BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Laut merupakan salah satu sumber makanan sekaligus sumber kehidupan. Lebih dari satu milyar penduduk dunia bergantung pada sumber daya laut, termasuk hasil perikanan. Aktifitas perikanan menjadi aktivitas mencari nafkah bagi ratusan juta masyarakat yang tinggal di daerah pesisir di seluruh dunia.1 Perikanan menjadi hal yang krusial, terutama bagi negara/daerah yang memiliki wilayah laut yang dapat dimanfaatkan secara optimal untuk berbagai macam kebutuhan. Pada dasarnya, sumber daya perikanan yang ada di seluruh dunia memiliki karakteristik yang unik karena bersifat common proverty atau sumber daya yang dimiliki secara bersama-sama. Sifat dari sumber daya perikanan yang bersifat terbuka untuk siapa saja (open access) tentu secara positif memberi peluang bagi negara-negara yang memiliki wilayah laut yang luas karena penduduknya dapat memanfaatkan sektor perikanan sebagai salah satu tumpuan perekonomian. Perikanan merupakan salah satu sektor penting bagi Uni Eropa karena hampir seluruh negara anggota Uni Eropa memiliki wilayah laut, sehingga sektor perikanan sangat mempengaruhi perekonomian di masing-masing negara. Pada dasarnya, Uni Eropa merupakan sebuah regionalisme yang mengakomodasi kepentingan 27 negara anggota untuk mencapai tujuan bersama. Uni Eropa memiliki beberapa tujuan yang menjadi dasar kerjasama bagi anggotanya. Salah satu tujuannya ialah mengadakan pembangunan yang berkelanjutan, termasuk pembangunan di sektor-sektor yang sangat berpengaruh terhadap perekonomian, salah satunya adalah perikanan. Dengan banyaknya negara anggota Uni Eropa sebagai penangkap ikan menjadikan Uni Eropa sebagai bangsa penangkap ikan terbesar ketiga di dunia setelah Cina dan Peru.2 Sehingga sangat beralasan ketika sektor perikanan menjadi salah satu sektor penopang perekonomian Uni Eropa. 1 The European Union and Fishing Subsidies (online), September 2011, <http://oceana.org/sites/default/files/reports/EU_Subsidies_Report_FINAL_FINAL.pdf > diakses 28 Maret 2012. 2 Ibid. 1 Wilayah laut di kawasan Uni Eropa cukup potensial dalam mengembangkan industri perikanan. Hasil perikanan yang terdapat di wilayah Eropa bagian barat, terutama di wilayah Atlantik bagian timur laut, merupakan salah satu kawasan paling kaya di dunia akan hasil lautnya. Hal ini dikarenakan wilayah ini memiliki suhu serta kondisi permukaan bumi yang baik. Pada tahun 1970, hampir 80% tangkapan ikan berasal dari wilayah atlantik bagian timur laut.3 Beberapa hasil perikanan di wilayah ini antara lain ikan haring, anchovy (ikan kecil), ikan tuna, ikan sandeels, dan ikan sprat. Negara-negara penangkap ikan terbesar, dimana negara ini memiliki lebih dari 50% wilayah tangkapan ikan Uni Eropa, adalah Denmark, Spanyol, Inggris, dan Perancis. Pada waktu silam, beberapa negara ini menggunakan pukat untuk melakukan penangkapan ikan. Perahu menebar pukat besar didasar laut, kemudian menyeret pukat itu sepanjang dasar laut untuk mendapatkan ikanikan yang terperangkap di dalam pukat tersebut. Hal ini menjadi metode yang sangat merusak lingkungan karena akan menghancurkan koral laut, terumbu karang, serta mahluk hidup dasar laut lainnya. Selain itu, sering terjadi para nelayan justru menangkap mahluk yang bukan menjadi sasaran tangkapan seperti kura-kura dan mamalia laut yang justru semakin merugikan ekosistem.4 Dalam rangka melestarikan perikanan, maka pada tahun 1970 Uni Eropa