BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Media Baru – Internet Abad ke-20 dapat digambarkan sebagai ‘zaman pertama media massa. Abad ini juga ditandai dengan berubahnya ketakjuban maupun ketakutan atas pengaruh media massa. Walaupun terjadi perubahan yang besar dalam lembaga dan teknologi media serta dalam masyarakat sendiri dan juga munculnya ‘ilmu komunikasi’, perdebatan publik mengenai signifikasi sosial yang potensial dari ‘media’ sepertinya tidak terlalu berubah. Penggambaran isu yang muncul selama dua atau tiga dekade awal pada abad ke-20 lebih dari sekedar kepentingan sejarah dan pemikiran awal memberikan poin rujukan untuk memahami masa kini. (McQuail, 2011:56) Media massa perkembang begitu cepat. Seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi, komunikasi massa pun semakin canggih dan kompleks, serta memiliki kekuatan yang lebih dari masa-masa sebelumnya. Hal ini ditandai dengan munculnya media baru. Istilah ‘media baru’ telah digunakan sejak tahun 1960-an dan telah mencakup seperangkat teknologi komunikasi terapan yang semakin berkembang dan beragam. Menurut Denis McQuail dalam bukunya Teori Komunikasi Massa (2011:43) ciri utama media baru adalah adanya saling keterhubungan, aksesnya terhadap khalayak individu sebagai penerima maupun pengirim pesan, interaktivitasnya, kegunaan yang beragam terbuka, dan sifatnya yang ada di mana-mana. 29 sebagai karakter yang 30 Adapun perbedaan media baru dari media lama, yakni media baru mengabaikan batasan percetakan dan model penyiaran dengan memungkinakan terjadinya percakapan antar banyak pihak, memungkinkan penerimaan secara simultan, perubahan dan penyebaran kembali objek-objek budaya, mengganngu tindakan komunikasi dari posisi pentingnya dari hubungan kewilayahn dan modernitas, menyediakan kontak global secara instan, dan memasukkan subjek modern/akhir modern ke dalam mesin aparat yang berjaringan. (Poster, dalam McQuail, 2011:151). Perubahan utama yang berkaitan dengan munculnya media baru yakni: Digitalisasi dan konvergensi atas segala aspek media. Interaksi dan konektivitas jaringan yang makin meningkat. Mobilitas dan deklokasi untuk mengirim dan menerima. Adaptasi terhadap peranan publikasi khalayak. Munculnya beragam bentuk baru ‘pintu’ (gateway) media. Pemisahan dan pengaburan dari ‘lembaga media’. Klaim status paling utama sebagai media baru dan mungkin juga sebagai media massa adalah internet. Meskipun demikian, ciri-ciri massal bukanlah karasteristik utamanya. Pada awalnya, internet dimulai sebagai alat komunikasi nonkomersial dan pertukaran data antara profesioanal, tetapi perkembangan selanjutnya adalah internet sebagai alat komunikasi pribadi dan antarpribadi (Castells), Media ini belum matang maupun memiliki definisi yang jelas sejalan dengan penilaian Lievrouw yang menyatakan bahwa ‘belum terdapat bentuk aplikasi yang sangat hebat (killer application) dari interaksi 31 dalam jaringan (daring)’. Walaupun demikian, kita juga dapat melihat aplikasi mesin pencari dan situs jaringan sosial sebagai aplikasi yang unik dan dominan. (Denis McQuail, 2011:44). Denis McQuail memberikan beberapa ciri mengenai internet, yaitu : Teknologi berbasis komputer. Karakternya hibrida, tidak berdedikasi, fleksibel. Potensi interaktif. Fungsi publik dan privat. Peraturan yang tidak ketat. Kesalingterhubungan. Ada di mana-mana/tidak tergantung lokasi. Dapat diakses individu sebagai komunikator. Media komunikasi massa dan pribadi. Kemunculan media baru turut memberikan andil akan perubahan pola komunikasi masyarakat. Media