1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tesis ini

advertisement
 BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tesis ini bertujuan menganalisis perilaku diskriminasi aparatur pelayanan
publik. Tema ini dilatarbelakangi maraknya keluhan publik akibat perilaku public
servant yang diskriminatif di berbagai unit pelayanan pemerintah. Dengan
mengambil lokus unit pelayanan kesehatan daerah, yakni RSUD Baruga Timur
Baru, Kab.Lama, penelitian ini berusaha membangun kerangka untuk memahami
mengapa perilaku diskriminasi dilakukan oleh aparatur dalam memberikan
pelayanan publik. Demikian hal ini penting dikaji sebagai sebuah diskursus bagi
organisasi publik baik ditinjau dari perspektif teoritis maupun empiris.
Secara teoritis, berbagai studi mengemukakan bahwa buruknya kinerja
organisasi ataupun birokrasi salah satunya disebabkan oleh adanya perilaku yang
menyimpang (Caiden, 1991; Vardi dan Wiener, 1996; Penney dan Spector, 2005).
Perilaku menyimpang dalam organisasi menciptakan perubahan aktivitas kerja
organisasi yang tidak mendukung pencapaian tujuan organisasi. Ruang pelayanan
publik sebagai suatu institusi yang menuntut kinerja pelayanan yang baik
dimungkinkan akan berkualitas rendah jika aparatur pelayanan berperilaku buruk.
Dengan
demikian,
perilaku
menyimpang
dalam
berbagai
istilahnya
(bureaupathologies/ misbehavior /misconduct/ counterproductive behavior)
menjadi penghambat organisasi dalam mencapai tujuannya.
1
Namunpun demikian, perilaku menyimpang juga bisa muncul dari pengaruh
lingkungan organisasi yang tidak sehat. Lembaga publik yang mengandung
elemen-elemen negatif baik yang berasal dari eksternal maupun internal
organisasi dapat memicu munculnya perilaku-perilaku yang tidak diharapkan. Hal
ini sejalan dengan argumen Caiden (1991) yang menilai sistem birokrasi yang
lemah dapat menyumbang hadirnya maladministrasi, karena sistem tersebut
adalah bagian dari lingkungan organisasi yang memiliki berbagai informasi yang
mampu mengadaptasikan perilaku anggotanya/aparatur (Salancik dan Pfeffer,
1978), bahkan kembali dapat menggerogoti nilai dan norma organisasi yang ada
(Vardi dan Wiener, 1996).
Dalam organisasi publik, perilaku diskriminasi muncul sebagai salah satu
perilaku menyimpang (deviant behavior) yang sudah tentu tidak terjadi dengan
sendirinya. Perilaku diskriminasi dapat terkonstruksi dari lingkungan organisasi
yang memiliki berbagai informasi. Artinya, perilaku diskriminasi yang merupakan
perilaku yang menfragmentasikan sosial atas perbedaan-perbedaan yang ada (ras,
kultur, agama, jenis kelamin, struktur sosial ekonomi, dsb) dapat dilakukan oleh
individu atau kelompok dalam organisasi dengan mengadopsi informasi dari
lingkungannya/organisasi. Konstruksi dan adopsi perilaku dari lingkungan (sosial)
ini penting dicermati karena hal tersebut telah mendahului (antecedence)
munculnya perilaku diskriminasi. Intensi (minat/niat/keinginan) melakukan
perilaku tertentu akan mudah terwujud jika pengaruh lingkungan sangat kuat
ataukah individu tidak memiliki preferensi lain yang mengendalikan perilakunya.
2 Studi mengenai perilaku diskriminasi, utamanya dalam konteks pelayanan
publik masih sangat jarang dilihat dari perspektif di atas. Studi-studi yang ada
umumnya hanya mendiskusikan indikasi atau bentuk perilaku diskriminasi yang
belum sepenuhnya mampu mengungkap berbagai hal yang memiliki andil bagi
terjadinya
perilaku
diskriminasi.
Akibatnya,
kajian
mengenai
perilaku
diskriminasi yang terjadi di unit pelayanan publik belum mampu menjawab
mengapa aktor yang melayani publik melakukan perilaku diskriminasi. Karena itu
diperlukan kajian yang dapat mengeksplorasi perilaku tersebut secara utuh
sebagaimana realitas yang ada.
