BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Dalam bidang ekonomi internasional, diskusi mengenai daya saing
(competitiveness) menjadi topik yang banyak diperdebatkan. Fagerberg (1988)
menyatakan bahwa pengukuran daya saing internasional suatu negara dengan
negara lain banyak dilakukan di media massa, laporan institusi pemerintah, dan
diskusi kebijakan ekonomi. Krugman (1996), menyebut bahwa kesuksesan
ekonomi suatu negara tergantung pada daya saing internasionalnya telah menjadi
perhatian para pemimpin bisnis, politik, dan intelektual pada akhir tahun 1970-an.
Faktanya, dalam perdagangan internasional, setiap negara selalu berusaha untuk
memiliki daya saing yang lebih tinggi dibandingkan negara lain agar produk yang
dihasilkannya dapat dengan mudah memasuki pasar internasional.
The World Economic Forum yang mempublikasikan laporan World
Competitiveness Report setiap tahun (sejak 1980) mendefinisikan daya saing
sebagai sebuah perangkat institusi, kebijakan, dan faktor yang menentukan tingkat
produktivitas sebuah negara. Fagerberg (1988) menyatakan bahwa daya saing
internasional suatu negara merupakan kemampuan suatu negara untuk
merealisasikan tujuan utama kebijakan ekonominya, terutama terkait pertumbuhan
pendapatan dan lapangan kerja. Selanjutnya OECD (2011) dalam konteks
perdagangan internasional mendefinisikan daya saing sebagai keunggulan atau
kelemahan suatu negara dalam menjual produknya di pasar internasional. Thurow
1
(1992) dan European Commission (1993) seperti dikutip dalam Krugman (1996)
menyatakan bahwa daya saing merupakan suatu pandangan bahwa negara
berkompetisi dalam pasar dunia seperti yang dilakukan oleh sebuah perusahaan,
dimana negara yang gagal menyamai produktivitas atau teknologi negara lain akan
menghadapi krisis yang sama ketika sebuah perusahaan tidak dapat menyamakan
biaya atau produksi dari perusahaan lainnya.
Konsep daya saing negara sendiri kemudian menjadi perdebatan, ada pihak
yang setuju dan mendukung konsep daya saing negara, namun ada juga yang
menentang keras mengenai konsep tersebut. Pihak yang mendukung konsep daya
saing negara seperti dikutip dari Mulatu (2016) berpendapat bahwa konsep daya
saing tidak hanya berguna, tetapi juga merupakan bagian dari strategi pembangunan
suatu negara. Daya saing internasional merupakan sebuah pencipataan
kesejahteraan dalam konteks interaksi ekonomi internasional. Daya saing
internasional tidak hanya berkaitan dengan produktivitas atau efisiensi suatu
perusahaan, tetapi tentang pertempuran dan efisiensi sektor bernilai tinggi yang
akan meningkatkan kinerja keseluruhan ekonomi nasional atau pendapatan
nasional. Reinert (1995) menyatakan bahwa menjadi yang paling efisien pada
kegiatan yang salah dan menentang daya saing akan mendorong pembangunan
yang ke arah negatif.
Hickman (1992) menyebut daya saing internasional sebagai kemampuan
untuk terus bertahan dalam ekonomi global, suatu pertumbuhan yang dapat diterima
pada standar hidup populasi dengan distribusi adil yang dapat diterima, serta secara
efisien menyediakan pekerjaan kepada semua orang tanpa mengurangi potensi
2
pertumbuhan pada standar hidup di generasi mendatang. Haque (1995) menyatakan
bahwa daya saing negara merupakan kemampuan suatu negara untuk memproduksi
barang dan jasa yang memenuhi uji pasar internasional, sekaligus untuk
mempertahankan serta meningkatkan pendapatan riil dan tingkat kesejahteraan
penduduknya. Kedua pendapat tersebut berimplikasi bahwa konsep daya saing
nasional merupakan sebuah konsep yang penting bagi sebuah negara sehingga
penentu kebijakan dapat mengambil manfaat melalui peningkatan daya saing untuk
meningkatkan standar hidup masyarakatnya.
Kesuksesan ekonomi sebuah negara sering diasosiasikan dengan tingkat
daya saingnya atau kemampuan untuk bersaing sehingga dapat dikatakan bahwa
kompetisi merupakan jantung dari pembangunan ekonomi sebuah negara. Tingkat
kompetisi atau tiadanya kompetisi pada sektor strategis menjadi salah satu indikasi
stagnasi perekonomian di berbagai negara. Maka, tidak mengherankan jika banyak
rekomendasi kebijakan yang ditawarkan oleh banyak lembaga multinasional seperti
Washington Consensus berorientasi pada kompetisi sebagai kunci dari
pembangunan ekonomi (Yap, 2004). World Economic Forum (2015) juga
menekankan bahwa daya saing ekonomi pada dunia yang terintegrasi menentukan
bagaimana sebuah negara mengkonversi potensi yang diciptakan oleh akses pasar
global menjadi peluang bagi perusahaan dan masyarakatnya.
