STUDI FAKTOR PENYEBAB KEMISKINAN DAN MEKANISME PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI INDONESIA (Makalah) Oleh : Sigit Prasetyo MAGISTER ILMU EKONOMI FAKULTAS ILMU EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS LAMPUNG 2013 I. PENDAHULUAN Nugroho & Dahuri, 2004:165-168 menyatakan kemiskinan merupakan kondisi absolut dan relatif yang menyebabkan seseorang atau kelompok masyarakat dalam suatu wilayah tidak mempunyai kemampuan untuk mencukupi kebutuhan dasarnya sesuai dengan tata nilai atau norma tertentu yang berlaku di dalam masyarakat karena sebab-sebab natural, kultural dan struktural. Kemiskinan natural disebabkan keterbatasan kualitas sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Kemiskinan struktural disebabkan secara langsung maupun tidak langsung oleh berbagai kebijakan, peraturan, dan keputusan dalam pembangunan, kemiskinan ini umumnya dapat dikenali dari transformasi ekonomi yang berjalan tidak seimbang. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang lebih banyak disebabkan sikap individu dalam masyarakat yang mencerminkan gaya hidup, perilaku, atau budaya yang menjebak dirinya dalam kemiskinan. Dengan kata lain, seseorang dikatakan miskin jika dan hanya jika tingkat pendapatannya tidak memungkinkan orang tersebut untuk mentaati tata nilai dan norma dalam masyarakatnya. Terdapat dua pendekatan untuk mengukur tingkat kemiskinan yaitu pendekatan absolut dan pendekatan relatif. Pertama, pendekatan kemiskinan absolut, yaitu pendekatan yang memandang kemiskinan dalam suatu ukuran yang bersifat mutlak yang bermuara atau berwujud sebagai garis, titik, atau batas kemiskinan. Seseorang atau masyarakat yang tidak mampu keluar dari ukuran-ukuran tersebut dikelompokkan sebagai miskin. Ukurannya antara lain berupa tingkat pendapatan, pengeluaran atau konsumsi, atau kalori seseorang atau keluaga dalam satu waktu tertentu dan hal-hal yang disetarakan dengan ukuran tersebut. Pendekatan absolut lebih mudah diterapkan karena hanya memban-dingkan saja dengan batasan yang dikehendaki (Nugroho & Dahuri, 2004:169). Kemiskinan absolut dapat diartikan pula sebagai suatu keadaan dimana tingkat pendapatan absolut dari suatu orang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, seperti pangan, sandang, pemukiman, kesehatan dan pendidikan. Besarnya atau dimensi masalah kemiskinan absolut tercermin dari jumlah penduduk yang tingkat pendapatan atau tingkat konsumsinya berada di bawah “tingkat minimum” yang telah ditetapkan (Ahluwalia, 1974:10 dalam Wie, 1981:6). Kedua, pendekatan kemiskinan relatif, yaitu pendekatan yang memandang kemiskinan dalam suatu ukuran yang dipengaruhi ukuran-ukuran lainnya yang berhubungan dengan proporsi atau distribusi. Ukurannya berasal dari ukuran absolut namun lebih ditekankan pada proporsi relatif. Misalnya garis kemiskinan adalah 20% pendapatan terendah, median dari distribusi pendapatan dan lan-lain (Nugroho & Dahuri, 2004:169). Berdasarkan konsep kemiskinan relatif ini garis kemiskinan akan mengalami perubahan bila sekiranya seluruh tingkat kehidupan masyarakat mengalami perubahan. Hal ini jelas merupakan perbaikan dari konsep kemiskinan mutlak/absolut. Kelemahan konsep ini justru terletak pada sifatnya yang dinamis. Secara implisit akan terlihat bahwa “kemungkinan kimiskinan akan selalu berada di antara kita”. Dalam setiap waktu akan selalu terdapat sejumlah penduduk dari total penduduk yang dapat dikategorikan sebagai miskin. Sehingga berbeda dengan konsep kemiskinan absolut jumlah orang miskin tidak mungkin habis sepanjang zaman (Esmara, 1986:293). BPS (2012) menyatakan untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Metode yang digunakan adalah dengan menghitung garis kemiskinan (GK) yang terdiri dari dua komponen, yaitu garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan bukanmakanan(GKBM). Penghitungan GK dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. GKM merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kilo kalori per kapita perhari. Sedangkan GKBM adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Garis kemiskinan di Indonesia diwujudkan dalam bentuk besarnya nilai rupiah pengeluaran per kapita setipa bulan untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan dan nonmakanan yang dibutuhkan oleh seorang individu untuk tetap berada pada kehidupan yang layak (BPS, 2011b). Jika seseorang memiliki penghasilan (konsumsi) tiap bulan dibawah garis kemiskinan tersebut, maka ia dianggap miskin. Garis kemiskinan Indonesia tahun 2005-2010 seperti terlihat pada gambar 6.13. Rata-rata garis kemiskinan Indonesia 2005-2010 adalah Rp 175.145,- dengan rata-rata