Filsafat dan Ilmu Pengetahuan

advertisement
Bagian 1: Filsafat dan Ilmu Pengetahuan
Buku “Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan : dari David Hume sampai Thomas Kuhn”, Donny
Gahral Adian, Penerbit Teraju, Jakarta 2002
Filsafat, ratunya ilmu-ilmu, yang muncul tidak terlepas dari konteks kultural masyarakat dimana ia
berkembang. Kritis, adalah kata kunci yang dipegang semua filosof sepanjang zaman. Bertrand
Russel mendefinisikan filsafat sebagai “daerah tak bertuan” antara teologi dan ilmu pengetahuan,
yang berisi spekulasi terhadap semesta, namun juga memiliki sifat rasionalitas dari otoritas.
1.
Empat Pendekatan Filsafat
Penulis mengemukakan 4 (empat) cara atau pendekatan dalam mempelajari filsafat. Pendekatan
tersebut adalah pendekatan definisi, sistematika, tokoh atau aliran dan sejarah. Melalui pendekatan
definisi, seseorang memahami perbedaan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan dan teologi.

Ilmu Pengetahuan: mengkaji sebatas gejala-gejala yang tampak dan berusaha
menjelaskannya secara kausalistik
 Teologi: mengkaji semesta supra-inderawi, semesta ketuhanan namun dalam batas-batas
keimanan
 Filsafat: upaya mencari atau memperoleh jawaban atas berbagai pertanyaan lewat
penalaran sistematis yang kritis (tidak hanya pengkajian asumsi, dogmatis, tetapi terus
bertanya untuk mencapai hakikatnya), radikal (mengkaji sampai ke akar-akarnya), refleksif
(mengendapkan, mengola dan menghasilkan pengetahuan yang jernih) dan integral
(menyeluruh).
Filsafat memiliki objek forma (sudut pandang yang diambil dalam menganalisis objek) berupa
penalaran sistematis yang kritis, radikal, refleksif dan integral. Sementara objek materinya (objek
yang dianalisis) berupa keseluruhan: manusia yang didudukkan dalam konteks yang paling luas.
Dari pendekatan sistematis, filsafat berdasarkan tiga pertanyaan Immanuel Kant: Apa yang dapat
saya ketahui, Apa yang dapat saya harapkan, Apa yang dapat saya lakukan, memunculkan 3 wilayah
besar filsafat yaitu pengetahuan, ada, dan nilai.
1. Wilayah pengetahuan, terdiri dari 4 disiplin filsafat
a. Epistemologi: mengkaji hakikat pengetahuan dari sumber pengetahuan, batas
pengetahuan, struktur pengetahuan dan keabsahan pengetahuan
b. Filsafat ilmu pengetahuan, mengkaji ilmu pengethauan dari segi ciri-ciri dan caracara memperolehnya
c. Logika, mengkaji azas-azas berpikir secara lurus dan tertib
d. Metodologi, mengkaji metode-metode yang digunakan dalam dunia ilmiah
2. Wilayah ada, terdiri dari 2 disiplin filsafat
a. Ontologi, berusan dengan ‘yang ada sebagai yang ada’ yang sebenar-benarnya ada’
(vs bentuk partikular ada: fisika, biologi, atau psikologi). Menurut Christian Wolff:
semesta empiris
b. Metafisika, mengkaji semesta dibalik gejala-gejala empiris
3. Wilayah nilai, terdiri dari 2 disiplin filsafat
a. Etika, yang merefleksikan nilai-nilai moral
b. Estetika, yang merefleksikan nilai-nilai estetis
Pendekatan melalui tokoh dan aliran, diperuntukkan untuk tahap lanjut, karena pendekatan ini
mengandaikan penguasaan sempurna pendekatan pertama dan kedua. Berikut filosof dan aliran
pemikirannya:
Rene Descartes, Spinoza dan Leibniz – aliran rasionalisme, filsafat yang berpandangan semua
pengetahuan bersumber dari akal.
