Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: Menegaskan Kembali Arti

advertisement
Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: Menegaskan
Kembali Arti Pentingnya♣
Oleh: Ifdhal Kasim∗
BERBEDA dengan advokasi terhadap hak-hak sipil dan politik, advokasi
terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya tidaklah terartikulasi dengan baik dan
lantang dalam gerakan advokasi hak asasi manusia. Kurang lebih dari empat dekade
gerakan advokasi hak asasi manusia lebih menekankan advokasi mereka pada isu-isu
disekitar hak-hak sipil dan politik (civil liberties). Sementara advokasi terhadap isu-isu
hak ekonomi, sosial dan budaya kurang mendapat perhatian yang memadai; ia menjadi
seperti anak tiri dari gerakan advokasi hak asasi manusia. Fenomena ini bukan hanya di
Indonesia, melainkan sudah merupakan fenomena global. Organisasi-organisasi hak asasi
manusia internasional seperti Amnesty Internasional atau Human Rights Wacht,
mempunyai peranan yang sangat besar dalam mengarahkan gerakan advokasi hak asasi
manusia itu terpusat pada hak-hak sipil dan politik.1 Sekarang saatnya kecenderungan ini
dirubah, bukan mengubahnya dengan balik memusatkannya pada hak-hak ekonomi,
sosial dan budaya. Tetapi meletakkan ke dalam perspektif indivisibility, yaitu
meletakkannya ke dalam saling-kaitan antara kedua kategori hak tersebut. Bukan
memisah-misahkannya seperti sebelumnya.
Tulisan ini bukan bermaksud mendiskusikan konsep indivisibility tersebut,2
melainkan mengajak membicarakan kembali secara lebih dalam tentang hak-hak yang
telah terlupakan itu. Signifikansinya mendiskusikan kembali hak-hak ekonomi, sosial dan
budaya itu karena selama ini sudah terlanjur berkembang kesalahpahaman dalam
memandang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya tersebut –yang pada akhirnya
menempatkan kedudukan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya sebagai pariah dalam
gerakan advokasi hak asasi manusia. Selama ini telah berkembang pemahaman seakanakan hak-hak ekonomi tersebut bukan merupakan hak yang “riil” (not really rights),3
karena itu ia tidak memerlukan proteksi. Tulisan ini akan memeriksa kembali dengan
kritis pandangan-pandangan yang seperti ini, selain bermaksud pula mendiskusikan
♣
Disampaikan pada Lokakarya yang diselenggarakan oleh PUSHAM UII, Yogyakarta, Hotel Jogja Plaza,
25 Januari 2006.
∗
Adalah Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Manusia (ELSAM) Jakarta.
1
Tinjauan yang tajam mengenai fenomena ini dipaparkan oleh Christ Jochnick dalam tulisannya,
A New Generation of Human Rights Activism (Human Rights Dialague: Carnegie Council,1997).
2
Pembahasan yang mendalam mengenai konsep ini dapat dibaca dalam Jack Donnelly, Universal
Declaration of Human Rights in Theory and Practice (Ithaca, NY,: Cornell University Press, 1986).
3
Pandangan seperti ini, antara lain dikemukakan oleh Maurice Cranston, yang merupakan salah
seorang tokoh terdepan dengan pandangan ini. Lihat tulisannya, What Are Human Rights? (London: The
Bodley Head, 1973).
1
kemungkinan mengartikulasikan advokasi yang lebih lantang terhadap hak-hak ekonomi,
sosial dan budaya dalam gerakan advokasi hak asasi manusia di Indonesia.
Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
dalam Hukum Hak Asasi Manusia Internasional
Marilah kita awali dengan bahasan mengenai tempat hak-hak ekonomi, sosial dan
budaya di dalam rezim hukum hak asasi manusia internasional, sebelum kita memasuki
bahasan pokok tulisan ini. Tidak berbeda dengan hak-hak sipil dan politik, hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya merupakan bagian yang esensial dalam hukum hak asasi
manusia internasional; bersama-sama dengan hak-hak sipil dan politik ia menjadi bagian
dari the international bill of human rights. Sebagai bagian dari international bill of
human rights, kedudukan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dengan demikian sangat
penting dalam hukum hak asasi manusia internasional; ia menjadi acuan pencapaian
bersama dalam pemajuan ekonomi, sosial dan budaya. Dengan demikian hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya tidak dapat ditempatkan di bawah hak-hak sipil dan politik -sebagaimana telah dikesankan selama ini.
Pengikatan terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya itu diwujudkan dengan
mepositifikasikan hak-hak tersebut ke dalam bentuk perjanjian multilateral (treaty).
Rumusannya tertuang dalam Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya –yang
dalam bahasa aslinya dikenal dengan Covenan on Economic, Social and Cultural Rights
(selanjutnya disingkat CESCR), yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tahun
1966 –bersama-sama dengan Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik. Kedua kovenan ini
memang dilahirkan secara bersamaan, sebagai bentuk kompromi dari pertentangan pada
saat perumusannya ketika itu.4 Negara-negara yang telah menjadi pihak pada Kovenan
Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya itu, dengan meratifikasinya, hingga kini telah
berjumlah 142 Negara.5 Tingginya tingkat ratifikasi terhadap kovenan ini menunjukkan,
bahwa kovenan ini memiliki karakter universalitas yang sangat kuat. Karena ia telah
diterima oleh lebih dari seratus negara. Sebagian ahli hukum hak asasi manusia
internasional menganggap, perjanjian dengan karakter yang demikian ini, telah memiliki
kedudukan sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional (international customary
law);6 ia mengikat setiap negara dengan atau tanpa ratifikasi.
4
Pada saat perumusannya, para perancangnya berupaya merumuskan sebuah international bill of
human rights, yang mencakup kedua kategori hak tersebut. Bukan memisahkannya ke dalam dua kovenan.
Tetapi karena pertentang politik pada saat itu, yang berada dalam atmosfir Perang Dingin, akhirnya
dipisahkan menjadi dua kovenan. Uraian ringkas mengenai ini dapat dibaca dalam Thomas Buergental,
International Human Rights in A Nutshell (Wset Publising Co, 1995).
5
Menurut data ratifikasi yang dikeluarkan PBB, hingga tanggal 15 Juni 2000 CESCR telah
diratifikasi oleh 142 Negara dan ditandatangani oleh 61 Negara. Cina merupakan negara yang terakhir (tgl
27 Oktober 1997) membuat ratifikasi terhadap kovenan ini. Lihat, Millenium Summit Multilateral Treaty
Framework (New York: United Nations, 2000).
6
Argumen seperti ini diajukan dan dipertahankan oleh, di antaranya, yang paling vokal adalah Prof.
Lois B. Sohn dan Browlie. Lihat Lois B. Sohn & T. Buergental, International Protection of Human Rights,
1973; dan Ian Browlie, Principles of Public International Law (New York: Oxford University Press, 1990).
2
Indonesia sampai sekarang belum menjadi pihak dari perjanjian multilateral itu.
Padahal seperti diketahui, pada masa di bawah pemerintahan Orde Baru, Indonesia lah
yang paling vokal berbicara mengenai pentingnya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya di
forum-forum internasional untuk mematahkan tuduhan organisasi-organisasi hak asasi
manusia internasional atas keadaan hak asasi manusia di Indonesia. Sering kita dengar
argumen pejabat tinggi Indonesia ketika itu, yang mengatakan bahwa Indonesia lebih
mendahulukan hak-hak ekonomi ketimbang hak-hak politik. Slogannya ketika itu adalah:
“pembangunan ekonomi yes!, kebebasan politik no!”. Atas dasar pandangan ini, rejim
Orde Baru lalu memasung kebebasan politik warga negaranya; buruh, petani, mahasiswa
dan seterusnya tidak boleh berorganisasi secara bebas dan independen. Kenyataannya,
apa yang kita saksikan sekarang, pemasungan kebebasan politik tersebut tidak
berhubungan dengan retorika rejim Orde Baru untuk memajukan dan menegakkan hakhak ekonomi, sosial dan budaya. Justru sebaliknya, pemasungan kebebasan politik itu,
telah berakibat pada semakin memburuknya perlindungan terhadap hak-hak ekonomi,
sosial dan budaya.
