modul 11 hubungan agama dan negara

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
KEWARGANEGARAAN
GEOPOLITIK
HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA
Fakultas
Program Studi
EKONOMI
Manajemen
Tatap Muka
11
Kode MK
Disusun Oleh
90003
Panti Rahayu, SH, MH
Abstract
Kompetensi
Agama adalah sistem yang mengatur tata
keimanan (kepercayaan) dan peribadatan
kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata
kaidah yang berhubungan dengan pergaulan
manusia dan manusia serta lingkungannya.
Kata "agama" berasal dari bahasa Sanskerta,
āgama yang berarti "tradisi". Kata lain untuk
menyatakan konsep ini adalah religi yang
berasal dari bahasa Latin religio dan berakar
pada kata kerja religare yang berarti "mengikat
kembali
Setelah membaca modul ini, mahasiswa
diharapkan dapat memahami dan
menjelaskan tentang:
1. Pengertian agama
2. Definisi menurut ahli
3. Diskursus praktik keagamaan
4. Hubungan agama dan negara
MODUL 11
HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA
A. Pengertian dan Hakikat Agama
Agama adalah sebuah koleksi terorganisir dari kepercayaan, sistem
budaya, dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan
tatanan/perintah dari kehidupan. Banyak agama memiliki narasi, simbol,
dan sejarah suci yang dimaksudkan untuk menjelaskan makna hidup dan /
atau menjelaskan asal usul kehidupan atau alam semesta. Dari keyakinan
mereka tentang kosmos dan sifat manusia, orang memperoleh moralitas,
etika, hukum agama atau gaya hidup yang disukai. Menurut beberapa
perkiraan, ada sekitar 4.200 agama di dunia.
Banyak agama yang mungkin telah mengorganisir perilaku,
kependetaan, definisi tentang apa yang merupakan kepatuhan atau
keanggotaan, tempat-tempat suci, dan kitab suci. Praktek agama juga
dapat mencakup ritual, khotbah, peringatan atau pemujaan tuhan, dewa
atau dewi, pengorbanan, festival, pesta, trance, inisiasi, jasa penguburan,
layanan pernikahan, meditasi, doa, musik, seni, tari, masyarakat layanan
atau aspek lain dari budaya manusia. Agama juga mungkin mengandung
mitologi.
Kata agama kadang-kadang digunakan bergantian dengan iman,
sistem kepercayaan atau kadang-kadang mengatur tugas; Namun, dalam
kata-kata Émile Durkheim, agama berbeda dari keyakinan pribadi dalam
bahwa itu adalah "sesuatu yang nyata sosial" Émile Durkheim juga
mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri
atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci.
Sebuah jajak pendapat global 2012 melaporkan bahwa 59% dari populasi
dunia adalah beragama, dan 36% tidak beragama, termasuk 13% yang
‘13
2
Kewarganegaraan
Panti Rahayu, SH, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
ateis, dengan penurunan sembilan persen pada keyakinan agama dari
tahun 2005. Rata-rata, wanita lebih religius daripada laki-laki. Beberapa
orang mengikuti beberapa agama atau beberapa prinsip-prinsip agama
pada saat yang sama, terlepas dari apakah…. atau tidak prinsip-prinsip
agama mereka mengikuti tradisional yang memungkinkan untuk terjadi
unsur sinkretisme, milanarisme, akulturasi dan adaptasi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Agama adalah sistem
yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada
Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan
pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Kata "agama"
berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang berarti "tradisi". Kata lain
untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin
religio dan berakar pada kata kerja religare yang berarti "mengikat
kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya
kepada Tuhan.
Menurut filolog Max Müller, akar kata bahasa Inggris "religion",
yang dalam bahasa Latin religio, awalnya digunakan untuk yang berarti
hanya "takut akan Tuhan atau dewa-dewa, merenungkan hati-hati tentang
hal-hal ilahi, kesalehan" (kemudian selanjutnya Cicero menurunkan
menjadi berarti "ketekunan"). Max Müller menandai banyak budaya lain di
seluruh dunia, termasuk Mesir, Persia, dan India, sebagai bagian yang
memiliki struktur kekuasaan yang sama pada saat ini dalam sejarah. Apa
yang disebut agama kuno hari ini, mereka akan hanya disebut sebagai
"hukum".
Banyak bahasa memiliki kata-kata yang dapat diterjemahkan
sebagai "agama", tetapi mereka mungkin menggunakannya dalam cara
yang sangat
berbeda,
dan
beberapa tidak memiliki kata
untuk
mengungkapkan agama sama sekali. Sebagai contoh, dharma kata
Sanskerta, kadang-kadang diterjemahkan sebagai "agama", juga berarti
‘13
3
Kewarganegaraan
Panti Rahayu, SH, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
hukum. Di seluruh Asia Selatan klasik, studi hukum terdiri dari konsepkonsep seperti penebusan dosa melalui kesalehan dan upacara serta
tradisi praktis. Medieval Jepang pada awalnya memiliki serikat serupa
antara "hukum kekaisaran" dan universal atau "hukum Buddha", tetapi ini
kemudian menjadi sumber independen dari kekuasaan.
Tidak ada setara yang tepat dari "agama" dalam bahasa Ibrani, dan
Yudaisme tidak membedakan secara jelas antara, identitas keagamaan
nasional, ras, atau etnis. Salah satu konsep pusat adalah "halakha",
kadang-kadang diterjemahkan sebagai "hukum", yang memandu praktek
keagamaan dan keyakinan dan banyak aspek kehidupan sehari-hari.
Penggunaan istilah-istilah lain, seperti ketaatan kepada Allah atau
Islam yang juga didasarkan pada sejarah tertentu dan kosa kata. Definisi
tentang agama di sini sedapat mungkin sederhana dan meliputi. Definisi
ini diharapkan tidak terlalu sempit maupun terlalu longgar, tetapi dapat
dikenakan kepada agama-agama yang selama ini dikenal melalui
penyebutan nama-nama agama itu. Agama merupakan suatu lembaga
atau institusi yang mengatur kehidupan rohani manusia. Untuk itu
terhadap apa yang dikenal sebagai agama-agama itu perlu dicari titik
persamaannya dan titik perbedaannya.
Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan
akan keterbatasannya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang
luar bisaa di luar dirinya. Sesuatu yang luar bisaa itu tentu berasal dari
sumber yang luar bisaa juga. Dan sumber yang luar bisaa itu ada
bermacam-macam sesuai dengan bahasa manusianya sendiri. Misal
Tuhan, Dewa, God, Syang-ti, Kami-Sama dan lain-lain atau hanya
menyebut sifat-Nya saja seperti Yang Maha Kuasa, Ingkang Murbeng
Dumadi, De Weldadige, dan lain-lain.