Menurut World Economic Forum (2015), kondisi makroekonomi yang
stabil, kebijakan dan peraturan yang mendukung dunia usaha (kebijakan terkait
modal, pertanahan, dan tenaga kerja) merupakan kondisi yang dibutuhkan untuk
meningkatkan daya saing. Institusi juga memegang peranan penting dalam
3
meningkatkan daya saing seperti administrasi publik yang efisien, kecepatan
pengambilan kebijakan, aturan main, dan seluruh aspek tata kelola pemerintahan
yang baik. Tidak kalah penting adalah ketersediaan infrastruktur seperti sarana
transportasi, komunikasi, energi, logistik, dan pendidikan. Meningkatkan daya
saing berarti menciptakan suatu kondisi yang memungkinkan perekonomian untuk
mengalokasikan sumber daya yang langka dimana peluang akan muncul sebagai
perubahan kondisi eksternal dan internal.
Konsep daya saing pada dasarnya merupakan konsep yang dapat
memberikan manfaat bagi perekonomian suatu negara. Jika suatu negara memiliki
daya saing yang rendah, maka negara tersebut dapat meningkatkan daya saingnya
melalui peningkatan produktivitas nasional dan perbaikan institusi pemerintahan
dimana hal tersebut dapat meningkatkan perekonomian suatu negara. Dengan
banyaknya rekomendasi kebijakan yang mempromosikan daya saing sebagai
strategi kunci untuk pembangunan perekonomian suatu negara, pemimpin politik
di hampir setiap negara selalu berupaya untuk meningkatkan daya saing negaranya.
Seperti dikutip dari Delgado dkk. (2012), di Amerika Serikat misalnya,
Presiden membentuk sebuah komite tentang ketenagakerjaan dan daya saing yang
bertujuan untuk menjamin daya saing Amerika Serikat dan memberi saran kepada
Presiden dalam rangka menciptakan lapangan kerja, peluang, dan kemakmuran
masyarakat. Banyak negara juga membentuk sebuah komite atau institusi daya
saing untuk meningkatkan daya saing internasionalnya seperti di Uni Eropa, India,
dan negara lainnya. Peningkatan daya saing nasional pada faktanya juga merupakan
salah satu agenda suatu rezim pemerintahan untuk menunjukkan bahwa mereka
4
telah berhasil meningkatkan perekonomian nasional dimana hal tersebut tentunya
bermanfaat bagi status dan kekuatan politik suatu rezim pemerintahan. Sebagai
contoh dapat dilihat bahwa Indonesia semasa kepemimpinan Susilo Bambang
Yudhoyono hingga Joko Widodo berusaha meningkatkan daya saing nasional
melalui berbagai program dengan tujuan agar Indonesia menjadi magnet bagi
investasi asing dan selanjutnya produk Indonesia bisa bersaing di pasar
internasional.
Konsep daya saing negara sendiri kemudian memunculkan tantangan keras
salah satunya dari Paul Krugman yang menjadi kritikus utama mengenai konsep
daya saing negara. Krugman (1994) dalam artikelnya di Foreign Affairs menyebut
istilah daya saing negara sebagai metafora (the competitive metaphor), yaitu
gambaran bahwa suatu negara berkompetisi dengan negara lain di dunia seperti
yang dilakukan oleh sebuah perusahaan. Krugman (1994) kemudian menyatakan
bahwa berbicara mengenai daya saing negara dapat menimbulkan tiga bahaya,
pertama, hal tersebut dapat mengakibatkan pengeluaran pemerintah yang sia-sia
untuk meningkatkan daya saing, kedua, dapat mendorong proteksionisme dan
perang dagang, dan terakhir dapat menghasilkan kebijakan buruk pada isu yang
penting. Krugman (1994) kemudian menduga bahwa daya saing merupakan sebuah
cara puitis untuk mengatakan produktivitas atau mengisyaratkan adanya potensi
konflik antar negara dalam hubungan ekonomi internasional.