mengeluarkan kebijakan yang mengatur mengenai perikanan di negara-negara anggota Uni Eropa yang disebut dengan Common Fisheries Policy (CFP) yang kemudian diimplementasikan pada tahun 1983.5 Gagasan mengenai sumber daya perikanan di kawasan Uni Eropa pertama kali tercantum dalam Traktat Roma pada tahun 1957 pasal 33 yang berbunyi:“The Common Market shall extend to agriculture and trade in agricultural products. „Agricultural products‟ means the product of the soil, of stock farming, and of fisheries.”6 Dimasukannya perikanan ke dalam salah satu pasar Uni Eropa ke dalam Traktat Roma tidak kemudian dengan mudah membuat negara-negara anggota peduli terhadap 3 M. Wise, The Common Fisheries Policy of The European Community, University Press, Cambridge, 1984, p. 16. 4 T. Walter, The EU‟s Common Fisheries Policy: A Review and Assessment, Vol 7, No.7, EU Commission, 2010, p.3. 5 European Community, The Common Fisheries Policy: A User‟s Guide (online), 2009, <http://ec.europa.eu/fisheries/documentation/publications/pcp2008_en.pdf> diakses 28 Maret 2012 6 Ibid. 2 permasalahan perikanan. Negara-negara mulai menyadari pentingnya perikanan ketika diadakannya Konvensi Perikanan Eropa pada tahun 1964. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan bahwa setiap negara memiliki kedaulatan atas wilayah lautnya sepanjang 6 mil dari permukaan laut paling luar. Dan dari 6 hingga 12 mil merupakan wilayah negara yang dapat dibagi dengan penangkap ikan dari luar negara dengan asumsi penangkap ikan ini mampu menjaga habitat laut. Karena semakin banyaknya aktifitas di laut, maka masyarakat Eropa merasa perlu mengeluarkan suatu kebijakan untuk mengatur pasar dan struktur perikanan Uni Eropa. Sehingga pada tahun 1970, terdapat konsep equal access, dimana konsep ini merupakan gabungan dari common market dan non-discrimination of fisheries.7 Namun pada akhir tahun 1970, terdapat aturan bahwa setiap negara memiliki hak Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) sejauh 200 mil, dimana negara yang memiliki akses terhadap lautnya lebih besar sehingga jangkauan tangkapan ikan akan semakin luas. Fenomena ini menyebabkan masyarakat Eropa membutuhkan suatu peraturan yang mengatur segala sesuatu mengenai perikanan secara detail sehingga dapat menyelamatkan lingkungan dari kerusakan. Negosiasi dan pembicaraan untuk membuat kerangka CFP mulai dilakukan pada tahun 1976. Salah satu gagasan yang tertuang dalam CFP adalah bagaimana cara untuk membatasi tangkapan ikan dan menggunakan sistem kuota penangkapan untuk tetap melestarikan sumber daya perikanan.8 Salah satu unsur paling tua dalam CFP adalah prinsip relative stability (stabilitas relatif). Pertanyaan mengenai bagaimana cara membagi peluang dalam menangkap hasil perikanan dalam ketentuan kuota nasional dengan mengeluarkan peraturan batas hasil tangkapan yang dikeluarkan oleh North East Atlantic Fisheries Commission (NEAFC) pada tahun 1975. Kemudian dengan adanya deklarasi Hague pada tahun 1976, Dewan Uni Eropa menetapkan stabilitas relatif pada tahun 1980. Prinsip ini pertama kali diterapkan dengan mengadopsi CFP pada tahun 1983. CFP menjadi undang-undang yang terus berbenah dengan dilakukannya penyesuaian pada tahun 1992 dan reformasi pada tahun 2002. Pasca reformasi tahun 2002, 7 T. Walter, p.4. European Community, The Common Fisheries Policy: A User‟s Guide (online), 2009, <http://ec.europa.eu/fisheries/documentation/publications/pcp2008_en.pdf> diakses 9 januari 2012. 