David Hume, John Locke, dan Berkeley – aliran empirisme, filsafat yang menekankan
pengalaman sebagai sumber pengetahuan.
Disarikan oleh Elisati H. / 33212002/STEI ITB @17 September 2012
Immanuel Kant – pelopor aliran kritisisme, aliran yang pada dasarnya kritik terhadap
rasionalisme dan empirisme. Bahan2 yang masih kacau (dari pengalaman empiris) lalu mengatur
dan menertibkannya dalam kategori2.
Hegel, Fichte, Schelling – mengusung aliran idealisme, berpendirian bahwa pengetahuan adalah
proses2 mental atau psikologis yang sifatnya subjektif. Materi merupakan materialisasi dari
pikiran manusia
Nietzche, Bergson, dan Schopenhouer – mengusung aliran vitalisme, yang memandang hidup
tidak dapat sepenuhnya dijelaskan secara fisika (mekanistis-deterministis). Manusia memiliki
kehendak kreatif yang mampu mengubah dirinya sekaligus semesta secara dinamis.
Edmund Husserl, Martin Heidegger, dan Merleau Ponty – mengusung aliran fenomenologi,
aliran yang mengkaji penampakan atau fenomena yang mana antara fenomena dan kesadaran
selalu berhubungan secara dialektis.
Pendekatan sejarah, sebuah pendekatan yang sangat populer. Berdasarkan pendekatan ini, filsafat
dibagi ke dalam beberapa periode. Secara konvensional dibagi menjadi 3 periode: Yunani kuno,
Skolastik dan Modern. Kemudian oleh Susan Langer dikembangkan menjadi enam tahapan.
2.
Yunani Kuno
Pada periode ini, terjadi pergeseran pemikiran dari mitos ke logos, pemikiran irasional ke penjelasan
logis berdasarkan rasio. Para filosof mncari penjelasan rasional atas prinsip dasar yang melandasi
gejala-gejalan alam, yang selama ini terselubungi kabut mistis. Thales (585 SM), misalnya
mengatakan air adalah arkhe (asas pertama) dari alam semesta. Filosof pada periode ini antara lain
Anaximander (610-547 SM) dan Anaximenes (546 SM).
3.
Filosof-filosof Manusia
Pada era ini, para filosof memfokuskan diri pada permasalahan manusia, bukan lagi pada alam
semesta. Para filosof seperti Socrates (470-399 SM), Plato (429-347 SM) dan Aristoteles (384-322
SM) banyak mengemukakan tentang bagaimana hidup bermasyarakat yang baik. Pada masa ini
untuk pertama kali muncul disiplin Filsafat yang disebut etika. Phytagoras (580-500 SM) mengatakan
bahwa filsafat tidak semata-mata kontemplasi terhadap alam, melainkan jalan keselamatan hidup,
jiwa dibebaskan dari keterbelakangan badani menuju keselamatan (bersatunya dengan jiwa alam
semesta).
4.
Abad Pertengahan (300 – 1300 SM)
Pada masa ini, pemikiran bercirikan teosentris, berpusat pada kebenaran wahyu Tuhan. Filosof
seperti Thomas Aquinas, St. Bonaventura adalah rohaniawan yang hendak merekonsiliasi akal dan
wahyu. Mereka buktikan bahwa kebenaran wahyu tidak berbeda dengan kebenaran yang dihasilkan
oleh akal. Atmosfer yang meliputi hampir semua pemikiran, memperlakukan akal sekedar hamba
dari teologi.
