MODUL PERKULIAHAN KEWARGANEGARAAN GEOPOLITIK HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA Fakultas Program Studi EKONOMI Manajemen Tatap Muka 11 Kode MK Disusun Oleh 90003 Panti Rahayu, SH, MH Abstract Kompetensi Agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Kata "agama" berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang berarti "tradisi". Kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja religare yang berarti "mengikat kembali Setelah membaca modul ini, mahasiswa diharapkan dapat memahami dan menjelaskan tentang: 1. Pengertian agama 2. Definisi menurut ahli 3. Diskursus praktik keagamaan 4. Hubungan agama dan negara MODUL 11 HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA A. Pengertian dan Hakikat Agama Agama adalah sebuah koleksi terorganisir dari kepercayaan, sistem budaya, dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan/perintah dari kehidupan. Banyak agama memiliki narasi, simbol, dan sejarah suci yang dimaksudkan untuk menjelaskan makna hidup dan / atau menjelaskan asal usul kehidupan atau alam semesta. Dari keyakinan mereka tentang kosmos dan sifat manusia, orang memperoleh moralitas, etika, hukum agama atau gaya hidup yang disukai. Menurut beberapa perkiraan, ada sekitar 4.200 agama di dunia. Banyak agama yang mungkin telah mengorganisir perilaku, kependetaan, definisi tentang apa yang merupakan kepatuhan atau keanggotaan, tempat-tempat suci, dan kitab suci. Praktek agama juga dapat mencakup ritual, khotbah, peringatan atau pemujaan tuhan, dewa atau dewi, pengorbanan, festival, pesta, trance, inisiasi, jasa penguburan, layanan pernikahan, meditasi, doa, musik, seni, tari, masyarakat layanan atau aspek lain dari budaya manusia. Agama juga mungkin mengandung mitologi. Kata agama kadang-kadang digunakan bergantian dengan iman, sistem kepercayaan atau kadang-kadang mengatur tugas; Namun, dalam kata-kata Émile Durkheim, agama berbeda dari keyakinan pribadi dalam bahwa itu adalah "sesuatu yang nyata sosial" Émile Durkheim juga mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Sebuah jajak pendapat global 2012 melaporkan bahwa 59% dari populasi dunia adalah beragama, dan 36% tidak beragama, termasuk 13% yang ‘13 2 Kewarganegaraan Panti Rahayu, SH, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id ateis, dengan penurunan sembilan persen pada keyakinan agama dari tahun 2005. Rata-rata, wanita lebih religius daripada laki-laki. Beberapa orang mengikuti beberapa agama atau beberapa prinsip-prinsip agama pada saat yang sama, terlepas dari apakah…. atau tidak prinsip-prinsip agama mereka mengikuti tradisional yang memungkinkan untuk terjadi unsur sinkretisme, milanarisme, akulturasi dan adaptasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Kata "agama" berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang berarti "tradisi". Kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja religare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan. Menurut filolog Max Müller, akar kata bahasa Inggris "religion", yang dalam bahasa Latin religio, awalnya digunakan untuk yang berarti hanya "takut akan Tuhan atau dewa-dewa, merenungkan hati-hati tentang hal-hal ilahi, kesalehan" (kemudian selanjutnya Cicero menurunkan menjadi berarti "ketekunan"). Max Müller menandai banyak budaya lain di seluruh dunia, termasuk Mesir, Persia, dan India, sebagai bagian yang memiliki struktur kekuasaan yang sama pada saat ini dalam sejarah. Apa yang disebut agama kuno hari ini, mereka akan hanya disebut sebagai "hukum". Banyak bahasa memiliki kata-kata yang dapat diterjemahkan sebagai "agama", tetapi mereka mungkin menggunakannya dalam cara yang sangat berbeda, dan beberapa tidak memiliki kata untuk mengungkapkan agama sama sekali. Sebagai contoh, dharma kata Sanskerta, kadang-kadang diterjemahkan sebagai "agama", juga berarti ‘13 3 Kewarganegaraan Panti Rahayu, SH, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id hukum. Di seluruh Asia Selatan klasik, studi hukum terdiri dari konsepkonsep seperti penebusan dosa melalui kesalehan dan upacara serta tradisi praktis. Medieval Jepang pada awalnya memiliki serikat serupa antara "hukum kekaisaran" dan universal atau "hukum Buddha", tetapi ini kemudian menjadi sumber independen dari kekuasaan. Tidak ada setara yang tepat dari "agama" dalam bahasa Ibrani, dan Yudaisme tidak membedakan secara jelas antara, identitas keagamaan nasional, ras, atau etnis. Salah satu konsep pusat adalah "halakha", kadang-kadang diterjemahkan sebagai "hukum", yang memandu praktek keagamaan dan keyakinan dan banyak aspek kehidupan sehari-hari. Penggunaan istilah-istilah lain, seperti ketaatan kepada Allah atau Islam yang juga didasarkan pada sejarah tertentu dan kosa kata. Definisi tentang agama di sini sedapat mungkin sederhana dan meliputi. Definisi ini diharapkan tidak terlalu sempit maupun terlalu longgar, tetapi dapat dikenakan kepada agama-agama yang selama ini dikenal melalui penyebutan nama-nama agama itu. Agama merupakan suatu lembaga atau institusi yang mengatur kehidupan rohani manusia. Untuk itu terhadap apa yang dikenal sebagai agama-agama itu perlu dicari titik persamaannya dan titik perbedaannya. Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar bisaa di luar dirinya. Sesuatu yang luar bisaa itu tentu berasal dari sumber yang luar bisaa juga. Dan sumber yang luar bisaa itu ada bermacam-macam sesuai dengan bahasa manusianya sendiri. Misal Tuhan, Dewa, God, Syang-ti, Kami-Sama dan lain-lain atau hanya menyebut sifat-Nya saja seperti Yang Maha Kuasa, Ingkang Murbeng Dumadi, De Weldadige, dan lain-lain. Keyakinan ini membawa manusia untuk mencari kedekatan diri kepada Tuhan dengan cara menghambakan diri, yaitu: ‘13 4 Kewarganegaraan Panti Rahayu, SH, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id a. Menerima segala kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya dan yakin berasal dari Tuhan, dan b. Menaati segenap ketetapan, aturan, hukum dan lain-lain yang diyakini berasal dari Tuhan. Dengan demikian, agama adalah penghambaan manusia kepada Tuhannya. Dalam pengertian agama terdapat 3 unsur, ialah manusia, penghambaan dan Tuhan. Maka suatu paham atau ajaran yang mengandung ketiga unsur pokok pengertian tersebut dapat disebut agama. Lebih luasnya lagi, agama juga bisa diartikan sebagai jalan hidup. Yakni bahwa seluruh aktivitas lahir dan batin pemeluknya diatur oleh agama yang dianutnya. Bagaimana kita makan, bagaimana kita bergaul, bersosialisasi, bagaimana kita beribadah, bagaimana kita berpolitik, bernegara dan berbangsa dan sebagainya ditentukan oleh aturan/tata cara agama. B. Definisi Menurut Beberapa Ahli Di Indonesia, istilah agama digunakan untuk menyebut enam agama yang diakui resmi oleh negara, seperti Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budhisme, dan Khonghuchu. Sedangkan semua sistem keyakinan yang tidak atau belum diakui secara resmi disebut “religi”. Agama sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Secara khusus, agama didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut dan tindakantindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam ‘13 5 Kewarganegaraan Panti Rahayu, SH, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id menginterpretasi dan memberi tanggapan terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci. Bagi para penganutnya, agama berisikan ajaran-ajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia dan di akhirat. Karena itu pula agama dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan, Juga menjadi pendorong serta pengontrol bagi tindakantindakan para anggota masyarakat tersebut untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya. C. Diskursus dan Praktik Keagamaan Peta tentang persebaran dan populasi agama di dunia dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Kategori Beberapa ahli mengklasifikasikan agama baik sebagai agama universal yang mencari penerimaan di seluruh dunia dan secara aktif mencari anggota baru, atau agama etnis yang diidentifikasi dengan kelompok etnis tertentu dan tidak mencari orang baru untuk bertobat pada agamanya. Yang lain-lain menolak perbedaan, menunjukkan bahwa semua praktek agama, apa pun asal filosofis mereka, adalah etnis karena mereka berasal dari suatu budaya tertentu. Pada abad ke-19 dan ke-20, praktek akademik perbandingan agama membagi keyakinan agama ke dalam kategori yang didefinisikan secara filosofis disebut "agama-agama dunia". Namun, beberapa sarjana baru-baru ini telah menyatakan bahwa tidak semua jenis agama yang harus dipisahkan oleh filosofi yang saling eksklusif, dan selanjutnya bahwa kegunaan menganggap praktek ke filsafat tertentu, atau bahkan menyebut ‘13 6 Kewarganegaraan Panti Rahayu, SH, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id praktik keagamaan tertentu, ketimbang budaya, politik, atau sosial di alam, yang terbatas. Keadaan saat studi psikologis tentang sifat religiusitas menunjukkan bahwa lebih baik untuk merujuk kepada agama sebagai sebagian besar fenomena invarian yang harus dibedakan dari normanorma budaya (yaitu " agama "). Beberapa akademisi mempelajari subjek telah membagi agama menjadi tiga kategori : a. agama-agama dunia, sebuah istilah yang mengacu pada yang transkultural, agama internasional; b. agama pribumi, yang mengacu pada yang lebih kecil, budayatertentu atau kelompok agama-negara tertentu, dan c. gerakan-gerakan keagamaan baru, yang mengacu pada agama baru ini dikembangkan. 2. Kelompok agama Daftar gerakan-gerakan keagamaan yang masih aktif yang diberikan di sini merupakan upaya untuk meringkas pengaruh regional dan filosofis yang paling penting pada masyarakat lokal, tetapi tidak berarti keterangan lengkap dari setiap umat beragama, juga tidak menjelaskan elemen yang paling penting dari religiusitas individu. Kelima kelompok agama terbesar menurut jumlah penduduk dunia, diperkirakan mencapai 5 miliar orang, yaitu Kristen, Islam, Budha, Hindu (dengan angka relatif untuk Buddha dan Hindu tergantung pada sejauh mana sinkretisme) dan agama tradisional rakyat Cina. Agama dan kepercayaan yang dicantumkan di bawah ini merupakan agama dan kepercayaan dengan jumlah pemeluk yang signifikan di seluruh dunia. Beberapa komunitas di berbagai belahan dunia ‘13 7 Kewarganegaraan Panti Rahayu, SH, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id juga memeluk berbagai aliran kepercayaan yang dianggap sebagai golongan minoritas dan belum dipaparkan. 3. Kekerasan Perang Salib adalah serangkaian dari kampanye militer berjuang terutama antara KristenEropa dan Muslim. Ditampilkan di sini adalah adegan pertempuran dari Perang Salib Pertama. Charles Selengut mengkarakterisasikan frase "agama dan kekerasan" sebagai "gemuruh", menyatakan bahwa "agama dianggap menentang kekerasan dan kekuatan untuk perdamaian dan rekonsiliasi. Ia mengakui, bagaimanapun, bahwa" sejarah dan kitab suci agama-agama di dunia memberitahu cerita kekerasan dan perang karena mereka berbicara tentang perdamaian dan cinta." Hector Avalos berpendapat bahwa, karena agama mengklaim kemurahan ilahi untuk diri mereka sendiri, dan melawan kelompok lain, hal kebenaran ini mengarah pada kekerasan karena konflik klaim untuk sebuah keunggulan, berdasarkan alasan banding yang diverifikasi kepada Tuhan, yang kemudian tidak dapat diadili secara obyektif. Kritik agama dari Christopher Hitchens dan Richard Dawkins melangkah lebih jauh dan menyatakan bahwa agama luar bisaa merugikan kepada masyarakat dengan menggunakan kekerasan untuk mempromosikan tujuan mereka, dengan cara yang didukung dan dimanfaatkan oleh para pemimpin mereka. Regina Schwartz berpendapat bahwa semua agama monoteistik secara inheren kekerasan karena suatu eksklusivisme yang pasti mendorong