8 3 Uni Eropa menyadari bahwa industri perikanan mampu menjadi industri yang potensial dalam meningkatkan taraf ekonomi masyarakat Eropa. Salah satu kebijakan yang terdapat dalam CFP pasca reformasi perikanan adalah dilakukannya subsidi perikanan, yaitu penyuntikan dana yang diberikan kepada industri-industri yang bergerak di bidang perikanan, dimana CFP pada awalnya hanya mengatur hal-hal perikanan yang bersifat dasar seperti konservasi, struktur, pasar, dan hubungan dengan negara-negara non anggota Uni Eropa.9 Subsidi yang dilakukan diantaranya adalah pemberian modal kepada perusahaan yang mengolah ikan di berbagai negara anggota.10 Kebijakan ini tentu membawa dampak positif, salah satunya adalah perusahaan yang mendapat dana besar maka berpotensi melakukan penangkapan ikan secara lebih efisien, sehingga hal ini berdampak terhadap perekonomian negara anggota Uni Eropa. Namun dampak negatifnya adalah pihak yang menerima suntikan dana menyalahgunakan dana tersebut dan digunakan untuk semakin memaksimalkan hasil tangkapan. Hal inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya kondisi overfishing, yang berarti pengeksploitasian jumlah cadangan ikan secara berlebihan.11 Istilah “common pool nature” atau laut bersama di Uni Eropa justru sering disebut sebagai “the open‐access problem” atau masalah yang terbuka bagi seluruh negara anggota. Permasalahan mengenai penyalahgunaan dana dalam memaksimalkan jumlah tangkapan ikan dalam implementasi CFP menjadi masalah yang sangat krusial karena berkaitan dengan masa depan ekonomi Uni Eropa. Berdasarkan data dari Komisi Eropa, lebih dari 500.000 masyarakat Eropa bermata pencaharian sebagai nelayan.12 Selain itu, Uni Eropa merupakan negara pengekspor ikan terbesar kedua di dunia. Ekspor ikan Uni Eropa mencapai tujuh juta ton, atau setara dengan 26 milyar dollar. Negara-negara Eropa 9 T.J. Hegland, The Common Fisheries Policy - caught between fish and fisherman ?, Department of International Affairs Aalborg University, Denmark, 2004,p.11. 10 Commission Of The European Communities, Green Paper On The Future Of The Common Fisheries Policy (online), 2001, <http://eurlex.europa.eu/LexUriServ/LexUriServ.do?uri=COM:2001:0135:FIN:EN:PDF> diakses 28 Maret 2012. 11 T.J. Hegland, p.7. 12 The European Union and Fishing Subsidies (online), September 2011, <http://oceana.org/sites/default/files/reports/EU_Subsidies_Report_FINAL_FINAL.pdf > diakses 28 Maret 2012. 4 diperkirakan akan menderita kerugian hingga 10 miliar euro (12,5 miliar US dollar) dari praktik penangkapan ikan ilegal ini pada 2020.13 Oleh karena dampak yang ditimbulkan, CFP seringkali dinyatakan sebagai kebijakan yang paling kontroversial yang selalu menuai pro dan kontra. Hal yang mungkin terjadi dalam pembuatan keputusan adalah negara-negara Uni Eropa yang memiliki pengaruh signifikan dalam finalisasi kebijakan yang harus dipatuhi oleh seluruh anggota, mendorong kepentingan nasionalnya sendiri agar mendapat porsi subsidi yang cenderung lebih besar. Dalam Uni Eropa, terdapat kelompok-kelompok informal yang mendukung subsidi perikanan ini yaitu Friend of Fishing (Amis de La Pêche) dan pihak yang menentang kebijakan subsidi perikanan dengan alasan lingkungan yaitu Friend of Fish. Jaringan ini merupakan kelompok informal yang tidak tergabung dalam suatu badan organisasi resmi. Namun masing-masing kelmpok ini memiliki preferensi yang berbeda dalam memandang