BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Problematic Internet Use 2.1.1 Pengertian Problematic Internet Use (PIU) Problematic Internet Use atau PIU merupakan sindrom multi-dimensi dengan gejala kognitif maladatif dan perilaku yang menghasilkan dampak negatif dalam sosial, akademis, atau konsekuensi professional (Caplan, 2005). Davis (2001) mengatakan bahwa PIU adalah perilaku penggunaan internet yang kurang terkontrol sehingga menghasilkan dampak negatif pada individu seperti mengalami masalah pada kehidupan psikososial, sekolah atau kehidupan kerja. Dari beberapa pengertian mengenai PIU tersebut dapat disimpulkan bahwa PIU merupakan penggunaan internet secara berlebihan dan tidak terkontrol yang ditandai dengan gejala kognitif maladaptif dan perilaku yang menghasilkan dampak negatif bagi kehidupan individu. Adapun gejala kognitif dan perilaku yang muncul dari individu yang mengalami PIU menurut Caplan (2002) diantaranya; (1) Persepsi sosial mengenai manfaat dari online internet, (2) Penggunaan kompulsif (kurangnya pengendalian diri seseorang dalam hal penggunaan internet online bersamaan dengan perasaan bersalah atas ketidakmampuan diri untuk mengontrol perilaku online), (3) Penggunaan berlebihan (penggunaan internet diatas normal, melebihi batas waktu yang telah direncanakan, atau tidak lagi mengetahui waktu ketika sedang online), (4) Perubahan suasana (menggunakan internet untuk mendukung beberapa perubahan negatif yang terjadi), (5) Penarikan diri (kesulitan untuk mengendalikan diri saat offline atau jauh dari internet), (6) Persepsi pengendalian sosial (kontrol sosial saat berinteraksi secara online lebih besar dibandingkan saat berinterkasi tatap muka). 2.1.2 Klasifikasi Problematic Internet Use (PIU) Davis (2001) memperkenalkan model cognitive-behavioral dari PIU yang berfokus pada kognisi maladaptif untuk menjelaskan PIU. Model cognitive-behavioral dari PIU ini diklasifikasikan menjadi dua tipe, yaitu Spesific Problematic Internet Use 7 8 (SPIU) dan Generalized Problematic Internet Use (GPIU). SPIU mengacu pada kondisi di mana seorang individu secara patologis menggunakan Internet untuk tujuan tertentu, seperti seks online atau judi online. Sedangkan GPIU menggambarkan perilaku yang lebih global dari penyalahgunaan internet, seperti membuang-buang waktu di chat room, serta membuang-buang waktu untuk online tanpa tujuan tertentu. Dalam penelitian ini, fokus penelitian yaitu pada perilaku PIU pada situs jejaring sosial sehingga lebih mengacu pada tipe PIU yang general atau GPIU. 2.1.3 Gejala Problematic Internet Use (PIU) Awalnya Davis (2001) membuat model cognitive-behavioral dari PIU yang berfokus pada kognisi maladaptif yang diasosiasikan dengan PIU. Lalu model tersebut dijabarkan lebih lanjut serta validitas dan reabilitasnya diuji secara empiris oleh Caplan (2002) sehingga menghasilkan alat ukur GPIUS yang terdiri dari 7 sub-dimensi yaitu, (1) perubahan suasana hati, (2) adanya manfaat sosial yang dirasakan saat online, (3) dampak negatif dari penggunaan internet, (4) penggunaan internet secara kompulsif, (5) waktu berlebihan yang dihabiskan untuk online, (6) gejala withdrawal ketika offline, dan (7) adanya kontrol sosial dari online. Selanjutnya, Caplan (2010) mengeksplorasi sub dimensi GPIUS dengan mengkonstruk GPIUS2 sehingga menghasilkan empat dimensi untuk mengukur PIU, yaitu: 1. Preference for online social interaction (POSI). Mengacu pada keyakinan bahwa berinteraksi melalui internet lebih aman, lebih nyaman dan efektif, serta kurang mengancam dibandingkan interaksi tatap muka (Caplan, 2007; Kim & Davis, 2009). Individu yang memiliki masalah psikososial seperti kesepian, atau memiliki kemampuan bersosialisasi yang rendah akan cenderung mengembangkan