kekerasan terhadap mereka yang dianggap orang luar. Lawrence ‘13 8 Wechsler Kewarganegaraan Panti Rahayu, SH, MH menegaskan bahwa Schwartz Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id tidak hanya menyatakan bahwa agama-agama Ibrahim memiliki warisan kekerasan, tetapi warisan sebenarnya genosida di alam. Byron Bland menegaskan bahwa salah satu alasan yang paling menonjol untuk "kebangkitan sekuler dalam pemikiran Barat" adalah reaksi terhadap kekerasan agama dari abad 16 dan 17. Dia menegaskan bahwa " sekuler adalah cara hidup dengan perbedaan agama yang telah menghasilkan begitu banyak horor. Dalam sekularitas, entitas politik memiliki surat perintah untuk membuat keputusan independen dari kebutuhan untuk menegakkan versi tertentu ortodoksi agama. Memang, mereka mungkin bertentangan dengan keyakinan tertentu yang dipegang teguh jika dibuat untuk kepentingan kesejahteraan bersama. Dengan demikian, salah satu tujuan penting dari sekuler adalah untuk membatasi kekerasan." Richard Dawkins telah menyatakan bahwa kekejaman Stalin dipengaruhi bukan oleh atheisme tetapi dengan dogmatis Marxisme, dan menyimpulkan bahwa sementara Stalin dan Mao kebetulan adalah atheis, mereka tidak melakukan perbuatan-perbuatan mereka dalam nama ateisme. Pada kesempatan lain , Dawkins telah membalas argumen bahwa Adolf Hitler dan Josef Stalin yang antireligius dengan respon bahwa Hitler dan Stalin juga sama tumbuh kumis, dalam upaya untuk menunjukkan argumen yang menyesatkan. Sebaliknya, Dawkins berpendapat dalam The God Delusion bahwa "Yang penting bukanlah apakah Hitler dan Stalin adalah ateis, namun apakah ateisme secara sistematis mempengaruhi orang untuk melakukan hal-hal buruk. Tidak ada bukti terkecil tentang hal itu." Dawkins menambahkan bahwa Hitler sebenarnya, berulang kali menegaskan keyakinan yang kuat dalam agama Kristen, tetapi kekejaman nya tidak lebih disebabkan teisme ketimbang Stalin atau Mao adalah untuk ateisme mereka. Dalam semua tiga kasus ini, menurutnya, tingkat pelaku 'religiusitas adalah insidental. D'Souza menjawab bahwa seorang individu tidak perlu secara eksplisit ‘13 9 Kewarganegaraan Panti Rahayu, SH, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id memanggil ateisme dalam melakukan kekejaman jika sudah tersirat dalam pandangannya, seperti halnya dalam Marxisme. 4. Sains Ilmu agama, menurut praktisi agama, bisa diperoleh dari para pemimpin agama, teks-teks suci, kitab suci, atau wahyu pribadi. Beberapa agama melihat pengetahuan seperti terbatas dalam lingkup dan sebatas cocok untuk menjawab pertanyaan, yang lain melihat pengetahuan agama sebagai memainkan peran yang lebih terbatas, sering sebagai pelengkap pengetahuan yang diperoleh melalui pengamatan fisik. Penganut berbagai agama agama sering mempertahankan bahwa pengetahuan agama yang diperoleh melalui teks-teks suci atau wahyu adalah mutlak dan sempurna dan dengan demikian menciptakan sebuah kosmologi agama yang menyertainya, meskipun bukti seperti yang sering disebut tautologis dan umumnya terbatas pada teks-teks agama dan wahyu yang membentuk dasar dari keyakinan mereka. Sebaliknya, metode ilmiah kemajuan pengetahuan dengan menguji hipotesis untuk mengembangkan teori-teori melalui penjelasan fakta atau evaluasi oleh eksperimen dan dengan demikian hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan kosmologi tentang alam semesta yang dapat diamati dan diukur. Ini mengembangkan teori-teori dunia yang paling sesuai dengan bukti-bukti fisik yang diamati. Semua pengetahuan ilmiah tunduk pada perbaikan di kemudian, atau bahkan penolakan langsung, dalam menghadapi bukti tambahan yang mendukung. Teori-teori ilmiah yang memiliki dominan besar terhadap bukti yang menguntungkan sering diperlakukan sebagai de facto verities dalam bahasa umum, seperti teori relativitas umum dan seleksi alam untuk menjelaskan masing-masing mekanisme gravitasi dan evolusi. Mengenai agama dan ilmu pengetahuan, Albert Einstein menyatakan (1940): "Untuk ilmu pengetahuan hanya bisa memastikan ‘13 10 Kewarganegaraan Panti Rahayu, SH, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id apa yang ada, tapi tidak apa yang seharusnya, dan di luar pertimbangan nilai domainnya dari segala macam tetap diperlukan. Agama, di sisi lain, hanya berurusan dengan evaluasi pemikiran dan tindakan manusia, tidak dapat dibenarkan berbicara tentang fakta-fakta dan hubungan antara fakta...Kini, meski alam agama dan ilmu pengetahuan dalam diri mereka ditandai dengan jelas keluar dari satu sama lain, namun ada di antara dua hubungan timbal balik yang kuat dan dependensi. Meskipun agama bahwa mungkin yang menentukan tujuan, dan bagaimanapun belajar dari ilmu pengetahuan, dalam arti yang luas, apa yang diartikan akan memberikan kontribusi pada pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditetapkan." 5. Hewan kurban Hewan kurban adalah ritual pembunuhan dan korban binatang untuk menenangkan atau mempertahankan nikmat dengan dewa. Bentukbentuk pengorbanan yang dipraktekkan dalam banyak agama di seluruh dunia dan telah muncul historis di hampir semua budaya. 