subsidi perikanan. Secara nyata, fenomena ini bukanlah permasalahan mengenai lingkungan murni, namun mengarah pada politisasi lingkungan, terkait dengan perikanan.14 Hal ini disebabkan karena isu mengenai subsidi perikanan sangat berhubungan dengan kombinasi dari kepentingan negara anggota, dampak luas dari modernisasi perikanan, ketahanan pangan, serta maraknya kemunculan gerakan penggiat lingkungan. Selain itu, masalah lingkungan yang akan mempengaruhi di segala bidang, termasuk di bidang ekonomi membuat negaranegara anggota Uni Eropa perlu memperhatikan isu ini untuk disikapi secara bersama. B. Rumusan Masalah CFP menjadi suatu kebijakan kontroversial karena meskipun kebijakan ini berdampak positif terhadap perekonomian, namun kebijakan ini juga menimbulkan berbagai macam masalah lingkungan, salah satunya adalah overfishing. Beberapa negara anggota yang sangat bergantung dengan sektor perikanan memiliki alasan tertentu yang kemudian mampu mempengaruhi pembuatan kebijakan di ranah Uni Eropa. Sehingga, 13 Data Forensik Lindungi Sumber Daya Perikanan (online),< http://www.hijauku.com/2012/05/28/sistemforensik-lindungi-populasi-ikan-Eropa/ > diakses 21 Juni 2012. 14 T.J. Hegland, p. 8. 5 melalui tulisan ini, penulis sangat tertarik untuk mengulas kepentingan dibalik keputusan Uni Eropa untuk tetap mempertahankan CFP yang secara nyata menimbulkan kerusakan lingkungan di kawasan laut Uni Eropa. Penelitian skripsi ini akan dirumuskan dengan pertanyaan: “Mengapa Uni Eropa tetap mempertahankan subsidi perikanan pasca reformasi Common Fisheries Policy pada tahun 2002 yang berpotensi semakin meningkatkan risiko overfishing?” C. Landasan Konseptual Supranasionalisme Fenomena Uni Eropa dalam mempertahankan subsidi perikanan pasca reformasi CFP tahun 2002 dapat di analisa dengan melihat mekanisme proses pembuatan keputusan di Uni Eropa, dengan menggunakan konsep supranasionalisme. “A supranational system based on reciprocal guarantees of property rights, contracts, and adjudication, within a relatively common inter-subjective understanding and respect for the rule of law, is a legal regime of a kind. In it, courts may develop meaningful autonomy from national governments in regulating what is, in effect, transnational society”.15 Pada dasarnya, supranasionalisme merupakan bagian dari neofungsionalisme, dimana proses integrasi Uni Eropa berjalan sesuai dengan salah satu teori neofungsionalisme yaitu teori spillover effect.16 Institusi supranasional mendorong integrasi, perkembangan kelompok-kelompok kepentingan, serta adanya kerjasama dengan para pemangku kebijakan.17 David Mitrany menjelaskan tujuan dari konsep supranasional adalah :„„... stresses the indirect penetration of the political by way of the economic because the „purely‟ economic decisions always acquire political significance in the minds of the participants.”18 15 A. Stone, „What Is a Supranational Constitution? An Essay in International Relations Theory‟, The Review of Politics, Vol. 56, No. 3, Special Issue on Public Law, Cambridge University Press, Cambridge, p. 470. 16 Teori Spillover effect menyatakan bahwa suatu hubungan antar negara yang dimulai dari hubungan ekonomi secara perlahan akan berlanjut ke tahap hubungan politik. 17 B. A. Simmon and Richard H. Steinberg, International Law and International Relation, Cambridge University Press, Cambridge, 2006, p. 462. 18 D. Mitrany, A Working Peace , Quadrangle Books, Chicago, 1966, p. 99. 