Punishment). Pasal 2 Konvensi ini
menyebutkan bahwa setiap negara peserta konvensi harus dapat
mencegah kekerasan dalam wilayah jurisdiksinya, tanpa memandang
apakah terjadi dalam masa damai ataupun perang (No exceptional
circumstances whatsoever, whether a state of war or a threat of war,
internal political instability or any other public emergency, may be
invoked as a justification of torture). Kemudian, pasal 11 konvensi yang
sama menyebutkan bahwa setiap negara peserta konvensi ini haruslah
menegakkan aturan yang sistematis dalam hal interogasi, penangkapan,
dan penahanan, serta harus menghindarkan kekerasan.
1) Pengertian dan Kriteria Tawanan Perang
a) Pengertian Tawanan Perang
Definisi
tawanan
perang
dalam
Hukum
Humaniter
Internasional diatur di dalam Pasal 4 Bagian II Annex Konvensi
IV Den Haag 1907. Isi dari pasal tersebut adalah sebagai berikut.
Art. 4.
Prisoners of war are in the power of the hostile Government,
but not of the individuals or corps who capture them. They must
be humanely treated. All their personal belongings, except arms,
horses, and military papers, remain their property.
Pasal 4
Tawanan perang adalah tawanan dari negara musuh, jadi
bukan tawanan dari orang atau kesatuan tentara yang menawan
mereka.
Tawanan
perang
harus
diperlakukan
dengan
perikemanusiaan. Semua barang milik tawanan untuk keperluan
pribadi, kecuali senjata, kuda, perlengkapan militer dan dokumen
militer, harus tetap dimiliki tawanan perang.
b) Kriteria Tawanan Perang
Orang-orang yang dapat masuk kedalam golongan tawanan
perang adalah orang-orang yang termasuk dalam kriteria yang
diatur dalam Pasal 1,2 Bagian I dan Pasal 4 dan 13 Bagian II
Annex Hukum IV Den Haag IV 1907, peraturan tersebut adalah
sebagai berikut.
Article 1.
The laws, rights, and duties of war apply not only to armies,
but also to militia and volunteer corps fulfilling the following
conditions:
To be commanded by a person responsible for his
subordinates;
To have a fixed distinctive emblem recognizable at a
distance;
To carry arms openly; and
To conduct their operations in accordance with the laws and
customs of war.
In countries where militia or volunteer corps constitute the
army, or form part of it, they are included under the
denomination "army."
Pasal 1
Hukum, hak, dan kewajiban perang tidak hanya dberlaku
kepada tentara tetapi juga berlaku bagi kelompok milisi dan korps
sukarela yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.
1. Dipimpin oleh seorang yang bertanggung jawab atas
bawahannya;
2. Memakai tanda/emblem yang dapat dilihat dari jauh;
3. Membawa senjata secara terbuka;
4. Melaksanakan operasinya sesuai dengan hukum dan kebiasaan
perang.
Art. 2.
The inhabitants of a territory which has not been occupied,
who, on the approach of the enemy, spontaneously take up arms
to resist the invading troops without having had time to organize
themselves in accordance with Article 1, shall be regarded as
belligerents if they carry arms openly and if they respect the laws
and customs of war.
Pasal 2
Penduduk wilayah yang belum diduduki yang tatkala musuh
mendekat, atas kemauan sendiri dan dengan serentak mengangkat
senjata untuk melawan pasukan-pasukan yang menyerbu, tanpa
mempunyai
waktu
untuk
membentuk
kesatuan-kesatuan
bersenjata antara mereka yang teratur, asal saja mereka membawa
senjata secara terang-terangan dan menghormati hukum-hukum
dan kebiasaan-kebiasaan perang
Art. 13.
Individuals who follow an army without directly belonging to
it, such as newspaper correspondents and reporters, sutlers and
contractors, who fall into the enemy's hands and whom the latter
thinks expedient to detain, are entitled to be treated as prisoners
of war, provided they are in possession of a certificate from the
military authorities of the army which they were accompanying.
Pasal 13
Orang-orang yang menyertai angkatan perang tanpa dengan
sebenarnya menjadi anggota dari angkatan perang tersebut,
korespondensi surat kabar dan seperti wartawan perang, pemasok
pebekalan, anggota-anggota kesatuan kerja atau dinas-dinas yang
bertanggaung jawab atas kesejahteraan angkatan perang, yang
tertangkap oleh pasukan musuh berhak diperlakukan sebagai
tawanan perang, dibuatkan sebuah sertifikat sebagai tanda
penawanan dari angkatan perang yang menawan mereka.
Kriteria tawanan perang juga terdapat di dalam Pasal 4
Konvensi III Konvensi Jenewa 1949 sebagai berkut.
Article 4
A. Prisoners of war, in the sense of the present Convention, are
persons belonging to one of the following categories, who
have fallen into the power of the enemy:
1.
Members of the armed forces of a Party to the conflict as
well as members of militias or volunteer corps forming
part of such armed forces.
2.
Members of other militias and members of other
volunteer corps, including those of organized resistance
movements, belonging to a Party to the conflict and
operating in or outside their own territory, even if this
territory is occupied, provided that such militias or
volunteer corps, including such organized resistance
movements, fulfil the following conditions:
(a) That of being commanded by a person responsible
for his subordinates;
(b) That of having a fixed distinctive sign recognizable
at a distance;
(c) That of carrying arms openly;
(d) That of conducting their operations in accordance
with the laws and customs of war.
3.
Members of regular armed forces who profess allegiance
to a government or an authority not recognized by the
Detaining Power.
4.
Persons who accompany the armed forces without
actually being members thereof, such as civilian
members of military aircraft crews, war correspondents,
supply contractors, members of labour units or of
services responsible for the welfare of the armed forces,
provided that they have received authorization from the
armed forces which they accompany, who shall provide
them for that purpose with an identity card similar to the
annexed model.
5. Members of crews, including masters, pilots and
apprentices, of the merchant marine and the crews of
civil aircraft of the Parties to the conflict, who do not
benefit by more favourable treatment under any other
provisions of international law.
6. Inhabitants of a non-occupied territory, who on the
approach of the enemy spontaneously take up arms to
resist the invading forces, without having had time to
form themselves into regular armed units, provided they
carry arms openly and respect the laws and customs of
war.
B. The following shall likewise be treated as prisoners of war
under the present Convention:
1.
Persons belonging, or having belonged, to the armed
forces of the occupied country, if the occupying Power
considers it necessary by reason of such allegiance to
intern them, even though it has originally liberated them
while hostilities were going on outside the territory it
occupies, in particular where such persons have made an
unsuccessful attempt to rejoin the armed forces to which
they belong and which are engaged in combat, or where
they fail to comply with a summons made to them with a
view to internment.
2.
The persons belonging to one of the categories
enumerated in the present Article, who have been
received by neutral or non-belligerent Powers on their
territory and whom these Powers are required to intern
under international law, without prejudice to any more
favourable treatment which these Powers may choose to
give and with the exception of Articles 8, 10, 15, 30, fifth
paragraph, 58-67, 92, 126 and, where diplomatic
relations exist between the Parties to the conflict and the
neutral or non-belligerent Power concerned, those
Articles concerning the Protecting Power. Where such
diplomatic relations exist, the Parties to a conflict on
whom these persons depend shall be allowed to perform
towards them the functions of a Protecting Power as
provided in the present Convention, without prejudice to
the functions which these Parties normally exercise in
conformity with diplomatic and consular usage and
treaties.
C. This Article shall in no way affect the status of medical
personnel and chaplains as provided for in Article 33 of the
present Convention.
Pasal 4
A. Tawanan perang dalam arti Konvensi ini, adalah orang-orang
yang termasuk salah satu golongan berikut, yang telah jatuh
dalam kekuasaan musuh :
1.
Anggota angkatan perang dari suatu pihak dalam
sengketa, begitu pula anggota-anggota milisi atau barisan
sukarela yang merupakan bagian dari angkatan perang
tersebut.
2.
Anggota-anggota milisi serta anggota-anggota dari
barisan sukarela lainnya, termasuk anggota-anggota
gerakan perlawa nan yang diorganisir, yang tergolong
pada suatu pihak dalam sengketa beroperasi di dalam
atau di luar wilayahnya sendiri, sekalipun wilayah itu
diduduki, asal saja milisi atau barisan sukarela tersebut,
termasuk
gerakan
perlawanan
yang
diorganisir,
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a) Dipimpin oleh seseorang yang bertanggung jawab
atas bawahannya.
b) Mempunyai tanda pengenal tetap yang dapat dikenal
dari jauh.
c) Membawa senjata secara terang-terangan.
d) Melakukan operasi mereka sesuai dengan hukumhukum dan kebiasaan-kebiasaan perang.
3.
Anggota-anggota angkatan perang reguler tunduk pada
suatu pemerintah atau kekuasaan yang tidak diakui
Negara Penahan.
4.
Orang-orang yang menyertai angkatan perang tanpa
dengan sebenarnya menjadi anggota dari angkatan
perang tersebut, seperti anggota sipil awak pesawat
terbang militer, wartawan perang, pemasok pebekalan,
anggota-anggota kesatuan kerja atau dinas-dinas yang
bertanggaung jawab atas kesejahteraan angkatan perang,
asal saja mereka telah mendapat pengesahan dari
angkatan perang yang mereka sertai.
5.
Anggota awak kapal pelayaran niaga termasuk nahkoda,
pemandu alut, taruna dan awak pesawat terbang sipil dari
pihak-pihak dalam sengketa, yang tidak mendapat
perlakuan yang menguntungkan menurut ketentuanketentuan lain apapun dalam hukum internasional.
6.
Penduduk wilayah yang belum diduduki yang tatkala
musuh mendekat, atas kemauan sendiri dan dengan
serentak mengangkat senjata untuk melawan pasukanpasukan yang menyerbu, tanpa mempunyai waktu untuk
membentuk kesatuan-kesatuan bersenjata antara mereka
yang teratur, asal saja mereka membawa senjata secara
terang-terangan dan menghormati hukum-hukum dan
kebiasaan-kebiasaan perang.
B. Menurut
konvensi
ini,
yang berikut
ini
juga
akan
diperlakukan sebagai tawanan perang.
1.
Orang yang tergolong, atau pernah tergolong, dalam
angkatan perang dari wilayah yang diduduki, apabila
negara yang menduduki wilayah itu memadang perlu
untuk menginternir mereka karena kesetiaan itu,
walaupun negara itu semula telah membebaskan mereka
selagi permusuhan berlangsung di luar wilayah yang
diduduki negara itu, terutama jika orang-orang tersebut
telah mencoba dengan tidak berhasil untuk bergabung
kembali dengan angkatan perang mereka yang terlibat
dalam pertempuran, atau jika mereka tidak memenuhi
panggilan yang ditunjukkan kepada mereka yang
berkenaan dengan .penginterniran.
2.
Orang-orang yang termasuk dalam salah satu golongan
tersebut dalam pasal ini, yang telah diterima oleh negaranegara netral atau negara-negara yang tidak turut
berperang dalam wilayahnya, dan yang harus harus
diinternir oleh negara-negara itu menurut hukum
internasional, tanpa mempengaruhi tiap-tiap perlakuan
yang lebih baik yang mungkin diberikan kepada mereka
oleh negara-negara itu menurut hukum internasional,
tanpa mempengaruhi tiap perlakuan yang lebih baik yang
mungkin diberikan kepada mereka oleh negara-negara
itu dan dengan perkecualian Pasal 8,10,15,30 paragraf
kelima, Pasal-pasal 58,67,92,126 dan apabila terdapat
hubungan diplomatik antara pihak-pihak dalam sengketa
dengan negara netral atau negara yang tidak turut
berperang bersangkutan, pasal-pasal mengenai Negara
Pelindung. Jika terdapat hubungan diplomatic demikian,
pihak-pihak dalam sengketa yang ditaati oleh negaranegara itu harus diperkenanakan menyelenggarakan
fungsi Negara Pelindung terhadap mereka, sebagaimana
ditentukan oleh Konvensi ini, tanpa mempengaruhi
fungsi-fungsi yang biasa dijalankan oleh pihak-pihak itu
sesuai
dengan
kebiasaan
diplomatik dan konsuler
dan
perjanjian-perjanjian
C. Pasal ini sekali-kali tidak akan mempengaruhi kedudukan
petugas dinas kesehatan dan rohaniawan sebagaimana
ditentukan dalamPasal 33 Konvensi ini.
Dalam Protokol Tambahan 1 Tahun 1977, juga terdapat
pengertian dan kriteria orang-orang yang dapat masuk ke dalam
golongan tawanan perang. Pengaturan tersebut, terdapat dalam
Pasal 43 dan pasal 44 Protokol Tambahan I Tahun 1977. Isi Pasal
tersebut adalah sebgai berikut.
Art 43.
Armed forces
1.
The armed forces of a Party to a conflict consist of all
organized armed forces, groups and units which are under a
command responsible to that Party for the conduct or its
subordinates, even if that Party is represented by a
government or an authority not recognized by an adverse
Party. Such armed forces shall be subject to an internal
disciplinary
system
which,
inter
alia,
shall
enforce
compliance with the rules of international law applicable in
armed conflict.
2.
Members of the armed forces of a Party to a conflict (other
than medical personnel and chaplains covered by Article 33
of the Third Convention) are combatants, that is to say, they
have the right to participate directly in hostilities.
3.
Whenever a Party to a conflict incorporates a paramilitary or
armed law enforcement agency into its armed forces it shall
so notify the other Parties to the conflict.
Pasal 43
Pasal 43 memberi batasan dari Angkatan Bersenjata sebagai
berikut.
1.
Angkatan Bersenjata dari pihak yang bertikai terdiri dari
Angkatan Bersenjata yang terorganisir (Organized Armed
Forces), group dan unit yang berada di bawah komando yang
bertanggung jawab atas kelakuan anak buahnya kepada
fihaknya tersebut, sekalipun fihak itu diwakili oleh
Pemerintah atau Penguasa (authority) yang tidak diakui oleh
pihak lawan (adverse party). Angkatan Bersenjata tersebut
harus tunduk kepada sistem disiplin kesatuan (internal
disciplinary system) yang antara lain berisi pelaksanaan
ketentuan hukum internasional yang berlaku dalam pertikaian
bersenjata.
2.
Anggota angkatan Bersenjata dari fihak yang bertikai
(kecuali personal medik dan pendeta seperti tersebut dalam
Pasal 37 Konvensi III Jenewa 1949) adalah Kombantan, yaitu
mereka berhak untuk ikut serta secara langsung dalam
permusuhan.
3.
Apabila salah satu pihak yang bertikai memasukkan sebuah
kesatuan (agency) para militer atau penegak hukum dalam
Angkatan Bersenjata mereka, maka mereka wajib memberi
tahukan hal ini kepada pihak-pihak lain yang bertikai.
Art 44.
Combatants and prisoners of war
1.
Any combatant, as defined in Article 43, who falls into the
power of an adverse Party shall be a prisoner of war.
2.
While all combatants are obliged to comply with the rules of
international law applicable in armed conflict, violations of
these rules shall not deprive a combatant of his right to be a
combatant or, if he falls into the power of an adverse Party,
of his right to be a prisoner of war, except as provided in
paragraphs 3 and 4.
3.
In order to promote the protection of the civilian population
from the effects of hostilities, combatants are obliged to
distinguish themselves from the civilian population while they
are engaged in an attack or in a military operation
preparatory to an attack. Recognizing, however, that there
are situations in armed conflicts where, owing to the nature
of the hostilities an armed combatant cannot so distinguish
himself, he shall retain his status as a combatant, provided
that, in such situations, he carries his arms openly:
(a) During each military engagement, and
(b) During such time as he is visible to the adversary while
he is engaged in a military deployment preceding the
launching of an attack in which he is to participate.
Acts which comply with the requirements of this paragraph
shall not be considered as perfidious within the meaning of
Article 37, paragraph 1 (c).
4.
A combatant who falls into the power of an adverse Party while
failing to meet the requirements set forth in the second sentence
of paragraph 3 shall forfeit his right to be a prisoner of war, but
he shall, nevertheless, be given protections equivalent in all
respects to those accorded to prisoners of war by the Third
Convention and by this Protocol. This protection includes
protections equivalent to those accorded to prisoners of war by
the Third Convention in the case where such a person is tried
and punished for any offences he has committed.
5.
Any combatant who falls into the power of an adverse Party
while not engaged in an attack or in a military operation
preparatory to an attack shall not forfeit his rights to be a
combatant and a prisoner of war by virtue of his prior activities
6.
This Article is without prejudice to the right of any person to be
a prisoner of war pursuant to Article 4 of the Third Convention.
7.
This Article is not intended to change the generally accepted
practice of States with respect to the wearing of the uniform by
combatants assigned to the regular, uniformed armed units of a
Party to the conflict.
8.
In addition to the categories of persons mentioned in Article 13
of the First and Second Conventions, all members of the armed
forces of a Party to the conflict, as defined in Article 43 of this
Protocol, shall be entitled to protection under those Conventions
if they are wounded or sick or, in the case of the Second
Convention, shipwrecked at sea or in other waters.
Pasal 44
Pasal 44 mengatur tentang Kombantan dan tawanan perang
adalah sebagai berikut.
1.
Setiap Kombantan, seperti ditentukan dalam Pasal 43, yang
jatuh kedalam kekuasaan pihak lawan, akan menjadi tawanan
perang (prisoner of war).
2.
Sekalipun semua Kombantan harus mentaati ketentuanketentuan hukum Internasional yang berlaku dala pertikaian
bersenjata, namun pelanggaran ketentuan tersebut tidak akan
menghilangkan haknya untuk menjadi Kombantan, atau apabila
ia jatuh dalam kekuasaan pihak lawan, dari haknya menjadi
tawanan perang, kecuali apa yang ditentukan dalam paragraph
3-4.
3.
Untuk menambah perlindungan dari penduduk sipil dari akibat
(effects)
permusuhan,
Kombantan
diharuskan
untuk
membedakan diri dari penduduk sipil pada waktu mereka
sedang menyerang atau di dalam suatu operasi militer yang
mendahului (preparatory) serangan tersebut. tetapi mengingat
bahwa dalam suatu pertikaian bersenjata terdapat situasi dimana,
mengingat sifat permusuhan tersebut. Kombantan tidak dapat
membedakan diri, ia akan tetap memperoleh statusnya sebagai
Kombatan asal, dalam keadaan tersebut ia membawa senjata
secara terbuka :
a.
Selama setiap pertemuan militer dan
b.
Selama ia dapat dilihat atau kelihatan oleh musuh pada
waktu ia terlibat dalam suatu persiapan militer mendahului
serangan dimana ia turut serta.
Perbuatan yang memenuhi ketentuan ini tidak boleh dianggap
sebagai licik dalam arti Pasal 37 Paragraf 1 (c).
4.
Seorang Kombantan yang jatuh dalam kekuasaan musuh sedang
ia tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam kalimat
kedua dari pasal 3, akan kehilangan (forfeit)haknya sebagai
tawanan perang, tetapi namun demikian dia akan diberikan
perlindungan yang sama (equivalent) dalam segala aspek seperti
yang diberikan kepada tawanan perang oleh Konvensi III
Jenewa dan Protokol ini.
5.
Setiap Kombantan yang jatuh ke dalam kekuasaan pihak lawan,
pada waktu (sedang) tidak terlibat dalam serangan atau dalam
suatu operasi militer sebagai persiapan suatu serangan, tidak
akan kehilangan haknya (forfeit) sebagai Komabntan dan
tawanan perang sebagai akibat kegiatannya sebelumnya.
6.
Artikel ini tidak mengurangi hak setiap orang untuk menjadi
tawanan perang sesuai dengan artikel 4 Konvensi Jenewa III.
7.
Artikel ini tidak dimasudkan untuk mengubah kebiasaan yang
secara umum telah diterima negara-negara yang berhubungan
dengan pemakaian uniform oleh Kombantan yang termasuk
kesatuan yang regular yang bersergram serta bersenjata dari
pihak yang bertikai.
8.
Sebagai tambahan dari kategori orang tersebut dalam artikel 13
Konvensi Jenewa I-II, maka semua anggota angkatan bersenjata
dari pihak bertikai seperti dirumuskan dalam artikel 43 Protokol
ini, berhak atas perlindungan yang diatur dalam Konpensi
tersebut, apabila mereka luka atau sakit, baik di darat maupun di
laut.
Kriteria mengenai tawanan perang tidak hanya terdapat di
dalam Pasal 4 Konvensi Jenewa 1949, definisi tawanan perang juga
terdapat di dalam Pasal 165 San Remo Manual tentang Hukum
Perang di Laut yang isinya adalah sebagai berikut.
Article 165
Nationals of an enemy State, other than those specified in
paragraphs 162-164, are entitled to prisoner-of-war status and may
be made prisoners of war if they are :
(a) members of the enemy's armed forces;
(b) persons accompanying the enemy's armed forces;
(c) crew members of auxiliary vessels or auxiliary aircraft;
(d) crew members of enemy merchant vessels or civil aircraft not
exempt from capture, unless they benefit from more favourable
treatment under other provisions of international law; or
(e) crew members of neutral merchant vessels or civil aircraft that
have taken a direct part in the hostilities on the side of the
enemy, or served as an auxiliary for the enemy.
Pasal 165
“Warga negara dari suatu negara musuh, selain yang disebutkan
secara
khusus
didalam
paragraph
162-164,
berhak
untuk
mendapatkan status tawanan perang dan boleh dijadikan tawanan
perang apabila mereka :
1. Anggota angkatan bersenjata negara musuh.
2. Orang-orang yang menyertai ke angkatan bersenjata musuh.
3. Awak kendaraan air serba guna atau awak pesawat udara serba
guna.
4. Awak kendaraan air niaga musuh atau awak pesawat udara sipil
musuh tidak dikecualikan dari tindakan penangkapan, kecuali
mereka diuntungkan dari perlakuan yang lebih baik berdasarkan
ketentuan-ketentuan lain dari hukum internasional, atau
5. Awak kendaraan air niaga netral dan awak pesawat udara sipil
netral yang telah terlibat secara langsung dalam kegiatan
pertempuran dipihak musuh, atau memberi bantuan kepada
musuh.”
Dari definisi yang telah diberikan mengenai tawanan perang
di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa definisi tawanan perang adalah
seseorang yang termasuk ke dalam kategori tawanan perang yang
berada di bawah kekuasaan negara musuh karena tertangkap oleh
tentara musuh ketika berperang.
Dari definisi-definisi yang telah diberikan mengenai tawanan
perang di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kriteria-kriteria
seseorang dapat dikatakan sebagai tawanan perang adalah sebagai
berikut.
1.
Orang yang termasuk kedalam angkatan perang dari salah satu
pihak yang bersengketa.
2.
Orang-orang yang termasuk kedalam anggota-anggota milisi,
anggota-anggota dari barisan sukarela, dan anggota-anggota
gerakan perlawanan yang diorganisir yang tergolong pada salah
satu pihak yang bersengketa.
3. Orang-orang yang menyertai angkatan perang salah satu pihak
yang bersengketa.
4.
Orang-orang yang menjadi awak kendaraan milik salah satu
pihak yang bersengketa yang tidak mendapat perlakuan yang
menguntungkan menurut ketentuan-ketentuan lain apapun dalam
Hukum Internasional.
5.
Orang-orang yang menjadi awak kendaraan milik pihak yang
netral yang telah terlibat secara langsung dalam kegiatan
pertempuran dipihak musuh, atau memberi bantuan kepada
musuh.
6. Penduduk sipil yang dengan kemauannya sendiri mengangkat
senjata untuk melawan musuh.
7. Orang-orang yang termasuk dalam salah satu golongan tersebut
dalam pasal ini, yang telah diterima oleh negara-negara netral
atau
negara-negara
yang
tidak
turut
berperang
dalam
wilayahnya, dan yang harus harus diinternir oleh negara-negara
itu menurut hukum internasional.
2) Perlindungan Umum Tawanan Perang
Dalam Konsep Hukum Humaniter Internasional, tawanan
perang dilindungi dari berbagai kekerasan baik fisik maupun mental.
Hal ini Hukum seperti tercantum dalam Publik Internasional dan
Konvensi Jenewa tahun 1949 yang melarang menganiaya tawanan
perang, baik pribadinya, kehormatannya, atau profesinya. Begitu
juga melarang membunuh tawanan dalam keadaan apapun, atau
menghukum tanpa melalui pengadilan, atau memasukan tawanan
dipenjara-penjara atau tempat-tempat yang tidak sehat dan tidak
boleh memaksa tawanan untuk mengenakan tanda-tanda tertentu.
Selain itu, dalam Keputusan Mahkamah Penjahat Perang
Nuremberg menganggap bahwa setiap perlakuan jelek terhadap
tawanan atau membunuh tawanan atau sandera, sebagai kejahatan
perang yang harus dikenakan sanksi terhadap pelakunya. Dan para
pelaku kejahatan itui harus diadili oleh Mahkamah Internasional
(Taufiq Ali Wahbah, 1985:172).
Dalam Bab III Konvensi Jenewa 1949, perlindungan umum
tawananan perang diatur dalam Pasal 12 – Pasal 16. Isi dari pasalpasal tersebut adalah sebagai berikut.
Article 12
Prisoners of war are in the hands of the enemy Power, but
not of the individuals or military units who have captured them.
Irrespective of the individual responsibilities that may exist, the
Detaining Power is responsible for the treatment given them.
Prisoners of war may only be transferred by the Detaining
Power to a Power which is a party to the Convention and after the
Detaining Power has satisfied itself of the willingness and ability of
such transferee Power to apply the Convention. When prisoners of
war are transferred under such circumstances, responsibility for the
application of the Convention rests on the Power accepting them
while they are in its custody.
Nevertheless if that Power fails to carry out the provisions of
the Convention in any important respect, the Power by whom the
prisoners of war were transferred shall, upon being notified by the
Protecting Power, take effective measures to correct the situation or
shall request the return of the prisoners of war. Such requests must
be complied with.
Pasal 12
Tawanan perang adalah tawanan dari negara musuh, jadi
bukan tawanan dari orang atau kesatuan tentara yang menawan
mereka. Lepas dari tanggung jawab perseorangan yang mungkin ada.
Negara penahan bertanggung jawab atas perlakuan yang diberikan
kepada mereka.
Tawanan perang hanya dapat dipindahkan oleh Negara
Penahan ke suatu Negara yang menjadi peserta Konvensi, dan
setelah Negara Penahan mendapat kepastian bahwa negara yang
disertai tawanan itu berkehendak dan sanggup untuk melaksanakan
Konvensi. Apabila tawanan perang dipindahkan dalam keadaan
tersebut, maka tanggung jawab tentang pelaksanaan Konvensi
terletak pada Nagara yang telah menerima mereka, selama mereka
dibawah pengawasan.
Walaupun demikian, apabila Negara itu gagal dalam
menerapkan ketentuan-ketentuan Konvensi dalam suatu hal yang
penting, maka setelah pemberitahuan tentang hal tersebut oleh
Negara Pelindung, Negara yang memindahkan tawanan perang itu
harus mengambil tindakan-tindakan efektif untuk memperbaiki
keadaan atau harus meminta pengembalian dari tawanan perang itu.
Permintaan itu harus dikabulkan.
Article 13
Prisoners of war must at all times be humanely treated. Any
unlawful act or omission by the Detaining Power causing death or
seriously endangering the health of a prisoner of war in its custody
is prohibited, and will be regarded as a serious breach of the present
Convention. In particular, no prisoner of war may be subjected to
physical mutilation or to medical or scientific experiments of any
kind which are not justified by the medical, dental or hospital
treatment of the prisoner concerned and carried out in his interest.
Likewise, prisoners of war must at all times be protected,
particularly against acts of violence or intimidation and against
insults and public curiosity. Measures of reprisal against prisoners
of war are prohibited.
Pasal 13
Tawanan perang harus diperlakukan dengan perikemanusiaan. Perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan kelalaian negara
penahan yang mengakibatkan kematian atau membahayakan kesehatan tawanan perang, adalah terlarang. Perbuatan semacam ini diang
gap sebagai pelanggaran berat terhadap konvensi ini. Negara
penahan harus melindungi tawanan perang terhadap tindakan
kekerasan, ancaman dan penghinaan serta tontonan umum. Tawanan
perang terutama tidak boleh dijadikan objek percobaan-percobaan
kedokteran atau ilmiah dalam bentuk apapun juga yang tidak
dibenarkan oleh pengobatan kedokteran, kedokteran gigi atau
kesehatan dari tawanan yang bersangkutan dan dilakukan demi
kepentingannya.
Tindakan-tindakan pembalasan terhadap tawanan perang
dilarang dan pembatasan terhadap/kepada tawanan perang juga
dilarang.
Article 14
Prisoners of war are entitled in all circumstances to respect
for their persons and their honour. Women shall be treated with all
the regard due to their sex and shall in all cases benefit by treatment
as favourable as that granted to men. Prisoners of war shall retain
the full civil capacity which they enjoyed at the time of their capture.
The Detaining Power may not restrict the exercise, either within or
without its own territory, of the rights such capacity confers except
in so far as the captivity requires.
Pasal 14
Tawanan perang harus dihormati pribadi dan martabatnya.
Perlakuan terhadap mereka harus sama, tidak memandang perbedaan
bangsa, agama atau pandangan politik mereka. Tawanan perang
wanita
harus
mendapat
penghargaan
sesuai
dengan
sifat
kewanitaannya. Perlakuan terhadap mereka harus sama baiknya
dengan perlakuan dengan perlakuan terhadap pria.
Tawanan
perang
akan
tetap
memiliki
kemampuan
keperdataan penuh yang mereka miliki pada saat penangkapan
mereka. Negara rupa Penahan tidak boleh membatasi penggunaan
hak-hak yang timbul dari kemampuan tersebut, baik di dalam
maupun di luar wilayah sendiri, kecuali sejauh yang diperlakukan
oleh penawan yang bersangkutan.
Article 15
The Power detaining prisoners of war shall be bound to
provide free of charge for their maintenance and for the medical
attention required by their state of health.
Pasal 15
Negara yang menahan tawanan perang wajib menjamin
pemeliharaan mereka dan perawatan kesehatan yang dibutuhkan oleh
mereka dengan cuma-cuma.
Article 16
Taking into consideration the provisions of the present
Convention relating to rank and sex, and subject to any privileged
treatment which may be accorded to them by reason of their state of
health, age or professional qualifications, all prisoners of war shall
be treated alike by the Detaining Power, without any adverse
distinction based on race, nationality, religious belief or political
opinions, or any other distinction founded on similar criteria.
Pasal 16
Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan Konvensi ini
mengenai pangkat dan jenis kelamin, dan dengan tidak mengurangi
perlakuan istimewa yang dapat diberikan kepada mereka karena
keadaan kesehatan, umur atau keahlian mereka, maka semua
tawanan perang harus diperlakukan sama oleh Negara Penahan,
tanpa keadaan merugikan yang didasarkan atas suku, kebangsaan,
kepercayaan, agama, atau pandangan-pandangan politik, atau
perbedaan lainnya yang didasarkan atas kriteria itu.
Seorang Komandan (yang menawan musuh) tidak boleh
membunuh seorang tawanan perang, walaupun tawanan perang
tersebut menghambat gerakannya atau mengurangi kekuatan
tempurnya-karena sebagian dari pasukannya harus memberi
menjaga tawanan perang-atau mereka menghabiskan banyak
persediaan makan. Tawanan perang hanya boleh dibunuh jika
mereka melawan atau mencoba melarikan diri (Haryomataram, 1994
: 55-57).