baru, dalam hal ini internet sedikit banyak mempengaruhi cara individu bekomunikasi dengan individu lainnya. Internet di kehidupan sekarang hadir untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam berkomunikasi dan memperoleh informasi. Internet berfungsi sebagai jaringan global untuk komunikasi dari satu lokasi ke lokasi lainnya di belahan dunia. Internet juga berfungsi sebagai aspek penyedia informasi yang tidak ada batasan. Mengakses internet saat ini sudah menjadi rutinitas kebanyakan masyarakat. Tidak hanya dengan menggunakan komputer atau laptop saja 32 tetapi kini dapat mengaksesnya melalui handphone dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan oleh sejumlah provider telpon seluler. B. Media Sosial dan Facebook Tidak dapat dipungkiri, kehadiran media baru semakin memudahkan manusia dalam berkomunikasi. Media baru, dalam hal ini internet, pada akhirnya berfungsi sebagai media sosial. Melalui media sosial, pola komunikasi masyarakat tidak lagi terbatas oleh ruang dan waktu. Sebagaimana yang dikatakan oleh Marshall Mcluhan dengan teorinya medium as an extension of human faculties: media sebagai perpanjangan tubuh manusia. Melalui media sosial, pengguna dapat menjalin persahabatan dan berbagi informasi dengan pengguna lainnya tanpa ada hambatan berupa jarak dan waktu. Media sosial menjadi media interaksi baru yang membuat ruang-ruang bagi masyarakat untuk saling berbagi, bercerita dan menyalurkan ide-idenya. Akibatnya, masyarakat melakukan migrasi virtual untuk berinteraksi di ruang maya/virtual agar dapat berinteraksi dengan pengguna lainnya. Jika sebelumnya, komunikasi dan interaksi kita hanya sebatas tatap muka, maka hal tersebut semakin terpanjangkan dengan hadirnya media sosial. Salah satunya melalui facebook. Melalui facebook facebook seseorang dapat bertemu kembali teman- teman lama, membangun silaturahmi yang dahulu sempat terputus dan dapat berkomunikasi dengan lancar walaupun berjauhan. Facebook juga sebagai media promosi online untuk mempermudah seseorang yang ingin mempromosikan barang dagangannya karena. Banyaknya 33 pengguna facebook membuka peluang bagi banyak orang untuk dapat melihat barang dagangan tersebut. Selain itu facebook juga sebagai tempat diskusi yang tepat. Comment yang ditulis seseorang secara bebas, akan direspon oleh orang lain, sehingga disini dapat dijadikan sebagai ajang tukar pikiran yang baik. Hal ini sangat menarik sebab di satu sisi masyarakat jadi lebih mudah berkomunikasi jarak jauh, tapi juga mulai menggerogoti interaksi sosial masyarakat sebab mereka mulai lebih cenderung berinteraksi di dunia maya ketimbang bertemu bertatap muka. Seseorang yang menjadi pengguna facebook cenderung lebih suka meluahkan perasaannya di media tersebut. Apapun yang dirasakannya, mulai dari marah, senang, galau, hingga rasa kecewa akan dituliskan dalam akun facebook miliknya. Meskipun terkadang masih ada yang menuliskan hal-hal mengenai masalah-masalah sosial, namun boleh dikatakan hal tersebut sangat minim. Kebanyakan pengguna lebih suka menuliskan hal-hal pribadi. Padahal facebook sebagai ruang publik sudah seharusnya digunakan untuk menuliskan atau membahas sesuatu yang berhubungan dengan publik. Di sinilah titik penting bagi penulis untuk melihat bagaimana sebenarnya pengguna memanfaatkan facebook. Tetapi untuk memahami hal tersebut terlebih dahulu kita harus memahami apa pemanfaatan itu. Pemanfaatan adalah aktivitas menggunakan proses dan sumber. Pemanfaatan dalam hubungannya dengan facebook berarti aktvitas menggunakan proses dan sumber atau