6 Saat ini, struktur supranasional semakin banyak terbentuk untuk memfasilitasi kerjasama antar negara. Dengan saling berbagi keuntungan dalam satu regional, dapat meningkatkan kerjasama yang akan membantu efisiensi dalam pengalokasian sumber daya yang dimiliki bersama.19 Supranasional biasanya memiliki aset bersama (public good) yang salah satunya dapat berupa sumber daya alam. Sehingga dalam pemanfaatannya diperlukan mekanisme yang mampu mengakomodasi kepentingan banyak pihak yang terlibat didalamnya. Dalam negara supranasional, tiga hal yang menjadi sorotan utama adalah: proses pengambilan keputusan, saling ketergantungan, dan pelaksanaan pemerintahan.20 Hal ini sesuai dengan kondisi Uni Eropa ketika dikaitkan dengan pengelolaan sumber daya laut secara bersama. Dalam Development in the European Union, Neill Nugent menjelaskan bahwa Uni Eropa memiliki karakteristik pengambilan keputusan seperti sebuah negara supranasional. Seperti dalam supranasionalisme, Uni Eropa memiliki lima dimensi yang berperan dalam pengambilan keputusan, tiga diantaranya berperan sebagai penentu kebijakan (atau yang sering disebut tiga pilar dalam Uni Eropa) dan sisanya berpengaruh pada hasil dari proses politik yang terjadi. Lima dimensi tersebut yaitu:21 a. The European Commision (Komisi Eropa) b. The European Council (Dewan Uni Eropa) c. The European Parlianment (Parlemen Eropa) d. The European Union Law (Hukum Uni Eropa) e. The European Court of Justice ( Peradilan Uni Eropa) Sifat supranasional sebagai simbol keterbukaan Uni Eropa, bisa diterjemahkan dengan sistem regionalisme dalam membangun kebijakan bersama yang tidak saling merugikan meskipun setiap negara memiliki ambisi untuk lebih mendahulukan kepentingan dalam negerinya. Dalam subsidi perikanan secara keseluruhan, Uni Eropa menyadari 19 T. Sandler and Jon Cauley, „The Design of Supranational Structures: An Economic Perspective‟, International Studies Quarterly, Vol. 21, No. 2, 1977, p. 258. 20 T. Sandler and Jon Cauley, p.261. 21 L. Cram, Desmond Dinan, dan Neill Nugent, Developments In The European Union, Macmillan Press, London, 1999, p.137. 7 perlunya keseimbangan hak dan kewajiban setiap anggota Uni Eropa untuk secara bersama mendukung pengembangan industri perikanan. Selain itu, bagaimana subsidi diberikan dengan melihat seberapa besar dampak ekonomi atas industri perikanan di tiap negara Uni Eropa sehingga terlaksana pembagian subsidi yang bijak. Berbagi aset bersama dan mengatur agar tidak merugikan negara anggota lainnya yang lebih kecil menjadi konsekuensi dari supranasionalisme. Namun karena mendapat kewajiban yang lebih besar, negara-negara tertentu memiliki hak untuk melakukan pengaruh secara signifikan dalam proses pembuatan kebijakan tanpa dianggap terlalu jauh memenangkan kepentingan negara itu sendiri. Tiap negara dalam aliansi regional tetap harus mengutamakan dalam hal pengejaran power untuk dapat bertahan dalam sistem internasional. Hal ini menjadi realitas supranasional di Uni Eropa, dengan perbedaan kapasitas di masing-masing negara (negara core dan negara periphery), akan tetapi setiap negara anggota diperbolehkan melakukan tawar-menawar dalam penyusunan kebijakan yang akan diimplementasikan untuk dipatuhi oleh tiap anggota. Hal ini agar tiap anggota mendapat hak dan kewajiban yang seimbang, dan tetap saling menguntungkan. Dalam kasus subsidi perikanan, setiap negara anggota Dewan Uni Eropa sangat