3) Penawanan
Pada masa ini, para tawnan perang berada dalam penawanan
Negara penahan. Berbagai perlakuan pada saat penawanan yang
diterima oleh tawanan perang diatur Pasal 9 Bagian II Annex
Konvensi Den Haag IV 1907 juga diatur mengenai penawanan
tawanan perang. Isi dari pasal tersebut adalah sebagai berikut.
Art. 9.
Every prisoner of war is bound to give, if he is questioned on
the subject, his true name and rank, and if he infringes this rule, he
is liable to have the advantages given to prisoners of his class
curtailed.
Pasal 9.
Setiap tawanan perang apabila ditanyakan mengenai hal itu,
hanya wajib memberikan, nama aslinya dan pangkat, dan Jika ia
dengan sengaja melanggar ketentuan ini, ia dapat dikenakan
pembatasan atas hak-hak istimewa yang diberikan kepadanya
berdasarkan pangkat atau kedudukannya.
Pada saat penawanan, perlakuan tawanan perang juga diatur
di dalam pasal 17 – 108 Konvensi III Jenewa 1949. pasal-pasal
tersebut sebagai berikut.
a) Keputusan Penawanan
Permulaan penawanan menerangkan perlakuan awal mula yang
diterima tawanan perang sebelum tawanan perang tersebut
mendapatkan perlakuan yang lain. Permulaan penawanan diatur
dalam pasal 17-20. Pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut.
Article 17
Every prisoner of war, when questioned on the subject, is
bound to give only his surname, first names and rank, date of
birth, and army, regimental, personal or serial number, or
failing this, equivalent information. If he wilfully infringes this
rule, he may render himself liable to a restriction of the
privileges accorded to his rank or status.
Each Party to a conflict is required to furnish the persons
under its jurisdiction who are liable to become prisoners of war,
with an identity card showing the owner's surname, first names,
rank, army, regimental, personal or serial number or equivalent
information, and date of birth. The identity card may,
furthermore, bear the signature or the fingerprints, or both, of
the owner, and may bear, as well, any other information the
Party to the conflict may wish to add concerning persons
belonging to its armed forces. As far as possible the card shall
measure 6.5 x 10 cm. and shall be issued in duplicate. The
identity card shall be shown by the prisoner of war upon
demand, but may in no case be taken away from him.
No physical or mental torture, nor any other form of
coercion, may be inflicted on prisoners of war to secure from
them information of any kind whatever. Prisoners of war who
refuse to answer may not be threatened, insulted, or exposed to
any unpleasant or disadvantageous treatment of any kind.
Prisoners of war who, owing to their physical or mental
condition, are unable to state their identity, shall be handed
over to the medical service. The identity of such prisoners shall
be established by all possible means, subject to the provisions of
the preceding paragraph.
The questioning of prisoners of war shall be carried out in
a language which they understand.
Pasal 17
Setiap tawanan perang, apabila dinyatakan mengenai hal
itu, hanya wajib memberikan nama keluarga, nama kecil dan
pangkat, tanggal lahir, dan nomor tentara, resimen, data personel
atau nomor registrasi pokok, atau jika tidak mungkin,
keterangan yang serupa.
Jika ia dengan sengaja melanggar ketentuan ini, ia dapat
dikenakan pembatasan atas hak-hak istimewa yang diberikan
kepadanya berdasarkan pangkat atau kedudukannya.
Setiap pihak dalam sengketa harus melengkapi orangorang dibawah kekuasaannya yang mungkin menjadi tawanan
perang musuh, dengan suatu kartu pengenal yang memuat nama
keluarga, nama kecil, pangkat, nomor tentara, data personel atau
nomor registrasi pokok atau keterangan serupa serta tanggal
lahir pemegang. Kartu pengenal itu selanjutnya dapat memuat
tanda tangan atau cap jari pemegang atau kedua-duanya, dan
dapat juga setiap keterangan lainnya, yang mungkin hendak
ditambahkan oleh Pihak peserta sengketa tentang orang-orang
yang termasuk dalam angkatan bersenjata. Kartu itu sedapat
mungkin harus berukuran 6,5 X 10 cm serta harus dikeluarkan
dalam rangkap dua. Kartu pengenal itu harus diperlihatkan oleh
tawanan perang apabila diminta, akan tetapi sekali-kali tidak
dapat diambil dari padanya.
Penganiayaan jasmani atau rohani atau paksaan lain dalam
bentuk apapun, tidak boleh dilakukan atas diri tawanan perang
untuk memperoleh dari mereka keterangan-keterangan jenis
apapun. Tawanan perang yang menolak menjawab, tidak boleh
diancam, dihina, atau dikenakan perlakuan
yang tidak
menyenangkan atau merugikan dalam bentuk apapun.
Tawanan
perang
yang
tidak
sanggup
menyatakan
identitasnya karena keadaan jasmani atau rohani mereka, harus
diserahkan kepada dinas kesehatan. Identitas tawanan tersebut
akan ditetapkan dengan segala cara yang memungkinkan dengan
tidak mengurangi ketentuan-ketentuan paragraf diatas.
Pemeriksaan tawanan perang harus dilakukan dalam
bahasa yang mereka pahami.
Article 18
All effects and articles of personal use, except arms,
horses, military equipment and military documents shall remain
in the possession of prisoners of war, likewise their metal
helmets and gas masks and like articles issued for personal
protection. Effects and articles used for their clothing or feeding
shall likewise remain in their possession, even if such effects and
articles belong to their regulation military equipment.
At no time should prisoners of war be without identity
documents. The Detaining Power shall supply such documents
to prisoners of war who possess none.
Badges of rank and nationality, decorations and articles
having above all a personal or sentimental value may not be
taken from prisoners of war.
Sums of money carried by prisoners of war may not be
taken away from them except by order of an officer, and after
the amount and particulars of the owner have been recorded in
a special register and an itemized receipt has been given, legibly
inscribed with the name, rank and unit of the person issuing the
said receipt. Sums in the currency of the Detaining Power, or
which are changed into such currency at the prisoner's request,
shall be placed to the credit of the prisoner's account as
provided in Article 64.
The Detaining Power may withdraw articles of value from
prisoners of war only for reasons of security; when such articles
are withdrawn, the procedure laid down for sums of money
impounded shall apply.
Such objects, likewise the sums taken away in any
currency other than that of the Detaining Power and the
conversion of which has not been asked for by the owners, shall
be kept in the custody of the Detaining Power and shall be
returned in their initial shape to prisoners of war at the end of
their captivity.
Pasal 18
Semua barang milik tawanan untuk keperluan pribadi,
kecuali senjata, kuda, perlengkapan militer dan dokumen
militer, harus tetap dimiliki tawanan perang, begitu pula topi
baja dan kedok gas serta barang-barang serupa itu telah
disediakan untuk perlindungan pribadi. Benda dan barangbarang yang digunakan untuk pakaian atau makanan mereka
harus juga tetap mereka miliki, sekalipun benda-benda tersebut
termasuk dalam perlengkapan militer mereka.
Tawanan perang pada waktu apapun juga tidak boleh
dibiarkan tanpa dokumen-dokumen identitas. Negara Penahan
harus memberikan dokumen-dokumen tersebut kepada tawanan
perang yang tidak memilkinya.
Tanda-tanda pangkat dan kebangsaan, tanda-tanda jasa
satya lencana dan barang-barang yang mempunyai nilai pribadi
atau barang kenangan tidak boleh diminta/diambil dari tawanan
perang.
Uang yang dibawa tawanan perang tidak boleh diambil
atau dirampas dari mereka, kecuali atas perintah seorang perwira
dan setelah jumlah uang dan keterangan-keterangan tentang
pemiliknya dicatat dalam suatu daftar khusus dan setelah
diberikan suatu tanda terima yang diperinci, yang dengan jelas
memuat nama, pangkat serta kesatuan dari orang yang
mengeluarkan tanda terima itu. Jumlah uang dalam mata uang
Negara Penahan. Atau yang telah ditukarkan ke dalam mata
uang tersebut atas permintaan tawanan, akan dicatat sebagai
kredit dalam rekening koran, sebagaimana ditentukan dalam
pasal 64.
Negara Penahan hanya dapat mengambil barang-barang
berharga dari tawanan perang berdasarkan alasan-alasan
keamanan;apabila
barang-barang
tersebut
diambil,
maka
prosedur yang ditetapkan untuk pengambilan jumlah uang akan
berlaku.
Benda-benda tersebut demikian juga jumlah uang dalam
mata uang apapun selain mata uang Negara Penahan yang
diambil, dan yang penukarannya tidak diminta oleh pemiliknya,
harus ditetapkan dibawah pengawasan Negara Penahan dan
harus dikembalikan dalam bentuk semula kepada tawanan
perang pada akhir penahanan mereka.
Article 19
Prisoners of war shall be evacuated, as soon as possible
after their capture, to camps situated in an area far enough from
the combat zone for them to be out of danger.
Only those prisoners of war who, owing to wounds or
sickness, would run greater risks by being evacuated than by
remaining where they are, may be temporarily kept back in a
danger zone.
Prisoners of war shall not be unnecessarily exposed to
danger while awaiting evacuation from a fighting zone.
Pasal 19
Setelah
ditangkap,
tawanan
perang
harus
segera
dievakuasi ke kamp-kamp tawanan perang yang letaknya dalam
suatu daerah yang cukup jauh dari medan pertempuran yang
berada diluar bahaya
Hanya karena tawanan perang yang karena luka atau sakit
akan mengalami bahaya lebih besar bila dievakuasi daripada
bila tetap tinggal di mana mereka berada, untuk sementara dapat
ditahan dalam daerah yang berbahaya.
Selagi menunggu pengungsian dari medan pertempuran,
harus dijaga agar tawanan perang tidak menghadapi bahaya
yang tidak perlu.
Article 20
The evacuation of prisoners of war shall always be
effected humanely and in conditions similar to those for the
forces of the Detaining Power in their changes of station.
The Detaining Power shall supply prisoners of war who
are being evacuated with sufficient food and potable water, and
with the necessary clothing and medical attention. The
Detaining Power shall take all suitable precautions to ensure
their safety during evacuation, and shall establish as soon as
possible a list of the prisoners of war who are evacuated.
If prisoners of war must, during evacuation, pass through
transit camps, their stay in such camps shall be as brief as
possible.
Pasal 20
Evakuasi tawanan perang selalu harus diselenggarakan
dengan perikemanusiaan dan dalam kondisi yang serupa dengan
keadaan tentara Negara Penahan dalam penindasannya.
Negara Penahan harus memberi makan dan air yang dapat
dimakan dan diminum dengan cukup, serta pakaian dan
pemeliharaan kesehatan yang diperlukan kepada tawanan
pearang yang sedang dievakuasi. Negara Penahan harus
mengambil segala tindakan pencegahan yang wajar untuk
menjamin kesehatan mereka selama dievakuasi, dan harus
segera mungkin membuat daftar dari tawanan perang yang
dievakuasi.
Apabila tawanan perang selam pengevakuasian harus
melalui kamp-kamp tawanan transit, maka keberadaan mereka
dalam tempat tawanan tersebut harus sesingkat mungkin.
Dalam Protokol Tambahan 1 Tahun 1977, juga terdapat
keputusan penawanan. Pengaturan tersebut, terdapat dalam
Pasal pasal 44 ayat 1 Protokol Tambahan I Tahun 1977. Isi
Pasal tersebut adalah sebgai berikut.
Art 44.
Combatants and prisoners of war
1.
Any combatant, as defined in Article 43, who falls into the
power of an adverse Party shall be a prisoner of war.
Pasal 44
Kombantan dan tawanan perang
1.
Setiap Kombantan, seperti ditentukan dalam Pasal 43, yang
jatuh kedalam kekuasaan pihak lawan, akan menjadi
tawanan perang (prisoner of war).
Selain itu, di dalam
b) Pengasingan Tawanan Perang
Pengasingan tawanan dilakukan apabila diperlukan demi
menjaga keselamatan para tawanan perang. Pengasingan tawanan
ini diatur di dalam Pasal 5 Bagian II Annex Konvensi IV Den
Haag 1907 diatur mengenai tempat tinggal tawanan dalam kondisi
darurat. Isi pasal tersebut adalah sebagai berikut.
Art. 5.
Prisoners of war may be interned in a town, fortress,
camp, or other place, and bound not to go beyond certain fixed
limits, but they cannot be confined except as in indispensable
measure of safety and only while the circumstances which
necessitate the measure continue to exist.
Pasal 5
Tawanan perang dapat ditempatkan di suatu kota, benteng,
kemah, atau tempat lain, dan diikat supaya tidak pergi ke luar
batas yang telah ditetapkan, tetapi mereka tidak boleh dikurung
kecuali dalam kondisi dimana keselamatan lebih diutamakan dan
hanya dalam kondisi seperti itu saja tawanan perang dapat
dikurung.
Pengasingan juga diatur di dalam pasal 21-24 Konvensi
Jenewa III 1949. Isi pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut.
Article 21
The Detaining Power may subject prisoners of war to
internment. It may impose on them the obligation of not leaving,
beyond certain limits, the camp where they are interned, or if the
said camp is fenced in, of not going outside its perimeter. Subject
to the provisions of the present Convention relative to penal and
disciplinary sanctions, prisoners of war may not be held in close
confinement except where necessary to safeguard their health and
then only during the continuation of the circumstances which
make such confinement necessary.
Prisoners of war may be partially or wholly released on
parole or promise, in so far as is allowed by the laws of the
Power on which they depend. Such measures shall be taken
particularly in cases where this may contribute to the
improvement of their state of health. No prisoner of war shall be
compelled to accept liberty on parole or promise.
Upon the outbreak of hostilities, each Party to the conflict
shall notify the adverse Party of the laws and regulations
allowing or forbidding its own nationals to accept liberty on
parole or promise. Prisoners of war who are paroled or who have
given their promise in conformity with the laws and regulations
so notified, are bound on their personal honour scrupulously to
fulfil, both towards the Power on which they depend and towards
the Power which has captured them, the engagements of their
paroles or promises. In such cases, the Power on which they
depend is bound neither to require nor to accept from them any
service incompatible with the parole or promise given.
Pasal 21
Negara Penahan dapat menempatkan tawanan perang
dalam pengasingan. Negara Penahan dapat mewajibkan mereka
untuk tidak meninggalkan tempat tawanan dimana mereka
diasingkan melewati jarak-jarak tertentu, atau apabila tempat
tawanan tersebut dipagari, melarang mereka keluar dari
pemagaran itu. Kecuali apabila diatur lain menurut ketentuanketentuan Konvensi ini mengenai sanksi-sanksi pidana dan
disiplin, tawanan perang tidak boleh ditahan dalam tutupan,
kecuali bila perlu untuk melindungi kesehatan mereka dan juga
selama dalam keadaan yang menyebabkan tutupan itu perlu
diberlakukan.
Tawanan
perang
dapat
dibebaskan
sebagian
atau
seluruhnya dengan syarat atau perjanjian, sejauh hal itu
diperkenankan oleh Undang-Undang negara yang mereka taati.
Tindakan-tindakan tersebut akan diambil khusus dalam hal-hal
yang dapat menambah perbaikan keadaan kesehatan mereka.
Tidak ada tawanan perang yang boleh dipaksa untuk menerima
pembebasan bersyarat atau dengan perjanjian.
Pada waktu pecahnya permusuhan, setiap pihak peserta
dalam sengketa bersenjata harus memberitahukan kepada pihak
lawan, undang-undang dan peraturannya yang membolehkan atau
melarang warga negaranya untuk pembebasan bersyarat atau
dengan perjanjian.
Tawanan perang yang dibebaskan bersyarat atau yang
telah memberikan janji mereka, sesuai dengan Undang-Undang
serta peraturan-peraturan yang telah diberitahukan menurut cara
tersebut diatas, harus memenuhi dengan seksama kewajiban yang
timbul dari pembebasan-pembebasan bersyarat atau dengan
perjanjian itu atas dasar kehormatan pribadi baik terhadap Negara
yang telah menangkap mereka. Dalam hal tersebut, Negara yang
mereka taati tidak boleh meminta maupun menerima dari para
tawanan perang suatu jasa yang tidak sesuai dengan syarat
pembebasan atau dengan janji yang diberikan.
Article 22
Prisoners of war may be interned only in premises located
on land and affording every guarantee of hygiene and
healthfulness. Except in particular cases which are justified by
the interest of the prisoners themselves, they shall not be interned
in penitentiaries.
Prisoners of war interned in unhealthy areas, or where the
climate is injurious for them, shall be removed as soon as
possible to a more favourable climate.
The Detaining Power shall assemble prisoners of war in
camps or camp compounds according to their nationality,
language and customs, provided that such prisoners shall not be
separated from prisoners of war belonging to the armed forces
with which they were serving at the time of their capture, except
with their consent.
Pasal 22
Tawanan perang hanya dapat diasingkan dalam bangunanbangunan yang terletak didaratan dan yang memberikan segala
jaminan kebersihan dan kesehatan. Kecuali dalam hal-hal khusus
yang dibenarkan oleh kepentingan tawanan itu sendiri, tawanan
tidak boleh diasingkan dalam penjara.
Tawanan perang yang diasingkan di daerah-daerah yang
tidak sehat atau di daerah-daerah yang iklimnya merugikan
kesehatan mereka, harus dipindahkan selekas mungkin ke daerah
yang lebih baik iklimnya.
Negara Penahan harus menampung tawanan perang dalam
kamp-kamp
tawanan
menurut
kebangsaan,
bahasa
dan
kebiasaannya, dengan syarat-syarat bahwa tawanan-tawanan itu
tdak boleh dipisahkan dari tawanan perang yang tergolong dalam
angkatan perang di mana mereka tergabung pada saat
penangkapan mereka, kecuali dengan persetujuan mereka.
Article 23
No prisoner of war may at any time be sent to or detained
in areas where he may be exposed to the fire of the combat zone,
nor may his presence be used to render certain points or areas
immune from military operations.
Prisoners of war shall have shelters against air
bombardment and other hazards of war, to the same extent as the
local civilian population. With the exception of those engaged in
the protection of their quarters against the aforesaid hazards,
they may enter such shelters as soon as possible after the giving
of the alarm. Any other protective measure taken in favour of the
population shall also apply to them.
Detaining Powers shall give the Powers concerned,
through the intermediary of the Protecting Powers, all useful
information regarding the geographical location of prisoner of
war camps.
Whenever military considerations permit, prisoner of war
camps shall be indicated in the day-time by the letters PW or PG,
placed so as to be clearly visible from the air. The Powers
concerned may, however, agree upon any other system of
marking. Only prisoner of war camps shall be marked as such.
Pasal 23
Tawanan perang sekali-kali tidak boleh dikirim ke daerah
atau ditahan dalam daerah di mana ia mungkin terkena tembakan
dari medan pertempuran;begitupun keberadaan tawanan perang
tidak boleh dipergunakan untuk menjadikan tempat-tempat atau
daerah-daerah tertentu kebal dari operasi-operasi militer.
Tawanan
perang
harus
mendapatkan
perlindungan
terhadap pemboman dari udara dan bahaya-bahaya perang
lainnya, sebagaimana halnya dengan penduduk sipil setempat.
Kecuali mereka yang bertugas melindungi tempat tinggal mereka
terhadap bahaya-bahaya yang disebutkan diatas, maka tawanan
perang boleh memasuki tempat perlindungan segera setelah ada
tanda bahaya. Tiap tindakan perlindungan lainnya yang diambil
guna manfaat penduduk, berlaku pula bagi tawanan perang.
Negara-negara
Penahan
harus
memberikan
kepada
Negara-negara yang bersangkutan, melalui perantara Negaranegara Pelindung, semua keterangan yang berguna mengenai
letak geografis tempat-tempat tawanan perang.
Bilamana pertimbangan-pertimbangan militer mengizinkan kamp-kamp tawanan perang harus ditandai dengan hurufhuruf PW atau PG pada siang hari, yang ditempatkan sedemikian
rupa, sehingga dapat dilihat dengan jelas dari udara.
Walaupun demikian negara-negara yang bersang-kutan
dapat mengadakan persetujuan untuk mempergunakan sistem
pendanaan lainnya. Hanya kamp-kamp tawanan perang yang
boleh diberi tanda tersebut.
Article 24
Transit or screening camps of a permanent kind shall be
fitted out under conditions similar to those described in the
present Section, and the prisoners therein shall have the same
treatment as in other camps.
Pasal 24
Kamp-kamp tawanan transit atau saringan yang bersifat
tetap harus dilengkapi menurut syarat-syarat yang sama dengan
syarat-syarat yang ditetapkan dalam seksi ini, dan tawanan yang
berada di dalamnya harus mendapatkan perlakuan yang sama
dengan perlakuan di kamp-kamp tawanan lainnya.
c) Tempat Tinggal, Makanan, dan Pakaian Tawanan Perang.
Selama masa penawanan, semua kebutuhan para tawanan
perang disediakan dengan sebaik mungkin untuk menjaga kondisi
mereka. Semua kebutuhan ini diatur dalam Di dalam Pasal 7
Bagian II Annex Konvensi IV Den Haag 1907 juga diatur
mengenai tempat tinggal, makanan, dan pakaian para tawanan
perang.Isi dari pasal tersebut adalah sebagai berikut.
Art. 7.
The Government into whose hands prisoners of war have
fallen is charged with their maintenance. In the absence of a
special agreement between the belligerents, prisoners of war
shall be treated as regards board, lodging, and clothing on the
same footing as the troops of the Government who captured them.
Pasal 7
Pemerintah yang bertanggung jawab atas pemeliharaan
tawanan perang harus memperlakukan belligerents, tawanan
perang sama dengan pasukan Negara Penahan dalam hal tempat
tinggal, pakaian, dan pakaian.
Tempat Tinggal, Makanan, dan Pakaian Tawanan Perang
juga diatur didalam pasal 25-28 Konvensi Jenewa III 1949 isi
pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut.
Article 25
Prisoners of war shall be quartered under conditions as
favourable as those for the forces of the Detaining Power who are
billeted in the same area. The said conditions shall make
allowance for the habits and customs of the prisoners and shall in
no case be prejudicial to their health.
The foregoing provisions shall apply in particular to the
dormitories of prisoners of war as regards both total surface and
minimum cubic space, and the general installations, bedding and
blankets.
The premises provided for the use of prisoners of war
individually or collectively, shall be entirely protected from
dampness and adequately heated and lighted, in particular
between dusk and lights out. All precautions must be taken
against the danger of fire.
In any camps in which women prisoners of war, as well as
men, are accommodated, separate dormitories shall be provided
for them.
Pasal 25
Tawanan perang harus diberi tempat tinggal menurut
syarat-syarat sebaik syarat-syarat yang diberikan kepada tentara
Negara Penahan yang ditempatkan di daerah yang sama. Syaratsyarat tersebut harus memperhatikan adat-istiadat dan kebiasaankebiasaan tawanan dan sekali-kali tidak boleh merugikan
kesehatan mereka.
Ketentuan-ketentuan di atas terutama akan berlaku bagi
asrama-asrama tawanan perang, mengenai luas keseluruhan dan
daya tampung minimum (cubic space), instalasi umum, tempat
tidur, dan perlengkapannya serta selimut.
Tempat-tempat yang disediakan untuk dipakai oleh
tawanan perang secara perseorangan atau kolektif, harus
dilindungi dari seluruhnya dari keadaan lembab yang terutama
antara senja dan malam hari diberi penghangat dan penerangan
yang memadai.
Semua tindakan-tindakan pencegahan harus diambil
terhadap bahaya kebakaran.
Pada setiap kamp tawanan yang menampung tawanan
perang wanita dan laki-laki, harus disediakan bagi mereka,
asrama yang terpisah.
Article 26
The basic daily food rations shall be sufficient in quantity,
quality and variety to keep prisoners of war in good health and to
prevent loss of weight or the development of nutritional
deficiencies. Account shall also be taken of the habitual diet of the
prisoners.
The Detaining Power shall supply prisoners of war who
work with such additional rations as are necessary for the labour
on which they are employed.
Sufficient drinking water shall be supplied to prisoners of
war. The use of tobacco shall be permitted.
Prisoners of war shall, as far as possible, be associated
with the preparation of their meals; they may be employed for
that purpose in the kitchens. Furthermore, they shall be given the
means of preparing, themselves, the additional food in their
possession.
Adequate premises shall be provided for messing.
Collective disciplinary measures affecting food are
prohibited.
Pasal 26
Rangsum makanan harian pokok harus cukup berkualitas,
kuantitas, dan macam-macamnya untuk memelihara kesehatan
yang baik dari tawanan perang dan untuk mencegah berkurangnya
berat badan atau timbulnya penyakit kekurangan makanan. Juga
harus diperhatikan susunan makanan menurut kebiasaan tawanan
perang.
Negara Penahan harus memberikan kepada tawanan
perang yang bekerja, rangsum tambahan yang diperlukan untuk
pekerjaan yang mereka lakukan.
Air minum yang cukup harus diberikan kepada tawanan
perang. Pemakaian tembakau harus diizinkan.
Tawanan perang sedapat mungkin akan diikut sertakan
dalam pengolahan makanan mereka; untuk maksud itu mereka
dapat dipekerjakan di dapur.
Selanjutnya mereka harus diberikan alat-alat untuk
menyiapkan sendiri makanan tambahan yang ada pada mereka.
Tempat-tempat yang memadai harus disediakan untuk
ruang makan, tawanan perang sedapat mungkin diikut sertakan
dalam pengolahan makanan mereka, untuk maksud itu mereka
dapat dipekerjakan di dapur.
Tindakan-tindakan disiplin yang bersifat kolektif yang
berkaitan dengan makanan dilarang.
Article 27
Clothing, underwear and footwear shall be supplied to
prisoners of war in sufficient quantities by the Detaining Power,
which shall make allowance for the climate of the region where
the prisoners are detained. Uniforms of enemy armed forces
captured by the Detaining Power should, if suitable for the
climate, be made available to clothe prisoners of war.
The regular replacement and repair of the above articles
shall be assured by the Detaining Power. In addition, prisoners of
war who work shall receive appropriate clothing, wherever the
nature of the work demands.
Pasal 27
Pakaian, pakaian dalam dan sepatu harus diberikan kepada
tawanan perang dalam jumlah yang cukup oleh Negara Penahan,
dengan mengingat iklim daerah di mana mereka ditempatkan.
Pakaian seragam angkatan perang musuh yang jatuh ke dalam
Negara Penahan harus digunakan untuk pakaian bagi tawanan
perang, apabila pakaian itu sesuai dengan iklim.
Negara Penahan harus menjamin diadaknnya penggantian
dan pembetulan barang-barang di atas seacara teratur, selanjutnya
tawanan perang yang bekerja harus menerima pakaian yang cocok
apabila sifat pekerjaan tersebut memerlukannya.
d) Kesehatan dan Pengamatan Kesehatan
Kesehatan merupakan factor utama yang perlu dijaga
dalam masa penawanan, dalam Konvensi ini, masalah kesehatan
diatur dalam Pasal 29-32 Konvensi Jenewa III 1949. Isi dari
pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut.
Article 29
The Detaining Power shall be bound to take all
sanitary measures necessary to ensure the cleanliness and
healthfulness of camps and to prevent epidemics.
Prisoners of war shall have for their use, day and
night, conveniences which conform to the rules of hygiene and
are maintained in a constant state of cleanliness. In any camps in
which women prisoners of war are accommodated, separate
conveniences shall be provided for them.
Also, apart from the baths and showers with which the
camps shall be furnished, prisoners of war shall be provided with
sufficient water and soap for their personal toilet and for washing
their personal laundry; the necessary installations, facilities and
time shall be granted them for that purpose.
Pasal 29
Negara penahan harus mengawasi dan mengambil
tindakan kesehatan yang diperlukan untuk menjamin kebersihan
dan kesehatan tempat tawanan dan untuk mencegah wabah-wabah
menular.
Bagi tawanan perang harus disediakan untuk dipakai
siang dan malam tempat-tempat pemandian dan kakus yang
memenuhi syarat-syarat kesehatan dan yang terus menerus
dipelihara dalam keadaan bersih. Di tiap kamp tawanan dimana
tawanan perang wanita ditampung, harus disediakan bagi mereka
tempat pemandian dan kakus yang terpisah.
Selanjutnya di samping tempat-tempat mandi yang
tersedia dalam kamp tawanan, tawanan perang harus juga
diberikan air dan sabun yang cukup untuk keperluan kamar kecil
dan untuk mencuci pakaian pribadinya. Bagi mereka harus
disediakan instalasi-instalasi, fasilitas-fasilitas dan waktu yang
diperlukan untuk maksud itu.
Article 30
Every camp shall have an adequate infirmary where
prisoners of war may have the attention they require, as well as
appropriate diet. Isolation wards shall, if necessary, be set aside
for cases of contagious or mental disease.
Prisoners of war suffering from serious disease, or
whose condition necessitates special treatment, a surgical
operation or hospital care, must be admitted to any military or
civilian medical unit where such treatment can be given, even if
their repatriation is contemplated in the near future. Special
facilities shall be afforded for the care to be given to the disabled,
in particular to the blind, and for their rehabilitation, pending
repatriation.
Prisoners of war shall have the attention, preferably, of
medical personnel of the Power on which they depend and, if
possible, of their nationality.
Prisoners of war may not be prevented from presenting
themselves to the medical authorities for examination. The
detaining authorities shall, upon request, issue to every prisoner
who has undergone treatment, an official certificate indicating
the nature of his illness or injury, and the duration and kind of
treatment received. A duplicate of this certificate shall be
forwarded to the Central Prisoners of War Agency.
The costs of treatment, including those of any
apparatus necessary for the maintenance of prisoners of war in
good health, particularly dentures and other artificial appliances,
and spectacles, shall be borne by the Detaining Power.
Pasal 30
Setiap kamp tawanan harus mempunyai rumah sakit
yang cukup memenuhi syarat di mana tawanan perang dapat
memperoleh pengamatan kesehatan yang mereka perlukan,
begitupun dengan makanan yang tepat. Ruangan-ruangan yang
terpisah harus disediakan apabila untuk kasus-kasus penyakit
menular atau penyakit jiwa.
Tawanan perang yang menderita penyakit berat atau
yang keadaannya memerlukan pengobatan khusus, pembedahan
atau perawatan di rumah sakit, harus diperkenankan memasuki
setiap kesatuan kesehatan militer atau sipil di mana pengobatan
tersebut
dapat
diberikan,
sekalipun
mereka
itu
sedang
dipertimbangkan untuk dipulangkan dalam waktu yang dekat.
Fasilitas
khusus
harus
disediakan
untuk
perawatan
dan
rehabilitasi yang akan diberikan kepada orang-orang yang cacat,
terutama orang-orang buta, selama menunggu pengambilan.
Tawanan perang harus mendapatkan pengamatan
kesehatan sebaik-baiknya dari anggota dians kesehatan Negara
yang mereka taati, dan apabila mungkin dari orang yang
sebangsa.
Tawanan perang tidak boleh dicegah untuk meminta
kepada petugas–petugas kesehatan agar diperiksa. Apabila
diminta, pejabat-pejabat negara penahan harus memberikan
kepada setiap tawanan yang telah mendapatkan pengobatan atau
perawatan, suatu sertifikat resmi yang menunjukkan sifat penyakit
atau lukanya, dan lamanya serta macam pengobatan atau
perawatan yang telah diperoleh. Salinan dari sertifikat ini harus
dikirim kepada Kantor Pusat Tawanan Perang.