fitur-fitur yang disediakan oleh facebook. Facebook menyediakan banyak fitur yang bisa dimanfaatkan oleh para penggunanya (user). Jadi, di 34 sini bisa dilihat bahwa pemanfaatan adalah bagaimana setiap pengguna facebook menggunakan fitur-fitur yang telah disediakan. Apakah itu status, unggah foto, komen, maupun like. C. Ruang Publik Gagasan tentang ruang publik kemudian berkembang secara khusus seiring dengan munculnya kekuatan civil society. Dalam hal ini filsuf Jerman, Jurgen Habermas, dipandang sebagai penggagas munculnya ide ruang publik (Sulfikar). Jurgen Habermas memperkenalkan gagasan ruang publik pertama kali melalui bukunya yang berjudul The Structural Transformation of the Public Sphere: an Inquire Into a Category of Bourjuis Society yang diterbitkan sekitar tahun 1989. Dalam konsep Habermas, media dan ranah publik berfungsi di luar sistem politis-kelembagaan yang aktual. Fungsi media dan ranah publuk ini sebagai lokasi bagi organisasi, perjuangan, dan transformasi politik. Dalam bukunya itu, Habermas juga mengkontraskan berbagai bentuk ranah borjuis. Mulai ranah publik yang bersifat partisipatoris dan aktif di era heroic demokrasi liberal, sampai dengan bentuk-bentuk ranah public yang lebih privat dari pengamat politik dalam masyarakat industri birokratis. Pada masyarakat semacam itu, kalangan media dan elite mengontrol ranah publik. Dalam penelitian Habermas mengenai bangkitnya demokrasi, secara sejarah versi pertama dari ranah atau ruang publik terutama diwakili oleh kedai kopi abad ke-18 atau kelompok debat di mana partisan aktif di kehidupan politik bertemu, berdiskusi dan membentuk proyek politik. Peranan 35 pentingnya adalah mengawasi pemerintah atas opini publik yang disiarkan dan berpengaruh. Alat utama komunikasinya adalah melalui percakapan pribadi secara langsung, perkumpulan public, dan media cetak skala kecil. Pembentukan ruang publik ini berutang banyak pada kondisi kapitalisme dan kebebasan ekonomi dan individualism, dan bentuk pertama dari ruang publik digambarkan sebagai ruang publik yang ‘borjuis’ mencerminkan dasar kelasnya. Pembangunan selanjutnya mencakup bangkitnya kepentingan korporat baru dan subtitusi komunikasi massa secara umum terhadap diskusi antarpribadi sesame elit. Habermas secara umum pesimis mengenai konsekuensi demokrasi di masa modern karena publik lebih dapat dimanipulasi oleh media daripada membentuk opini dengan cara rasional. Pandangan ini dirangkum, dalam kutipan berikut, Sehubungan dengan penjajahan ranah publik oleh pasar yang penting, apa yang saya pikirkan adalah (bahwa)… di bawah tekanan pemilik saham yang haus akan keuntungan tinggi,campur tangan terhadap kepentingan fungsional dari ekonomi pasar ke dalam ‘logika internal’ dari produksi dan persentasi pesan yang membawa pada kesalaahan penempatan yang tersembunyi dari suatu kategori komunikasi terhadap kategori lain: isu wacana politik menjadi berasimilasi dan terserap ke dalam model dan konten hiburan. Selain personalisasi, dramatisasi peristiwa, penyederhanaan masalah yang rumit, dan polarisasi yang gamblang atas konflik yang mempromosikan privatisasi dan emosi antipolitik (Habermas, dalam McQuail, 199). Meski demikian, pengharapan positif berkaitan dengan peranan media di ranah publik sering diungkapkan dalam hubungannya media baru. Dahlgren (2005) menyebutkan cara yang berbeda di mana internet dapat membantu: meningkatkan hubungan langsung antara pemerintah dan warga negara; memberikan panggung dan saluran untuk pengacara dan aktivis; 36 menyelenggarakan forum sipil untuk