terlihat ambisius dalam pengejaran kepentingan masing-masing. Pihak yang pro subsidi berusaha mempertahankan misinya dalam segala macam cara, termasuk dengan mengalihkan topik reformasi pada rencana reformasi baru tahun 2011. Detail kepentingan setiap negara anggota kemudian dapat dianalisa menggunakan konsep kepentingan nasional. Konsep supranasional mampu menjelaskan proses pengambilan keputusan yang terjadi di Uni Eropa untuk tetap mempertahankan subsidi perikanan pasca reformasi CFP sebagai kebijakan yang mampu memberi keuntungan oleh beberapa pihak. Komisi Eropa, Parlemen Eropa, maupun Dewan Uni Eropa memiliki kepentingan masing masing, dimana setiap kepentingan itu disokong dari sub kepentingan yang ada dibalik masing-masing institusi, yaitu keputusan dan tindakan pemerintah merupakan representasi campuran pengaruh beberapa aktor didalammya. Konsekuensi dari kerjasama antar institusi ini menyebabkan kemunculan kebijakan yang dirasa tidak masuk akal, namun tetap dipertahankan demi mencapai kepentingan tertentu. Dengan melihat pro dan kontra yang 8 pernah terjadi di dalam CFP akan semakin menegaskan proses politisasi isu lingkungan dalam konteks supranasionalisme. Kepentingan Nasional Meneruskan dari konsep supranasionalisme, dimana terdapat beberapa aktor yang berperan dalam merumuskan kebijakan dibalik CFP. Dewan Uni Eropa menjadi institusi yang paling berpengaruh karena dibaliknya terdapat kepentingan beberapa negara. Untuk menganalisa kepentingan aktor/negara yang terlibat, perlu menggunakan konsep kepentingan nasional. Konsep ini paling sering digunakan dalam melakukan analisa dan evaluasi kepentingan suatu negara. Oleh karena itu, konsep kepentingan nasional menjadi suatu konsep yang umum dan luas, namun mencangkup berbagai unsur yang vital bagi sebuah negara antara lain adalah perdamaian, keamanan, kebebasan, keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan.22 Definisi kepentingan nasional seperti yang dikemukakan Lincoln P. Bloomfield, yaitu: “Two classic definitions of national interest are clear and unambiguous. The primordial interest of self-preservation, that which William Pitt once called” the first law of nature” for a sovereign state. The Nation has a primary duty of preserving itself.”23 Pendapat yang senada juga dikemukakan oleh K.J Twichet mengenai konsep kepentingan nasional, dimana Twichet membedakannya secara tradisional dan modern. Twichet mengatakan bahwa: “…Traditionally, military security was almost always the primary concern… but in the modern world, economic consideration and welfare value are of increasing importance..”24 Selain itu, konsep kepentingan nasional menurut Jack C. Plano dan Roy Olton diasumsikan sebagai: “National interest is highly generalized conception of those elements that 22 L. P. Bloomfield, The United Nations and United States Foreign Policy: A New Look at the National Interest, Little Brown and Company, Boston- Toronto, 1960, p.26. 23 L. P. Bloomfield, p.25. 24 K.J Twichet, Nadila, Naville Brown, Alon James,dan Peter Nailer, International Security Reflection on Survival and Stability, University Press, Oxford, 1971, p.1. 