Biaya pengobatan akan dipikul oleh Negara
Penahan, termasuk biaya setiap alat yang diperlukan untuk
memelihara tawanan perang dalam keadaan kesehatan yang baik,
terutama gigi buatan dan alat-alat buatan lain serta kacamata.
Article 31
Medical inspections of prisoners of war shall be held at
least once a month. They shall include the checking and the
recording of the weight of each prisoner of war. Their purpose
shall be, in particular, to supervise the general state of health,
nutrition and cleanliness of prisoners and to detect contagious
diseases, especially tuberculosis, malaria and venereal disease.
For this purpose the most efficient methods available shall be
employed, e.g. periodic mass miniature radiography for the early
detection of tuberculosis.
Pasal 31
Pemeriksaan kesehatan tawanan perang harus diadakan
sekurang-kurangnya sekali sebulan. Pemeriksaan itu akan
meliputi penelitian dan pencatatan berat badan setiap tawanan
perang. Maksud pemeriksaan-pemeriksaan tersebut terutama
untuk mengawasi keadaan kesehatan secara umum, pemberian
makanan dan kebersihan tawanan perang, serta untuk menemukan
penyakit-penyakit menular. Teristimewa penyakit tuberculosis,
malaria, dan penyakit kelamin.
Untuk maksud ini akan dipergunakan metode-metode
yang paling bermanfaat yang tersedia, misalnya radiografi
miniatur massal untuk menemukan tuberculosis secara dini
Article 32
Prisoners of war who, though not attached to the
medical service of their armed forces, are physicians, surgeons,
dentists, nurses or medical orderlies, may be required by the
Detaining Power to exercise their medical functions in the
interests of prisoners of war dependent on the same Power. In
that case they shall continue to be prisoners of war, but shall
receive the same treatment as corresponding medical personnel
retained by the Detaining Power. They shall be exempted from
any other work under Article 49
Pasal 32
Tawanan perang yang berprofesi sebagai dokter, ahli
bedah, dokter gigi, perawat atau pembantu tenaga medis, dapat
diwajibkan oleh Negara Penahan untuk menjalankan fungsi
mereka dibidang kesehatan mereka bagi kepentingan tawanan
perang yang menaati Negara yang sama. Walaupun mereka tidak
tergolong dalam dinas kesehatan angkatan perangnya. Dalam hal
itu mereka tetap merupakan tawanan perang, tetapi mereka akan
menerima perlakuan yang sama dengan perlakuan yang diterima
anggota dinas kesehatan yang ditahan oleh Negara Penahan.
Mereka harus dibebaskan dari pekerjaan lainnya sesuai dengan
pasal 49.
Selain di dalam Konvensi III Jenewa 1949, pengaturan
menngenai kesehatan tawanan perang juga di atur di dalam
Protokol Tambahan I yang terdapat pada :
Article 11
Protection of persons
1.
The physical or mental health and integrity of persons who
are in the power of the adverse Party or who are interned,
detained or otherwise deprived of liberty as a result of a
situation referred to in Article 1 shall not be endangered by
any unjustified act or omission. Accordingly, it is prohibited
to subject the persons described in this Article to any medical
procedure which is not indicated by the state of health of the
person concerned and which is not consistent with generally
accepted medical standards which would be applied under
similar medical circumstances to persons who are nationals
of the Party conducting the procedure and who are in no way
deprived of liberty.
3.
Exceptions to the prohibition in paragraph 2 (c) may be
made only in the case of donations of blood for transfusion or
of skin for grafting, provided that they are given voluntarily
and without any coercion or inducement, and then only for
therapeutic purposes, under conditions consistent with
generally accepted medical standards and controls designed
for the benefit of both the donor and the recipient.
4.
Any wilful act or omission which seriously endangers the
physical or mental health or integrity of any person who is in
the power of a Party other than the one on which he depends
and which either violates any of the prohibitions in
paragraphs 1 and 2 or fails to comply with the requirements
of paragraph 3 shall be a grave breach of this Protocol.
5.
The persons described in paragraph 1 have the right to
refuse any surgical operation. In case of refusal, medical
personnel shall endeavour to obtain a written statement to
that effect, signed or acknowledged by the patient.
6.
Each Party to the conflict shall keep a medical record for
every donation of blood for transfusion or skin for grafting by
persons referred to in paragraph 1, if that donation is made
under the responsibility of that Party. In addition, each Party
to the conflict shall endeavour to keep a record of all medical
procedures undertaken with respect to any person who is
interned, detained or otherwise deprived of liberty as a result
of a situation referred to in Article 1. These records shall be
available at all times for inspection by the Protecting Power.
Pasal 11
1.
Kesehatan dan keutuhan jasmani atau rokhani dari orangorang yang berada di bawah kekuasaan Pihak-pihak lawan
atau yang diinternir, ditahan tidak boleh dibahayakan.
3. Pengecualian-pengecualian hanya dalam hal pemberian
sumbangan darah untuk transfusi atau sumbangan kulit untuk
mengenten, asalkan saja diberikan secara sukarela dan tanpa
suatu paksaan apapun atau tipu muslihat, dan hanya untuk
tujuan pengobatan penyakit, sesuai dengan ukuran-ukuran
pengobatan dan pengawasan kesehatan yang diakui secara
umum, yang bertujuan bagi kemanfaatan pemberi sumbangan
maupun penerima sumbangan.
4.
Setiap tindakan sengaja atau sengaja yang membahayakan
kesehatan jasmani atau rokhani merupakan pelanggaran
terhadap Protokol ini.
5.
Orang-orang yang disebut dalam ayat (1) berhak menolak
suatu operasi pembedahan. Dalam hal penolakan ini, tenaga
dinas
kesehatan
harus
berusaha
mendapatkan
sebuat
pernyataan tertulis yang ditanda tangani atau diakui oleh
pasien.
6.
Setiap pihak dalam sengketa harus memiliki suatu catatan
kesehatan untuk setiap sumbangan darah bagi transfusi atau
sumbangan kulit bagi pengentenan.
e) Anggota Dinas Kesehatan dan Rokhaniawan yang Ditahan Untuk
Membantu Tawanan Perang
Peraturan Anggota Dinas Kesehatan dan Rokhaniawan
yang Ditahan diatur dalam Pasal 33 saja.isinya yaitu:
Article 33
Members of the medical personnel and chaplains while
retained by the Detaining Power with a view to assisting
prisoners of war, shall not be considered as prisoners of war.
They shall, however, receive as a minimum the benefits and
protection of the present Convention, and shall also be granted
all facilities necessary to provide for the medical care of, and
religious inistration to, prisoners of war.
They shall continue to exercise their medical and
spiritual functions for the benefit of prisoners of war, preferably
those belonging to the armed forces upon which they depend,
within the scope of the military laws and regulations of the
Detaining Power and under the control of its competent services,
in accordance with their professional etiquette. They shall also
benefit by the following facilities in the exercise of their medical
or spiritual functions:
(a) They shall be authorized to visit periodically prisoners of war
situated in working detachments or in hospitals outside the
camp. For this purpose, the Detaining Power shall place at
their disposal the necessary means of transport.
(b) The senior medical officer in each camp shall be responsible
to the camp military authorities for everything connected
with the activities of retained medical personnel. For this
purpose, Parties to the conflict shall agree at the outbreak of
hostilities on the subject of the corresponding ranks of the
medical personnel, including that of societies mentioned in
Article 26 of the Geneva Convention for the Amelioration of
the Condition of the Wounded and Sick in Armed Forces in
the Field of August 12, 1949. This senior medical officer, as
well as chaplains, shall have the right to deal with the
competent authorities of the camp on all questions relating to
their duties. Such authorities shall afford them all necessary
facilities for correspondence relating to these questions.
(c) Although they shall be subject to the internal discipline of the
camp in which they are retained, such personnel may not be
compelled to carry out any work other than that concerned
with their medical or religious duties.
During hostilities, the Parties to the conflict shall agree
concerning the possible relief of retained personnel and shall
settle the procedure to be followed.
None of the preceding provisions shall relieve the
Detaining Power of its obligations with regard to prisoners of
war from the medical or spiritual point of view.
Pasal 33
Anggota dinas kesehatan dan para rokhaniawan, selama
ditahan oleh negara penahan dengan maksud untuk membantu
tawanan perang tidak akan dianggap sebagai tawanan perang.
Tetapi mereka paling sedikit harus menerima manfaaat dan
pelindungan dari Konvensi ini, dan harus juga diberikan semua
fasilitas yang diperlukan untuk perawatan kesehatan dan bantuan
keagamaan kepada tawanan perang.
Mereka harus terus menjalankan fungsi kesehatan dan
kerohanian
mereka
untuk
kepentingan
tawanan
perang,
diutamakan tawanan yang tergolong dalam angkatan perang yang
mereka taati, dalam lingkup undang-undang dan peraturanperaturan Negara penahan dan di bawah pengawasan dari dinasdinas yang berwenang, sesuai dengan etika profesi mereka.
Dalam menjalankan fungsi-fungsi kesehatan dan kerohanian
mereka, mereka juga harsu mendapatkan manfaat fasilitasfasilitas di bawah ini :
a) Mereka harus diperkenankan mengunjungi secara berkala
tawanan perang yang berada dalam detasemen-detasemen
kerja atau rumah sakit di luar tempat tawanan mereka. Untuk
maksud ini, negara penahan harus menyediakan alat-alat
pengangkutan yang diperlukan.
b) Perwira kesehatan tertua dalam setiap kamp tawanan perang
akan bertanggung jawab kepada penguasa-penguasa militer
kamp tawanan, atas segala sesuatu yang berhubungan dengan
kegiatan anggota dinas kesehatan yang ditawan. Untuk
maksud ini maka pada saat pecahnya permusuhan, pihakpihak dalam bersengketa harus bermufakaat mengenai
persamaan tingkat pangkat-pangkat dari anggota dinas
kesehatan, termasuk perhimpunan yang dibuat daalam pasal
26 dari Konvensi Jenewa untuk perbaikan keadaan yang luka
dan sakit dalam angkatan perang di medan pertempuran di
darat tanggal 12 agustus 1949. perwira keshatan tertua ini,
begitu pula para rohaniawan berhak untuk berhubungan
dengan penguasa-penguasa kamp tawanan yang berwenang,
mengenai semua soal yang berkenaan dengan tugas mereka.
Penguasa-penguasa
tersebut
harus
memberikan
semua
fasilitas yang diperlukan untuk melakukan surat-menyurat
mengenai soal itu.
c)
Walaupun mereka harus tunduk pada disiplin intern dari
tempat tawanan di mana mereka ditahan, mereka tidak
dipaksa
untuk
menjalankan
pekerjaan
apapun
selain
pekerjaan yang berhubungan dengan tugas kesehatan dan
keagamaan mereka.
Selama berlangsungnya permusuhan, pihak-pihak dalam
sengketa harus mengadakan persetujuan mengenai kemungkinan
pembebasan anggota dinas kesehatan yang ditahan dan harus
menetapkan prosedur yang akan diturut.
Tidak ada dari ketentuan terdahulu membebaskan
Negara Penahan dari kewajiban-keajibannya terhadap tawanan
perang dipandang dari sudut kesehatan atau kerohanian.
f) Kegiatan Keagamaan, Intelektual dan Jasmani
Kegiatan keagamaan ini diatur dalam pasal 34-38
Konvensi Jenewa III 1949, Isi dari pasal-pasal tersebut adalah
sebagai berikut.
Article 34
Prisoners of war shall enjoy complete latitude in the
exercise of their religious duties, including attendance at the
service of their faith, on condition that they comply with the
disciplinary routine prescribed by the military authorities.
Adequate premises shall be provided where religious services
may be held.
Pasal 34
Tawanan
menjalankan
perang
ibadah
harus
selalu
menurut
diberi
agama
izin
untuk
masing-masing.
Mengunjungi upacara keagamaan mereka, dengan syarat bahwa
mereka memenuhi peraturan disiplin yang ditentukan oleh
penguasa-penguasa militer. Tempat-tempat yang memadai harus
disediakan untuk melangsungkan upacara-upacara keagamaan.
Article 36
Prisoners of war who are ministers of religion, without
having officiated as chaplains to their own forces, shall be at
liberty, whatever their denomination, to minister freely to the
members of their community. For this purpose, they shall receive
the same treatment as the chaplains retained by the Detaining
Power. They shall not be obliged to do any other work.
Pasal 36
Tawanan
perang
yang
menjadi
petugas-petugas
keagamaan, tanpa menjadi rokhaniawan dalam tentara mereka
sendiri, harus bebas untuk memberikan bantuan kerohanian
kepada anggota-anggota mereka, apapun juga golongannya.
Mereka harus menerima perlakuan yang sama seperti perlakuan
rokhaniawan yang ditahan oleh Negara Penahan. Mereka tidak
boleh diwajibkan melakukan pekerjaan lain apapun.
Article 37
When prisoners of war have not the assistance of a
retained chaplain or of a prisoner of war minister of their faith, a
minister belonging to the prisoners' or a similar denomination, or
in his absence a qualified layman, if such a course is feasible
from a confessional point of view, shall be appointed, at the
request of the prisoners concerned, to fill this office. This
appointment, subject to the approval of the Detaining Power,
shall take place with the agreement of the community of prisoners
concerned and, wherever necessary, with the approval of the
local religious authorities of the same faith. The person thus
appointed shall comply with all regulations established by the
Detaining Power in the interests of discipline and military
security.
Pasal 37
Jika tawanan perang tidak mendapat bantuan dari seorang
rohaniawan yang ditahan atau dari seorang tawanan perang yang
menjadi petugas keagamaan mereka, maka atas permintaan
tawanan-tawanan yang bersangkutan, harus diangkat untuk
mengisi jabatan itu, seorang petugas keagamaan yang termasuk
dalam golongan kepercayaan tawanan atau golongan serupa, atau
apabila tidak ada petugas tersebut, seorang biasa yang cakap,
apabila jalan tersebut dapat ditempuh dipandang dari sudut
keagamaan. Pengangkatan ini harus mendapatkan persetujuan
Negara Penahan, harus dilakukan dengan persetujuan kelompok
tawanan yang bersangkutan, dan di mana perlu dengan
persetujuan pejabat-pejabat keagamaan setempat yang satu
kepercayaan. Orang yang diangkat tersebut harus memenuhi
semua peraturan-peraturan yang diadakan oleh negara penahan
demi kepentingan disiplin dan keamanan militer.
Article 38
While respecting the individual preferences of every
prisoner, the Detaining Power shall encourage the practice of
intellectual, educational, and recreational pursuits, sports and
games amongst prisoners, and shall take the measures necessary
to ensure the exercise thereof by providing them with adequate
premises and necessary equipment.
Prisoners shall have opportunities for taking physical
exercise, including sports and games, and for being out of doors.
Sufficient open spaces shall be provided for this purpose in all
camps.
Pasal 38
Dengan menghormati keinginan para tawanan sebagai
individu, negara penahan harus memberikan dorongan pada
kegiatan-kegiatan dalam bidang intelektual, pendidikan, hiburan
dan olahraga, dan harus mengambil tindakan-tindakan yang
diperlukan untuk menjamin dilakukannya kegiatan itu dengan
menyediakan tempat-tempat yang memadai serta perlengkapan
yang diperlukan.
Tawanan
harus
memperoleh
kesempatan
untuk
menjalankan latihan jasmani, termasuk olah raga dan permainan
bersama serta untuk bergerak di udara terbuka. Untuk maksud ini
harus disediakan lapangan terbuka yang cukup dalam untuk
semua kamp.
g) Disiplin
Tiap-tiap peraturan mengenai tindakan disiplin dalam
peraturan ini diatur dalam pasal 39 – 42 Konvensi Jenewa III
1949, yang isinya adalah sebagai berikut.
Article 39
Every prisoner of war camp shall be put under the
immediate authority of a responsible commissioned officer
belonging to the regular armed forces of the Detaining Power.
Such officer shall have in his possession a copy of the present
Convention; he shall ensure that its provisions are known to the
camp staff and the guard and shall be responsible, under the
direction of his government, for its application.
Prisoners of war, with the exception of officers, must
salute and show to all officers of the Detaining Power the
external marks of respect provided for by the regulations
applying in their own forces.
Officer prisoners of war are bound to salute only officers
of a higher rank of the Detaining Power; they must, however,
salute the camp commander regardless of his rank.
Pasal 39
Setiap kamp tawanan harus berada di bawah kekuasaan
langsung seorang perwira yang bertanggungjawab, anggota
angkatan bersenjata reguler dari Negara Penahan. Perwira
tersebut harus mempunyai sebuah naskah dari Konvensi; ia harus
harus menjamin bahwa ketentuan-ketentuan Konvensi diketahui
oleh anggota staf kamp tawanan dan penjaga serta akan
bertanggung jawab atas pelaksanaan Konvensi ini, di bawah
petunjuk pemerintahnya.
Tawanan perang, dengan pengecualian para Perwira, harus
memberi
hormat
dan
memberikan/menunjukkan
tanda
penghormatan lahir kepada semua Perwira negara penahan
sebagaimana ditentukan dalam peraturan-peraturan yang berlaku
dalam tentara mereka sendiri.
Tawanan perang yang berpangkat Perwira hanya memberi
hormat hanya kepada perwira-perwira Negara penahan yang lebih
tinggi pangkatnya; tetapi mereka harus memberi hormat kepada
komandan kamp tawanan, apapun pangkatnya.
Article 40
The wearing of badges of rank and nationality, as well as
of decorations, shall be permitted.
Pasal 40
Pemakaian tanpa pangkat dan tanda kebangsaan serta
tanda jasa harus diizinkan.
Article 41
In every camp the text of the present Convention and its
Annexes and the contents of any special agreement provided for
in Article 6, shall be posted, in the prisoners' own language, at
places where all may read them. Copies shall be supplied, on
request, to the prisoners who cannot have access to the copy
which has been posted.
Regulations, orders, notices and publications of every kind
relating to the conduct of prisoners of war shall be issued to them
in a language which they understand. Such regulations, orders
and publications shall be posted in the manner described above
and copies shall be handed to the prisoners' representative. Every
order and command addressed to prisoners of war individually
must likewise be given in a language which they understand.
Pasal 41
Teks Konvensi ini dan lampiran-lampirannya serta isi tiap
persetujuan khusus sebagimana ditentukan dalam pasal 6, harus
ditempelkan di tiap kamp tawanan pada tempat-tempat dimana
semua dapat membaca dalam bahasa tawanan itu sendiri. Salinan
naskah Konvensi serta lampiran-lampirannya, akan diberikan,
atas permintaan, kepada tawanan yang tidak berkesempatan
membaca salinan naskah yang telah ditempelkan pada tempat
pengumuman.
Peraturan-peraturan,
perintah-perintah,
peringatan-
peringatan dan pengumuman dari setiap hal yang berhubungan
dengan kelakuan tawanan perang akan dikeluarkan dengan bahasa
yang nudah dipahami oleh tawanan perang. Peraturan-peraturan,
perintah-perintah,
peringatan-peringatan
dan
pengumuman
tersebut harus ditempelkan menurut cara yang ditentukan di atas
dan salinan-salinannya harus disampaikan kepada perwakilan
tawanan perang. Setiap perintah dan komando yang diberikan
kepada tawanan perang secara perseorangan, juga harus diberikan
dalam bahasa yang mereka pahami.
Article 42
The use of weapons against prisoners of war, especially
against those who are escaping or attempting to escape, shall
constitute an extreme measure, which shall always be preceded
by warnings appropriate to the circumstances.
Pasal 42
Penggunaan senjata terhadap tawanan perang, terutama
terhadap mereka yang melarikan diri atau mencoba melarikan
diri, akan merupakan tindakan ekstrem, yang harus selalu di
dahului oleh suatu peringatan-peringatan yang sesuai dengan
keadaan.
h) Pangkat Tawanan Perang
Pangkat tawanan perang ini diatur dalam pasal 43-45
Konvensi III Jenewa 1949, yang isinya adalah sebagai berikut.
Article 43
Upon the outbreak of hostilities, the Parties to the conflict
shall communicate to one another the titles and ranks of all the
persons mentioned in Article 4 of the present Convention, in
order to ensure equality of treatment between prisoners of
equivalent rank. Titles and ranks which are subsequently created
shall form the subject of similar communications.
The Detaining Power shall recognize promotions in rank
which have been accorded to prisoners of war and which have
been duly notified by the Power on which these prisoners depend.
Pasal 43
Pada saat pecahnya permusuhan, pihak-pihak dalam
sengketa harus saling memberitahukan sebutan pangkat semua
orang-orang yang disebutkan dalam pasal 4 Konvensi Jenewa ini,
unuk menjamin persamaan perlakuan antara tawanan perang
dengan pangkat yang sederajat. Sebutan dan pangkat yang
diadakan kemudian harus juga dimasukkan dalam pemberitahuan
serupa itu.
Negara penahan harus mengakui kenaikan pangkat yang
diberikan kepada tawanan perang dan yang telah diberitahukan
dengan wajar oleh Negara yang ditaati oleh tawanan itu.
Article 44
Officers and prisoners of equivalent status shall be treated
with the regard due to their rank and age.
In order to ensure service in officers' camps, other ranks
of the same armed forces who, as far as possible, speak the same
language, shall be assigned in sufficient numbers, account being
taken of the rank of officers and prisoners of equivalent status.
Such orderlies shall not be required to perform any other work.
Supervision of the mess by the officers themselves shall be
facilitated in every way.
Pasal 44
Perwira-perwira
dan
tawanan
yang
berkedudukan
sederajat harus diperlakukan dengan kehormatan, sesuai dengan
pangkat dan usia mereka.
Untuk menjamin pelayanan dalam kamp-kamp tawanan
perwira, maka prajurit lainnya dari angkatan perang yang sama,
yang sedapat mungkin berbahasa sama, harus dipekerjakan dalam
jumlah yang cukup, dengan memperhatikan tingkat pangkat
perwira-perwira dan tawanan-tawanan dengan kedudukan yang
sederajat. Prajurit-prajurit tersebut tidak boleh diwajibkan
melakukan pekerjaan lainnya.
Segala bantuan harus diberikan untuk memugkinkan
pengawasan ruang makan oleh para perwira sendiri.
Article 45
Prisoners of war other than officers and prisoners of
equivalent status shall be treated with the regard due to their
rank and age.
Supervision of the mess by the prisoners themselves shall
be facilitated in every way.
Pasal 45
Tawanan perang selain para perwira dan tawanan dengan
kedudukan
yang
sederajat,
harus
diperlakukan
dengan
kehormatan yang sesuai dengan pangkat-pangkat dan usia
mereka.
Segala bantuan harus diberikan untuk memungkinkan
pengawasan ruang makan oleh para tawanan sendiri.
i) Tenaga Kerja Tawanan Perang
Tenaga kerja tawanan perang ini diatur dalam pasal 49 –
57 Konvensi III Jenewa 1949. Isi dari pasal-pasal terebut adalah
sebagai berikut.
Article 49
The Detaining Power may utilize the labour of prisoners
of war who are physically fit, taking into account their age, sex,
rank and physical aptitude, and with a view particularly to
maintaining them in a good state of physical and mental health.
Non-commissioned officers who are prisoners of war shall
only be required to do supervisory work. Those not so required
may ask for other suitable work which shall, so far as possible, be
found for them.
If officers or persons of equivalent status ask for suitable
work, it shall be found for them, so far as possible, but they may
in no circumstances be compelled to work.
Pasal 49
Negara Penahan dapat menggunakan tenaga kerja tawanan
perang yang sehat jasmaninya, dengan memperhatikan umur,
jenis kelamin, pangkat dan pembawaan jasmani mereka, dan
dengan maksud untuk terutama memelihara mereka dalam
keadaan kesehatan jasmani dan rohani yang baik.
Tawanan perang yang berpangkat bintara hanya boleh
diwajibkan melakukan pekerjaan pengawasan. Mereka yang tidak
diwajibkan melakukan pekerjakan tersebut dapat minta pekerjaan
lain yang sesuai, yang sedapat mungkin harus diadakan bagi
mereka.
Apabila perwira atau orang-orang dengan kedudukan
sederajat minta pekerjaan yang sesuai, maka pekerjaan itu sedapat
mungkin harus diadakan bagi mereka, tetapi mereka sekali-kali
tidak boleh dipaksa untuk bekerja.
Article 50
Besides work connected with camp administration,
installation or maintenance, prisoners of war may be compelled
to do only such work as is included in the following classes:
(a) Agriculture;
(b) Industries connected with the production or the extraction of
raw materials, and manufacturing industries, with the
exception
of
metallurgical,
machinery
and
chemical
industries; public works and building operations which have
no military character or purpose;
(c) Transport and handling of stores which are not military in
character or purpose;
(d) Commercial business, and arts and crafts;
(e) Domestic service;
(f) Public utility services having no military character or
purpose.
Should the above provisions be infringed, prisoners of war
shall be allowed to exercise their right of complaint, in
conformity with Article 78.
Pasal 50
Di
samping
pekerjaan
yang
berhubungan
dengan
administrasi kamp tawanan, instalasi atau pemeliharaan kamp
tawanan, tawanan perang hanya dapat dipaksa melakukan
pekerjaan yang termasuk golongan-golongan dibawah ini :
a. Peranian;
b. Industri yang berhubungan dengan produksi atau pengambilan
bahan-bahan baku, dan industri-industri pabrik dengan
perkecualian industri logam,mesin da kimia;
Pekerjaan-pekerjaan biasa dan usaha-usaha bangunan yang
tidak mempunyai sifat dan tujuan militer;
c. Pengangkutan dan pengurusan gudang-gudang yang tidak
mempunyai sifat atau tujuan militer;
d. Urusan dagang dan pertukangan serta kerajinan tangan;
e. Pelayanan;
f. Dinas-dinas umum yang tidak bersifat atau bertujuan militer;
Bilamana ketentuan-ketentuan tersebut di atas dilanggar,
maka tawanan perang harus diperkenankan melaksanakan hak
mengadu mereka, sesuai dengan pasal 78.
Article 51
Prisoners of war must be granted suitable working
conditions, especially as regards accommodation, food, clothing
and equipment; such conditions shall not be inferior to those
enjoyed by nationals of the Detaining Power employed in similar
work; account shall also be taken of climatic conditions.
The Detaining Power, in utilizing the labour of prisoners
of war, shall ensure that in areas in which prisoners are
employed, the national legislation concerning the protection of
labour, and, more particularly, the regulations for the safety of
workers, are duly applied.
Prisoners of war shall receive training and be provided
with the means of protection suitable to the work they will have to
do and similar to those accorded to the nationals of the Detaining
Power. Subject to the provisions of Article 52, prisoners may be
submitted to the normal risks run by these civilian workers.
Conditions of labour shall in no case be rendered more
arduous by disciplinary measures.
Pasal 51
Tawanan perang harus diberikan kondisi kerja yang
pantas, terutama meneganai tempat tinggal, makanan, pakaian dan
perlengkapan;kondisi itu tidak akan lebih daripada kondisi yang
diberikan
kepada
warga
negara
Negara
Penahan
yang
dipekerjakan dalam pekerjaan serupa;keadaan iklim juga harus
diperhatikan.
Negara penahan dalam menggunakan tenagakerja tawanan
perang harus menjamin bahwa di daerah-daerah dimana tawanan
itu
dipekerjakan,
perundang-undangan
nasional
mengenai
keselamtan para pekerja, dilaksanakan dengan sewajarnya.
Tawanan perang harus mendapatkan latihan dan harus
diberikan alat-alat perlindungan yang sesuai dengan pekerjaan
yang akan mereka lakukan, serupa dengan latihan dan alat-alat
pelindung yang diberikan kepada warga negara Negara Penahan.
Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 52 tawanan dapat
dihadapkan pada resiko biasa yang dihadapi oleh pekerja-pekerja
sipil.
Kondisi kerja tidak boleh dibuat lebih berat dengan
tindakan-tindakan disiplin
Article 52
Unless he be a volunteer, no prisoner of war may be
employed on labour which is of an unhealthy or dangerous
nature.
No prisoner of war shall be assigned to labour which
would be looked upon as humiliating for a member of the
Detaining Power's own forces.
The removal of mines or similar devices shall be
considered as dangerous labour.
Pasal 52
Seorang tawanan tidak boleh dipekerjakan pada pekerjaan
yang bersifat tidak sehat atau berbahaya, kecuali apabila ia
seorang sukarelawan.
Seorang
tawanan
perang
tidak
dapat
ditugaskan
melakukan pekerjaan yang akan dipandang sebagai merendahkan
bagi seorang anggota tentara Negara Penahan itu sendiri.
Pengambilan ranjau-ranjau atau alat-alat sejenisnya harus
dianggap sebagai pekerjaan berbahaya.
Article 53
The duration of the daily labour of prisoners of war,
including the time of the journey to and fro, shall not be
excessive, and must in no case exceed that permitted for civilian
workers in the district, who are nationals of the Detaining Power
and employed on the same work.
Prisoners of war must be allowed, in the middle of the
day's work, a rest of not less than one hour. This rest will be the
same as that to which workers of the Detaining Power are
entitled, if the latter is of longer duration. They shall be allowed
in addition a rest of twenty-four consecutive hours every week,
preferably on Sunday or the day of rest in their country of origin.
Furthermore, every prisoner who has worked for one year shall
be granted a rest of eight consecutive days, during which his
working pay shall be paid him.
If methods of labour such as piece-work are employed, the
length of the working period shall not be rendered excessive
thereby.
Pasal 53
Lamanya pekerjaan sehari-hari tawanan perang, termasuk
waktu perjalanan pulang-pergi, tidak boleh berlebihan;dan tidak
boleh melebihi waktu kerja yang diizinkan dalam distrik itu bagi
pekerja-pekerja sipil yang menjadi warga negara Negara Penahan
dan dipekerjakan pada pekerjaan yang sama.
Tawanan perang harus diberikan waktu istirahat yang
tidak kurang dari satu jam dalam pertengahan pekerjaan seharihari itu. Waktu istirahat ini harus sama seperti istirahat yang
diperoleh pekerja-pekerja Negara Penahan, apabila waktu istirahat
yang tersebut kemudian itu lebih lama. Mereka harus diberikan
sebagai tambahan waktu istirahat duapuluh empat jam berturut-
turut setiap minggu, sebaiknya padahari minggu, atau pada hari
istirahat yang berlaku di negara asal mereka.
Selanjutnya setiap tawanan perang yang telah bekerja
selama satu tahun akan diberikan istirahat delapan hari berturutturut dan selama itu upah kerja mereka harus dibayar.
Apabila dipergunakan cara kerja seperti pekerjaan
borongan, maka lama waktu bekerja tidak boleh menjadi
berlebihan terlalu jauh karenanya.
Article 54
The working pay due to prisoners of war shall be fixed in
accordance with the provisions of Article 62 of the present
Convention.
Prisoners of war who sustain accidents in connection with
work, or who contract a disease in the course, or in consequence
of their work, shall receive all the care their condition may
require. The Detaining Power shall furthermore deliver to such
prisoners of war a medical certificate enabling them to submit
their claims to the Power on which they depend, and shall send a
duplicate to the Central Prisoners of War Agency provided for in
Article 123.