Namunpun demikian ada beberapa penelitian terdahulu yang dapat menjadi
rujukan untuk mengkaji diskriminasi dalam pelayanan publik. Penelitian Keefer
dan Khemani (2004) mempertanyakan mengapa warga miskin menerima
pelayanan yang miskin di India, menemukan bahwa adanya sistem sosial yang
memfragmentasi masyarakat ke dalam kasta-kasta membuat pemerintah
melakukan diskriminasi dalam pelayanan kesehatan dan pendidikan kepada warga
negaranya melalui kebijakan yang menginternalisasi sistem sosial yang
diskriminatif tersebut. Demikian pula penelitian Sadoh, et.al. (2006) mengenai
sikap petugas kesehatan terhadap penderita HIV/AIDS di Nigeria menemukan
bahwa sikap diskriminasi petugas kesehatan terhadap penderita HIV/AIDS
disebabkan oleh adanya pengetahuan tentang potensi penularan HIV dari
penderita yang telah terinfeksi. Lalu, Quach et.al (2012) dalam penelitiannya
tentang pengalaman dan persepsi medical discrimination diantara pasien
multietnik di California menemukan bahwa dalam kaitannya dengan ras, kelas dan
3 bahasa, etnis Afrika Amerika mengalami internalized discrimination sebagai
pasien dibandingkan dengan kelompok ras/etnik lainnya. Hal tersebut terjadi
disebabkan faktor institusional dan perilaku pribadi petugas pelayanan medik.
Beberapa penelitian tersebut menunjukkan bahwa diskriminasi dapat terjadi
karena sebab yang kompleks dari lingkungan sosial pelayanan. Berbeda dengan
penelitian lainnya penelitian ini hendak mengkaji konstruksi atau adopsi perilaku
dari lingkungan pelayanan dengan mencermati munculnya intensi perilaku
diskriminasi aparatur pelayanan kesehatan.
Munculnya tema penelitian ini berawal dari banyaknya keluhan masyarakat
seputar pelayanan publik yang diwarnai perilaku diskriminasi. Institusi pelayanan
pemerintah menjadi ‘sarang’ diskriminasi yang banyak terungkap dari berbagai
penelitian maupun media massa. Satu diantaranya yang banyak mendapat sorotan
yakni unit pelayanan kesehatan dengan seringnya para petugas pelayanan
melakukan perilaku diskriminasi. Dengan berbagai pola, perilaku diskriminasi
tersebut umumnya ditimpakan kepada kaum miskin atau mereka yang berstatus
ekonomi lemah. Perilaku diskriminasi menegasikan masyarakat miskin dari
pelayanan kesehatan dan berdampak pada rendahnya derajat kesehatan
masyarakat di Indonesia.
Ketidakmampuan mengakses pelayanan dasar oleh penduduk miskin kian
meningkat pasca krisis tahun 1997. Instabilitas ekonomi politik dengan gejala
inflasi di berbagai bidang membawa pada semakin rendahnya daya beli
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti kesehatan. Berbagai faktor
seperti
perubahan
pola
penyakit,
perkembangan
teknologi,
kedokteran,
4 peningkatan harga bahan baku dan obat-obatan dan adanya inflasi di bidang
kesehatan melebihi sektor lainnya membuat biaya kesehatan menjadi tinggi dan
menjadi situasi yang mudah memicu perilaku diskriminasi. Kondisi ini
mendorong pemerintah untuk memberikan jaminan pemeliharaan kesehatan sejak
tahun 1998, sebagai upaya menanggulangi dan mencegah timbulnya dampak
sosial yang lebih luas.
Hadirnya program jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin dalam
pelayanan kesehatan memberi harapan pada teratasinya persoalan kesehatan.
Jaminan kesehatan yang diperuntukkan bagi 76,4 juta penduduk miskin yang
tersebar di seluruh Indonesia, secara perlahan diselenggarakan untuk meringankan
situasi kemiskinan, disamping terus bergerak menuju pencapaian target MDG’s
2015. Hal ini juga seiring dengan besarnya komitmen pemerintah dalam
mengembangkan jaminan kesehatan agar tersedia secara merata bagi semua
masyarakat.
Tabel 1.1.
Program Pelayanan Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin di Indonesia
No
1
Tahun
1998 – 2000
2
2001
3
2002 – 2004
4
2005 – 2008
5
2008 – sekarang
Program
Jaringan Pengaman Sosial Bid.Kesehatan (JPSBK)
Penanggulangan Dampak Pengurangan Subsidi
Energi Bidang Kesehatan (PDSPE-BK)
Program Kompensasi Pengurangan Subsidi
Bahan Bakar Minyak
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
Miskin (JPKMM)
Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas)
Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan bagi masyarakat miskin diberlakukan
pada semua unit pelayanan kesehatan pemerintah, puskesmas maupun rumah sakit
5 di seluruh wilayah Indonesia. Adanya jaminan kesehatan tersebut diharapkan
dapat meningkatkan akses masyarakat miskin terhadap pelayanan kesehatan.