Seperti dikutip dari Mulatu (2016), ekonomi neoklasik beranggapan bahwa
daya saing merupakan konsep kontroversial dan dideskripsikan sebagai konsep
yang chaotic dan ill-defined. Selain itu, daya saing juga merupakan konsep yang
5
terlihat seperti alien dalam ekonomi neoklasik dan tidak memiki arti ketika
diaplikasikan dalam ekonomi nasional. Ekonom neoklasik berpendapat bahwa
tidak seperti perusahaan, negara yang tidak mampu bersaing dengan pesaing
mereka dari segi kualitas dan harga barang, tidak akan bangkrut, tetapi akan
mengalami restrukturisasi. Terdapat kekuatan penyeimbang kuat yang biasanya
memastikan bahwa setiap negara tetap dapat menjual berbagai barang di pasar
dunia dan untuk menyeimbangkan perdagangan secara rata-rata dalam jangka
panjang. Perlu dicatat juga tentang analogi sederhana antara perusahaan dan
ekonomi nasional adalah bahwa sebagian output suatu negara adalah untuk
konsumsi domestik dan bukan untuk ekspor, sementara sebagian besar output
perusahaan dimaksudkan untuk konsumsi luar perusahaan.
Terlepas dari perdebatan mengenai konsep daya saing negara seperti yang
telah diuraikan di atas, terdapat banyak penelitian yang membahas mengenai daya
saing sebuah negara. Penelitian mengenai daya saing negara tersebut menggunakan
berbagai pendekatan dan membahas berbagai daya saing produk suatu negara di
pasar internasional seperti produk manufaktur, pertanian, dan jasa. Penelitian ini
juga akan membahas mengenai daya saing produk Indonesia yaitu untuk komoditas
udang Indonesia di pasar internasional. Kenapa kemudian komoditas udang
menjadi fokus pada penelitian? Pertama, di pasar internasional, komoditas udang
merupakan komoditas terbesar dari sisi nilai perdagangan produk perikanan
dimana pada tahun 2012 nilai perdagangan komoditas udang mencapai 15 persen
dari nilai perdagangan produk perikanan dunia. Kedua, pola yang sama juga
ditemui di Indonesia dimana udang merupakan komoditas yang menjadi
6
penyumbang terbesar dengan nilai ekspor udang Indonesia pada tahun 2013 adalah
sebesar US $ 1,68 miliar atau mencapai 40 persen dari nilai total ekspor produk
perikanan. Ketiga, menurut Kementerian Perdagangan, udang merupakan satusatunya produk perikanan yang menjadi komoditas utama ekspor non-migas
Indonesia. Keempat, Indonesia memiliki potensi produksi udang yang besar baik
dari sektor perikanan tangkap maupun budidaya.
Produk udang yang diperdagangkan di pasar internasional dibagi menjadi 3
kelompok menurut klasifikasi Harmonized System (HS). Pertama adalah komoditas
HS 030613 untuk udang kecil dan udang biasa, termasuk yang berkulit, dimasak
dengan dikukus atau direbus dalam air (frozen: shrimps and prawns), kedua, HS
kode 030623 untuk udang kecil dan udang biasa, hidup, segar, dingin atau dalam
air garam, atau dimasak dengan dikukus atau direbus dalam air, tidak beku (not
frozen: shrimps and prawns), dan ketiga, HS kode 160520 untuk udang kecil dan
udang biasa, diolah atau diawetkan (shrimps and prawns).
Pada periode 1996-2014, nilai perdagangan produk udang mengalami
peningkatan yang signifikan dari hanya sebesar US $ 10,25 miliar pada tahun 1996
menjadi sebesar US $ 23,10 miliar pada tahun 2014. Selama periode tersebut,
pertumbuhan nilai perdagangan produk udang adalah sebesar 4,92 persen per tahun.
Penurunan dramatis pada biaya produksi, transportasi, dan komunikasi merupakan
faktor pendorong globalisasi perdagangan produk perikanan termasuk udang (FAO,
2014). Pola pertumbuhan perdagangan internasional produk udang mengikuti pola
pertumbuhan perdagangan internasional secara umum. Hal tersebut mengacu pada
Krugman (1995) yang menyatakan bahwa penjelasan yang paling populer
7
mengenai pertumbuhan volume perdagangan internasional adalah dampak adanya
teknologi dimana biaya transportasi yang rendah dan kecepatan perkembangan
komunikasi telah membuat dunia menjadi tempat yang lebih kecil.