St. Augustinus tidak percaya akan kekuatan akal semata dalam mencapai kebenaran. Manusia tidak
mampu mencapai pengetahuan sejati tanpa iluminasi kebeharan ilahi. Wahyu menjadi sumber
kebenaran utama. Rasionalitas kehilangan otonominya, filsafat menjadi abdi dari teologi, dimana
pemikiran2 filosofis digunakan untuk mendukung kebenaran wahyu. Pertentangan wahyu dan akan
semakin menajam dan mengeras, bahkan para ilmuwan dieksekusi karena mewartakan kebenaran
ilmiah yang tidak sesuai dengan kebenaran wahyu. Perkembangan ilmu pengetahuan surut.
Disarikan oleh Elisati H. / 33212002/STEI ITB @17 September 2012
5.
Filsafat Modern
Hampir sepuluh abad, pemikiran filosofis dan ilmu pengetahuan dikekang oleh kebenaran teologis
yang berdasarkan iman. Kecenderungan ini disebut “fideisme”, ketaatan buta pada iman. Kemudian
muncul era “Renaisans”, yang berarti kelahiran kembali. Pemikiran2 filosofi Yunani kuno, yang
selama ini “disembunyikan” dan dimonopoli oleh kalangan elit gereja, kembali dipelajari.
Kemunculan era renaisans, tidak terlepas dari sumbangan para filosof Islam, yang menerjemahkan
pemikiran Yunani kuno ke dalam bahasa Arab. Dan terjemahan inilah yang dipelajari oleh filosof
barat yang akhirnya melahirkan gerakan reformasi, era renaisans.
Sejarah mencatat, bahwa ilmu pengetahuan di dunia Islam berkembang terlebih dahulu sebelum
dunia Barat memperoleh “pencerahan”. Karya ilmiah dunia Islam di bawah ke dunia barat untuk
dipelajari dan dikembangkan. Renaisans diikuti masa pencerahan, menjadi titik tolak modernisme,
dimana ilmu pengetahuan, filsafat dan ideologi berkembang dengan pesat.
Rene Descartes, filosof Perancis berjasa merehabilitasi, mengembalikan otonomi rasio. Diktumnya
berbunyi: “cogito ergo sum”, “aku berpikir maka aku ada” terkenal sampai sekarang. Rasio menjadi
sumber satu-satunya ilmu pengetahuan, sementara kesan2 inderawi adalah ilusi yang dapat diatasi
oleh rasio. Rene mempelopori aliran filsafat rasionalisme, yang berpengaruh cukup besar bagi
perkembangan ilmu pengetahuan.
Filosof-filosof Inggris seperti David Hume, John Locke, dan George Berkeley, menentang keras
argumen Descartes. Mereka menganut filsafat empirisme, yang mengatakan bahwa pengetahuan
hanya didapatkan dari pengalaman lewat pengamatan empiris, bukan semata-mata penalaran
deduksi. Mereka meyakini adanya keteraturan (regularity) di alam raya ini, yang bukan berasal atau
ditujukan pada kodrat metafisis.
Pertentangan tersebut berlangsung sampai Immanuel Kant, filosof Jerman, menyatakan bahwa
kedua aliran tersebut terlalu ekstrim, rasio dan empiris adalah sama-sama sumber pengetahuan
dimana kesan-kesan empiris dikonstruksikan oleh rasio manusia melalui kategori2 menjadi
pengetahuan. Immanuel Kant, yang terkenal dengan pernyataannya sapere aude (berani berpikir
sendiri) merupakan tokoh sentral zaman modern.
6.
Positivisme
Aliran empirisme mengalami puncaknya pada aliran filsafat positivisme. Filosof August Comte,
mempelopori aliran ini, juga menciptakan istilah “sosiologi”, ilmu yang mengkaji masyarakat secara
ilmiah. Positivisme, yang dominan pada awal abad 20-an, menetapkan kriteria2 yang harus dipenuhi
oleh ilmu-ilmu manusia maupun alam. Kriteria tersebut adalah eksplanatoris dan prediktif.