9 constirtute the state must vital needs. These include self preservation, independence, territorial integrity, military security, and economic well being.”25 Konsep kepentingan nasional sangat relevan dengan pendapat Kelly-Kate S. Pease yang didukung pernyataan Machiavelli yang menekankan suatu negara tak boleh bergantung sepenuhnya pada kerjasama kawasan, melainkan harus bergantung pada kekuatan negara itu sendiri.26 Dengan kata lain, sebagai implikasi supranasional, Uni Eropa meminta sebagian daulat kebijakan tiap anggota Uni Eropa untuk diatur bersama agar tiap kebijakan dan kepentingan nasional masing-masing negara anggota Uni Eropa tetap dapat terwujud. Konsep kepentingan nasional menjadi konsep yang relevan dalam menganalisa alasan Uni Eropa dalam mempertahankan kebijakan subsidi perikanan, karena melalui konsep ini, dapat dianalisa kepentingan masing-masing kelompok yang mendukung maupun yang menolak subsidi perikanan, sekaligus detail kepentingan negara-negara didalamnya yang tergabung dalam Dewan Uni Eropa. Konsep ini mampu menjelaskan bahwa kepentingan negara yang mendukung subsidi perikanan menjadi lebih beralasan dalam mempertahankan subsidi, meskipun di satu sisi kebijakan ini menjadi tidak masuk akal ketika dikaitkan dengan dampak lingkungan. Supranasionalisme dan kepentingan nasional merupakan dua konsep utama yang digunakan dalam menganalisa alasan dan latar belakang Uni Eropa dalam mempertahankan kebijakan subsidi perikanan dalam CFP. Kedua konsep ini merupakan pisau analisa yang saling mendukung dimana supranasionalisme digunakan untuk menganalisa proses pengambilan keputusan tiga pilar Uni Eropa, yang didukung dengan konsep kepentingan nasional untuk melihat motif setiap negara dibalik pilar Uni Eropa, terutama Dewan Uni Eropa yang mendukung kebijakan tersebut, sehingga diperolah jawaban dari rumusan masalah dalam penelitian ini. 25 J.C.Plano and Roy Olton, The International Relation Dictionary, ABC- Clio: University of California,1978, p. 128. 26 T. Warsito, Teori-teori Politik Luar Negeri Relevansi dan Keterbatasannya, Biagraf, Yogyakarta, 1998, p. 32. 10 D. Argumentasi Utama Common Fisheries Policy (CFP) yang telah mengalami reformasi pada tahun 2002, membuat Uni Eropa menyadari pentingnya mengoptimalkan sumber daya perikanan, salah satunya dengan cara memberikan subsidi kepada industri perikanan di negara-negara Eropa. Namun dalam praktiknya, subsidi perikanan justru membawa dampak negatif terutama dalam fenomena overfishing dan overcapacity yang sangat merusak lingkungan. Subsidi perikanan tetap diimplementasikan oleh Uni Eropa karena Uni Eropa dipengaruhi oleh aktor-aktor negara yang menganggap bahwa subsidi perikanan menguntungkan secara ekonomi mikro, dimana subsidi yang dikeluarkan justru disalahgunakan untuk memperbesar kapasitas menangkap hasil tangkapan ikan. Dilihat dari konsep supranasionalisme, proses pembuatan keputusan yang terjadi di Uni Eropa merupakan hasil politik dan tawar-menawar dari institusi-institusi Uni Eropa, salah satunya aktor-aktor negara dalam Dewan Uni Eropa. Kemudian dengan menggunakan konsep kepentingan nasional, dapat ditelusuri kepentingan beberapa negara yang ingin mempertahankan subsidi perikanan, yaitu negara yang tergabung dalam Friend of Fishing, antara lain Spanyol, Italia, Irlandia, Yunani, Portugal, Perancis dan Denmark. Friend of Fishing lebih mampu mempengaruhi Dewan Uni Eropa dalam mempertahankan subsidi perikanan dibandingkan dengan suara kelompok kepentingan dengan beberapa negara seperti Jerman, Inggris, Swedia, Belanda, dan Belgia yang tergabung dalam Friend of Fish yang tidak memiliki suara yang signifikan dibandingkan suara Friend of Fishing. E. Metode Penelitian Dalam melakukan penelitian mengenai alasan Uni Eropa dalam mempertahankan kebijakan subsidi perikanan, peneliti menggunakan metode kualitatif dan studi literatur. Dalam menggunakan metode kualitatif, peneliti melakukan penelitian dalam tiga tahapan utama, yaitu: (1) Pengumpulan Data (Data Collecting); (2) Pengolahan Data (Data Analysis); dan (3) Laporan Penulisan (Report Writing). 