25
20
20
15
15
10
10
5
-
Pertumbuhan (persen)
Nilai Perdagangan ( US $ miliar)
25
5
(5)
-
(10)
Sumber: diolah dari UN Comtrade (beberapa tahun)
Gambar 1.1 Nilai dan Pertumbuhan Perdagangan Udang Dunia, 1996-2014
Lalu negara mana yang menjadi pemain utama dalam perdagangan
internasional udang? Dari sisi ekspor, terdapat 6 negara yang menjadi eksportir
utama udang dunia yaitu India, Vietnam, Ekuador, Indonesia, Thailand, dan
Tiongkok. Kontribusi nilai ekspor udang keenam negara tersebut mengalami
peningkatan dari hanya sebesar 51,57 persen nilai ekspor dunia (US $ 5,29 miliar)
pada tahun 1996 menjadi sebesar 64,85 persen nilai ekspor dunia (US $ 14,98
miliar) pada tahun 2014. Posisi eksportir udang terbesar pada tahun 1996 ditempati
oleh Thailand dengan nilai sebesar US $ 2,19 miliar, namun pada tahun 2014 posisi
8
Thailand digeser oleh India yang menjadi eksportir terbesar dengan nilai sebesar
US $ 3,66 miliar. Pada tahun 2014, Thailand menempati urutan kelima eksportir
terbesar udang di bawah India, Vietnam, Ekuador, dan Indonesia.
Tabel 1.1 Negara Eksportir Terbesar Udang, 1996-2014
No.
Negara
Nilai (US $)
1996
2004
2008
2014
1.
India
818.449.899
1.010.604.227
888.588.121
3.664.518.064
2.
Vietnam
301.128.879
1.251.940.717
1.582.039.915
3.336.274.780
3.
Ekuador
726.050.004
411.934.116
910.292.854
2.179.719.378
4.
Indonesia
1.026.301.011
1.171.505.943
1.388.349.148
2.131.604.849
5.
Thailand
2.192.355.377
1.683.774.311
2.576.478.398
2.029.474.997
6.
Tiongkok
223.245.364
929.244.542
1.121.969.276
1.638.164.896
Total 6 Negara
5.287.530.534
6.459.003.856
8.467.717.712
14.979.756.964
Total Dunia
10.252.749.584
12.679.637.126
15.298.457.203
23.100.352.070
Sumber: UN Comtrade (beberapa tahun)
Tabel 1.1 menunjukkan bahwa eksportir utama udang dunia berasal dari
negara berkembang. Menurut FAO (2014), peningkatan ekspor negara berkembang
tersebut disebabkan adanya tarif yang rendah, terutama untuk produksi yang tidak
memiliki nilai tambah. Walaupun mengalami peningkatan kontribusi, beberapa
faktor masih menghambat beberapa negara berkembang untuk mengakses pasar
internasional dikarenakan masalah struktur internal negara tersebut. Selain
permasalahan teknis dan inovasi teknologi, banyak negara terutama negara
terbelakang (less developed economies) masih belum memiliki infrastruktur dan
pelayanan yang memadai. Hal tersebut kemudian mempengaruhi kualitas dari
produknya sehingga mengakibatkan kerugian karena kesulitan memasuki pasar.
Beberapa negara berkembang juga belum memiliki kerangka peraturan dan
9
kapasitas institusi yang memadai untuk pengelolaan sektor perikanan yang
berkelanjutan.
Pasar utama udang dunia selama periode 1996-2014 didominasi oleh
Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa walaupun persentasenya mengalami
penurunan dari 90,27 persen nilai perdagangan pada tahun 1996 menjadi sebesar
74,52 persen nilai perdagangan pada tahun 2014. Pada tahun 1996, Jepang
merupakan importir terbesar udang dengan nilai sebesar US $ 3,44 miliar, diikuti
Amerika Serikat sebesar US $ 2,53 miliar. Berbeda dengan impor Jepang yang
mengalami penurunan, Amerika Serikat justru mengalami kenaikan impor udang
sehingga pada tahun 2014, Amerika Serikat merupakan pasar tunggal terbesar
untuk udang dengan nilai impor mencapai US $ 6,88 miliar (29,78 persen impor
dunia). Uni Eropa merupakan pasar udang terbesar pada tahun 2014 dengan nilai
impor mencapai US $ 7,56 miliar atau mewakili 32,74 persen impor dunia.
Tabel 1.2 Negara Importir Terbesar Udang, 1996-2014
Nilai (US $)
No.
Negara
1.
Amerika Serikat
2.533.811.172
3.833.076.889
4.295.736.598
6.878.507.927
2.
Jepang
3.436.820.175
2.514.001.057
2.304.649.086
2.773.840.395
3.
Spanyol
614.079.804
982.510.474
1.251.600.459
1.260.164.635
4.
Prancis
487.319.404
662.415.119
790.328.518
1.021.518.071
5.
Inggris
462.100.592
638.050.916
650.796.179
977.862.109
6.
Jerman
252.579.448
247.989.000
419.195.000
738.940.501
7.
Belgia
247.428.284
437.438.263
688.529.669
705.130.477
8.
Belanda
194.956.172
215.019.555
430.483.575
693.783.528
9.
Italia
254.041.347
404.574.999
548.522.384
652.076.708
10.