Keyakinan ini membawa manusia untuk mencari kedekatan diri
kepada Tuhan dengan cara menghambakan diri, yaitu:
‘13
4
Kewarganegaraan
Panti Rahayu, SH, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
a. Menerima segala kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya dan
yakin berasal dari Tuhan, dan
b. Menaati segenap ketetapan, aturan, hukum dan lain-lain yang
diyakini berasal dari Tuhan.
Dengan demikian, agama adalah penghambaan manusia kepada
Tuhannya. Dalam pengertian agama terdapat 3 unsur, ialah manusia,
penghambaan dan Tuhan. Maka suatu paham atau ajaran yang
mengandung ketiga unsur pokok pengertian tersebut dapat disebut
agama.
Lebih luasnya lagi, agama juga bisa diartikan sebagai jalan hidup.
Yakni bahwa seluruh aktivitas lahir dan batin pemeluknya diatur oleh
agama yang dianutnya. Bagaimana kita makan, bagaimana kita bergaul,
bersosialisasi, bagaimana kita beribadah, bagaimana kita berpolitik,
bernegara dan berbangsa dan sebagainya ditentukan oleh aturan/tata
cara agama.
B. Definisi Menurut Beberapa Ahli
Di Indonesia, istilah agama digunakan untuk menyebut enam
agama yang diakui resmi oleh negara, seperti Islam, Katolik, Protestan,
Hindu, Budhisme, dan Khonghuchu. Sedangkan semua sistem keyakinan
yang tidak atau belum diakui secara resmi disebut “religi”.
Agama sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur
hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya,
mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur
hubungan manusia dengan lingkungannya. Secara khusus, agama
didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut dan tindakantindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam
‘13
5
Kewarganegaraan
Panti Rahayu, SH, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
menginterpretasi dan memberi tanggapan terhadap apa yang dirasakan
dan diyakini sebagai yang gaib dan suci. Bagi para penganutnya, agama
berisikan ajaran-ajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang
eksistensi manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia
dan di akhirat. Karena itu pula agama dapat menjadi bagian dan inti dari
sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat yang
bersangkutan, Juga menjadi pendorong serta pengontrol bagi tindakantindakan para anggota masyarakat tersebut untuk tetap berjalan sesuai
dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya.
C. Diskursus dan Praktik Keagamaan
Peta tentang persebaran dan populasi agama di dunia dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Kategori
Beberapa ahli mengklasifikasikan agama baik sebagai agama
universal yang mencari penerimaan di seluruh dunia dan secara aktif
mencari anggota baru, atau agama etnis yang diidentifikasi dengan
kelompok etnis tertentu dan tidak mencari orang baru untuk bertobat pada
agamanya. Yang lain-lain menolak perbedaan, menunjukkan bahwa
semua praktek agama, apa pun asal filosofis mereka, adalah etnis karena
mereka berasal dari suatu budaya tertentu.
Pada abad ke-19 dan ke-20, praktek akademik perbandingan
agama membagi keyakinan agama ke dalam kategori yang didefinisikan
secara filosofis disebut "agama-agama dunia". Namun, beberapa sarjana
baru-baru ini telah menyatakan bahwa tidak semua jenis agama yang
harus dipisahkan oleh filosofi yang saling eksklusif, dan selanjutnya bahwa
kegunaan menganggap praktek ke filsafat tertentu, atau bahkan menyebut
‘13
6
Kewarganegaraan
Panti Rahayu, SH, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
praktik keagamaan tertentu, ketimbang budaya, politik, atau sosial di alam,
yang terbatas. Keadaan saat studi psikologis tentang sifat religiusitas
menunjukkan bahwa lebih baik untuk merujuk kepada agama sebagai
sebagian besar fenomena invarian yang harus dibedakan dari normanorma budaya (yaitu " agama ").
Beberapa akademisi mempelajari subjek telah membagi agama
menjadi tiga kategori :
a. agama-agama dunia, sebuah istilah yang mengacu pada yang
transkultural, agama internasional;
b. agama pribumi, yang mengacu pada yang lebih kecil, budayatertentu atau kelompok agama-negara tertentu, dan
c. gerakan-gerakan keagamaan baru, yang mengacu pada agama
baru ini dikembangkan.
2. Kelompok agama
Daftar gerakan-gerakan keagamaan yang masih aktif yang
diberikan di sini merupakan upaya untuk meringkas pengaruh regional dan
filosofis yang paling penting pada masyarakat lokal, tetapi tidak berarti
keterangan lengkap dari setiap umat beragama, juga tidak menjelaskan
elemen yang paling penting dari religiusitas individu.
Kelima kelompok agama terbesar menurut jumlah penduduk dunia,
diperkirakan mencapai 5 miliar orang, yaitu Kristen, Islam, Budha, Hindu
(dengan angka relatif untuk Buddha dan Hindu tergantung pada sejauh
mana sinkretisme) dan agama tradisional rakyat Cina.
Agama dan kepercayaan yang dicantumkan di bawah ini
merupakan agama dan kepercayaan dengan jumlah pemeluk yang
signifikan di seluruh dunia. Beberapa komunitas di berbagai belahan dunia
‘13
7
Kewarganegaraan
Panti Rahayu, SH, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
juga memeluk berbagai aliran kepercayaan yang dianggap sebagai
golongan minoritas dan belum dipaparkan.
3. Kekerasan
Perang Salib adalah serangkaian dari kampanye militer berjuang
terutama antara KristenEropa dan Muslim. Ditampilkan di sini adalah
adegan pertempuran dari Perang Salib Pertama.
Charles
Selengut
mengkarakterisasikan
frase
"agama
dan
kekerasan" sebagai "gemuruh", menyatakan bahwa "agama dianggap
menentang kekerasan dan kekuatan untuk perdamaian dan rekonsiliasi. Ia
mengakui, bagaimanapun, bahwa" sejarah dan kitab suci agama-agama
di dunia memberitahu cerita kekerasan dan perang karena mereka
berbicara tentang perdamaian dan cinta."
Hector Avalos berpendapat bahwa, karena agama mengklaim
kemurahan ilahi untuk diri mereka sendiri, dan melawan kelompok lain, hal
kebenaran ini mengarah pada kekerasan karena konflik klaim untuk
sebuah keunggulan, berdasarkan alasan banding yang diverifikasi kepada
Tuhan, yang kemudian tidak dapat diadili secara obyektif.
Kritik agama dari Christopher Hitchens dan Richard Dawkins
melangkah lebih jauh dan menyatakan bahwa agama luar bisaa
merugikan kepada masyarakat dengan menggunakan kekerasan untuk
mempromosikan tujuan mereka, dengan cara yang didukung dan
dimanfaatkan oleh para pemimpin mereka.
Regina Schwartz berpendapat bahwa semua agama monoteistik
secara inheren kekerasan karena suatu eksklusivisme yang pasti
mendorong kekerasan terhadap mereka yang dianggap orang luar.
