Bagian 1: Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Buku “Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan : dari David Hume sampai Thomas Kuhn”, Donny Gahral Adian, Penerbit Teraju, Jakarta 2002 Filsafat, ratunya ilmu-ilmu, yang muncul tidak terlepas dari konteks kultural masyarakat dimana ia berkembang. Kritis, adalah kata kunci yang dipegang semua filosof sepanjang zaman. Bertrand Russel mendefinisikan filsafat sebagai “daerah tak bertuan” antara teologi dan ilmu pengetahuan, yang berisi spekulasi terhadap semesta, namun juga memiliki sifat rasionalitas dari otoritas. 1. Empat Pendekatan Filsafat Penulis mengemukakan 4 (empat) cara atau pendekatan dalam mempelajari filsafat. Pendekatan tersebut adalah pendekatan definisi, sistematika, tokoh atau aliran dan sejarah. Melalui pendekatan definisi, seseorang memahami perbedaan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan dan teologi. Ilmu Pengetahuan: mengkaji sebatas gejala-gejala yang tampak dan berusaha menjelaskannya secara kausalistik Teologi: mengkaji semesta supra-inderawi, semesta ketuhanan namun dalam batas-batas keimanan Filsafat: upaya mencari atau memperoleh jawaban atas berbagai pertanyaan lewat penalaran sistematis yang kritis (tidak hanya pengkajian asumsi, dogmatis, tetapi terus bertanya untuk mencapai hakikatnya), radikal (mengkaji sampai ke akar-akarnya), refleksif (mengendapkan, mengola dan menghasilkan pengetahuan yang jernih) dan integral (menyeluruh). Filsafat memiliki objek forma (sudut pandang yang diambil dalam menganalisis objek) berupa penalaran sistematis yang kritis, radikal, refleksif dan integral. Sementara objek materinya (objek yang dianalisis) berupa keseluruhan: manusia yang didudukkan dalam konteks yang paling luas. Dari pendekatan sistematis, filsafat berdasarkan tiga pertanyaan Immanuel Kant: Apa yang dapat saya ketahui, Apa yang dapat saya harapkan, Apa yang dapat saya lakukan, memunculkan 3 wilayah besar filsafat yaitu pengetahuan, ada, dan nilai. 1. Wilayah pengetahuan, terdiri dari 4 disiplin filsafat a. Epistemologi: mengkaji hakikat pengetahuan dari sumber pengetahuan, batas pengetahuan, struktur pengetahuan dan keabsahan pengetahuan b. Filsafat ilmu pengetahuan, mengkaji ilmu pengethauan dari segi ciri-ciri dan caracara memperolehnya c. Logika, mengkaji azas-azas berpikir secara lurus dan tertib d. Metodologi, mengkaji metode-metode yang digunakan dalam dunia ilmiah 2. Wilayah ada, terdiri dari 2 disiplin filsafat a. Ontologi, berusan dengan ‘yang ada sebagai yang ada’ yang sebenar-benarnya ada’ (vs bentuk partikular ada: fisika, biologi, atau psikologi). Menurut Christian Wolff: semesta empiris b. Metafisika, mengkaji semesta dibalik gejala-gejala empiris 3. Wilayah nilai, terdiri dari 2 disiplin filsafat a. Etika, yang merefleksikan nilai-nilai moral b. Estetika, yang merefleksikan nilai-nilai estetis Pendekatan melalui tokoh dan aliran, diperuntukkan untuk tahap lanjut, karena pendekatan ini mengandaikan penguasaan sempurna pendekatan pertama dan kedua. Berikut filosof dan aliran pemikirannya: Rene Descartes, Spinoza dan Leibniz – aliran rasionalisme, filsafat yang berpandangan semua pengetahuan bersumber dari akal. David Hume, John Locke, dan Berkeley – aliran empirisme, filsafat yang menekankan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Disarikan oleh Elisati H. / 33212002/STEI ITB @17 September 2012 Immanuel Kant – pelopor aliran kritisisme, aliran yang pada dasarnya kritik terhadap rasionalisme dan empirisme. Bahan2 yang masih kacau (dari pengalaman empiris) lalu mengatur dan menertibkannya dalam kategori2. Hegel, Fichte, Schelling – mengusung aliran