debat dan diskusi; dan juga menambah lebih banyak cabang bagi jurnalisme yang beragam. Adapun cara-cara media dalam mendukung ranah publik adalah sebagai berikut: Memperluas ruang untuk debat. Mengedarkan informasi dan gagasan sebagai dasar untuk opini public. Saling menghubungkan warga dengan pemerintah. Menyediakan informasi yang bergerak. Menantang monopoli pemerintah dalam hal politik. Memperluas kebebebasan dan keragaman publikasi. Berdasarkan penjelasan di atas, penulis dapat katakan bahwa facebook sebagai media sosial juga berfungsi sebagai ranah atau ruang publik. Facebook menjadi tempat berkumpulnya orang-orang dari berbagai kalangan yang tidak dibatasi oleh umur. Pada sesama teman facebook, facebook hadir sebagai alat komunikasi baru di mana mereka bisa saling bertukar informasi dan berdiskusi tanpa harus bertatap muka. Namun, facebook sebagai ruang publik pada akhirnya mengalami pergeseran fungsi. Facebook yang seyogyanya menjadi tempat untuk bertukar informasi dan menjadi ruang diskusi kini tidak lagi jelas. Melalui fitur status updates, seorang pengguna akan menuliskan apapun. Mulai dari apa yang dia rasakan, apa yang dia inginkan, di mana posisinya sekarang, hingga statusstatus yang sifatnya mengumpat atau menghujat orang lain. Semua hal yang diungkapkan terkadang tidak penting untuk diketahui orang lain dan bahkan 37 hal-hal pribadi sekalipun tetap diungkapkan. Batas antara konten publik dan privat menjadi kabur. Seseorang tidak lagi paham akan fungsi facebook sebenarnya. Selain status, pengguna facebook juga dengan santainya menggunggah foto-foto pribadi yang sebenarnya bersifat privat dan tidak selayaknya ditunjukkan kepada orang lain. Belum lagi jika sesama pengguna saling bertukar komentar pada status yang mereka buat, komentar yang diberikan seringkali mengarah ke ranah yang begitu pribadi, yang tentunya bisa dilihat oleh orang banyak. Masalah yang seharusnya menjadi masalah pribadi akhirnya diketahui oleh semua orang. Hal pribadi pada akhirnya menjadi santapan publik. Meski demikian, para pengguna facebook terkesan tidak peduli. Mereka tetap saja menuliskan dan memberitakan hal-hal yang mereka rasakan, mereka inginkan, dan mereka kuatirkan, meskipun hal tersebut sangat bersifat pribadi. D. Analisis Isi Kuantitatif Dalam bukunya berjudul Analisis Isi, Eriyanto mengulas secara singkat mengenai sejarah analisis isi. Neuendorf dalam Eryanto menyatakan analisis isi dipakai sejak 4.000 tahun lalu pada masa Romasi kuno. Sementara Krippendorff melihat penggunaan analisis isi pertama kali dapat dilacak hingga abad XVIII di Swedia. Krippendorff menguraikan sebuah peristiwa menyangkut sebuah buku popular yang berisi 90 himne berjudul Nyanyian Zion (Song of Zion). Buku ini lolos dari sensor negara, tetapi menimbulkan kontroversi di kalangan gereja ortodoks di Swedia. Kalangan gereja khawatir bahwa nyanyian yang terdapat dalam buku ini menyimpang dari ajaran gereja. 38 Kalangan gereja kemudian mengumpulkam sejumlah sarjana untuk membuat penelitian mengenai nyanyian (himne) ini. Sebagian para sarjana menghitung simbol-simbol agama yang ada dalam nyanyian. Sementara sarjana lain menghitung simbol-simbol yang sama yang terdapat dalam buku Nyanyian Zion. Ternyata dari hasil penelitian ini tidak ada perbedaan simbol di antara keduanya. Peristiwa ini merupakan salah satu peristiwa awal bagaimana analisis isi dipakai untuk menyelidiki isi dengan jalan menguraikan isi, melakukan kategorisasi, dan menghitung karakteristik dari isi ini. Lebih jauh, Eriyanto mengatakan perkembangan penting