Pembahasan dari sudut legal ini menunjukkan betapa kuatnya kedudukan hakhak ekonomi, sosial dan budaya. Ia berkedudukan sama dengan hak-hak sipil dan politik.
Tetapi persepsi atau pandangan yang berkembang mengenainya menunjukkan realitas
yang lain, yakni memposisikannya dalam kedudukan yang tidak berimbang dengan hakhak sipil dan politik. Marilah kita periksa bagaimana persepsi umum tersebut.
Persepsi Umum terhadap
Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: Sebuah Kritik
Selama ini telah terbangun suatu persepsi populer mengenai hak-hak ekonomi,
sosial dan budaya. –yang telah diterima secara umum. Yaitu persepsi atau pandangan
yang mengontraskan hak-hak ekonomi sosial dan budaya dengan hak-hak sipil dan
politik. Kedua kategori hak ini dikontraskan secara diametral. Hak-hak ekonomi, sosial
dan budaya digambarkan sekedar sebagai statemen politik, sementara hak-hak sipil dan
politik dikatakan sebagai hak yang riil. Karena kedua kategori hak ini, yang diatur dalam
masing-masing kovenan, memang menggunakan formulasi hukum yang berbeda. Kalau
CESCR menggunakan formulasi “… undertakes to take steps, … to the maximum of its
available resources, with a view to achieving progressively the full realization of the
rights recognized in the present Covenant …”.7 Dipihak lain, ICCPR (Kovenan Hak-hak
Sipil dan Politik) menggunakan: “… undertakes to respect and to ensure to all
induvidual within its territory and subject to its jurisdiction the rights recognized in the
present Covenant …”.8 Formulasi hukum yang berbeda ini dijadikan dasar untuk menarik
garis pembeda yang tajam antara kedua kovenan tersebut.
7
Selengkapnya lihat pasal 2 (1) Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
8
Selengkapnya lihat pasal 2 (1) Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik.
3
Perbedaan tajam yang dibuat itu adalah dengan mengatakan hak-hak ekonomi,
sosial dan budaya merupakan hak-hak positif (positive rights), sementara hak-hak sipil
dan politik dikatakan sebagai hak-hak negatif (negative rights).9 Dikatakan positif, karena
untuk merealisasi hak-hak yang diakui di dalam kovenan tersebut diperlukan keterlibatan
negara yang besar. Negara di sini haruslah berperan aktif. Sebaliknya dikatakan negatif,
karena negara harus abstain atau tidak bertindak dalam rangka merealisasikan hak-hak
yang diakui di dalam kovenan. Peran negara di sini haruslah pasif. Makanya hak-hak
negatif itu dirumuskan dalam bahasa “freedom from” (kebebasan dari), sedangkan hakhak dalam kategori positif dirumuskan dalam bahasa “rights to” (hak atas). Kedua
kategori hak ini menuntut tanggung jawab negara yang berbeda. Kalau hak-hak ekonomi,
sosial dan budaya menuntut tanggung jawab negara --meminjam istilah yang digunakan
Komisi Hukum Internasional-- dalam bentuk obligations of result, sedangka hak-hak sipil
dan politik menuntut tanggung jawab negara dalam bentuk obligations of conduct.
Sebagai hak-hak positif, maka hak-hak ekonomi, sosial dan budaya tidak dapat
dituntut di muka pengadilan (non-justiciable). Sebaliknya dengan hak-hak sipil dan
politik, sebagai hak-hak negatif ia dapat dituntut di muka pengadilan. Misalnya, orang
yang kehilangan pekerjaannya tidak dapat menuntut negara ke muka pengadilan, karena
pelanggaran tersebut. Sebaliknya, orang yang disiksa oleh aparatur negara dapat dengan
segera menuntut tanggung jawab negara atas pelanggaran tersebut ke muka pengadilan.
