BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Problematic Internet Use PIU merupakan sindrom multidimensional yang terdiri dari gejala kognitif,emosional, dan perilaku yang mengakibatkan seseorang kesulitan dalam mengelola kehidupannya ( Caplan, 2003 ). Caplan membagi PIU kedalam 5 dimensi yaitu dimensi Preference Online Social Interaction (POSI), Mood Regulation (MR), Cognitive Preoccupation (CP), Compulsive Internet Use (CIU) dan Negative Outcome (NO). PIU didefinisikan oleh gejala kognitif dan perilaku, pikiran obsesif tentang internet, kurangnya kontrol impuls (Young, 1999), kesenangan dalam menggunakan Internet (Chou, 2001), dan rasa bersalah tentang penggunaan internet (Caplan, 2003). Hal tersebut dinyatakan sebagai gejala kognitifdari PIU (Durak & Durak, 2011). Meskipun peneliti dari penelitian sebelumnya masih tidak setuju pada lingkup, sifat, etiologi, dan efek dari PIU (Widyanto & Griffiths, 2005). Literatur menunjukkan bahwa gejala yang terdapat pada PIU diantaranyaterkait dengan regulasi mood yang adaptif , penggunaan kompulsif terhadap Internet, cenderung lebih tertarik melakukan interaksi sosial Onlinedari pada bertatap muka langsung dan memberikan efek negatif akibat penggunaan internet (Caplan, 2005 dalam Capalan, 2010). LaRose , Lin , dan Eastin ( 2003) berpendapat bahwa keterlibatan PIU dalam kegiatan online, untuk meringankan suasana hati negatif, untuk menghilangkan stres, kesepian, depresi atau kecemasan. Sedangkan Caplan (2003) membagi sejumlah tanda kognitif dan perilaku dari PIU yaitu, seringkali terjadinya perubahaan mood (konsumsi internet untuk beberapa perubahaan pada hal-hal negatif), adanya persepsi dari keuntungan online sosial (merasa mendapatkan keuntungan ketika melakukan sosialisasi secara online), terjadinya penggunaan internet secara kompulsif (kemampuan untuk mengontrol penggunaan internet berkurang), penggunaan secara berlebihan (menggunakan internet secara berlebihan melampaui batasan normal dari penggunaan internet yang telah di rencanakan), pengulangan kembali (merasa gelisah jika jauh atau tidak dapat mengakses internet), dan merasa memiliki kontrol sosial (memiliki persepsi bahwa kontrol sosial yang dilakukan ketika berinteraksi dengan online lebih baik dibandingkan berinteraksi sosial di dunia nyata). Selain dari identifikasi tersebut, 9 10 Caplan (2003) juga menjabarkan bahwa dari setiap tanda kognitif yang muncul bersama dengan perilaku seseorang, memiliki hubungan negatif secara signifikan dalam penggunaan internet. Caplan meyakini bahwa dua tanda kognitif (persepsi mendapatkan keuntungan Online sosial dan persepsi akan kontrol Online sosial) ini akan membantu menjelaskan secara teoritis bagaimana hasil negatif terhubung dengan preferensi virtual (maya) seseorang, di bandingkan dengan hubungan secara langsung. 2.1.1 Karakteristik PIU Dalam Problematic Internet Use yang dikembangkan oleh Caplan (2010), memiliki sekitar 5 dimensi didalamnya. Dimensi-dimensi tersebut diantaranya adalah, Preference Online Social Interaction (POSI) merupakan dimensi dimana jika seseorang mengalami POSI maka, seseorang tersebut akan mengalami kecendrungan untuk lebih menyukai berinteraksi secara online dari pada face to face.Mood Regulation (MR) adalah dimana jika seseorang mengalaminya, individu tersebut memiliki motivasi menggunakan internet untuk memperbaiki moodnya. Cognitive Preoccupation (CP) mengarah kepada pemikiran yang obsesif akan penggunaan internet, dimana ketika individu tersebut sedang tidak online, yang ada dipikirannya hanyalah untuk selalu online.Compulsive Internet Use (CIU) mengarah pada sebuah perilaku kompulsif dimana individu yang mengalaminya cenderung, akan menunjukkan perilaku tidak dapat mengontrol penggunaan internetnya hingga meninggalkan aktifitas normalnya. Negative Outcome (NO) merupakan hasil-hasil negatif yang ditimbulkan dari penggunaan internet secara berlebihan. 