Pasal 54
Upah kerja yang dibayarkan kepada tawanan perang harus
ditetapkan sesuai dengan ketentuan Pasal 62 dari Konvensi ini.
Tawanan perang yang mengalami kecelakaan yang
berhubungan dengan pekerjaan, atau yang mendapat penyakit
selama masa kerja atau sebagai akibat pekerjaan mereka, harus
menerima segala perawatan yang dibutuhkan keadaan kesehatan
mereka. Negara Penahan selanjutnya harus memberikan kepada
tawanan perang tersebut sebuah sertifikat kesehatan yang
memungkinkan mereka mengajukan tuntutan-tuntutan mereka
kepada negara yang mereka taati, dan salinan kepada pusat
perwakilan tawanan perang yang diatur Pasal 123.
Article 55
The fitness of prisoners of war for work shall be
periodically verified by medical examinations at least once a
month. The examinations shall have particular regard to the
nature of the work which prisoners of war are required to do.
If any prisoner of war considers himself incapable of
working, he shall be permitted to appear before the medical
authorities of his camp. Physicians or surgeons may recommend
that the prisoners who are, in their opinion, unfit for work, be
exempted therefrom.
Pasal 55
Kemampuan
tawanan
perang
untuk
bekerja
harus
diperiksa secara berkala dengan jalan pemeriksaan kesehatan
paling sedikit sekali sebulan. Pemeriksaan tersebut terutama akan
memperhatikan sifat pekerjaan yang harus dilakukan oleh
tawanan perang.
Apabila terdapat tawanan perang yang menganggap
dirinya tidak mampu bekerja, maka orang tersebut
harus
diizinkan menghadap pejabat kesehatan dari tempat tawanannya.
Dokter atau ahli bedah dapat menasehatkan supaya tawanan
perang yang menurut pendapat mereka tidak sanggup bekerja,
dibebaskan dari pekerjaan.
Article 57
The treatment of prisoners of war who work for private
persons, even if the latter are responsible for guarding and
protecting them, shall not be inferior to that which is provided for
by the present Convention. The Detaining Power, the military
authorities and the commander of the camp to which such
prisoners
belong
shall
be
entirely
responsible
for
the
maintenance, care, treatment, and payment of the working pay of
such prisoners of war.
Such prisoners of war shall have the right to remain in
communication with the prisoners' representatives in the camps
on which they depend.
Pasal 57
Perlakuan tawanan perang yang bekerja untuk orangorang swasta sekalipun orang-orang tersebut bertabggung jawab
atas penjagaan dan perlindungan mereka, tidak boleh kurang baik
daripada perlakuan yang telah ditentukan oleh Konvensi ini.
Negara Penahan, penguasa-penguasa militer dan komandan kamp
tawanan
perang yang bertanggung jawab sepenuhnya atas
pemeliharaan, perawatan, pengobatan dan pembayaran upah kerja
tawanan perang tersebut. Tawanan-tawanan perang tersebut
berhak untuk tetap berhubungan dengan perwakilan tawanan di
dalam kamp tawanan dimana mereka berada.
j) Wakil Tawanan Perang
Wakil tawanan perang ini diatur dalam Pasal 79-81
Konvensi III Jenewa 1949, isinya adalah sebagai berikut.
Article 79
In all places where there are prisoners of war, except in
those where there are officers, the prisoners shall freely elect by
secret ballot, every six months, and also in case of vacancies,
prisoners' representatives entrusted with representing them
before the military authorities, the Protecting Powers, the
International Committee of the Red Cross and any other
organization
which
may
assist
them.
These
prisoners'
representatives shall be eligible for re-election.
In camps for officers and persons of equivalent status or in
mixed camps, the senior officer among the prisoners of war shall
be recognized as the camp prisoners' representative. In camps for
officers, he shall be assisted by one or more advisers chosen by
the officers; in mixed camps, his assistants shall be chosen from
among the prisoners of war who are not officers and shall be
elected by them.
Officer prisoners of war of the same nationality shall be
stationed in labour camps for prisoners of war, for the purpose of
carrying out the camp administration duties for which the
prisoners of war are responsible. These officers may be elected as
prisoners' representatives under the first paragraph of this
Article. In such a case the assistants to the prisoners'
representatives shall be chosen from among those prisoners of
war who are not officers.
Every representative elected must be approved by the
Detaining Power before he has the right to commence his duties.
Where the Detaining Power refuses to approve a prisoner of war
elected by his fellow prisoners of war, it must inform the
Protecting Power of the reason for such refusal.
In all cases the prisoners' representative must have the
same nationality, language and customs as the prisoners of war
whom he represents. Thus, prisoners of war distributed in
different sections of a camp, according to their nationality,
language or customs, shall have for each section their own
prisoners' representative, in accordance with the foregoing
paragraphs.
Pasal 79
Di semua tempat yang ada tawanan perang, kecuali
apabila ada terdapat perwira-perwira, tawanan bebas untuk
memilih secara rahasia setiap enam bulan, dan juga waktu libur,
wakil-wakil tawanan yang diberi tugas mewakili mereka
dihadapan penguasa militer, Negara pelindung, Komite Palang
Merah Internasional dan tiap organisasi lainnya yang mungkin
membantu mereka. Wakil-wakil tawanan ini dapat dipilih kembali
pada pemilihan berikutnya.
Di kamp tawanan perwira dan orang yang kedudukannya
sederajat atau kamp tawanan campuran, perwira yang tertinggi
pangkatnya di antara para tawanan perang dan dianggap sebagai
wakil tawanan. Di kamp tawanan perwira, wakil tawanan akan
dibantu oleh seorang atau lebih penasehat yang dipilih oleh para
perwira; di kamp tawanan campuran, pembantu-pembantunya
akan diambil di antara tawanan perang yang bukan perwira dan
akan dipilih oleh mereka.
Tawanan perang perwira yang berkebangsaan sama akan
ditempatkan
di
tempat
kerja
tawanan
perang
untuk
menyelenggarakan tugas administrasi kamp tawanan yang
menjadi tanggung jawab tawanan perang. Perwira-perwira ini
boleh dipilih sebagai wakil tawanan menurut paradrap pertama
dari Pasal ini. Dalam hal demikian maka pembantu-pembantu
wakil tawanan akan dipilih dari antara tawanan perang yang
bukan perwira.
Setiap wakil yang terpilih harus disetujui oleh Negara
Penahan sebelum ia berhak memulai kewajiban-kewajibannya.
Jika Negara Penahan menolak untuk menyetujui seorang tawanan
perang yang terpilih oleh kawan-kawan sesama tawanan perang,
Negara Penahan harus memberitahukan alasan-alasan penolakan
itu kepada Negara Pelindung.
Seorang wakil tawanan perang selalu harus mempunyai
kebangsaan bahasa dan adat-istiadat yang sama dengan tawanan
perang yang diwakilinya. Jadi para tawanan perang yang
ditempatkan di pelbagai bagian dari kamp tawanan, menurut
kebangsaan, bahasa atau adat-istiadat mereka akan mempunyai
wakil tawanan sendiri-sendiri untuk setiap bagian, sesuai dengan
paragrap-paragrap di atas.
Article 80
Prisoners' representatives shall further the physical,
spiritual and intellectual well-being of prisoners of war.
In particular, where the prisoners decide to organize
amongst themselves a system of mutual assistance, this
organization will be within the province of the prisoners'
representative, in addition to the special duties entrusted to him
by other provisions of the present Convention.
Prisoners' representatives shall not be held responsible,
simply by reason of their duties, for any offences committed by
prisoners of war.
Pasal 80
Para perwakilan tawanan perang harus memajukan
kesejahteraan jasmani, rohani, dan intelektual tawanan perang.
Terutama apabila tawanan telah memutuskan untuk
mengorganisir suatu sistem tolong-menolong diantara mereka
sendiri, organuisasi ini akan termasuk dalam lingkungan
pekerjaan wakil tawanan, disamping tugas-tugas khusus yang
dipercayakan kepadanya oleh ketentuan-ketentuan lain dari
konvensi ini.
Para
perwakilan
tawanan
tidak
akan
dianggap
bertanggung jawab atas pelanggaran apapun yang dilakukan oleh
tawanan-tawanan perang, hanya karena tugas dan kewajiban
mereka.
Article 81
Prisoners' representatives shall not be required to perform
any other work, if the accomplishment of their duties is thereby
made more difficult.
Prisoners' representatives may appoint from amongst the
prisoners such assistants as they may require. All material
facilities shall be granted them, particularly a certain freedom of
movement necessary for the accomplishment of their duties
(inspection of labour detachments, receipt of supplies, etc.).
Prisoners' representatives shall be permitted to visit
premises where prisoners of war are detained, and every prisoner
of war shall have the right to consult freely his prisoners'
representative.
All facilities shall likewise be accorded to the prisoners'
representatives for communication by post and telegraph with the
detaining authorities, the Protecting Powers, the International
Committee of the Red Cross and their delegates, the Mixed
Medical Commissions and with the bodies which give assistance
to prisoners of war. Prisoners' representatives of labour
detachments shall enjoy the same facilities for communication
with the prisoners' representatives of the principal camp. Such
communications shall not be restricted, nor considered as
forming a part of the quota mentioned in Article 71.
Prisoners' representatives who are transferred shall be
allowed a reasonable time to acquaint their successors with
current affairs.
In case of dismissal, the reasons therefor shall be
communicated to the Protecting Power.
Pasal 81
Para
perwakilan
tawanan
tidak
akan
diharuskan
melakukan pekerjaan lain bila pelaksanaan tugas mereka menjadi
lebih sulit karenanya.
Para perwakilan tawanan dapat mengangkat dari antara
tawanan
pembantu-pembantu yang mereka perlukan. Semua
fasilitas materiil harus diberikan kepada mereka, terutama
kebebasan
bergerak
yang
layak
yang
diperlukan
untuk
pelaksanaan tugas mereka (pemeriksaan detasemen kerja,
penerimaan bahan-bahan, dan lain-lain).
Perwakilan tawanan harus diperkenankan mengunjungi
tempat–tempat, di mana tawanan perang di tahan dan setiap
tawanan perang berhak untuk secara bebas meminta nasehat
daripadanya.
Juga harus diberikan semua fasilitas kepada wakil
tawanan untuk berhubungan dengan pos dan telegraf dengan
penguasa-penguasa penahan. Negara Pelindung, Komite Palang
Merah Internasional, dan utusan-utusannya, dengan Komisi
Kesehatan Gabungan dan dengan Badan-badan yang memberikan
bantuan kepada tawanan perang. Para perwakilan tawanan dari
detasemen-detasemen kerja harus mendapatkan fasilitas-fasilitas
komunikasi dengan para perwakilan tawanan dari kamp tawanan
utama. Komunikasi tersebut tidak boleh dibatasi, juga tidak boleh
dianggap sebagai bagian dari jatah seperti tersebut dalam Pasal
71.
Perwakilan tawanan yang dipindahkan harus diberikan
waktu
yang
cukup
untuk
memperkenalkan
pengganti-
penggantinya dengan urusan-urusan yang sedang dikerjakan.
Apabila seorang wakil tawanan diberhentikan, maka alasan-alasan
pemberhentian itu harus diteruskan kepada negara pelindung.
k) Sanksi Pidana dan Sanksi Disiplin
Sanksi pidana dan sanksi disiplin ini diatur dalam Di
dalam Pasal 8 dan 12 Bagian II Annex Konvensi IV Den Haag
1907 isi pasal tersebut adalah sebagai berikut.
Art. 8.
Prisoners of war shall be subject to the laws, regulations,
and orders in force in the army of the State in whose power they
are. Any act of insubordination justifies the adoption towards
them of such measures of severity as may be considered
necessary.
Escaped prisoners who are retaken before being able to rejoin
their own army or before leaving the territory occupied by the
army which captured them are liable to disciplinary punishment.
Prisoners who, after succeeding in escaping, are again taken
prisoners, are not liable to any punishment on account of the
previous flight.
Pasal 8
Tawanan perang harus tunduk pada hukum, peraturan, dan
peraturan lain yang berlaku dalam angkatan perang Negara
Penahan.
Tawanan Perang yang kabur sebelum dapat bergabung
dengan
angkatan
perang
mereka
atau
sebelum
mereka
meninggalkan wilayah yang diduduki oleh angkatan perang
musuh dapat dikenakan ke hukuman disiplin.
Tawanan perang, yang telah berhasil melarikan diri namun
ditawan kembali, tidak boleh dikenakan hukuman apapun karena
pelarian sebelumnya.
Art. 12.
Prisoners of war liberated on parole and recaptured
bearing arms against the Government to whom they had pledged
their honour, or against the allies of that Government, forfeit
their right to be treated as prisoners of war, and can be brought
before the courts.
Pasal 12
Tawanan perang yang dibebaskan dengan jaminan
kemudian tawanan tersebut ditangkap kembali karena ikut
berperang melawan Negara Penahan atau melawan negara sekutu
dari Negara Penahan tersebut, dapat dikenakan pembatasan atas
hak-hak istimewa yang diberikan kepadanya sebagai tawanan
perang ,dan dapat diperkarakan ke pengadilan.
Sanksi pidana dan sanksi disipilin juga diatur didalam
Pasal 82-88 Konvensi III Jenewa 1949, isinya adalah sebagai
berikut
Article 82
A prisoner of war shall be subject to the laws, regulations
and orders in force in the armed forces of the Detaining Power;
the Detaining Power shall be justified in taking judicial or
disciplinary measures in respect of any offence committed by a
prisoner of war against such laws, regulations or orders.
However, no proceedings or punishments contrary to the
provisions of this Chapter shall be allowed.
If any law, regulation or order of the Detaining Power
shall declare acts committed by a prisoner of war to be
punishable, whereas the same acts would not be punishable if
committed by a member of the forces of the Detaining Power,
such acts shall entail disciplinary punishments only.
Pasal 82
Seorang tawanan perang harus tunduk kepada Undangundang dan perintah-perintah yang berlaku dalam Angkatan
Perang negara penahan; negara penahan dapat mengambil
tindakan-tindakan
hukum
atau
disiplin
terhadap
setiap
pelanggaran yang dilakukan oleh seorang tawanan perang atas
undang-undang, aturan-aturan atau perintah-perintah tersebut.
Tetapi, cara pemeriksaan atau hukuman yang bertentangan
dengan ketentuan Bab ini tidak diperkenankan.
Apabila ada undang-undang, peraturan atau perintah
Negara Penahan menyatakan perbuatan-perbuatan yang dilakukan
oleh seorang tawanan perang sebagai perbuatan yang dapat
dihukum, sedangkan perbuatan itu tidak dapat dihukum apabila
dilakukan seorang tentara Negara Penahan, maka perbuatan
tersebut hanya akan mengakibatkan hukuman disiplin saja.
Article 84
A prisoner of war shall be tried only by a military court,
unless the existing laws of the Detaining Power expressly permit
the civil courts to try a member of the armed forces of the
Detaining Power in respect of the particular offence alleged to
have been committed by the prisoner of war.
In no circumstances whatever shall a prisoner of war be
tried by a court of any kind which does not offer the essential
guarantees of independence and impartiality as generally
recognized, and, in particular, the procedure of which does not
afford the accused the rights and means of defence provided for
in Article 105.
Pasal 84
Seorang tawanan perang hanya boleh diadili oleh suatu
pengadilan militer, kecuali bila undang-undang yang berlaku di
negara penahan dengan tegas memperkenankan pengadilan sipil
mengadili seorang anggota angkatan perang negara penahan
berkenaan suatu pelanggaran khusus yang disangka telah
dilakukan oleh tawanan perang itu.
Seorang tawanan perang sekali-kali tidak boleh diadili
oleh suatu pengadilan dari jenis apapun yang tidak memberikan
jaminan pokok mengenai kebebasan serta sifat tidak memihak,
sebagaimana secara umum diakui, dan terutama prosedur yang
tidak memberikan kepada terdakwa hak-hak dan cara pembelaan
sebagaimana diatur dalam Pasal 105.
Article 86
No prisoner of war may be punished more than once for
the same act, or on the same charge.
Pasal 86
Tidak ada tawanan perang boleh dihukum lebih dari satu
kali untuk perbuatan yang sama atas tuduhan yang sama.
Article 87
Prisoners of war may not be sentenced by the military
authorities and courts of the Detaining Power to any penalties
except those provided for in respect of members of the armed
forces of the said Power who have committed the same acts.
When fixing the penalty, the courts or authorities of the
Detaining Power shall take into consideration, to the widest
extent possible, the fact that the accused, not being a national of
the Detaining Power, is not bound to it by any duty of allegiance,
and that he is in its power as the result of circumstances
independent of his own will. The said courts or authorities shall
be at liberty to reduce the penalty provided for the violation of
which the prisoner of war is accused, and shall therefore not be
bound to apply the minimum penalty prescribed.
Collective punishment for individual acts, corporal
punishments, imprisonment in premises without daylight and, in
general, any form of torture or cruelty, are forbidden.
No prisoner of war may be deprived of his rank by the
Detaining Power, or prevented from wearing his badges.
Pasal 87
Tawanan perang tidak boleh dikenakan hukuman apapun
oleh penguasa-penguasa militer dan pengadilan-pengadilan
negara penahan, kecuali hukuman yang telah ditentukan bagi
anggota-anggota angkatan perang negara tersebut yang telah
melakukan perbuatan-perbuatan yang sama.
Dalam menetapkan hukuman, pengadilan dan penguasa
Negara Penahan harus mempertimbangkan sedapat mungkin
sesuai dengan kenyataan bahwa terdakwa, karena ia bukan warga
negara Negara Penahan, kepadanya tidak terikat oleh kewajiban
atau kesetiaan apapun dan terdakwa berada dalam kekuasaannya
sebagai akibat keadaan yang ada diluar kehendaknya sendiri.
Pengadilan dan penguasa tersebut harus bebas untuk mengurangi
hukuman yang telah ditentukan untuk pelanggaran yang telah
dituduhkan kepada tawanan perang dan karena itu tidak terikat
untuk mengenakan hukuman minimum yang telah ditentukan.
Hukuman kolektif untuk perbuatan perorangan, hukumanhukuman jasmani, penutupan dalam tempat-tempat tanpa cahaya
matahari dan pada umumnya tiap bentuk penyiksaan atau
kekejaman, adalah terlarang.
Tawanan perang tidak boleh dicabut pangkatnya oleh
negara penahan atau dicegah memakai lencana-lencananya.
Article 88
Officers, non-commissioned officers and men who are
prisoners of war undergoing a disciplinary or judicial
punishment, shall not be subjected to more severe treatment than
that applied in respect of the same punishment to members of the
armed forces of the Detaining Power of equivalent rank.
A woman prisoner of war shall not be awarded or
sentenced to a punishment more severe, or treated whilst
undergoing punishment more severely, than a woman member of
the armed forces of the Detaining Power dealt with for a similar
offence.
In no case may a woman prisoner of war be awarded or
sentenced to a punishment more severe, or treated whilst
undergoing punishment more severely, than a male member of the
armed forces of the Detaining Power dealt with for a similar
offence.
Prisoners of war who have served disciplinary or judicial
sentences may not be treated differently from other prisoners of
war.
Pasal 88
Para perwira, bintara dan tamtama tawanan perang yang
menjalani hukuman disiplin atau hukuman pengadilan, tidak
boleh mendapatkan perlakuan yang lebih keras daripada
perlakuan yang diberikan kepada anggota angkatan perang
Negara Penahan dengan pangkat sederajat untuk hukuman yang
sama.
Seorang tawanan perang wanita sekali-kali tidak boleh
dijatuhi atau dikenakan hukuman yang lebih berat, atau
diperlakukan lebih keras, selama menjalani hukuman daripada
anggota wanita dari negara penahan untuk pelanggaran serupa.
Tawanan perang yang telah menjalani hukuman disiplin
atau pengadilan tidak boleh diperlakukan lain daripada tawanan
perang lainnya.
l)
Proses Peradilan
Proses peradilan ini diatur dalam Pasal 99-108 Konvensi
III Jenewa 1949, isinya adalah sebagai berikut.
Article 99
No prisoner of war may be tried or sentenced for an act
which is not forbidden by the law of the Detaining Power or by
international law, in force at the time the said act was committed.
No moral or physical coercion may be exerted on a
prisoner of war in order to induce him to admit himself guilty of
the act of which he is accused.
No prisoner of war may be convicted without having had
an opportunity to present his defence and the assistance of a
qualified advocate or counsel.
Pasal 99
Seorang tawanan perang tidak boleh diadili atau dijatuhi
hukuman untuk perbuatan yang tidak dilarang oleh Undang-
undang Negara Penahan atau oleh Hukum Internasional yang
berlaku pada waktu perbuatan tersebut dilakukan.
Terhadap tawanan perang tidak boleh dilakukan paksaan
psikis atau phisik untuk memaksanya mengaku salah atas
perbuatan yang dituduhkan kepadanya.
Tawanan perang tidak boleh dihukum tanpa diberi
kesempatan sebelumnya untuk mengajukan pembelaannya serta
mendapat bantuan seorang pembela atau pengacara yang cakap.
Article 100
Prisoners of war and the Protecting Powers shall be
informed as soon as possible of the offences which are punishable
by the death sentence under the laws of the Detaining Power.
Other offences shall not thereafter be made punishable by
the death penalty without the concurrence of the Power upon
which the prisoners of war depend.
The death sentence cannot be pronounced on a prisoner of
war unless the attention of the court has, in accordance with
Article 87, second paragraph, been particularly called to the fact
that since the accused is not a national of the Detaining Power,
he is not bound to it by any duty of allegiance, and that he is in its
power as the result of circumstances independent of his own will.
Pasal 100
Tawanan perang dan negara-negara pelindung harus
diberitahu selekas mungkin tentang jenis pelanggaran yang
menurut undang-undang negara penahan dapat dihukum dengan
hukuman mati.
Pelanggaran-pelanggaran lain berikutnya tidak dapat
dikenakan hukuman mati tanpa persetujuan negara yang ditaati
oleh tawana perang.
Hukuman mati tidak dapat dijatuhkan atas diri seorang
tawanan perang, kecuali setelah diminta perhatian khusus sesuai
dengan pasal 87, bahwa karena terdakwa bukan warga negara
Negara Penahan ia tidak terikat oleh kewajiban dan ketaatan
apapun, dan bahwa ia berada dalam kekuasaanny akibat keadaankeadaan diluar kemauannya sendiri.
Article 101
If the death penalty is pronounced on a prisoner of war,
the sentence shall not be executed before the expiration of a
period of at least six months from the date when the Protecting
Power
receives,
at
an
indicated
address,
the
detailed
communication provided for in Article 107.
Pasal 101
Apabila hukuman mati dijatuhakan atas diri seorang
tawanan perang, keputusan itu tidak boleh dijalankan sebelum
lewat waktu sekurang-kurangnya enam bulan mulai dari saat
Negara
Pelindung
menerima
pemberitahuan
lengkap.
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 107, pada alamat yang telah
ditentukan.
Article 102
A prisoner of war can be validly sentenced only if the
sentence has been pronounced by the same courts according to
the same procedure as in the case of members of the armed forces
of the Detaining Power, and if, furthermore, the provisions of the
present Chapter have been observed.
Pasal 102
Seorang tawanan perang hanya dapat dihukum dengan sah
apabila hukuman dijatuhkan oleh pengadilan dan menurut
prosedur yang sama dengan apa yang berlaku bagi anggotaanggota angkatan perang Negara Penahan. dan selanjutnya
apabila ketentuan-ketentuan dari Bab ini telah diperhatikan.
4) Berakhirnya Penawanan
Berakhirnya penawanan seorang tawanan perang dapat
disebabkan karena beberapa hal. Berakhirnya penawanan diatur
dalam pasal 109-121 Konvensi III Jenewa 1949. Isi pasal-pasal
tersebut adalah sebagai berikut.
a) Pemulangan Langsung dan Penempatan di Negara Netral
Orang-orang yang termasuk dalam golongan yang dapat
langsung dipulangkan diatur dalam Pasal 109-117 Konvensi II
Jenewa 1949. Isi dari pasal tersebut yaitu
Article 110
The following shall be repatriated direct:
1. Incurably wounded and sick whose mental or physical fitness
seems to have been gravely diminished.
2. Wounded and sick who, according to medical opinion, are not
likely to recover within one year, whose condition requires
treatment and whose mental or physical fitness seems to have
been gravely diminished.
3. Wounded and sick who have recovered, but whose mental or
physical fitness seems to have been gravely and permanently
diminished.
The following may be accommodated in a neutral country:
1. Wounded and sick whose recovery may be expected within one
year of the date of the wound or the beginning of the illness, if
treatment in a neutral country might increase the prospects of
a more certain and speedy recovery.
2. Prisoners of war whose mental or physical health, according to
medical opinion, is seriously threatened by continued captivity,
but whose accommodation in a neutral country might remove
such a threat.
The conditions which prisoners of war accommodated in a
neutral country must fulfil in order to permit their repatriation
shall be fixed, as shall likewise their status, by agreement between
the Powers concerned. In general, prisoners of war who have
been accommodated in a neutral country, and who belong to the
following categories, should be repatriated:
1. Those whose state of health has deteriorated so as to fulfil the
conditions laid down for direct repatriation;
2. Those whose mental or physical powers remain, even after
treatment, considerably impaired.
If no special agreements are concluded between the Parties to the
conflict concerned, to determine the cases of disablement or
sickness entailing direct repatriation or accommodation in a
neutral country, such cases shall be settled in accordance with
the principles laid down in the Model Agreement concerning
direct repatriation and accommodation in neutral countries of
wounded and sick prisoners of war and in the Regulations
concerning Mixed Medical Commissions annexed to the present
Convention.
Pasal 110
Orang-orang ini akan langsung dipulangkan :
(1) Yang luka dan sakit yang tidak dapat disembuhkan lagi dan
yang kesehatan rohani dan jasmaninya tampak telah sangat
mundur.
(2) Yang luka dan sakit yang menurut pendapat kedokteran tidak
mungkin sembuh dalam waktu setahun, dan membutuhkan
pengobatan, dan yang kesehatan rohani dan jasmaninya
tampak telah sangat mundur.
(3) Yang luka dan sakit yang telah sembuh, tetapi kesehatan
rohani dan jasmaninya tampak telah sangat mundur untuk
selamanya.
Orang-orang ini boleh ditempatkan di Negara Netral :
(4) Yang luka dan sakit yang dapat diharapkan sembuh dalam
waktu setahun dari saat ia luka atau dari saat permulaan
sakitnya, apabila pengobatan di negara netral dapat menambah
kemungkinan kesembuhan yang lebih pasti dan cepat.
(5) Tawanan perang yang kesehatan rohani dan jasmaninya
menurut
pendapat
kedokteran,
sangat
terancam
oleh
penawanan yang berlangsung terus-menerus, tetapi dapat
terhindar dari ancaman tersebut jika ditempatkan dinegara
netral.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi tawanan perang yang
ditempatkan di negara netral agar dapat memungkinkan
pemulangannya, begitupun kedudukannya, harus ditetapkan
dengan persetujuan antara negara-negara bersangkutan. Pada
umumnya tawanan perang yang telah ditempatkan di negara
netral, dan yang termasuk golongan berikut, harus dipulangkan:
(1) Mereka yang keadaan kesehatannya sudah memburuk
sehingga memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk
pemulangan langsung.
(2) Mereka yang tenaga rohani dan jasmaninya tetap sangat
lemah, walaupun telah diobati.
Apabila tidak diadakan persetujuan-persetujuan khusus
antara
pihak-pihak
dalam
sengketa
bersangkutan
untuk
menemukan hal-hal cacat atau penyakit yang mengakibatkan
pemulangan langsung atau penempatan di negara netral, hal-hal
tersebut harus diselesaikan menurut azas-azas yang ditetapkan
dalam contoh formulir persetujuan mengenai pemulangan
langsung dan penempatan tawanan perang yang luka dan sakit di
negara netral dalam peraturan-peraturan mengenai Komisi
Kesehatan Gabungan yang dilampirkan pada Konvensi ini.
Article 113
Besides those who are designated by the medical authorities
of the Detaining Power, wounded or sick prisoners of war
belonging to the categories listed below shall be entitled to
present themselves for examination by the Mixed Medical
Commissions provided for in the foregoing Article:
1. Wounded and sick proposed by a physician or surgeon who is
of the same nationality, or a national of a Party to the conflict
allied with the Power on which the said prisoners depend, and
who exercises his functions in the camp.
2. Wounded and sick proposed by their prisoners' representative.
3. Wounded and sick proposed by the Power on which they
depend, or by an organization duly recognized by the said
Power and giving assistance to the prisoners.
Prisoners of war who do not belong to one of the three
foregoing categories may nevertheless present themselves for
examination by Mixed Medical Commissions, but shall be
examined only after those belonging to the said categories.
The physician or surgeon of the same nationality as the
prisoners who present themselves for examination by the Mixed
Medical Commission, likewise the prisoners' representative of the
said prisoners, shall have permission to be present at the
examination.
Pasal 113
Di samping mereka yang ditetapkan oleh pejabat-pejabat
kesehatan Negara Penahan, tawanan perang yang luka atau sakit
yang termasuk golongan yang disebutkan di bawah berhak
mengajukan diri untuk diperiksa oleh Komisi Kesehatan
Gabungan :
(1)
Yang luka dan sakit, yang diajukan namanya oleh seorang
dokter atau ahli bedah yang sekebangsaan atau seorang
warga negara dari suku dari pihak dalam sengketa yang
bersekutu dengan Negara Penahan yang ditaati tawanan
tersebut, dan yang menjalankan pekerjaannya di tempat
tawanan.
(2)
Yang luka dan sakitn yang diajukan namanya oleh wakil
tawanan.
(3)
Yang luka dan sakit yang diajukan namanya oleh negara
yang mereka taati, atau oleh suatu organisasi yang telah
diakui sepatutnya oleh negara tersebut dan yang membantu
tawanan.
Tawanan perang yang tidak termasuk dalam salah satu dari
ketiga golongan di atas dapat juga mengajukan diri untuk
diperiksa oleh Komisi Kesehatan Gabungan tetapi hanya boleh
diperiksa sesudah mereka yang termasuk golongan-golongan
tersebut selesai diperiksa.
Article 116
The costs of repatriating prisoners of war or of transporting
them to a neutral country shall be borne, from the frontiers of the
Detaining Power, by the Power on which the said prisoners
depend.
Pasal 116
Biaya pemulangan tawanan perang atau pengangkutannya
ke negara netral terhitung mulai dari batas wilayah negara
penahan, dipikul oleh negara yang ditaati tawanan-tawanan itu.
b) Pembebasan dan Pemulangan Tawanan Perang Pada Akhir
Permusuhan
Pengaturan pembebasan para tawanan perang setelah perang
kedua belah pihak berakhir diatur berakhirnya penawanan juga
diatur di dalam Pasal 11 dan Pasal 20 Bagian II Annex dari
Konvensi IV Den Haag 1907. Isi dari pasal tersebut adalah
sebagai berikut.
Art. 11.
A prisoner of war cannot be compelled to accept his liberty on
parole; similarly the hostile Government is not obliged to accede
to the request of the prisoner to be set at liberty on parole.
Pasal 11
Seorang tawanan perang tidak boleh dipaksa untuk
dibebaskan dengan jaminan; sama halnya, Negara Penahan tidak
boleh dipaksa untuk meluluskan permintaan tawanan perang
untuk dibebaskan dengan jaminan.
Art. 20.