Selain itu pelayanan kesehatan yang tersedia juga diharapkan mampu mengatasi
persoalan kesehatan masyarakat miskin dengan penyelenggaraan pelayanan yang
berkualitas. Pelayanan yang berkualitas dimaksudkan sebagai pelayanan yang
mampu memberikan kepuasan bagi pengguna pelayanan publik. Dalam Pedoman
Jamkesmas jelas dinyatakan bahwa tujuan penyelenggaraan Jamkesmas adalah
meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan kepada seluruh masyarakat
miskin dan tidak mampu agar tercapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal
secara efektif dan efisien.
Berkembangnya jaminan kesehatan, memberikan peluang yang besar
kepada masyarakat untuk mencapai derajat kesehatan yang lebih baik. Akan tetapi
indikasi diskriminasi seolah tidak luput mewarnai penyelenggaraan instrumen
kebijakan tersebut. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa rendahnya akses
masyarakat miskin pada pelayanan kesehatan, salah satunya disebabkan adanya
sikap dan perilaku petugas kesehatan yang diskriminatif (Ferdinandus
Kainakaimu, 2008; Eko Nur Cahyo, 2010; Aldi Reza, 2010). Perlakuan
diskriminatif membuat orang miskin enggan memanfaatkan jaminan pelayanan
kesehatan yang disediakan oleh pemerintah (Amelia Maika dalam Tukiran dkk,
2007:71).
Seiring perkembangan jaminan kesehatan juga terlontar berbagai keluhan
dari warga miskin pengguna jaminan kesehatan. Survei Citizen Report Cards
(CRC) 2010 yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 986
6 responden pasien miskin pemegang kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jamkesmas), Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda), kartu keluarga miskin
(Gakin-Jakarta) dan surat keterangan tidak mampu (SKTM) di 19 rumah sakit
pemerintah dan swasta menunjukkan kesimpulan signifikan, yakni, sekitar 70%
responden masih mengeluhkan pelayanan rumah sakit dan memilih tidak
menggunakan kartu jaminan kesehatan yang mereka miliki. Umumnya keluhan
mereka seputar pengurusan administrasi, pelayanan petugas medis, dan fasilitas
serta sarana rumah sakit (skalanews.com, 31 Desember 2010). Demikian juga
hasil riset Indonesia Poverty Analysis Program (INDOPOV), sebuah program
kemitraan Bank Dunia-Indonesia menemukan bahwa umumnya masyarakat
miskin mengeluhkan buruknya pelayanan kesehatan disebabkan sikap petugas
yang tidak responsif dalam melaksanakan pelayanan publik, adanya uang muka,
rendahnya akses terhadap informasi serta adanya kekhawatiran dalam
penyampaian keluhan (Mukherjee, 2006). Sedangkan pada Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) Kesehatan juga dilansir sekitar 413 keluhan sepanjang tahun 2010
terkait diskriminasi pelayanan kesehatan atau pasien yang diterlantarkan yang
umumnya pada rumah sakit milik pemerintah baik di pusat maupun di daerah
(Okezone.com, 15 Maret 2011).
Fakta-fakta perilaku diskriminasi dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan
sebenarnya sudah menghiasi media massa, dengan berbagai kasus-kasus pelik
karena keterbatasan dan perbedaan pelayanan yang dirasakan warga miskin
pengguna jaminan kesehatan. Beberapa contoh inventarisir kasus berikut
menunjukkan bahwa diskriminasi masih menjadi “perilaku favorit” di kalangan
7 aparatur pelayanan kesehatan. Mulai dari pusat hingga ke daerah tidak luput
menyajikan persoalan-persoalan berindikasi diskriminasi dalam pelaksanaan
jaminan kesehatan.
Tabel 1.2.
Inventarisasi Contoh Kasus-kasus Jaminan Kesehatan
Tanggal
Berita
19/11/2009
02/12/2009
01/03/2011
23/03/2012
30/08/2012
Berita
Media
KUPANG, - Karena takut beban biaya rumah sakit sampai Rp 5
juta lebih, Atrus Koliman (26), warga RT 22 Kelurahan Kelapa
Lima, Kota Kupang, kabur dari Rumah Sakit Umum Yohannes
(RSUD) Kupang, Kamis (19/11) dini hari.
KEDIRI, - Budi Antoni (12), pasien dari keluarga miskin di
Rumah Sakit Umum Daerah Gambiran Kediri, Jawa Timur,
mendapat perlakukan yang tidak semestinya. Ia dipungut biaya
obat dan tindakan medis lainnya sampai sebesar Rp 9,5 juta,
walaupun memiliki kartu Jaminan kesehatan masyarakat
(Jamkesmas).