2.1.2 Faktor-Faktor dalam PIU Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan individu mengalami PIU diantaranya adalah self esteem rendah, pencarian reward, permasalahan didalam keluarga, dan ketertarikan yang Terdapat kuat terhadap teknologi (Tam & Walter, 2013). Berdasarkan faktor-faktor yang terdapat dalam PIU tersebut, self esteem menjadi salah satu faktor yang memiliki keterkaitan langsung terhadap PIU, hal tersebut dapat dijelaskan berdasarkan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa self esteem rendah menjadi salah satu prediktor yang memicu terjadinya PIU (Durak & Durak, 2011). 11 2.2Cogntive Distortion Cogntive Distortion di definisikan sebagai keadaan tidak berfungsinya pola pikir, memiliki pikiran negatif, serta mengalami ketidak akuratan dalam berpikir, menyebabkan dampak klinis terhadap diri, serta memotivasi perilaku maladaptif pada seseorang (Briere, 2001). Sedangkan menurut Aaron Beck (1979) Cogntive Distortion adalah pikiran berlebihan yang di identifikasikan sebagai kenyataan akan sesuatu yang tidak benar-benar rasional atau tidak logis. Distorsi kognitif terjadi ketika seseorang membuat kesalahan dalam kognisi dan persepsi atau mendistorsi informasi secara sistematis. Cogntive Distortion sendiri di populerkan oleh David D. Burns, seorang profesor dari University of Stanford University School of Medicine. Burns, serta pengikutnya, menyatakan bahwa Cogntive Distortion adalah kelemahan dalam berpikir logis, juga dikenal sebagai kekeliruan (Burns, 1989).Dari beberapa definisi menurut para ahli yang telah di jabarkan diatas, dapat disimpulkan bahwa Cogntive Distortion sangatlah mempengaruhi pola pikir dari seseorang, dimana seseorang tersebut seringkali melakukan pemikiran tidak logis atau lemahnya seseorang dalam berpikir logis, sehingga seringkali menimbulkan keyakinan dari sebuah pemikiran yang sulit diterima oleh nalar, serta bertentangan dengan keadaan normal yang biasa terjadi. 2.2.1 Karakteristik CD Briere (2001) menjelaskan Cognitive Distortion dengan membaginya ke dalam beberapa dimensi diantaranya, Self Criticism (SC) mengarah pada kecenderungan seseorang untuk mengkritik atau merendahkan diri sendiri, baik secara internal maupun kepada orang lain. Self Blame (SB) mengarah pada kecenderungan seseorang dalam menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian yang tidak diinginkan, serta kejadian negatif yang telah terjadi dalam hidupnya. Termasuk menyalahkan diri sendiri untuk pengalaman merugikan yang berada diluar kendali diri. Helplessness (HOP) mengarah pada persepsi atas ketidakmampuan individu mengontrol aspek-aspek penting dari kehidupan. Hopelessness (HLP) mengarah pada kecenderungan berpikir sejauh mana individu percaya memiliki masa depan yang suram dan ditakdirkan untuk menderita atau gagal. Hingga seringkali dicirikan sebagai individu yang pesimis dan gagal dalam bertahan dalam kegiatan yang membutuhkan harapan serta hasil dari masa depan yang positif. Preoccupation With Danger (PWD) individu dengan kecenderungan untuk 12 melihat dunia sebagai tempat yang berbahaya. Menganggap keadaan yang tidak berbahaya mengandung resiko emosional atau fisik yang negatif. 2.3 Remaja Menurut Santrock (2003), bahwa remaja (adolescene) diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional.Papalia (2004) menyatakan bahwa remaja adalah suatu periode yang panjang sebagai proses transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa dengan rentang usia 11-15 tahun.Hal senada juga diungkapkan oleh Santrock(2003) bahwa remajadiartikan sebagai masaperkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosialemosional. Menurut literatur pada penelitian sebelumnya menyatakan bahwa transisi yang terjadi pada masa remaja menghadapkan mereka pada tantangan dalam mengembangkan hubungan interpersonal yang intim (Erikson, 1959 dalam Yang & Brown, 2013). Jika menurut Santrock (2003) bahwa remaja masih mengalami perkembangan transisi dari segi aspek biologis, kognitif serta sosial dan emosionalnya, para remaja yang sedang dalam tahapan perkembangan transisi tersebut cenderung menggunakan Facebook untuk hal yang positif dan negatif, dalam hal positif mereka menggunakan Facebook sebagai sarana dalam tetap menjalin hubungan dengan temanteman lamanya atau teman-teman yang sulit untuk dijumpai dengan bertatap muka. Sedangkan dalam hal negatif motif mereka menggunakan Facebook hanya untuk terlihat gaul atau dianggap keren, bahkan sampai ada yang melakukan pengintaian (lurking) atau memata-matai (stalking) (Subrahmanyam et al. 2008 dalam Yang & Brown, 2013). 