After the conclusion of peace, the repatriation of prisoners
of war shall be carried out as quickly as possible.
Pasal 20
Setelah perang selesai, repatriasi tawanan perang secepat
mungkin harus dilaksanakan.
Selain itu, Pembebasan dan Pemulangan Tawanan Perang
Pada Akhir Permusuhan dalam Pasal 118 dan 119 Konvensi II
Jenewa 1949. Isi dari pasal tersebut adalah sebagai berikut.
Article 118
Prisoners of war shall be released and repatriated without
delay after the cessation of active hostilities.
In the absence of stipulations to the above effect in any
agreement concluded between the Parties to the conflict with a
view to the cessation of hostilities, or failing any such agreement,
each of the Detaining Powers shall itself establish and execute
without delay a plan of repatriation in conformity with the
principle laid down in the foregoing paragraph.
In either case, the measures adopted shall be brought to the
knowledge of the prisoners of war.
The costs of repatriation of prisoners of war shall in all
cases be equitably apportioned between the Detaining Power and
the Power on which the prisoners depend. This apportionment
shall be carried out on the following basis:
(a) If the two Powers are contiguous, the Power on which the
prisoners of war depend shall bear the costs of repatriation
from the frontiers of the Detaining Power.
(b) If the two Powers are not contiguous, the Detaining Power
shall bear the costs of transport of prisoners of war over its
own territory as far as its frontier or its port of embarkation
nearest to the territory of the Power on which the prisoners
of war depend. The Parties concerned shall agree between
themselves as to the equitable apportionment of the
remaining costs of the repatriation. The conclusion of this
agreement shall in no circumstances justify any delay in the
repatriation of the prisoners of war.
Pasal 118
Tawanan perang harus segera dibebaskan dan dipulangkan
sesudah penghentian kegiatan permusuhan.
Jika tidak ada ketentuan-ketentuan yang mengatur hal di
atas dalam persetujuan apapun yang diadakan antara pihak-pihak
dalam sengketa untuk menghentikan permusuhan, atau jika sama
sekali ada persetujuan tersebut, maka setiap negara penahan
masing-masing harus mengadakan dan melaksanakan dengan
segera suatu cara pemulangan sesuai dengan azas yang ditetapkan
dalam pargraf di atas.
Biaya pemulangan tawanan perang dalam semua hal dibagi
seimbang antara negara penahan dan negara yang ditaati tawanan.
pembagian biaya tersebut harus dilaksanakan atas dasar berikut :
a. Apabila kedua negara tersebut berbatasan satu dengan lain,
negara yang ditaati tawanan perang akan memikul biaya-biaya
pemulangan mulai dari batas wilayah negara penahan.
b. Apabila kedua negara tersebut tidak berbatasan satu dengan
lain, negara penahan akan memikul biaya-biaya pengangkutan
tawanan perang melalui wilayahnya sampai kepada perbatasan
atau pelabuhan pemberangkatan yang terdekat pada wilayah
negara yang ditaati tawanan perang. Pihak-pihak yang
bersangkutan harus menyelesaikan dengan persetujuan antara
mereka pembagian yang seimbang dari biaya pemulangan
selebihnya. Diadakannya persetujuan-persetujuan ini sekalisekali ini tidak boleh dijadikan alasan untuk suatu penundaan
pemulangan tawanan perang.
Article 119
Repatriation shall be effected in conditions similar to those
laid down in Articles 46 to 48 inclusive of the present Convention
for the transfer of prisoners of war, having regard to the
provisions of Article 118 and to those of the following
paragraphs.
On repatriation, any articles of value impounded from
prisoners of war under Article 18, and any foreign currency
which has not been converted into the currency of the Detaining
Power, shall be restored to them. Articles of value and foreign
currency which, for any reason whatever, are not restored to
prisoners of war on repatriation, shall be despatched to the
Information Bureau set up under Article 122.
Prisoners of war shall be allowed to take with them their
personal effects, and any correspondence and parcels which have
arrived for them. The weight of such baggage may be limited, if
the conditions of repatriation so require, to what each prisoner
can reasonably carry. Each prisoner shall in all cases be
authorized to carry at least twenty-five kilograms.
The other personal effects of the repatriated prisoner shall
be left in the charge of the Detaining Power which shall have
them forwarded to him as soon as it has concluded an agreement
to this effect, regulating the conditions of transport and the
payment of the costs involved, with the Power on which the
prisoner depends.
Prisoners of war against whom criminal proceedings for an
indictable offence are pending may be detained until the end of
such proceedings, and, if necessary, until the completion of the
punishment. The same shall apply to prisoners of war already
convicted for an indictable offence.
Parties to the conflict shall communicate to each other the
names of any prisoners of war who are detained until the end of
the proceedings or until punishment has been completed.
By agreement between the Parties to the conflict,
commissions shall be established for the purpose of searching for
dispersed prisoners of war and of assuring their repatriation with
the least possible delay.
Pasal 119
Pemulangan harus diselenggarakan menurut syarat-syarat
yang sama dengan apa yang ditetapkan dalam Pasal 46 sampai
dengan Pasal 48 Konvensi ini megenai pemindahan tawanan
perang, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam Pasal
118 dan dalam paragrap-paragrap yang berikut.
Tiap barang berharga yang diambil dari tawanan perang
menurut Pasal 18, dan tiap mata uang asing yang belum
ditukarkan dalam mata uang negara penahan harus dikembalikan
kepada tawanan perang pada saat pemulangan. Barang-barang
berharga dan mata uang asing yang karena alasan apapun, belum
dikembalikan kepada tawanan perang pada saat pemulangan,
harus dikirim kepada Biro Penerangan yang dibentuk menurut
Pasal 122.
Tawanan perang harus diperkenankan membawa serta
barang-barang pribadinya dan surat serta bingkisan apapun yang
telah
datang
baginya.
Apabila
keadaan
pemulangan
menghendakinya, berat bagasi tersebut dapat dibatasi hingga berat
yang dapat dibawa sendiri oleh tiap tawanan.
Bagaimanapun juga, setiap tawanan perang harus diizinkan
untuk mengangkut sekurang-kurangnya duapuluh lima kilogram.
Barang-barang pribadi lainnya dari tawanan perang yang
dipulangkan harus ditinggalkan pada Negara Penahan, yang harus
mengirimkan barang-barang itu kepadanya segera setelah negara
penahan mengadakan persetujuan mengenai hal itu dengan negara
yang
ditaati
tawanan
itu,
yang
mengatur
syarat-syarat
pengangkutan serta pembayaran biaya-biaya yang berkaitan
dengan pengiriman itu.
Tawanan
perang
terhadap
siapa
sedang
diadakan
pemeriksaan pidana tentang pelanggaran yang dapat dituntut,
dapat ditahan sampai akhir pemeriksaan tersebut dan, apabila
perlu, sampai hukuman selesai dijalani.
Ketentuan yang sama berlaku bagi tawanan perang yang
sudah dihukum karena melakukan suatu pelanggaran yang dapat
dituntut.
Pihak-pihak dalam sengketa harus saling menyampaikan
nama-nama
tawanan
perang
yang
ditahan
sampai
akhir
pemeriksaan atau sampai hukuman selesai dijalani.
Dengan persetujuan antara pihak-pihak dalam sengketa
harus dibentuk komisi-komisi untuk mencari tawanan perang
yang terpisah serta menjamin pemulangannya dalam waktu-waktu
sesingkat-singkatnya.
c) Kematian Tawanan Perang
Para tawanan yang meninggal dunia saat berada dalam
penawanan Negara penawan wajib dipenuhi semua hak-haknya.
Peraturan yang mengatur hal-hal tersebut diatur di dalam Pasal
120 dan 121 Konvensi III Jenewa 1949. Isi dari pasal-pasal
tersebut adalah sebagai berikut.
Article 120
Wills of prisoners of war shall be drawn up so as to satisfy
the conditions of validity required by the legislation of their
country of origin, which will take steps to inform the Detaining
Power of its requirements in this respect. At the request of the
prisoner of war and, in all cases, after death, the will shall be
transmitted without delay to the Protecting Power; a certified
copy shall be sent to the Central Agency.
Death certificates in the form annexed to the present
Convention, or lists certified by a responsible officer, of all
persons who die as prisoners of war shall be forwarded as
rapidly as possible to the Prisoner of War Information Bureau
established in accordance with Article 122. The death certificates
or certified lists shall show particulars of identity as set out in the
third paragraph of Article 17, and also the date and place of
death, the cause of death, the date and place of burial and all
particulars necessary to identify the graves.
The burial or cremation of a prisoner of war shall be
preceded by a medical examination of the body with a view to
confirming death and enabling a report to be made and, where
necessary, establishing identity.
The detaining authorities shall ensure that prisoners of war
who have died in captivity are honourably buried, if possible
according to the rites of the religion to which they belonged, and
that their graves are respected, suitably maintained and marked
so as to be found at any time. Wherever possible, deceased
prisoners of war who depended on the same Power shall be
interred in the same place.
Deceased prisoners of war shall be buried in individual
graves unless unavoidable circumstances require the use of
collective graves. Bodies may be cremated only for imperative
reasons of hygiene, on account of the religion of the deceased or
in accordance with his express wish to this effect. In case of
cremation, the fact shall be stated and the reasons given in the
death certificate of the deceased.
In order that graves may always be found, all particulars of
burials and graves shall be recorded with a Graves Registration
Service established by the Detaining Power. Lists of graves and
particulars of the prisoners of war interred in cemeteries and
elsewhere shall be transmitted to the Power on which such
prisoners of war depended. Responsibility for the care of these
graves and for records of any subsequent moves of the bodies
shall rest on the Power controlling the territory, if a Party to the
present Convention. These provisions shall also apply to the
ashes, which shall be kept by the Graves Registration Service
until proper disposal thereof in accordance with the wishes of the
home country.
Pasal 120
Surat wasiat tawanan perang harus dibuat sesuai dengan
ketentuan hukum yang ditetapkan oleh perundang-undangan
negara asal tawanan perang itu, yang harus berusaha untuk
memberitahukan negara penahan tentang syarat-syarat yang
berlaku dalam hal ini. Atas permintaan tawanan perang dan
setidak-tidaknya sesudah kematian, maka surat wasiat harus
diteruskan kepada negara pelindung tanpa ditunda-tunda
Surat keterangan kematian, dalam bentuk yang dilampirkan
pada Konvensi ini, atau daftar-daftar yang disahkan oleh seorang
perwira berwenang, yang dibuat untuk semua orang yang mati
sebagai tawanan perang, harus dikirim secepat mungkin kepada
Biro Penerangan Tawanan Perang. Surat keterangan kematian
atau daftar-daftar yang disahkan itu memuat keteranganketerangan mengenai identitas sebagaimana ditetapkan dalam
pasal 17 dan juga tanggal serta tempat kematian, sebab-sebab
kematian, tanggal serta tempat penguburan dan semua keterangan
yang diperlukan untuk mengenal kuburan-kuburan itu.
Penguburan atau pembakaran jenazah tawanan perang
harus didahului oleh pemeriksaan kedokteran atas jenazah itu,
untuk
menegaskan
kematian
itu,
serta
memungkinkan
dibuatkannya laporan dan jika perlu untuk menetapkan identitas.
Penguasa-penguasa
penahan
harus
menjamin
bahwa
tawanan perang yang meninggal dalam penawanan dimakamkan
dengan hormat dan apabila mungkin sesuai dengan upacara
keagamaannya, dan bahwa makam mereka dihormati, dipelihara
sepatutnya serta ditandai agar dapat diketemukan setiap waktu.
Sedapat mungkin tawanan perang yang meninggal harus dikubur
pada tempat yang sama dengan jenazah tawanan perang
sebangsanya.
Tawanan perang yang meninggal harus dimakamkan dalam
kuburran-kuburan perorangan, kecuali apabila keadaan-keadaan
yang tidak dapat dicegah mengharuskan digunakannya kuburan
bersama. Jenazah hanya boleh dibakar karena alasan-alasan yang
mendesak, karena agama yang meninggal, atau sesuai dengan
keinginan yang meninggal yang jelas tentang hal itu. Dalam hal
pembakaran jenazah, maka hal tersebut harus dicatat dan alasanalasannya harus disebutkan dalam surat keterangan kematian yang
meninggal.
Agar upaya kuburan selalu dapat diketemukan, maka segala
keterangan mengenai penguburan dan kuburan harus dicatat pada
dinas pendaftaran kuburan yang diadakan oleh negara penahan.
Daftar kuburan dan keterangan-keterangan mengenai tawanan
perang yang dimakamkan di pekuburan-pekuburan dan tempattempat lain, harus diteruskan kepada negara yang ditaati tawanan
perang tersebut. Tanggung jawab pemeliharaan kuburan ini dan
catatan-catatan pemindahan jenazah yang dilakukan kemudian,
dipikul oleh negara yang menguasai wilayah itu, apabila negara
itu menjadi peserta Konvensi ini. Ketentuan-ketentuan ini juga
berlaku untuk abu jenazah yang harus disimpan oleh dinas
pendaftaran kuburan hingga abu jenazah itu dapat disampaikan
dengan wajar sesuai dengan keinginan-keinginan negara asal
tawanan perang.
Article 121
Every death or serious injury of a prisoner of war caused or
suspected to have been caused by a sentry, another prisoner of
war, or any other person, as well as any death the cause of which is
unknown, shall be immediately followed by an official enquiry by
the Detaining Power.
A communication on this subject shall be sent immediately
to the Protecting Power. Statements shall be taken from witnesses,
especially from those who are prisoners of war, and a report
including such statements shall be forwarded to the Protecting
Power.
If the enquiry indicates the guilt of one or more persons, the
Detaining Power shall take all measures for the prosecution of the
person or persons responsible
Pasal 121
Setiap kematian atau luka parah yang didapat oleh seorang
tawanan perang yang disebabkan atau disangka disebabkan oleh
seorang penjaga, oleh tawanan perang lain, atau oleh setiap orang
lainnya, begitupun setiap kematian yang tidak diketahui-sebabnya,
harus segera di susul dengan suatu pemeriksaan resmi oleh negara
penahan.
Suatu pemberitahuan mengenai hal ini harus segera dikirim
kepada negara pelindung. Pernyataan-pernyataan kesaksian harus
diambil dari saksi-saksi, terutama mereka yang menjadi tawanan
perang, dan suatu laporan yang berisi pernyataan-pernyataan
tersebut harus diteruskan kepada negara pelindung.
Apabila pemeriksaan menunjukkan kesalahan terhadap
seorang atau lebih, negara penahan harus mengambil segala
tindakan untuk menuntut orang atau orang-orang yang bertanggung
jawab.
b. Pengaturan Perlakuan Tawanan Perang dalam Hukum Islam.
1) Pengertian Tawanan Perang
Pengertian dan kriteria tawanan tidak djelaskan secara rinci di
dalam Al-Quran karena di dalam Al-Quran hanya disebutkan
saja,misalnya dalam Al-Quran surat Al-Anfaal [8] ayat 70 yang
isinya sebagai berikut.
“Hai Nabi, katakanlah kepada tawanan-tawanan yang ada di
tanganmu: "Jika Allah mengetahui ada kebaikan dalam hatimu,
niscaya Dia akan memberikan kepadamu yang lebih baik dari apa
yang telah diambil daripadamu dan Dia akan mengampuni kamu".
Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
sedangkan pengertian dan kriteria tawanan perang terdapat pada
Hadis Nabi dan pendapat ulama.
Seorang ulama, Abdul Baqi Ramdhun dalam bukunya yang
berjudul Al-Jihad Sabiluna menyatakan bahwa Tawanan perang
adalah kaum kafir yang diperangi yang berhasil ditawan oleh kaum
muslimin hidup-hidup sesuai perperagan dan mereka masih
dikategorikan sebagai bagian dari harta rampasan perang. Selain itu,
Abdul Baqi Ramdhun membagi tawanan perang menjadi dua
kelompok, yaitu (Abdul Baqi Ramdhun, 2005:318)
a) Kelompok Pertama
Mereka adalah golongan wanita dan anak-anak, dan
orang-orang yang status hukumnya seperti mereka, seperti :
orang-orang gila dan budak.
b) Kelompok Kedua
Mereka adalah golongan kaum lelaki yang telah akhil
baligh, kaum laki-laki ini dibagi lagi menjadi dua kelompok
berdasarkan usianya, yaitu
(1) Kaum lelaki yang sudah tua renta di antara mereka
Masih menjadi perselisihan pendapat tentang boleh
atau tidaknya menawan dan membunuh mereka. Golongan
Hambali berpendapat bahwa tidak halal menawan mereka,
oleh karena mereka haram dibunuh, dan tidak ada manfaat
memiliki mereka.
Imam Asy Syafi’i berpendapat : ”Mereka dibunuh
semua berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala:
“Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka
bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu
jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka
dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertobat dan
mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah
kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Quran
surat At-Taubah [9] ayat 5)
Sementara Malik dan Abu Hanifah berpendapat
bahwa tidak boleh dibunuh orang yang buta, atau orang yang
tidak waras pikirannya, atau penghuni kuil, atau orang tua
(laki-laki) yang sudah jompo.
Berdasarkan sabda Nabi SAW
“ Berangkatlah kalian dengan asma Allah dan atas millah
Rasulullah. Janganlah kalian membunuh lelaki yang sudah
tua renta, atau anak kecil, atau perempuan, dan janganlah
kalian berbuat ghulul (mengambil sesuatu dari harta
rampasan perang atau menilap sesuatu daripadanya tanpa
izin Imam, sebelum dibagikan kepada mereka yang berhak
menerimanya), kumpulkanlah ghanimah-ghanimah kalian,
dan berbuat baiklah kalian, sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berbuat baik.” (HR. Abu Dawud)
Dari ayat 5 surat At-Taubah di atas, Abdullah
Azzam (Abdullah Azzam, 2005:41-43), menafsirkan bahwa
yang termasuk ke dalam tawanan perang yaitu kaum
musyrikin. Selain itu, setelah dalam waktu empat bulan, kaum
musyrikin telah habis maka golongan berikutnya yaitu kaum
Nasrani dan Yahudi karena ketika Rasulullah Saw., diambang
wafat berwasiat agar membersihkan Jazirah Arab dari dien
selain Islam.
(Dan intailah di tempat pengintaian) ini merupakan
dalil diperbolehkannya ightiyalat (pembunuhan rahasia)
terhadap orang kafir tanpa memberi perinagatan terlebih
dahulu. Jadi dari surat At-taubah ayat 5 di atas orang-orang
yang dapat diperangi dan di tawan yaitu kaum musyrikin,
kaum nasrani, kaum yahudi, dan orang kafir.
(2) Tawanan laki-laki yang telah baligh dan bukan termasuk
golongan yang tua-renta.
Secara umum hukum Islam membedakan dua golongan
tawanan perang pertama adalah golongan yang tidak boleh dihukum
berat (dibunuh) mereka adalah tawanan perempuan dan anak-anak,
mereka sebaiknya ditukar dengan tawanan musuh, dilepaskan atau
dijadikan hamba. Kedua golongan tawanan laki-laki dewasa,
hukuman terhadap mereka diserahkan pada kebijaksanan panglima
utama perang (imam) dengan mempertimbangkan kemaslahatan
umat Islam. (http://www.allbandung.com/abc-view-kat.php?field=
132)
Dari definisi tawanan perang di atas, penulis menyimpulkan
bahwa tawanan perang adalah orang-orang yang termasuk kedalam
kriteria golongan orang-orang yang dapat ditawan, berada dibawah
kekuasaan pasukan Muslimin dalam perperangan.
Dari isi surat Al-Quran maupun isi hadis Rasulullah Saw.,
penulis menyimpulkan bahwa yang termasuk dalam kriteria tawanan
perang dalam konsep Hukum Islam adalah sebagai berikut.
a) Orang-orang yang termasuk ke dalam anggota militer pihak
lawan (kaum musyirikin).
b) wanita,anak-anak, laki-laki, dan orang tua yang tidak ikut
berperang
c) wanita,anak-anak, laki-laki, dan orang tua yang ikut berperang
d) kaum nasrani, kaum yahudi, dan orang kafir.
2) Perlindungan Umum Bagi Tawanan Perang
Islam merupakan agama perdamain yang menuntun kaum
muslim untuk bekerja demi terwujudnya perdamain secara hakiki.
Di samping Islam mengajarkan jihad dan mensyari’atkan perang
sebagai jalan satu-satunya dalam situasi darurat, Islam juga
menurunkan ajaran kasih sayang dalam kepada sesama manusia
termasuk perlakuan baik terhadap tawanan; Islam mengharamkan
menyiksa mereka sebagaimana halnya melarang mencincang korbankorban perang di pihak musuh, demikian juga melarang membunuh
wanita dan anak-anak.
Islam memerintahkan pemeluknya supaya berbuat baik kepada
semua orang termasuk kepada tawanan perang. Baik Imam belum
atau sudah mengeluarkan keputusannya, pasukan muslim tetap di
amanahkan untuk berbuat baik kepada tawanan perang. Mereka
(tawanan.red) tidak boleh dihalangi dari makan dan minum, juga
tidak boleh disiksa, bahkan harus diberikan apa yang menjadi
kebutuhannya dan diperlakukan dengan baik, sebagaimana sabda
Rasulullah SAW kepada kaum Muslimin di Badar.
“ Perlakukanlah tawanan dengan sebaik-baiknya”
3) Penawanan
Pasukan Muslimin diperbolehkan melakukan penawanan
terhadap musuh mereka ketika kekuatan internal dari pasukan
muslimin sudah mencukupi baik dalam kuantitas maupun dalam hal
kualitas. Dalam hal ini Nabi Muhammad saw pernah ditegur oleh
Allah SWT karena melakukan penawanan terhadap tawanan perang
Badar ketika pasukan Muslim belum memiliki kekuatan yang cukup
baik dalam segi kuantitas maupun kualitas, yaitu
“ Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia
dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki
harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat
(untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”( AlQuran surat Al-Anfal [8] ayat 67).
Sebab
diturunkannya
ayat
ini
yaitu
Imam
Ahmad
meriwayatkan dengan isnadnya dari Ibnu Abbas dari Umar r.a.,
katanya di antara kaum musyirikin yang terbunuh dalam perang
Badar sebanyak tujuh puluh orang, sedangkan yang tertawan yaitu
sebanyak tujuh puluh orang. Rasulullah bermusyawarah dengan Abu
Bakar,Umar, dan Ali. Lalu Abu Bakar berkata, ‘Wahai Rasulullah,
mereka itu adalah anak-anak paman keluarga, dan saudara. Saya
berpendapat agar engkau pungut tebusan saja dari mereka. Tebusan
itu nanti dapat kita pergunakan sebagai bekal untuk memperkuat
pasukan kita di dalam menghadapi kaum kafir.’
Rasulullah
bersabda, ‘Bagaimana pendapatmu wahai putra Khatab?’ Saya
berkata, ‘Demi Allah, saya tidak sependapat dengan pendapat Abu
Bakar. Saya memandang engkau perlu memberi mandat kepada saya
untuk memenggal kepala si fulan (yang masih keluarga Umar
sendiri), engkau beri mandate Ali untuk memenggal kepala Aqil (bin
Abi Thalib), dan engkau beri mandat kepada Hamzah untuk
memenggal kepala si fulan. Sehingga Allah mengetahui bahwa di
dalam hati tidak ada rasa belas kasihan kepada kaum musyirikin.
mereka itu adalah tokoh-tokoh, pemimpin-pemimpin, dan panglimapanglima kaum musyirikin.’ Maka Rasulullah cenderung kepada
pendapat Abu Bakar, dan tidak cenderung kepada pendapat Umar.
Lalu Beliau memungut tebusan dari mereka. Keesokan harinya
Allah menurunkan Al-Quran surat Al-Anfal [8] ayat 67, maksud dari
ayat ini adalah untuk menegur Rasululluh atas pilihan yang lebih
memilih uang tebusan. (Sayyid Quthb, 2003: 233-244)
Teguran ini merupakan pengarahan yang bijaksana dari Allah
SWT., demi kemaslahatan kaum Muslimin, dimana ayat ini
diturunkan pada waktu perang Badar yang merupakan perang
pertama dalam Islam, sehingga pada saat itu situasi dan kondisi
memandang, yang lebih maslahah ialah dengan sikap keras bukan
kasih sayang, yaitu dengan membunuh para tawanan dengan
melumpuhkan kekuatan kaum musyrikin; Dan kalau mereka
mengetahui bagaimana kerasnya tentara Muslim menghadapi
mereka, tentu mereka akan tunggang langgang. Tetapi ketika jumlah
kaum Muslimin telah menjadi banyak dan kekuatan mereka semakin
kokoh serta kekuasaan berada di tangan mereka sepenuhnya, maka
turunlah ayat yang membolehkan membebaskan tawanan dan
menerima tebusan. Maka melakukan penahanan atau membebaskan
tawanan adalah suatu hal yang diperbolehkan yaitu ketika situasi di
mana Islam telah kuat bukan dalam keadaan lemah (Muhammad
Alim, 2003:90).
Dengan demikian, itskhan pertama-tama merupakan tindakan
untuk
melumpuhkan
kekuatan
musuh
dan
melemahkan
kekuatannya, selanjutnya, barulah menawan. Hikmahnya sangat
jelas, karena penghilangan kekuatan yang memusuhi Islam
merupakan sasaran utama perang, terutama tatkala kekuatan jumlah
umat Islam masih sedikit dan terbatas, sedang kekuatan musyrikin
sangat besar. Pada saat itu, pembunuhan terhadap orang-orang yang
memerangi Islam setara dengan sesuatu yang besar dalam timbangan
kekuatan. Keumuman hukum tersebut senantiasa berlaku pada setiap
masa dengan bentuk yang menjamin penghancuran kekuatan musuh
dan melemahkan serangan serta pertahanannya (Sayyid Quthb,
2003: 345-346).
Menawan musuh itu disyariatkan dalam Islam, begitu pun
dengan penjelasan hal yang di atas diatur dalam firman Allah SWT
(Al-Quran surat Muhammad [47] ayat 4).
“Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah
mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau
menerima tebusan sampai perang selesai” yang dimaksud dengan
pertemuan pada ayat ini yaitu pertemuan untuk berperang dan
bertempur, bukan pertemuan biasa. Perintah pemenggalan leher
tatkala bertemu dilakukan setelah Islam ditawarkan kepada mereka,
lalu mereka menolak dengan pasti. Penggalan ini menggambarkan
proses pembunuhan secara aktual dan langsung serta melalui
tindakan.” (Sayyid Quthb, 2003: 345)
Selain itu, Allah Ta’ala berfirman:
“.....dan tangkaplah mereka serta kepunglah mereka....” (Al-Quran
surat At Taubah [9] ayat 5).”
Berdasarkan usia dan jenis kelaminnya, tawanan dibagi
menjadi dua kelompok, yaitu (Sulaiman Rasjid, 2006:462)
a) Tawanan perempuan dan anak-anak.
Dari
pembagian
tawanan
perang
diatas,
Islam
memperlakukan mereka dengan penuh kasih sayang dan
manusiawi. Para tawanan perang yang ditawan oleh kaum
muslimin, mendapatkan jaminan keamanan dari berbagai macam
perlakuan yang dapat melanggar hak-hak mereka sebagai seorang
manusia. Haram membunuh Tawanan perempuan dan anak-anak
kecuali apabila mereka ikut berperang. Golongan ini disebut juga
dengan istilah “sabiyyun.”
Nabi SAW melarang membunuh
mereka.
Para tawanan wanita itu dijadikan budak bila mereka
adalah dari golongan Ahli Kitab, namun menurut Asu-Syafi’I,
mereka dibunuh jika menolak masuk Islam.
b) Sedangkan Tawanan laki-laki dibagi menjadi dua golongan, yaitu
(1) Kaum lelaki yang sudah tua renta di antara mereka, maka
masih menjadi perselisihan pendapat tentang boleh atau
tidaknya menawan dan membunuh mereka. Golongan
Hambali berpendapat bahwa tidak halal menawan mereka,
oleh karena mereka haram dibunuh, dan tidak ada manfaat
memiliki mereka. Sementara Malik dan Abu Hanifah
berpendapat bahwa tidak boleh dibunuh orang yang buta,
atau orang yang tidak waras pikirannya, atau penghuni kuil,
atau orang tua (laki-laki) yang sudah jompo.
Berdasarkan sabda Nabi SAW
“ Berangkatlah kalian dengan asma Allah dan atas millah
Rasulullah. Janganlah kalian membunuh lelaki yang sudah
tua renta, atau anak kecil, atau perempuan, dan janganlah
kalian berbuat ghulul (mengambil sesuatu dari harta
rampasan perang atau menilap sesuatu daripadanya tanpa
izin Imam, sebelum dibagikan kepada mereka yang berhak
menerimanya), kumpulkanlah ghanimah-ghanimah kalian,
dan berbuat baiklah kalian, sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berbuat baik.” (HR. Abu Dawud)
Berkata
Imam
Asy
Syafi’i:”Mereka
dibunuh
semua
berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala:
“Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka
bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu
jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka
dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertobat dan
mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah
kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Quran
surat At-Taubah [9] ayat 5)
(2) Tawanan laki-laki yang telah baligh dan bukan termasuk
golongan yang tua-renta, maka jumhur ulama berpendapat
bahwa Imam bebas memilih alternatif antara: dibunuh, atau
dijadikan tebusan atau dilepas bebas, atau dijadikan budak
yang menurutnya dapat membawa kemaslahatan untuk kaum
Muslimin.
Dari Ibnu “Umar .r.a., bahwasanya Nabi SAW pernah berjalan
pada salah satu ghazwah yang diikutinya, lalu beliau menemukan
mayat perempuan yang terbunuh. Beliau tidak membenarkan
pembunuhan terhadap kaum wanita dan anak-anak. (HR. Al Bukhari
dan Muslim.-shahih-).
Hukum terhadap mereka diserahkan pada kebijaksanaan imam
atau panglima umum. Keduanya berhak mempertimbangkan diantara
empat perkara dengan dasar yang lebih maslahat bagi Islam menurut
pendapat keduanya. Sehingga, sebelum ada putusan dari Imam atau
panglima umum maka tawanan perang harus diperlakukan dengan
baik sampai keputusan itu telah dikeluarkan.
Nabi Muhammad Saw, dengan tegas melarang pembunuhan
terhadap tawanan perang tanpa adanya suatu alasan yang berkaitan
dengan kemaslahatan umat dan memerintahkan para sahabatnya
untuk memperlakukan mereka dengan bermurah hati dan kasih
sayang. Islam pun mengajarkan kaum Muslimin untuk tidak boleh
melakukan perbuatan-perbuatan yang melampaui batas terhadap para
tawanan yang menyebabkan tawanan tersebut meninggal dunia. Allah
Jalla wa ‘Ala (Yang Maha Agung lagi Maha Tinggi) mengharamkan
tindakan melampaui batas dalam firman-Nya
“ Dan janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (AlQuran surat. Al-Baqarah [2] ayat 190). Tafsir ayat ini menjelaskan
bahwa kaum Muslimin dilarang lebih dahulu memerangi mereka
(orang-orang yang memerangi orang Muslimin) dan janganlah
membunuh orang-orang yang tidak boleh dibunuh (Teungku
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, 2002:74).