POSI karena mereka merasa lebih nyaman berinterkasi secara online dan merasa diri mereka lebih mampu bersosialisasi ketika mereka berinterkasi dengan orang lain secara online dibandingkan tatap muka (Caplan, 2007). Studi lain juga menunjukkan bahwa individu yang memiliki masalah interpersonal dilaporkan memiliki tingkat POSI yang lebih tinggi. Oleh karena itu POSI menjadi komponen penting dari GPIU untuk menjelaskan mengapa orangorang tertentu menunjukkan indikator lain dari penggunaan internet yang 9 bermasalah seperti pergi online untuk meregulasi suasana hati dan memiliki deficient self-regulation (Caplan, 2010). 2. Mood regulation Regulasi suasana hati atau mood regulation mengacu pada penggunaan internet untuk mengurangi perasaan terisolasi atau gangguan emosi (Caplan, 2002; 2007, dalam Caplan, 2010). Jadi, individu menggunakan internet karena adanya motivasi untuk meregulasi suasana hati negatifnya. Kemudian hal ini menjadi problematic karena Caplan (2007) melalui studinya mengatakan bahwa individu yang memiliki kecemasan dalam sosial cenderung lebih memilih interaksi online untuk berinterkasi dengan orang lain karena dengan begitu mereka dapat mengurangi kecemasan mereka akan kehadiran dirinya dalam situasi interpersonal (Caplan, 2010). Oleh karena itu, motivasi penggunaan internet untuk meregulasi suasana hati menjadi problematic karena saling berhubungan dengan POSI yang akhirnya akan membawa konsekuensi negative seperti penarikan diri atau isolasi (Davis, 2001). 3. Deficient self-regulation Deficient self-regulation atau kurangnya regulasi diri dikonseptualisasikan sebagai keadaan dimana individu secara kognitif merasa asik dengan internet sehingga selalu terobsesi untuk menggunakannya dan mengalami perilaku yang kompulsif dalam menggunakan internet karena gagal dalam mengontrol perilakunya (Caplan, 2010; Gámez-Guadix, Orue, & Calvete, 2013). Secara spesifik, deficient selfregulation terbagi menjadi dua aspek, yaitu : a. Cognitive preoccupation Cognitive preoccupation mengacu pada pola pemikiran obsesif dalam menggunakan internet, seperti adanya pemikiran bahwa seseorang tidak dapat berhenti mengakses internet atau ketika sedang tidak mengakses internet individu tidak dapat berhenti memikirkan apa yang terjadi pada internet (Caplan, 2010). b. Compulsive internet use Compulsive internet use adalah keinginan seseorang untuk terus mengakses internet bahkan ketika dirinya tidak sedang memiliki keperluan untuk 10 menggunakan internet. Individu mengalami kesulitan untuk mengontrol waktu yang dihabiskan untuk berinternet, serta kesulitan untuk mengontrol penggunaan internet (Caplan, 2010). 4. Negative outcome Negative outcome atau dampak negatif adalah konsekuensi dari perilaku penyalahgunaan Internet (PIU). Beberapa dampak negatif yang dialami biasanya seperti sulit mengatur hidupnya, gangguan pada kehidupan sosialnya, serta permasalahan lainnya (Caplan, 2010). 2.2 Self - Regulation 2.2.1 Definisi Self - Regulation Self-regulation atau regulasi diri didefinisikan sebagai "kapasitas untuk merencanakan, memandu, dan memonitor perilaku individu secara fleksibel dalam menghadapi perubahan keadaan" (Brown, 1998). Carver dan Scheier (1982) mendefinisikan self-regulation sebagai kemampuan untuk merencanakan dan mencapai hasil adaptif yang diinginkan melalui perilaku yang diarahkan pada tujuan yang diinginkan. Hal ini juga melibatkan penundaan terhadap kepuasan sementara. Lebih lanjut Carey, Neal dan Collins (2004) mengacu pada konsep self-regulation dari brown (1998) mengatakan bahwa regulasi diri mengarahkan individu untuk secara efektif mengatur tindakan mereka dalam bergerak menuju pemenuhan kebutuhan atau tujuan yang diinginkan (tujuan jangka panjang) sehingga memungkinkan individu untuk menunda kepuasan instan (tujuan jangka pendek). Berdasarkan definisi-definisi tersebut menunjukkan bahwa self-regulation atau regulasi diri sangat penting bagi individu agar dapat secara efektif mencapai tujuan yang diinginkan (Baumeister, Heatherton, & Tice, 1994). 