pertumbuhan 9.70%. Gambar 6.13 Garis Kemiskinan di Indonesia Tahun 2005-2010 (Rupiah) 250000 Garis Kemiskinan 200000 150000 100000 50000 0 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Sumber: BPS, (2011a) Penduduk miskin menurut BPS (2011a) penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita perbulan di bawah garis kemiskinan. Penghitungan persentase penduduk miskin yang berada di bawah garis kemiskinan menggunakan metode Head Count Index (HCI). Persentase penduduk miskin di Indonesia periode 2005-2010 seperti terlihat pada ganbar 6.14. Berdasarkan data pada gambar teresebut, rata-rata pertumbuhan persentase penduduk miskin di Indonesia periode 2005-2010 adalah (3,28%). Ini berarti semakin tahun jumlah keluarga miskin di Indonesia semakin menurun. Persentase Gambar 6.14 Persentase Penduduk Miskin Di Indonesia Tahun 2005-2010 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Sumber: BPS, 2011a (diolah) Untuk memahami kondisi kemiskinan di Indonesia juga perlu dilihat besarnya nilai indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan. Menurut BPS (2011a) Indeks Kedalaman Kemiskinan merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, maka semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan. Sedangkan Indeks Keparahan Kemis-kinan memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, maka semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin. Nilai indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan di Indonesia tahun 2005-2010 seperti terlihat pada ganbar 6.15. Berdasarkan data pada gambar tersebut, rata-rata partumbuhan indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan masingmasing adalah 2.78 dan 0.77. Sedangkan rata-rata partumbuhannya masing-masing adalah (-3.63) dan (-3.83). Data ini menunjukkan bahwasemakin tahun persentase penduduk miskin semakin menurun. Gambar 6.15 Indeks Kedalaman Kemiskinan Dan Indeks Keparahan Kemiskinan di Indonesia Tahun 2005-2010 4.00 Angka Indeks 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 2005 2006 2007 Indek Kedalaman Kemiskinan 2008 2009 2010 Indek Keparahan Kemiskinan Sumber: BPS, (2011a) Gambar 6.16 Persentase Penduduk Miskin Beberapa Negara Anggota ASEAN Tahun 2009 (%) Penduduk Miskin (%) 30 25 20 15 10 5 0 Indonesia Malaysia Filipina Thailand Vietnam Sumber: World Bank, (2012) http://data.worldbank.org/indicator/SI.POV.NAHC Catatan: Brunei DS, Kamboja, Laos, dan Singapura tidak tersedia data World Bank (2012) mendefinisikan tingkat kemiskinan nasional sebagai persentase dari populasi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional. Berdasarkan kriteria Word Bank tersebut, di Asean persentase rata-rata penduduk miskin Indonesia tahun 2009 masih lebih tinggi dibandingkan Malaysia dan Thailand (gambar 6.16). Berdasarkan fakta diatas, tulisan ini mencoba mengetahui apa sebenarnya faktor penyebab kemiskinan yang ada di Indonesia berdasarkan berbagai hasil literatur pustaka dan penelitian yang dilakukan oleh para pakar dan pandangan penulis. Pemahaman tentang factor penyebab kemiskinan ini merupakan upaya yang tepat untuk menemukan cara menguarangi kemiskinan tersebut (poverty alliveation). Karena kemiskinan merupakan “lingkaran setan” (virtuous circle) yang hanya bisa di putus jika kita benar-benar mengetahui dengan tepat di mana memulai untuk memutusnya. II. PEMBAHASAN 2.1. Faktor Penentu Kemiskinan Di Indonesia a. Tingkat Pendidikan Yang Ditamatkan Penduduk (EDU) Hasil penelitian Cameron (2000:175-176) tentang kemiskinan di Jawa yang menyimpulkan bahwa pengurangan kemis-kinan diasosiasikan dengan meningkatnya pencapaian pendidikan dan peningkatan penda-patan dari tenaga kerja terdidik. Hasil penelitian Sukherman (2001:47-64) juga menunjukkan kemiskinan di Jawa Barat dipengaruhi oleh besarnya angka persentase angka melek huruf. Hasil penelitian lain yang berbeda dengan penelitian ini adalah hasil penelitian Niskanen (1996:1-16) menunjukkan kemiskinan di AS menurun seiring meningkatnya pendidikan penduduk. Hal yang sama juga diperoleh dari hasil penelitian Islam (2003:1-15) yang dilakukan di 23 negara berkembang menunjukkan kemiskinan dapat berkurang seiring dengan meningkatnya pendidikan (menurunnya persentase buta huruf). Hasil penelitian ini juga berlawanan dengan hasil penelitian Balisacan et.al (2003:329-351) yang menunjukkan bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi kemiskinan. Dalam hal ini persentase orang dewasa yang bisa membaca dan menulis mempengaruhi pengurangan kemiskinan sebesar 0,129%. b. Pendapatan Per kapita Penduduk (PC) Hasil penelitian Iradian (2005:1-39) yang dilakukan pada 82 negara untuk tahun 1965-2003. Hasil