6. Sekularisme dan tidak beragama Ranjit Singh mendirikan pemerintahan sekuler di wilayah Punjab pada awal abad ke-19. Istilah "ateis" (tidak mempercayai pada setiap dewa atau tuhan) dan "agnostik" (keyakinan namun dalam ketidaktahuan tentang keberadaan/eksistensi dewa atau tuhan), meskipun secara khusus bertentangan dengan para teistik (misalnya Kristen, Yahudi, dan Muslim) dalam ajaran agama, menurut definisi tidak berarti kebalikan dari "agama". Ada agama (termasuk agama Buddha dan Taoisme) yang pada kenyataannya mengelompokkan beberapa pengikut mereka sebagai agnostik, ateis, atau nonteistik. Kebalikan sebenarnya dari "agama" adalah kata "tidak beragama". Tidak beragama menggambarkan absen terhadap agama apapun, sedangkan anti-agama menggambarkan oposisi aktif atau keengganan terhadap agama pada umumnya. ‘13 11 Kewarganegaraan Panti Rahayu, SH, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Agama menjadi urusan pribadi secara lebih dalam budaya Barat, diskusi masyarakat menjadi lebih terfokus pada makna politik dan ilmiah, dan sikap keagamaan (dominan Kristen) yang semakin dilihat sebagai tidak relevan untuk kebutuhan dunia Eropa. Di sisi politik, Ludwig Feuerbach merombak keyakinan Kristen dalam terang humanisme, membuka jalan bagi karakterisasi terkenal Karl Marx tentang agama sebagai "candu rakyat". Sementara itu, dalam komunitas ilmiah, T.H. Huxley pada tahun 1869 menciptakan istilah "agnostik" istilah-kemudian diadopsi oleh tokoh-tokoh seperti Robert Ingersoll-bahwa, sementara secara langsung bertentangan dengan dan novel untuk tradisi Kristen, diterima dan bahkan memeluk di beberapa agama lain. Kemudian, Bertrand Russell mengatakan kepada dunia Mengapa Saya Bukan seorang Kristen, yang dipengaruhi beberapa penulis kemudian untuk membahas memisahkan diri mereka dari asuhan agama mereka sendiri dari Islam ke Hindu. Beberapa ateis juga membangun agama parodi, misalnya, Gereja SubGenius atau Monster Spageti Terbang, yang memparodikan argumen ketika waktu yang sama yang digunakan oleh perancangan cerdas teori Kreasionisme. Agama Parodi juga dapat dianggap sebagai pendekatan postmodernisme dengan agama. Misalnya, di Discordianisme, mungkin sulit untuk mengetahui apakah bahkan ini "serius" ketika pengikutnya tidak hanya mengambil bagian dalam sebuah lelucon yang lebih besar. Lelucon ini, pada gilirannya, dapat menjadi bagian dari jalan besar menuju pencerahan, dan seterusnya ad infinitum. 7. Kritik agama Kritik agama memiliki sejarah panjang, akan kembali setidaknya sejauh abad ke-5 SM. Selama zaman klasik, ada kritikus agama di Yunani kuno, seperti Diagoras "ateis" dari Melos, dan di abad ke-1 SM di Roma, dengan Titus Lucretius Carus's De Rerum Natura. ‘13 12 Kewarganegaraan Panti Rahayu, SH, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Selama Abad Pertengahan dan terus ke masa Renaissance, kritikus potensial terhadap agama dianiaya dan sebagian besar dipaksa untuk tetap diam. Ada kritikus terkenal seperti Giordano Bruno, yang dibakar di tiang karena tidak setuju dengan otoritas keagamaan. Pada abad ke-17 dan ke-18 dengan Pencerahan, pemikir seperti David Hume dan Voltaire mengkritik agama. Pada abad ke-19, Charles Darwin dan teori evolusi menyebabkan meningkatnya skeptisisme tentang agama. Thomas Huxley, Jeremy Bentham, Karl Marx, Charles Bradlaugh, Robert Ingersol, dan Mark Twain telah tercatat dalam abad ke-19 dan kritikus awal abad ke-20. Pada abad ke-20, Bertrand Russell, Sigmund Freud, dan lain-lain terus mengkritik agama. Sam Harris, Daniel Dennett, Richard Dawkins, Victor J. Stenger, dan almarhum Christopher Hitchens adalah kritikus aktif selama akhir abad 20 dan awal abad ke-21. Kritikus menganggap agama sudah menjadi usang, berbahaya bagi individu (misalnya pencucian otak anak-anak, iman kesembuhan, mutilasi alat kelamin perempuan, sunat), merugikan masyarakat (misalnya perang suci, terorisme, pemborosan sumber daya), menghambat kemajuan ilmu pengetahuan, untuk melakukan kontrol sosial, dan untuk mendorong tindakan asusila (misalnya pengorbanan darah, diskriminasi terhadap kaum homoseksual dan perempuan, dan bentuk-bentuk tertentu dari kekerasan seksual seperti perkosaan). Sebuah kritik utama dari banyak agama adalah bahwa dari mereka membutuhkan keyakinan yang tidak rasional, tidak ilmiah, atau tidak masuk akal, karena keyakinan agama dan tradisi tidak memiliki dasar ilmiah atau rasional. Beberapa kritikus modern, seperti Bryan Caplan, menahan agama yang tidak memiliki utilitas dalam masyarakat manusia; mereka mungkin menganggap agama sebagai irasional pemenang Nobel Perdamaian Shirin Ebadi telah berbicara untuk menentang negara-negara Islam yang ‘13 13 Kewarganegaraan Panti Rahayu, SH, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id tidak demokratis karena membenarkan "tindakan menindas" dalam nama Islam 8. Kerjasama antar agama Karena agama tetap diakui dalam pemikiran Barat sebagai dorongan universal, banyak praktisi agama bertujuan untuk bersatu dalam dialog antaragama, kerja sama, dan perdamaian agama. Dialog utama yang pertama adalah Parlemen Agama-agama Dunia pada 1893 Chicago World Fair, yang tetap penting bahkan saat ini baik dalam menegaskan " nilai-nilai universal " dan pengakuan keanekaragaman praktek antar budaya yang berbeda. Abad ke-20 terutama telah bermanfaat dalam penggunaan dialog antar agama sebagai cara untuk memecahkan konflik etnis, politik, atau bahkan agama, dengan rekonsiliasi Kristen-Yahudi mewakili reverse lengkap dalam sikap banyak komunitas Kristen terhadap orang Yahudi. Inisiatif antaragama terbaru termasuk " A Common Word ", diluncurkan pada tahun 2007 dan difokuskan pada membawa para pemimpin Muslim dan Kristen bersama-sama bersatu, yang "C1 World Dialogue", yang " Common Ground " inisiatif antara Islam dan Buddhisme, dan PBB disponsori " World Interfaith Harmony Week ". 9. Cara Beragama Dalam praktiknya, cara beragama dapat dibedakan sebagai berikut: 1. Tradisional, yaitu cara beragama berdasar tradisi. Cara ini mengikuti cara beragama nenek moyang, leluhur, atau orang-orang dari angkatan sebelumnya. Pemeluk cara agama tradisional pada umumnya kuat dalam beragama, sulit menerima hal-hal keagamaan yang baru atau pembaharuan, dan tidak berminat bertukar agama. ‘13 14 Kewarganegaraan Panti Rahayu, SH, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 2. Formal, yaitu cara beragama berdasarkan formalitas yang berlaku di lingkungannya atau masyarakatnya. Cara ini bisaanya mengikuti cara beragamanya orang yang berkedudukan tinggi atau punya pengaruh. Pada umumnya tidak kuat dalam beragama. Mudah mengubah cara beragamanya jika berpindah lingkungan atau masyarakat yang berbeda dengan cara beragamnya. Mudah bertukar agama jika memasuki lingkungan atau masyarakat yang lain agamanya. Mereka ada minat meningkatkan ilmu dan amal keagamaannya akan tetapi hanya mengenai hal-hal yang mudah dan nampak dalam lingkungan masyarakatnya. 