2.2.2 Proses Self - Regulation Untuk mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan tersebut, Carver dan Scheier (1982) membagi proses self-regulation yang disebut dengan self-regulatory menjadi 11 tiga komponen, yaitu (1) tujuan perilaku atau hasil yang diinginkan (standar), (2) membandingkan diri atau keadaan saat ini dengan standar yang sudah ada (monitoring), dan (3) melakukan perubahan pada diri atau perilaku atau keadaan saat ini jika pada proses monitoring dirasa jauh dari standar. Selanjutnya Miller dan Brown (1991) mengembangkan komponen proses self-regulation tersebut serta mengkonstruknya menjadi 7 dimensi, yaitu: 1. Receiving relevant information Menerima informasi yang relevan. Ini adalah proses awal dari regulasi diri pada individu. Proses ini ditandai dengan menerima informasi dari berbagai sumber agar individu dapat mengetahui karakter yang lebih khusus dari suatu masalah. 2. Evaluating the information and comparing it to norms Pada tahap ini, individu melakukan evaluasi terhadap informasi yang didapatnya dan membandingkannya dengan standar. Dalam proses evaluasi ini, individu menganalisa informasi dengan membandingkan suatu masalah yang terdeteksi dari luar diri (eksternal) dengan pendapat pribadinya (internal) yang terbentuk dari pengalaman sebelumnya yang serupa. 3. Triggering Change Mempersiapkan perubahan. Pada tahap ini individu menghindari hal-hal atau pemikiran-pemikiran yang tidak sesuai dengan informasi yang didapat yang dibandingkan dengan norma atau standar yang ada dan mulai mempertimbangkan perubahan. 4. Searching for options Mencari solusi alternatif. Setelah melewati tahap ketiga, individu mengalami masalah atau pertentangan dalam diri sehingga individu mencari solusi alternative untuk meredakan masalah atau pertentangan tersebut guna mencapai perubahan. Jadi pada tahap ini individu terlibat dalam proses mencari alternatif untuk memenuhi tujuan dari perubahan. 5. Formulating a plan Merancang rencana dengan jelas. Setelah mencari solusi alternatif, individu mulai merancang perencanaan dengan jelas untuk meneruskan tujuan yang telah dibuat, 12 seperti waktu, aktivitas untuk pengembangan, serta aspek-aspek lainnya yang mampu mendukung pencapaian tujuan dengan efisien dan efektif. 6. Implementing the plan Pelaksanaan dari rencana. Setelah merancang perencanaan dengan jelas, pada tahap ini individu mulai melaksanakan perencanaan yang telah dibuatnya tersebut untuk mencapai tujuan. 7. Assessing the plan's effectiveness Mengukur efektifitas dari rencana yang telah dibuat, Pengukuran ini dapat membantu dalam menentukan dan menyadari apakah perencanaan yang direalisasikan itu sesuai dengan yang diharapkan atau tidak, serta apakah hasil yang didapat sesuai dengan yang diharapkan atau tidak. Gambar 2.1 Skema Proses Self-Regulatory Receiving Ketika seorang mahasiswa ingin terhindar dari PIU, ia terlebih dahulu mencari informasi yang relevan terkait dengan PIU. Evaluating Setelah ia mencari informasi yang relevan, lalu ia membandingkan informasi yang didapatnya tersebut dengan standar dalam dirinya mengenai PIU. Triggering Setelah ia melakukan evaluasi mengenai informasi yang ia dapat, ia mulai mempersiapkan perubahan dalam dirinya dengan mempertimbangkan hasil evaluasi tersebut. Ia mulai mempersiapkan diri untuk mengurangi waktu untuk online, yang biasanya dua jam dalam sehari menjadi satu jam dalam sehari. 