1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemeliharaan itik

advertisement
1
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pemeliharaan itik dipeternakan rakyat tergolong sulit karena kondisi kandang
harus menyesuaikan dengan kebutuhan itik yang tergolong unggas air, kebutuhan
air bagi itik sangatlah tinggi disebabkan karakter struktur tubuh, sifat alamiah dan
fisiologisnya. Kekurangan air akan menyebabkan kesulitan dalam pengaturan suhu
tubuh itik sehingga dapat berdampak terhadap stres.
Pemeliharaan itik tanpa kolam air atau dikenal dengan sistem pemeliharaan
minim air sedang dikembangkan Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran.
Minim air menjadi masalah tersendiri dalam proses budidayanya. Salah satu
masalah utama yang menarik dikaji adalah stres oksidatif, apalagi itik tersebut
dipelihara dengan suhu lingkungan > 250C yaitu (28 – 320C). Stres oksidatif bagi
itik yang dipelihara dengan sistem minim air, dapat disebabkan oleh dua faktor,
yaitu stres psikis karena kehilangan kebiasaan berendam/berenang di kolam air, dan
kedua stres panas karena pemeliharaan pada lingkungan seperti umumnya
temperatur lingkungan di Indonesia, sebagai negara tropis.
Cekaman stres pada ternak menstimulasi meningkatnya radikal bebas sebagai
produk sampingan dari proses katabolisme nutrien menjadi ATP. Radikal bebas
melalui jalur phosphorilasi oksidatif di mitokondria adalah jenis reactive oxygen
species (ROS), dan melalui jalur glukoneogenesis di sitoplasma adalah asam urat
(jika kadar berlebih).
Radikal bebas baik dari jenis ROS, maupun asam urat bersifat reaktif.
Kereaktifan radikal bebas menyebabkan kerusakan protein dalam sel, misalnya
enzim, protein reseptor, protein transpor dan hormon. Kerusakan protein-protein
2
tersebut disebabkan karena radikal bebas menyebabkan mutasi atau modifikasi
susunan nukleat protein-protein tersebut. Secara alamiah di dalam kromosom pada
setiap inti sel-sel hati, otot, otak, ginjal, darah dan sebagainya telah mengandung
DNA atau gen yang tergolong chaperone. Gen ini disebut dengan gen heat shock
protein (gen HSP).
HSP bertanggung jawab untuk mencegah dan memperbaiki kerusakankerusakan protein. Namun, meskipun demikian HSP tidak mampu mengendalikan
keadaan normal kembali dalam keadaan stres yang cukup berat dalam keadaan
singkat ataupun berkepanjangan, atau bahkan stres ringan yang kronik. Keadaan
ini berdampak terhadap performans ternak yaitu penurunan feed intake, immunitas,
produksi dan bahkan kerugian ekonomi.
Diperlukan upaya penanggulangan stres melalui pakan, agar gen HSP tidak
diekspresikan secara berlebihan.
Pemberian feed additive yang mampu
menanggulangi stres dan ekspresi gen HSP menjadi rendah, menunjukan satu
indikator bahwa feed additive tersebut berfungsi baik dalam menanggulangi stres
terutama terhadap senyawa radikal bebas.
Minyak buah makassar (MBM) merupakan salah satu alternatif yang baik
karena MBM mengandung asam linoleat yang tinggi. Diharapkan pemberian MBM
mampu menanggulangi stres yang dimaksud dan menurunkan ekspresi gen HSP.
Untuk itu perlu dilakukan kajian efek MBM terhadap ekspresi gen HSP pada
penelitian ini.
1.2 Identifikasi Masalah
a. Adakah pengaruh pemberian MBM terhadap ekspresi mRNA Heat Shock
Protein (HSP) itik Cihateup pada kondisi pemeliharaan minim air dan suhu
tinggi (28 – 320C).
3
b. Adakah perbedaan ekspresi gen HSP itik Cihateup yang diberi MBM dengan
tanpa MBM, pada kondisi pemeliharaan minim air dan suhu tinggi (28 –
320C).
1.3 Maksud dan Tujuan
a. Mengetahui pengaruh pemberian MBM terhadap ekspresi mRNA Heat Shock
Protein (HSP) itik Cihateup pada kondisi pemeliharaan minim air dan suhu
tinggi (28 – 320C).
b. Mengetahui perbedaan ekspresi gen HSP itik Cihateup yang diberi MBM
dengan tanpa MBM, pada kondisi pemeliharaan minim air dan suhu tinggi (28
– 320C).