idealisme, berpendirian bahwa pengetahuan adalah proses2 mental atau psikologis yang sifatnya subjektif. Materi merupakan materialisasi dari pikiran manusia Nietzche, Bergson, dan Schopenhouer – mengusung aliran vitalisme, yang memandang hidup tidak dapat sepenuhnya dijelaskan secara fisika (mekanistis-deterministis). Manusia memiliki kehendak kreatif yang mampu mengubah dirinya sekaligus semesta secara dinamis. Edmund Husserl, Martin Heidegger, dan Merleau Ponty – mengusung aliran fenomenologi, aliran yang mengkaji penampakan atau fenomena yang mana antara fenomena dan kesadaran selalu berhubungan secara dialektis. Pendekatan sejarah, sebuah pendekatan yang sangat populer. Berdasarkan pendekatan ini, filsafat dibagi ke dalam beberapa periode. Secara konvensional dibagi menjadi 3 periode: Yunani kuno, Skolastik dan Modern. Kemudian oleh Susan Langer dikembangkan menjadi enam tahapan. 2. Yunani Kuno Pada periode ini, terjadi pergeseran pemikiran dari mitos ke logos, pemikiran irasional ke penjelasan logis berdasarkan rasio. Para filosof mncari penjelasan rasional atas prinsip dasar yang melandasi gejala-gejalan alam, yang selama ini terselubungi kabut mistis. Thales (585 SM), misalnya mengatakan air adalah arkhe (asas pertama) dari alam semesta. Filosof pada periode ini antara lain Anaximander (610-547 SM) dan Anaximenes (546 SM). 3. Filosof-filosof Manusia Pada era ini, para filosof memfokuskan diri pada permasalahan manusia, bukan lagi pada alam semesta. Para filosof seperti Socrates (470-399 SM), Plato (429-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) banyak mengemukakan tentang bagaimana hidup bermasyarakat yang baik. Pada masa ini untuk pertama kali muncul disiplin Filsafat yang disebut etika. Phytagoras (580-500 SM) mengatakan bahwa filsafat tidak semata-mata kontemplasi terhadap alam, melainkan jalan keselamatan hidup, jiwa dibebaskan dari keterbelakangan badani menuju keselamatan (bersatunya dengan jiwa alam semesta). 4. Abad Pertengahan (300 – 1300 SM) Pada masa ini, pemikiran bercirikan teosentris, berpusat pada kebenaran wahyu Tuhan. Filosof seperti Thomas Aquinas, St. Bonaventura adalah rohaniawan yang hendak merekonsiliasi akal dan wahyu. Mereka buktikan bahwa kebenaran wahyu tidak berbeda dengan kebenaran yang dihasilkan oleh akal. Atmosfer yang meliputi hampir semua pemikiran, memperlakukan akal sekedar hamba dari teologi. St. Augustinus tidak percaya akan kekuatan akal semata dalam mencapai kebenaran. Manusia tidak mampu mencapai pengetahuan sejati tanpa iluminasi kebeharan ilahi. Wahyu menjadi sumber kebenaran utama. Rasionalitas kehilangan otonominya, filsafat menjadi abdi dari teologi, dimana pemikiran2 filosofis digunakan untuk mendukung kebenaran wahyu. Pertentangan wahyu dan akan semakin menajam dan mengeras, bahkan para ilmuwan dieksekusi karena mewartakan kebenaran ilmiah yang tidak sesuai dengan kebenaran wahyu. Perkembangan ilmu pengetahuan surut. Disarikan oleh Elisati H. / 33212002/STEI ITB @17 September 2012 5. Filsafat Modern Hampir sepuluh abad, pemikiran filosofis dan ilmu pengetahuan dikekang oleh kebenaran teologis yang berdasarkan iman. Kecenderungan ini disebut “fideisme”, ketaatan buta pada iman. Kemudian muncul era “Renaisans”, yang berarti kelahiran kembali. Pemikiran2 filosofi Yunani kuno, yang selama ini “disembunyikan” dan dimonopoli oleh kalangan elit gereja, kembali dipelajari. Kemunculan era renaisans, tidak terlepas dari sumbangan para filosof Islam, yang menerjemahkan pemikiran Yunani kuno ke dalam bahasa Arab. Dan terjemahan inilah yang dipelajari oleh filosof barat yang akhirnya melahirkan gerakan reformasi, era renaisans. Sejarah