Disamping membedakannya dengan cara positif dan negatif tersebut, juga dibuat
perbedaan secara ideologis. Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dikatakan bermuatan
ideologis, sementara hak-hak sipil dan politik non-ideologis. Artinya hak-hak ekonomi,
sosial dan budaya hanya dapat diterapkan pada suatu sistem ekonomi tertentu, sedangkan
hak-hak sipil dan politik dapat diterapkan untuk semua sistem ekonomi atau
pemerintahan apapun. Atau dalam kata-kata Philip Alston dan Gerald Quinn,10
“... civil and political rights are seen as essentially non-ideological in nature and
are potentially compatible with most system of goverment. By contrast,
economic, social and cultural rights are often perceived to be of a deeply
ideological nature, to necessitate an unacceptable degree of intervention in the
domestic affairs of states, and to be inherently incompatible with a free market
economy”.
Lebih jauh persepsi umum tersebut saya ringkas dalam bentuk tabel di bawah ini.
Gambaran yang saya ringkas ini tentu merupakan penyederhanaan dari kompleksitas
perbedaan yang dibuat atas kedua kategori hak tersebut.
Tabel 1: Pembedaan ICESCR dan ICCPR
9
Lihat Vierdag, “The Legal Nature of the Rights Granted by the International Covenant on
Economic, Social and Cultural Rights”, Netherlands Yearbook of International Law 1978, 69-105.
10
Philips Alston dan Gerald Quinn, “The Nature and Scope of States Parties Obligations under the
International Covenan on Economic, Social and Cultural Rights”, Human Rights Quarterly, Vol 9 (May,
1987), No. 2.
4
Hak-hak Ekonomi (ICESCR)
Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR)
Dicapai secara bertahap
Dicapai dengan segera
Negara bersifat aktif
Negara bersifat pasif
Tidak dapat diajukan ke Pengadilan
Dapat diajukan ke Pengadilan
Bergantung pada sumberdaya
Tidak bergantung pada sumberdaya
Ideologis
Non-ideologis
Sumber: van Hoof, The Legal Nature of Economic, Social and Cultural Rights: A Rebuttal of
Some Traditional Views, 1984; Vierdag, The Legal Nature of the Rights Granted by the
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, 1978.
Dalam tinjauan yang akan dipaparkan di bawah ini akan terlihat bahwa
sesungguhnya kontras yang dibuat itu hanya artifisial dan mitos belaka. Karena
perbedaan tersebut tidak didasarkan pada pemahaman yang utuh mengenai legal nature
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Kajian-kajian mutakhir, seperti yang diprakarsai
oleh Philip Alston, Asbojrn Aide, Audrey Chapman, Scott Leckie, Katarina Tomasevski
(sekedar menyebut beberapa di antaranya), mengungkapkan ketidaksahihan pembedaanpembedaan tersebut. Mereka mengembangkan interpretasi dan pemahaman baru terhadap
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Pandangan-pandangan mereka sangat
mempengaruhi perumusan Prinsip-prinsip Limburg11 dan Pedoman Maastrict.12
Mengubah Persepsi Umum atas
Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
Marilah kita tinjauan pemahaman yang telah diterima secara umum tersebut.
Apakah benar, bahwa hak-hak ekonomi, sosial dan budaya itu sepenuhnya merupakan
11
Prinsip-prinsip Limburg ini dirumuskan oleh para ahli hukum internasional sebagai suatu usaha
untuk mengefektifkan pelaksanaan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, dengan memberikan penafsiran
baru terhadap ketentuan-ketentuan CESCR. Prinsip-prinsip ini tidak mengikat secara hukum. Prinsipprinsip ini dimuat di bagian tiga buku ini.