Lawrence
‘13
8
Wechsler
Kewarganegaraan
Panti Rahayu, SH, MH
menegaskan
bahwa
Schwartz
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
tidak
hanya
menyatakan bahwa agama-agama Ibrahim memiliki warisan kekerasan,
tetapi warisan sebenarnya genosida di alam.
Byron Bland menegaskan bahwa salah satu alasan yang paling
menonjol untuk "kebangkitan sekuler dalam pemikiran Barat" adalah
reaksi terhadap kekerasan agama dari abad 16 dan 17. Dia menegaskan
bahwa " sekuler adalah cara hidup dengan perbedaan agama yang telah
menghasilkan begitu banyak horor. Dalam sekularitas, entitas politik
memiliki surat perintah untuk membuat keputusan independen dari
kebutuhan untuk menegakkan versi tertentu ortodoksi agama. Memang,
mereka mungkin bertentangan dengan keyakinan tertentu yang dipegang
teguh jika dibuat untuk kepentingan kesejahteraan bersama. Dengan
demikian, salah satu tujuan penting dari sekuler adalah untuk membatasi
kekerasan."
Richard Dawkins telah menyatakan bahwa kekejaman Stalin
dipengaruhi bukan oleh atheisme tetapi dengan dogmatis Marxisme, dan
menyimpulkan bahwa sementara Stalin dan Mao kebetulan adalah atheis,
mereka tidak melakukan perbuatan-perbuatan mereka dalam nama
ateisme. Pada kesempatan lain , Dawkins telah membalas argumen
bahwa Adolf Hitler dan Josef Stalin yang antireligius dengan respon
bahwa Hitler dan Stalin juga sama tumbuh kumis, dalam upaya untuk
menunjukkan
argumen
yang
menyesatkan.
Sebaliknya,
Dawkins
berpendapat dalam The God Delusion bahwa "Yang penting bukanlah
apakah Hitler dan Stalin adalah ateis, namun apakah ateisme secara
sistematis mempengaruhi orang untuk melakukan hal-hal buruk. Tidak ada
bukti terkecil tentang hal itu." Dawkins menambahkan bahwa Hitler
sebenarnya, berulang kali menegaskan keyakinan yang kuat dalam
agama Kristen, tetapi kekejaman nya tidak lebih disebabkan teisme
ketimbang Stalin atau Mao adalah untuk ateisme mereka. Dalam semua
tiga kasus ini, menurutnya, tingkat pelaku 'religiusitas adalah insidental.
D'Souza menjawab bahwa seorang individu tidak perlu secara eksplisit
‘13
9
Kewarganegaraan
Panti Rahayu, SH, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
memanggil ateisme dalam melakukan kekejaman jika sudah tersirat dalam
pandangannya, seperti halnya dalam Marxisme.
4. Sains
Ilmu agama, menurut praktisi agama, bisa diperoleh dari para
pemimpin agama, teks-teks suci, kitab suci, atau wahyu pribadi. Beberapa
agama melihat pengetahuan seperti terbatas dalam lingkup dan sebatas
cocok untuk menjawab pertanyaan, yang lain melihat pengetahuan agama
sebagai memainkan peran yang lebih terbatas, sering sebagai pelengkap
pengetahuan yang diperoleh melalui pengamatan fisik. Penganut berbagai
agama agama sering mempertahankan bahwa pengetahuan agama yang
diperoleh melalui teks-teks suci atau wahyu adalah mutlak dan sempurna
dan dengan demikian menciptakan sebuah kosmologi agama yang
menyertainya, meskipun bukti seperti yang sering disebut tautologis dan
umumnya terbatas pada teks-teks agama dan wahyu yang membentuk
dasar dari keyakinan mereka.
Sebaliknya, metode ilmiah kemajuan pengetahuan dengan menguji
hipotesis untuk mengembangkan teori-teori melalui penjelasan fakta atau
evaluasi oleh eksperimen dan dengan demikian hanya menjawab
pertanyaan-pertanyaan kosmologi tentang alam semesta yang dapat
diamati dan diukur. Ini mengembangkan teori-teori dunia yang paling
sesuai dengan bukti-bukti fisik yang diamati. Semua pengetahuan ilmiah
tunduk pada perbaikan di kemudian, atau bahkan penolakan langsung,
dalam menghadapi bukti tambahan yang mendukung. Teori-teori ilmiah
yang memiliki dominan besar terhadap bukti yang menguntungkan sering
diperlakukan sebagai de facto verities dalam bahasa umum, seperti teori
relativitas umum dan seleksi alam untuk menjelaskan masing-masing
mekanisme gravitasi dan evolusi.
Mengenai
agama
dan
ilmu
pengetahuan,
Albert
Einstein
menyatakan (1940): "Untuk ilmu pengetahuan hanya bisa memastikan
‘13
10
Kewarganegaraan
Panti Rahayu, SH, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
apa yang ada, tapi tidak apa yang seharusnya, dan di luar pertimbangan
nilai domainnya dari segala macam tetap diperlukan. Agama, di sisi lain,
hanya berurusan dengan evaluasi pemikiran dan tindakan manusia, tidak
dapat dibenarkan berbicara tentang fakta-fakta dan hubungan antara
fakta...Kini, meski alam agama dan ilmu pengetahuan dalam diri mereka
ditandai dengan jelas keluar dari satu sama lain, namun ada di antara dua
hubungan timbal balik yang kuat dan dependensi. Meskipun agama
bahwa mungkin yang menentukan tujuan, dan bagaimanapun belajar dari
ilmu pengetahuan, dalam arti yang luas, apa yang diartikan akan
memberikan kontribusi pada pencapaian tujuan-tujuan yang telah
ditetapkan."
5. Hewan kurban
Hewan kurban adalah ritual pembunuhan dan korban binatang
untuk menenangkan atau mempertahankan nikmat dengan dewa. Bentukbentuk pengorbanan yang dipraktekkan dalam banyak agama di seluruh
dunia dan telah muncul historis di hampir semua budaya.
6. Sekularisme dan tidak beragama
Ranjit Singh mendirikan pemerintahan sekuler di wilayah Punjab
pada awal abad ke-19. Istilah "ateis" (tidak mempercayai pada setiap
dewa atau tuhan) dan "agnostik" (keyakinan namun dalam ketidaktahuan
tentang keberadaan/eksistensi dewa atau tuhan), meskipun secara
khusus bertentangan dengan para teistik (misalnya Kristen, Yahudi, dan
Muslim) dalam ajaran agama, menurut definisi tidak berarti kebalikan dari
"agama". Ada agama (termasuk agama Buddha dan Taoisme) yang pada
kenyataannya mengelompokkan beberapa pengikut mereka sebagai
agnostik, ateis, atau nonteistik. Kebalikan sebenarnya dari "agama"
adalah kata "tidak beragama". Tidak beragama menggambarkan absen
terhadap agama apapun, sedangkan anti-agama menggambarkan oposisi
aktif atau keengganan terhadap agama pada umumnya.