Ajaran
Islam
menyeru
kepada
umat
Muslimin
agar
menghormati dan berbuat kepada mereka serta memuji bagi orang
yang berbuat baik kepada tawanan perang., firman Allah
“ Dan mereka memberi makanan yang disukainya kepada
orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan. Sesungguhnya
kami memberi makan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan
keridhaan Allah. Kami tidak menghendaki balasan dari kamu, dan
tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan azab
suatu hari yang (pada hari itu orang-orang bermuka) masam, penuh
kesulitan (yang datang) dari Tuhan kami.” ( Al-Quran surat
Al-
Insaan [76] ayat 8-10).
Akhlak kaum Muslimin pun telah diakui oleh para tawanan
perang dalam memperlakukan mereka (para tawanan perang) yaitu
Abu Aziz, saudara Mush’ab bin umair dan salah seorang tawanan
yang berada di tangan Muslimin, meriwayatkan tentang perlakuan
baik kaum Muslimin terhadap dirinya, ia berkata : “Aku berada di
tengah sejumlah kaum Anshor ketika mereka membawaku dari Badar.
Apabila menyuguhkan makanan siang dan malam mereka, mereka
mengkhususkan untukku berupa roti, sedangkan mereka hanya makan
kurma. Hal ini disebabkan oleh wasiat Rasulullah saw kepada mereka
untuk memperlakukan kami (tawanan perang) dengan baik. Tidaklah
tangan salah seorang dari mereka memegang sepotong roti kecuali
pasti memberikannya kepadaku.”
Abu Aziz berkata:“sampai aku malu lalu aku mengembalikannya kepada salah seorang dari mereka tetapi ia mengembalikannya
lagi kepadaku, hingga aku tidak berani menyentuh nya.”(Muhammad
Abdul Qadir Abu Faris, 1998:139-140).
Tsumaqah bin Atsal tertangkap sebagai tawanan di tangan kaum
Muslimin. Kemudian mereka (kaum Muslimin) datang membawanya
kepada Rasulullah saw.dan kemudian Rasul bersabda :
“Berbuat baiklah kepada tawanan,”
dan kemudian bersabda lagi :
“ Kumpulkanlah apa yang kalian punya berupa makanan, maka
kirimkanlah kepadanya.”
Mereka kemudian memberikannya susu unta pagi dan sore milik
Rosulullah. Dan Nabi saw. Mengajak masuk Islam, kemudian
Tsumaqah bin Atsal tidak menerima. Rasulullah saw akhirnya
melepaskannya tanpa tebusan, karena hal inilah, Tsumaqah bin Atsal
masuk Islam. (Sayyid Sabiq, 1984:168).
Abu Musa Al Asy’ari meriwayatkan dari Rasulullah SAW.,
bahwa beliau bersabda :
“Lepaskanlah para tawanan, penuhilah panggilan/undangan dan
berilah makan orang-orang yang lapar serta jenguk orang sakit.”
Dari paparan ayat dan hadis di atas, dengan jelas dan tegas Islam
menekankan pentingnya menghormati tawanan. Teks suci Al-Quran
dan Hadist mengekspresikan, pemberian pangan untuk para tawanan
merupakan salah satu dari kebajikan, dan terhitung sebagai salah satu
sifat Mu'min yang baik. Kaum Muslimin biasa mendahulukan
kepentingan para tawanan daripada kepentingan mereka sendiri dan
kaum Muslimin biasa memberikan apa yang paling baik yang mereka
miliki
serta
memperlakukan
tawanan-tawanan
dengan
sangat
manusiawi.
Rasulullah saw pun melarang memisahkan, pada kaum tawanan,
antara ibu dan anaknya. Beliau bersabda :
“Barangsiapa yang memisahkan antara ibu dan anaknya, maka Allah
akan memisahkan antara dia dengan orang yang dicintainya pada hari
kiamat.”
Allah swt berfirman
“ Hai Nabi, katakanlah kepada tawanan-tawanan yang ada di
tanganmu: “Jika Allah mengetahui ada kebaikan dalam hatimu,
niscaya Dia akan memberikan kepadamu yang lebih baik dari apa
yang telah diambil daripadamu dan Dia akan mengampuni kamu.”
Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Akan tetapi jika
mereka (tawanan-tawanan itu) bermaksud hendak berkhianat
kepadamu, maka sesungguhnya mereka telah berkhianat kepada
Allah sebelum ini, lalu Allah menjadikan(mu) berkuasa terhadap
mereka. Dan ALlah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (AlQuran surat Al-Anfaal [8] ayat 70-71).
Ayat tersebut menerangkan bahwa semua kebaikan ini
berkaitang dengan kebaikan hati, yang terbuka untuk menerima
cahaya iman. Sehingga, Allah melihat bahwa di dalamnya terdapat
kebaikan. Kebaikan yang dimaksud yaitu adalah iman. Islam
membiarkan hidup tawanan-tawanan itu, untuk menyentuh tempattempat kebaikan, harapan, kesalehan. juga agar membangkitkan
potensidi dalam jiwanya untuk menyambut dan menerima petunjuk ,
bukan untuk menghinakan dan merendahkannya, sebagaimana yang
dilakukan oleh bangsa romawi dan bangsa-bangsa lainnya dalam
penaklukan-penaklukannya. Pada waktu Allah membuka jendela
harapan yang memancarkan cahaya dan kasih saying bagi tawanan
perang, Dia juga mengancam mereka agar jangan berkhianat kepada
Rasulullah saw. sebagaimana yang mereka lakukan sebelumnya.
(Sayyid Quthb,2003:26)
Para tawanan perang yang tertangkap oleh pasukan Muslim
harus mematuhi setiap peraturan yang ada di dalam wilayah Islam,
dimana mereka akan mendapat jaminan aman namun tetap ada
pembatasan kebebasan dan aktivitas. Sama halnya dengan para
tentara Muslim yang tertangkap dan menjadi tawanan perang, mereka
tidak hanya berkewajiban melaksanakan Hukum Islam, kecuali
keadaan yang mencegah mereka untuk melaksanakannya, tetapi juga
wajib melaksanakan hukum yang berlaku di wilayah musuh (wilayah
non-muslim) sebatas tidak bertentangan dengan Hukum Islam.
Para tawanan Muslim yang ditawan oleh musuh, tidak
berkewajiban mengambil bagian dalam pertempuran bersama para
prajurit musuh, sekalipun dijanjikan hadiah berupa rampasan perang.
Dia juga tidak wajib memberikan informasi dan pengetahuannya
yang akan digunakan musuh untuk melawan Islam. Apabila tawanan
Muslimin dipaksa untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang
dilarang oleh Hukum Islam maka mereka tidak dapat dikenai
hukuman (Tabari, kitab al-jihad dalam Majid Khadduri, 2002:140).
4) Berakhirnya Penawanan
Sesungguhnya hukum (keputusan) tentang para tawanan di
dalam Islam diserahkan kepada keputusan Imam untuk memilih salah
satu dari empat hukum (keputusan). Pilihan ini diambil dengan
berbagai pertimbangan untuk kemaslahatan umat muslim pada
khususnya dan umat manusia pada umumnya dengan tidak melupakan
prinsip dasar perlakuan terhadap tawanan yaitu memperlakukannya
dengan baik. Keempat tindakan itu yaitu: (Tabari, kitab al-jihad dalam
Majid Khadduri, 2002: 144-145)
(a) Tawanan perang dapat dieksekusi
Islam berpendapat bahwa adalah hak imam (pemerintah)
buat membunuh para tawanan itu apabila dipandang bahwa
keberadaan mereka akan berbahaya terhadap keselamatan negara
Islam, dimana tidak mungkin diperoleh kebaikkan bila tawanantawanan tersebut dibiaerkan hidup. Tetapi, sebenarnya Islam
tidak beranggapan bahwa membunuh tawanan-tawanan itu
sesuatu yang wajib dilaksanakan (Al-Ustadz Ali Al-Khinani,
1985: 194).
Baik Abu Yusuf maupun Syafi’i menekankan bahwa
kebijakan ini seharusnya tidak dilakukan kecuali ada alasanalasan tertentu, seperti untuk memperlemah musuh, atau
berdasarkan kepentingan kaum muslimin yang bernilai guna
(Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj dalam Majid Khadduri, 2002: 104).
Sedangkan, Awza’i menyarankan, bahwasanya sebelum eksekusi
tawanan seharusnya diberi kesempatan memeluk Islam sebagai
alternatif daripada memilih mati (Tabari, kitab al-jihad dalam
Majid Khadduri, 2002:141-142).
Al-Alusi berkata : Tidak boleh seorang tawanan dibunuh
tanpa alasan; dan kalau hal itu terjadi maka Imam harus
menghukum ta’zir kepada pelakunya, tetapi ia tidak dikenakan
denda; Dan jika tawanana itu menyatakan masuk Islam sesudah
ditawan, maka tidak boleh dibunuh tetapi boleh dijadikan hamba
karena keislamannya tidak menghalangi bolehnya dijadikan
hamba sebagai balasan atas kekufurannya selam ini, berbeda
kalau masuk Islamnya itu sebelum ditawan karena ia telah masuk
Islam sebelum ada unsur (penghambaan) padanya (Muhammad
Ali Ash-Shabuni, 2003:84).
(b) Tawanan Perang dapat dibebaskan tanpa membayar tebusan atau
tanpa syarat
Mengampuni atau membebaskan tanpa syarat dengan
tebusan apapun, dilakukan bila bermanfaat untuk kepentingan
umum, atau karena tawanan tersebut tidak memiliki harta apapun
untuk menebusnya.
Imam Syafi’i membolehkan membebaskan tawanan
perang tanpa memungut suatu imbalan apa pun karena Nabi saw.
Pernah membebaskan Tsumamah bin Utsal, pemimpin suku
yamamah kemusian ia menjadi Islam dan menjadi muslim yang
baik. Nabi saw. Bersabda
“Kalau sekiranya Muth’am bin Adi masih hidup kemudian ia
membicarakan denganku tentang mayat-mayat itu, yakni
tawanan
Badr,
niscaya
akan
kuserahkan
mereka
itu
kepadanya.” (HR.Bukhari)
Sabda Rasulullah saw, ini menunjukkan bolehnya membebaskan
tawanan perang tanpa syarat atau tebusan (Muhammad Ali AshShabuni,2003:89).
(c) Tawanan Perang dapat Dibebaskan dengan Membayar Tebusan
(Fidyah)
Jumhurul mufassisrin berpendapat, bahwa yang dimaksud
dengan “fida” yaitu pembebasan dengan imbalan dan kadangkadang imbalan itu berupa tukar-menukar tawanan, berupa uang,
peralatan perang, atau jasa sebagaimana tawanan perang Badar,
dimana sebagian mereka yang tidak mampu menebus dirinya
dengan uang diperintahkan oleh Nabi saw. agar mengajar
membaca dan menulis sepuluh anak-anak kaum muslimin
(Muhammad Ali Ash-Shabuni, 2003:82).
Firman Allah SWT
“maka tawanlah mereka, kemudian kamu boleh membebaskan
mereka atau menerima tebusan” (Al-Quran surat At-Taubah [9]
ayat 4).
“Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan
perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga
apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka
dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau
menerima tebusan sampai perang berhenti. Demikianlah,
apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan
mereka tetapi Allah hendak menguji sebahagian kamu dengan
sebahagian yang lain. Dan orang-orang yang gugur pada jalan
Allah, Allah t0idak akan menyia-nyiakan amal mereka ‘(AlQuran surat Muhhamad [47] ayat 4 )
Ayat di atas menegaskan bolehnya menerima tebusan
secara mutlak tanpa ikatan dan tanpa syarat. Tebusan kadangkadang dengan berupa kepala, yakni menukar tawanan kaum
Muslimin dengan tawanan musuh, atau tawanan ditebus dengan
harta sampai ia bebas.
Para tawanan perang Badar yang tidak mempunyai uang
dan tidak mempunyai kerabat yang dapat menebus mereka maka
Rasulullah saw menjadikan tebusan mereka dalam bentuk
mengajarkan baca tulis kepada anak-anak kaum Anshar . Setiap
satu tawanan diwajibkan mengajari sepuluh anak. Zaid bin
Tsabit termasuk orang yang belajar melalui cara tersebut di atas.
Hal
ini
jelas
merupakan
penghargaan
terhadap
ilmu
pengetahuan, dorongan untuk pandai membaca dan menulis
(Abdul Hasan ‘Ali al-Hasani an-Nadwi, 2007:263)
(d) Tawanan Perang Bisa Ditukar dengan Tawanan Muslim
Khalifah Umar menekankan cara yang lebih serius untuk
membebaskan para tawanan Muslimin dengan pembayaran yang
diambil dari pembagian harta rampasan perang atau dengan
membayar tebusan yang diambil dari kas pembedaharaan negara.
Jika tawanan tidak dijadikan budak, Maliki melarang untuk
menghukum atau menukar mereka dengan tawanan muslimin.
(e) Tawanan Perang Bisa Dihukum dan Dijadikan Budak
Islam
tidak
mengharamkan
perbudakkan
dengan
pernyataan tegas dari Al-qur’an dan Sunnah, tetapi pada waktu
yang sama mengharamkan semua pintu perbudakkan yang
zhalim dan hanya membuka satu pintu yaitu pintu perperangan.
Para ulama Islam mensyaratkan pengambilan keputusan ini
dengan kemaslahatan kaum Muslimin secara umum dan
perlakuan yang setimpal terhadap musuh, agar kewibawaan
kaum Muslimin tidak lemah di mata musuh-musuh mereka, juga
agar para tawanan kaum Muslimin tidak diperlakukan dengan
buruk bila mereka diperbudak sedangkan para tawanan musuh
dibiarkan bersenang-senang (Muhammad Abdul Qadir Abu
Faris, 1998: 141).
2. Perbandingan Perlakuan Tawanan Perang dalam Hukum Humaniter
Internasional dan Hukum Islam.
a. Persamaan Perlakuan Tawanan Perang dalam Hukum Humaniter
Internasional dan Hukum Islam.
Persamaan perlakuan tawanan perang antara konsep Hukum
Humaniter Internasional dengan konsep Hukum Islam adalah sebagai
berikut.
1) Perlindungan Umum Tawanan Perang
Baik dalam konsep Hukum Humaniter Internasional maupun
Hukum Islam, kedua-duanya mempunyai konsep umum yang sama
dalam memperlakukan tawanan perang dengan baik dan benar.
Dalam hal perlindungan umum tawanan perang, konsep
Hukum Humaniter Internasional mengatur untuk memperlakukan
tawanan perang dengan baik dan menghormati hak-hak mereka
sebagai tawanan perang.Perlindungan umum tawanan perang dalam
konsep Hukum Humaniter Internasional diatur dalam Pasal 13-15
Konvensi III Jenewa 1949.
Dalam Hukum Islam, secara umum para tawanan perang
diperlakukan dengan sangat baik dan menghargai hak-hak setiap
tawanan perang. Islam mengajarkan pemeluknya untuk senantiasa
berbuat baik kepada semua mahluk, termasuk berbuat baik kepada
para tawanan perang walaupun telah datang keputusan dari Imam,
seorang Muslim wajib berbuat baik kepada para tawanan perang.
Mereka (tawanan perang) tidak boleh dihalangi dari makan
dan minum, juga tidak boleh disiksa, bahkan harus diberikan apa
yang menjadi kebutuhannya dan diperlakukan dengan baik,
sebagaimana sabda Rasulullah SAW kepada kaum Muslimin di
Badar :
“ Perlakukanlah tawanan dengan sebaik-baiknya”
Allah SWT. Berfirman dalam Al-Quran surat Al-Insaan [76] ayat 810.
“ Dan mereka memberi makanan yang disukainya kepada orang
miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami
memberi
makan
kepadamu
hanyalah
untuk
mengharapkan
keridhaan Allah. Kami tidak menghendaki balasan dari kamu, dan
tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan
azab suatu hari yang (pada hari itu orang-orang bermuka) masam,
penuh kesulitan (yang datang) dari Tuhan kami.”
Islam mengharamkan menyiksa mereka sebagaimana halnya
melarang mencincang korban-korban perang di pihak musuh,
demikian juga melarang membunuh wanita dan anak-anak.
2) Penawanan
Pada masa penawanan, terdapat beberapa persamaan antara
konsep Hukum Humaniter Internasional dengan konsep Hukum
Islam dalam hal perlakuan tawanan perang. Persamaannya yaitu :
a) Mematuhi Peraturan Negara Penahan
Baik dalam Hukum Humaniter Internasional maupun
Hukum Islam, para tawanan perang diwajibkan untuk mematuhi
peraturan-peraturan masing-masing Negara penahan dimana
peraturan-peraturan tersebut tetap menjamin rasa aman bagi para
tawanan untuk memeluk dan menjalankan ajaran agamanya
masing-masing tanpa pernah memaksa para tawanan untuk
melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan
ajaran agamanya.
b) Sarana dan Prasarana yang Memadai
Baik dalam Hukum Humaniter Internasional maupun
Hukum Islam, para tawanan perang mendapatkan sarana dan
prasarana yang memadai. Mulai dari pakaian, tempat tinggal, dan
makanan yang semua diatur di dalam kedua konsep hukum
tersebut. Para tawanan yang sakit pun menjadi tanggung jawab
dari negara penahan untuk menjamin kesehatan para tawanan
perang.
c) Penempatan tawanan perang pada tempat kondusif yang aman
dan jauh dari tempat terjadi perperangan. Baik dalam Hukum
Humaniter Internasional maupun dalam konsep Hukum Islam,
diatur mengenai tempat yang terbaik bagi tawanan perang.
d) Selain prasarana dan sarana yang memadai, kedua konsep
tersebut juga mengatur mengenai berbagai kegiatan-kegiatan
yang disesuaikan dengan kebutuhan para tawanan perang,
sehingga, para tawanan perang dapat melaksanakan berbagai
kegiatan yang dibutuhkannya.
e) Baik dalam konsep Hukum Humaninter Internasional maupun
konsep Hukum Islam, kedua-duanya memberikan sanksi kepada
para tawanan perang apabila para tawanan perang tidak
mematuhi peraturan yang ada pada negara penahan.
f)
Dalam hal pemberian putusan hukuman terdapat persamaan
dalam konsep Hukum Humaniter Internasional dengan konsep
Hukum Islam, keduanya mengatur bahwa sebelum tawanan
perang
diberikan
hukuman
atas
kesalahan
yang
telah
dilakukannya terlebih dahulu harus adanya proses pengadilan
untuk menentukan apakah tawanan tersebut bersalah atau tidak
serta memutuskan putusan apa yang tepat untuk tawanan tersebut
apabila tawanan tersebut terbukti bersalah.
3) Berakhirnya Penawanan
Dalam Hukum Humaniter Internasional maupun Hukum
Islam terdapat beberapa cara berakhirnya penawanan para tawanan
perang. Di antara beberapa cara tersebut, terdapat satu persamaan
cara berakhirnya penawanan para tawanan perang. Persamaannya
yaitu :
a) Hukum Humaniter Internasional
Dalam berakhirnya masa penawanan tawanan perang
dalam Hukum Humaniter Internasional, terdapat beberapa cara
berakirnya tawanan perang, di antara beberapa cara tersebut
terdapat persamaan cara pembebasan tawanan perang pada
Hukum Humaniter Internasional dengan cara di dalam Hukum
Islam, yaitu pembebasan tawanan perang tanpa syarat setelah
perperangan itu telah berakhir.
Dalam Hukum Humaniter Internasional, pembebasan
tawanan perang tanpa syarat ini dijelaskan dalam Pasal 118
Konvensi III Jenewa yang berbunyi :
“Tawanan perang harus segera dibebaskan dan dipulangkan
sesudah penghentian kegiatan permusuhan. Jika tidak ada
ketentuan-ketentuan
yang
mengatur
hal
di
atas
dalam
persetujuan apapun yang diadakan antara pihak-pihak dalam
sengketa untuk menghentikan permusuhan, atau jika sama sekali
ada persetujuan tersebut, maka setiap negara penahan masingmasing harus mengadakan dan melaksanakan dengan segera
suatu cara pemulangan sesuai dengan azas yang ditetapkan
dalam pargraf di atas. Biaya pemulangan tawanan perang dalam
semua hal dibagi seimbang antara negara penahan dan negara
yang ditaati tawanan.”
b) Hukum Islam
Sedangkan dalam Hukum Islam, pembebasan tawanan
perang tanpa syarat diterangkan dalam firman Allah SWT.
dalam Al-Quran surat Muhammad [47] ayat 4 :
“Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka
tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan
mereka atau menerima tebusan sampai perang selesai”
Selain itu, Abu Musa Al Asy’ari meriwayatkan dari
Rasulullah saw., bahwa beliau bersabda :
“Lepaskanlah para tawanan, penuhilah panggilan/undangan dan
berilah makan orang-orang yang lapar serta jenguk orang sakit.”
b. Perbedaan Perlakuan Tawanan Perang dalam Hukum Humaniter
Internasional dan Hukum Islam.
Perbedaan perlakuan tawanan perang antara konsep Hukum
Humaniter Internasional dengan konsep Hukum Islam adalah :
1. Pengertian dan Kriteria Tawanan Perang
Terdapat perbedaan yang mendasar antara konsep Hukum
Humaninter Internasional dengan konsep Hukum Islam dalam hal
siapa saja yang dapat digolongkan menjadi tawanan perang. Dalam
Hukum Humaniter Internasional, penduduk sipil yang tidak ikut
berperang maka mereka tidak termasuk kedalam golongan orang
yang dapat ditawan. Sedangkan, dalam konsep Hukum Islam, baik
penduduk sipil yang tidak ikut berperang maupun yang ikut
berperang digolong kedalam orang-orang yang dapat ditawan.
2. Penawanan
Pada masa penawanan, terdapat beberapa perbedaan antara
konsep Hukum Humaniter Internasional dengan konsep Hukum
Islam dalam hal perlakuan tawanan perang. Perbedaannya yaitu :
a. Keputusan Penawanan
Dalam hal permulaan penawanan, terdapat perbedaan
antara konsep Hukum Islam dengan konsep Hukum Humaniter
internasional. Perbedaannya yaitu :
1) Hukum Humaniter Internasional
Dalam konsep Hukum Humaniter Internasional, apabila
pasukan dari salah satu pihak yang bersengketa tertangkap
oleh pihak lawannya maka para pasukan tersebut secara
otomatis menjadi tawanan perang dari Negara penahan. Hal
ini diatur dalam pasal 4 Konvensi III Jenewa 1949, yang
menyatakan bahwa “yang dimaksud tawanan perang yaitu
orang-orang yang termasuk salah satu golongan berikut, yang
telah jatuh dalam kekuasaan musuh.”
Dari pasal di atas, dengan jelas menerangkan bahwa
penahan terhadap pihak musuh dapat dilakukan ketika pihak
musuh tersebut sudah jatuh dalam kekuasaannya.
2) Hukum Islam
Dalam konsep hukum Islam, apabila pasukan dari salah
satu pihak musuh tertangkap oleh pasukan Muslimin, maka
pihak yang tertangkap tersebut tidak secara otomatis ditawan
oleh pasukan Muslimin. Sebelum memutuskan melakukan
penawanan terhadap pasukan musuh, pasukan Muslimin
melihat kondisi internal dari pasukannya. Penawanan
diperbolehkan ketika kondisi dari kaum Muslimin sudah
mempunyai kekuatan yang kokoh serta kekuasaan berada di
tangan kaum Muslimin. Hal ini dikarenakan, apabila kaum
Muslimin belum mempunyai kekuatan yang kokoh serta
kekuasaan belum berada di tangan mereka maka pihak musuh
tidak akan merasa takut terhadap kaum Muslimin.
Allah SWT berfirman dalam Al-Quran surat Al-Anfal [8] ayat
67:
“ Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan
sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi.
Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah
menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
b. Penawanan
Dalam
menjalani
masa
tawanan,
para
tawanan
mendapatkan berbagai perlakuan dimana perlakuan yang ada di
dalam konsep Hukum Humaniter Internasional dengan Hukum
Islam ketika dilihat lebih dalam ternyata memiliki beberapa
perbedaan yang membedakan kedua konsep hukum tersebut.
Beberapa perbedaan dalam masa penawanan ini yaitu :
1) Pangkat Tawanan
Dalam hal status atau pangkat yang dimiliki oleh
tawanan perang, terdapat perbedaan konsep dalam konsep
Hukum Humaniter Internasional dengan Hukum Islam.
Perbedaannya yaitu :
a) Hukum Humaniter Internasional
Dalam konsep Hukum Humaniter Internasional,
para tawanan perang yang memiliki pangkat lebih tinggi
dibandingkan dengan tawanan perang yang lainnya
mendapat perlakuan baik hak dan kewajiban yang
berbeda. Tawanan perang yang memiliki pangkat lebih
tinggi itu, mendapatkan kewajiban tidak seberat tawanan
perang yang lebih rendah. Misalnya Pasal 49 Konvensi
III Jenewa 1949, yang pada itinya mengatakan bahwa
“….mereka (Tawanan perang berpangkat Perwira)
sekali-kali tidak boleh dipaksa untuk bekerja.”
Walapun terdapat kemiripan konsep dengan
Hukum Islam, yaitu persamaan perlakuan setiap orang.
Namun, perbedaannya yaitu dalam konsep Hukum
Humaniter Internasional, persamaan perlakuan antara
tawanan perang yang dimaksud
yaitu persamaan
perlakuan para tawanan perang dengan prajurit Negara
Penahan yang memiliki pangkat yang sederajat. Hal ini
diatur pada Pasal 43 Konvensi III jenewa 1949.
b) Hukum Islam
Dalam
konsep
Hukum
Islam,
tidak
ada
pembedaan perlakuan antara tawanan perang yang
berpangkat tinggi dengan yang berpangkat rendah,
karena kaum Muslimin mengannggap semua manusia
memiliki kedudukan yang sama. Oleh karena itu,
perlakuan yang diberikan juga sama tanpa membedakanbedakan pangkat. Hal ini karena setiap orang memiliki
kedudukan yang sama di mata Allah SWT, sedangkan
yang membedakannya antara manusia yang satu dengan
manusia yang lain yaitu hanya tigkat keimanannya. Hal
ini terdapat dalam Al-Quran surat Al-Hujurat [49] ayat
13 yang berbunyi :
“…Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara
kamu di sisi Allah SWT adalah orang-orang yang paling
bertakwa. Sesungguhnya Allah SWT Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal. ”
2) Tenaga Kerja Tawanan Perang
Selama menjalani masa tawanan, terdapat perbedaan
antara konsep Hukum Humaniter Internasional dengan
Hukum Islam yaitu dalam hal menjadikan para tawanan
perang sebagai tenaga kerja.
a) Hukum Humaniter Internasional
Dalam konsep Hukum Humaniter Internasional,
selama menjalani masa tawanan, seorang tawanan perang
dapat dipekerjakan untuk melakukan berbagai kegiatan
dengan dalih utamanya yaitu untuk memelihara para
tawanan perang dalam keadaan kesehatan jasmani dan
rohani yang baik. Hal ini diatur dalam Pasal 49-57
Konvensi III Jenewa 1949.
b) Hukum Islam
Dalam konsep Hukum Islam, selama belum
adanya putusan dari seorang imam tentang putusan akhir
dari para tawanan perang. Maka kaum Muslimin tidak
boleh memposisikan para tawanan perang sebagi pekerja.
Hal ini, karena Nabi Muhammad SAW memerintahkan
kaum Muslimin untuk memperlakukan para tawanan
perang baik sebelum adanya putusan dari seorang Imam.
Sehingga, setelah ada putusan dari imam, para tawanan
perang tersebut mempunyai kejelasan terkait tindakan apa
yang akan diberikan kepadanya.
3) Wakil Tawanan Perang.
Terdapat
perbedaan
antara
Hukum
Humaniter
Interbnasional dengan Hukum Islam mengenai wakil tawanan
perang. Perbedaannya yaitu :
a) Hukum Humaniter Internasional
Dalam konsep Hukum Humaniter Internasional,
terdapat wakil tawanan perang dengan maksud sebagai
perantara antara tawanan perang dengan penguasa Negara
penahan. Hal ini diatur dalam Pasal 79-81 Konvensi III
Jenewa 1949.
b) Hukum Islam
Dalam konsep Hukum Islam, seorang tawanan
perang
tidak
mempunyai
wakil
yang
selalu
mendampinginya atau menjadi perantara antara tawanan
perang dengan penguasa dari negara penahan dalam hal
berkomunikasi. Hal ini karena para tawanan perang selalu
berhadapan langsung dengan imam dari kaum Muslimin
dengan tujuan untuk melihat kondisi mereka, sehingga
para tawanan perang dapat langsung menyampaikan
berbagai persoalan atau permintaan yang ia ingin
sampaikan. Contohnya yaitu :
“ Ketika kaum Muslimin mengiringi para tawanan,
seorang dari tawanan itu maju menuju Rasulullah SAW.
Ia bernama Syaima’ binti Halimah as-Sa’diyah, saudara
perempuan
sesusuan
Rasulullah
SAW.
Mereka
memperlakukannya dengan kasar, sedang mereka tidak
mengetahuinya. Lalu Syaima’ berkata kepada kaum
Muslimin: ‘Ketauhilah, demi Allah, sesungguhnya aku
adalah
saudara
(Rasulullah
perempuan
SAW).’
sesusuan
Kaum
sahabatmu
Muslimin
tidak
mempercayainya sehingga mereka membawa perempuan
itu
kehadapan
Rasulullah
SAW.
setelah
sampai
dihadapanku, ia berkata: ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya
aku adalah saudara perempuanmu sesusuan.’ Beliau
bertanya, ‘apa buktinya?’ Ia berkata, ‘ Gigimu pernah
menggigit punggungku ketika aku sedang bersandar
kepadamu.’ Rasulullah mengenali tanda itu. lalu Beliau
melebarkan kainnya, mempersilakannya duduk pada kain
tersebut, dan berbuat baik padanya. Beliau berkata: ‘Jika
engkau ingin tempat tinggal, aku memiliki tempat tinggal
yang mulia, dan jika engkau ingin pulang kepada
kaummu maka aku akan mengantarkanmu.’ Syaima’
berkata :‘ Aku ingin engkau mengantarkanku kembali
kepada kaumku.’ ” (Sirah Ibnu Katsir dalam Abul Hasan
‘Ali
al-Hasani
an-Nadwi,
2001:434-435).
Lalu
Rasulullah saw. mengantarkannya dengan selamat.
Beliau memberikannya tiga hamba sahaya laki-laki, satu
perempuan, dan diterima dengan senang. (Zadul Ma’ad
dalam Abul Hasan ‘Ali al-Hasani an-Nadwi, 2001:435).
4) Disipilin
Baik dalam konsep Hukum Humaninter Internasional
maupun konsep Hukum Islam, kedua-duanya mengatur
tentang disiplin yang harus dilaksanakan para tawanan perang
selama mereka menjalani masa tawanan.Namun, yang
membedakannya yaitu disiplin yang terdapat dalam konsep
Hukum Humaniter Internsional belum diberlakukan secara
menyeluruh kepada semua tawanan perang karena peraturan
disiplin tersebut hanya berlaku kepada tawanan perang yang
memiliki pangkat lebih rendah. Sedangkan, dalam konsep
Hukum Islam peraturan disiplin yang ada diberlakukan
kepada semua tawanan perang tanpa memandang pangkat dan
kedudukan para tawanan perang tersebut.
5) Proses Peradilan
Peradilan yang diadakan dalam konsep Hukum Islam
dan Hukum Humaniter Internasional memiliki tujuan dan
makna yang berbeda. Perbedaan yaitu :
a) Hukum Humaniter Internasional.