penelitian-nya menunjukkan bahwa tingginya pertumbuhan pendapatan per kapita tidak akan terlalu berdampak apabila tidak disertai dengan perbaikan dalam hal distribusi pendapatan. Peru-bahan pendapatan per kapita mempunyai pengaruh yang negatif terhadap kemiskinan. Hasil penelitian ini mengisyaratkan bahwa peningkatan pendapatan per kapita dan pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai oleh Indonesia hanya dinikmati oleh sebagian kecil penduduk. Sementara sebagian besar penduduk yang saat ini hidup dalam kemiskinan tidak menikmati capai tersebut. Dengan kata lain meskipun ekonomi tumbuh dengan baik, tetapi mereka tetap berada dalam kemiskinan. Peningkatan kontra prestasi (gaji, honor, upah, dan bentuk lain) yang selama ini terjadi di Indonesia hanya dinikmati oleh sebagai orang. Peningkatan kontra prestasi tersebut tidak sampai menyentuh pada kelompok yang barada pada garis kemisikinan. Kondisi di atas juga sejalan dengan hasil penelitian Rifa’i (2010:317-327) yang menunjukkan bahwa telah terjadi ketimpangan pendapatan di Kota Bandar Lampung dan Kota Metro Lampung. Dimana kenaikan pendapatan per kapita hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil penduduk di kedua kota tersebut. Sementara sebagian besar penduduk masih tetap dalam kondisi miskin karena tidak memiliki kemampuan untuk mengakses peningkatan pendapatan per kapita tersebut. Namun demikian hasil penelitian ini berlawan dengan hasil peneltian Balisacan et.al (2003:329-351) yang menunjukkan bahwa partumbuhan ekonomi mempengaruhi kemiskinan. Dalam hal ini pendapatan (standar hidup) orang miskin akan meningkat 7,74% sejalan dengan kenaikan 10% pendapatan pada tingkat kabupaten/kotamadya. Selain itu hasil penelitian Niskanen (1996:1-16) menunjukkan kemiskinan di AS menurun seiring meningkatnya penda-patan per kapita. Hasil penelitian ini juga berbeda dengan hasil penelitian Sukherman (2001:47-64) yang menunjukkan kemiskinan di Jawa Barat dipengaruhi oleh besarnya PDRB per kapita. c. Rasio Ketergantungan Penduduk Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Rifa’i (2010:317-327) yang menunjukkan kemiskinan di Kota Bandar Lampung dan Kota Metro Lampung dipengaruhi oleh rasio ketergantungan penduduk. Besarnya penduduk yang beraktifitas sebagai ibu rumah tangga, menganggur, dan sedang sekolah akan semakin memperbesar rasio ketergantungan penduduk di Kota Bandar Lampung dan Kota Metro. Apalagi hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan tidak berpengaruh signifikan terhadap pengurangan faktor penyebab kemiskinan. Artinya jikalau nantinya penduduk yang saat ini sedang sekolah (SLTP/SMU/Diploma/Sarjana) telah lulus, maka kehadiran mereka tidak akan membantu mengurangi faktor penyebab kemiskinan. Tetapi kehadiran mereka justru akan menambah besar nilai rasio ketergantungan. Dengan kata lain kemungkinan mereka untuk menjadi pengangguran lebih besar karena sistem pendidikan yang ditenggarai tidak memiliki link and match dan miskin praktek/keterampilan. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Knowles (2002:1) yang menyatakan bahwa meningkatnya rasio ketergantungan akan meningkatkan proporsi populasi yang hidup dalam kemiskinan. Angka kelahiran yang tinggi berimplikasi pada tingginya rasio ketergantungan. Negara-negara berkembang di Asia yang sukses mengurangi angka kelahiran, maka rasio ketergantungannya relatif rendah. Selain itu juga hasil penelitian Islam (2003:1-15) yang dilakukan di 23 negara berkembang menunjukkan hasil yang sama yaitu kemiskinan akan meningkat seiring dengan meningkatnya rasio ketergantungan. Hasil penelitian Sukherman (2001:47-64) juga menunjukkan kemiskinan di Jawa Barat dipengaruhi oleh besarnya angka kematian bayi dan angka total fertilitas yang dapat memicu naikya angka rasio ketergan-tungan. Faktor penyebab munculnya rasio ketergantungan adalah adanya tingkat kelahiran (fertilitas) yang tinggi. Word Bank (1978) menyatakan penyebab kemiskinan adalah adanya ledakan penduduk (population growth) yang tidak terkendali karena ledakan penduduk akan menyebabkan rasio ketergantungan (dependency ratio) yang tinggi. Sementara itu Malthus (1798) dalam Todaro (2000:268) menyatakan bahwa ledakan penduduk akan menimbulkan pola hidup yang serba pas-pasan (subsisten). Sedangkan pemikiran neo-Malthus menyatakan bangsa-bangsa yang miskin tidak akan pernah berhasil mencapai taraf hidup yang lebih tinggi dari tingkat subsisten, kecuali apabila mereka mengadakan pemeriksaan pengendalian preventif (preventive checks) terhadap pertumbuhan populasi mereka, atau dengan menerap-kan pengendalian kelahiran. Nilai rata-rata total vertility rate (TVR) Indonesia