3. Rasional, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan rasio sebisanya. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan pengetahuan, ilmu dan pengamalannya. Mereka bisa berasal dari orang yang beragama secara tradisional atau formal, bahkan orang tidak beragama sekalipun. 4. Metode Pendahulu, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan akal dan hati (perasaan) di bawah wahyu. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan ilmu, pengamalan dan penyebaran (dakwah). Mereka selalu mencari ilmu dulu kepada orang yang dianggap ahlinya dalam ilmu agama yang memegang teguh ajaran asli yang dibawa oleh utusan dari Sesembahannya semisal Nabi atau Rasul sebelum mereka mengamalkan, mendakwahkan dan bersabar (berpegang teguh) dengan itu semua. ‘13 15 Kewarganegaraan Panti Rahayu, SH, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id D. Hubungan Agama dan Negara di Indonesia Enam agama besar yang paling banyak dianut di Indonesia, yaitu: agama Islam, Kristen (Protestan) dan Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Sebelumnya, pemerintah Indonesia pernah melarang pemeluk Konghucu melaksanakan agamanya secara terbuka. Namun, melalui Keppress No. 6/2000, Presiden Abdurrahman Wahid mencabut larangan tersebut. Tetapi sampai kini masih banyak penganut ajaran agama Konghucu yang mengalami diskriminasi dari pejabat-pejabat pemerintah. Ada juga penganut agama Yahudi, Saintologi, Raelianisme dan lain-lainnya, meskipun jumlahnya termasuk sedikit. Menurut Penetapan Presiden (Penpres) No.1/PNPS/1965 junto Undang-undang No.5/1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan agama dalam penjelasannya pasal demi pasal dijelaskan bahwa Agama-agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia adalah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Meskipun demikian bukan berarti agama-agama dan kepercayaan lain tidak boleh tumbuh dan berkembang di Indonesia. Bahkan pemerintah berkewajiban mendorong dan membantu perkembangan agama-agama tersebut. Tidak ada istilah agama yang diakui dan tidak diakui atau agama resmi dan tidak resmi di Indonesia, kesalahan persepsi ini terjadi karena adanya SK (Surat Keputusan) Menteri Dalam Negeri pada tahun 1974 tentang pengisian kolom agama pada KTP yang hanya menyatakan kelima agama tersebut. SK tersebut kemudian dianulir pada masa Presiden Abdurrahman Wahid karena dianggap bertentangan dengan Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945 tentang Kebebasan beragama dan Hak Asasi Manusia. ‘13 16 Kewarganegaraan Panti Rahayu, SH, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Lalu bagaimana hubungan Negara dan agama dewasa ini? Adalah hal yang sangat penting membicarakan hubungan Negara dengan agama. Apalagi di Indonesia merupakan Negara yang multi religi. Interaksi Negara dan agama, khusus dalam kasus agama Islam. Hubungan keduanya masih menjadi perdebatan panjang dan intensif di kalangan para pakar muslim. Sebagaimana dikatakan Azyumardi Azra, yang ditulis Ubaedillah & Abdul Rojak (2013: 31-34), Pendidikan kewarganegaraan (Civic Education) Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, mengatakan,” Perdebatan itu telah berlangsung sejak hampir satu abad, dan masih berlangsung hingga dewasa ini.” Karena menurut Azra, ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan Negara dalam Islam disulut oleh hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai agama (din) dan Negara (dawlah). Berbagai eksperimen telah dilakukan untuk menyelaraskan antara din dan dawlah dengan konsep dan kultur politik masyarakat Muslim. Seperti halnya percobaan demokrasi di sejumlah Negara di dunia, penyelarasan din dan dawlah di banyak Negara Muslim telah berkembang secara beragam. Perkembangan wacana demokrasi di kalangan negara-negara Muslim dewasa ini semakin menambah marak perdebatan Islam dan Negara. Perdebatan Islam dan Negara berangkat dari pandangan dominan Islam sebagai sebuah system kehidupan yang menyeluruh (syumuli), yang mengatur semua kehidupan manusia, termasuk persoalan politik. Dari pandangan Islam sebagai agama yang komprehensif ini pada dasarnya dalam Islam tidak terdapat konsep pemisahan antara agama (din) dan politik (dawlah). Arguemntasi ini sering dikaitkan dengan posisi Nabi Muhammad SAW di Madinah. Di kota hijrah ini, Nabi Muhammad SAW berperan ganda, sebagai seorang pemimpin agama sekaligus sebagai kepala Negara yang memimpin sebuah system pemeintah awal Islam yang oleh kebanyakan pakar, sangat modern di masanya. ‘13 17 Kewarganegaraan Panti Rahayu, SH, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Posisi ganda Nabi Muhammad SAWdi kota Madinah disikapi beragam oleh kalangan ahli Secara garus besar perbedaan pandangan ini bermuara pada apakah Islam identik dengan Negara, atau sebaliknya Islam tidak meninggalkan konsep yang tegas tentang bentuk Negara, mengingat sepeninggal Nabi Muhammad SAW tak seorang pun dapat menggantikan peran ganda Beliau, sebagai pemimpin dunia yang sekuler dan si penerima wahyu Allah sekaligus. Menyikapi realitas perdebatan tersebut, Ibnu Taimiyah mengatakan, bahwa posisi Nabi saat itu adalah sebagai Rasul yang bertugas menyampaikan ajaran (AlQuran) bukan sebagai penguasa. Menurut Ibnu Taimiyah, kalaupun ada pemerintahan, itu hanyalah sebuah alat untuk menyampaikan agama dan kekuasaan bukanlah agama itu sendiri. Dengan ungkapan lain, politik dan Negara dalam Islam hanyalah sebagai alat bagi agama, bukan eksistensi dari agama Islam. Pendapat ini bersandar pada ayat AlQuran (QS.57:25) yang