mencatat, bahwa ilmu pengetahuan di dunia Islam berkembang terlebih dahulu sebelum dunia Barat memperoleh “pencerahan”. Karya ilmiah dunia Islam di bawah ke dunia barat untuk dipelajari dan dikembangkan. Renaisans diikuti masa pencerahan, menjadi titik tolak modernisme, dimana ilmu pengetahuan, filsafat dan ideologi berkembang dengan pesat. Rene Descartes, filosof Perancis berjasa merehabilitasi, mengembalikan otonomi rasio. Diktumnya berbunyi: “cogito ergo sum”, “aku berpikir maka aku ada” terkenal sampai sekarang. Rasio menjadi sumber satu-satunya ilmu pengetahuan, sementara kesan2 inderawi adalah ilusi yang dapat diatasi oleh rasio. Rene mempelopori aliran filsafat rasionalisme, yang berpengaruh cukup besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Filosof-filosof Inggris seperti David Hume, John Locke, dan George Berkeley, menentang keras argumen Descartes. Mereka menganut filsafat empirisme, yang mengatakan bahwa pengetahuan hanya didapatkan dari pengalaman lewat pengamatan empiris, bukan semata-mata penalaran deduksi. Mereka meyakini adanya keteraturan (regularity) di alam raya ini, yang bukan berasal atau ditujukan pada kodrat metafisis. Pertentangan tersebut berlangsung sampai Immanuel Kant, filosof Jerman, menyatakan bahwa kedua aliran tersebut terlalu ekstrim, rasio dan empiris adalah sama-sama sumber pengetahuan dimana kesan-kesan empiris dikonstruksikan oleh rasio manusia melalui kategori2 menjadi pengetahuan. Immanuel Kant, yang terkenal dengan pernyataannya sapere aude (berani berpikir sendiri) merupakan tokoh sentral zaman modern. 6. Positivisme Aliran empirisme mengalami puncaknya pada aliran filsafat positivisme. Filosof August Comte, mempelopori aliran ini, juga menciptakan istilah “sosiologi”, ilmu yang mengkaji masyarakat secara ilmiah. Positivisme, yang dominan pada awal abad 20-an, menetapkan kriteria2 yang harus dipenuhi oleh ilmu-ilmu manusia maupun alam. Kriteria tersebut adalah eksplanatoris dan prediktif. Pandangan positivism tersebut adalah: Objektif, teori ttg semesta harus bebas nilai Fenomenalisme, ilmu pengetahuan hanya berbicara pada semesta yang diamati, metafisis diabaikan Reduksionisme, semesta direduksi menjadi fakta-fakta keras yang dapat diamati Naturalism, alam semesta adalah objek2 yang bergerak secara mekanis seperti bekerjanya jam Pengaruh positivisme amat kuat terhadap berbagai disiplin ilmu dan berlangsung sampai sekarang. Positivisme mengenakan klaim-klaim berikut pada ilmu pengetahuan: Disarikan oleh Elisati H. / 33212002/STEI ITB @17 September 2012 7. Klaim kesatuan ilmu, ilmu2 manusia dan ilmu2 alam berada pada paying yang sama, yaitu paradigm positivisme. Klaim kesatuan bahasa. Bahasa perlu untuk memurnikan dari konsep-konsep metafisis dengan mengajukan parameter verifisikasi. Klaim kesatuan metode. Metode verifikasi bersifat universal, berlaku baik bagi ilmu-ilmu alam, maupun ilmu-ilmu manusia. Alam Simbolis Merupakan reaksi keras terhadap positivisme terutama pada asumsi kesatuan metode untuk, baik ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu manusia. Positivisme memberikan beberapa dampak, antara lain Mereduksi kekayaraan pengalaman manusia menjadi fakta-fakta empiris Prinsip bebas nilai, membuat ilmuwan menjadi robot-robot tak berperasaan Keringnya semesta dari kekayaan batin yang tak terhingga (di desakralisasi) Positivisme mengasumsikan objek2 alam maupun manusia bergerak secara deterministik-mekanis. Manusia adalah benda mati yang bergerak, berdasarkan stimulans dan respon, rangsangan dan reaksi, sebab dan akibat. Menurut Ernest Cassirer, manusia adalah makhluk simbolik (animal simbolicum), yang memiliki substratum simbolik dalam benaknya, sehingga mampu memberikan jarak antara rangsangan dan tanggapan. Distansiasi (refleksi) tersebut melahirkan sistem-sistem simbolis seperti ilmu pengetahuan, seni, religi dan bahasa. 