13 Searching Pada saat ia mempersiapkan perubahan, muncul perasaan tidak nyaman untuk mengurangi waktu online sehingga ia melakukan pencarian tentang solusi alternatif, misalnya pergi ke psikiater atau psikolog. Formulating Setelah ia melewati tahap ke empat, ia mulai menyusun atau merancang rencana dengan jelas untuk tidak mengalami PIU. Implementing Setelah menyusun rencana yang jelas, mahasiswa tersebut mulai melaksanakannya. Assessing Mahasiswa tersebut mulai mengukur apakah rencana yang sudah ia jalani hasilnya sesuai harapan atau tidak. Dari gambar 2.1 tersebut dapat dilihat contoh skema dari proses self-regulatory dimana proses tersebut dimulai dari receiving sampai assessing. Proses tersebut akan terus berjalan dengan kembali lagi pada tahap receiving dan evaluating sampai individu tersebut merasa dirinya sudah sesuai dengan norma atau standar yang ia dapatkan dari informasi pada saat proses receiving awal. Menurut Miler dan Brown (1991), kegagalan pada salah satu tahap dari proses self-regulatory dapat menyebabkan goyahnya perilaku self-regulation pada individu. Lebih lanjut Brown (1998) mengatakan bahwa kegagalan dalam proses self-regulation dapat berkontribusi pada gangguan regulasi dari perilaku, seperti gangguan adiktif. 14 Selain dapat menghasilkan perilaku adiktif, kegagalan dari self-regulation juga dapat menghasilkan berbagai masalah, seperti masalah emosional, prestasi akademik, berbagai kegagalan pada kinerja tugas, perilaku kompulsif, dan sebagainya (Baumeister &Vohs, 2007). Hal ini dikarenakan self-regulation merupakan proses yang kompleks sehingga dapat berpengaruh pada seluruh aspek kehidupan individu (Baumeister & Heatherton, 1996). Oleh karena itu, individu yang memiliki self-regulation yang tinggi cenderung mampu untuk mengembangkan serta memonitoring perilaku mereka untuk mencapai tujuan adaptif atau tujuan yang diinginkannya (tujuan jangka panjang). Sedangkan individu yang kurang memiliki self-regulation cenderung memilih kegiatan yang dapat memberikan kepuasan instan (tujuan jangka pendek) (Hustad, Carey, Carey, & Maisto, 2009). 2.3 Situs Jejaring Sosial (SJS) Situs jejaring sosial atau yang biasa disingkat dengan SJS merupakan layanan berbasis jaringan publik yang memungkinkan penggunanya membangun profil pribadi, membatasi koneksi dengan siapa individu berbagi, serta melihat dan merespon posting dari pengguna lain (Boyd & Ellison, 2007). Menurut Morahan-Martin dan Schumacher (2000), situs jejaring sosial adalah bagian internet yang paling memungkinkan untuk menghasilkan dampak negatif bagi penggunanya karena terdapat aspek sosial yang bisa didapat didalamnya, seperti mencari dukungan sosial, berkomunikasi dengan orang lain, dan lain-lain. Oleh karena itu situs jejaring sosial banyak diminati oleh individu. Sebagian besar individu yang tertarik pada situs jejaring sosial adalah individu yang masuk dalam usia emerging adulthood (usia18-25 tahun). Hal tersebut terlihat dari hasil riset APJII (2015) pada tahun 2014 yang menunjukkan bahwa 49% dari pengguna internet di Indonesia adalah usia 18-25 tahun. Didalam situs jejaring sosial terdapat beberapa aspek yang membuatnya sangat diminati. Boyd dan Ellison (2007) menyebutkan bahwa aspek-aspek tersebut antara lain adalah: (1) Impression management, yaitu digunakan untuk membangun identitas untuk menguatkan jalinan pertemanan dimana pengguna dapat membangun suatu profil tentang dirinya, (2) Networks and network structure, merupakan struktur jaringan dan sekumpulan data yang ada pada situs jejaring sosial yang digunakan untuk 15 menggambarkan suatu interkasi, (3) Online or offline social networks, memungkinkan situs jejaring sosial dapat menghubungkan individu ketika dalam keadaan online maupun offline, dan (4) Privacy, terkait pengaturan privasi yang bisa dilakukan oleh pengguna untuk mengelola hal-hal yang ingin ditampilkan pada halaman profil. 