2.3.1 Karakteristik remaja dengan PIU Remaja masa kini menggunakan internet sebagai alat pemersatu untuk informasi, komunikasi serta hiburan (Tsitsika et al. 2009). Menurut literatur pada penelitian sebelumnya menyatakan bahwa transisi yang terjadi pada masa remaja menghadapkan mereka pada tantangan dalam mengembangkan hubungan interpersonal yang intim (dalam Yang & Brown, 2013, Erikson 1959). Menurut Reasoner (2004) remaja sering memiliki permasalahan terhadap self esteem atau rendahnya kepercayaan dirinya. Karakteristik yang terjadi pada remaja ini sangat kuat kaitannya langsung 13 dengan variabel Problematic Internet. Dimana pada PIU self esteem merupakan salah satu prediktor untuk seseorang mengalami PIU (Likewise, Armstrong et al, 2000,dan Kim & Davis, (2009) dalam Durak & Durak, 2011). 2.3.2 Karakteristik remaja dengan CD Reasoner (2004) mengemukakan remaja sering memiliki permasalahan terhadap self esteem atau rendahnya kepercayaan dirinya. Ini merupakan salah satu karakteristik pada remaja yang terkait dengan CD. Pernyataan tersebut didukung oleh pandangan menurut Briere (2001) individu yang mengalami self esteem rendah memiliki kecenderungan untuk mengalami self criticsm, yang merupakan salah satu dimensi dalam CD. 2.4 Facebook Facebook merupakan salah satu jejaring sosial yang beroperasi sebagai situs pribadi, namun dalam komunitasnya Facebook didefinisikan atau memiliki fungsi, dimana fiturnya memungkinkan pengguna untuk mencari dan berinteraksi satu sama lain. Pada situs atau halaman Facebook, pengguna dapat memberikan informasi tentang diri mereka sendiri (termasuk hubungan sosial yang penting, rincian seperti orientasi seksual dan apakah mereka sedang dalam relationship atau tidak), mengunggah foto, membuat group dan berkomentar mengenai perasaan mereka atau berbagi cerita dengan orang lain. Mereka juga dapat menulis pesan kepada teman-teman sesama pengguna Facebook, mengunggah sesuatu di halaman Facebook teman, atau tag (mencantumkan) teman dalam foto. Selain fitur-fitur tersebut, akses informasi ini dapat dibatasi untuk anggota Facebook lainnya dan dapat dibatasi lebih lanjut oleh masing masing pengguna Facebook itu sendiri (Yang & Brown, 2013). Facebook lainnya dan dapat dibatasi lebih lanjut oleh masing-masing pengguna Facebook itu sendiri (Yang&Brown, 2013). 14 2.5 Kerangka Berpikir Gambar 2.1 SkemaBerpikir Skema di atas menjelaskan bahwa para remaja di era globalisasi kini sangat mengenal apa itu Social Networking Site (SNS) atau situs jejaring sosial, yang salah satunya adalah Facebook. Menurut fenomena yang terjadi belakang ini remaja yang aktif menggunakan Facebook seringkali berlebihan dalam menggunkannya bahkan mereka mengakses Facebook mereka hampir setiap jam dan melakukan itu setiap hari. Hingga akhirnya mereka seringkali melupakan kegiatan lainnya atau kewajiban yang harus mereka lakukan setiap harinya, hanya karena terlalu sering menggunakan Facebook mereka (Young, 1998 dalam Chittaro & Vianello, 2013). Penggunaan berlebihan yang dimaksud adalah frekuensi dalam penggunaan Facebook mereka. Jika dimisalkan individu mengakses Facebook pada jam pertama dan mengaksesnya kembali pada 1 jam berikutnya, dan begitu seterusnya. Aktifitas tersebut tidak lagi merujuk pada batasan waktu namun lebih merujuk kepada Cognitive Preoccupation yaitu ketika seseorang mengalami obsesi dalam pemikiran, yang mengakibatkan