12
Pedoman ini juga dirumuskan oleh para ahli hukum internasional yang tidak mengikat secara
hukum. Prinsip-prinsip ini diharapkan dapat menjadi pedoman dalam memantau pelanggaran hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya. Pedoman ini dimuat di bagian tiga buku ini.
5
hak-hak positif? Pemahaman demikian sebetulnya tidak benar. Hak-hak ekonomi, sosial
dan budaya tidak sepenuhnya merupakan hak-hak positif. Sebab cukup banyak hak-hak
yang diakui di dalamnya menuntut negara agar tidak mengambil tindakan (state
abstention) guna melindungi hak tersebut. Bukannya melulu mengharuskan negara aktif
mengambil tindakan. Hal ini dapat kita lihat pada klausul-klausul seperti hak berserikat,
hak mogok, kebebasan memilih sekolah, kebebasan melakukan riset, larangan
menggunakan anak-anak untuk pekerjaan berbahaya, dan seterusnya, yang terdapat di
dalam CESCR. Ketentuan-ketentuan itu menunjukkan dengan gamblang, bahwa yang
diatur di dalam CESCR bukan hanya hak-hak dalam jenis “rights to”, tetapi juga hak-hak
dalam jenis “freedom from”. Jadi mengatakan bahwa hak-hak ekonomi, sosial dan
budaya semata-mata merupakan hak-hak positif jelas menyesatkan.
Makanya frasa undertakes to take steps, to achieve progressively dan to maximum
of its available resources pada pasal 2(1) CESCR harus dilihat sebagai ketentuan yang
memiliki hubungan yang dinamis dengan semua pasal lainnya.13 Hakikat kewajiban
hukum yang timbul dari pasal ini bukan hanya menuntut negara berperan aktif, tetapi
juga menuntut negara tidak mengambil tindakan (pasif). Makanya kurang tepat, tanggung
jawab negara di bidang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya ini dibedakan antara
obligation of conduct dan obligation of result. Kedua kewajiban itu merupakan kewajiban
yang sekaligus harus dipikul oleh negara dalam pelaksanaan hak-hak ekonomi, sosial dan
budaya. Misalnya, untuk mencukupi kebutuhan pangan, negara harus mengambil
langkah-langkah dan kebijakan yang tepat agar tujuan mencukupi pangan tersebut
berhasil (obligation of result). Tetapi dalam waktu yang bersamaan, negara juga tidak
diberbolehkan mengambil tindakan yang menyebabkan seseorang kehilangan kebebasan
memilih pekerjaan atau sekolah (obligation of conduct). Jadi jelas mengapa dikatakan
keliru, jika tanggung jawab negara dikatakan terbatas pada obligation of result.
Dalam sebuah konferensi yang diorganisir oleh International Commission of
Jurist, David Matas14 --salah seorang yang terlibat dalam dalam konferensi tersebut,
dengan tegas menolak pemisahan antara kedua bentuk tanggung jawab negara itu. Kita
turunkan di sini pendapatnya:
“Put in terms of distinction between obligations of conduct and obligations of
result, the notion that economic, social and cultural rights are always and only
obligations of result, and that political and civil rights are always and only
obligations of conduct is false. For countries like Canada and the US all
13
Salah seorang sarjana yang memberi perhatian besar terhadap frasa-frasa kontroversial itu adalah
Robert E. Robertson. Dalam tulisannya yang mengulas frasa ‘maximum available resources’, Robertson
menunjukkan betapa tidak mudahnya memahami bahasa yang digunakan CESCR. Katanya, “It is a
difficult phrase –two warring adjectives describing an undefined noun. ‘Maximum’ stands for idealism;
‘available’ stands for reality. ‘Maximum’ is the sword of human rights rhetoric; ‘available’ is the wiggle
room for the State. Lihat, Robert E. Robertson, “Measuring State Compliance with the Obligation to
Devote the “Maximum Available Resources” to Realizing Economic, Social and Cultural Rights,” Human
Rights Quarterly, Vol. 16 (November 1994): Hlm.694.