tahun 2010 adalah 2,5. Artinya setiap keluarga memiliki tiga orang anak yang berarti dalam satu keluarga akan terdiri dari lima jiwa. Semakin besar jumlah anak maka semakin besar jumlah tanggungan yang harus di tanggung oleh kepala keluarga. Selanjutnya semakin besar jumlah penduduk yang berusia tidak produktif maka semakin besar tanggungan yang harus di tanggung oleh penduduk usia produktif. d. Pertumbuhan Ekonomi (GRW) Hasil penelitian World Bank (1990); Fields & Jakobson (1989); Ravallion (1995) dalam Tambunan (2001:75) yang menyatakan bahwa tidak ada korelasi antara pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak mampu mengurangi munculnya kemiskinan. Karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi (growth oriented) justru hanya memicu munculnya kesenjangan pendapatan dan in-equality. Hal senada juga dihasilkan dalam penelitian Foster & Szekely (2002:1-28) yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh terhadap upaya menaikkan pendapatan penduduk miskin serta pertumbuhan ekonomi tidak bisa mengurangi gap pendapatan antara orang kaya dan orang miskin pada 185 rumah tangga dari 33 negara di Eropa, Amerika Latin, Asia, dan Kanada. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Booth (2000:73-104) yang menun-jukkan telah terjadi trade-off antara pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinan di Indonesia tahun 1985-1996 yang mengindikasikan telah terjadi ketimpangan dalam pemera-taan hasil-hasil pembangunan di Indonesia pada kurun waktu tersebut. Selain itu hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Iradian (2005:1-39) yang dilakukan pada 82 negara untuk tahun 1965-2003. Hasil penelitian Iradian menunjukkan bahwa tingginya pertumbuhan pendapatan per kapita tidak akan terlalu berdampak apabila tidak disertai dengan perbaikan dalam hal distribusi pendapatan. Perubahan pendapatan per kapita mempunyai pengaruh yang negatif terhadap kemiskinan dan semakin besar ketimpangan distribusi pendapatan (gini ratio) maka semakin besar tingkat kemiskinan. Hal senada juga dihasilkan dalam penelitian yang dilakukan Adelman & Morris (1973:6) dalam Bashri (2003). Adelman & Morris mengungkapkan tentang peran pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang dimana negera-negara tersebut bukan saja menghadapi kemerosotan dalam ketimpangan (kemiskinan) relatif akibat pertumbuhan ekonomi, tetapi juga masalah kenaikan kemiskinan absolut. Adelman dan Moris menarik kesimpulan secara umum bahwa proses pembangunan ekonomi yang growth oriented pada keadaan-keadaan ekstrem yaitu pada saat keterbelakangan ekonomi dan kemajuan pembangunan ekonomi yang tinggi, ternyata sama-sama menimbulkan keadaan yang lebih buruk bagi sekitar 60% penduduk yang tergolong miskin dan tidak adanya trickle down effect yang bersifat otomatis yang mengalirkan hasil pembangunan kepada golongan masyarakat miskin. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang selama ini dicapai oleh Indonesia ternyata tidak mampu mengurangi faktor penyebab kemiskinan. Kenaikan pertumbuhan ekonomi tersebut hanya bisa dinikmati oleh sebagian kecil orang di Indonesia. Efeknya akan memuncul-kan kemiskinan struktural dimana pertumbuhan ekonomi yang tinggi hanya bisa dinikmati oleh sebagian kecil orang kaya, sementara bagian terbesar masyarakat yang tetap miskin. Keadaan ini sesuai dengan teori “trade off between growth and equity” yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan menimbulkan ketimpangan yang semakin besar dalam pembagian pendapatan atau makin tidak merata, dan sebaliknya upaya pemerataan dapat terwujud dalam pertumbuhan ekonomi yang rendah (Todaro, 2000:206). Sebaliknya hasil penelitian ini berlawanan dengan hasil penelitian Balisacan et.al (2003:329-351) yang menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi mempengaruhi kemiskinan. Selain itu hasil penelitian ini juga berlawanan dengan pernyataan Bourguignon (2004:3-5) yang menjelaskan hubungan langsung yang mungkin terbentuk antara pembangunan, pertumbuhan dan distribusi pendapatan melalui teorinya “poverty-growth-inequality triangle”. Ia menya-takan bahwa pengurangan kemiskinan di suatu negara dan di waktu tertentu ditentukan secara penuh oleh tingkat pertumbuhan ekonomi dan perubahan distribusi pendapatan. Hubungan ini sesuai dengan teori “tricle down effect” dimana bila ekonomi tumbuh, maka secara otomatis akan terjadi pemerataan hasil-hasil pemba-ngunan atau “perembesan” ke bawah sehingga hasil-hasil pembangunan dapat dinikmati oleh kelompok miskin. Dengan demikian kaum miskin dapat keluar dari kemiskinannya. Hasil penelitian ini juga berlawanan dengan pandangan Kuznets