artinya,”Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami yang disertai keteranganketerangan, dan Kami turunkan bersama mereka Kitab dan timbangan agar manusia berlaku adil, dan Kami turunkan besi, padanya ada kekuatan yang hebat dan manfaat-manfaat bagi manusia, dan agar Allah mengetahui siapa yang menolong-Nya dan menolong Rasul-Nya yang ghaib (daripadanya)." Sehingga Ibnu Taimiyah menyimpulkan bahwa agama yang benar wajib memiliki buku petunjuk dan “pedang” penolong. Hal ini dimaksudkan bahwa kekuasaan politik yang disimbolkan dengan pedang menjadi sesuatu yang mutlak bagi agama, tetapi kekuasaan itu bukanlah agama itu sendiri. Adapun politik tidak lain sebatas alat untuk mencapai tujuan-rujuan luhur agama. Hubungan Islam dan Negara modern secara teoritis dapat diklasifikasikan kedalam tiga pandangan: Integralistik, Simbiotik, dan sekularistik. ‘13 18 Kewarganegaraan Panti Rahayu, SH, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 1. Paradigma Integralistik: Paradigma Integralistik hampir sama persis dengan pandangan Negara teokrasi Islam/ Paradigma ini mengandung paham/konsep agama dan Negara merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu (integrated). Pada paham ini juga memberikan penegasan bahwa Negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. Konsep ini menegaskan kembali bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama (din) dan politik atau negara (dawlah). Dalam pergulatan Islam dan Negara modern, pola hubungan integrative ini kemudian melahirkan konsep tentang agama-negara, yang berate bahwa kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan hukum dan prinsip keagamaan. Dari sinilah kemudian paradigma integralistik identi dengan paham ad-Din wa dawlah (Islam sebagai agama dan Negara), yang sumber hukum positifnya adalah hukum Islam (syariat Islam). Paradigma integralistik ini antara lain dianut oleh Negara Kerajaan Saudi Arabia dan penganut syi’ah di Iran. Kelompok pencinta Ali r.a. ini menggunakan istilah Imamah sebagai dimaksud dengan istlah dawlah yang banyak dirujuk kalangan Sunni. 2. Paradigma Simbiotik: Menurut pandangan simbiotik, hubungan agama dan Negara berada posisi saling membutuhkan dan bersifat timbale balik (simbiosis mutualita). Dalam pandangan ini, agama membutuhkan Negara sebagai instrument dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Begitu juga sebaliknya, Negara juga memerlukan agama sebagai sumber moral, etika, dan spiritualitas warga negaranya. ‘13 19 Kewarganegaraan Panti Rahayu, SH, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Paradigma simbiotik tanpaknya bersesuaian dengan pandangan Ibnu Taimiyah tentang Negara sebagai alat agama diatas. Dalam kerangka ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban agama yang paling besar, karena tanpa kekuasaan Negara, maka agama tidak akan berdiri tegak. Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut melegitimasi bahwa agama dan Negara merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan. Olah karenanya, konstitusi yang berlaku dalam paradigm ini tidak saja berasal dari adanya kontrak social (social contract), tetapi bisa diwarnai oleh hukum agama (syariah). Dengan kata lain, agama tidak mendominasi kehidupan bernegara, sebaliknya ia menjadi sumber moral bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Model pemerintahan Negara Mesir dan Indonesia dapat digolongkan kepada kelompok paradigm ini. 3. Paradigma Sekularistik: Paradigma sekularistik beranggapan bahwa ada pemisahan yang jelas antara agama dan Negara. Agama dan Negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan masingmasing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi. Negara adalah urusan publik, sementara agama merupakan wilayah pribadi masing-masing warga Negara. Pengalaman Negara dan agama Islam di Indonesia sebagai negeri muslim terbesar di dunia. Uniknya, Indonesia bukanlah sebuah Negara Islam. Dari keunikan ini perdebatan pola hubungan Islam dan Negara di Indonesia merupakan perdebatan politik yang tidak kunjung selesai. Perdebatan tentang Islam dan nasionalisme Indonesia antara tokoh nasiolisme Muslim dan nasionalis sekuler 1920-an merupakan babak awal pergumulan Islam dan Negara pada kuru-kurun selanjutnya. Perdebatan Islam dan nasionalisme—dan konsep Negara sekuler diwakili masing- ‘13 20 Kewarganegaraan Panti Rahayu, SH, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id masing oleh nasionalis Muslim Mohammad Natsir, dan Soekarno, dari kelompok nasionalis sekuler. Menurut Ubaedillah & Abdul Rojak (2013: 135-137), Pendidikan kewarganegaraan (Civic Education) Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani mengatakan, bahwa perdebatan Islam dan konsepkonsep ideology sekuler menemukan titik klimaks pada persidangan formal dalam sidang-sidang mejelis Badan Penyidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) bentukan pemerintah Jepang, 1945. Para tokoh Muslim seperti H.Agus Salim, KH Mas Mansyur,dan KH Wahid Hasyim, menyuarakan suara aspirasi Islam dengan mengajukan usul konsep Negara Islam dengan menjadikan Islam sebagai dasar Negara bagi Indonesia merdeka. Usulan ini bersandar pada alasan sosiologis bangsa Indonesia yang mayoritas memeluk Islam sebagai agama dan keyakinannya. Alasan kelompok nasionalis Muslim ini ditentang oleh kalangan nasionalis sekuler yang mengajukan konsep Negara sekuler. Menurut para nasionalis sekuler , kemajemukan Indonesia dan perasaan senasib melawan penjajah mendasari alas an mereka menolak konsep Negara agama (Islam) yang diajukan oleh kalangan nasionalis Muslim. Bagi mereka, Indonesia yang majemuk baik agama, suku, dan bahasa harus melandasi berdirinya Negara nonoagama (sekuler). Pada kesempatan perhelatan konstitusional ini, tokoh nasionalis sekuler Soekarno merujuk pengalaman Turki Modern dibawah Kemal Atturk dengan konsep negara sekulernya. Lebih lanjut, Soekarno kembali