JAKARTA, Kasus telantar rakyat miskin pada selasar Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta selama dua bulan,dialami
Ibu Wati, bersama suami, Pulung, serta Tasya (10) anak
perempuan siswa kelas tiga SD tidur di lorong jalan menuju
Unit Gawat Darurat (UGD) Anak, dekat dengan WC umum
yang senantiasa menyebarkan bau yang tidak sedap. Jeritan dan
tangisan Wati tidak digubris para dokter dan perawat tidak
pernah sedikitpun ada kepedulian manajemen RSCM. Padahal
Ibu Wati dan keluarga merupakan pemegang kartu (jamkesmas)
untuk digunakan dalam perawatan kesehatan di puskesmas dan
rumah sakit pemerintah, baik itu rawat jalan maupun rawat inap.
JOMBANG, Keluarga pasangan Abdul Manan dan Ny Sri
Masriah hanya bisa menunggu dan harap-harap cemas
datangnya hari Rabu (27/7/2012) untuk mendapatkan rasa
keadilan dari DPRD Kabupaten Jombang dan RSUD Kabupaten
Jombang setelah kaki kiri pria berusia 61 tahun itu diamputasi
karena dugaan malpraktik. Tragisnya, dugaan malpraktik yang
dialami Abdul Manan ini, ditengarai ada kaitan dengan
penggunaan kartu Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda).
SEMARANG, Mudjiyem (66 th), warga Wonolopo, Mijen,
Semarang, harus menelan pil pahit ketika menjalani perawatan
di RS Permata Medika, Jl Moch Ichsan 93-97, Ngaliyan
Semarang. Bukan mendapatkan perawatan yang layak, tetapi
pengusiran yang dirasakan. (Tak Bisa Sediakan Tiga Kantung
Darah Pasien Miskin Dipulangkan Paksa Dari RS Permata
Medika)
Kompas.com
Kompas.com
Suara
Pembaharuan
Publik
nasional.com
Lensa
indonesia.
Com
Sumber : diolah dari berbagai media online
Berbagai kasus pengguna jaminan kesehatan tersebut menunjukkan bahwa
diskriminasi menjadi salah satu perilaku yang sulit dikontrol dalam pelayanan
8 kesehatan
pemerintah.
Praktek
diskriminasi
merupakan
perlakuan
yang
menimbulkan ketidakadilan dalam pelayanan kesehatan. Perlakuan ini seolah
berlindung dibalik institusi formal kesehatan dan menjadi bagian dari budaya
pelayanan yang buruk. Fenomena ini menjadi sorotan serius karena terus terjadi
dan bermetamorfosis dari waktu ke waktu.
Maraknya isu diskriminasi yang terindikasi dari perilaku aparatur pelayanan
kesehatan terhadap masyarakat miskin di RSUD Baruga Timur Baru menjadi titik
berangkat pentingnya penelitian ini. Perilaku diskriminasi menjadi persoalan yang
membawa citra buruk bagi pelayanan kesehatan rumah sakit tersebut. Jaminan
kesehatan yang telah semakin diperluas baik pada cakupan kepesertaan maupun
pembiayaannya, dianggap belum mampu memenuhi derajat kesehatan masyarakat
akibat adanya perilaku diskriminasi yang terus terjadi. Tidak sedikit masyarakat
pengguna jaminan kesehatan harus merasakan ketimpangan kualitas pelayanan
yang mereka terima.
Terkait perilaku diskriminasi tersebut, terungkap keluhan dari seorang
warga miskin sebagai berikut ini:
“Sudah sejak empat hari lalu dari masuknya ibu saya dirawat di
bangsal ini, belum pernah ada dokter yang datang memeriksa.
Obat-obatan hanya diberikan oleh perawat sejak awal masuk,
padahal ibu masih sering tidak sadarkan diri karena sakit
kepalanya itu. Obatnya mungkin tidak cocok... Perawat senior yang
setiap paginya berkunjung untuk memeriksa pasien dan mengontrol
kebersihan ruangan sempat saya tanya, kenapa dokternya tidak
ada. Tapi perawatnya tidak menanggapi. Tapi saya tahu juga dari
siswa Akper yang praktik, kalau dokter bukannya tidak pernah
hadir tapi selalu sibuk di poliklinik dulu sehingga pemeriksaan
bangsal hanya dilakukan perawat saja.…..” (Data Primer dari
wawancara, 10 April 2012).