‘13
11
Kewarganegaraan
Panti Rahayu, SH, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Agama menjadi urusan pribadi secara lebih dalam budaya Barat,
diskusi masyarakat menjadi lebih terfokus pada makna politik dan ilmiah,
dan sikap keagamaan (dominan Kristen) yang semakin dilihat sebagai
tidak relevan untuk kebutuhan dunia Eropa. Di sisi politik, Ludwig
Feuerbach merombak keyakinan Kristen dalam terang humanisme,
membuka jalan bagi karakterisasi terkenal Karl Marx tentang agama
sebagai "candu rakyat". Sementara itu, dalam komunitas ilmiah, T.H.
Huxley pada tahun 1869 menciptakan istilah "agnostik" istilah-kemudian
diadopsi oleh tokoh-tokoh seperti Robert Ingersoll-bahwa, sementara
secara langsung bertentangan dengan dan novel untuk tradisi Kristen,
diterima dan bahkan memeluk di beberapa agama lain. Kemudian,
Bertrand Russell mengatakan kepada dunia Mengapa Saya Bukan
seorang Kristen, yang dipengaruhi beberapa penulis kemudian untuk
membahas memisahkan diri mereka dari asuhan agama mereka sendiri
dari Islam ke Hindu.
Beberapa ateis juga membangun agama parodi, misalnya, Gereja
SubGenius atau Monster Spageti Terbang, yang memparodikan argumen
ketika waktu yang sama yang digunakan oleh perancangan cerdas teori
Kreasionisme. Agama Parodi juga dapat dianggap sebagai pendekatan
postmodernisme dengan agama. Misalnya, di Discordianisme, mungkin
sulit untuk mengetahui apakah bahkan ini "serius" ketika pengikutnya tidak
hanya mengambil bagian dalam sebuah lelucon yang lebih besar. Lelucon
ini, pada gilirannya, dapat menjadi bagian dari jalan besar menuju
pencerahan, dan seterusnya ad infinitum.
7. Kritik agama
Kritik agama memiliki sejarah panjang, akan kembali setidaknya
sejauh abad ke-5 SM. Selama zaman klasik, ada kritikus agama di Yunani
kuno, seperti Diagoras "ateis" dari Melos, dan di abad ke-1 SM di Roma,
dengan Titus Lucretius Carus's De Rerum Natura.
‘13
12
Kewarganegaraan
Panti Rahayu, SH, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Selama Abad Pertengahan dan terus ke masa Renaissance,
kritikus potensial terhadap agama dianiaya dan sebagian besar dipaksa
untuk tetap diam. Ada kritikus terkenal seperti Giordano Bruno, yang
dibakar di tiang karena tidak setuju dengan otoritas keagamaan.
Pada abad ke-17 dan ke-18 dengan Pencerahan, pemikir seperti
David Hume dan Voltaire mengkritik agama. Pada abad ke-19, Charles
Darwin dan teori evolusi menyebabkan meningkatnya skeptisisme tentang
agama. Thomas Huxley, Jeremy Bentham, Karl Marx, Charles Bradlaugh,
Robert Ingersol, dan Mark Twain telah tercatat dalam abad ke-19 dan
kritikus awal abad ke-20. Pada abad ke-20, Bertrand Russell, Sigmund
Freud, dan lain-lain terus mengkritik agama. Sam Harris, Daniel Dennett,
Richard Dawkins, Victor J. Stenger, dan almarhum Christopher Hitchens
adalah kritikus aktif selama akhir abad 20 dan awal abad ke-21.
Kritikus menganggap agama sudah menjadi usang, berbahaya bagi
individu (misalnya pencucian otak anak-anak, iman kesembuhan, mutilasi
alat kelamin perempuan, sunat), merugikan masyarakat (misalnya perang
suci, terorisme, pemborosan sumber daya), menghambat kemajuan ilmu
pengetahuan, untuk melakukan kontrol sosial, dan untuk mendorong
tindakan asusila (misalnya pengorbanan darah, diskriminasi terhadap
kaum homoseksual dan perempuan, dan bentuk-bentuk tertentu dari
kekerasan seksual seperti perkosaan). Sebuah kritik utama dari banyak
agama adalah bahwa dari mereka membutuhkan keyakinan yang tidak
rasional, tidak ilmiah, atau tidak masuk akal, karena keyakinan agama dan
tradisi tidak memiliki dasar ilmiah atau rasional.
Beberapa kritikus modern, seperti Bryan Caplan, menahan agama
yang tidak memiliki utilitas dalam masyarakat manusia; mereka mungkin
menganggap agama sebagai irasional pemenang Nobel Perdamaian
Shirin Ebadi telah berbicara untuk menentang negara-negara Islam yang
‘13
13
Kewarganegaraan
Panti Rahayu, SH, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
tidak demokratis karena membenarkan "tindakan menindas" dalam nama
Islam
8. Kerjasama antar agama
Karena agama tetap diakui dalam pemikiran Barat sebagai
dorongan universal, banyak praktisi agama bertujuan untuk bersatu dalam
dialog antaragama, kerja sama, dan perdamaian agama. Dialog utama
yang pertama adalah Parlemen Agama-agama Dunia pada 1893 Chicago
World Fair, yang tetap penting bahkan saat ini baik dalam menegaskan "
nilai-nilai universal " dan pengakuan keanekaragaman praktek antar
budaya yang berbeda. Abad ke-20 terutama telah bermanfaat dalam
penggunaan dialog antar agama sebagai cara untuk memecahkan konflik
etnis, politik, atau bahkan agama, dengan rekonsiliasi Kristen-Yahudi
mewakili reverse lengkap dalam sikap banyak komunitas Kristen terhadap
orang Yahudi.
Inisiatif antaragama terbaru termasuk " A Common Word ",
diluncurkan pada tahun 2007 dan difokuskan pada membawa para
pemimpin Muslim dan Kristen bersama-sama bersatu, yang "C1 World
Dialogue", yang " Common Ground " inisiatif antara Islam dan Buddhisme,
dan PBB disponsori " World Interfaith Harmony Week ".
9. Cara Beragama
Dalam praktiknya, cara beragama dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Tradisional, yaitu cara beragama berdasar tradisi. Cara ini
mengikuti cara beragama nenek moyang, leluhur, atau orang-orang
dari angkatan sebelumnya. Pemeluk cara agama tradisional pada
umumnya
kuat
dalam
beragama,
sulit
menerima
hal-hal
keagamaan yang baru atau pembaharuan, dan tidak berminat
bertukar agama.