menyeruakan konsep sekulernya tentang lima dasar negara Indonesia, yang kemudian dikenal Pancasila. Tentu saja paham kebangsaan Pancasila tidak mudah diterimaoleh kelompok nasionalis Muslim. Bagi mereka selain alasan mayoritas penduduk Islam memeluk Islam, Islam agama ciptaan Allah yang bersfat ‘13 21 Kewarganegaraan Panti Rahayu, SH, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id unirsal dan lengkap harus dijadikan dasar dalam tata kehidupan kenegaraan dan konstitusional kebangsaan BPUPKI Indonesia. menghasilkan Akhir dari kekhawatiran nasionalis dari kawasan Indonesia Timur. perdebatan bagi kelompok Kekhawatiran mereka diwujudkan melalui keinginan mereka menidirikan Negara sendiri dengan memisahkan diri (NKRI).Ancaman konsep pemisahan Negara diri Kesatuan dari konsep Republik Indonesia NKRI melahirkan kekhawatiran dari semua kelompok nasionalis yang tengah berdebat tentang masa depan Indonesia. Namun demikian, dibalik sengitnya perdebatan tentang dasar dan bentuk Negara, terjadi kesepakatan atau kompromi politik di kalangan tokoh-tokoh nasionalis baik Muslim maupun sekuler. Klimaks dari sidang BPUPKI berakhir dengan kesediaan kalangan nasionalis Muslim untuk tidak memaksakan kehendak mereka menjadikan Islam sebagai dasar Negara Indonesia. Demi persatuan dan kesatuan terselenggarakannya kemerdekaan bagi bangsa Indonesia dari cengkraman penjajah, mereka menerima konsep kalangan nasionalis sekuler, dengan catatan Negara menjamin dijalankannya syariat Islam bagi pemeluk Islam di Indonesia. Hasil dari kompromi antara kelompok nasionalis Muslim dengan nasionalis sekuler dikenal dengan nama the gentlemen agreement yang tertuang dalam Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang menyebutkan Negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Setelah Indonesia merdeka, hubungan Islam dan negara dibawah kepemimpinan Soekarno kembali mengalami ketegangan. Sumber ketegangan itu berpusat pada perdebatan seputar tafsir klausul Sila Pertama Pancasila,”dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.” Alotnya perdebatan tersebut berakhir pada pemahaman di ‘13 22 Kewarganegaraan Panti Rahayu, SH, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id kalangan tokoh nasional bahwa NKRI adalah bukan Negara agama (Islam) dan juga negara sekuler. Berikut catatan sngkat pergumulan Islam dan Negara Indonesia: Pada kurun 1950-1959, ketika Indonesia menjalankan prinsip Demokrasi Parlementer, ketegangan Islam dan negara kembali terulang dalam bentuk perseteruan sengit antara kelompok partai politik Islam, seperti Partai Masyumi dan Partai NU, dengan partai politik sekuler; Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Nasionalis Indonesia (PNI), dan sebagainya. Perseteruan Ideologis Islam versus Ideologi sekuler terjadi dalam persidangan Konstituante hasil pemilu demokratis yang pertama 1955. Pemilu 1955 yang dinilai banyak ahli sebagai pemilu sebagai pemilu paling demokratis dalam sejarah politik nasional Indonesia ternyata tak menjamin terselenggarakannya proses pembuatan konstitusi dengan baik. Sekalipun Majelis Konstituante hamper rampung menyelesaikan tugas-tugas konstitusionalnya, ketidakstabilan politik dan ancaman disintegrasi dianggap oleh Presiden Soekrano sebagai dampak langsung dari Demokrasi Parlementer yang diadopsi dari Barat. Menurut Soekarno, demokrasi ala Barat tidak sesuai dengan iklim politik Indonesia. Perseteruan sengit antara partai-partai harus diakhiri dengan memberlakukan kembali UUD 1945 dibawah sistem Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy) melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Sejak saat itu Presiden Soekarno memiliki kekuasaan yang tak terbatas, bahkan dinobatkan sebagai presiden seumur hidup. Kekuasaan Presiden Soekarano yang tidak terbatas dibawah Demokrasi Terpimpin masih tetap mengakomodasi kekuatan Islam. Hubungan Islam dan Negara tercermin pada kepemimpinannya Presiden Soekarno yang menjankan prinsip fusi politik ciptaannya, Nasakom (nasionalis, agama, komunis), Nasakom terdiri atas tiga komponen ‘13 23 Kewarganegaraan Panti Rahayu, SH, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id dominan hasil pemilu 1955; PNI, Islam (diwakili NU) dan PKI. Keberadaan PKI sangat penting bagi pemerintahan Soekarno karena perolehan suaranya yang sangat signifikan dalam pemilu. Model kepemimpinan “tiga kaki” Presiden Soekarno ini menimbulkan kecemburuan politik di kalangan kelompok militer dibawah Jenderal A.H.Nasution. Perseteruan politik dan ideology antara TNI (tentara nasional Indonesia) dengan PKI berdampak pada persekutuan politik antara kelompok Islam dan militer untuk menghadapi PKI yang tengah dekat dengan Presiden Soekarno. Seperti perseteruan ideologi sebelumnya, ideology sosialis komunis menjadi alasan utama kelompok Islam untuk berkoalisi dengan TNI melawan paham komunis. Sistem Demokrasi Terpimpin ala Soekarno berakhir dengan peristiwa politik yang tragis, Gerakan 30 Sepetember 1965, gerakan maker ini menurut beberapa ahli merupakan buah dari perseteruan ideologis panjang antara PKI dengan TNI, khususnya Angkatan Darat, yang berujung pada pembunuhan sejumlah elit pimpinan TNI di Lubang Buaya, Halim, Jakarta. Peristiwa ini sekaligus merupakan awal kejatuhan politik Presiden Soekarno dan awal naiknya kiprah politik Presiden Soeharto. Melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersmar), Panglima Kostrad (Komando Strategis Angakatan Darat) Letnan Jenderal Soeharto kala itu memimpin pemulihan keamanan nasional dengan melakukan penumpasan terhadap semua unsure komunis di Indonesia. Akhir masa pemulihan keamanan berhasil menaikkan Panglima Kostrad Letjen Soeharto ke tampuk kepemimpinan nasional yang disyahkan oleh siding umum MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) dibawah pimpinan Jenderal A.H.Nasution pada 1968. Dengan sloga kembali ke