Pandangan positivism tersebut adalah:




Objektif, teori ttg semesta harus bebas nilai
Fenomenalisme, ilmu pengetahuan hanya berbicara pada semesta yang diamati, metafisis
diabaikan
Reduksionisme, semesta direduksi menjadi fakta-fakta keras yang dapat diamati
Naturalism, alam semesta adalah objek2 yang bergerak secara mekanis seperti bekerjanya
jam
Pengaruh positivisme amat kuat terhadap berbagai disiplin ilmu dan berlangsung sampai sekarang.
Positivisme mengenakan klaim-klaim berikut pada ilmu pengetahuan:
Disarikan oleh Elisati H. / 33212002/STEI ITB @17 September 2012



7.
Klaim kesatuan ilmu, ilmu2 manusia dan ilmu2 alam berada pada paying yang sama, yaitu
paradigm positivisme.
Klaim kesatuan bahasa. Bahasa perlu untuk memurnikan dari konsep-konsep metafisis
dengan mengajukan parameter verifisikasi.
Klaim kesatuan metode. Metode verifikasi bersifat universal, berlaku baik bagi ilmu-ilmu
alam, maupun ilmu-ilmu manusia.
Alam Simbolis
Merupakan reaksi keras terhadap positivisme terutama pada asumsi kesatuan metode untuk, baik
ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu manusia. Positivisme memberikan beberapa dampak, antara lain



Mereduksi kekayaraan pengalaman manusia menjadi fakta-fakta empiris
Prinsip bebas nilai, membuat ilmuwan menjadi robot-robot tak berperasaan
Keringnya semesta dari kekayaan batin yang tak terhingga (di desakralisasi)
Positivisme mengasumsikan objek2 alam maupun manusia bergerak secara deterministik-mekanis.
Manusia adalah benda mati yang bergerak, berdasarkan stimulans dan respon, rangsangan dan
reaksi, sebab dan akibat.
Menurut Ernest Cassirer, manusia adalah makhluk simbolik (animal simbolicum), yang memiliki
substratum simbolik dalam benaknya, sehingga mampu memberikan jarak antara rangsangan dan
tanggapan. Distansiasi (refleksi) tersebut melahirkan sistem-sistem simbolis seperti ilmu
pengetahuan, seni, religi dan bahasa.
8.
Postmodernisme
Postmodernisme adalah pemikiran mutahir yang muncul.
Banyak orang menafsirkan
postmodernisme merupakan perkembangan dari modernisme, tetapi sebenarnya justru sangat
“anti” terhadap ide-ide seperti kemajuan, emansipasi, linieritas sejarah dsb. Konsep-konsep ini
ditentang oleh para pemikir posmo seperti Lyotard, Foucault dan Derrida.
Sebenarnya, postmodernisme merupakan pergeseran wacana di berbagai bidang, seperti seni,
arsitektur, sosiologi, literatur dan filsafat. Merupakan reaksi keras terhadap pemikiran modernisme
yang terlampau mendewakan rasionalitas, jauh dari kekayaan dunia batin manusia. Para
posmodernisme menyerang pilar-pilar filsafat modern, yang menjunjung tinggi rasionalitas dengan
mengklaim dorongan-dorongan subjektif-irasional sebagai marjinal, the other.
Posmodernisme, karena menentang hal-hal yang menyatukan, tidak bisa dikonseptualisasikan dalam
satu definisi yang jelas dan terpilah. Mereka antikebenaran tunggal demi berkembangnya kebenarankebenaran partikular yang plural. Posmodernisme menjadi kritik yang paling mutakhir terhadap
modernisme.
Daniel Bell, dalam bukunya The Cultural Contradiction, tahun 1976, yang mengemukakan pertama
kali tentang posmodernisme. Menurut Bell,


Kapitalisme lanjut telah bergeser dari sebuah sistem kultural dan ekonomi yang berlandaskan
disiplin2 yang perlu bagi produksi, ke sistem yang berlandaskan pada kenikmatan2 konsumsi
Etika kapitalisme yang menekankan pada kerja keras, individualitas, dan prestasi untuk
produksi, ke konsumerisme, kolusi dsb.