‘13
14
Kewarganegaraan
Panti Rahayu, SH, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
2. Formal, yaitu cara beragama berdasarkan formalitas yang berlaku
di lingkungannya atau masyarakatnya. Cara ini bisaanya mengikuti
cara beragamanya orang yang berkedudukan tinggi atau punya
pengaruh. Pada umumnya tidak kuat dalam beragama. Mudah
mengubah cara beragamanya jika berpindah lingkungan atau
masyarakat yang berbeda dengan cara beragamnya. Mudah
bertukar agama jika memasuki lingkungan atau masyarakat yang
lain agamanya. Mereka ada minat meningkatkan ilmu dan amal
keagamaannya akan tetapi hanya mengenai hal-hal yang mudah
dan nampak dalam lingkungan masyarakatnya.
3. Rasional, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan rasio
sebisanya. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan
menghayati ajaran agamanya dengan pengetahuan, ilmu dan
pengamalannya. Mereka bisa berasal dari orang yang beragama
secara tradisional atau formal, bahkan orang tidak beragama
sekalipun.
4. Metode
Pendahulu,
yaitu
cara
beragama
berdasarkan
penggunaan akal dan hati (perasaan) di bawah wahyu. Untuk itu
mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran
agamanya dengan ilmu, pengamalan dan penyebaran (dakwah).
Mereka selalu mencari ilmu dulu kepada orang yang dianggap
ahlinya dalam ilmu agama yang memegang teguh ajaran asli yang
dibawa oleh utusan dari Sesembahannya semisal Nabi atau Rasul
sebelum mereka mengamalkan, mendakwahkan dan bersabar
(berpegang teguh) dengan itu semua.
‘13
15
Kewarganegaraan
Panti Rahayu, SH, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
D. Hubungan Agama dan Negara di Indonesia
Enam agama besar yang paling banyak dianut di Indonesia, yaitu:
agama Islam, Kristen (Protestan) dan Katolik, Hindu, Buddha, dan
Khonghucu.
Sebelumnya,
pemerintah
Indonesia
pernah
melarang
pemeluk Konghucu melaksanakan agamanya secara terbuka. Namun,
melalui Keppress No. 6/2000, Presiden Abdurrahman Wahid mencabut
larangan tersebut. Tetapi sampai kini masih banyak penganut ajaran
agama Konghucu yang mengalami diskriminasi dari pejabat-pejabat
pemerintah. Ada juga penganut agama Yahudi, Saintologi, Raelianisme
dan lain-lainnya, meskipun jumlahnya termasuk sedikit.
Menurut Penetapan Presiden (Penpres) No.1/PNPS/1965 junto
Undang-undang No.5/1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan
Penodaan agama dalam penjelasannya pasal demi pasal dijelaskan
bahwa Agama-agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk
Indonesia adalah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Meskipun demikian bukan berarti agama-agama dan kepercayaan lain
tidak boleh tumbuh dan berkembang di Indonesia. Bahkan pemerintah
berkewajiban mendorong dan membantu perkembangan agama-agama
tersebut.
Tidak ada istilah agama yang diakui dan tidak diakui atau agama
resmi dan tidak resmi di Indonesia, kesalahan persepsi ini terjadi karena
adanya SK (Surat Keputusan) Menteri Dalam Negeri pada tahun 1974
tentang pengisian kolom agama pada KTP yang hanya menyatakan
kelima agama tersebut. SK tersebut kemudian dianulir pada masa
Presiden Abdurrahman Wahid karena dianggap bertentangan dengan
Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945 tentang Kebebasan beragama dan
Hak Asasi Manusia.
‘13
16
Kewarganegaraan
Panti Rahayu, SH, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Lalu bagaimana
hubungan Negara dan agama dewasa ini?
Adalah hal yang sangat penting membicarakan hubungan Negara dengan
agama. Apalagi di Indonesia merupakan Negara yang multi religi. Interaksi
Negara dan agama, khusus dalam kasus agama Islam. Hubungan
keduanya masih menjadi perdebatan panjang dan intensif di kalangan
para pakar muslim. Sebagaimana dikatakan Azyumardi Azra, yang ditulis
Ubaedillah & Abdul Rojak (2013: 31-34), Pendidikan kewarganegaraan
(Civic Education) Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani,
mengatakan,” Perdebatan itu telah berlangsung sejak hampir satu abad,
dan masih berlangsung hingga dewasa ini.” Karena menurut Azra,
ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan Negara dalam
Islam disulut oleh hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai
agama (din) dan Negara (dawlah). Berbagai eksperimen telah dilakukan
untuk menyelaraskan antara din dan dawlah dengan konsep dan kultur
politik masyarakat Muslim. Seperti halnya percobaan demokrasi di
sejumlah Negara di dunia, penyelarasan din dan dawlah di banyak Negara
Muslim telah berkembang secara beragam. Perkembangan wacana
demokrasi di kalangan negara-negara Muslim dewasa ini semakin
menambah marak perdebatan Islam dan Negara.
Perdebatan Islam dan Negara berangkat dari pandangan dominan
Islam sebagai sebuah system kehidupan yang menyeluruh (syumuli), yang
mengatur semua kehidupan manusia, termasuk persoalan politik. Dari
pandangan Islam sebagai agama yang komprehensif ini pada dasarnya
dalam Islam tidak terdapat konsep pemisahan antara agama (din) dan
politik (dawlah). Arguemntasi ini sering dikaitkan dengan posisi Nabi
Muhammad SAW di Madinah. Di kota hijrah ini, Nabi Muhammad SAW
berperan ganda, sebagai seorang pemimpin agama sekaligus sebagai
kepala Negara yang memimpin sebuah system pemeintah awal Islam
yang oleh kebanyakan pakar, sangat modern di masanya.
‘13
17
Kewarganegaraan
Panti Rahayu, SH, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Posisi ganda Nabi Muhammad SAWdi kota Madinah disikapi
beragam oleh kalangan ahli Secara garus besar perbedaan pandangan ini
bermuara pada apakah Islam identik dengan Negara, atau sebaliknya
Islam tidak meninggalkan konsep yang tegas tentang bentuk Negara,
mengingat sepeninggal Nabi Muhammad SAW tak seorang pun dapat
menggantikan peran ganda Beliau, sebagai pemimpin dunia yang sekuler
dan si penerima wahyu Allah sekaligus.
Menyikapi
realitas
perdebatan
tersebut,
Ibnu
Taimiyah
mengatakan, bahwa posisi Nabi saat itu adalah sebagai Rasul yang
bertugas menyampaikan ajaran (AlQuran) bukan sebagai penguasa.