14
Lihat David Matas, “Economic, Social and Cultural Rights and the Rule of Lawyers: North
American Perspectives”, International Commission of Jurist: Special Issue, December 1995.
6
economic and social rights are obligations of conduct and not just obligations of
result. For countries like Canada and the US, if an economic, social or cultural
rights is not being realized, the reason is unwillingness and not incapacity”.
Prinsip-prinsip Limburg juga menegaskan hal yang serupa. Kumpulan prinsip
yang disusun oleh para ahli hukum internasional itu --yang didesain untuk memberi
pedoman dalam mengimplementasikan CESCR, berusaha meletakkan arah baru dalam
melihat tanggung jawab negara dalam konteks hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
Yaitu dengan tidak memandangnya melulu bersifat positif. Hal ini dapat kita baca pada
paragraf ke-16 Prinsip-prinsip Limburg itu. Di sana dikatakannya:
“All States parties have an obligation to begin immediately to take steps towards
full realization of the rights contained in the Covenant.”
Selanjutnya pada paragraf ke-22, ditegaskan lagi:
“Some obligations unders the Covenant require immediate implementation in full
by all States parties, such as the probihation of discrimination in article 2(2) of
the Covenant.”
Jadi, meskipun CESCR menetapkan pencapaian secara bertahap dan mengakui
realitas keterbatasan sumberdaya yang tersedia di satu sisi, pada sisi lain ia juga
menetapkan berbagai kewajiban yang memiliki efek segera (immediate effect). Itu artinya
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya tidak lagi dapat dilecehkan sebagai “bukan
merupakan hak yang sebenarnya” alias sekedar “statemen politik”. Sama seperti hak-hak
sipil dan politik, ia juga merupakan hak yang sebenarnya yang juga dapat dituntut
pemenuhannya melalui pengadilan (justiciable). Terutama untuk hak-hak yang diatur
pada pasal 3, 7(a) dan (i), 8, 10(3), 13(2), (3) dan (4), dan pasal 15(3). Hak-hak dalam
pasal-pasal ini bersifat justiciable, yang dapat dituntut di muka pengadilan nasional
masing-masing negara. Argumen maximum available resources atau progressive
realization tidak dapat digunakan untuk mengesampingkan pemenuhan segera hak-hak
tersebut. Jadi anggapan selama ini mengenai non-justiciable dari hak-hak ekonomi, sosial
dan budaya jelas menyesatkan. Selain tidak menyumbang apa pun bagi kepentingan
advokasi pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
Begitu juga mengenai anggapan, bahwa hak-hak ekonomi, sosial dan budaya itu
tidak cocok bagi semua sistem pemerintahan atau ekonomi. Karena ia ideologis!
Anggapan ini juga keliru, karena hak-hak ekonomi, sosial dan budaya ini tidak pernah
didesain untuk salah satu sistem ekonomi atau pemerintahan tertentu. Dengan kata lain,
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya ini bersifat netral. Penjelasan mengenai netralitas
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya itu dikuatkan oleh General Comment dari Komite
Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Dikatakannya:15
Thus, in terms of political and economic sytems the Covenant is neutral and its
principles cannot accurately be described as being predicated exclusively upon
15
Lihat General Comment 3, The nature of State parties obligations (Art. 2, para. 1 of the Covenant), UN
Doc. HRI/GEN/1/Rev. 1 (1994), para. 11.
7
the need for, or the desirability of, a socialist or a capitalist system, or a mixed,
centrally planned, or laissez-faire economy, or upon any other particulary
approach. In this regard, the Committee reaffirms that rights recognized in the
Covenant are susceptible of realization within the context of a wide variety of
economic and political systems.
Dalam konteks pemahaman “baru” seperti inilah seharusnya kita memandang
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Anggapan-anggapan lama yang membedakan
secara diametral antara kedua kategori hak tersebut sudah selayaknya berlalu dalam
cakrawala kita. Karena anggapan-anggapan itu tidak memberi sumbangan apapun bagi
kepentingan advokasi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Malah sebaliknya, dapat
merusak upaya integritas penegakan hak-hak asasi manusia secara keseluruhan atau
secara indivisible dan interdependent. Langkah pengadvokasian hak-hak ekonomi, sosial
dan budaya dengan demikian harus diletakkan di atas paradigma baru tersebut.