seseorang tersebut memiliki kecenderungan untuk selalu ingin kembali online walaupun ia sedang tidak online, seperti para remaja yang hampir selalu online setiap jamnya dan Compulsive 15 Internet Use yaitu merupakan sebuah perilaku yang akhirnya menjadi deficient self regulation atau perilaku yang kurang baik dalam penggunaan internet yang kompulsif (Caplan, 2010). Hasil dari literatur-literatur yang ada, menunjukkan bahwa banyaknya remaja sebagai pengguna Facebook di Indonesia, memungkinkan untuk mengalami Problematic Internet Use jika penggunaan Facebook mereka berlebihan. Seperti hal nya yang telah dijelaskan berdasarkan fenomena yang ada, keadaan ini menimbulkan kemungkinan negatif terhadap kognitif para remaja, serta kemungkinan akan terganggunya fungsi normal keseharian hidupnya. Pernyataan tersebut didukung oleh literatur yang menjabarkan bahwa pandangan terhadap perilaku kognitif dapat di gunakan untuk menjelaskan perkembangan dan kelanjutan dari Problematic Internet Use, yang mana dasar dari pandangan ini dikenal sebagai maladaptive cognitions (Durak & Durak, 2011). Selain itu pada maladaptive cognition juga ditemukan disfungsi perilaku seperti ketidak mampuan untuk terlibat dalam sosial, keluarga, dan pekerjaan, serta penggunaan internet diketahui dapat menjadi alasan sebagai cara melarikan diri dari permasalahan psikologis yang mengarah pada Problematic Internet Use (Caplan, 2002 dalam Durak&Durak, 2011). Sedangkan Cognitive Distortion menurut Brier (2001) menjelaskan bahwa hasil dari Cognitive Distortion salah satunya adalah memotivasi perilaku maladaptif. Hal ini sangat sesuai dengan apa yang telah dikemukakan oleh penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa pandangan mengenai maladaptive cognition dapat mengarah pada terjadinya Problematic Internet Use (Durak&Durak, 2011). Selain itu keterkaitan lainnya dapat dijelaskan melalui kaitan antara dimensi pada kedua variabel dimana menurut Briere (2001) Cogntive Distortion telah digambarkan baik sebagai perilaku mementingkan atau merendahkan diri sendiri (self criticism). Jika ditelusuri lebih lanjut Preference Online Social Interaction (POSI) yang merupakan salah satu dari dimensi PIU, memiliki keterkaitan dengan Self Criticism yang merupakan salah dimensi dari CD. Hal tersebut dijelaskan oleh Briere (2001) bahwa individu yang mengalami Self Criticism seringkali memunculkan pikiran negatif dengan merendahkan dirinya sendiri hingga mengaggap dirinya buruk dan tidak dapat diterima dalam lingkungan. Namun Briere (2001) menyatakan bahwa seseorang dengan Self Criticism biasanya dianggap sebagai individu dengan self esteem rendah. 16 Sedangkan menurut Caplan (2010) individu yang mengalami POSI lebih menyenangi berinteraksi melalui online daripada bertatap muka langsung, yang berarti jika seseorang mengalami Self Criticism sejatinya seseorang tersebut cenderung akan lebih senang berinteraksi secara online daripada bertatap muka langsung. Salah satunya adalah dengan menggunakan situs jejaring sosial Facebook, individu dengan self criticism cenderung mengisolasi diri untuk menghindari interaksi langsung terhadap dunia luar (Douglas, Mills, Niang, Stepchenkova, Byun, Ruffini, 2008 dalam Durak & Durak, 2011), mereka mengatasi permasalahan itu dengan melakukan interaksi onlineyang salah satunya menggunakan facebook sebagai mood regulator (Caplan, 2005). Facebook juga dapat menjaga mereka tetap dapat berinteraksi dengan orang lain tanpa harus bertemu langsung dengan orang tersebut, hal tersebut didukung oleh fitur yang terdapat didalam facebook dimana salah satu fiturnya memungkinkan untuk individu memiliki banyak pertemanan, dan dapat melakukan obrolan (chatting)(Yang & Brown, 2013). Hal tersebut didukung dengan temuan dari literatur, yang menyatakan benar adanya bahwa Self Criticsm yang merupakan salah satu dimensi dalam CD, dapat menjadi faktor pemicu seseorang tersebut mengalami PIU (Ridolfi, Myers, Crowther & Ciesla, 2011).