8. Postmodernisme Postmodernisme adalah pemikiran mutahir yang muncul. Banyak orang menafsirkan postmodernisme merupakan perkembangan dari modernisme, tetapi sebenarnya justru sangat “anti” terhadap ide-ide seperti kemajuan, emansipasi, linieritas sejarah dsb. Konsep-konsep ini ditentang oleh para pemikir posmo seperti Lyotard, Foucault dan Derrida. Sebenarnya, postmodernisme merupakan pergeseran wacana di berbagai bidang, seperti seni, arsitektur, sosiologi, literatur dan filsafat. Merupakan reaksi keras terhadap pemikiran modernisme yang terlampau mendewakan rasionalitas, jauh dari kekayaan dunia batin manusia. Para posmodernisme menyerang pilar-pilar filsafat modern, yang menjunjung tinggi rasionalitas dengan mengklaim dorongan-dorongan subjektif-irasional sebagai marjinal, the other. Posmodernisme, karena menentang hal-hal yang menyatukan, tidak bisa dikonseptualisasikan dalam satu definisi yang jelas dan terpilah. Mereka antikebenaran tunggal demi berkembangnya kebenarankebenaran partikular yang plural. Posmodernisme menjadi kritik yang paling mutakhir terhadap modernisme. Daniel Bell, dalam bukunya The Cultural Contradiction, tahun 1976, yang mengemukakan pertama kali tentang posmodernisme. Menurut Bell, Kapitalisme lanjut telah bergeser dari sebuah sistem kultural dan ekonomi yang berlandaskan disiplin2 yang perlu bagi produksi, ke sistem yang berlandaskan pada kenikmatan2 konsumsi Etika kapitalisme yang menekankan pada kerja keras, individualitas, dan prestasi untuk produksi, ke konsumerisme, kolusi dsb. Klaim lain dikemukakan oleh Jean Baudrillard, yang mengkritisi teori Marx, yang memandang bentukbentuk dan daya produksi sebagai prinsip sentral setiap ekonomi. Menurut Jean, Disarikan oleh Elisati H. / 33212002/STEI ITB @17 September 2012 produksi dan reproduksi tidak lagi berkaitan dengan benda-benda, tetapi makna. Contohnya: iklan rokok yang tidak lagi menonjolkan bendanya, tetapi memuat makna yang dicapai seperti kemapanan hidup dan maskulinitas dunia didominasi “simulakrum”, konsep yang mewakili tiadanya lagi batas antara yang nyata dan yang semu. Contoh: Dysneyland, yang membuat segala sesuatu bersifat futuristik, mimpi-mimpi. Irasionalitas perilaku konsumtif, orang-orang rela antri berjam-jam, membayar puluhan dolar hanya untuk memuaskan nafsu, insting, dorongan dan impuls. Kolektivitas bersifat semu. Kemudian terpecah menjadi individu-individu yang menjemukan, dengan rutinitas itu-itu saja. Ini adalah sebuah simulakrum. Terkait dengan kekuasaan, pemikir Frederic Jameson dan Michel Foucault menyatakan kekuasaan telah menyebar pada institusi mikro seperti sekolah, institusi agama, penjara, partai politik, dsb. Masing-masing memiliki mekanisme kuasanya sendiri-sendiri. Misalnya di sekolah, otoritas pendidikan selain memberikan pengetahuan, juga menggali pengetahuan tentang muridnya untuk bisa menguasai mereka. Para murid diuji, diobservasi, di-psikotes untuk bisa diklasifikasikan. Selain itu, gerakan isu perjuangan kesetaraan gender, hak konsumen, hak suku terasing, lingkungan hidup semakin muncul. Hal ini, menurut Jameson, menunjukkan masyarakat sosialis (yang menurut Marxis) sudah tidak lagi relevan alias usang. Penjelasan posmodernisme yang lengkap dikemukakan oleh Jean Francois Lyotard, di bukunya The Postmodern Condition (1984). Modernisme, menurutnya, muncul dengan menggeser narasi-narasi spiritual ttg takdir manusia ke narasi yang lebih sekular, tapi masih senafas dengan narasi spiritual. Posmodernisme tidak percaya pada narasi-narasi raksasa yang sifatnya universal dan esensialis. Kesatuan sejarah digeser dengan kemajemukan sejarah lokal yang tidak bisa diletakkan di bawah satu payung narasi raksasa. 