9 Sepenggal keluhan tersebut, diambil dari cerita penderitaan pasien miskin
berikut ini :
KOTAK 1.1 Sulitnya Si Miskin Sehat Ibu Sarti (nama samaran) dibawa langsung ke UGD disebabkan hampir dua hari ia tidak sadarkan diri di rumah karena sakit kepala yang menyerangnya. Ketika tiba di UGD ia langsung diperiksa dan mendapat tindakan dari perawat. Keluarga yang mengantar yang tidak lain anaknya sendiri ditanya kronologi sakitnya sambil ditanya apakah akan menggunakan jalur umum atau jaminan kesehatan. Anak Bu Sarti sempat kebingungan karena kartu jaminan itu tidak pernah dipunyai keluarganya, sementara ia memastikan jalur umum akan mahal dalam ukuran ekonominya yang serba pas‐pasan. Untungnya petugas pelayanan masih memberi kesempatan untuk melengkapi berkas untuk mendapat jaminan ‘gratis’ hingga 2 x 24 jam. Sambil tetap menanggung biaya obat dulu yang akan dikembalikan jika urusan jaminan itu telah beres sesuai waktu yang diberikan, jelas perawat yang bertugas. Setelah mendapat penanganan awal, dari UGD Bu Sarti lalu dibawa ke ruang bangsal kelas III untuk dirawat sesuai persyaratan yang ada. Disitulah keluhan satu persatu mulai dilontarkan oleh sang anak, Wati. Setelah beberapa hari dirawat, dokter tidak pernah berkunjung, semua tindakan hanya dilakukan perawat, hanya pada jam‐jam tertentu. Perawat mungkin mendapat instruksi dari dokter, yang kemudian menuliskan resep yang harus segera ditebus oleh Wati. Berbekal uang Rp.35.000,‐ Wati ke apotek RS, hendak menebus obat‐
obat tadi. Namun ia tersentak tatkala tahu harga obanya sangat mahal, 5 kali lipat dari uang yang ia punyai sedang jaminan kesehatannya, berkasnya pun belum lengkap. Belum lagi uang itu masih akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan makan selama di RS. Wati sempat meminta kebijaksanaan petugas apotek untuk bisa menggunakan obat dengan biaya yang akan dibayar belakangan. Namun si petugas tidak melonggarkan hal tersebut. Cukup lama Wati memelas dengan wajah yang hampir menangis tetap saja petugas tidak bergeming dengan bertegas kalau pasien harus tetap bayar. Dalam situasi tidak pasti itu, seorang petugas lainnya lalu meminta jaminan lain berupa benda berharga darinya. Tak ada pilihan lain bagi Wati kecuali menyerahkan jam tangan satu‐satunya yang ia miliki sebagai ganti menebus obat‐obatan ibunya Sumber : Disarikan dari wawancara, 10 April 2012). Illustrasi di atas hanya merepresentasikan sedikit dari perilaku diskriminasi
yang terjadi dalam pelayanan kesehatan bagi warga miskin di RSUD Baruga
Timur Baru. Terdapat 57 % keluhan berasal dari pengguna jaminan kesehatan
(warga miskin) yang sebagian besar akibat perilaku diskriminasi dalam pelayanan
10 kesehatan (Laporan Rekam Medis, 2011). Keluhan tersebut terutama berkaitan
dengan mekanisme yang panjang, fasilitas yang buruk serta perilaku petugas
dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan.
Praktek diskriminasi di unit pelayanan rumah sakit menyebabkan
bertambahnya satu perbendaharaan patologi dalam pelayanan pemerintah.
Persoalan ini cukup menimbulkan keresahan bagi masyarakat berpenghasilan
rendah disebabkan subsidi pemerintah untuk meringankan beban pembiayaan
kesehatan mereka masih harus menghadapi kendala bersumber perilaku birokrasi.
Selain Jamkesmas yang bersumber pusat, perluasan jaminan dengan turut
berlakunya jaminan kesehatan dengan pembiayaan daerah/Jamkesda tidak lebih
menyediakan jasa pelayanan yang inferior (murahan, bermutu rendah), dengan
potensi diskriminasi yang besar (Razak, 2008:72).