Pancasila secara murni dan konsekuen. Presiden Soeharto memulai kepemimpinan nasional dengan sebutan Orde Baru, sebagai pengganti Orde Lama yang dianggap telah menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945. ‘13 24 Kewarganegaraan Panti Rahayu, SH, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id a. Era Soeharto: Babak Baru Hubungan Islam dan Negara Naiknya Presiden Soeharto melahirkan babak baru hubungan Islam dan Negara di Indoneia. Menurut Imam Azis, dalam A.Ubaedillah & Abdul Rozak (2004:138), pola hubungan antara keduanya secara umum dapat digolongkan ke dalam dua pola: antagonistis dan akomodatif. Hubungan antagonistis merupakan sifat hubungan yang mencirika adanya ketegangan antara Islam dan Negara Orde Baru; sedangkan akomodatif menunjukan saling membutuhkan antara kelompok Islam dengan Negara Orde Baru, bahkan terdapat kesamaan untuk mengurangi konflik antara keduanya. Namun demikian sebelum mencapai pola akomodatif, menurut Abdul Aziz Thaba, telah terjadi hubungan agama dan Negara Orde Baru yang bersifat resiprokal-kritis yakni awal dimulainya penurunan ketegangan antara agama dan Negara Indonesia. Hubungan antagonis antara Negara Orde Baru dengan kelompok Islam dapat dilihat dari kecurigaan dan pengekangan kekuatan Islam yang dilakukan pemerintahan Orde Baru. Sikap serupa merupakan kelanjutan dari sikap kalangan nasionalis sekuler terhadap kelompok Islam, khususnya di era 1950-an. Lalu pada pertengahan 1980-an merupakan awal perubahan pendulum hubungan Islam dan Orde Baru. Hal ini ditandai dengan lahirnya kebijakan-kebijakan politik Presiden Soeharto yang dinilai positif bagi umat Islam. Menurut Efendy lagi, kebijakankebijakan Orde Baru memiliki dampak luas bagi perkembangan politik selanjutnya baik struktural maupun struktral. Kecenderungan akomodasi Negara terhadap Islam juga---menurut Affan Gafar, ditengarai dengan adanya kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan dan keagamaan serta kondisi dan kecenderungan akomodasionis umat Islam sendiri. Pemerintah mulai menyadari akan potensi umat Islam sebagai kekuatan politik yang potensil. Adapun menurut Thaba, sikap akomodatif Negara terhadap Islam lebih disebabkan ‘13 25 Kewarganegaraan Panti Rahayu, SH, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id oleh pemahaman Negara terhadap perubahan sikap politik umat Islam terhadap kebijakan Negara, terutama dalam konteks perlakuan dan penerimaan Pancasila. Perubahan sikap umat Islam pada paruh kedua 1980-an, dari penentang menjadi menerima Pancasila sebagai satu- satunya azas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bersinergi dengan sejumlah kebijakan Orde Baru yang menguntungkan umat Islam pada masa selanjutnya. Pengesahan RUU Pendidikan Nasional, RUU Peradilan Agama, pembolehan pemakaian jilbab bagi siswi Muslim di sekolah umum, kemunculan organisasi Ikatan Cendekiawan Muslim (ICMI), dan lahirnya yayasan Amal Bakti Pancasila yang dipimpin oleh Presiden Soeharto merupakan indicator adanya hubungan akomodatif yang dilakukan oleh elit penguasa Orde Baru terhadap Islam. Selanjutnya Islam dan Negara pasca Orde Baru harus kembali melestarikan komitmen suci para pendiri bangsa (sacred commitment founding fathers) untuk menjaga kesepakatan membangun masa depan demokrasi Indonesia harus diletakkan dalam tataran Indonesia yang plural dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Konsep NKRI dan Pancasila dengan kebhinekaannya tidak bias dilepaskan dari ijtihad kelompok Islam Indonesia yang harus dijaga, dilestarikan diaktualisasikan berwawasan dan dengan pengembangan ajaran-ajaran Islam yang inklusif, kemanusiaan, keadilan, dan keindonesia-an. Persoalan yang sama harus dilakukan pula oleh Negara. Negara memiliki kewajiban konstitusional untuk menjamin kemajemukan dan demokrasi di Indonesia. Penyelenggara Negara harus tetap menjaga dan mengawal sunnatullah kebineka Indonesia yang dijamin oleh konstitusi Negara, dengan menindak tegas anasir yang mereduksi kebinekaan Indonesia dan keutuhan NKRI. ‘13 26 Kewarganegaraan Panti Rahayu, SH, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Jadi dapat dirangkumkan, bahwa hubungan agama dan Negara di Indonesia lebih menganut pada azas keseimbangan yang dinamis, jalan tengah antara sekularisme dan teokrasi. Keseimbangan dinamis adalah tidak ada pemisahan antara agama dan politik, namun masing-masing dapat saling mengisi dengan segala peranannya. Agama tetap memiliki daya kritis terhadap negara dan negara punya kewajiban-kewajiban terhadap agama. Dengan kata lain, pola hubungan agama dan negara di Indonesia membantu apa yang sering disebut oleh banyak kalangan sebagai hubungan simbiotik-mutualita. Referensi: 1. Bodenhamer David, J. 2001. Federalism and Democracy. Working Paper. Washington D.C. : US Department of State. 2. Fokus Media. 2004. Undang-undang Otonomi Oaerah. Bandung : Fokus Media. 3. Iskatrinah. 2004. Pelaksanaan Fungsi Hukum Administrasi Negara dalam Mewujudkan Pemerintah yang Baik. Makalah. 4. Kansil dan Kansii. 2005. Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi.. Jakarta : Pradnya Paramita. 5. Kusnardi, M. dan Bintan Saragih. 2000. Ilmu Negara. Jakarta : Gaya Media Pratama. 6. Manan Bagir. 2005. DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru. Yogyakarta : Ull Press. 7. MH, Amin Jaiz. 1980. Pokok-pokok Ajaran Islam. Jakarta : Korpri Unit PT. Asuransi Jasa Indonesia. 8. Sinar Grafika: 2005. UUD 1945 Hasil Amandemen. Jakarta.: Sinar Grafika. 9. Syarbaini, Syahrial (Editor). 2005. Materi Perkuliahan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Jakarta : Sus- cadoswar, Dikti. 10. http://id.wikipedia.org/wiki/Agama. ‘13 27 Kewarganegaraan Panti Rahayu, SH, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id MADANI ‘13 28 Kewarganegaraan Panti Rahayu, SH, MH Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id