dalam Wie (1983:4) menjelaskan mengenai hubungan jangka panjang antara pertumbuhan ekonomi dan pemba-gian pendapatan yang menunjukkan bahwa proses pembangunan ekonomi pada tahap awal umumnya disertai oleh kemerosotan yang cukup besar dalam pembagian pendapatan, yang baru berbalik menuju suatu pemerataan yang lebih besar dalam pembagian pendapatan pada tahap pembangunan lebih lanjut. Hipotesis Kuznets ini berupa kurva U terbalik dimana ketika pembangunan baru dimulai, distribusi pendapatan akan makin tidak merata (terjadi kemis-kinan), namun setelah mencapai suatu tingkat pembangunan tertentu, distribusi pendapatan semakin merata (kemakmuran). e. Persentase Tenaga Kerja Di Sektor Pertanian (TKP) Hasil penelitian Booth (2000:73-104) yang menunjukkan bahwa kemiskinan di pedesaan di Indonesia dapat berkurang dengan meningkatkan nilai tambah hasil pertanian. Sehingga pembangunan pedesaan dan pertanian, dimana ada kenaikkan produktivitas per hektar atau pada rumah tangga, seharusnya diprio-ritaskan untuk bagian pulau di luar Jawa dan Bali dimana kemiskinan tinggi. Persentase tenaga kerja di sektor pertanian tidak mampu mengurangi factor penyebab kemiskinan karena sektor ini secara umum ditenggarai memiliki produktifitas rendah, kelebihan tenaga kerja, upah yang rendah, dan bersifat subsisten. Selain itu penelitian Ritonga (2006) juga menyatakan bahwa penduduk miskin di Indonesia pada umumnya bekerja di sektor pertanian dan mempunyai tingkat pendidikan SD kebawah. Oleh karena itu program pengentasan kemiskinan di sektor pertanian perlu diprioritaskan. Pembangunan sektor pertanian melalui revitalisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan serta pembangunan masyarakat pedesaan perlu menjadi pijakan untuk membawa masyarakat Indonesia keluar dari permasalahan kemiskinan. Namun demikian hasil penelitian ini berlawanan dengan hasil penelitian Rifa’i, dkk (2006:48) yang menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja usaha kecil yang bergerak di sektor pertanian lebih rendah jika dibandingkan dengan produktifitas tenaga kerja usaha kecil yang bergerak di sektor industri. Sehingga kehadiran tenaga kerja di sektor pertanian tidak mampu mengurangi faktor penyebab munculnya kemiskinan di Provinsi Lampung. Sementara itu Kuntjoro (2003:131) menyatakan sebuah negara miskin karena menggantungkan diri pada sektor pertanian yang subsisten, metode produksi yang tradisional, dan seringkali dibarengi dengan sikap apatis terhadap lingkungan. Sektor pertanian dianggap sebagai sektor pemicu kemiskinan karena, seperti dinyatakan oleh Lewis dalam Todaro (2000:100), sektor pertanian merupakan sektor subsisten yang kelebihan penduduk dan produktivitas marjinal tenaga kerjanya hampir sama dengan nol. Hasil penelitian lain berlawanan dengan hasil penelitian ini adalah penelitian Islam (2003:1-15) yang dilakukan di 23 negara berkembang menunjukkan kemiskinan akan mening-kat seiring dengan meningkatnya persentase tenaga kerja di sektor pertanian. Hasil yang sama juga diperoleh dari penelitian Suryahadi dan Sumarto (2003) yang menyatakan bahwa sektor pertanian adalah salah satu sumber kemiskinan dan daya tahan sektor ini lebih rentan terha-dap krisis ekonomi. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Skoufias (2000) yang menyatakan bahwa konsumsi tenaga kerja sektor industri lebih besar dari konsumsi tenaga kerja sektor pertanian. Hal ini mengindikasikan bahwa pendapatan pekerja usaha kecil yang bekerja disektor industri non pertanian lebih besar daripada penghasilan tenaga kerja usaha kecil yang bekerja disektor industri yang bergerak disektor pertanian. Fakta ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja usaha kecil yang bergerak di sektor pertanian lebih rendah jika dibandingkan dengan produktifitas tenaga kerja usaha kecil yang bergerak di sektor industri. f. Persentase Tenaga Kerja Disektor Industri (TKI) Hasil penelitian Cameron (2000:175-176) yang menyatakan bahwa pengurangan kemiskinan di Jawa diasosiasikan dengan meningkatnya peningkatan pendapatan dari tenaga kerja terdidik dan pendapatan yang didapat pekerja di luar pertanian (sektor industri). Penelitian lain yang sejalan dengan penelitian ini adalah hasil penelitian Sukherman (2001:47-64) menunjukkan kemiskinan di Jawa Barat dipengaruhi oleh besarnya angka kontribusi sektor industri terhadap perekonomian regional. Hasil penelitian Islam (2003:1-15) yang dilakukan di 23 negara berkembang juga menunjukkan kemiskinan dapat berkurang seiring dengan meningkatnya persentase tenaga kerja di sektor industri. Peran penting sektor industri dalam mengurangi faktor penyebab kemiskinan salah satunya