Klaim lain dikemukakan oleh Jean Baudrillard, yang mengkritisi teori Marx, yang memandang bentukbentuk dan daya produksi sebagai prinsip sentral setiap ekonomi. Menurut Jean,
Disarikan oleh Elisati H. / 33212002/STEI ITB @17 September 2012


produksi dan reproduksi tidak lagi berkaitan dengan benda-benda, tetapi makna. Contohnya:
iklan rokok yang tidak lagi menonjolkan bendanya, tetapi memuat makna yang dicapai
seperti kemapanan hidup dan maskulinitas
dunia didominasi “simulakrum”, konsep yang mewakili tiadanya lagi batas antara yang nyata
dan yang semu. Contoh: Dysneyland, yang membuat segala sesuatu bersifat futuristik,
mimpi-mimpi. Irasionalitas perilaku konsumtif, orang-orang rela antri berjam-jam, membayar
puluhan dolar hanya untuk memuaskan nafsu, insting, dorongan dan impuls. Kolektivitas
bersifat semu. Kemudian terpecah menjadi individu-individu yang menjemukan, dengan
rutinitas itu-itu saja. Ini adalah sebuah simulakrum.
Terkait dengan kekuasaan, pemikir Frederic Jameson dan Michel Foucault menyatakan kekuasaan
telah menyebar pada institusi mikro seperti sekolah, institusi agama, penjara, partai politik, dsb.
Masing-masing memiliki mekanisme kuasanya sendiri-sendiri. Misalnya di sekolah, otoritas
pendidikan selain memberikan pengetahuan, juga menggali pengetahuan tentang muridnya untuk
bisa menguasai mereka. Para murid diuji, diobservasi, di-psikotes untuk bisa diklasifikasikan. Selain
itu, gerakan isu perjuangan kesetaraan gender, hak konsumen, hak suku terasing, lingkungan hidup
semakin muncul. Hal ini, menurut Jameson, menunjukkan masyarakat sosialis (yang menurut Marxis)
sudah tidak lagi relevan alias usang.
Penjelasan posmodernisme yang lengkap dikemukakan oleh Jean Francois Lyotard, di bukunya The
Postmodern Condition (1984). Modernisme, menurutnya, muncul dengan menggeser narasi-narasi
spiritual ttg takdir manusia ke narasi yang lebih sekular, tapi masih senafas dengan narasi spiritual.
Posmodernisme tidak percaya pada narasi-narasi raksasa yang sifatnya universal dan esensialis.
Kesatuan sejarah digeser dengan kemajemukan sejarah lokal yang tidak bisa diletakkan di bawah
satu payung narasi raksasa.
9.
Epistemologi dan Filsafat Ilmu Pengetahuan
Epistemologi merupakan cabang filsafat yang mengkaji hakikat pengetahuan khususnya empat pokok
persoalan pengetahuan seperti keabsahan, struktur, batas dan sumber. Berbeda dengan ontologi
yang mengkaji apa yang ada, epistemologi mengkaji pengetahuan apa yang ada.
Descartes, menganut ontologi dualisme, karena memetakan semesta menjadi 2 substansi ontologis
yaitu res cogitans (kesadaran) dan res extensa (materi). Keyakinan ini membangun struktur subjekobjek dalam pemikiran epistemologisnya, dimana manusia sebagai subjek yang berhadapan dengan
semesta sebagai objek.
Epistemologi dan filsafat pengetahuan muncul dari pertanyaan Kant: “Apa yang dapat saya ketahui”.
Kedua cabang filsafat, sesungguhnya sama-sama mengkaji permasalahan seputar pengetahuan.