analisis isi terjadi pada awal abad XIX. Ini ditandai dengan mulai dibukanya studi mengenai jurnalisme dan surat kabar di Amerika. Sekolah-sekolah kewartawanan tumbuh seperti cendawan kemudian mencuatkan kebutuhan akan penelitian empiris terhadap fenomena persuratkabaran. Sejak saat itu, banyak bermunculan studi mengenai analisis isi terhadap surat kabar. Penelitian misalnya melakukan pengukuran sederhana untuk mengungkapkan berapa ruang yang disediakan oleh surat kabar untuk memberitakan masalah politik, ekonomi, skandal, dan seks. Ketika media elektronik mulai luas (radio dan film), analisis isi juga mulai diterapkan untuk media elektronik. Meski telah dipakai sejak abad XVIII, analisis isi masih belum memperoleh status sebagai metode ilmiah. Krippendorff ( dalam Eryanto ) menyatakan fase penting dari analisis isi terjadi pada 1920-an. Ada dua perkembangan penting yang memengaruhi pertumbuhan analisis isi sebagai 39 suatu metode ilmiah. Pertama, pertumbuhan metode penelitian empiris dalam ilmu-ilmu sosial. Kedua, pemakaian metode analisis isi oleh ilmuwan sosial. Adapun analisis isi kuantitatif, menurut Eriyanto (2011) harus dibedakan dengan jelas dengan jenis-jenis analisis isi lainnya---seperti semiotika, framing, naratif, dan banyak lagi. Analisis isi kuantitatif mempunyai karakteristik yang berbeda dengan analisis teks lainnya. Secara umum, analisis isi kuantitatif dapat didefinisikan sebagai suatu teknik penelitian ilmiah yang ditujukan untuk mengetahui gambaran karakteristik isi dan menarik inferensi dari isi. Analisis isi ditujukan untuk mengidentifikasi secara sistematis isi komunikasi yang tampak (manifest), dan dilakukan secara objektif, valid, reliabel, dan dapat direplikasi. Eriyanto (2011:10) menjelaskan bahwa penggunaan analisis isi terdapat dalam tiga aspek. Pertama, analisis isi ditempatkan sebagai metode utama. Kedua, analisis isi dipakai sebagai salah satu metode saja dalam penelitian. Ketiga, analisis isi dipakai sebagai bahan pembanding untuk menguji kesahihan dan kesimpulan yang telah didapat dari metode lain. Analisis isi merupakan salah satu metode utama dari ilmu komunikasi. Penelitian yang mempelajari isi media (surat kabar, radio, film dan televisi) menggunakan analisis isi. Lebih jauh, dengan munculnya media baru maka analisis isi juga dapat digunakan dalam menganalisis media tersebut. Salah satunya analisis yang dilakukan oleh penulis yaitu analisis facebook. Lewat analisis isi, peneliti dapat mempelajari gambaran isi, karakteristik pesan, dan perkembangan (tren) dari suatu isi. 40 Merumuskan tujuan analisis isi merupakan bagian yang sangat penting dalam desain analisis isi. Desain analisis isi tidak dapat dibuat tanpa adanya tujuan penelitian yang dirumuskan dengan jelas. Karena desain riset pada dasarnya merupakan bangunan konstruksi yang dibuat untuk menjawab tujuan penelitian. Penelitian yang tujuannya hanya untuk menggambarkan pesan, tentu berbeda dengan penelitian yang ingin menguji hubungan di antara variable. Dilihat dari pendekatan dalam analisis isi, dapat dibagi ke dalam tiga bagian besar, yakni: analisis isi deskriptif, eksplanatif, dan prediktif. (Eriyanto, 2011: 46). Penulis, dalam penelitian ini menggunakan analisis isi deskriptif. Eriyanto dalam bukunya Analisis Isi mengatakan analisis isi deskriptif adalah analisis isi yang dimaksudkan untuk menggambarkan secara detail suatu pesan, atau teks tertentu. Desain analisis ini tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu atau menguji hubungan di antara variable. Analisis isi semata untuk