‘DATABASE’ OECD/WTO UNTUK PERDAGANGAN ‘NILAI PLUS’: INDONESIA Analisis baru dari OECD dan WTO menyimpang dari cara mengukur aliran perdagangan secara konvensional agar bisa menggambarkan cara bagaimana perusahaan-perusahaan semakin menyebarluaskan rantai-rantai produksi di berbagai negara. Dengan menilai impor dan ekspor dengan mempertimbangkan ‘nilai plus’-nya, akan bisa disusun gambaran yang lebih lengkap tentang perdagangan internasional dan hubungan-hubungan komersial antar negara. Kotak 1. Kotak 2: Indonesia: Temuan-temuan utama dalam ‘database’ TiVA . • Analisis tentang perdagangan dalam ‘nilai plus’ menunjukkan bahwa lingkup negara-negara penerima ekspor Indonesia lebih luas daripada mitra-mitra dagang utamanya di Asia. Ia menghasilkan ‘input’ yang diproses lebih lanjut di Jepang dan Korea, dan setelah itu diekspor ke negara-negara ketiga. • Impor ‘nilai plus’ dari Cina lebih rendah dibandingkan dengan (impor) kotor/bruto, dan dalam hubungan bilateralnya dengan Cina, Indonesia tidak menunjukkan defisit melainkan surplus. Surplus perdagangan dengan Jepang dan Korea menurun. • Indonesia terkoneksi baik dengan rantai-rantai nilai global dalam berbagai sektor seperti mesin, elektronika dan tekstil. • Kandungan pelayanan dalam bruto ekspor Indonesia agak rendah ((21%). Industri manufaktur/pembuatan menggunakan lebih sedikit masukan pelayanan daripada negara-negara lain dalam ‘database’ ini. Gambar 1. Ekspor dan impor secara bruto dan secara ‘nilai plus’, menurut negara mitra (sebagai % dari total), 2009 Jika membandingkan angka-angka bruto dengan angka-angka ‘nilai plus’, maka mitra-mitra dagang utama Indonesia tampak tidak sama persis (Gambar 1). Jepang tidak lagi menjadi tujuan ekspor Indonesia yang utama. Bagian yang cukup signifikan dari ekspor ‘nilai plus’ ditujukan ke AS (13%) dan negara-negara Eropa, termasuk Jerman (3%), Inggris (2%) dan Prancis (2%). Indonesia mengekspor ‘input’ sementara yang oleh perusahaan-perusahaan Jepang dan Korea digunakan untuk memproduksi barang-barang yang kemudian diekspor lebih lanjut ke negara-negara lain. Melihat segi impor, terkesan pula bahwa impor dari Jepang lebih tinggi (13% impor ‘nilai plus’ vs 9% bruto impor) dan AS (9% impor ‘nilai plus’ vs 7% bruto impor) dan bahwa lebih sedikit ‘nilai plus’ diambil dari Cina. Defisit bilateral sebanyak -376 juta USD (dolar Amerika) dengan Cina menjadi surplus sebesar 486 juta USD dilihat dari segi ‘nilai plus’(Gambar 2). Bruto surplus dengan Jepang (3.67 miliar USD) dan Korea (3.08 miliar USD) turun menjadi masing-masing 2.02 miliar USD dan 1.52 miliar USD, sedangkan dalam perdagangan dengan AS, surplus naik (dari 6.16 miliar USD menjadi 6.35 miliar USD), Prancis (637 miliar USD menjadi 801 miliar USD) dan Kerajaan Inggris (464 miliar USD menjadi 655 miliar USD). Gambar 2. Perbedaan-perbedaan dalam neraca perdagangan, dalam jutaan USD, 2009 Gambar 3. Kandungan ‘nilai plus’ dalam bruto ekspor, sesuai jenis industri, 2009 Finance : Finansial Mining : Pertambangan Agriculture : Pertanian Distribution : Distribusi, dst. Food : Pangan, dst. Other services : Layanan2 lain Business services : Layanan bisnis Other manufacturing : Pembuatan/manufaktur lain Mineral products : Produk-produk mineral Wood, paper : Kayu, kertas Transport & comms. : Transport & Komunikasi Utilies : Utilitas Metals : Logam Transport vehicles : Kendaraan-kendaraan transportasi Construction : Pembangunan Textiles : Tekstil Electronics : Elektronika Machinery : Mesin Kandungan asing dalam bruto ekspor relatif rendah dalam sektor primer dan untuk produk-produk pangan, tetapi Indonesia terkoneksi baik dengan rantai nilai global untuk perindustrian-perindustrian seperti mesin, elektronika dan tekstil (Gambar 3.) Untuk bidang mesin, 40% dari nilai ekspor bruto terdiri dari perwujudan ‘nilai plus’ asing, menandakan bahwa Indonesia terlibat dalam aktivitas-aktivitas pengolahan. Persentase ini agak lebih rendah untuk produk-produk tekstil dan elektronika, tetapi suatu persentase besar dari ´input´ sementara yang diimpor di dalam produk-produk ini, dipakai untuk memproduksi ekspor (Gambar 4). Gambar 4. Bagian/andil dari ’input’ sementara impor yang diekspor, sesuai kategori impor, 2009 Ekspor Indonesia dalam bidang pelayanan lebih rendah daripada negara-negara lain dalam ‘database’. Hanya 21% dari nilai bruto ekspor mengandung ‘nilai plus’ dari industri-industri pelayanan. Tidak hanya kandungan pelayanan dari ekspor pelayanan itu lebih rendah (yang menandakan bahwa barang-barang yang dipakai sebagai ‘input’ mempunyai komponen biaya tinggi bagi perusahaan-perusahaan pengekspor layanan), tetapi bahwa industri-industri manufaktur/pembuatan cenderung untuk memasukkan lebih sedikit ‘input’ pelayanan daripada negara-negara lain. Ini untuk sebagian mencerminkan tingkatan konsolidasi dalam perusahaan-perusahaan Indonesia dengan aktivitas-aktivitas yang tidak utama yang dilaksanakan di dalam perusahaan tersebut. Gambar 5. Kandungan pelayanan dalam bruto ekspor, sesuai industri, 2009 Informasi yang dimasukkan dalam catatan ini didasarkan pada versi awal ‘database’ Perdagagangan ‘Nilai Plus’ yang diterbitkan pada tanggal 16 Januari 2012. Data bisa diakses di stats.oecd.org. Untuk informasi lebih lanjut silakan menghubungi kami di ([email protected]) atau kunjungilah situs web kami (www.oecd.org/trade/valueadded).