9. Epistemologi dan Filsafat Ilmu Pengetahuan Epistemologi merupakan cabang filsafat yang mengkaji hakikat pengetahuan khususnya empat pokok persoalan pengetahuan seperti keabsahan, struktur, batas dan sumber. Berbeda dengan ontologi yang mengkaji apa yang ada, epistemologi mengkaji pengetahuan apa yang ada. Descartes, menganut ontologi dualisme, karena memetakan semesta menjadi 2 substansi ontologis yaitu res cogitans (kesadaran) dan res extensa (materi). Keyakinan ini membangun struktur subjekobjek dalam pemikiran epistemologisnya, dimana manusia sebagai subjek yang berhadapan dengan semesta sebagai objek. Epistemologi dan filsafat pengetahuan muncul dari pertanyaan Kant: “Apa yang dapat saya ketahui”. Kedua cabang filsafat, sesungguhnya sama-sama mengkaji permasalahan seputar pengetahuan. Perbedaannya, epistemologi mengkaji pengetahuan dalam arti seluas-luasnya termasuk pengetahuan sehari-hari. Sedangkan filsafat ilmu pengetahuan, berurusan dengan pengetahuan ilmiah atau sains. Perbedaan ini melibatkan permasalahan metodologis, kebenaran antara ilmu pengetahuan dengan pengetahuan sehari-hari, dimana kebenaran sains memerlukan cara kerja yang ketat untuk memperolehnya. Filsafat pengetahuan mendasarkan dirinya pada epistemologi, khususnya pada keabsahan pengetahuan. Keabsahan pengetahuan dibagi menjadi 3 teori kebenaran yaitu 1. korespondensi, yaitu adanya keselarasan antara ide dengan semesta luar, kebenarannya bersifat empiris-induktif. Menghasilkan ilmu-ilmu empiris seperti: fisika, kimia, biologi, sosiologi Disarikan oleh Elisati H. / 33212002/STEI ITB @17 September 2012 2. koherensi, yaitu adanya keselarasan antara pernyataan logis, kebenarannya bersifat formaldeduktif. Menghasilkan ilmu-ilmu abstrak seperti: matematika dan logika 3. Pragmatis, yaitu adanya kriteria instrumental atau kebermanfaatan, kebenarannya bersifat fungsional. Menghasilkan ilmu-ilmu terapan seperti: ilmu kedokteran Filsafat ilmu pengetahuan melandaskan dirinya pada teori korespondensi, dimana kebenaran ilmu pengetahuan adalah kebenaran ilmiah-empiris, yang diperoleh melalui metode yang cukup ketat. Selain kedua bidang filsafat di atas, ada dua bidang filsafat lagi yang berada dalam wilayah pengetahuan dalam sistematika filsafat, yaitu logika dan metodologi. Logika, adalah cabang filsafat yang memusatkan kajiannya pada problema formal dan spesifik keteraturan penalaran. Berurusan dengan pengetahuan formal-apriori (apriori: pengetahuan yang hanya berdasarkan definisi, bukan pengalaman), bukan pengetahuan empiris-aposteriori (aposteriori: pengetahuan yang hadir setelah pengalaman, setelah didukung oleh data-data empiris). Hubungan antara logika dan filsafat pengetahuan terletak pada konteks penemuan dan pembuktian kebenaran ilmu pengetahuan. Logika digunakan untuk memperoleh dan membuktikan kebenarannya, yaitu logika induksi (yaitu penalaran dari fakta2 konkrit menuju kesimpulan umum) dan deduksi (yaitu penalaran dari kesimpulan umum menuju ke hal-hal yang spesifik). Medotologi merupakan cabang filsafat yang mengkaji langkah-langkah untuk memperoleh pengetahuan ilmiah. Kompleksitas problematika membutuhkan bidang ini agar penelaahan filosofis dilakukan secara kritis dan mendalam. 