ditunjukkan oleh hasil penelitian Skoufias (2000) yang menyatakan bahwa konsumsi tenaga kerja sektor industri lebih besar dari konsumsi tenaga kerja sektor pertanian. Hal ini mengindikasikan bahwa pendapatan pekerja usaha kecil yang bekerja disektor industri non pertanian lebih besar daripada penghasilan tenaga kerja usaha kecil yang bekerja disektor industri yang bergerak disektor pertanian. Secara umum jika seseorang yang bekerja di sektor industri memiliki tingkat konsumsi yang tinggi, maka sudah dapat dipastikan pendapatannya akan cenderung tinggi. Karena pada umumya tingkat konsumsi akan tetap berada di bawah pendapatan. Jika jika konsumsi seseorang tinggi, maka pendapatanya juga akan tinggi. Jika pendapatan seseorang tinggi, maka upaya pengurangan faktor penyebab kemiskinan akan semakin mudah diwujudkan. 2.2. Mekanisme Penanggulangan Kemiskinan Di Indonesia Mekanisme penanggulanan kemiskinan di Indonesia adalah sebagai berikut: a) Pemerintah harus mengurangi rasio ketergantungan penduduk. Peningkatan rasio ketergantungan salah satunya dapat terjadi karena ledakan penduduk yang tidak terkendali. Ledakan penduduk akan menimbulkan rasio ketergantungan anak (Child Dependency Ratio). Rasio ketergantungan anak merupakan persentase penduduk usia belum produktif (usia 0-14 tahun) terhadap penduduk usia produktif (usia 1464 tahun). Rasio ketergantungan anak digunakan untuk menunjukkan besarnya beban tanggungan penduduk usia produktif terhadap anak-anak di suatu daerah pada suatu waktu tertentu. Oleh karena itu penurunan rasio ketergantungan anak dapat dilakukan dengan mengendalikan tingkat kelahiran, misalnya melalui intensifikasi program KB, intensifikasi perawatan ibu hamil dan menyusui, pengaturan kelahiran, pengaturan batas usia menikah, dll. Peningkatan rasio ketergantungan juga dapat disebabkan karena ledakan penduduk usia lanjut (usia 65 tahun keatas). Ledakan penduduk lanjut usia akan menimbulkan rasio ketergantungan lanjut usia (Old Dependency Ratio). Rasio ketergantungan lanjut usia merupakan persentase penduduk usia lanjut (usia 65 tahun keatas) terhadap penduduk usia produktif (usia 14-64 tahun). Indikator ini digunakan untuk menggam-barkan besarnya beban tanggungan penduduk usia produktif terhadap pendudukan lanjut usia di suatu daerah pada suatu waktu tertentu. Penurunan rasio ketergan-tungan lanjut usia dapat dilakukan dengan “menjaga” agar usia produktif penduduk semakin panjang. Tindakan yang dilakukan misalnya dengan memberikan keteram-pilan kepada penduduk, peningkatan kesehatan penduduk, perbaikan gizi sejak usia dini, dll. Penuruan rasio ketergantungan ini bersifat jangka panjang. Window of opportunity merupakan ‘celah sempit’ sebagai bonus demografi, yaitu suatu kesempatan yang hanya terjadi satu kali bagi semua penduduk negara atau daerah tertentu. Kesempatan tersebut berupa tersedianya kondisi atau ukuran yang sangat ideal pada perbandingan antara jumlah penduduk produktif dengan non-produktif. Pada saat itu rasio ketergantungan adalah yang terendah, biasanya nilainya berada di bawah 50%. Untuk memunculnya window of opportunity maka Pemerintah Kota Metro dapat melakukan kebijakan transisi demografi. Transisi demografi ini dapat dilakukan dengan cara menurunkan angka kelahihan (fertility) dan angka kematian (mortality) hingga mencapai angka yang rendah, sehingga pertumbuhan penduduk mendekati nol. Proses transisi demografi ini dianggap selesai ketika nilai NRR = 1. Angka Reproduksi Netto/Net Reproduction Rate (NRR) merupakan angka yang menunujukkan rata-rata jumlah anak perempuan yang akan dilahirkan oleh seorang wanita selama masa reproduksi seandainya wanita tersebut mengikuti pola fertilitas yang berlaku pada saat angka itu dihitung, dengan memperhatikan kelangsungan hidup wanita tersebut selama masa reproduksi. Kebijakan transisi demografi yang diambil pemerintah akan dapat memunculkan dampak positif yaitu, pertama, menurunkan proporsi jumlah anak (usia 0-15 tahun) karena adanya penurunan tingkat fertilitas. Kedua, meningkatkan jumlah anak yang survived keusia dewasa, karena penurunan kematian bayi. Ketiga, terjadi ledakan penduduk usia kerja. Ledakan penduduk usia kerja ini akan lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan ledakan penduduk karena tingkat fertilitas yang tinggi. Karena ledakan penduduk yang disebabkan tingkat fertilitas yang tinggi justru hanya akan meningkatkan Rasio Ketergantungan (Dependency Ratio) dan Rasio Ketergantungan Anak (Child Dependency Ratio). Keempat, angka ketergantungan akan turun hingga mencapai titik terendah, sehingga akan memunculkan kondisi yang disebut window of opportunity. b) Pemerintah