11 Pertama, pada tahap awal pengumpulan data yang harus dilakukan adalah menetapkan batasan parameter data yang akan dikumpulkan. Ide dari penulisan kualitatif adalah dengan menyeleksi informasi yang diperoleh dari data sekunder. Pengumpulan data sekunder yang diperlukan dalam penelitian ini memanfaatkan berbagai buku, jurnal, serta artikel-artikel baik yang berasal dari media massa cetak maupun internet. Selanjutnya adalah tahap pengolahan data (analisa). Pada tahap ini, informasi dikelompokkan menjadi kategori dan diformat menjadi sebuah deskripsi, kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk tulisan ilmiah atau laporan penulisan. Tahap terakhir adalah dengan membuat simpulan dari data yang telah dianalisa yang kemudian dikemas dalam sebuah laporan penulisan. F. Sistematika Penulisan Penulis mengambil rentang waktu pasca reformasi 2002 hingga sekarang karena pada kurun waktu ini dampak negatif dari kebijakan CFP justru semakin meningkat sejalan dengan dana subsidi yang dikucurkan oleh Uni Eropa, sehingga penulis dapat menganalisa kepentingan-kepentingan Uni Eropa dan negara-negara anggotanya dibalik kebijakan pemberian subsidi perikanan dalam CFP. Skripsi ini terbagi menjadi lima bab. Berikut ini adalah pembagian masing-masing bab: Bab I: Pendahuluan Pada bab ini akan diuraikan tentang Latar Belakang, Rumusan Masalah, Kerangka Konseptual, Hipotesis, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan. Bab II: Common Fisheries Policy Pada bab ini akan dijelaskan uraian mengenai kebijakan CFP di Uni Eropa serta latar belakang diberlakukan kebijakan ini. Selain itu akan dipaparkan mengenai latar belakang dan alasan dilakukannya reformasi kebijakan CFP pada tahun 2002, terutama mengapa kebijakan subsidi perikanan menjadi kebijakan yang ditonjolkan dalam CFP untuk mengetahui perbedaan mendasar dengan CFP sebelum reformasi, dampak nyata yang 12 ditimbulkan dengan adanya kebijakan susidi perikanan, baik itu dampak terhadap nelayan dan perikanan, maupun dampak terhadap lingkungan. Bab III: Supranasionalisme di Uni Eropa Pada bab ini, akan dijelaskan bagaimana ketiga pilar Uni Eropa (Parlemen Eropa, Komisi Eropa, dan Dewan Uni Eropa) berperan dalam proses pengambilan kebijakan terkait CFP. Bab IV: Kepentingan Nasional terhadap Subsidi Perikanan Bab ini akan menganalisa alasan Uni Eropa dalam mempertahankan kepentingannya, terutama dengan menganalisa dengan menggunakan konsep kepentingan nasional sebagai konsep dasar dalam melihat kepentingan setiap negara secara lebih mendalam dalam rangka mencapai kepentingan nasionalnya. Beberapa negara yang mendukung CFP seperti Spanyol, Italia, Irlandia, Yunani, Portugal, Perancis dan Denmark dan negara yang menolak CFP seperti Jerman, Inggris, Swedia, Belanda, dan Belgia. Analisa ini diperkuat dengan melihat dinamika politik dan justifikasi Uni Eropa sehingga subsidi perikanan dalam CFP tetap dipertahankan. Bab V: Penutup Bab ini akan mengakhiri susunan skripsi ini, dengan diuraikannya kesimpulan. Selain itu, penulis juga akan memberikan rekomendasi atau saran sebagai masukan. 13