2.4 Emerging Adulthood Emerging adulthood merupakan masa peralihan dari tahap remaja menuju tahap dewasa (Santrock, 2015). Menurut Arnett (2000), individu yang dimaksud dengan emerging adulthood adalah individu dengan rentang usia 18 – 25 tahun. Menurut Susantoro (2007) mahasiswa adalah individu yang masuk dalam masa peralihan dari tahap remaja ke tahap dewasa. Berdasarkan definisi dari mahasiswa tersebut, maka dalam tahap perkembangannya mahasiswa masuk dalam usia emerging adulthood. Pada usia ini, individu ditandai dengan keinginan mencoba untuk memiliki hubungan dengan orang lain berkaitan dengan cinta, kerja, dan pandangan dunia akan dirinya (Arnett, 2000). Hal ini dikarenakan pada usia emerging adulthood, individu belum sepenuhnya dewasa sehingga mereka masih dalam pembentukan identitas diri sebagai dewasa (Papalia, Olds & Feldman, 2007). Oleh karena itu, emerging adulthood sangat membutuhkan hubungan dengan orang lain untuk membantu mendorong identitas diri mereka. Untuk memenuhi itu semua, individu yang masuk dalam tahap perkembangan emerging adulthood lebih memilih untuk menjalin hubungan lewat situs jejaring sosial agar bisa mendapat umpan balik dan penguatan hubungan (Pempek, Yermolayeva, & Calvert, 2009). 16 2.5 Kerangka Berpikir Rendahnya Selfregulation Penggunaan situs jejaring sosial yang berlebihan pada mahasiswa PIU Dampak negatif seperti masalah akademik, pekerjaan, serta masalah psikososial, dan lainlain. Gambar 2.2 Kerangka berpikir Pada Gambar 2.2 terdapat kerangka berpikir yang melatar belakangi penelitian ini. Hal tersebut diawali dengan fenomena internet yang saat ini sudah menjadi kebutuhan bagi sebagian besar individu. Hal ini dikarenakan akses internet yang mudah dan terdapat berbagai keuntungan lainnya yang ditawarkan oleh internet, salah satunya adalah kemudahan dalam berkomunikasi. Kemudahan dalam berkomunikasi tersebut bisa didapat melalui situs jejaring sosial. Berdasarkan data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia tahun 2014, sebanyak 87,4% dari 88,1 juta pengguna internet di Indonesia mengakses situs jejaring sosial (APJII, Maret 2015). Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Lenhart, Purcell, Smith, dan Zickuhr (2010), mengungkapkan bahwa 72% dari seluruh mahasiswa di Amerika aktif mengakses situs jejaring sosial. Di Indonesia sendiri menurut hasil riset APJII pada tahun 2014, sebanyak 49% dari pengguna internet di Indonesia berada pada rentang usia 18-25 tahun (APJII, 2015). Hal tersebut cukup membuktikan bahwa kalangan yang lebih banyak menggunakan jejaring sosial adalah mahasiswa. Hal ini dikarenakan pada tahap perkembangannya, yaitu emerging adulthood, mahasiswa cenderung butuh untuk menjalin hubungan yang lebih dekat dengan orang lain (Arnett, 2000; Santrock, 2015) sehingga untuk memenuhi kebutuhan itu semua, mahasiswa lebih cenderung memilih menggunakan situs jejaring sosial (Pempek, Yermolayeva, & Calvert, 2009). 17 Namun, pada kenyataannya penggunaan situs jejaring sosial mampu membawa dampak negatif bagi penggunannya jika penggunaannya berlebihan. Perilaku penggunaan internet yang berlebihan ini disebut dengan problematic internet use (PIU). Lebih jelasnya Caplan (2005) mendefinisikan PIU sebagai sindrom multi-dimensi dengan gejala kognitif maladatif dan perilaku yang menghasilkan dampak negatif dalam sosial, akademis, atau konsekuensi professional. Definisi mengenai PIU dari Caplan (2005) tersebut dibuat berdasarkan teori cognitive-behavioral dari Davis (2001) mengenai PIU yang dimana Davis (2001) mengatakan bahwa PIU diakibatkan oleh penggunaan internet yang berlebihan. Penggunaan internet secara berlebihan ini diakibatkan oleh kurangnya