Denmark
452.465.499
395.464.682
595.391.332
618.502.945
Total 10 Negara
8.935.601.897
10.330.540.954
11.975.232.800
16.320.327.296
Total Dunia
10.252.749.584
12.679.637.126
15.298.457.203
23.100.352.070
1996
2004
2008
2014
Sumber: UN Comtrade (beberapa tahun)
10
Seperti terlihat pada Tabel 1.1 bahwa nilai ekspor udang Indonesia
mengalami peningkatan selama periode 1996-2014 dari hanya sebesar US $ 1,03
miliar pada tahun 1996 menjadi sebesar US $ 2,13 miliar pada tahun 2014.
Mengikuti pola impor udang dunia yang cenderung terpusat pada 3 wilayah yaitu
Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa, negara tujuan ekspor udang Indonesia
juga sebagian besar menuju wilayah tersebut dengan persentase mencapai lebih
dari 90 persen. Pada tahun 1996, Jepang merupakan negara tujuan utama ekspor
udang Indonesia dengan nilai mencapai US $ 834,38 juta, namun pada tahun 2014,
ekspor udang ke Jepang jsutru mengalami penurunan hingga hanya menjadi
sebesar US $ 422,17 juta. Berbeda dengan ekspor udang ke Jepang, ekspor udang
Indonesia ke Amerika Serikat justru mengalami peningkatan yang signifikan dari
hanya sebesar US $ 113,39 juta pada tahun 1996 menjadi US $ 1,35 miliar pada
tahun 2014. Ekspor udang Indonesia ke Uni Eropa cenderung fluktuatif, walaupun
secara umum mengalami peningkatan dari hanya sebesar US $ 44,69 juta pada
tahun 1996 menjadi US $ 193,39 juta pada tahun 2014. Profil perdagangan udang
di atas menunjukkan terjadinya pergeseran besar perdagangan produk udang
Indonesia, yaitu dari pasar tradisional di Jepang ke pasar Amerika Serikat maupun
Uni Eropa. Perubahan ini perlu direspon dengan baik oleh industri budidaya dan
pengolahan udang untuk mengembangkan produk yang sesuai kebutuhan dan
memenuhi kriteria yang dipersyaratkan pasar tujuan.
11
Tabel 1.3 Ekspor Udang Indonesia di Pasar Utama Dunia, 1996-2014
Nilai Ekspor Indonesia (US $)
No.
Negara
1.
Amerika Serikat
113.395.079
354.341.009
656.716.445
1.347.044.032
2.
Jepang
834.384.563
501.851.193
409.145.165
422.174.487
3.
Uni Eropa
44.686.237
199.926.612
239.074.364
193.391.754
4.
Lainnya
33.835.132
115.387.129
83.413.174
168.994.576
1.026.301.011
1.171.505.943
1.388.349.148
2.131.604.849
Jumlah
1996
2004
2008
2014
Sumber: UN Comtrade (beberapa tahun)
Tabel 1.3 menunjukkan bahwa untuk pertama kalinya ekspor udang
Indonesia mencapai lebih dari US $ 2 miliar dan Indonesia menempati urutan ke 4
eksportir udang terbesar di dunia. Posisi tersebut masih dapat ditingkatkan, yaitu
dengan meningkatkan kinerja produksi udang melalui optimalisasi pemanfaatan
sumberdaya hayati dan perairan Indonesia yang masih luas dan terbuka. Produksi
udang yang berasal dari usaha perikanan budidaya Indonesia juga terus tumbuh,
tetapi masih memanfaatkan sebagian kecil dari potensi lahan potensial budidaya
yang ada, sehingga upaya peningkatkan produksi dari kegiatan budidaya masih
terbuka. Dalam perikanan tangkap, Indonesia memiliki total luas wilayah teritorial
sekitar 5,2 juta km2 dan dua pertiga wilayahnya merupakan laut yang mencapai 3,3
juta km2. Selain itu, Indonesia juga merupakan negara kepulauan terbesar di dunia
dengan jumlah pulau sebanyak 13.466 buah dan menjadi negara yang memiliki
garis pantai terpanjang di dunia (setelah Kanada) dengan panjang mencapai 99.093
km. Hal tersebut menunjukkan bahwa potensi pengembangan udang baik yang
berasal dari perikanan tangkap maupun budidaya di Indonesia memiliki prospek
yang menjanjikan dan dapat menjadi penggerak roda perekonomian nasional.