deskripsi, menggambarkan aspek-aspek dan karakteristik dari suatu pesan. E. Tinjauan Penelitian Analisis mengenai facebook telah diteliti sebelumnya pada tahun 2009 oleh Erma Musrianti. Hasil penelitian yang dilakukan dengan analisis semiotika sederhana ini menyimpulkan bahwa melalui teks-teks informan, hubungan sosial dalam facebook secara dominan direpresentasikan sebagai hubungan yang high context. Selain itu, penelitian ini juga menemukan hasil bahwa para pengguna facebook memaknai hubungan sosial dalam Facebook 41 sebagai perpanjangan dari ekspresi diri dan hubungan sosial mereka di ruang fisik (Musrianti. 2009). Pada tahun 2012, Rakhmawati La’lang melakukan penelitian mengenai representasi eksistensi diri pada profile picture dalam situs pertemanan facebook (sebuah analisis semiotika. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa melalui keberadaan tanda (ikon, indeks dan simbol) yang ditampilkan sebagai atribut-atribut yang dimunculkan dalam profile picture secara eksplisit dan implisit di representasikan sebagai bentuk eksistensi diri. Rakhmawati dalam penelitiannya mengatakan, para pengguna facebook memandang profile picture sebagai media komunikasi piktorial atas sebuah informasi, perwakilan jati diri mereka dalam ranah media sosial dunia maya untuk memperkuat keberadaan mereka dan memperoleh pengakuan diri dalam bersosialisasi demi citraan diri mereka dengan membawa identitas sosial dan budaya masingmasing dalam bereksistensi yang dihadirkan secara berbeda pada tiap individu. Keberagaman bentuk eksistensi tersebut direpresentasikan melalui Profile Picture dengan menampilkan prestasi atau pencapaian, kepemilikan benda-benda terkini yang sedang digandrungi masyarakat, memperlihatkan hasil karya diri/ buah pikirannya, foto dari pada lokasi-likasi tertentu, bersama public figur, dan keterlibatan diri pada organisasi tertentu yang tidak menutup kemungkinan lebih banyak lagi Tampilan lain sejenis sebagai upaya mereka “berada” dalam kehidupan sosial dunia maya. (La’lang: 2012). Di sisi lain, pada tahun yang sama, Christin Natalia Sattu meneliti mengenai situs facebook di kalangan mahasiswa (studi kasus perubahan pola 42 interaksi mahasiswa fisip unhas). Adapun hasil penelitiannya mengatakan bahwa sebelum adanya facebook interaksi yang terjadi antara mahasiswa kebanyakan melalui hanphone dan menggunakan sarana himpunan untuk saling mengenal antara satu dengan yang lain khususnya bagi mahasiswa yang berbeda jurusan. Facebook menjadi sarana penghubung dan komuikasi bagi para mahasiswa Fisip Unhas, dengan Facebook para mahasiswa dapat kembali bertemu dengan teman-teman lama walaupun di dunia maya. komunikasi antar teman menjadi lancar walaupun berjauhan, selain itu facebook juga dapat menjadi sarana bagi para mahasiswa untuk dapat semakin mengakrabkan diri antara satu dengan yang lainnya baik itu yang sejurusan maupun dengan jurusan lain. Hasil penelitiannya juga menunjukkan bahwa facebook juga memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positif yang dapat dirasakan bagi para mahasiswa antara lain semakin eratnya tali silaturahmi antara teman yang sudah terjalin di dunia nyata, memberikan berbagai macam informasi yang menarik, sarana untuk saling menyapa dan berinteraksi dengan teman, juga sebagai sarana untuk merilekskan fikiran sedangkan dampak negatif facebook yaitu mahasiswa cenderung lupa waktu sehingga banyak waktu mereka yag terbuang sia-sia, tidak ada batasan ranah pribadi karena hal-hal yang harusnya tidak terungkap dapat terungkap di facebook. (Sattu: 2012)