self-regulation pada individu (dalam hal ini mahasiswa) (Sebena, Orosova, & Benka, 2013) yang pada akhirnya mengakibatkan PIU sehingga muncul dampak negatif yang dapat mengganggu kehidupan mahasiswa. Menurut Brown (1998), self-regulation adalah kapasitas atau kemampuan individu untuk merencanakan, memandu, dan memonitor perilakunya untuk mencapai tujuan yang diinginkan (tujuan jangka panjang), hal ini melibatkan penundaan dari kepuasan instan (tujuan jangka pendek). Sementara itu, self-regulation merupakan bagian dari gejala PIU yang didefinisikan sebagai merasa asik dengan internet sehingga selalu terobsesi untuk menggunakannya dan mengalami perilaku yang kompulsif dalam menggunakan internet karena gagal dalam mengontrol perilakunya (Caplan, 2010). Literatur lain juga mengatakan bahwa PIU disebabkan oleh kurangnya self-regulation (LaRose, Kim, & Peng, 2009; Caplan, 2010). Hal ini terjadi disebabkan karena salah satu sumber dari perilaku bermasalah dalam penggunaan internet atau PIU dikaitkan dengan fakta bahwa internet mampu menyediakan kepuasan instan secara langsung pada individu seperti, menjadi sarana untuk meregulasi emosi, menjadi alternatif komunikasi bagi orang-orang dengan kharakteristik kepribadian tertentu, yang dimana hal tersebut bisa didapat melalui situs jejaring sosial (Sebena, Orosova, & Benka, 2013). Sehingga pengguna situs jejaring sosial dengan self-regulation yang rendah akan cenderung untuk memilih memuaskan tujuan jangka pendeknya dibandingkan tujuan jangka panjangnya, yaitu tergoda untuk membuka akun situs jejaring sosial yang mereka miliki disaat mereka harus menyelesaikan aktifitas yang lain. Akibatnya jika hal tersebut dilakukan secara terus menerus, maka penggunaan situs jejaring sosialnya menjadi berlebihan dan pada akhirnya menyebabkan PIU. Sebaliknya, pengguna situs 18 jejaring sosial dengan self-regulation yang tinggi akan cenderung untuk memilih memuaskan tujuan jangka panjangnya dibandingkan tujuan jangka pendeknya dengan tetap menyelesaikan aktifitas yang menjadi tujuan jangka panjangnya dan menunda untuk membuka akun situs jejaring sosial yang ia miliki sebelum aktifitas dari tujuan jangka panjangnya terselesaikan. Sehingga dengan begitu para pengguna situs jejaring sosial akan terhindar dari PIU. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa mahasiswa pengguna situs jejaring sosial dengan self-regulation yang tinggi mampu merencanakan, memandu, dan memonitoring perilaku mereka untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan serta cenderung mampu menunda kepuasan instan dari situs jejaring sosial. Sedangkan individu dengan self-regulation yang rendah kurang mampu dalam merencanakan, memandu, dan memonitoring perilaku mereka untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan serta mereka cenderung memilih untuk memenuhi kepuasan secara instan yang didapat melalui situs jejaring sosial sehingga mereka rentan mengalami PIU. Singkatnya, semakin tinggi self-regulation, maka semakin rendah tingkat mahasiswa pengguna situs jejaring sosial untuk mengalami PIU, dan semakin rendah selfregulation, maka semakin tinggi tingkat mahasiswa pengguna situs jejaring sosial untuk mengalami PIU. 2.6 Asumsi Penelitian Berdasarkan kerangka berpikir yang sudah peneliti buat, diduga bahwa terdapat hubungan negatif antara self-regulation dengan problematic internet use (PIU) pada mahasiswa pengguna situs jejaring sosial di Jakarta dengan asumsi penelitian, yaitu jika semakin tinggi self-regulation yang dimiliki oleh mahasiswa pengguna situs jejaring sosial, maka semakin rendah tingkat PIU yang dialami. Sebaliknya, semakin rendah self-regulation yang dimiliki mahasiswa pengguna situs jejaring sosial, maka semakin tinggi tingkat PIU yang dialami.