1.4
Kegunaan Penelitian
Penelitian yang dilakukan
berguna sebagai informasi ilmiah mengenai
pengaruh minyak buah makassar yang mengandung linoleat terhadap ekspresi gen
mRNA HSP. Penelitian yang dilakukan diharapkan dapat diperoleh rekomendasi
pemberian minyak buah makassar pada itik cihateup sehingga dapat berproduksi
optimal dalam kondisi lingkungan minim air.
1.5 Kerangka Pemikiran
Pemeliharaan itik dengan kondisi minim air akan mempermudah peternak
dalam mengelola peternakan itik tersebut, namun itik yang mengalami perubahan
kondisi lingkungan tidak sesuai dengan kondisi alamiahnya akan mengalami stres
yang dapat disebabkan kondisi pemeliharaan minim air sehingga performans itik
menurun, air tersebut dibutuhkan itik tidak hanya untuk kebutuhan minum saja
namun juga untuk menjaga suhu tubuh atau thermoregulasi.
4
Beban stres berlebih baik karena suhu maupun oleh psikis (kehilangan
kebiasaan berendam di air) menyebabkan sistem syaraf pusat (CNS) aktif secara
terus menerus dalam mengirimkan sinyal kepada target-target organ untuk
melakukan homoestasis (Franco-Jimenez dkk., 2007; Tan dkk., 2010). Hormon
merupakan salah satu senyawa penyinalan yang akan memberikan efek serangkaian
reaksi (kaskade sinyal) kepada organ target (Tan dkk., 2010).
Respon ditingkat selluler yang ditimbulkan merupakan dampak penyinalan
hormonal. Respon ini adalah reaksi-reaksi biokimiawi yang bertujuan agar fungsi
normal sel dapat dipertahankan (Franco-Jimenez dkk., 2007).
Stres telah
menimbulkan serangkain reaksi di seluruh organel sel. Membran sel, nukleus,
sitoplasma, ribosom dan mitokondria memiliki peran yang sangat penting dalam
mempertahankan homoestasis sel.
Dampak pertahanan sel terhadap stres, terutama menimbulkan potensi
bioenergetik berlebihan (Won dkk., 2012). Burdick dkk. (2011) mengemukakan
bahwa reduksi dan oksidasi molekul dan ion H meningkat tajam, begitupula
terhadap kebutuhan oksigen. Oleh karena itu, dampak negatif yang besar terjadi
pada ternak yang stres (panas dan psikis), diikuti dengan hipoxia (kekurangan
oksigen). Araujo dkk. (1998) dan Uppu dkk. (2010) menunjukan peningkatan
aktivitas enzim citokrom dan ATPase dalam kondisi stres, serta Turrens (2003)
menunjukan peningkatan radikal bebas (OH-, O2-, H2O2) secara signifikan.
Aktivitas radikal bebas dan dampaknya telah dilaporkan oleh Shin dkk.
(2010), antara lain mencegah sintesis dan transkripsi DNA hingga translasi protein,
melalui aktivitas pengikantannya dengan sisi aktif enzim polimerase. Polimerase
merupakan enzim yang berperan dalam pemanjangan polimer asam nukleat.
Aktivitas radikal bebas yang berlebihan, pada gilirannya menyebabkan organisasi
sel menjadi berhenti dan berakhir dengan apoptosis sel (kematian sel).
5
Secara alamiah dan dalam batas toleransi fisiologik, peningkatan radikal
bebas secara bersamaan menimbulkan signal kimiawi bagi protein transduksi
(protein penyinal) yang berada dimembran nukleus untuk mengaktifkan faktor
transkripsi untuk mencetak RNA gen heat shock protein (HSP) (Milne dkk., 2012;
Silver dkk., 2012). Kebanyakan dari HSP adalah molekul chaperones. Chaperones
didefinisikan sebagai Protein yang terikat dan menstabilkan konformasi protein lain
yang tidak stabil dengan pengikatan dan pelepasan secara terkontrol sehingga tepat
sasaran secara in vivo; dengan mengikatnya pada pertemuan oligomeric,
mentransport ke bagian khusus subseluller atau melalui degradasi (Hartl, 1996).
Sun dkk.
(2007) melaporkan peningkatan ekspresi HSP disertai dengan
peningkatan heat stress.