Dari pengamatan awal di RSUD tersebut diperoleh gambaran bahwa
perilaku diskriminasi ditandai dengan adanya pembatasan dan perbedaan
perlakuan terhadap warga miskin pemegang kartu jaminan kesehatan. Sejak
berlakunya jaminan kesehatan, terjadi pemetaan pada sistem pelayanan dengan
pemberian identitas tersendiri berupa “kartu jaminan kesehatan” kepada pengguna
jaminan kesehatan (Jamkesmas/Jamkesda). Jaminan kesehatan diberikan kepada
154.074 jiwa penduduk berstatus miskin yang tersebar di 21 kecamatan daerah
Kabupaten Lama (Profil Dinas Kesehatan, 2011). Adanya Pemisahan dan identitas
ini sebenarnya untuk memudahkan proses pelaksanaan pelayanan. Namun ekses
yang muncul justru perlakuan yang cenderung mensubordinatkan pengguna
pelayanan dengan jaminan tersebut.
11 Melebarnya wacana diskriminasi memang tengah menjadi fakta yang
mewujud dalam berbagai bentuk. Bentuk perilaku diskriminasi di rumah sakit
Kabupaten Lama ini nampak ada yang terpola sebagai aktivitas rutin pelayanan
kesehatan setiap harinya, tetapi ada pula yang bersifat kasuistik. Secara rutin,
praktek diskriminasi sudah terlihat dari adanya mekanisme yang panjang dalam
pelayanan bagi peserta jaminan kesehatan (masyarakat miskin). Prosedur
pelayanan bagi peserta jaminan kesehatan cukup berbelit-belit dengan sejumlah
berkas-berkas yang menuntut kelengkapan sebagai syarat pelayanan dengan
jaminan. Sehingga terkadang pengurusan administrasi ini mengakibatkan
lambatnya pasien terlayani. Bahkan kondisi tersebut menjadi semakin rumit
dengan sikap petugas pelayanan yang kaku dan tidak responsif dengan keadaan
pasien pengguna. Inilah yang antara lain memunculkan rumor dalam masyarakat
yang mengatakan, “jika hendak ke rumah sakit jangan menggunakan kartu sehat
karena tidak akan segera ditangani” (Dwiyanto, dkk, 2003:33). Situasi ini
menciptakan kerumitan bagi pasien miskin, apalagi jika mereka bukan warga
kabupaten setempat, maka alur administrasi akan lebih menyulitkan. Observasi
sekilas ini menguatkan argumen bahwa perilaku diskriminasi turut ditunjang oleh
berbagai aspek normatif organisasi pelayanan publik.
Selanjutnya, rutinitas pelayanan yang mengandung perilaku diskriminasi
lainnya juga diidentifikasi dari perilaku pelaksana pelayanan – petugas
medis/paramedis – yang terbiasa lebih mendahulukan pelayanan untuk unit
perawatan yang kelasnya (secara ekonomi) lebih tinggi. Pasien miskin yang
berada di unit perawatan yang lebih rendah (kelas III/pasien miskin) cenderung
12 mendapatkan pelayanan yang terakhir, bahkan terkadang terabaikan – dalam
kondisi biasa/tidak dalam keadaan darurat. Sering dijumpai pula aktivitas
pelayanan kesehatan diikuti dengan sikap yang menunjukkan rendahnya empati
para petugas pelayanan pada pengguna pelayanan terutama yang berstatus miskin,
seperti dengan bersikap mengacuhkan keluhan sakit pasien atau melontarkan
perkataan yang merendahkan. Perilaku ini menjadi kebiasaan yang mudah
dijumpai dalam pelaksanaan pelayanan rumah sakit setiap harinya.
Modus dikriminasi yang sangat beragam tersebut relatif sulit dituduhkan
sebagai perilaku yang menyimpang dalam pelayanan kesehatan. Asimetris
informasi mengakibatkan perilaku ini menjadi suatu hal yang wajar dalam
pelayanan kesehatan. Para dokter (dokter ahli) misalnya sudah sangat terbiasa
memberikan resep-resep obat paten mahal kepada pasien miskin, sementara pada
dasarnya mereka pun mengetahui bahwa kemampuan pasien tersebut untuk
menebusnya relatif rendah. Demikian juga dengan paramedis (perawat) yang
dengan mudah melakukan praktek ketidakadilan tanpa dipahami oleh pengguna
pelayanan publik. Artinya, ada kecenderungan spesifikasi profesi mereka
seringkali menjadi pembenaran melakukan tindakan yang tidak adil. Hal ini
menjadi nalar spekulatif sebagai intensi yang akan diungkap dalam penelitian ini.