Perbedaannya, epistemologi mengkaji pengetahuan dalam arti seluas-luasnya termasuk
pengetahuan sehari-hari. Sedangkan filsafat ilmu pengetahuan, berurusan dengan pengetahuan
ilmiah atau sains. Perbedaan ini melibatkan permasalahan metodologis, kebenaran antara ilmu
pengetahuan dengan pengetahuan sehari-hari, dimana kebenaran sains memerlukan cara kerja yang
ketat untuk memperolehnya.
Filsafat pengetahuan mendasarkan dirinya pada epistemologi, khususnya pada keabsahan
pengetahuan. Keabsahan pengetahuan dibagi menjadi 3 teori kebenaran yaitu
1. korespondensi, yaitu adanya keselarasan antara ide dengan semesta luar, kebenarannya
bersifat empiris-induktif. Menghasilkan ilmu-ilmu empiris seperti: fisika, kimia, biologi,
sosiologi
Disarikan oleh Elisati H. / 33212002/STEI ITB @17 September 2012
2. koherensi, yaitu adanya keselarasan antara pernyataan logis, kebenarannya bersifat formaldeduktif. Menghasilkan ilmu-ilmu abstrak seperti: matematika dan logika
3. Pragmatis, yaitu adanya kriteria instrumental atau kebermanfaatan, kebenarannya bersifat
fungsional. Menghasilkan ilmu-ilmu terapan seperti: ilmu kedokteran
Filsafat ilmu pengetahuan melandaskan dirinya pada teori korespondensi, dimana kebenaran ilmu
pengetahuan adalah kebenaran ilmiah-empiris, yang diperoleh melalui metode yang cukup ketat.
Selain kedua bidang filsafat di atas, ada dua bidang filsafat lagi yang berada dalam wilayah
pengetahuan dalam sistematika filsafat, yaitu logika dan metodologi. Logika, adalah cabang filsafat
yang memusatkan kajiannya pada problema formal dan spesifik keteraturan penalaran. Berurusan
dengan pengetahuan formal-apriori (apriori: pengetahuan yang hanya berdasarkan definisi, bukan
pengalaman), bukan pengetahuan empiris-aposteriori (aposteriori: pengetahuan yang hadir setelah
pengalaman, setelah didukung oleh data-data empiris).
Hubungan antara logika dan filsafat pengetahuan terletak pada konteks penemuan dan pembuktian
kebenaran ilmu pengetahuan. Logika digunakan untuk memperoleh dan membuktikan
kebenarannya, yaitu logika induksi (yaitu penalaran dari fakta2 konkrit menuju kesimpulan umum)
dan deduksi (yaitu penalaran dari kesimpulan umum menuju ke hal-hal yang spesifik).
Medotologi merupakan cabang filsafat yang mengkaji langkah-langkah untuk memperoleh
pengetahuan ilmiah. Kompleksitas problematika membutuhkan bidang ini agar penelaahan filosofis
dilakukan secara kritis dan mendalam.
10. Filsafat, Ilmu Pengetahuan, dan Filsafat Ilmu Pengetahuan
Berikut deskripsi filsafat, ilmu pengetahuan dan filsafat ilmu pengetahuan,
Filsafat
Ilmu Pengetahuan
Filsafat Ilmu Pengetahuan
 Menggunakan
penalaran  Menerangkan gejala-gejalan  Mencoba
melakukan
yang kritis, refleksif dan
secara ilmiah
pendekatan
kritis
dan
integral
mendasar
tentang
pemerolehan
ilmu
pengetahuan,
langkahlangkahnya untuk mencapai
kebenaran ilmiah
 Tidak
berhenti
pada  Tujuannya
mencoba  Mencoba mengkaji ilmu
penampakan, tetapi secara
menjelaskan
gejala-gejala
pengetahuan dari segi cirikritis mencapai hakikatnya
secara relasional
ciri
dan
cara2
pemerolehannya
 Untuk
mencapai  Menggunakan metode, yaitu  Membongkar
asumsihakikatnya, menggunakan
langkah-langkah dalam satu
asumsi
yang
tadinya
metode kritis, metode
urutan metodologis yang
diterima begitu saja dalam
intuitif, metode geometris,
ketat untuk mendapatkan
ilmu pengetahuan.
metode
fenomenologis,
penjelasan yang seobjektif
dsb, dimana semuanya
mungkin tentang semesta.
bersifat kritis, refleksif dan
integral.