Hasil penelitian lain melaporkan peningkatan gen HSP, pada ternak ayam
petelur yang mengalami cekaman penyakit dan cekaman psikis (Franco-Jimenez
dkk., 2007), pada babi yang tercekam panas (Van Milgen dkk., 2003), dan pada
broiler (Sun dkk., 2007).
Hubungan yang kuat antara peningkatan radikal bebas (ROS dari phosporilasi
oksidatif) dan uric acid, dengan ekspresi gen HSP telah dilaporkan oleh Van Milgen
dkk. (2003) bahwa konsentrasi radikal bebas menginduksi gen HSP. Sun dkk.
(2007) menunjukan hubungan yang kuat terhadap peningkatan stres dengan
ekspresi gen HSP, serta Milne dkk. (2012) melaporkan peningkatan ekspresi gen
HSP dengan peningkatan cekaman stres, yang distimulasi oleh radikal bebas.
Hubungan kuat penyinalan yang ditransmisikan oleh ion-ion radikal bebas
terhadap ekpresi gen HSP seperti yang telah dilaporkan dari penelitian-penelitian
sebelumnya, maka solusi yang efektif dan efisien adalah mengurangi level radikal
bebas yang dihasilkan sebagai dampak cekaman stres. Minyak buah makasar
6
(MBM) yang diisolasi dari buah makasar, merupakan salah satu feed additive
fitopharmaka yang dapat digunakan untuk mengurangi radikal bebas.
Hasil analisis komposisi kimia minyak buah makasar (MBM) menggunakan
GC-MS menunjukan bahwa terdapat dua kelompok senyawa di dalamnya yaitu
asam lemak dan senyawa organik lainnya. Asam lemak yang paling banyak
terkandung dalam minyak buah makasar adalah asam linoleat atau cis-9, 12
octadecadienoic acid CH3-(CH2)4-(CH=CH-CH2)2 -(CH2)6-COOH, yaitu sebesar
52,89%. Asam linoleat atau dikenal dengan istilah asam lemak omega 6 adalah
asam lemak yang memiliki rantai karbon sebanyak 18 dan mengandung dua ikatan
rangkap dcs pada posisi 9 (C9-C10) dan 12 (C12-C13) dengan isomer geometris cis.
Ikatan rangkap ini menyebabkan asam linoleat disebut asam lemak tidak jenuh
(Murhadi, 2005).
Asam linoleat memiliki aktivitas antioksidan (anti radikal bebas) yang akan
merespon dan melakukan pertahanan dengan cara menyerang radikal bebas melalui
pengikatan ion OH-, O2- dan H2O2 dengan ikatan hidroxil pada asam lemak linoleat
(F. Y. Long dkk., 2012) dan (F. Y. Long dkk., 2011). Asam linoleat konsentrasi
yang rendah dapat membunuh dan mencegah pertumbuhan sel kanker kulit,kolon
secara in vitro.
Hal ini kemungkinan karena aktivitas antioksidan dari asam
linoleat. Selain itu asam linoleat dapat pula memodifikasi aktivitas enzim-enzim
yang berhubungan dengan karsinogenesis seperti protein kinase (Pariza, 2004).
Shin dkk. (2010) melaporkan penurunan aktivitas mRNA gen HSP ternak
yang diberi antioksidan.
Hasil ini menunujukkan kemampuan antioksidan
mengikat radikal bebas sehingga penghambatan terhadap translasi protein dan
aktivitasnya terhadap kerusakan sel juga berkurang, ini sebabnya HSP tidak
diperlukan dalam melindungi protein dan sel secara keseluruhan. Fesler (2013)
mengemukakan asam linoleat memiliki aktivitas yang tinggi sebagai antioksidan,
7
oleh karena itu mampu mengurangi radikal bebas dan memperbaiki metabolisme
secara keseluruhan.
Berdasarkan uraian sebelumnya maka dapat ditetapkan hipotesis bahwa
pemberian MBM mampu menurunkan ekspresi gen HSP pada itik yang dipelihara
pada kondisi minim air, dibandingkan tanpa pemberian MBM.
1.6
Waktu dan Lokasi Percobaan
Penelitian dilaksanakan
pada bulan Nopember sampai Desember 2015.
Pemeliharaan itik dilakukan di kandang percobaan Laboratorium Ternak Unggas
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran.
Analisis ekspresi gen mRNA
dilaksanakan pada bulan Desember di Laboratorium Riset dan Pengujian Fakultas
Peternakan Universitas Padjadjaran.
Download