Menurut Ibnu Taimiyah, kalaupun ada pemerintahan, itu hanyalah sebuah
alat untuk menyampaikan agama dan kekuasaan bukanlah agama itu
sendiri. Dengan ungkapan lain, politik dan Negara dalam Islam hanyalah
sebagai alat bagi agama, bukan eksistensi dari agama Islam. Pendapat ini
bersandar pada ayat AlQuran (QS.57:25) yang artinya,”Sesungguhnya
Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami yang disertai keteranganketerangan, dan Kami turunkan bersama mereka Kitab dan timbangan
agar manusia berlaku adil, dan Kami turunkan besi, padanya ada
kekuatan yang hebat dan manfaat-manfaat bagi manusia, dan agar Allah
mengetahui siapa yang menolong-Nya dan menolong Rasul-Nya yang
ghaib (daripadanya)." Sehingga Ibnu Taimiyah menyimpulkan bahwa
agama yang benar wajib memiliki buku petunjuk dan “pedang” penolong.
Hal ini dimaksudkan bahwa kekuasaan politik yang disimbolkan dengan
pedang menjadi sesuatu yang mutlak bagi agama, tetapi kekuasaan itu
bukanlah agama itu sendiri. Adapun politik tidak lain sebatas alat untuk
mencapai tujuan-rujuan luhur agama.
Hubungan Islam dan Negara modern secara teoritis dapat
diklasifikasikan kedalam tiga pandangan: Integralistik, Simbiotik, dan
sekularistik.
‘13
18
Kewarganegaraan
Panti Rahayu, SH, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
1. Paradigma Integralistik:
Paradigma Integralistik hampir sama persis dengan pandangan
Negara teokrasi Islam/ Paradigma ini mengandung paham/konsep agama
dan Negara merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu (integrated). Pada
paham ini juga memberikan penegasan bahwa Negara merupakan suatu
lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. Konsep ini menegaskan
kembali bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama (din) dan
politik atau negara (dawlah).
Dalam pergulatan Islam
dan Negara modern, pola hubungan
integrative ini kemudian melahirkan konsep tentang agama-negara, yang
berate bahwa kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan hukum
dan prinsip keagamaan. Dari sinilah kemudian paradigma integralistik
identi dengan paham ad-Din wa dawlah (Islam sebagai agama dan
Negara), yang sumber hukum positifnya adalah hukum Islam (syariat
Islam). Paradigma integralistik ini antara lain dianut oleh Negara Kerajaan
Saudi Arabia dan penganut syi’ah di Iran. Kelompok pencinta Ali r.a. ini
menggunakan istilah Imamah sebagai dimaksud dengan istlah dawlah
yang banyak dirujuk kalangan Sunni.
2. Paradigma Simbiotik:
Menurut pandangan simbiotik, hubungan agama dan Negara
berada posisi saling membutuhkan dan bersifat timbale balik (simbiosis
mutualita). Dalam pandangan ini, agama membutuhkan Negara sebagai
instrument dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Begitu juga
sebaliknya, Negara juga memerlukan agama sebagai sumber moral, etika,
dan spiritualitas warga negaranya.
‘13
19
Kewarganegaraan
Panti Rahayu, SH, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Paradigma simbiotik tanpaknya bersesuaian dengan pandangan
Ibnu Taimiyah tentang Negara sebagai alat agama diatas. Dalam
kerangka ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa adanya kekuasaan yang
mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban agama yang paling
besar, karena tanpa kekuasaan Negara, maka agama tidak akan berdiri
tegak. Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut melegitimasi bahwa agama dan
Negara merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan.
Olah karenanya, konstitusi yang berlaku dalam paradigm ini tidak saja
berasal dari adanya kontrak social (social contract), tetapi bisa diwarnai
oleh hukum agama (syariah). Dengan kata lain, agama tidak mendominasi
kehidupan bernegara, sebaliknya ia menjadi sumber moral bagi kehidupan
berbangsa dan bernegara. Model pemerintahan Negara Mesir dan
Indonesia dapat digolongkan kepada kelompok paradigm ini.
3. Paradigma Sekularistik:
Paradigma sekularistik beranggapan bahwa ada pemisahan yang
jelas antara agama dan Negara. Agama dan Negara merupakan dua
bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan masingmasing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu
sama lain melakukan intervensi. Negara adalah urusan publik, sementara
agama merupakan wilayah pribadi masing-masing warga Negara.
Pengalaman Negara dan agama Islam di Indonesia sebagai negeri
muslim terbesar di dunia. Uniknya, Indonesia bukanlah sebuah Negara
Islam. Dari keunikan ini perdebatan pola hubungan Islam dan Negara di
Indonesia merupakan perdebatan politik yang tidak kunjung selesai.
Perdebatan tentang Islam dan nasionalisme Indonesia antara tokoh
nasiolisme Muslim dan nasionalis sekuler 1920-an merupakan babak awal
pergumulan Islam dan Negara pada kuru-kurun selanjutnya. Perdebatan
Islam dan nasionalisme—dan konsep Negara sekuler diwakili masing-
‘13
20
Kewarganegaraan
Panti Rahayu, SH, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
masing oleh nasionalis Muslim Mohammad Natsir, dan Soekarno, dari
kelompok nasionalis sekuler.
Menurut Ubaedillah & Abdul Rojak (2013: 135-137), Pendidikan
kewarganegaraan (Civic Education)
Pancasila, Demokrasi, HAM, dan
Masyarakat Madani mengatakan, bahwa perdebatan Islam dan konsepkonsep ideology sekuler menemukan titik klimaks pada persidangan
formal dalam sidang-sidang mejelis Badan Penyidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) bentukan pemerintah
Jepang, 1945. Para tokoh Muslim seperti H.Agus Salim, KH Mas
Mansyur,dan KH Wahid Hasyim, menyuarakan suara aspirasi Islam
dengan mengajukan usul konsep Negara Islam dengan menjadikan Islam
sebagai dasar Negara bagi Indonesia merdeka. Usulan ini bersandar pada
alasan sosiologis bangsa Indonesia yang mayoritas memeluk Islam
sebagai agama dan keyakinannya.
Alasan kelompok nasionalis Muslim ini ditentang oleh kalangan
nasionalis sekuler yang mengajukan konsep Negara sekuler. Menurut
para nasionalis sekuler , kemajemukan Indonesia dan perasaan senasib
melawan penjajah mendasari alas an mereka menolak konsep Negara
agama (Islam) yang diajukan oleh kalangan nasionalis Muslim. Bagi
mereka, Indonesia yang majemuk baik agama, suku, dan bahasa harus
melandasi berdirinya Negara nonoagama (sekuler). Pada kesempatan
perhelatan konstitusional ini, tokoh nasionalis sekuler Soekarno merujuk
pengalaman Turki Modern dibawah Kemal Atturk dengan konsep negara
sekulernya. Lebih lanjut, Soekarno kembali menyeruakan konsep
sekulernya tentang lima dasar negara Indonesia, yang kemudian dikenal
Pancasila.