Dalam konsep Hukum Humaniter Internasional,
peradilan diadakan untuk mengadili setiap perbuatan
tawanan perang yang melanggar peraturan Undangundang Negara Penahan atau Hukum Internasional yang
berlaku pada waktu perbuatan tersebut dilakukan, hal ini
seperti diatur di dalam pasal 99 Konvensi III Jenewa 1949
yang berbunyi :
“Seorang tawanan perang tidak boleh diadili atau
dijatuhi hukuman untuk perbuatan yang tidak dilarang
oleh Undang-undang Negara Penahan atau oleh Hukum
Internasional yang berlaku pada waktu perbuatan
tersebut dilakukan. Terhadap tawanan perang tidak boleh
dilakukan paksaan psikis atau phisik untuk memaksanya
mengaku
salah
atas
perbuatan
yang
dituduhkan
kepadanya. Tawanan perang tidak boleh dihukum tanpa
diberi
kesempatan
sebelumnya
untuk
mengajukan
pembelaannya serta mendapat bantuan seorang pembela
atau pengacara yang cakap.”
b) Hukum Islam.
Dalam Hukum Islam, peradilan yang diadakan
selain untuk menghasilkan sebuah keputusan tentang
kejelasan hukuman para tawanan, apakah para tawanan
tersebut akan dijatuhi sebuah hukuman atau para tawanan
tersebut akan dibebaskan baik dengan syarat ataupun
tanpa syarat. Dalam mengambil keputusan yang akan
dijalankan, seorang imam akan mengambil dengan
berbagai pertimbangan dimana salah satunya yaitu
berdasarkan tingkah laku dari tawanan perang itu sendiri
selama mengadakan permusuhan dengan kaum Muslimin.
Setiap keputusan yang diambil didasarkan untuk
kemaslahatan umat muslim pada khususnya dan umat
manusia pada umumnya dengan tidak melupakan prinsip
dasar perlakuan terhadap tawanan.
c. Berakhirnya Penawanan
Berakhirnya penawanan merupakan salah satu poin yang
membedakan antara konsep Hukum Humaniter Internasional
maupun Hukum Islam. Perbedaan berakhirnya penawanan ini
juga menjadi salah satu parameter kualitas perlakuan tawanan
perang dalam konsep Hukum Humaniter Internasional dan dalam
konsep Hukum Islam. Walau pun dari beberapa cara tersebut
terdapat satu persamaan cara berakhirnya penawanan, namun hal
tersebut tidak dapat mempengaruhi perbedaan dasar dari cara
berakhirnya penawanan dalam kedua konsep hukum tersebut.
Perbedaan cara berakhirnya penawanan yaitu :
1) Hukum Humaniter Internasional
Dalam konsep Hukum Humaniter Internasional,
terdapat tiga cara berakhirnya penawanan para tawanan
perang. Ketiga cara tersebut yaitu Pemulangan langsung dan
penempatan di Negara netral, pembebasan dan pemulangan
tawanan perang pada akhir permusuhan, dan kematian
tawanan perang, ketiga cara berakhirnya penawanan ini
diatur di dalam Pasal 109-121 Konvensi III Jenewa 1949.
Dari ketiga cara tersebut terdapat satu cara yang sama dengan
cara yang terdapat di dalam konsep Hukum Islam, yaitu
pemulangan tawanan perang pada akhir permusuhan dimana
para tawanan perang dibebaskan tanpa ada syarat-syarat yang
harus dipenuhi.
Dalam konsep Hukum Humaniter Internasional,
penetuan berakhirnya penawanan para tawanan perang hanya
dilihat dari kondisi para tawanan perang tanpa ada suatu
dasar lain yang dijadikan pijakan dalam mengambil putusan.
2) Hukum Islam
Dalam konsep Hukum Islam, berakhirnya masa
penawanan para tawanan perang setelah imam mengeluarkan
putusan. Putusan yang dikeluarkan oleh seorang imam yaitu
sebuah keputusan yang didasarkan untuk kemaslahatan umat
Muslimin pada khususnya dan manusia pada umumnya.
Keputusan itu juga di dasarkan dari perbuatan atau
tingkah laku dari para tawanan perang selama mengadakan
permusuhan dengan umat Muslimin. Semakin banyak
perilaku dari tawanan perang yang menyakiti, menyiksa umat
Muslimin dan
menghina serta melecehkan agama Islam,
maka semakin keras pula putusan yang diberikan imam
kepada tawanan perang tersebut dan sebaliknya semakin
ringannya perbuatan yang mereka lakukan maka semakin
ringan pula putusan yang diberikan imam kepada mereka.
Dalam konsep Hukum Islam, terdapat beberapa cara
berakhirnya penawanan terhadap para tawanan perang,
berbagai cara itu yaitu tawanan perang dapat di eksekusi,
tawanan perang dapat dibebaskan tanpa membayar tebusan,
tawanan perang dapat dibebaskan dengan menembus suatu
tebusan, tawanan perang dapat ditukar dengan tawanan
perang Muslim, dan tawanan perang dapat dijadikan budak.
B. Pembahasan Penelitian
Dari hasil penelitian yang telah dipaparkan di atas, penulis telah
membahas persamaan dan perbedaan kedua konsep hukum tersebut terkait
dengan perlakuan terhadap tawanan perang. Pembahasan dari hasil penelitian
tersebut adalah sebagai berikut.
1. Pengaturan Perlakuan Tawanan Perang dalam Hukum Humaniter
Internasional dan Hukum Islam
Dari semua peraturan yang telah dipaparkan baik peraturan yang
berasal dari Hukum Humaniter Internasional maupun dari Hukum Islam
dapat diketahui bagaimana peraturan-peraturan yang ada pada kedua
hukum tersebut mengenai perlakuan tawanan perang. Peraturan-peraturan
yang
telah
dipaparkan
tersebut
kemudian
dibahas
yang
hasil
pembahasannya adalah sebagai berikut.
a) Pengaturan
Perlakuan
Tawanan
Perang
dalam
Hukum
Humaniter Internasional
1) Pengertian dan Kriteria Tawanan Perang
Dalam Hukum Humaniter Internasional, pengertian dan
kriteria tawanan perang diatur dalam Pasal 1 dan 2 Bagian I serta
Pasal 4 dan 13 Bagian II Annex dari Konvensi IV Den Haag
1907, Pasal IV Konvensi III Jenewa 1949, Pasal 43 dan 44
Protokol Tambahan I 1977, dan Pasal 165 San Remo Manual.
Dari keempat sumber hukum tersebut menyatakan bahwa
pengertian tawanan perang adalah seseorang yang termasuk ke
dalam kategori tawanan perang yang berada di bawah kekuasaan
negara musuh karena tertangkap oleh tentara musuh ketika
berperang. Sedangkan, dari keempat sumber hukum tersebut,
orang-orang yang termasuk kedalam kriteria tawanan perang
adalah sebagai berikut.
(a) Orang yang termasuk kedalam angkatan perang dari salah
satu pihak yang bersengketa.
(b) Orang-orang yang termasuk kedalam anggota-anggota milisi,
anggota-anggota dari barisan sukarela, dan anggota-anggota
gerakan perlawanan yang diorganisir yang tergolong pada
salah satu pihak yang bersengketa.
(c) Orang-orang yang menyertai angkatan perang salah satu
pihak yang bersengketa.
(d) Orang-orang yang menjadi awak kendaraan milik salah satu
pihak yang bersengketa yang tidak mendapat perlakuan yang
menguntungkan menurut ketentuan-ketentuan lain apapun
dalam Hukum Internasional.
(e) Orang-orang yang menjadi awak kendaraan milik pihak yang
netral yang telah terlibat secara langsung dalam kegiatan
pertempuran dipihak musuh, atau memberi bantuan kepada
musuh.
(f) Penduduk sipil yang dengan kemauannya sendiri mengangkat
senjata untuk melawan musuh.
(g) Orang-orang yang termasuk dalam salah satu golongan
tersebut dalam pasal ini, yang telah diterima oleh negaranegara netral atau negara-negara yang tidak turut berperang
dalam wilayahnya, dan yang harus harus diinternir oleh
negara-negara itu menurut hukum internasional.
Berdasarkan pengertian dan kriteria tawanan perang di atas
sudah jelas siapa saja orang-orang yang dapat menjadi tawanan
perang. penulis berpendapat bahwa dalam konsep Hukum
Humaniter Internasional secara tegas terdapat perbedaan antara
orang-orang sipil dengan kombantan, sehingga hal ini sesuai
dengan prinsip Distinction Principle yang dianutnya.
2) Perlindungan Umum Tawanan Perang
Dalam Hukum Humaniter Internasional, perlindungan
umum tawanan perang diatur dalam Pasal 12 – 16 Konvensi III
Jenewa 1949 yang pada intinya menyatakan bahwa setiap
tawanan perang harus diperlakukan dengan baik dan dilarang
melakukan kekerasan baik jasmani maupun rohani terhadap
tawanan perang.
Penulis setuju dengan peraturan ini, karena para tawanan
perang juga mempunyai hak sehingga hak tersebut harus
dihormati dengan baik.
3) Penawanan
Pada masa awal penawanan dan selama masa penawanan,
terdapat beberapa perlakuan-perlakuan yang diberkan kepada para
tawanan perang. perlakuan-perlakuan tersebut adalah sebagai
berikut.
(a) Keputusan Penawanan.
Dalam konsep Hukum Humaniter Internasional,
permulaan penawanan ini diatur di dalam Pasal 17-20
Konvensi III Jenewa 1949 dan Pasal 44 ayat 1 Protokol
Tambahan I 1977, serta Pasal 9 Bagian II Annex dari
Konvensi IV Den Haag 1907 yang pada intinya menyatakan
bahwa setiap orang-orang yang termasuk kedalam golongan
tawanan perang apabila jatuh ke tangan musuh maka orangorang tersebut langsung ditawan tanpa ada pertimbangan
terlebih dahulu dalam melakukan penawanan dan. pada awal
penangkapan harus di data biodatanya dengan cara baik.
Penulis berpendapat bahwa penawanan yang diatur
di
dalam
konsep
Hukum
Humaniter
Internasional
membuktikan bahwa penawanannya hanya penawanan biasa
tanpa adanya pertimbangan-pertimbangan terlebih dahulu
dalam memutuskan penawanan.
(b) Pengasingan Tawanan Perang
Pengasingan diatur dalam Pasal 21-24 Konvensi III
Jenewa 1949 dan Pasal 5 Bagian II Annex dari Konvensi IV
Den Haag 1907, yang pada intinya bahwa pengasingan ini
hanya dilakukan untuk menempatkan para tawanan perang di
tempat-tempat yang aman dari sengketa senjata yang terjadi
supaya tawanan perang tidak terkena berbagai senjata yang
digunakan dalam sengketa senjata tersebut.
Penulis berpendapat bahwa menjaga keselamatan
tawanan perang merupakan tanggung jawab dari negara
penahan, sehingga pengasingan menjadi salah tanggung
jawab yang wajib dilaksanakan negara penahan.
(c) Tempat Tinggal, Makanan, dan Pakaian Tawanan Perang
Dalam Hukum Humaniter Internasional, peratuan
ini di atur di dalam Pasal 25-28 Konvensi III Jenewa 1949,
dan Pasal 7 Bagian II Annex dari Konvensi IV Den Haag
1907, pada intinya isi peraturan tersebut yaitu berbagai
kebutuhan tawanan dipenuhi dengan sebaik-baiknya dan
sesuai dengan kebutuhan mereka.Penulis berpendapat bahwa
peraturan ini sudah sesuai dengan HAM karena pada
peraturan ini, semua kebutuhan (sandang, pangan, dan papan)
tawanan perang telah diatur dengan baik.
(d) Kesehatan dan Pengamatan Kesehatan
Kesehatan dan pengamatan kesehatan ini diatur di
dalam Pasal 29-32 Konvensi III Jenewa 1949 dan Pasal 11
ayat 1,3,4,5,dan6 Protokol Tambahan I 1977. Isi kedua
sumber hukum tersebut yaitu bahwa kesehatan tawanan
perang tidak boleh dibahayakan sehingga setiap waktu negara
penahan harus senantiasa mengecek kondisi tawanan perang
baik dari kondisi kamp mereka atau dari para tawanan itu
sendiri.
Penulis
berpendapat
bahwa
dengan
adanya
peraturan tersebut membuktikan bahwa kesehatan para
tawanan perang benar-benar diperhatikan dengan baik.
(e) Anggota Dinas Kesehatan dan Rokhaniawan yang Ditahan
Untuk Membantu Tawanan Perang
Dalam konsep Hukum Humaniter Internasional,
Anggota Dinas Kesehatan dan Rokhaniawan yang Ditahan
Untuk Membantu Tawanan Perang diatur dengan jelas dalam
Pasal 33 Konvensi III Jenewa 1949 yang pada intinya
menyatakan bahwa anggota dinas kesehatan dan rokhaniawan
yang ditahan diperkerjakan untuk membantu para tawanan
perang dalam menjalankan fungsi-fungsi kesehatan dan
kerohanian para tawanan perang dan mereka
Penulis berpendapat bahwa orang-orang yang
termasuk ke dalam tawanan perang tidak hanya para tentara
saja namun orang-orang yang secara resmi mengikuti salah
satu pasukan perang yang bersebgketa juga dapat menjadi
tawanan perang. Penulis sependapat dengan peraturan ini,
karena dalam sebuah perperangan, semua pihak yang
mengikuti perperangan dapat menjadi tawanan karena dengan
mengikuti perang menandakan bahwa mereka mendukung
salah satu pihak dan mereka juga mempunyai informasi yang
dapat berguna bagi pihak lawannya. Orang-orang tersebut
juga dapat digunakan dalam hal pertukaran tawanan perang.
(f) Kegiatan Keagamaan, Intelektual, dan Jasmani
Dalam konsep Hukum Humaniter Internasional, hal
ini diatur di dalam Pasal 34-38 Konvensi III Jenewa 1949.
yang pada intinya menyatakan bahwa setiap tawanan
mempunyai hak untuk menjalankan kegiatan keagamaan,
intelektual, dan jasmani yang diperlukan bagi dirinya.
Penulis
setuju
dengan
peraturan
ini
karena
walaupun mereka ditawan tetapi mereka harus diberikan
kesempatan untuk menjalankan hak-hak mereka. Hal ini
menandakan bahwa dalam Hukum Humaniter Internasional
juga masih menjunjung nilai-nilai HAM.
(g) Disiplin
Pengaturan Disiplin dalam Hukum Humaniter
Internasional diatur dalam Pasal 39 – 42 Konvensi III Jenewa
1949. Inti dari peraturan ini yaitu bahwa tawanan perang
kecuali perwira harus memberi hormat kepada semua perwira
negara penahan, sedangkan tawanan perang yang berpangkat
perwira hanya memberi hormat kepada perwira-perwira
negara penahan yang lebih tinggi pangkatnya.
Penulis kurang setuju dengan peraturan ini karena
peraturan di atas memperlihatkan bahwa adanya perbedaan
perlakuan tawanan yang memiliki pangkat yang lebih tinggi
dengan tawanan perang yang pangkatnya lebih rendah. Hal
ini
tidak
dapat
dikatakan
benar
karena
seharusnya
pemberlakuan sikap disiplin harus diterapkan menyeluruh
kepada semua tawanan perang bukan hanya diterapkan
berdasarkan pangkat tawanan perang saja.
(h) Pangkat Tawanan Perang
Mengenai pangkat tawanan perang, diatur dalam
Pasal 43-45 Konvensi III Jenewa 1949 yang intinya yaitu
setiap tawanan perang diperlakukan dan dihormati sesuai
dengan pangkat mereka.
Penulis sangat tidak setuju dengan peraturan ini
karena perlakuan tersebut akan menimbulkan ketidak adilan
bagi setiap tawanan perang, dan menunjukkan betapa hinanya
hal
tersebut
karena
memperlakukan seseorang hanya
berdasarkan pangkatnya saja. Peraturan ini menunjukkan
kekurangan
Hukum
Humaniter
Internasional
dalam
menerapkan nilai-nilai HAM.
(i) Tenaga Kerja Tawanan Perang
Dalam Hukum Humaniter Internasional, Tenaga
kerja tawanan perang diatur dalam Pasal 49-57 Konvensi III
Jenewa 1949 yang pada intinya pasal-pasal tersebut
menyatakan bahwa setiap tawanan perang harus dipekerjakan
sesuai dengan umur, jenis kelamin, pangkat dan pebawaan
jasmani dengan maksud untuk memelihara kesehatan jasmani
dan rohani mereka.
Penulis kurang setuju dengan peraturan ini karena
yang pertama bahwa peraturan ini hanya bersifat eksploitasi
para tawanan perang karena bila hanya ingin menjaga kondisi
kesehatan jasmani dan rohani, maka hal tersebut sudah dapat
digantikan dengan berbagai kegiatan jasmani, rohani dan
intelektual yang telah diatur di dalam Pasal Pasal 34-38
Konvensi III Jenewa 1949. Kedua, peraturan ini sekali lagi
membedakan perlakuan para tawanan hanya dilihat dari
sebuah pangkat, hal ini menunjukkan bahwa Hukum
Humaniter
Internasional
masih
menerapkan nilai-nilai HAM.
sangat
kurang
dalam
(j) Wakil Tawanan Perang
Dalam Hukum Humaniter Internasional, wakil
tawanan perang diatur dalam Pasal 79-81 Konvensi III
Jenewa 1949 yang pada intinya menyebutkan bahwa para
tawanan perang mempunyai tawanan perang yang berfungsi
sebagai penghubung mereka dengan penguasa-penguasa
penahan.
Negara
Internasional,
Kesehatan
Pelindung,
dan
Gabungan
Komite
utusan-utusannya.
dan
dengan
Palang
dengan
Merah
Komisi
Badan-badan
yang
memberikan bantuan kepada tawanan perang.
Penulis setuju dengan konsep ini, karena dengan
adanya perwakilan dari tawanan perang akan mempermudah
dalam hal komunikasi antara para tawanan perang yang
jumlahnya
banyak
dengan
penguasa-penguasa
negara
penahan.
(k) Sanksi Pidana dan Sanksi Disiplin
Dalam konsep Hukum Humaniter Internasional,
sanksi pidana dan sanksi disiplin diatur dalam Pasal 82-88
Konvensi III Jenewa 1949 dan Pasal 8 dan 12 Bagian II
Annex dari Konvensi IV Den Haag 1907 yang pada intinya
pasal-pasal tersebut menerangkan bahwa setiap tawanan
perang harus mematuhi setiap peraturan yang ada pada
negara penahan atau hukum internasional. apabila seorang
tawanan perang melanggar peraturan-peraturan tersebut maka
tawanan tersebut dapat dikenakan sanksi namun sebelumnya
harus diadakan pengadilan untuk memeriksa dan memutus
sanksinya.
Penulis setuju dengan hal ini karena layaknya
seseorang yang berada di negara lain maka orang tersebut
harus mematuhi peraturan dari negara itu. walaupun,
keberadaan tawanan perang bukan atas kehendaknya sendiri
namun tawanan perang harus mematuhi peraturan yang
terdapat di negara penahan selama peraturan itu tidak
melanggar hak-haknya.
(l) Proses Peradilan
Dalam konsep Hukum Humaniter Internasional,
proses peradilan diatur dalam Pasal 99-108 Konvensi III
Jenewa 1949 yang pada intinya menyatakan bahwa apabila
seorang
tawanan
perang
dianggap
melakukan
suatu
pelanggaran maka sebelum ia diadili dan dijatuhi hukuman
,terlebih dahulu harus diadakan acara peradilan untuk
memberi kesempatan pada tawanan untuk membela dirinya.
proses peradilan ini dilakukan bukan untuk memberikan
keputusan berakhirnya penawanan.
Penulis setuju dengan peraturan tersebut, karena
setiap orang mempunyai hak yang sama di depan hukum.
Sehingga, dengan diadakannya pengadilan sebelum tawanan
dijatuhi hukuman menandakan bahwa Hukum Humaniter
Internasional telah memenuhi hak dari para tawanan.
4) Berakhirnya Penawanan
Dalam
konsep
Hukum
Humaniter
Internasional,
berakhirnya penawanan para tawanan perang diatur dalam Pasal
109-121 Konvensi III Jenewa 1949 dan Pasal 11 dan 20 Bagian II
Annex dari Konvensi IV Den Haag 1907. Inti dari isi pasal-pasal
tersebut yaitu berakhirnya tawanan perang menurut konsep
Hukum Humaniter Internasional yaitu dengan cara dibebaskan
tanpa
syarat
(dipulangkan
langsung
ke
negara
netral),
pembebasan pada akhir permusuhan, dan ketika tawanan
meninggal.
Penulis berpendapat dilihat dari tiga cara pembebasan
tawanan perang tersebut, ketiganya hanya di putuskan dari
kondisi tawanan perang. Hal ini menunjukkan bahwa konsep
penawanan yang diatur dalam Hukum Hukum Humaniter hanya
penawanan biasa saja tanpa ada target yang dicapai dari
penawanan yang telah mereka lakukan.
b) Pengaturan Perlakuan Tawanan Perang dalam Hukum Islam
1) Pengertian Tawanan Perang
Dalam Hukum Islam, pengertian dan kriteria tawanan
perang tidak secara detail terdapat di dalam Al-Quran karena di
dalam Al-Quran hanya disebutkan saja, pengertian dan kriteria
terdapat dalam Tafsir Surat AT-Taubah [9] ayat 5 oleh Syaikh
DR.Abdullah Azzam, Hadis Riwayat Abu Dawud dan pendapat
seorang ulama yaitu Abdul Baqi Ramdhun.
Dari beberapa sumber tersebut, pengertian tawanan perang
adalah orang-orang yang termasuk kedalam kriteria golongan
orang-orang yang dapat ditawan, berada dibawah kekuasaan
pasukan
Muslimin
dalam
perperangan.Sedangkan,
kriteria
tawanan perang adalah sebagi berikut.
a) Orang-orang yang termasuk ke dalam anggota militer pihak
lawan (kaum musyirikin).
b) wanita,anak-anak, laki-laki, dan orang tua yang tidak ikut
berperang
c) wanita,anak-anak, laki-laki, dan orang tua yang ikut
berperang
d) kaum nasrani, kaum yahudi, dan orang kafir
Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari nilai-nilai
agama Islam. Dalam ajaran agama Islam, semua pemeluknya
mempunyai kewajiban mengajak orang-orang yang belum
memeluk Islam untuk memeluk Islam namun tidak secara paksa.
adapun orang-orang nasrani dan yahudi diperangi dan ditawan
apabila mereka mengadakan kerusakan dan kehancuran. Karena
Hukum Islam bersumber dari nilai-nilai Islam maka hukumnya
bersifat wajib sehingga penulis berpendapat bahwa orang-orang
tersebut layak dimasukkan kedalam golongan tawanan perang.
2) Perlindungan Umum Tawanan Perang
Perlindungan umum tawanan perang dalam Hukum Islam
di terdapat dalam sabda Rasulullah Saw., ”Perlakukanlah tawanan
dengan sebaik-baiknya” dan ajaran Islam sendiri mengajarkan
umatnya untuk berbuat baik seperti dalam Al-Quran surat AlBaqarah [2] ayat 83 serta mengajarkan untuk saling menyayangi
seperti dalam Al-Quran surat Al-Mumtahanah [60] ayat 7 dan
masih banyak ayat-ayat lain yang mengajarkan berbuat baik dan
kasih sayang. Selain itu, Hukum Islam tidak
membedakan
perlakukan antara tawanan berdasarkan pangkat, atau hal-hal yang
lainnya. Inti dari ayat-ayat tersebut
yaitu Hukum Islam
memperlakukan para tawanan dengan penuh rasa kasih sayang.
Penulis sangat setuju dengan perlakuan tehadap tawanan
yang diatur dalam Hukum Islam.Perlakuan-perlakuan tersebut
menandakan bahwa Hukum Islam adalah hukum yang nilai-nilai
kemanusiaan.
3) Penawanan
(a) Keputusan Penawanan
Dalam Hukum Islam, permlaan penawanan diatur di
dalam Al-Quran surat Al-Anfal [8] ayat 67 yang pada intinya
penawanan hanya diperbolehkan ketika kondisi internal
pasukan Muslimin sudah dapat dikatakan kuat baik secara
kuantitas maupun kualitas. Apabila, kondisi pasukan Muslimin
belum memenuhi mak sikap yang harus ditunjukkan kepada
lawan adalah sikap keras bukan lemah lembut, hal ini supaya
pasukan musuh merasa takut.
Dari isi surat di atas, penulis berpendapat bahwa dalam
konsep Hukum Islam dari awal penawanan sudah memiliki
strategi
yang
diperhitungkan
dengan
matang.Hal
ini,
menandakan bahwa setiap gerak-geriknya sangat terkoordinir
dengan baik sehingga setiap kegiatan yang akan dilakukan
direncanakan dengan matang.
(b) Memberi Makanan, Pakaian, dan Tempat
Dalam hal pemberian makanan, hal tersebut diatur di
dalam Al-Quran surat Al-Insaan [76] ayat 8-10 dan Sabda
Rasulullah Saw., yang menyuruh memperlakukan tawanan
dengan baik. Inti dari peraturan tersebut yaitu terpenuhinya
semua kebutuhan yang dibutuhkan para tawanan.
Penulis sangat setuju dengan peraturan ini, Sebagai
hukum yang bersumber pada ayat-ayat suci Al-Quran, berbuat
baik merupakan kewajiban yang diwajibkan dalam Al-Quran
kepada semua pemeluknya.
4) Berakhirnya Penawanan
Dalam Hukum Islam, berakhirnya penawanan diatur di
dalam Al-Quran surat Muhammad [49] ayat 4,dan pendapat para
ulama seperti Majid Khadduri, Al-Ustadz Ali Al-Khinan,
Muhammad Ali Ash-Shabunni dan lain-lain. pada intinya
berakhirnya penawanan menurut konsep Hukum Islam yaitu
terdapat empat cara penawanan dan keempat cara tersebut diambil
berdasarkan kemaslahatan umat manusia.
Penulis
sangat
setuju
peraturan
ini
karena
setiap
keputusannya diambil berdasarkan kemaslhatan umat manusia
sehingga bayak manfaat yang dapat dirasakan umat manusia.
2. Perbandingan Perlakuan Tawanan Perang pada Hukum Humaniter
Internasional dan Hukum Islam.
a) Persamaan Perlakuan Tawanan Perang pada Hukum Humaniter
Internasional dan Hukum Islam
Dari persamaan yang telah diuraikan pada hasil penelitian di
atas, membuktikan bahwa perlindungan tawanan perang yang diatur
dalam ketentuan pokok konvensi III Jenewa 1949, Protokol Tambahan
I 1977, dan San Remo Manual terdapat beberapa hal yang sama dengan
konsep Hukum Islam.
Alfhia Parma, seorang pengamat perbandingan antara Hukum
Humaniter Internasional dan Hukum Islam mengungkapkan bahwa
Hukum Islam telah meletakkan dasar-dasar
perlindungan tawanan
perang dari abad ke-7 M. Dilihat dari umur hukum Islam jauh lebih tua
dari pada konvensi III Jenewa 1949 maupun dari Hukum Humaniter
Internasional modern lainnya.
Lebih dari 13 abad yang lalu agama Islam telah dengan
sempurna
meletakan
prinsip-prinsip
Hukum
Islam
tentang
perlindungan terhadap para tawanan perang dengan semangat
kemanusian, keadilan serta kesetaraan. Oleh karena itu, kaidah hukum
Islam memainkan peranan penting sekaligus menjadi inspirasi
terbentuknya konvensi III Jenewa 1949, sebenarnya konvensi III
Jenewa 1949 banyak mengambil dasar-dasar hukum dari sayri'at Islam.
Para pemikir Barat menyatakan hukum Islam lebih manusiawi dalam
memberikan
perlindungan
terhadap
para
tawanan
perang.
(http://www.allbandung.com/abc-view-kat.php?field=132).
Hal ini dibuktikan oleh Gustav Lebon, seorang pilosof
berkebangsan Perancis yang melakukan studi komperatif antara
panglima perang Islam Yusuf Salahuddin Al-Ayudbi dengan Richard
The Lion Heart panglima perang Inggris, perbandingan itu ditinjau dari
perlakuan yang diberikan oleh kedua panglima tersebut terhadap para
tawanan perang yang mereka tawan, Yusuf Salahuddin Al-Ayudbi
dalam perang Salibiyah (Salib) menawan tentara Nasrani dalam jumlah
yang sangat banyak namun akhirnya semua tawanan tersebut
dibebaskan oleh panglima Yusuf Salahuddin Al-Ayudbi dengan alasan
diwaktu tersebut tentara muslim tidak memiliki makanan yang cukup
untuk kebutuhan para tawanan perang Salibiyah tersebut, perlakuan ini
sangat bertolak belakang dengan apa yang dilakukan oleh panglima
Inggris Richard The Lion Heart, dimana Richard telah membunuh tiga
ribu tentara Islam yang ditawannya, padahal para tawanan tersebut
adalah tentara Islam yang menyerah setelah ada perjanjian bahwa
mereka tidak akan dibunuh setelah ditawan, drama tragis ini selanjutnya
dilakukan lagi oleh Napoleon Bonaparte yang menawan penduduk kota
Syam ketika menduduki kota Akka, Bonaparte yang mengetahui
tentaranya tidak mempunyai persiapan makan yang cukup untuk
kebutuhan para tawanan dengan kejam justru memenggal semua
tawanan perang tersebut.
Studi di atas bukan ditujukan untuk membandingkan pribadi
Yusuf Salahuddin Al-Ayudbi dengan Richard The Lion Heart ataupun
dengan Napoleon Bonaparte, namun yang akan dijelaskan adalah
tentang bagaimana prinsip-prinsip hukum Islam (hukum positif Islam)
telah meletakkan dasar hukum humaniter mengenai pemberian
makanan yang baik terhadap tawanan perang jauh sebelum Konvensi
III Jenewa 1949 terbentuk. Hukum Islam memberikan perintah untuk
memberikan makanan yang baik terhadap tawanan perang jika pihak
penahan tidak memiliki makanan yang cukup bagi tawanan perang
hukum Islam mengharuskan untuk membebaskan mereka sehingga
tawan perang tersebut tidak mati kelaparan. seperti diatur did alam AlQuran surat Al-Insaan[76] ayat 8.
"Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang
miskin, anak yatim dan orang yang ditawan".
Itulah yang menyebabkan terdapatnya persamaan antara
konsep Hukum Humaniter Internasional dengan konsep Hukum Islam.
Dimana Para pemikir barat banyak yang mengambil dasar-dasar hukum
dari syari’at Islam yang kemudian dituangkan kedalam Konvensi III
Jenewa 1949 yang mengatur tentang tawanan perang.
b) Perbedaan Perlakuan Tawanan Perang pada Hukum Humaniter
Internasional dan Hukum Islam
Walaupun sebenarnya Hukum Humaniter Internasional meniru
dan mengambil dasar-dasar Hukum Islam dalam memperlakukan para
tawanan perang. Namun, ketika penulis melihat lebih detail mengenai
peraturan perlakuan tawanan perang yang ada dalam konsep Hukum
Humaniter Internasional dengan konsep Hukum Islam terdapat
perbedaan yang signifikan antara keduanya. Untuk mempermudah
dalam melihat perbedaan antara kedua konsep hukum, maka penulis
mengklasifikasikan perlakuan tawanan perang dalam beberapa fase.
fase-fase perbedaan tersebut adalah sebagai berikut.