Beberapa kajian memberikan indikasi terus meningkatnya permintaan udang ke
12
depan dan fakta telah menunjukkan bahwa terjadi kenaikan nilai perdagangan
udang yang signifikan selama periode 1996-2014. Melihat perkembangan
permintaan udang yang terus meningkat tersebut, jika kapasitas produksi tidak
mampu digenjot secara cepat dan teknologi pengolahan pasca panen tidak
berkembang, maka Indonesia akan tertinggal lebih jauh dari negara eksportir udang
lainnya. Dengan tren pertumbuhan produksi udang yang cukup signifikan, maka
industri budidaya diharapkan mampu menjadi penyedia utama kebutuhan udang ke
depan ketika produksi udang yang berasal dari perikanan tangkap cenderung
stagnan.
Penelitian ini memiliki tujuan untuk menganalisis daya saing ekspor udang
Indonesia di pasar utama udang dunia yaitu Amerika Serikat, Jepang, dan Uni
Eropa. Penelitian sejenis mengenai daya saing udang Indonesia di pasar
internasional telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Rakhmawan (2009)
menganalisis daya saing udang Indonesia di pasar internasional menemukan fakta
bahwa komoditas udang Indonesia memiliki daya saing yang kuat atau Indonesia
memiliki keunggulan komparatif dilihat dari nilai RCA yang lebih dari 1. Selain
itu, Indonesia juga memiliki potensi keunggulan terkait sumberdaya alam yang
melimpah, sumberdaya manusia, dan modal. Namun di satu sisi, pengetahuan
mengenai teknologi budidaya udang yang modern (intensif) masih kurang
memadai. Maharani dan Setiawina (2014) dalam penelitiannya terkait dengan
kinerja ekspor udang segar ke Jepang, Singapura, dan Malaysia menyatakan bahwa
Indonesia memiliki keunggulan komparatif dan indeks RCA berpengaruh positif
terhadap volume ekspor udang segar ke Jepang dan Singapura, sedangkan untuk
13
ekspor ke Malaysia secara dominan dipengaruhi oleh tingkat suku bunga.
Beberapa penelitian daya saing komoditas udang Indonesia seperti Rakhmawan
(2009) dan Maharani dan Setiawina (2014) menggunakan pendekatan RCA untuk
mengetahui daya saing udang Indonesia, namun dalam penelitian ini, pendekatan
yang digunakan untuk mengukur daya saing adalah pendekatan constant market
share (CMS). Menurut Leamer dan Stern (1970), analisis kinerja ekspor suatu
negara dapat dilakukan dengan menggunakan metode CMS dimana kinerja ekspor
suatu negara selama periode tertentu dapat disebabkan oleh adanya peningkatan
perdagangan dunia, komposisi komoditas, distribusi pasar, dan peningkatan daya
saing. Adanya kinerja ekspor yang dipengaruhi oleh peningkatan daya saing
menjadi dasar yang digunakan untuk perhitungan daya saing dalam penelitian.
Penelitian ini juga memiliki tujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja ekspor udang Indonesia dengan negara mitra dagang utama
dan negara potensial yang menjadi mitra dagang udang Indonesia. Analisis yang
digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja ekspor
udang Indonesia menggunakan model gravitasi. Model gravitasi merupakan model
yang paling sering digunakan dalam menganalisis pola perdagangan bilateral antar
dua negara. Model gravitasi berhubungan dengan perdagangan antar dua negara
yang secara positif dipengaruhi oleh pendapatan keduanya dan jarak memiliki
dampak negatif terhadap perdagangan keduanya. Dengan adanya liberalisasi
perdagangan dunia melalui Free Trade Agreement di berbagai regional yang
hampir diikuti oleh seluruh negara (termasuk Indonesia yang bergabung di ACFTA
dan AJCEP) dan peninjauan bergabungnya Indonesia ke blok perdagangan yang
14
dicetuskan Amerika Serikat dan Uni Eropa, maka analisis kinerja ekspor udang ke
negara mitra dagang utama udang tersebut perlu dilakukan. Analisis tersebut dapat
dijadikan sebagai salah satu pertimbangan bergabungnya Indonesia ke blok
perdagangan dimana nantinya Indonesia diharapkan memperoleh manfaat salah
satunya yaitu meningkatnya pangsa ekspor udang ke negara mitra utama setelah
Indonesia bergabung ke blok perdagangan tersebut.
Penelitian mengenai daya saing dan faktor-faktor yang mempengaruhi
ekspor sangat relevan dan menarik untuk dilakukan mengingat dalam berbagai
kesempatan, Presiden Joko Widodo selalu menekankan kata daya saing Indonesia
dan peningkatan ekspor merupakan sebuah hal yang penting untuk ditingkatkan
dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi. Dalam rezim pemerintahan Joko
Widodo, sektor kemaritiman kemudian juga mendapatkan perhatian yang lebih
dibandingkan rezim sebelumnya dengan dibentuknya Kementerian Koordinator
Kemaritiman. Sektor perikanan khususnya udang sebagai sumberdaya di bidang
maritim merupakan salah satu sektor yang potensial untuk dikembangkan
mengingat Indonesia memiliki potensi sumberdaya laut yang tinggi baik untuk
kegiatan perikanan tangkap, budidaya, maupun pengolahan (pasca panen).