Tentu saja paham kebangsaan Pancasila tidak mudah diterimaoleh
kelompok nasionalis Muslim. Bagi mereka selain alasan mayoritas
penduduk Islam memeluk Islam, Islam agama ciptaan Allah yang bersfat
‘13
21
Kewarganegaraan
Panti Rahayu, SH, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
unirsal dan lengkap harus dijadikan dasar dalam tata kehidupan
kenegaraan
dan
konstitusional
kebangsaan
BPUPKI
Indonesia.
menghasilkan
Akhir
dari
kekhawatiran
nasionalis dari kawasan Indonesia Timur.
perdebatan
bagi
kelompok
Kekhawatiran mereka
diwujudkan melalui keinginan mereka menidirikan Negara sendiri dengan
memisahkan
diri
(NKRI).Ancaman
konsep
pemisahan
Negara
diri
Kesatuan
dari
konsep
Republik
Indonesia
NKRI
melahirkan
kekhawatiran dari semua kelompok nasionalis yang tengah berdebat
tentang masa depan Indonesia. Namun demikian, dibalik sengitnya
perdebatan tentang dasar dan bentuk Negara, terjadi kesepakatan atau
kompromi politik di kalangan tokoh-tokoh nasionalis baik Muslim maupun
sekuler.
Klimaks dari sidang BPUPKI berakhir dengan kesediaan kalangan
nasionalis
Muslim
untuk
tidak
memaksakan
kehendak
mereka
menjadikan Islam sebagai dasar Negara Indonesia. Demi persatuan dan
kesatuan terselenggarakannya kemerdekaan bagi bangsa Indonesia dari
cengkraman penjajah, mereka menerima konsep kalangan nasionalis
sekuler, dengan catatan Negara menjamin dijalankannya syariat Islam
bagi pemeluk Islam di Indonesia. Hasil dari kompromi antara kelompok
nasionalis Muslim dengan nasionalis sekuler dikenal dengan nama the
gentlemen agreement yang tertuang dalam Piagam Jakarta (Jakarta
Charter) yang menyebutkan Negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluknya.
Setelah Indonesia merdeka, hubungan Islam dan negara dibawah
kepemimpinan Soekarno kembali mengalami ketegangan. Sumber
ketegangan itu berpusat pada perdebatan seputar tafsir klausul Sila
Pertama Pancasila,”dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluknya.” Alotnya perdebatan tersebut berakhir pada pemahaman di
‘13
22
Kewarganegaraan
Panti Rahayu, SH, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
kalangan tokoh nasional bahwa NKRI adalah bukan Negara agama
(Islam) dan juga negara sekuler.
Berikut catatan sngkat pergumulan Islam dan Negara Indonesia:
Pada kurun 1950-1959, ketika Indonesia menjalankan prinsip Demokrasi
Parlementer, ketegangan
Islam dan negara kembali terulang dalam
bentuk perseteruan sengit antara kelompok partai politik Islam, seperti
Partai Masyumi dan Partai NU, dengan partai politik sekuler; Partai
Komunis Indonesia (PKI), Partai Nasionalis Indonesia (PNI), dan
sebagainya. Perseteruan Ideologis Islam versus Ideologi sekuler terjadi
dalam persidangan Konstituante hasil pemilu demokratis yang pertama
1955.
Pemilu 1955 yang dinilai banyak ahli sebagai pemilu sebagai
pemilu paling demokratis dalam sejarah politik nasional Indonesia ternyata
tak menjamin terselenggarakannya proses pembuatan konstitusi dengan
baik. Sekalipun Majelis Konstituante hamper rampung menyelesaikan
tugas-tugas konstitusionalnya, ketidakstabilan politik dan ancaman
disintegrasi dianggap oleh Presiden Soekrano sebagai dampak langsung
dari Demokrasi Parlementer yang diadopsi dari Barat. Menurut Soekarno,
demokrasi ala Barat tidak sesuai dengan iklim politik Indonesia.
Perseteruan
sengit
antara
partai-partai
harus
diakhiri
dengan
memberlakukan kembali UUD 1945 dibawah sistem Demokrasi Terpimpin
(Guided Democracy) melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Sejak saat itu
Presiden Soekarno memiliki kekuasaan yang tak terbatas, bahkan
dinobatkan sebagai presiden seumur hidup.
Kekuasaan Presiden Soekarano yang tidak terbatas dibawah
Demokrasi Terpimpin masih tetap mengakomodasi kekuatan Islam.
Hubungan Islam dan Negara tercermin pada kepemimpinannya Presiden
Soekarno yang menjankan prinsip fusi politik ciptaannya, Nasakom
(nasionalis, agama, komunis), Nasakom terdiri atas tiga komponen
‘13
23
Kewarganegaraan
Panti Rahayu, SH, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
dominan hasil pemilu 1955; PNI, Islam (diwakili NU) dan PKI. Keberadaan
PKI sangat penting bagi pemerintahan Soekarno karena perolehan
suaranya yang sangat signifikan dalam pemilu. Model kepemimpinan “tiga
kaki” Presiden Soekarno ini menimbulkan kecemburuan politik di kalangan
kelompok militer dibawah Jenderal A.H.Nasution. Perseteruan politik dan
ideology antara TNI (tentara nasional Indonesia) dengan PKI berdampak
pada persekutuan politik antara kelompok Islam dan militer untuk
menghadapi PKI yang tengah dekat dengan Presiden Soekarno. Seperti
perseteruan ideologi sebelumnya, ideology sosialis komunis menjadi
alasan utama kelompok Islam untuk berkoalisi dengan TNI melawan
paham komunis.
Sistem Demokrasi Terpimpin ala Soekarno berakhir dengan
peristiwa politik yang tragis, Gerakan 30 Sepetember 1965, gerakan
maker ini menurut beberapa ahli merupakan buah dari perseteruan
ideologis panjang antara PKI dengan TNI, khususnya Angkatan Darat,
yang berujung pada pembunuhan sejumlah elit pimpinan TNI di Lubang
Buaya, Halim, Jakarta. Peristiwa ini sekaligus merupakan awal kejatuhan
politik Presiden Soekarno dan awal naiknya kiprah politik Presiden
Soeharto. Melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersmar), Panglima
Kostrad (Komando Strategis Angakatan Darat) Letnan Jenderal Soeharto
kala itu memimpin pemulihan keamanan nasional dengan melakukan
penumpasan terhadap semua unsure komunis di Indonesia.
Akhir masa pemulihan keamanan berhasil menaikkan Panglima
Kostrad Letjen Soeharto ke tampuk kepemimpinan nasional yang
disyahkan oleh siding umum MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara) dibawah pimpinan Jenderal A.H.Nasution pada 1968. Dengan
sloga kembali ke Pancasila secara murni dan konsekuen. Presiden
Soeharto memulai kepemimpinan nasional dengan sebutan Orde Baru,
sebagai pengganti Orde Lama yang dianggap telah menyimpang dari
Pancasila dan UUD 1945.