Penutup: Pentingnya Pemenuhan
Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
Seperti sudah dikemukakan di awal, tulisan ini berusaha memeriksa dengan kritis
anggapan-anggapan yang selama ini terbangun dalam memandang hak-hak ekonomi,
sosial dan budaya. Dengan mengungkapkan mitos-mitos disekitar hak-hak ekonomi,
sosial dan budaya itu, kita bangun kembali suatu advokasi yang kuat untuk hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya. Sudah terlalu lama kita melupakan hak-hak ini!
Jalan ke arah itu sebetulnya sudah dirintis. Belakangan ini semakin banyak ihtiar
yang dilakukan para sarjana dan aktifis hak asasi manusia untuk memalingkan perhatian
orang ke arah pengadvokasian hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Mulai dari mendesak
PBB merumuskan suatu Optional Protokol untuk CESCR hingga kepada upaya-upaya
mengefektifkan monitoring terhadap pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
Tidak kalah besar artinya, dalam keseluruhan upaya ini adalah, kajian yang dibuat oleh
Sub-Komisi Hak Asasi Manusia PBB (melalu pelapor khusus-nya) mengenai impunitas
dalam pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial dan budaya --yang menurut saya telah
menggugah perhatian orang akan semakin pentingnya perlindungan terhadap hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya.
Kita di Indonesia barangkali bisa mulai dengan mendesakkan peratifikasian
kovenan ini oleh pemerintah. Tentu saja langkah legal ini harus diikuti dengan langkah
yang lain, seperti melakukan kampanye, kajian dan monitoring atas situasi hak-hak ini di
Indonesia. Apalagi memang isu hak-hak ekonomi, sosial dan budaya ini belum begitu
familiar dengan para aktifis hak asasi manusia di sini, yang lebih familiar dengan hak-hak
sipil dan politik. Langkah menuju ke arah advokasi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya,
tampak menjadi tantangan yang sangat besar di Indonesia. Tapi tidak salah apabila kita
mau merintisnya. Memang tak populer, tapi populer bukan alasan yang kuat untuk tidak
melakukannya. ***
8
Senarai Pustaka
1. Christ Jochnick, A New Generation of Human Rights Activism (human Rights
Dialogue: Carnegia Council, 1977).
2. David Matas, “Economic, Social and Cultural Rights and the Rule of Lawyers:
North American Perspectives”, International Commission of Jurist: Special Issue,
December 1995.
3. Jack Donnelly, Universal Declaration of Human Rights in Theory and Practice
(Ithaca, NY,: Cornell University Press, 1986).
4. General Comment 3, The nature of States Parties Obligations (Art. 2, para. 1 of
the Covenant), UN. Doc. HRI/GEN/1/Rev. 1 , 1994.
5. Ian Browlie, Principles of Public International Law (New York: Oxford
University Press, 1990)
6. Maurice Cranston, What Are human Rights? (London: The Bodley Head, 1973).
7. Lois B. Sohn & T. Buergental, International Protection of Human Rights, 1973.
8. Philip Alston & gerald Quinn, “The Nature and Scope of States Parties
Obligations under the Economic, Social and Cultural Rights”, Human Rights
Quarterly, Vol 9 (May, 1987).
9. United Nations, Millenium Summit Multilateral Treaty Framework, New York,
United Nations, 2000.
10. Robert E. Robertson, “Measuring State Compliance with the Obligation to Devote
the “Maximum Available Resources’” to Realizing Economic, Social and Cultural
Rights”, Human Rights Quartely, Vol 16, November 1994.
11. Vierdag, “the Nature of the Rights Garnted by the International Covenant on
Economic, Social and Cultural Rights, Netherlands Yearbook of International
Law, 1987.
9
Download