Peningkatan perdagangan internasional udang Indonesia merupakan salah satu
strategi yang digunakan untuk memanfaatkan potensi sumberdaya maritim
Indonesia. Dengan adanya perdagangan internasional, diharapkan industri udang
Indonesia dapat berkembang secara optimal melalui peningkatan inovasi dan
teknologi, peningkatan produktivitas, perbaikan regulasi, dan perbaikan
kelembagaan baik pada level pemerintah maupun di kalangan pelaku industri
15
udang. Sebagai salah satu industri yang padat tenaga kerja, peningkatan kapasitas
industri udang diharapkan dapat menyerap banyak tenaga kerja. Penelitian ini
mencoba untuk memberikan gambaran utuh mengenai komoditas udang yang
menjadi komoditas utama ekspor non-migas Indonesia dilihat dari konteks daya
saing dan faktor yang mempengaruhi kinerja ekspor udang ke pasar utama udang
dunia.
1.2.
Perumusan Masalah
Seperti telah dibahas pada bagian sebelumnya, Indonesia memiliki potensi
sumberdaya perikanan khususnya udang yang tinggi baik untuk produksi yang
berasal perikanan tangkap laut maupun perikanan budidaya. Hal tersebut
dibuktikan dengan posisi Indonesia yang menjadi pemain utama dalam
perdagangan udang dunia selama periode 1996-2014. Akan tetapi dari sisi pasar
ekspor, Indonesia masih tertinggal dari negara pesaing utama di kawasan ASEAN
seperti Thailand dan Vietnam, serta beberapa negara diantaranya India dan
Ekuador yang telah menjadi pemain utama ekspor produk udang dunia. Selain itu,
pangsa ekspor udang Indonesia juga mengalami penurunan di pasar utama dunia
yaitu seperti Jepang dan Uni Eropa karena permasalahan penurunan kualitas
produk udang Indonesia. Peningkatan standar mutu yang dipersyaratkan negara
tujuan ekspor (hambatan non tarif) merupakan salah satu pemicu menurunnya
ekspor udang Indonesia sehingga Indonesia semakin kehilangan daya saingnya
dengan negara lain di pasar utama dunia. Selain itu, teknologi, cara pengolahan,
kualitas, dan strategi pemasaran juga menjadi permasalahan bagi Indonesia. Oleh
16
karena itu, penelitian ini akan mengkaji bagaimana daya saing ekspor produk
udang Indonesia dengan negara pesaing utama seperti India, Ekuador, Thailand,
Vietnam, dan Tiongkok serta faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja kinerja
ekspor udang Indonesia di pasar utama udang dunia yaitu Uni Eropa, Amerika
Serikat, dan Jepang.
1.3.
Pertanyaan Penelitian
Penelitian ini akan menganalisis daya saing dan faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja ekspor udang Indonesia di pasar utama udang dunia yaitu
Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang. Oleh karena itu, pertanyaan yang ingin
dijawab melalui penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana daya saing ekspor produk udang Indonesia dan negara pesaing
utama seperti India, Vietnam, Ekuador, Thailand, dan Tiongkok di pasar
utama udang dunia yaitu Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang selama
periode 1996-2014?
2.
Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi kinerja ekspor udang Indonesia
di pasar utama udang dunia selama periode 1996-2014?
1.4.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan kedua pertanyaan penelitian yang telah dikemukakan di atas,
tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Menganalisis daya saing ekspor produk udang Indonesia dan negara pesaing
seperti India, Vietnam, Ekuador, Thailand, dan Tiongkok di pasar utama
17
udang dunia yaitu Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang selama periode
1996-2014.
2.
Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja ekspor udang
Indonesia ke pasar utama udang dunia yaitu Uni Eropa, Amerika Serikat,
dan Jepang selama periode 1996-2014.