Disamping diskriminasi yang terdapat dalam rutinitas pelayanan, terdapat
pula diskriminasi yang kasuistik walaupun cukup jarang terjadi. Beberapa yang
pernah terjadi terindikasi pada kasus penundaan operasi akibat tidak tersedianya
obat-obatan untuk penanganan operasi tertentu jika tidak dengan kesediaan
mengganti biaya pengobatan. Pada kasus kesehatan tertentu, terdapat biaya
13 kesehatan
yang
tidak
ditanggung
dalam
jaminan
kesehatan
sehingga
pembiayaannya tetap menjadi tanggungan pasien miskin. Cukup jarang rumah
sakit mengeluarkan kebijaksanaan untuk menanggapi kondisi-kondisi tertentu
sedemikian. Sehingga kasus-kasus demikian tidak tertangani secara bijak.
Pada kasus-kasus sedemikian, garda depan pelayanan yakni para aparatur
yang secara langsung berinteraksi dengan pengguna pelayanan seringkali menjadi
aktor yang memperparah kondisi pelayanan kesehatan tersebut. Perilaku petugas
kesehatan yang tidak membuka ruang yang melonggarkan pengguna pelayanan
untuk memperoleh kebutuhan dasarnya sering dijumpai berakhir dengan
perdebatan antara petugas dan pasien yang masing-masing kukuh dengan
interpretasinya. Perilaku dan sikap petugas yang sekali lagi menggunakan alasan
administratif/institusional, secara tidak langsung membatasi akses kesehatan bagi
pasien miskin pengguna jaminan kesehatan. Sementara di sisi lain, pasien miskin
kurang memahami hak dan kewajibannya selaku pengguna jaminan kesehatan.
Kondisi ini sering berakhir dengan sikap pasrah pengguna jaminan kesehatan jika
tidak mampu mengambil tindakan kritis atas kondisi tersebut1. Diluar adanya
misinformasi dalam pelayanan kesehatan, cerita ini mempertegas bahwa perilaku
diskriminasi aparatur pelayanan kesehatan adalah preferensi yang dimungkinkan
1
Kondisi demikian kadangkala tidak dibiarkan oleh masyarakat, terlebih jika mereka memiliki pemahaman atau kedekatan khusus dengan wartawan, maka segera direspon dengan membeberkan keluhannya melalui media lokal. Namun hal ini ternyata tidak dapat menjadi alat untuk mengendalikan diskriminasi tersebut karena kendala administratif seringkali menjadi alasan keterbatasan pelayanan jaminan kesehatan. Karena itu, sebagian besar pengguna jaminan kesehatan pada akhirnya enggan menggunakan identitas kartu jaminan kesehatan dengan mencari alternatif lain seperti pengobatan tradisional, jika tidak berpasrah dengan kondisi pelayanan yang buruk. 14 dari konstruksi atau adopsi terhadap lingkungan pelayanan kesehatan yang
berkembang di rumah sakit tersebut.
Deretan masalah pelayanan kesehatan di RSUD Baruga Timur Baru yang
disebabkan perilaku diskriminasi sudah tentu tidak dapat dilepaskan dari andil
penyelenggara pelayanan, yakni, dokter, perawat dan jajaran petugas pelayanan
lainnya.
Rupa-rupa
pola
diskriminasi
yang
ditimbulkan
oleh
perilaku
penyelenggara pelayanan tersebut cukup kompleks dan terjadi hampir pada setiap
sub unit pelayanan di rumah sakit tersebut. Mulai dari loket pendaftaran pasien
hingga pada saat pelayanan kesehatan dilaksanakan marak ditemui keluh kesah
akibat perilaku petugas pelayanan. Petugas medis (dokter/dokter ahli) dan
paramedis dalam melayani pasien sering membedakan perlakuan antara si kaya
dan si miskin yang nampak pada sikap, intensitas dan waktu yang digunakannya
dalam melakukan pelayanan, kepedulian, kesopanan, keramahan dan keadilan
yang rendah dalam interaksi dengan pasien miskin, langsung maupun tidak
langsung. Demikian juga dengan penyelenggara pelayanan lainnya yang
menunjukkan perlakuan yang hampir sering mengabaikan aspek moralitas dalam
melaksanakan pelayanan kesehatan.
Rumah sakit memiliki Pedoman Perilaku yang disusun sebagai tata perilaku
setiap insan rumah sakit yang didalamnya menjelaskan beberapa hal seperti,
sistem nilai, etika kerja, etika usaha, etika profesi, pengukuhan komitmen, serta
perbaikan dan pengembangan pelayanan. Secara eksplisit, pedoman ini
menegaskan bahwa :
15 “ Setiap insan Rumah Sakit wajib melaksanakan tugas sebaik
baiknya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab.