1) Pengertian dan Kriteria Tawanan Perang
Dari hasil penelitian yang telah dipaparkan pada bagian
hasil penelitian, penulis berpendapat bahwa antara konsep Hukum
Humaniter Internasional dan konsep Hukum Islam memiliki
pandangan yang berbeda mengenai orang-orang yang dimasukkan
ke dalam golongan tawanan perang. Namun, dari kedua konsep
hukum tersebut yang terlihat lebih bersifat manusiawi yaitu konsep
Hukum Islam.
Ketika suatu negara dapat dikalahkan oleh pihak lawannya
maka suatu hal yang logis bila negara tersebut dikuasai oleh negara
pihak yang menang. Begitu pun yang dimaksudkan dalam Hukum
Islam dalam memasukkan penduduk sipil yang tidak ikut berperang
termasuk ke dalam orang-orang yang dapat menjadi tawanan
perang. Hal ini dilakukan supaya penduduk sipil tersebut lebih
terjamin keberlansungan hidupnya dan penduduk sipil yang tidak
ikut berperang tidak akan mendapatkan hukuman yang sama seperti
halnya para tentara militer yang tertawan dan para .
2) Penawanan
Fase yang pertama yaitu pada saat tawanan perang mulai
ditawan yang kemudian dilanjutkan dengan penawanan terhadap
mereka hingga waktu yang telah ditentukan. Fase penawanan ini,
dibagi ke dalam beberapa point sebagai berikut.
(a) Keputusan Penawanan
Dari pemaparan perbandingan mengenai “keputusan
penahan” pada bagian hasil penelitian di atas memperlihatkan
bahwa konsep Hukum Humaniter Internasional tidak seteliti
konsep Hukum Islam. Hal ini karena pada konsep Hukum
Humaniter Internasional, tidak ada strategi dalam melakukan
memutuskan penawanan terhadap pihak musuh. Sedangkan,
dalam konsep Hukum Islam, strategi dalam memutuskan
penawanan itu terlihat dari pemahaman kaum Muslimin
terhadap kondisi yang ada. Sehingga, dalam mengambil
keputusan pasukan Muslimin tidak hanya asal menawan.
Namun, dengan melihat kondisi terlebih dahulu, baru mereka
memutuskan apa yang seharusnya dilakukan.
(b) Penawanan
(1)
Pangkat Tawanan Perang
Dari pemaparan kedua konsep hukum pada bagian
hasil penelitian di atas mengenai “Pangkat Tawanan”
dapat memperlihatkan bahwa dalam memperlakukan
manusia,
Hukum
Humaniter
Internasional
hanya
didasarkan pada pangkat kedudukan yang dimiliki oleh
orang tersebut (para tawanan perang). Sehingga, sikap
dan perlakuan yang selalu muncul adalah sikap dan
perlakuan yang tidak seimbang kepada setiap orang.
Sedangkan, Hukum Islam adalah hukum yang
memiliki karakteristik kemanusiaan (Al-Insaniyah). Hal
ini
karena,
Hukum
Islam
menghormati
manusia
sebagaimana kapasitasnya sebagai manusia, tidak dari
yang lainnya, yaitu asal keturunan,ras,harta,jabatan, dan
asal daerah. Semua unsur kesukuan tidak menjadi
pertimbangan dan tidak menjadi unsur pembeda.
(2)
Tenaga Kerja Tawanan Perang
Dari penjabaran perbedaan kedua konsep hukum
pada bagian hasil penelitian di atas, perbedaan di atas
memperlihatkan adanya perbedaan mendasar dalam hal
memperlakukan tawanan perang. Dalam konsep Hukum
Humaniter Internasional, seorang tawanan perang sudah
dapat dipekerjakan atau disuruh untuk melakukan
perbuatan yang lain. Sebelum adanya putusan yang
menerangkan tentang kejelasan hukuman yang akan
mereka terima. Hal ini menunjukkan ketidakjelasan
hukuman mereka dalam menjalani masa tawanan
tersebut.
Dalam konsep Hukum Islam, terlebih dahulu harus
ada putusan dari seorang imam tentang kejelasan putusan
hukuman yang diterima oleh para tawanan perang.
Sehingga, sebelum adanya putusan dari seorang imam
maka tawanan perang belum dapat diperintah untuk
melakukan suatu pekerjaan, mereka diperlakukan dengan
baik dan dijamin akan kesehatannya.
(3)
Wakil Tawanan Perang
Dari pemaparan perbedaan kedua konsep pada
bagian
hasil
penelitian
di
atas,
memperlihatkan
bagaimanakah hubungan antara tawanan perang dengan
penguasa yang ada pada kedua konsep hukum diatas.
Dalam konsep Hukum Humaniter Internasional, terlihat
bahwa hubungan tersebut sangatlah tidak fleksibel
karena harus ada perantara antara tawanan perang
dengan pihak penguasa. Hal ini juga memperlihatkan
bagaimanakah sikap dari para penguasa yang ternyata
jarang berhadapan langsung dengan para tawanan yang
mengindikasikan bahwa para penguasa tidak mengetahui
kondisi yang sebenarnya dari para tawanan.
Hal
ini,
secara
tidak
langsung
juga
dapat
menggambarkan kondisi hubungan penguasa dengan
rakyatnya. Banyaknya peraturan dan prosedur yang ada,
membuat jarang sekali seorang penguasa berinteraksi
langsung dengan rakyatnya yang menyebabkan bahwa
para penguasa hanya mengetahui kondisi rakyatnya
melalui
data-data
yang
kevalidasiannya
dapat
dimanipulasikan. Sehingga, seorang penguasa tidak
mengetahui kondisi yang sebenarnya dari rakyatnya.
Dalam konsep Hukum Islam, seorang penguasa
senantiasa menengok kondisi dari tawanannya sehingga
setiap permasalahan yang dialami oleh tawanan perang
dapat
langsung
disampaikan
kepada
imam
yang
bersangkutan dan dapat langsung diselesaikan. Hal ini
mengindikasikan, bahwa hubungan yang terjalin antara
penguasa dengan rakyatnya berjalan dengan baik karena
Islam mengajarkan bahwa kesejahteraan dan keadilan
merupakan hal yang utama, sehingga, seorang pemimpin
senantiasa berkeliling untuk melihat langsung kondisi
rakyatnya. Contohnya yaitu :
“ Anas ra. berkata bahwasanya Rasulullah SAW.
menjenguk
orang
sakit,
menyaksikan
jenazah,
mengendarai keledai, dan memenuhi undangan hamba.
(Zad al-Ma’ad dalam Abul Hasan ‘Ali al-Hasani
an’Nadwi, 2001:540)”
(4)
Disiplin
Dari pemaparan perbedaan kedua konsep hukum
pada bagian hasil penelitian di atas, penulis berpendapat
bahwa perlakuan yang diberikan kepada tawanan perang
dalam
konsep
Hukum
Humaniter
Internasional
membedakan antara tawanan perang yang berpangkat
tinggi dengan tawanan perang yang meiliki pangkat lebih
rendah. berbeda dengan konsep Hukum Islam yang
memberlakukan peraturan disiplin untuk semua tawanan
perang
tanpa
membeda-bedakan
tawanan
perang
berdasarkan pangkat atau kedudukannya.
Hal ini, menandakan bahwa di dalam konsep Hukum
Humaniter Internasional, konsep keadilan belum dapat
diterapkan seutuhnya karena masih memperlakukan
seseorang hanya berdasarkan pangkat.
(5)
Proses Peradilan
Dari pemaparan perbedaan kedua konsep hukum
pada bagian hasil penelitian di atas, sangatlah jelas
terlihat
bahwa
Internasional,
dalam
konsep
peradilan
yang
Hukum
ada
Humaniter
bukan
untuk
memutuskan tentang berakhirnya penawaman. putusan
peradilan yang ada dalam konsep Hukum Humaniter
Internasional hanya memberikan putusan terhadap
pelanggaran yang diperbuat tawanan perang selama
mereka berada dalam masa penawanan.
Dalam konsep Hukum Islam, proses peradilan yang
ada selain memberikan putusan terhadap pelanggaranpelanggaran yang dilakukan selama masa penawanan,
peradilan itu juga bertujuan untuk memberikan putusan
tentang berakhirnya penawanan.
3) Berakhirnya Penawanan
Dari pemaparan kedua konsep hukum pada bagian hasil
penelitian di atas, memperlihatkan bahwa Hukum Islam sebagai
pelaksana atau penerapan agama Islam lebih bersifat jelas (Al-
Wudhuh), dan bersifat kemanusiaan (Al-Insaniyah) dibandingkan
dengan konsep Hukum Humaniter Internasional. Hukum Islam
dikatakan bersifat jelas (Al-Wudhuh), hal ini karena Islam adalah
risalah yang jelas baik yang berhubungan dengan asas-asasnya,
sumber hukumnya, sasaran dan tujuan, maupun kejelasan sistem
dan jalan penyelesaiannya (Tim BPA AAI, 2007:93), dalam hal ini
Hukum Islam lebih memberi kejelasan dalam hal pemberian
putusan akhir kepada para tawanan perang sesuai dengan
kemaslahatan umat manusia pada umumnya dan umat Muslimin
pada khususnya. Sehingga, hal ini lebih memperjelas tujuan dari
diadakannya penawanan terhadap para tawanan perang. Hal ini
berbeda dengan konsep Hukum Humaniter Internasional yang tidak
adanya kejelasan dalam melakukan penawanan kepada para
tawanan perang, terbukti dari tidak adanya tujuan yang ingin
dicapai dari adanya penawanan dan setelah penawanan tersebut
diakhiri.
Hukum Islam bersifat kemanusiaan (Al-Insaniyah), hal ini
karena Hukum Islam merupakan hukum yang menjujung nilai-nilai
hak asasi manusia selain manusia juga melakukan kewajibankewajiban yang diembannya (Tim BPA AAI, 2007:85). Dalam
kaitannya dengan hal ini, bahwa setiap putusan yang diambil oleh
seorang imam berdasarkan kemaslahatan umat manusia. Sehingga,
umat Muslim pada khususnya yang telah dirampas, dihina bahkan
dianiaya haknya dapat merasa tenang karena hal-hal tersebut tidak
akan menimpa saudara-saudaranya yang lain dengan keputusan
yang telah diambil oleh imam.
Hukum Islam terkesan merupakan hukum yang tidak bersifat
manusiawi karena dengan mudahnya merampas nyawa (qishas),
memotong tangan bagi hukuman orang yang mencuri, hukuman
cambuk bagi orang yang berjudi dan rajam bagi orang yang berbuat
zina. Namun, sebenarnya hal tersebut tidaklah benar ketika
dipandang dari sudut pandang untuk kemaslahatan umat manusia,
karena pemberian sanksi dengan menimbulkan efek jera akan
membawa dampak positif baik si pelaku maupun bagi masyarakat
lainnya.
Bagi si pelaku yang mendapat hukuman, maka ia tidak akan
mengulangi perbuatannya kembali karena ia akan mendapatkan
hukuman yang sama ketika ia ketahuan mengulangi perbuatannya
dan rasa malu yang hinggap pada dirinya atas hukuman yang
diterimanya karena perbuatan yang telah ia lakukan. Bagi orang lain
atau masyarakat, akan berpikir ulang atau berpikir kembali ketika
akan melakukan perbuatan yang dilarangnya. Sehingga, dapat
mencegah
masyarakat
untuk
melakukan
perbuatan
yang
bertentangan dengan Hukum Islam.
Dalam pemberian putusan hukuman eksekusi bagi tawanan
perang, seorang imam tidak boleh asal menjatuhkan putusan
tersebut karena sebelum diberikan putusan eksekusi, harus terdapat
alas an yang dapat diterima bahwa tawanan perang tersebut telah
melakukan perbuatan yang hanya dapat ditembus dengan hukuman
eksekusi.
Begitupun, dengan hukuman-hukuman yang lain, dimana
setiap hukuman-hukuman dalam konsep Hukum Islam memiliki
makna tersirat untuk kemaslahatan umat manusia. Muhammad
Abdul Qodir Abu Faris menyatakan bahwa seorang tawanan perang
yang dihukum menjadi budak, haruslah juga diputuskan dengan
dasar akan membawa kemaslahatan kaum Muslimin secara umum
dan perlakuan yang setimpal terhadap musuh, agar kewibawaan
kaum Muslimin tidak lemah di mata musuh-musuh mereka, juga
agar para tawanan kaum Muslimin tidak diperlakukan dengan buruk
bila mereka diperbudak sedangkan para tawanan musuh dibiarkan
bersenang-senang (Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, 1998: 141).
Untuk mempermudah dalam melihat dan memahami
persamaan dan perbedaan yang terdapat di dalam Konsep Hukum
Humaniter Internasional dan Hukum Islam mengenai perlakuan
tawanan perang, penulis memasukan persamaan-persamaan dan
perbedaan-perbedaan tersebut dalam tabel berikut.
Tabel 1.
Persamaan Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam
Mengenai Perlakuan Tawanan Perang
No
Persamaan
Hukum Humaniter
Hukum Islam
Internasional
1.
Perlindungan Umum - memperlakukan tawanan - Memperlakukan tawanan
dengan baik.
- tidak
boleh
dengan baik.
menyakiti - tidak
tawanan perang.
2.
boleh
menyakiti
tawanan perang.
Penawanan
a.patuh
terhadap - Para
peraturan
negara
penahan.
b.sarana&prasarana
c.Penempatan
tawanan perang
d.Kegiatan
Keagamaan,
tawanan
perang - Para
tawanan
perang
mematuhi peraturan yang
mematuhi peraturan yang
ada pada negara penahan
ada pada negara penahan
selama tidak melanggar
selama tidak melanggar
hukum agamanya.
hukum agamanya.
- Para
tawanan
perang - Para
tawanan
perang
mendapakan berbagai fa
mendapakan berbagai fa
silitas sarana & prasa
silitas sarana & prasa
rana yang dibutuh kan.
rana yang dibu tuh kan.
- Menempatkan
perang
tawanan - Menempatkan
ditempat
yang
perang
tawanan
ditempat
yang
kondusif dan aman dari
kondusif dan aman dari
daerah terjadinya perang.
daerah terjadinya perang.
- Memberikan keempatan - Memberikan keempatan
kepada tawanan perang
kepada tawanan perang
Intelektual,
dan
Jasmani
e. Sanksi-sanksi
untuk
melaksanakan
untuk
melaksanakan
berbagai kegiatan yang
berbagai kegiatan yang
dianggap penting bagi
dianggap penting bagi
dirinya.
dirinya.
- sanksi-sanksi
ini
dibe - sanksi-sanksi
ini
dibe
rikan dimaksudkan apabi
rikan dimaksudkan apabi
la para tawanan perang
la para tawanan perang
melanggar peraturan-per
melanggar peraturan-per
aturan yang terdapat di
aturan yang terdapat di
dalam negara penahan.
dalam negara penahan.
hal
hal
bahwa
ini
menandakan
para
tawanan
ini
bahwa
menandakan
para
tawanan
perang harus mematuhi
perang harus mematuhi
peraturan yang ada pada
peraturan yang ada pada
negara penahan.
negara
penahan.selama
tidak melanggar ktentuan
ajaran Islam.
f. Proses Peradilan
- Dalam
hal
pemberian - Dalam
hal
pemberian
putusan dalam konsep
putusan dalam konsep
Hukum Humaniter Inter
Hukum Islam mengatur
nasional mengatur bahwa
bahwa sebelum tawanan
sebelum tawanan perang
perang diberikan huku
diberikan hukuman atas
man atas kesalahan yang
kesalahan yang telah dila
telah dilakukannya terle
kukannya terlebih dahulu
bih dahulu harus ada
harus ada proses pera
proses peradilan untuk
dilan untuk menen tukan
menentukan apakah tawa
apakah tawanan tersebut
nan
bersalah atau tidak serta
atau tidak serta memu
memutuskan putusan apa
tuskan putusan apa yang
tersebut
bersalah
yang
tepat
untuk
tepat
untuk
tawanan
tawanan tersebut apabila
tersebut apabila tawanan
tawanan tersebut terbukti
tersebut terbukti bersalah
bersalah
3.
Berakhirnya
Para tawanan perang dibe Para tawanan perang dibe
penawanan
baskan tanpa syarat ketika baskan tanpa syarat ketika
perperangan sudah selesai. perperangan sudah selesai.
Tabel 2.
Perbedaan Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam
Mengenai Perlakuan Tawanan Perang
No
Perbedaan
Hukum Humaniter
Hukum Islam
Internasional
1.
Pengertian
Kriteria
dan Dalam konsep Hukum Dalam
konsep
Hukum
Humaniter Internasional, Islam, penduduk sipil yang
penduduk sipil yang tidak tidak
ikut
ikut berperang tidak dima dimasukkan
berperang
ke
dalam
sukkan ke dalam golo golongan tawanan perang.
ngan tawanan perang.
2.
Penawanan
a.Keputusan untuk Tidak adanya alasan yang Adanya
Penawanan
menjadi
acuan
alasan
yang
bagi menjadi acuan bagi kaum
tentara dalam memutus Muslimin dalam memutus
kan melakukan
tentara kan
melakukan
penawa
untuk melakukan penawa nan, alasan tersebut yaitu
nan terhadap musuh yang melihat kondisi internal
tertangkap. apakah harus dari pasukan Muslimin,
diatawan
atau
tidak. apakah kondisinya sudah
Sehingga, setiap tawanan kuat baik dari segi kualitas
perang yang tertangkap maupun
kuantitas
atau
langsung ditawan. Sehin belum, kalau sudah maka
gga,
dalam
konsep pasukan Muslimin boleh
Hukum Humaniter Inter melakukan
penawanan.
nasional tidak terdapat Sehingga, dalam konsep
strategi
dari
awal Hukum
penawanan.
Islam
strategi
dari
terdapat
awal
penawanan.
b. Penawanan
1.Pangkat Tawa Adanya
nan Perang
perbedaan Semua
tawanan
perang
perlakuan antara tawanan mendapatkan perlakuan ya
perang dilihat dari pang ng sama (hak dan kewaji
katnya. Sehingga hak dan ban yang sama) karena
kewajiban yang diberikan semua orang sama diha
antara tawanan yang pang dapan Allah yang membe
katnya rendah berbeda dakannya hanya tingkat
dengan
tawanan
yang ketaqwaannya saja dan itu
pangkatnya lebih tinggi.
hanya Allah yang menge
tahuinya.
2.Tenaga
Tawanan
ng
Kerja Yang menjadi pembeda Dalam konseop Hukum
pera yaitu dalam hal waktu Islam, waktu mempeker
memperkerjakan
para jakan para tawanan perang
tawanan
Pada setelah
perang.
adanya
putusan
Konsep Hukum Humani dari Imam tentang huku
ter Internasional , Para man yang akan diterima
tawanan perang dipeker oleh
tawanan
perang,
jakan setiap saat selama sebelum adanya putusan
masa penawanan.
dari imam, maka para
tawanan
perang
harus
diperlakukan dengan baik
dan tidak
diperbolehkan
dipekerjakan.
3.Wakil
Tawanan Terdapat wakil tawanan Tidak
Perang
perang
yang
terdapat
wakil
berfungsi tawanan perang, karena
sebagai perantara antara seorang imam senantiasa
tawanan perang dengan melihat
kondisi
dari
penguasa
negara tawanan perang, sehingga
penahan.
tawanan perang langsung
dapat menyampaikan apa
yang ingin disampaikan.
4.Disiplin
Dalam konsep Hukum Dalam
konsep
Hukum
Humaniter Internasional, Islam,peraturan disiplin ini
peraturan
disiplin
ini diberlakukan bagi semua
hanya diberlakukan bagi tawanan
para
tawanan
perang
tanpa
perang membedakan pangkat dan
yang memiliki pangkat jabatan.
yang lebih rendah.
5.Proses Peradilan
Peradilan yang dimaksud Peradilan yang dimaksud
yaitu
ditujukan
untuk yaitu selain untuk meng
mengadili para tawanan hasilkan sebuah keputusan
perang yang melanggar tentang pelanggaran yang
peraturan
dari
negara dilakukan tawanan, peradi
penahan
dan
hukum lan itu juga memberikan
internasional.Tidak
pengadilan
berikan
ada kejelasan berakhirnya pena
yang
mem wanan dengan hukuman
putusan
untuk yang akan dijatuhkan dan
menentukan berakhirnya dilaksanakan
penawanan.
3.
Berakhirnya
wanan
Pena Berakhirnya
oleh
para
tawanan perang.
penawanan Berakhirnya
penawanan
terhadap tawanan perang terhadap tawanan perang
hanya di dasarkan dari di dasarkan pada putusan
kondisi dari para tawanan hukuman
yang
diambil
perang
dan
keberlang oleh seorang imam, dima
sungan perang tersebut. na setiap keputusan yang
saja.
diambil di dasarkan untuk
kemaslahatan umat manu
sia pada umumnya dan
umat Muslimin pada khu
susnya. Sehingga, setiap
tawanan
perang
menda
patkan hukuman yang ting
katannya berbanding lurus
dengan kadar kejahatan
yang mereka lakukan.
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasakan hasil penelitian dan pembahasan pada Bab III, maka
kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagi berikut.
1. Pengaturan Perlakuan Tawanan Perang dalam Hukum Humaniter
Internasional dan Hukum Islam
Dalam Hukum Humaniter Internasional, pengaturan perlakuan
tawanan perang diatur dalam Bab III Konvensi Jenewa 1949 pasal 4-121,
Pasal 1- 20 Annex dari Konvensi IV Den Haag 1907, Pasal 11, 43, dan 44
Protokol Tambahan I 1977, Pasal 165 San Remo Manual 1994. Pengaturan
perlakuan tawanan perang dalam Hukum Islam yaitu terdapat dalam AlQuran dan As-Sunah.
2. Perbandingan Perlakuan Tawanan Perang pada Hukum Humaniter
Internasional dan Hukum Islam
a. Persamaan Perlakuan Tawanan Perang pada Hukum Humaniter
Internasional dan Hukum Islam
Persamaan pengaturan mengenai perlakuan tawanan perang
dalam Hukum Humaniter Internasional dengan Hukum Islam yaitu
terdapat dalam hal perlindungan umum tawanan perang, mematuhi
peraturan negara penahan, sarana dan prasarana yang memadai,
penempatan tawanan perang, berbagai kegiatan yang diperlukan
tawanan,sanksi, proses peradilan dan berakhirnya penawanan.
b. Perbedaan Perlakuan Tawanan Perang pada Hukum Humaniter
Internasional dan Hukum Islam
Perbedaan pengaturan perlakuan tawanan perang dalam Hukum
Humaniter Internasional dengan Hukum Islam yaitu terdapat dalam hal
pengertian dan kriteria tawanan perang, keputusan untuk melakukan
penawanan, pangkat tawanan perang, penerapan peraturan disiplin,
tenaga kerja tawanan perang, wakil tawanan perang, proses peradilan,
dan berakhirnya penawanan. Di antara perbedaan-perbedaan peraturan
tersebut, ternyata Hukum Islam lebih bersifat universal, kemanusiaan,
keadilan, memiliki target atau tujuan yang jelas, dan mengedapankan
kemaslahatan umat manusia.
B. Saran
Berdasarkan simpulan di atas, penulis memberikan saran sebagai berikut.
Untuk para pembaca yang berminat dengan tema ini, diharapkan dapat
meneliti lebih lanjut perbandingan antara Hukum Humaniter Internasional
dan Hukum Islam mengenai perlakuan tawanan perang baik secara normatif
maupun secara empiris
DAFTAR PUSTAKA
Abu Yusuf, Ya’qub Ibnu Ibrahim al-Anshari.1931. Kitab al-Kharaj. Kairo
Abdullah Azzam.2005.Di Bawah Naungan SURAT AT-TAUBAH. edisi
terjemahan Ibadurrahman. Solo : Pustaka Al-‘Alaq.
Abdul Baqi Ramdhun.2005. Al-Jihad Sabiluna (Jihad Jalan Perjuangan
Kami). edisi terjemahan oleh Abdurrahman.Solo : Pustaka Al‘Alaq.
Abdul Hasan Ali Al-Hasani an Nadwi.2007. Sirah Nabawiyah. edisi
terjemahan
oleh
Muhammad
Halabi
Hamdi.
Yogyakarta:
Mardhiyah Press.
Ade Maman Suherman. 2000. Hukum Perdata Indonesia. Bandung
:PT.Citra Aditya Bakti.
Alfhia Parma. Pertemuan Hukum Humaniter Internasional; Hukum Islam.
<http://www.allbandung.com/abc-view-kat.php?field=132> ( 11
Januari 2007 pukul 12.11).
Ali Abdul Halim Mahmud. 2001. Fiqih Rekonsiliasi dan Reformasi Menurut
Hasan Al-Bana,RUKUN JIHAD, Kajian Tuntas Tentang Konsep
Mempertahankan Eksistensi Umat. Jakarta : Al-I’tishom Cahaya
Umat.
Anonim. 2001. Kenalilah ICRC, International Committe of The Red Cross.
_______.2003. Terjemahan Konvensi Jenewa Tahun 1949. Jakarta :
Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen
Kehakiman.
Arlina Permanasari,dkk. 1999. Pengantar Hukum Humaniter. Jakarta :
International Committe of The Red Cross.
Barda Nawawi Arief.2003. Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta : PT.Raja
Grafindo Persada.
Boer Mauna. 2005. Hukum Internasional, Pengertian Peranan Dan Fungsi
Dalam Era Dinamika Global.Edisi ke-2. bandung : PT. Alumni.
Departemen Agama RI. 2004. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung : PT.
Syaamil Cipta Media.
Fadillah Agus. 1997. Hukum Humaniter Suatu Prespektif. Jakarta : PT.
Massma Sikumbang.
Geoffrey Best.1994. WAR & LAW Since 1945. New York : Oxford
University Press Inc.
Haryomataram.1994. Sekelumit Tentang Hukum Humaniter. Surakarta :
Sebelas Maret Press.
_______.1984. HUKUM HUMANITER. Jakarta : CV.Rajawali.
Imam Abu Zakaria Yahya. 1976. Riyadus Solihin I. edisi terjemahan oleh
Salim Bahreisy. Bandung : PT Al-Ma’arif.
Indianto S. 2005. Skripsi ” Studi Perbandingan Hukum Kartu Kredit Antara
Hukum Positiv Indonesia dan Hukum Islam”. Surakarta : FH UNS.
Jhonny Ibrahim.2006.Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif.
Malang : Bayumedia Publishing.
Majid Khadduri.2002. War and Peace In The Law of Islam. edisi terjemahan
oleh Kuswanto.Yogyakarta: Tarawang Press.
Mochtar Kusumaatmadja. 1980.” Hukum Internasional Humaniter dalam
Pelaksanaan
dan
Penerapannya
di
Indonesia”.
Makalah.
Disampaikan pada Simposium tentang Hukum Humaniter,
Mohammad Daud Ali. 1999.HUKUM ISLAM Pengantar Ilmu Hukum dan
Tata Hukum Islam Indonesia. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada.
M. Farkhan M., Moh.Muchtarom dkk. 2006. Pendidikan Agama Islam.
Surakarta : UNS Press.
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris. 1998. Analisis Aktual Perang Badar
dan uhud Di Bawah Naungan Sirah Nabawiyah. edisi terjemahan
oleh Aunur Rafiq Shaleh Tahmid. Jakarta : Rabbani Press.
Muhammad Ali Ash-Shabuni.2003. Tafsir Ayat Ahkam I dan II. edisi
terjemahan
oleh
Muu’amal
Hamidy
dan
Drs.
Imron
A’Manan.Surabaya : PT. Bina Ilmu.
Nurcholish Madjid.Sejarah Awal Penyusunan dan Pembukuan Hukum
Islam.<http://www.geocities.com/Pentagon/Quarters/1246/hukum.h
tml> (tanggal 19 Desember 2007).
Romli Atmasasmita.2000.Perbandingan Hukum Pidana. Bandung :
CV.Mandar Maju.
R. Soeroso.1999. Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta : Sinar Grafika.
Sayyid Quthb.2003.Al-Quran, Terjemahan Tafsir fi zhilalil-Qur’an di
bawah naungan Al-Qur’an. Jilid 5. edisi terjemahan As’ad Yasin,
dkk. Jakarta:Gema Insani Press.
_______. 2003. .Al-Quran, Terjemahan Tafsir fi zhilalil-Qur’an di bawah
naungan Al-Qur’an. Jilid 10. edisi terjemahan As’ad Yasin, dkk.
Jakarta:Gema Insani Press.
Sayyid Sabiq.1984. Fiqh Sunnah 9. edisi terjemahan oleh Kamaluddin A
Marzuki. Bandung : PT. Al-Ma’arif.
Shafiyyurrahman Al-Mubarak Furry .2005. Sirah Nabawiyah. edisi
terjemahan oleh Kathur Suhardi. Jakarta Timur : Pustaka AlKautsar.
Soedjono Dirdjosisworo.2000.Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada.
Soerjono Soekanto .1986. Pengantar penelitian Hukum. Jakarta :
Universitas Indonesia (UI Press).
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2003. Penelitian Hukum Normatif
Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta : Pt.Raja Grafindo Persada.
Sunaryati Hartono. 1991. Kapita Selecta Perbandingan Hukum. Bandung :
Citra Aditya Bakti.
Sulaiman Rasyid. 2006. Fiqih Islam. Bandung : PT. Sinar Baru.
Syahmin A.K. 1985. Hukum Humaniter Internasional 1 Bagian Umum.
Bandung : CV Armico.
Tabari, Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir.1933.Kitab al-jihad wa Kitab alJizya wa Ahkam al-Muharibin min Kitab Ikhtilaf al-Fuqaha.
Leiden :J.Schaht (ed)
Taufiq
Ali Wabah. 1985. Jihad Dalam Islam . Jakarta Pusat : Media
Dakwah.
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy.2002.Al BAYAN Tafsir
Penjelas Al-Quranul Karim. Semarang: PT.PUSTAKA RIZKI
PUTRA.
Tim BPA AAI. 2007. Di Bawah Naungan Cahaya Ilahi. Surakarta :
Nurulhuda Press.
TMA.
Secara
Catatan Rahasia Militer
Tawanan Guantanamo Disiksa
Seksual.<http://www.gatra.com/artikel.php?id=85371>
(6 juni
2007 pukul 21.24).
_______Desakan Powell pada Rumsfel
Percepat Proses Tawanan
Guantanamo.<http://www.gatra.com/2003-0505/artikel.php?id= 27816> (6 juni 2007 pukul 21.24).
Usep
Romli H.M. Terungkap Lewat Dokumen-dokumen Penting AS
Menyiksa Tawanan Sudah Sering Terjadi.< http://www.pikiranrakyat.com/cetak/ 2005/0605/12/09 .htm> (tanggal 6 Juni 2007
pukul 21.24).
_______.Perlakuan Amerika terhadap Tawanan Perang. <http://www.
pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0605/07/02.htm> (tanggal 6 Juni
2007 pukul 21.24).
Yerry
Niko
Borang.
Lagi,
Penjara
Guantanamo
Telan
Korban.
<http://www.Vhrmedia.net/home/index.php?id=view&aid=4901&
lang> (tanggal 6 Juni 2007).
Download