‘13
24
Kewarganegaraan
Panti Rahayu, SH, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
a. Era Soeharto: Babak Baru Hubungan Islam dan Negara
Naiknya Presiden Soeharto melahirkan babak baru hubungan Islam
dan Negara di Indoneia. Menurut Imam Azis, dalam A.Ubaedillah & Abdul
Rozak (2004:138), pola hubungan antara keduanya secara umum dapat
digolongkan ke dalam dua pola: antagonistis dan akomodatif. Hubungan
antagonistis
merupakan
sifat
hubungan
yang
mencirika
adanya
ketegangan antara Islam dan Negara Orde Baru; sedangkan akomodatif
menunjukan saling membutuhkan antara kelompok Islam dengan Negara
Orde Baru, bahkan terdapat kesamaan untuk mengurangi konflik antara
keduanya. Namun demikian sebelum mencapai pola akomodatif, menurut
Abdul Aziz Thaba, telah terjadi hubungan agama dan Negara Orde Baru
yang bersifat
resiprokal-kritis
yakni awal dimulainya penurunan
ketegangan antara agama dan Negara Indonesia.
Hubungan antagonis antara Negara Orde Baru dengan kelompok
Islam dapat dilihat dari kecurigaan dan pengekangan kekuatan Islam yang
dilakukan pemerintahan Orde Baru. Sikap serupa merupakan kelanjutan
dari sikap kalangan nasionalis sekuler terhadap kelompok Islam,
khususnya di era 1950-an. Lalu pada pertengahan 1980-an merupakan
awal perubahan pendulum hubungan Islam dan Orde Baru. Hal ini
ditandai dengan lahirnya kebijakan-kebijakan politik Presiden Soeharto
yang dinilai positif bagi umat Islam. Menurut Efendy lagi, kebijakankebijakan Orde Baru memiliki dampak luas bagi perkembangan politik
selanjutnya baik struktural maupun struktral.
Kecenderungan akomodasi Negara terhadap Islam juga---menurut
Affan Gafar, ditengarai dengan adanya kebijakan pemerintah dalam
bidang pendidikan dan keagamaan serta kondisi dan kecenderungan
akomodasionis umat Islam sendiri. Pemerintah mulai menyadari akan
potensi umat Islam sebagai kekuatan politik yang potensil. Adapun
menurut Thaba, sikap akomodatif Negara terhadap Islam lebih disebabkan
‘13
25
Kewarganegaraan
Panti Rahayu, SH, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
oleh pemahaman Negara terhadap perubahan sikap politik umat Islam
terhadap kebijakan Negara, terutama dalam konteks perlakuan dan
penerimaan Pancasila. Perubahan sikap umat Islam pada paruh kedua
1980-an, dari penentang menjadi menerima Pancasila
sebagai satu-
satunya azas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bersinergi
dengan sejumlah kebijakan Orde Baru yang menguntungkan umat Islam
pada masa selanjutnya.
Pengesahan RUU Pendidikan Nasional, RUU Peradilan Agama,
pembolehan pemakaian jilbab bagi siswi Muslim di sekolah umum,
kemunculan organisasi Ikatan Cendekiawan Muslim (ICMI), dan lahirnya
yayasan Amal Bakti Pancasila yang dipimpin oleh Presiden Soeharto
merupakan indicator adanya hubungan akomodatif yang dilakukan oleh
elit penguasa Orde Baru terhadap Islam.
Selanjutnya Islam dan Negara pasca Orde Baru harus kembali
melestarikan
komitmen suci para pendiri bangsa (sacred commitment
founding fathers) untuk menjaga kesepakatan membangun masa depan
demokrasi Indonesia harus diletakkan dalam tataran Indonesia yang plural
dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Konsep
NKRI dan Pancasila dengan kebhinekaannya tidak bias dilepaskan dari
ijtihad kelompok Islam Indonesia yang harus dijaga, dilestarikan
diaktualisasikan
berwawasan
dan
dengan pengembangan ajaran-ajaran Islam yang
inklusif,
kemanusiaan,
keadilan,
dan
keindonesia-an.
Persoalan yang sama harus dilakukan pula oleh Negara. Negara memiliki
kewajiban konstitusional untuk menjamin kemajemukan dan demokrasi di
Indonesia. Penyelenggara Negara harus tetap menjaga dan mengawal
sunnatullah kebineka Indonesia yang dijamin oleh konstitusi Negara,
dengan menindak tegas anasir yang mereduksi kebinekaan Indonesia dan
keutuhan NKRI.
‘13
26
Kewarganegaraan
Panti Rahayu, SH, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Jadi dapat dirangkumkan, bahwa hubungan agama dan Negara di
Indonesia lebih menganut pada azas keseimbangan yang dinamis, jalan
tengah antara sekularisme dan teokrasi. Keseimbangan dinamis adalah
tidak ada pemisahan antara agama dan politik, namun masing-masing
dapat saling mengisi dengan segala peranannya. Agama tetap memiliki
daya kritis terhadap negara dan negara punya kewajiban-kewajiban
terhadap agama. Dengan kata lain, pola hubungan agama dan negara di
Indonesia membantu apa yang sering disebut oleh banyak kalangan
sebagai hubungan simbiotik-mutualita.
Referensi:
1. Bodenhamer David, J. 2001. Federalism and Democracy. Working
Paper. Washington D.C. : US Department of State.
2. Fokus Media. 2004. Undang-undang Otonomi Oaerah. Bandung :
Fokus Media.
3. Iskatrinah. 2004. Pelaksanaan Fungsi Hukum Administrasi Negara
dalam Mewujudkan Pemerintah yang Baik. Makalah.
4. Kansil dan Kansii. 2005. Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan
Tinggi.. Jakarta : Pradnya Paramita.
5. Kusnardi, M. dan Bintan Saragih. 2000. Ilmu Negara. Jakarta : Gaya
Media Pratama.
6. Manan Bagir. 2005. DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru.
Yogyakarta : Ull Press.
7. MH, Amin Jaiz. 1980. Pokok-pokok Ajaran Islam. Jakarta : Korpri Unit
PT. Asuransi Jasa Indonesia.
8. Sinar Grafika: 2005. UUD 1945 Hasil Amandemen. Jakarta.: Sinar
Grafika.
9. Syarbaini, Syahrial (Editor). 2005. Materi Perkuliahan Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn). Jakarta : Sus- cadoswar, Dikti.
10. http://id.wikipedia.org/wiki/Agama.
‘13
27
Kewarganegaraan
Panti Rahayu, SH, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
MADANI
‘13
28
Kewarganegaraan
Panti Rahayu, SH, MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download