 Objek
kajian:
semesta  Objek kajian bergantung  Objek
kajian:
ilmu
dalam arti seluas-luasnya.
pada displin ilmu yang ada.
pengetahuan
Contoh: melihat manusia
Disiplin ilmu biologi, sosiologi
Disarikan oleh Elisati H. / 33212002/STEI ITB @17 September 2012
secara integral dengan alam
semesta yang meliputinya,
tidak terkotak-kotak.
dan antropologi menjadikan
manusia jadi objek kajiannya,
tetapi dari sudut pandang
yang
berbeda-beda.
Memandang
semesta
cenderung
terkotak-kotak,
dan tidak bersifat kritis.
11. Pengetahuan Ilmiah dan Pengetahuan Nonilmiah
Deskripsi pengetahuan ilmiah dan non ilmiah
Item
Pengetahuan Ilmiah
Tujuan



Cara

pemerolehan


deskripsi (menjelaskan gejala-gejala)
eksplanasi (hubungan kausal)
prediksi (lewat data-data objektif untuk
memprediksi gejala-gejala yang muncul)
metodis (melalui jalan tertentu, dan hasilnya
harus dapat dipertanggungjawabkan-verifikasi
dan falsifikasi)
sistematis (mengikuti urut-urutan yang ketat)
objektif (bebas nilai)
Pengetahuan NonIlmiah atau
eksistensial
 bertahan hidup dalam
kehidupan sehari-hari
(pragmatis)




warisan budaya
tradisi
metode tidak menjadi
masalah
pernyataan ambigu, kabur
dan tidak objektif
12. Ilmu Pengetahuan sebagai Proses
Ilmu pengetahuan memiliki apa yang disebut sebagai piramida ilmu pengetahuan. Disebut piramida
karena proses yang mengerucut dimana ujung proses adalah sebuah teori yang bersih dari
kontaminasi keseharian yang kabur dan ambigu. Proses tersebut dibagi menjadi empat tahap:
1. Pengetahuan bertitik tolak dari pengalaman sehari-hari yang cukup luas dan cenderung
variatif
2. Pengalaman sehari-hari tersebut harus mengalami pemurnian. Pertama pemurnian dari
pengalaman perseptual (persepsi), untuk secara terkendali mendapatkan titik fokus melalui
observasi. Kedua, pemurnian dari bahasa sehari-hari, menjadi konsep-konsep yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
3. Mencari keteraturan dalam gejala-gejala dengan membentuk proposisi kondisional p  q
untuk mendeskripsikan relasi kausalistik antara gejala-gejalan melalui metode induksi. Sejauh
proposisi kondisional belum terbukti secara empiris, ia masih berupa suatu hipotesis (yaitu
proposisi yang berisikan hubungan antara gejala-gejala bersifat sementara menunggu untuk
dibuktikan).
4. Memperoleh hukum yang menunjukkan keteraturan gejala-gejala, yaitu memperoleh
pembenaran ilmiah suatu proposisi melalui verifikasi yang ketat
5. Pembentukan teori, yaitu seperangkat eksplanasi yang menggambarkan bulat-lonjongnya
dunia. Terdapat dua sikap, yaitu realis (meyakini bahwa teori merupakan cermin sempurna
dunia) dan antirealis (meyakini bahwa mengkonstruksi teori untuk mempermudah
pemahaman akan dunia atau untuk kepentingan instrumental berupa kontrol dan prediksi).
Disarikan oleh Elisati H. / 33212002/STEI ITB @17 September 2012
Download