Setiap Insan dalam melaksanakan tugas selalu tepat waktu,
bersikap ramah dan menghormati hak – hak pasien. Setiap insan
Rumah Sakit tidak diperbolehkan melaksanakan tugasnya untuk
kepentingan pribadi, golongan atau pihak lain; bertindak selaku
perantara bagi pihak lain untuk mendapatkan pekerjaan atau
pesanan dari Rumah Sakit.” (Pedoman Perilaku Insan Rumah
Sakit, 2011:9)
Dokumen perilaku memberikan acuan berperilaku dan pengawasannya yang
dapat berpengaruh pada adanya hukuman, sanksi atau reward terhadap setiap
aparatur rumah sakit. Akan tetapi ketentuan ini nampaknya hanya menjadi
dokumen formal syarat akreditasi atau persyaratan BLUD (Badan Layanan Umum
Daerah) yang tidak pernah tersosialisasikan dan dilaksanakan dengan baik.
Akibatnya, perilaku-perilaku diskriminatif tidak terkontrol dan menjadi citra
buruk pelayanan.
Melihat masih terus berlangsungnya diskriminasi terhadap masyarakat
miskin dalam pelayanan kesehatan, mendorong peneliti untuk menelusuri lebih
mendalam mengenai perilaku diskriminasi aparatur pelayanan publik yang dalam
penelitian ini mengambil lokus RSUD Baruga Timur Baru, Kabupaten Lama.
Pentingnya kajian ini mengingat pelayanan publik berhadapan dengan realitas
sosial yang heterogen yang rentan menimbulkan penyimpangan perilaku.
1.2. Rumusan Masalah
Perilaku diskriminasi menjadi masalah yang mudah ditemui dalam
pelayanan kesehatan justru setelah jaminan kesehatan diperluas. Masyarakat
miskin yang telah mendapat jaminan kesehatan berupa Jamkesmas (Pusat)
maupun Jamkesda (Daerah) di RSUD Baruga Timur Baru mengalami kesulitan
16 mengakses pelayanan kesehatan yang berkualitas akibat dari perilaku aparatur
pelayanan kesehatan yang diskriminatif dengan berbagai bentuknya yang
kompleks. Perilaku diskriminasi terpola menjadi rutinitas dan kebiasaan yang
dilakukan dalam pelayanan kesehatan. Berdasarkan uraian tersebut, maka
penelitian ini hendak mempertanyakan Mengapa perilaku diskriminasi terjadi
dalam
pelayanan
kesehatan?
Secara
rinci,
penelitian
ini
bermaksud
mempertanyakan hal berikut ini :
1. Bagaimana perilaku diskriminasi aparatur terbentuk/terkonstruksi dalam
pelayanan kesehatan di RSUD Baruga Timur Baru ?
2. Faktor-faktor apa yang mendorong terjadinya perilaku diskriminasi aparatur
dalam pelayanan kesehatan di unit pelayanan tersebut?
1.3. Tujuan Penelitian
Berangkat dari permasalahan yang telah dirumuskan, penelitian ini
diarahkan untuk mengkaji perilaku diskriminasi dalam pelayanan kesehatan bagi
masyarakat miskin yang bertujuan untuk menjelaskan:
1.
Konstruksi perilaku diskriminasi aparatur pelayanan kesehatan di RSUD
Baruga Timur Baru.
2.
Faktor-faktor yang mendorong aparatur melakukan perilaku diskriminasi
dalam pelayanan kesehatan di unit pelayanan tersebut.
17 1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik kepada akademisi,
pemerintah maupun masyarakat meliputi manfaat teoritis, praktis dan kebijakan.
Manfaat teoritis, diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan
teori dalam manajemen publik, khususnya dalam memahami perilaku aparatur
publik. Kajian perilaku pelayanan publik merupakan suatu kajian multidisipliner
yang akan memberikan dinamisasi kajian dalam manajemen dan kebijakan publik
serta dapat menjadi referensi yang berguna untuk mengembangkan konsep yang
relevan dalam menata perilaku aparatur pelayanan menjadi inklusif, responsif dan
berkeadilan pada masyarakat yang heterogen.
Pada Manfaat Praktis, diarahkan pada meningkatnya kesadaran aparatur
pelayanan publik – dalam hal ini petugas pelayanan kesehatan – agar dapat
menempatkan masyarakat pada posisi sebagai warga negara (citizens). Dengan
pemahaman tersebut akan menggeser nilai yang selama ini sangat kapitalistik dan
feodalistik menjadi pemahaman yang mengedepankan nilai kemanusiaan sebagai
landasan berperilaku. Dan Terakhir, manfaat kebijakan yang diharapkan dari
penelitian ini adalah dapat menjadi bahan pertimbangan dalam membenahi
kebijakan terkait SDM maupun sistem pelayanan publik.
18 
Download