harus meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat. Upaya peningkatan pendapatan per kapita masyarakat harus diikuti dengan pemerataan pendapatan. Karena pendapatan tanpa pemerataan justru akan menimbulkan ketimpangan (inequality). Upaya pening-katan pendapatan per kapita masyarakat dapat dilakukan misalnya dengan perluasan lapangan kerja, pemberian bantuan usaha, perbaikan aturan peng-upah-an (aturan perburuhan), dll. c) Pemerintah harus meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi dapat dilakukan misalnya dengan perbaikan sarana dan prasarana usaha, pemberian bantuan usaha, penjaminan kepastian usaha, dll. d) Pemerintah harus meningkatkan persentase tenaga kerja di sektor pertanian (TKP). Peningkatan persentase tenaga kerja di sektor pertanian dilakukan dengan cara membuat sektor pertanian dapat menjadi tempat untuk menggangtungkan hidup sehingga sektor tersebut menjadi lebih menarik untuk dimasuki pekerja/calon pekerja. Cara tersebut dapat ditembuh dengan cara inten-sifikasi sektor pertanian, ekstensifikasi sektor pertanian, peningkatan/perbaikan nilai tukar petani, melibatkan petani dalam bisnis melalui kegiatan agro industri, dll. Pemerintah harus mampu merubah image bahwa sektor pertanian merupakan sektor tradisional yang kental dengan istilah produktifitas tenaga kerjanya rendah, upah rendah, sumber kemiskinan, konsumsi tenaga kerja sektor sektor pertanian lebih rendah dibandingkan konsumsi tenaga kerja sektor industri, sektor subsisten yang kelebihan penduduk, dll. Sektor pertanian harus diciptakan lebih “sexy” agar menarik untuk dimasuki dan layak dijadikan sebagai gantungan hidup. Pemerintah harus melakukan pembangunan sektor pertanian melalui revitalisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan serta pembangunan masyarakat pedesaan sebagai pijakan untuk membawa masyarakat Indonesia keluar dari permasalahan kemiskinan. e) Pemerintah harus meningkatkan persentase tenaga kerja di sektor industri (TKI). Selama ini sektor industri dianggap lebih menarik di banding sektor pertanian. Sektor industri juga lebih memberikan jaminan pendapatan per kapita yang lebih tinggi. Sektor industri juga lebih banyak menghasilkan jumlah konsumsi yang lebih tinggi. Namun serapan tenaga kerja sektor industri lebih kecil kecil dibandingkan sektor pertanian. Salah satu penyebabnya adalah sektor ini memerlukan persyaratan khusus yaitu keterampilan (skill) bagi tenaga kerjanya. Oleh karena itu upaya peningkatan persentase tenaga kerja di sektor industri dapat dilakukan dengan cara intensifikasi balai latihan kerja (BLK), intensifikasi sekolah-sekolah yang secara nyata memeiliki kompetensi keterampilan bagi lulusan (sekolah kejuruan), pendidikan vokasi, dll. Jika calon tenaga kerja ini dibekali dengan skill tertentu, maka diharapkan tenaga kerja akan lebih mudah diserap oleh dunia industri. III. KESIMPULAN a) Rasio ketergantungan penduduk berpengaruh signifikan terhadap faktor penyebab kemiskinan di Indonesia, sedangkan tingkat pendidikan penduduk, pendapatan per kapita masyarakat, pertumbuhan ekonomi, jumlah tenaga kerja di sektor pertanian, dan jumlah tenaga kerja disektor industri tidak berpengaruh signifikan. b) Upaya penanggulangan kemiskinan dapat di tempuh dengan cara menurunkan rasio ketergantungan penduduk dan meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat, pertumbuhan ekonomi, jumlah tenaga kerja di sektor pertanian, dan jumlah tenaga kerja disektor industri. c) DAFTAR PUSTAKA Aprilani, Deddy. Rifa’i, Ahmad. 2007. Pengaruh Jiwa Wirausaha dan Manajemen Usaha Terhadap Keberhasilan Usaha (Studi pada UMKM di Bandar Lampung). Laporan Penelitian Hibah DIPA PNBP Unila November 2007. Balisacan, A. & Pernia, E. & Asra, A. 2003. Revisiting, Growth and Poverty Reduction in Indonesia: What Do Subnational Data Show?. Bulletin of Indonesian Economics Studies, Vol 39. No. 3. Bashri, Yanto. 2003. Mau Ke Mana Pembangunan Ekonomi Indonesia, Prisma Pemikiran Prof. Dr. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti. Jakarta: Prenada. Berg, Hendrik Van Den. 2001. Economic Growth and Development. New York: Mc. GrowHill. BKKBN. 2010. Profil Hasil Pendataan Keluarga Tahun 2010. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. Jakarta. Booth, Anne. 2000. Poverty and Inequality in the Soeharto Era: An Assesment. Bulletin of Indonesian Economics Studies, Vol.36, No.1. Bourguignon, Francois. 2004. The Poverty-Growth-Inequality Triangle. Report on Indian Council For Research on International Eco Relations, New Delhi. BPS. 2010a. Statistik Kesejahteraan Rakyat. Badan Pusat Statistik. Jakarta. BPS. 2010b. Pendapatan Nasional Indonesia. Badan Pusat Statistik. Jakarta. BPS. 2011a. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia. Badan Pusat Statistik. Jakarta. BPS. 2011b. Berita Resmi Statistik No. 33/05/Th.XIV, 5 Mei 2011. Badan Pusat Statistik. Jakarta. BPS. 2012. Kemiskinan: Konsep dan Definisi. BPS Sulawesi Barat. http://sulbar.bps.go.id/index.php?link=stat&sub=miskin&tab=miskin_prov&jenis= 2 Brata, Aloysius G 2005. Investasi Sektor Publik Lokal, Pembangunan Manusia dan Kemiskinan. Makalah Dalam Seminar “Making Services Works for the Poor Research Competition”, Jakarta: World Bank. Cameron, Lisa A. 2000. Poverty and Inequality in Java: Examining the Impact of The Changing Age, Educational, and Industrial Structure. Journal of Development Economics, Vol. 62 (2000). Djodjohadikusumo, Sumitro. 1994. Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan. Jakarta: LP3ES. Esmara, Hendra. 1986. Perencanaan dan Pembangunan di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Foster E. James dan Szekely, Miguel. 2002. Is Economic Growth Good for the Poor? Tracking Low Incomes Using General Means. Report on Symposium on Poverty Measurement, Mexico. Gujarati, Domodar N. 2003. Basic Econometrics. Fourth Edition. McGrawHill Singapore. Hakim, Abdul. 2002. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta: Ekonisia. Hasan, M. Fadhil. 2005. Refleksi Masalah Pengangguran dan Kemiskinan. Journal of Quarterly Review of The Indonesian Economy. Vol 7 (1). Oktober. 2005. pp 1-3 Iradian, Garbis. 2005. Inequality, Poverty, and Growth: Cross Country Evidence. IMF Working Paper. Middle East and Central Asia Departement. Islam, Rizwatul. 2003. The Nexus of Economic Growth, Employment and Poverty Reduction An Empirical Analysis. Report on Seminar on Accelerating Growth and Poverty Reduction in Bangladesh. ILO, Geneva. Kimhi, Ayal. 2004. Growth, Inequality, and Labor Markets in LDCs: A Survey. Discussion Paper No. 8.04, The Hebrew Univercity of Jerussalem. Knowles, James. C. 2002. A Look at Poverty in The Developing Countries of Asia. AsiaPacific Population & Policy, No. 52, January 2000. Kuntjoro, Mudrajad. 2003. Ekonomi pembangunan, Teori, Masalah, dan Kebijakan, Edisi Ketiga. Yogyakarta: UPP AMP YKPN. Lopez, Humberto. 2004. Pro Growth, Pro Poor: Is There a Trade Off. The World Bank. Manurung, Jonni J. Manurung, Adler Haymans & Saragih, Ferdinand Dehoutman. 2005. Ekonometrik Teori dan Aplikasi. Elex Media Komputindo. Jakarta. Mubyarto. 2004. Reformasi, Teori Ekonomi dan Kemiskinan. Jurnal Ekonomi dan Bisnis. Vol. 19 No. 2. hal 107-119. Navarro, Juan. Carlos. 2002. Education and Poverty: Challenges and Reason for Optimism. Equidad, Vol. III, No. 2, October 2002, Inter-American Development Bank. Niskanen, William A. 1996. Welfare and Culture of Poverty. The Cato Jurnal, Vol. 16, No. 1. Nugroho, Iwan dan Dahuri, Rochmin. 2004. Pembangunan Wilayah, Perspektif Ekonomi, Sosial dan Lingkungan. Jakarta: LP3ES. Prasetyo, Sigit. Rifa’i, Ahmad. Aprilani, Deddy. 2007. Strategi-Bisnis Usaha Kecil Di Bandar Lampung. Laporan Penelitian Hibah PDM Dikti November 2007. Ritonga, Hamonangan. 2006. Perkembangan Indikator Kemiskinan dan Ketenagakerjaan Tahun 2004 dan Perkiraan Tahun 2005-2006. Journal of Quarterly Review of The Indone-sian Economy. Vol 7 (1). January 2006. pp 17-31. Skoufias, Emmanuel. 2000. Changes in Houshold Welfare, Poverty and Inequality During The Crisis. Bulletin of Indonesian Economic Studies. Vol 36 No. 2 Augustus. 2000. pp 97-144 Sritua Arief. 1993. Metodologi Penelitian Ekonomi. UI Press. Jakarta. Sukherman, Maman. 2001. Assosiasi Kemiskinan Dengan Peubah Sosek di Propinsi Jawa Barat, Jurnal Kependudukan Padjadjaran. Vol. 3, No. 1, Januari 2001 : 47-64. Supranto, J. 1984. Ekonometrik Buku Dua. Lembaga Penerbit FE UI Suryahadi, Asep and Sumarto, Sudarno. 2003. Poverty and Vulnerability in Indonesia Before and After Economic Crisis. Asian Economic Journal. Vol 17 No. 1. pp 45-64. www.blackwellpublishing.com/journals/asej. Sutyastie, Remi Soemitro. 2006. Korelasi Pembangunan Ekonomi, Manusia dan Kemiskinan di Indonesia. Journal of Quarterly Review of The Indonesian Economy. Vol 7 (1). January 2006. pp 5-16 Tambunan, Tulus T.H.. 2001. Transformasi Ekonomi Di Indonesia. Jakarta : Salemba Empat. Todaro, Michael P. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Edisi Ketujuh, Jilid I. Terjemahan Hasris Munandar. Jakarta: Erlangga. Wie, Thee Kian. 1983. Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan, Beberapa Pendekatan Alternatif. Jakarta: LP3ES. World Bank. 2012. Poverty Headcount Ratio at National Poverty Line (% of Population). http://data.worldbank.org/indicator/SI.POV.NAHC