10. Filsafat, Ilmu Pengetahuan, dan Filsafat Ilmu Pengetahuan Berikut deskripsi filsafat, ilmu pengetahuan dan filsafat ilmu pengetahuan, Filsafat Ilmu Pengetahuan Filsafat Ilmu Pengetahuan Menggunakan penalaran Menerangkan gejala-gejalan Mencoba melakukan yang kritis, refleksif dan secara ilmiah pendekatan kritis dan integral mendasar tentang pemerolehan ilmu pengetahuan, langkahlangkahnya untuk mencapai kebenaran ilmiah Tidak berhenti pada Tujuannya mencoba Mencoba mengkaji ilmu penampakan, tetapi secara menjelaskan gejala-gejala pengetahuan dari segi cirikritis mencapai hakikatnya secara relasional ciri dan cara2 pemerolehannya Untuk mencapai Menggunakan metode, yaitu Membongkar asumsihakikatnya, menggunakan langkah-langkah dalam satu asumsi yang tadinya metode kritis, metode urutan metodologis yang diterima begitu saja dalam intuitif, metode geometris, ketat untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. metode fenomenologis, penjelasan yang seobjektif dsb, dimana semuanya mungkin tentang semesta. bersifat kritis, refleksif dan integral. Objek kajian: semesta Objek kajian bergantung Objek kajian: ilmu dalam arti seluas-luasnya. pada displin ilmu yang ada. pengetahuan Contoh: melihat manusia Disiplin ilmu biologi, sosiologi Disarikan oleh Elisati H. / 33212002/STEI ITB @17 September 2012 secara integral dengan alam semesta yang meliputinya, tidak terkotak-kotak. dan antropologi menjadikan manusia jadi objek kajiannya, tetapi dari sudut pandang yang berbeda-beda. Memandang semesta cenderung terkotak-kotak, dan tidak bersifat kritis. 11. Pengetahuan Ilmiah dan Pengetahuan Nonilmiah Deskripsi pengetahuan ilmiah dan non ilmiah Item Pengetahuan Ilmiah Tujuan Cara pemerolehan deskripsi (menjelaskan gejala-gejala) eksplanasi (hubungan kausal) prediksi (lewat data-data objektif untuk memprediksi gejala-gejala yang muncul) metodis (melalui jalan tertentu, dan hasilnya harus dapat dipertanggungjawabkan-verifikasi dan falsifikasi) sistematis (mengikuti urut-urutan yang ketat) objektif (bebas nilai) Pengetahuan NonIlmiah atau eksistensial bertahan hidup dalam kehidupan sehari-hari (pragmatis) warisan budaya tradisi metode tidak menjadi masalah pernyataan ambigu, kabur dan tidak objektif 12. Ilmu Pengetahuan sebagai Proses Ilmu pengetahuan memiliki apa yang disebut sebagai piramida ilmu pengetahuan. Disebut piramida karena proses yang mengerucut dimana ujung proses adalah sebuah teori yang bersih dari kontaminasi keseharian yang kabur dan ambigu. Proses tersebut dibagi menjadi empat tahap: 1. Pengetahuan bertitik tolak dari pengalaman sehari-hari yang cukup luas dan cenderung variatif 2. Pengalaman sehari-hari tersebut harus mengalami pemurnian. Pertama pemurnian dari pengalaman perseptual (persepsi), untuk secara terkendali mendapatkan titik fokus melalui observasi. Kedua, pemurnian dari bahasa sehari-hari, menjadi konsep-konsep yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. 3. Mencari keteraturan dalam gejala-gejala dengan membentuk proposisi kondisional p q untuk mendeskripsikan relasi kausalistik antara gejala-gejalan melalui metode induksi. Sejauh proposisi kondisional belum terbukti secara empiris, ia masih berupa suatu hipotesis (yaitu proposisi yang berisikan hubungan antara gejala-gejala bersifat sementara menunggu untuk dibuktikan). 4. Memperoleh hukum yang menunjukkan keteraturan gejala-gejala, yaitu memperoleh pembenaran ilmiah suatu proposisi melalui verifikasi yang ketat 5. Pembentukan teori, yaitu seperangkat eksplanasi yang menggambarkan bulat-lonjongnya dunia. Terdapat dua sikap, yaitu realis (meyakini bahwa teori merupakan cermin sempurna dunia) dan antirealis (meyakini bahwa mengkonstruksi teori untuk mempermudah pemahaman akan dunia atau untuk kepentingan instrumental berupa kontrol dan prediksi). Disarikan oleh Elisati H. / 33212002/STEI ITB @17 September 2012