1.5.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak
terkait yaitu pemerintah dan akademisi lain yang akan melakukan penelitian
mengenai daya saing dan kinerja ekspor baik untuk komoditas udang maupun
komoditas lainnya. Bagi otoritas pemangku kebijakan perdagangan maupun
pemangku kebijakan sektor perikanan di Indonesia, dengan adanya informasi yang
diperoleh dari penelitian ini, diharapkan otoritas terkait dapat lebih menaruh
perhatian mengenai kualitas produk ekspor udang Indonesia mengingat banyaknya
persyaratan yang harus dipenuhi untuk bisa mengakses pasar utama udang dunia
sehingga akhirnya Indonesia dapat menjadi eksportir terbesar udang dunia melalui
peningkatan produksi dan kualitas. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi
bahan pertimbangan bagi pemangku kebijakan dalam strategi perdagangan
menghadapi negara lain yang telah menjadi pesaing utama ekspor udang Indonesia
sehingga industri perikanan Indonesia khususnya udang dapat berkembang
optimal karena besarnya potensi sumberdaya yang dimiliki dan akhirnya dapat
memberikan manfaat bagi perekonomian Indonesia. Bagi peneliti, manfaat yang
diperoleh adalah sebagai referensi dalam penulisan karya ilmiah mengenai topik
18
daya saing udang dan menjadi sarana peneliti untuk mencoba memahami lebih
mendalam mengenai topik yang diteliti yaitu perdagangan udang dunia. Selain itu,
peneliti yang akan melakukan penelitian di masa mendatang dapat memperbaiki
apabila terdapat kekurangan dalam penelitian ini sehingga literatur mengenai topik
daya saing secara umum dan khususnya daya saing udang Indonesia dapat
berkembang.
1.6.
Sistematika Penulisan
Penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab satu yaitu pendahuluan
menguraikan mengenai definisi konsep daya saing menurut beberapa pihak beserta
perdebatan antara pihak yang mendukung dan menolak konsep daya saing negara.
Kemudian bab ini juga menguraikan mengenai profil perdagangan udang dunia,
negara utama eksportir dan importir produk udang, potensi sektor perikanan
Indonesia, kinerja ekspor udang Indonesia, mengapa peneliti memilih udang
sebagai komoditas yang diteliti, alasan pemilihan metode penelitian, dan motivasi
peneliti untuk melakukan penelitian mengenai daya saing dan kinerja ekspor udang
Indonesia. Bab satu juga mengemukakan mengenai pertanyaan penelitian, tujuan
penelitian, manfaat penelitiaan bagi pihak-pihak terkait, dan sistematika penulisan.
Bab dua yaitu tinjauan pustaka memaparkan tentang teori perdagangan
internasional dari teori keunggulan komparatif David Ricardo, teori HekscherOhlin, dan increasing return to scale. Bab dua juga membahas mengenai definisi
konsep daya saing dari berbagai pihak disertai dengan sedikit penjelasan mengenai
perdebatan konsep tersebut, dan pengukuran daya saing menurut WEF, OECD,
19
pangsa pasar seperti analisis CMS dan RCA, pendekatan nilai tukar, dan unit labor
cost. Bab ini juga membahas mengenai perkembangan dan fondasi teori model
gravitasi, studi empirik daya saing dari berbagai negara untuk beberapa komoditas
baik manufaktur maupun perdagangan, dan tentunya mengenai daya saing produk
udang. Di bagian keaslian penelitian, diuraikan mengenai perbedaan analisis yang
digunakan oleh peneliti dengan penelitian daya saing sebelumnya untuk produk
perikanan khususnya udang. Selain itu, studi empirik mengenai model gravitasi di
berbagai negara juga diuraikan beserta perbedaan terkait dengan variabel model
gravitasi yang digunakan dalam penelitian ini dengan penelitian sebelumnya.
Bab tiga yaitu metode penelitian, pada bagian pertama membahas
mengenai jenis data yang digunakan untuk analisis dan sumber data tersebut.
Selain itu, dibahas juga mengenai variabel yang digunakan dalam model gravitasi
dan perhitungan daya saing udang menggunakan metode constant market share.
Bagian selanjutnya pada bab tiga menjelaskan mengenai spesifikasi model
gravitasi yang digunakan, hipotesis model gravitasi, dan teknik estimasi dari model
gravitasi tersebut, dan bagian terakhir pada bab tiga menjelaskan mengenai alat
analisis yang digunakan untuk metode constant market share dan model gravitasi.
Bab empat yaitu hasil dan pembahasan, pada bagian pertama menjelaskan
hasil analisis constant market share untuk Indonesia dan negara pesaing yang
dibagi ke dalam 5 periode waktu yaitu 1996-2000, 2000-2004, 2004-2008, 20082012, dan 2012-2014. Bagian selanjutnya menganalisis model gravitasi meliputi
statistik deskriptif data, hasil analisis regresi model gravitasi standar dan
20
augmented gravity model, dan pengaruh variabel bebas terhadap ekspor udang
Indonesia.
Bab lima merupakan bagian penutup yang memuat kesimpulan dari analisis
data dan pembahasan, serta implikasi kebijakan yang dapat diambil dari hasil
penelitian. Selain itu, bab lima juga memberikan saran bagi pihak terkait yang akan
melakukan penelitian tentang topik perdagangan udang di masa mendatang.
21
Download